Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH ANTROPOLOGI

“BUDAYA KEHAMILAN DALAM ISLAM, JAWA,


DAN TRDISI BLOOD TABO SUKU PAPUA”
Dosen Pengampu: M. sahli, SKM., M.Kes

Disusun oleh:
1. Putik Fajar Kurniati (2018200067)
2. Nur Hayati (2018200069)
3. Anjas Milenia Ramadan (2018200070)
4. Itba Nur Istiqomah (2018200071)
5. Faridatul Irnaeni (2018200072)
6. Firda Hasanah (2018200073)
7. Afika Erlinawati (2018200074)

PRODI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SAINS AL QURAN JAWA TENGAH
DI WONOSOBO
TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Antropologi ini dengan " Budaya Kehamilan
Dalam Islam, Jawa Dan Trdisi Blood Tabo Suku Papua “.
Dalam menyusun makalah ini, banyak memperoleh bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan kepada teman-teman
yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca umumnya.

Wonosobo, 12 November 2020


Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar..........................................................................................................2
Daftar isi....................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Tujuan penulisan...........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................6
A. Kehamilan dalam pandangan islam..............................................................6
B. Kehamilan Dalam Budaya Jawa..................................................................11
C. Tradisi Blood Tabo Dalam Suku Papua.......................................................17
BAB III PENUTUP.................................................................................................20
A. Kesimpulan..................................................................................................20
B. Saran............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehamilan merupakan suatu proses yang dialami oleh seluruh
wanita di dunia. Dalam melewati proses kehamilan seorang wanita harus
mendapat penatalaksanaan yang benar. Ini terbukti dengan angka kematian
yang tinggi di negara Indonesia. Dengan keadaan tersebut memberi support
dan memacu untuk memberikan penatalaksanaan yang benar saat
kehamilan.
Negara Indonesia merupakan negara kaya tradisi dan adat istiadat.
Berbagai macam tradisi hadir dari berbagai sudut daerah. Tradisi yang
melekat pada setiap daerah merupakan tradisi yang turun menurun dari
nenek moyang, salah satunya di daerah pulau Jawa. Daerah ini merupakan
salah satu daerah yang masih kaya akan tradisi dan budaya dari nenek
moyang. Lahirnya suatu tradisi biasanya berkaitan erat dengan peristiwa
alam atau bencana yang terjadi. Sebagian besar peristiwa tersebut akan
dikaitkan dengan serangkaian ritual tertentu. Ritual yang dilaksanakan tidak
lepas dari berbagai simbol dan arti. Bentuk kebudayaan sering diwujudkan
berupa simbol-simbol, masyarakat Jawa kaya akan sistem simbol tersebut.
Sepanjang sejarah masyarakat Jawa, simbol telah mewarnai tingkah laku,
bahasa, ilmu pengetahuan, dan religi. Sistem simbol digunakan sebagai
media untuk menyampaikan pesan. Salah satu tradisi yang masih bertahan
dimasyarakat hingga saat ini adalah tradisi mitoni.
Dalam agama islam juga menjelaskan bahwa kehamilan merupakan
bagian dari rezeki yang diberi oleh Allah. Kita tidak bisa memaksa Allah
untuk mempercepat pemberiannya karena Allah lebih mengetahui yang
terbaik untuk kita. Allah akan memberi rezeki sesuai kebutuhan dan
kemampuan hamba-Nya. Kehadiran buah hati akan menjadi penyejuk hati
bagi keluarga yang diharapkan untuk segera datang. Oleh karena itu, jika
pada akhirnya kehamilan terjadi, tentu kita harus bersyukur pada Allah atas
pemberian-Nya. Itu berarti kita telah dipercaya bahwa kita mampu
mengemban amanah berupa anak.

4
B. TUJUAN PENULISAN
1. Mengidentifikasi bagaimana kehamilan menurut islam
2. Mengidentifikasi kehamilan menurut budaya jawa
3. Mengetahui tradisi blood taboo suku papua.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. KEHAMILAN DALAM PANDANGAN ISLAM


Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim yang juga disebutkan
bahwa Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya setiap orang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di
dalam perut ibunya selama empat puluh hari (berupa sperma), kemudian
menjadi segumpal darah dalam waktu empat puluh hari pula, kemudian
menjadi segumpal daging dalam waktu empat puluh hari pula juga.
Kemudian diutuslah seorang malaikat meniup ruh ke dalamnya dan
diperintahkan untuk menuliskan empat hal, rejeki, ajalnya, amalnya, dan
apakah dia menjadi orang yang celaka atau bahagia. “(Muslim bin Hajjaj
An-Naisaburi, Shahih Muslim, Kairo: Darul Chad Al-Jadid, 2008, Jil. VIII,
juz 16, hal 165).
Dalam perkembangannya, sebelum menjadi bayi yang dilahirkan,
seseorang melalui berbagai fase tahapan di dalam kandungan sang ibu.
Adapun fase tahapan yang dilalui masing-masing orang adalah sebagai
berikut:
1. Fase Pertama Nutfah
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa nutfah adalah sperma
laki-laki sendiri yang memancar ke dalam rahim perempuan, karena
Allah telah menjelaskan dalam firman-nya bahwa Dia menciptakan
manusia dari air yang memancar:
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?
Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,” QS al-Tariq [86]: 5-6.
Pancaran tersebut hanya berasal dari laki-laki. Pendapat jumhur
(kesepakatan para ulama) mengatakan bahwa nutfah adalah sperma laki-
laki dan indung telur perempuan secara bersamaan. Pendapat ini
didukung oleh firman Allah setelah dua ayat di atas:
“yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada
perempuan.” QS al-Tariq [86]: 7

6
Maksudnya adalah tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.
Selain itu pendapat jumhur itu juga didukung oleh Hadis Nabi saw :
Beliau menjawab, 'Air mani seorang lelaki berwarna putih dan air mani
seorang wanita berwarna kuning, jika keduanya menyatu lalu air mani
si lelaki lebih dominan atas air mani wanita maka janin itu akan
berkelamin laki-laki dengan izin Allah.
Dengan demikian maka yang dimaksud dengan nutfah adalah sperma
laki-laki dan indung telur perempuan apabila bersatu di dalam rahim
perempuan4, dan itulah fase pertama janin.
2. Fase Kedua ‘Alaqah
Al-Qurtubi menafsirkan firman Allah surat al-‘Alaq: “Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.” QS al-‘Alaq [96]:2
Maksudnya; Allah menciptakan dari darah, bentuk jama’ dari ‘alaqah,
yang berarti darah yang menggumpal. Apabila darah mengalir, maka
disebut masfuh.
Al-Qurtubi juga mengatakan bahwa firman Allah ‘Dari segumpal
darah’ menggunakan bentuk jama’ karena yang dimaksud dengan
manusia adalah gabungan. Mereka semua diciptakan dari ‘alaq setelah
fase nutfah. ‘Alaq adalah darah yang lembab, disebut demikian karena ia
mengait (‘allaqa) apa yang dilewatinya karena ia basah. Jika kering ia
tidak disebut ‘alaqah.
Allah secara khusus menyebut manusia sebagai penghormatan
baginya. Satu pendapat mengatakan bahwa Allah ingin menjelaskan
kebesaran nikmat-Nya pada manusia, yang menciptakannya dari
segumpal darah yang hina, kemudian menjadikannya manusia sempurna
dan berakal yang mampu membedakan antara baik dan buruk. Dari
ucapan al-Qurtubi itu dapat disimpulkan bahwa ‘alaqah adalah segumpal
darah yang membeku yang tercipta dari campuran sperma laki-laki dan
indung telur perempuan.
3. Fase Ketiga: Mudhghah
Mudhghah berarti seukuran kunyahan. Sedangkan yang dimaksud
mudhghah dalam fase janin adalah sepotong daging yang seukuran
kunyahan, yang terbentuk dari ‘alaqah. Al-Razi menafsirkan firman

7
Allah, “Lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging.”
Maksudnya, Kami menjadikan darah yang menggumpal itu mudhghah,
yaitu sepotong daging seolah-olah ukurannya sebesar kunyahan. Seperti
kata ghurfah yang berarti seukuran gayung. Perubahan ini disebut
dengan kata khalaq (menciptakan), karena Allah menghilangkan sifat-
sifat sementara padanya kemudian menciptakan sifat-sifat sementara
lainnya, sehingga penciptaan sifat-sifat ini disebut khalaqa, dan seolah-
olah Allah menciptakan organ tambahan padanya.
Tiga fase kehamilan ini masing-masing memakan waktu empat puluh
hari sebelum beralih ke fase selanjutnya. Apabila janin telah mencapai
masa seratus dua puluh hari, maka ditiupkanlah kepadanya ruh dan
menjadi ciptaan yang baru.
1) Penciptaan Janin
Pendapat yang dipegang mayoritas ahli tafsir dan ahli fiqh adalah
bahwa penciptaan dan pembentukan janin terjadi pada fase
mudhghah dan sesudahnya, bukan pada fase sebelumnya. Para
mufassir menafsirkan nutfah dengan sperma laki -laki sendiri atau
sperma laki -laki dan indung telur perempuan secara bersamaan,
menurut pendapat yang kuat dan menafsirkan ‘alaqah dengan
sepotong daging. Sedangkan fase mudhghah difahami sebagai fase
terjadinya pembentukan, karena mudhghah adalah sepotong daging
yang seukuran kunyahan yang terkadang sempurna kejadiannya
(mukhallaqah) dan terkadang juga belum sempurna kejadiannya
(ghair mukhallaqah).
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna ia mengatakan bahwa para ahli tafsir terbagi
menjadi beberapa pendapat berikut :
Pertama, yang dimaksud adalah janin yang telah sempurna
penciptaannya dan yang belum sempurna. Seakan-akan Allah
membagi mudhghah menjadi dua, 1). Janin yang sempurna bentuk,
indera, dan skemanya. 2). Janin yang masih kurang kejadiannya.
Jadi Allah menjelaskan bahwa setelah Dia menjadikannya
mudhghah, di antaranya ada yang diciptakan-Nya menjadi manusia
sempurna tanpa kekurangan, dan ada yang tidak sempurna. Ini

8
adalah pendapat Qatadah dan Dhahak. Seolah-olah Allah swt
menciptakan mudhghah ini berbeda-beda tingkatannya. Di
antaranya ada yang sempurna penciptaannya dan bebas dari cacat,
dan ada pula yang kebalikannya. Perbedaan ini mengikuti perbedaan
manusia dalam penciptaan, bentuk, tinggi dan pendek, sempurna
dan kurangnya mereka.
Kedua, mukhallaqah berarti anak yang terlahir dalam keadaan
hidup, dan ghair mukhallaqah berarti gugur. Ini pendapat Mujahid.
Ketiga, mukhallaqah berarti terbentuk dan ghair mukhallaqah
berarti tidak terbentuk, yaitu janin yang tetap berupa daging tanpa
terjadi pembentukan.
Keempat, menurut Qafal, mukhallaq diambil dari kata khalq
(penciptaan). Janin yang mengalami penciptaan demi penciptaan
disebut mukhallaq, karena terjadi penciptaan berturut-turut padanya.
Para ulama mengatakan bahwa penciptaan yang sempurna disebut
mukhallaq, dan yang belum sempurna disebut ghair mukhallaq,
karena tidak terjadi sejumlah penciptaan padanya.
2) Pembentukan Janin
Al-Qurtubi mengatakan, maksud khaliq di sini adalah yang
menentukan perihal yang berbeda-beda. Jadi, pembentukan
mengikuti penciptaan. Sedangkan makna taswir adalah
pembentukan. Allah menciptakan manusia di dalam rahim dalam
tiga penciptaan; Dia menjadikannya ‘alaqah, lalu mudhghah,
kemudian menjadikannya bentuk yang dapat dikenali dan berbeda
dari yang lain menurut karakteristiknya. Sebagian ulama memahami
penciptaan dengan makna pembentukan, padahal tidak demikian,
karena penciptaan terjadi di akhir, dan takdir terjadi lebih dahulu,
sedangkan pengadaan terjadi antara keduanya.
Dengan pemahaman yang benar mengenai perbedaan antara
penciptaan dan pembentukan ini, teratasi sudah kesimpang-siuran
antara nas-nas syar’iyyah yang berbicara mengenai penciptaan janin
dan pembentukannya, serta perbedaan-perbedaan nas ketika
menyebut penciptaan dan pembentukan. Seseorang yang
merenungkan nas-nas tersebut tidak menggunakan lafaz taswir

9
(pembentukan) pada fase-fase permulaan seperti nutfah dan ‘alaqah,
melainkan menggunakan lafaz khalq (penciptaan). Penggunaan
lafaz taswir hanya terjadi pada fase-fase akhir seperti mudhghah.
Dengan demikian, tidak ada perbedaan sama sekali antara nas-nas
syar’iyyah dengan keterangan ahli kedokteran dalam masalah
penciptaan dan pembentukan janin.
3) Waktu Peniupan Ruh
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa ruh tidak
ditiupkan hingga setelah fase mudhghah. Hal itu setelah melalui fase
empat bulan kehamilan. Kemudian di antara ulama22 ada yang
berpendapat bahwa ruh ditiupkan setelah sempurna empat bulan,
yaitu setelah seratus dua puluh hari. Mereka mendasarkan
pendapatnya pada Sabda Nabi saw berikut:
‘'Sesungguhnya seorang manusia mulai diciptakan dalam perut
ibunya setelah diproses selama empat puluh hari. Kemudian
menjadi segumpal daging pada empat puluh hari berikutnya. Lalu
menjadi segumpal daging pada empat puluh hari berikutnya.
Setelah empat puluh hari berikutnya, Allah pun mengutus seorang
malaikat untuk menghembuskan ruh ke dalam dirinya dan
diperintahkan untuk menulis empat hal; rezekinya, ajalnya,
amalnya, dan sengsara atau bahagianya’.
Hadis di atas menunjukkan bahwa ruh ditiupkan ke dalam janin
setelah tiga fase, yaitu nutfah, ‘alaqah, dan mudhghah. Masa setiap
fase adalah empat puluh hari. Jadi, peniupan ruh terjadi setelah
seratus dua puluh hari.
Meskipun hadis tersebut menunjukkan peniupan ruh terjadi setelah
seratus dua puluh hari, namun ia tidak menyatakan secara pasti bahwa
peniupan ruh terjadi seketika sesudah fase tersebut. Maksud hadis
tersebut adalah bahwa peniupan ruh terjadi setelah fase ini, bukan
sebelumnya, dan tidak ada keterangan di dalamnya bahwa peniupan ruh
dipastikan ketika bilangan seratus dua puluh hari telah sempurna.
Bahkan kadang-kadang lebih lambat dari waktu itu.

10
Mengenai riwayat Ibn Abbas dan Said bin Musayyab, Ahmad
mengatakan bahwa ruh ditiupkan ke dalam janin setelah empat bulan
sepuluh hari, maksudnya setelah seratus tiga puluh.
4. Kehidupan Janin Menurut Kedokteran
Kesepakatan ahli tafsir dan ahli fiqh bahwa peniupan ruh ke
dalam janin tidak terjadi sebelum berlalunya empat bulan kehamilan,
kemudian perbedaan pendapat mereka mengenai pembatasan pada
jangka waktu tersebut atau lebih, sepertinya tampak bertentangan dengan
pembuktian kedokteran modern yang menyatakan bahwa kehidupan
telah muncul pada janin. Hal itu bisa tampak dengan menggunakan alat
modern.
Dalam penelitian Hasan Hathout mengenai aborsi antara agama
dan kedokteran dikatakan, bahwa hak hidup telah ditetapkan dalam
Islam, dan itu berlaku pada janin. Namun, sebagian ahli fiqh dahulu
membagi kehidupan janin menjadi dua bagian yang dibedakan dengan
dimulainya ibu merasakan gerakan janin dalam perutnya. Hal ini
biasanya terjadi pada akhir bulan keempat kehamilan.
Kelompok ahli fiqh ini mengira bahwa perasaan tersebut
disebabkan denyut kehidupan di dalam janin, atau yang mereka sebut
peniupan ruh. Tetapi kemajuan kedokteran telah menguak fakta bahwa
perasaan ibu akan gerakan janin tidak timbul dari gerakan ini.

B. KEHAMILAN DALAM BUDAYA JAWA


Negara Indonesia merupakan negara kaya tradisi dan adat istiadat.
Berbagai macam tradisi hadir dari berbagai sudut daerah. Tradisi yang
melekat pada setiap daerah merupakan tradisi yang turun menurun dari
nenek moyang, salah satunya di daerah pulau Jawa. Daerah ini merupakan
salah satu daerah yang masih kaya akan tradisi dan budaya dari nenek
moyang. Lahirnya suatu tradisi biasanya berkaitan erat dengan peristiwa
alam atau bencana yang terjadi. Sebagian besar peristiwa tersebut akan
dikaitkan dengan serangkaian ritual tertentu. Ritual yang dilaksanakan tidak
lepas dari berbagai simbol dan arti. Bentuk kebudayaan sering diwujudkan
berupa simbol-simbol, masyarakat Jawa kaya akan sistem simbol tersebut.

11
Sepanjang sejarah masyarakat Jawa, simbol telah mewarnai tingkah laku,
bahasa, ilmu pengetahuan, dan religi. Sistem simbol digunakan sebagai
media untuk menyampaikan pesan. Salah satu tradisi yang masih bertahan
dimasyarakat hingga saat ini adalah tradisi mitoni.
Tradisi ini dilaksanakan pada ibu hamil pertama saat kandungan
berusia 7 bulan. Mitoni merupakan ungkapan rasa syukur serta
permohonan agar diberi perlindungan dan keselamatan kepada ibu hamil
dan bayi yang akan lahir. Tradisi ini berkembang di daerah pulau jawa.
Tradisi mitoni terdiri dari beberapa rangkaian acara yang berbeda di setiap
daerahnya. Namun sebagian besar daerah memiliki kesamaan bentuk acara
pada pelaksanaan mitoni, antara lain: membuat rujak, siraman calon ibu,
memasukkan telur ayam kampong, pantes-pantes, membelah kelapa gading,
dan selamatan. Waktu pelaksanaan acara mitoni tergantung dari tuan rumah
hajat. Biasannya pagi hari, sore atau malam hari.
Mitoni merupakan tradisi yang sudah cukup mendarah daging di
kalangan masyarakat, maka muncul suatu mitos yang menyatakan bahwa
jika tidak melakukan mitoni, maka dikhawatirka akan terjadi hal-hal buruk
pada ibu hamil dan jabang bayi. Mitos ini lahir karena tradisi mitoni
merupakan tradisi yang kental di masyarakat. Sebagian besar masyarakat
akan melakukan mitoni saat kehamilan pertama. Hal ini dapat
memunculkan pertanyaan apakah ada hubungan antara keselamatan ibu
hamil dan bayi dalam tradisi mitoni?. Berdasarkan pola pikir tersebut maka
makalah ini akan memaparkan tentang kebenaran mitos pada mitoni dan
hubungannya dengan keselamatan bagi calon ibu dan bayi dalam
kandungan.
1. Mitoni
Mitoni berasal dari Bahasa Jawa “pitu” yang artinya tujuh. Angka
tujuh ini dimaksudkan bahwa mitoni adalah ritual yang dilaksanakan
pada saat bayi menginjak usia tujuh bulan dalam kandungan (Adriana,
2011). Selain mitoni, pada umumnya masyarakat juga menyebutnya
sebagai tingkeban. Tingkeb artinya tutup, sehingga tingkeban merupakan
upacara penutup selama kehamilan sampai bayi dilahirkan. Upacara
tingkeban atau mitoni adalah upacara yang diselenggarakan pada bulan

12
ke tujuh masa kehamilan dan hanya dilakukan terhadap anak yang
dikandung sebagai anak pertama bagi kedua orang tuanya. Hal ini tidak
terlepas dari persepsi dan keyakinan orang Jawa bahwa tujuh dalam
bahasa Jawa adalah pitu yang berarti pituduh (petunjuk), pitulung
(pertolongan). Salah satu dari tujuan dilakukannya acara tradisi mitoni
yakni memohon pertolongan kepada Allah (Nasir, 2016). Upacara ini
diselenggarakan untuk memohon keselamatan, baik bagi ibu yang
mengandung maupun calon bayi yang akan dilahirkan (Prabawa, 2012).
Mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai
saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Mitoni adalah
upacara yang dilakukan saat usia kandungan seorang ibu hamil berumur
tujuh bulan. Upacara tujuh bulan dalam masyarakat Jawa paling sering
dilakukan di kalangan masyarakat Jawa dibandingkan upacara
kehamilan lainnya. Upacara mitoni pada masa sekarang masih dilakukan
oleh masyarakat Jawa baik dilingkungan keraton maupun di lingkungan
masyarakat biasa. (Yana, 2010).
Prosesi tata cara pelaksanaan mitoni pada setiap daerah berbeda-
beda, tergantung pelaksana dan pemangku adat yang ada di daerah
tersebut. Ada yang hanya menggunakan tradisi Jawa saja, ada yang
hanya mengundang orang agar dibacakan tujuh surat dalam al-Qur’an
saja, dan ada juga yang melaksanakan keduanya. Pada upacara mitoni
terdapat beberapa rangkaian acara seperti siraman, kenduri, pantes-
pantes, pembacaan surat-surat al-Qur’an dan lain sebagainya. Pada
pelaksanaan acara ini dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, para
sesepuh serta tokoh agama (Nasir, 2016).
Menurut Fitroh (2014) Secara teknis, penyelenggaraan upacara
ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap
sebagai tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti
mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan,
serangkaian upacara yang diselengggarakan pada ritual tingkeban secara
garis besar adalah sebagai berikut:
1) Membuat Rujak

13
Dalam tradisi Jawa membuat rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi.
Jika bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir prempuan.
Bila tidak asin biasanya lahir laki-laki. Akan tetapi karena teknologi
medis sudah ada sedemikian canggih, sampai ditemukan USG empat
dimensi. Jenis kelamin bayi sudah dapat diketahui lebih dini.
2) Siraman calon ibu
Upacara siraman dilakukan oleh sesepuh atau keluarga dari pemilik
hajat sebanyak tujuh orang. Hal ini bertujuan untuk memohon doa
restu, supaya suci lahir dan batin. Calon ibu memakai kain 7 batik
yang dililitkan (kemben) pada tubuhnya. Dalam posisi duduk, calon
ibu mula-mula disirami oleh suaminya, lalu oleh orang tua dan
keluarga lainnya. Maksud upacara ini adalah untuk mencuci semua
kotoran dan hal-hal negatif lainnya.
3) Memasukkan telur ayam kampong
Setelah siraman, telur ayam kampung di masukkan ke dalam kain si
calon ibu oleh sang suami melalui dari atas perut lalu telur dilepas
sehingga pecah. Upacara ini dilakukan di tempat siraman sebagai
simbol harapan agar bayi lahir dengan lancar dan selamat.
4) Pantes-Pantes atau Ganti Busana 7 kali
Upacara pantes-pantes adalah upacara ganti busana yang dilakukan
dengan tujuh jenis kain batik yang berbeda. Motif kain batik dan
kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan si
bayi kelak memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang
kain. Fungsi dan tujuan busana pada mitoni berkaitan dengan
pengharapan, dan keselamatan lahirnya bayi ( Nurcahyanti, 2010).
Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan
busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang
hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas menggunakan busana-
busana tersebut memberikan jawaban : “dereng Pantes” (belum
pantas). Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik
dengan motif sederhana, yaitu Lasem, baru ibu-ibu yang hadir
menjawab : “pantes” (pantas). Ini melambangkan doa agar si bayi
nantinya menjadi orang yang sederhana. Angka 7 melambangkan 7
lubang tubuh (2 di mata, 2 di telinga, 1 hidung, 1 di mulut, dan 1 di

14
alat kelamin), yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya.
Ada pengertian lain dari angka 7 ini disebut keratabasa. Angka 7,
dalam bahasa jawa disebut pitu, keratabasa dari pitu-lungan
(pertolongan). Motif kain dan kemben yang akan di pakai yang
terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-
kebaikan yang tersirat dalam lambung kain:
a. Sidoluhur : Maknanya agar anak menjadi orang yang sopan dan
berbudi pekerti luhur.
b. Sidomukti : Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang
yang mukti wibawa, yaitu berbahagia dan disegani karena
kewibawaannya.
c. Truntum : Maknanya agar keluhuran budi orangtuanya menurun
(tumaruntum) pada sang bayi.
d. Wahyu tumurun : Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi
orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan selalu mendapat petunjuk dan perlindungan dari-
Nya.
e. Udan riris : Maknanya agar anak dapat membuat situasi yang
menyegarkan, enak dipandang, dan menyenangkan siapa saja
yang bergaul dengannya.
f. Sido asih : Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang
yang selalu di cintai dan dikasihi oleh sesama serta mempunyai
sifat belas kasih.
g. Lasem : Bermotif garis vertikal, bermakna semoga anak
senantiasa bertakwa pada Tuhan yang Maha Esa.
5) Membelah kelapa gading
Selanjutnya dua butir kelapa gading yang masing-masing telah
digambari Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih, gambar tokoh wayang
melambangkan doa, agar nantinya si bayi jika laki-laki akan setampan
Dewa kamajaya dan jika wanita secantik Dewi Ratih. Kedua dewa
dan dewi ini merupakan lambang kasih sayang sejati. Oleh si calon
ibu, kedua butir kelapa diserahkan pada suaminya (calon bapak), yang
akan membelah kedua butir kelapa gading menjadi dua bagian dengan

15
bendo. Ini melambangkan, bahwa jenis kelamin apapun, nantinya,
terserah pada kekuasaan Allah.
6) Selamatan
Selamatan dilaksanakan pada malam hari setelah melalui beberapa
ritual yang disebutkan diatas. Terkadang sebagian masyarakat
menggabungkan acara selama Bentuk selamatan disini tuan rumah
mengundang para warga khususnya para Bapak Kyai atau Ustadz
untuk datang kerumah pada jam yang telah ditentukan. Beberapa surat
yang sering dipilih dalam pembacaan Al-Qur’an pada acara mitoni
antara lainsurat Yusuf, Luqman, Maryam, Yasin, Al-Wa’qiah, Ar-
Rahman, Al-Mulk, Toha dan An-Nur. Surat-surat yang dipilih tidak
terlepas dari makna dan harapan-harapan kepada bayi yang akan
dilahirkan kelak. Misalnya surat Yusuf, pembacaan surat ini
diharapkan bahwa anak yang kelak lahir adalah anak yang tampan
dan memiliki sifat-sifat baik seperti Nabi Yusuf, pembacaan Surat
Maryam bertujuan agar bayi yang dilahirkan jika perempuan akan
menjadi wanita suci dan solihah, begitu juga dengan surat-surat
lainnya.
2. Mitos
Menurut Murniatmo (2000), tingkeban adalah upacara yang
diadakan untuk keselamatan seorang perempuan yang pertama kali
mengandung beserta anak yang dikanduungnya. Upacara ini diadakan pada
saat kandungan berumur tujuh bulan sehingga disebut juga sebagai upacara
mitoni. Sementara bagi orang Jawa, upacara tingkeban atau mitoni
merupakan upacara terpenting di antara upacara lain yang berhubungan
dengan kehamilan. Mereka beranggapan jika tidak melakukan upacara ini
akan timbul akibat yang tidak diharapkan bagi keselamatan ibu dan anak
yang akan dilahirkannya. Untuk melaksanakan upacara tingkeban atau
mitoni telah ada ketentuannya. Adapun ketentuan tanggal untuk
melaksanakan upacara mitoni yaitu tanggal ganjil menurut perhitungan
Jawa dan tanggal-tanggal sebelum bulan purnama.
Upacara mitoni merupkan upacara peralihan yang dipercaya sebagai
sarana untuk menghilangkan petaka, yaitu semacam inisiasi yang
menunjukkan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-

16
unsur kepercayaan lama. Selain sebagai penghayatan unsur-unsur
kepercayaan lama, dalam upacara mitoni juga terdapat suatu aspek
solidaritas primordial terutama adalah adat istiadat yang secara turun
temurun dan dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Mengabaikan adat
istiadat akan mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang
bersangkutan di mata kelompok sosial masyarakatnya ( Yana, 2010).
3. Perilaku Ibu Hamil

Berdasarkan gambar 1 perilaku perawatan kehamilan informan


dalam penelitian ini yaitu seluruh informan melakukan ritual pada saat
hamil berupa ngupati dan mitoni namun dalam melaksanakan ritual dengan
cara yang berbeda-beda. Ngupati adalah ritual 4 bulan masa kehamilan oleh

17
masyarakat Jawa, ditandai dengan upacara pemberian makananan yang
salah satu menunya adalah ketupat. Mitoni ini dilaksanakan pada bulan ke-7
pada kehamilan pertama. Kata pitu juga bisa berarti pitulungan untuk
memohon berkah kepada Tuhan untuk keselamatan calon orang tua dan
anaknya.
Selain melakukan ritual ngupati dan mitoni 3 orang informan utama
melakukan pantangan makanan yaitu tidak boleh makan udang, ikan yang
bersisik, daun melinjo dan nanas. Informan utama juga mempercayai
beberapa mitos kehamilan antara lain: tidak boleh membunuh binatang,
tidak boleh tidur siang, ibu hamil memakai sambetan yaitu berupa rempah
rempah yang dibungkus kain kemudian disematkan di baju, memakai
gunting dan alat pemotong kuku, tidak boleh membenci orang, tidak boleh
keluar pada saat maghrib dan apabila keluar rambut tidak boleh diikat.
Seluruh informan dalam penelitian ini melakukan perilaku tersebut karena
anjuran yang diberikan oleh orangtua atau mertuanya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Devy (2011) Pengaruh
budaya yang terdapat di lingkungan responden cukup kuat seperti adanya
mitos seputar kehamilan dan persalinan. Hal ini dikarenakan pendidikan
yang rendah dan budaya generasi sebelumnya serta kepatuhan terhadap
anjuran orang tua. Adanya pengaruh budaya (mitos) seputar kehamilan
yang cukup kuat mengakibatkan informan lebih mempercayai budaya
tersebut dari pada anjuran tenaga kesehatan (dokter dan bidan).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryawati
(2007) Pengaruh budaya masih tampak pada praktik selama kehamilan.
Praktik tersebut terutama dilakukan oleh ibu hamil yang masih tinggal
dengan orang tua atau kerabat yang memiliki kepercayaan dan tradisi Jawa
yang masih kental. Kebudayaan Jawa dijumpai pantangan yang harus
dipenuhi oleh bapak atau ibu, misalnya tidak boleh menyiksa atau
membunuh binatang dan tidak boleh mengejek orang cacat supaya si bayi
dapat lahir dengan selamat dan tidak cacat.

C. TRADISI BLOOD TABOO SUKU PAPUA


Blood Taboo merupakan tradisi dimana seorang ibu yang akan bersalin
harus tinggal sendirian di pondok kayu yang jauh dari rumah dan
18
keluarganya.  Ini karena darah nifas dari ibu yang bersalin dianggap taboo
dan membawa sial bagi keluarga sehingga harus dijauhkan dari keluarga.
Tradisi blood taboo atau tindakan isolasi perempuan yang didasari
anggapan bahwa darah yang dikeluarkan perempuan pada saat menstruasi
atau saat melahirkan (persalinan) adalah darah yang membawa sial masih
terjadi di berbagai wilayah Papua.
Fakta tersebut diungkapkan oleh inisiator sekaligus penanggung jawab
Balai Kesehatan Terpadu Ibu dan Anak Mimika, dr. Tjondro Indarto kepada
indonesiatimur.co ketika dihubungi melalui ponsel. Menurutnya walaupun
beragam perlakuannya, tradisi blood taboo ini masih terjadi di berbagai
tempat di Papua maupun Papua Barat.
“Bentuk perlakuan itu misalnya Ibu Hamil Suku Burate & suku rawa-
rawa lainnya di Nabire, bila tiba saatnya untuk melahirkan tiba mereka
diisolasi di luar kampungnya dan tidak boleh keluar dari pagar yang telah
ditentukan.” katanya menjelaskan.
Secara tegas dokter yang juga pendiri Gerakan Sayang Ibu Papua ini
menyatakan bahwa tradisi pengisolasian perempuan hamil itu tidak terjadi
hanya di pelosok-pelosok saja, namun juga di kota-kota besar seperti
Timika dan kota lainnya di Papua. Tentunya tradisi ini dapat dinilai kurang
menghargai ibu dan kesehatannya.
“Aktivitas seperti makan, memasak, kebelakang, & tidur selama
kurang-lebih 2-3 minggu menunggu proses persalinan sendirian ditengah
hutan belantara atau di pantai, bila Ibu meninggal semuanya menjadi abu.
Semua itu hingga masa persalinan tiba dilewati sendiri oleh sang ibu di
lokasi isolasi di luar kampung..
Tradisi ini menyebabkan banyak sekali kejadian kematian ibu dan anak
di tanah Papua. Hal ini disebabkan karena ibu yang bersalin harus
menghadapi persalinan seorang diri tanpa pertolongan siapapun. Hingga
diawal tahun 2000-an masih ada dijumpai beberapa suku yang menerapkan
tradisi ini. Padahal akses dan pelayanan kesehatan sudah disediakan
pemerintah dengan mudah bagi seluruh warga asli papua.
Hingga tahun 2015, angka Infant Mortality Rate atau angka kematian
bayi per 1000 kelahiran di tanah Papua secara umum masih mencapai 36,09

19
yang berarti masih terdapat 36 kejadian kematian dari 1000 kelahiran yang
terjadi sepanjang tahun 2015. Pun halnya untuk penolong persalinan ibu
pada kelahiran terakhir di tahun 2015, masih terdapat 38,62 persen yang
penolong persalinannya bukan tenaga medis.
Tradisi blood taboo menjadi epic dalam kemajuan sains dan teknologi
di era millennium saat ini. Di tengah upaya menurunkan angka kematian
bayi dan ibu, tidak dipungkiri bahwa pemahaman ini menjadi tantangan
tersendiri bagi wilayah Papua. Butuh strategi khusus agar dapat
menanamkan pemahaman terhadap kesehatan ibu dan anak sehingga dapat
mendorong penurunan angka kematian bayi dan ibu yang disebabkan oleh
proses persalinan.

20
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan

Penciptaan berbeda dengan pembentukan, dan penciptaan terjadi lebih


dahulu, baru kemudian disusul pembentukan. Allah menciptakan manusia di
dalam rahim dalam tiga penciptaan. Dia menjadikannya‘alaqah, lalu
mudhghah, kemudian menjadikannya bentuk yang dapat dikenali dan berbeda
dari yang lain menurut karakteristiknya. Peniupan ruh terjadi setelah fase
mudhghah, yaitu setelah seratus dua puluh hari. Dengan adanya peniupan ruh
ke dalam janin berarti menetapkan hukum kehidupan baginya, dan
menganggapnya sebagai anak Adam yang hidup, sehingga haram
menganiayanya dengan cara aborsi atau cara lain, karena itu berarti
menganiaya manusia yang hidup. Tidak ada perbedaan sama sekali antara
nas-nas syar’iyyah dengan keterangan ahli kedokteran dalam masalah
penciptaan dan pembentukan janin.

Dalam budaya jawa Negara Indonesia merupakan negara kaya tradisi


dan adat istiadat. Berbagai macam tradisi hadir dari berbagai sudut daerah.
Tradisi yang melekat pada setiap daerah merupakan tradisi yang turun
menurun dari nenek moyang, salah satunya di daerah pulau Jawa. Daerah ini
merupakan salah satu daerah yang masih kaya akan tradisi dan budaya dari
nenek moyang. Lahirnya suatu tradisi biasanya berkaitan erat dengan
peristiwa alam atau bencana yang terjadi. Sebagian besar peristiwa tersebut
akan dikaitkan dengan serangkaian ritual tertentu.

Dalam Blood Taboo merupakan tradisi dimana seorang ibu yang akan
bersalin harus tinggal sendirian di pondok kayu yang jauh dari rumah dan
keluarganya.  Ini karena darah nifas dari ibu yang bersalin dianggap taboo
dan membawa sial bagi keluarga sehingga harus dijauhkan dari keluarga.

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kamisangat mengharap
kritik dan saran yang dapat membangun dalam makalah diatas.

21
DAFTAR PUSTAKA

(Ni Putu, Perilaku Perawatan Kehamilan Dalam Perspektif Budaya Jawa 61)

Jurnal Kesmas Indonesia, Volume 8 No 1, Januari 2016, Hal 56-66

Adriana, Iswah (2011). Neloni, Mitoni atau Tingkeban. Jurnal Karsa 19 (2):239-
247

Nasir, Muhammad Fauzan, 2016. Pembacaan Tujuh Surat Pilihan Al-Qur’an


dalam Tradisi Mitoni. Skripsi. Surakarta: Jurusan Ilmu Al-qur’an dan Tafsir
IAIN Surakarta.

Maulana, Yudi. 2019. “The Blood Tabo”, http://papua.bkkbn.go.id/?


p=911#:~:text=Blood%20Taboo%20merupakan%20tradisi%20dimana,sehingga
%20harus%20dijauhkan%20dari%20keluarga., diakses pada 8 Desember 2020
pukul 21.00.

http://intangirls.multiply.com/journal/item/32/Proses-Penciptaan-Manusia-di-
Dalam-Al-Quran, diakses pada tanggal 9 desember 2020 puku 10.00.

22

Anda mungkin juga menyukai