Anda di halaman 1dari 109

LAPORAN TUTORIAL SISTEM GUS

Acute Post Streptococcal Glomerulonephritis

Tutor: Mia Yasmina, dr., SpKK., M.Kes

Disusun oleh:

Kelompok 10:

10100116129 Chirgo Rahmat Basdiwo


10100118024 Ratu Dobit Magfiroh
10100118052 Laisa Khosi
10100118067 Siti Nurrani Yunia Sari
10100118078 Adila Putri Rahmandhita
10100118090 Salsabila Berlianisa
10100118096 Shahnaz Salsabilla Putri
10100118105 Danty Rahmanita
10100118107 Rury Kemara Giri
10100118174 Luthfiyah Salsabilla

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, laporan case 1 ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Rasulallah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman. Aamiin.
Dengan disusunnya laporan ini kami harap akan membawa manfaat baik bagi kami
sebagai penyusun maupun bagi semua pembaca yang membaca laporan yang kami susun ini.
Pada kesempatan ini kami semua juga ingin mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu kelacaran penyusunan laporan ini, serta saran-saran yang telah
diberikan dan tak lupa kepada teman-teman satu kelompok atas kerjasamanya.
Kami sadar bahwa dalam laporan ini masih banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu, kami
meminta maaf atas kekurangan. Saran dan kritik yang membangun akan kami terima dengan
hati terbuka untuk pembelajaran di masa yang akan datang agar menjadi pelajar yang lebih
baik lagi.

Bandung, 6 Desember 2020

Kelompok 10

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................2

2
REVIEW CASE........................................................................................................................4
BAB I BASIC SCIENCE..........................................................................................................5
1.1 ANATOMI GINJAL.................................................................................................................5
1.2 HISTOLOGI GINJAL............................................................................................................14
1.3 FISIOLOGI.............................................................................................................................24
BAB II CLINICAL SCIENCE...............................................................................................64
2.1 KIDNEY INJURY...................................................................................................................64
2.2 ACUTE KIDNEY INJURY....................................................................................................65
2.3 CHRONIC KIDNEY DISEASE.............................................................................................79
2.4 MANAGEMENT AKI............................................................................................................92
2.5 INTERPRETASI.....................................................................................................................96
BAB III..................................................................................................................................106
PATOMEKANISME,BHP,IIMC.........................................................................................106
3.1 PATOMEKANISME............................................................................................................106
3.2 BHP........................................................................................................................................107
3.3 IIMC.......................................................................................................................................107
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................108

3
REVIEW CASE

Wanita A, 33 tahun 
Chief Complaint : 
Demam sejak kemarin
Additional Complaint : 
 Menggigil
 Nyeri pada bagian left flank
 Mual dan muntah
Past History : 
 2 minggu keinginan untuk BAK yang persisten dan frekuensi untuk berkemih
 Adanya rasa terbakar saat berkemih
 Menyangkal kesulitan berkemih atau tidak adanya batu saat berkemih
Physical examination :
 Sadar, tetapi terlihat sakit sedang
 Denyut nadi 108x / menit (meningkat)
 Suhu 39,2 derajat celcius (meningkat)
 Palpasi suprapubik: nyeri tekan (+)
 Dibagian regio flank, ketika di tekan dibagian abdomen perkusi pada bagian left flank
(+) atau nyeri tekan di costovertebral angle
Laboratory Findings : 
 Leukosit: 14.000/mm3 (meningkat)
 Urinalysis: 
Makroskopik: claudy
Mikroskopik: spesifik gravitasi (meningkat), proteinuria (+1),     RBC: 10-15/HPF, WBC: 10-
15/HPF, epitel (+), nitrit (+)
Cultur Urine:
 E. Coli (+): 5,6 x 109 CFU
Diagnosis : Acute left pyelonephritis and cystitis

4
BAB I
BASIC SCIENCE

1.1 ANATOMI GINJAL

 Lokasinya retroperitoneal 
 Ginjal kanan lebih rendah daripada ginjal kiri karena terdapat lobus kanan hati di
atasnya. 
 Posisi ginjal kiri pada T11-L2, Ginjal Kanan pada T12-L3. 
 Superior: diafragma 
 Inferior: muskulus quadratus lumborum 
 Bagian posterior ginjal: secara diagonal melintang subcostal nerve and vessel, and
iliohypogastric & ilioinguinal nerve menurun. 
 Anterior Ginjal kanan : liver (dipisahkan oleh hepatorenal recess), duodenum dan
ascending colon. 
 Anterior Ginjal kiri : gaster, spleen, pankreas, jejenum, dan descending colon. 
 Renal ditutupi oleh renal kapsul.
 Diluar renal capsule, terdapat akumulasi extraperitoneal fat yaitu perinephric fat
(corpus adiposum perirenale) yang mengelilingi seluruh ginjal.
 Corpus adiposum diselimuti oleh fascia renalis.

5
6
Struktur
 Anterior surface dan posterior surface. 
 Margin medial berbentuk cekung dan margin lateral cembung. 
 Terdapat dua kutub yaitu Superior pole dan inferior pole 
 Hilum ginjal : tempat masuknya arteri renalis, vena renalis, dan pelvis renalis. Pada
hilum ini, vena renalis adalah anterior terhadap arteri renalis yang juga anterior
terhadap pelvis renalis. Renal hilummeluas membentuk cavity yaitu renal sinus.
 Terdapat lapisan pembungkus ginjal yaitu jaringan ikat yang disebut renal fascia dan
terdapat lemak perirenal dan pararenal

7
Internal ginjal : 
o Setiap ginjal memilki 3 regio, yaitu kortex, medula dan pelvis renalis. 
o Cortex merupakan bagian terluar ginjal, warnanya merah terang. Terbagi
menjadi outer cortical zone dan inner juxstamedulary zone.
o Medulla bagian yang lebih dalam yang terdapar pyramidal ginjal dan
collecting system, warnanya merah gelap
o Di pyramidal ginjal terdapat unit fungsional ginjal yaitu nephron. Bagian base
dari pyramid ini menghadap/berada di dekat cortex, dan bagian apex nya (renal
papilla) menghadap ke hilum.
o Renal Column adalah bagian dari cortex yang terletak diantara pyramidal yang
berada di medulla. 
o Renal lobe terdiri dari 1 renal pyramid + renal column disekitar pyramid
tersebut + area renal cortex.
o Pelvis renalis adalah superior end of the ureter yang berbentuk rata dan seperti
corong yang memanjang. Pelvis renalis menerima 2-3 major calices. setiap major
calyx menerima 2-3 minor caliyx. Setiap minor calyx terdapat sebuah papila renalis,
yang merupakan ujung (apex) dari piramida renalis. 

8
Arteries

9
10
Veins

11
Lymphatics

12
 Pembuluh limfatik ginjal mengikuti vena ginjal dan mengalir ke kelenjar getah bening
lumbar kanan dan kiri (caval dan aorta)

Nerve

 Saraf ke ginjal berasal dari pleksus saraf ginjal dan terdiri dari serabut simpatis dan
parasimpatis
 Pleksus saraf ginjal disuplai oleh serabut dari saraf splanknikus abdominopelvis

13
 Serabut aferen viseral yang menyampaikan sensasi nyeri (misalnya akibat obstruksi
dan distensi) mengikuti serabut simpatis ke ganglia spinal dan segmen medula
spinalis T11-L2.

1.2 HISTOLOGI GINJAL

Setiap ginjal memiliki sisi medial cekung yaitu hilus yaitu tempat masuknya saraf,
keluarnya ureter serta masuk dan keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe.
Permukaan lateral yang cembung dilapisi oleh suatu simpai fibrosa tipis.
Ujung atas ureter disebut pelvis renalis terdiri dari dua atau tiga calix major →
bercabang menjadi lebih kecil calix minor. Area yang mengelilingi calix disebut sinus
renalis biasanya mengandung sejumla jaringan adiposa.
Ginjal memiliki korteks (luar) dan medula (dalam). medula ginjal terdiri atas 8-15
struktur berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal. Diantara piramida ginjal
dipisahkan oleh columna renalis. Setiap piramida ginjal dan jaringan korteks di dasarnya dan
disepanjang sisinya membentuk suatu lobus ginjal.

14
Setiap ginjal terdiri atas 1-1,4 juta unit fungsional yang disebut nefron. cabang utama
setiap nefron adalah :
 Renal corpuscle yaitu penebalan bagian awal di korteks.
 Proximal convoluted tubule yang terutama berada di korteks.
 Distal convoluted tubule
 Thin descending limb dan thick ascending limb bagian dari loop of henle yang
menurun ke dalam medula, dan menanjak kembali ke korteks.
 Macula densa dari sejumlah nefron berkonvergensi ke dalam connecting tubule→
collecting duct yang mengangkut urine ke calix dan ureter.
Nefron korteks berada hampir sepenuhnya di korteks sementara nefron jukstamedular di
dekat medula memiliki gelung panjang medula.

15
Korpuskel Ginjal dan Filtrasi Darah

 Pada bagian awal setiap nefron terdapat sebuah renal corpuscle berdiameter
sekitar 200 µm dan mengandung seberkas kapiler, glomerulus, yang dikelilingi
oleh simpai epitel berdinding ganda disebut glomerular (bowman)capsule .
 Lapisan internal (lapisan viseral) simpai menyelubungi kapiler glomerulus.
Lapisan parietal ekternal membentuk permukaan luar simpai terdiri atas selapis
epitel skuamosa yang ditunjang lamina basal dan selapis tipis serat retikular di
luar.
 Dikutub tubular, epitelnya berubah menjadi epitel selapis kuboid yang menjadi
ciri tubulus proksimal
 Diantara lapisan viseral dan lapisan parietal terdapat capsular space (ruang
perkemihan) yang menampung cairan yang disaring melalui dinding kapiler dan
lapisan viseral. Setiap korpuskel ginjal memiliki kutup vaskular (polus
vascularis) tempat masuknya arteriol aferen dan perkemihan, serta memiliki
kutup tubular (polus tubularis) tempat tubulus kontortus proksimal berasal .

16
Pada Sel-sel lapisan viseral ini terdapat epithelial sel disebut podosit cell, memiliki
badan sel yang menjulurkan beberapa prosesus primer. Setiap prosesus primer menjulurkan

17
banyak prosesus (kaki) sekunder atau pedikel yang memeluk bagian kapiler glomerulus.
Badan sel podosit tidak berkontak langsung dengan membran basal kapiler tetapi setiap
pedikel berkontak langsung dengan struktur tersebut .

Selain sel endotel kapiler dan podosit, korpuskel ginjal juga mengandung sel mesangial,
yang menyerupai perisit dalam menghasilkan komponen suatu selubung lamina ekternal. Sel
ini dan matriks yang mengelilinginya membentuk mesangium (gambar 19-7), yang mengisi
ruang kecil di anara kapiler yang tidak memiliki podosit. Fungsi mesangium :

1. Penyangga fisis dan kontraksi-mesangium memberikan penyangga struktural internal


pada glomerulus dan seperti perisit, selnya berserpons terhadap zat vasoaktif untuk
membantu mempertahankan tekanan hidrostatis untuk laju filtrasi yang optimal.
2. Fagositosis-sel mesangial memfagositosis agregat protein yang melekat pada saringan
glomerulus, termasuk kompleks antobodi-antigen yang banyak dijumpai pada sejumlah
besar keadaan patologis.
3. Sekresi-sel menyintesis dan menyekresi sejumlah sitokin, prostaglandin, dan faktor
lain yang penting untuk pertahanan imun dan perbaikan di glomerulus.
Glomerular filtration barrier
Di antara sel-sel podosit endotel dari kapiler glomerulus dan podosit yang menutupi
permukaan luarnya, terdapat membran basal glomerular tebal (~0,1 µm). Membran ini
merupakan bagian yang paling bermakna pada sawar filtrasi yang memisahkan darah dalam

18
kapiler dari ruang kapsular. Membran basal ini terbentuk dari penyatuan basal lamina yang
dihasilkan kapiler dan podosit dan dipertahankan oleh podosit. 

Membran basal glomerulosa (GBM) merupakan sawar makromolekul yang selektif yang
berfungsi sebagai saringan fisis dan suatu sawar untuk molekul bermuatan negatif. Filtrat
glomerulus awal memiliki komposisi kimiawi yang serupa dengan komposisi plasma darah,
kecuali filtrat ini mengandung sangat sedikit protein karena makromolekul tidak mudah
melalui saringan glomerulus. Kapiler glomerulus khas berada di antara dua arteriol aferen
dan eferen dengan ototnya yang memungkinkan peningkatan tekanan hidrostatik pada
pembuluh-pembuluh darah ini.

Sawar filtrasi glomerulus terdiri atas 3 komponen berlapis yaitu Fenestrated capillary
endothelium, glomerular base membrane (utk blok large protein), dan filtration silts
diaphragm. Komponen utama penyaringan dibentuk oleh penyatuan lamina basal podosit dan
sel endotel kapiler.

Proximal convoluted tubules

19
Di kutub tubular korpuskel ginjal, epitel skuamosa pada lapisan parietal simpai bowman
berhubungan lansung dengan epitel kuboid proximal convoluted tubule. Sel tubulus
proksimal mereabsorpsi 60-65% air yang di saring dalam korpuskel ginjal, beserta hampir
semua nutrien, ion, vitamin, dan protein plasma kecil. Air dan zat terlarutnya diangkut secara
langsung melalui dinding tubulus dan segera diambil oleh kapiler peritubular.
Sel-sel tubulus proksimal memiliki sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya
sejumlah besar mitokondria. Apeks sel memiliki banyak mikrovili panjang yang membentuk
suatu brush border untuk reabsorpsi

Loop of henle
Strukturnya berbentuk U dengan segmen descendens dan segmen ascenden, keduanya
terdiri atas selapis epitel kuboid di dekat korteks, tetapi berupa epitel skuamosa di dalam
medula .Gelung nefron dan jaringan sekitarnya berperan dalam memekatkan urine dan
menyimpan air. 
Di medula luar, bagian lurus tubulus proksimal dengan diameter luar sekitas 60 µm →
menyempit sampai sekitar 12 µm → berlanjut sebagai segmen tipis descendens → segmen
tipis ascendens → thick ascending limb.

 Sel kuboid segmen ascendens tebal gelung tersebut aktif mengangkut natrium klorida
keluar dari tubulus dengan melawan gradien konsentrasi ke dalam jaringan ikat
interstisial yang kaya hialuronat, yang membuat kompartemen tersebut menjadi
hiperosmotik. 
 Sel skuamosa segmen descendens tipis gelung tersebut bersifat permeabel bebas
terhadap air tetapi tidak terhadap garam.

20
 Segmen ascendens tipis bersifat permeabel terhadap NaCl tetapi impermeabel
terhadap air.

Distal convoluted tubules dan Aparatus Juxtaglomerularis

Segmen tebal ascendens gelung nefron → menjadi lurus saat memasuki korteks → berkelok-
kelok → tubulus kontortus distal .
Selapis sel kuboid tubulus distal berbeda dengan sel selapis kuboid tubulus proksimal
karena lebih kecil dan tidak memiliki brush border,Karena sel-sel tubulus distal lebih gepeng

21
dan kecil maka tampak lebih banyak inti di dinding tubulus dital ketimbang tubulus
proksimal. 
Sel-sel tubulus distal memiliki banyak invaginasi membran basal dan mitokondria terkait
serupa dengan mitokondria tubulus proksimal yang menunjukan fungsi transfor-ionnya. 
Laju absorpsi Na+ dan sekresi K+ oleh pompa ion diatur oleh aldosteron dari kelenjar
adrenal dan penting untuk keseimbangan garam dan cairan tubuh. Tubulus distal juga
menyekresi H+ dan NH4+ ke dalam urine tubulus, suatu aktivitas yang penting untuk
pemeliharaan keseimbangan asam-basa di darah.

Bagian awal tubulus distal yang lurus → berkontak dengan kutub vaskular di korpuskel
ginjal nefron induknya → membentuk apparatus juxtaglomerularis (JGA) .Di tempat
kontak dengan arteriol, sel-sel tubulus distal menjadi kolumnar dan lebih erat terkemas
dengan inti apikal, kompleks golgi basal, dan sistem kanal dan pengangkut ion yang lebih
rumit dan bervariasi. 
 Bagian tebal dinding tubulus distal disebut macula dense. 
 Besebelahan dengan macula dense, tunica media arteriol afferen
termodifikasi.terdapat Sel otot polos membentuk suatu fenotipe sekretorik dengan inti
yang lebih bulat, RE kasar, komplek golgi dan granula zigomen disebut juxtaglomerular
cell 
 Fungsi dasar JGA dalam autoregulasi laju filtrasi glomerulus (Glomerular filration
rate) dan dalam pengaturan tekanan darah. 
 Peningkatan tekanan arterial → meningkatkan tekanan kapiler glomerulus →
meningkatkan GFR → menambahkan konsentrasi Na+ dan Cl- di nefron yang dipantau
oleh sel macula dense → peningkatan kadar ion → membuat sel-sel melepaskan ATP,

22
adenosine, dan senyawa vasoaktif lainnya → memicu kontraksi arteriol afferen →
menurunkan tekanan glomerulus dan mengurangi GFR → menurunkan konsentrasi ion
tubulus → menghentikan pelepasan vasokontriktor dari macula dense.
 Peningkatan tekanan arteri → meningkatkan stimulasi autonom pada JGA sebagai
akibat fungsi baroreseptor termasuk baroreseptor lokal di arteriol aferen dan mungkin sel-
sel JG itu sendiri → membuat sel-sel JG melepaskan renin → menguraikan protein
plasma angiotensinogen → menjasi dekapeptida inaktif (angiotensin 1) → enzim
pengonversi angiotensinogen pada kapiler paru → menguraikan menjadi angiotensin 2
(vasokontriktor poten) → yang secara langsung meningkatkan tekanan darah sistemik dan
merangsang kelenjar adrenal  → menyekresi aldosteron → meningkatkan Na+ dan air ke
tubulus kontortus distal → meningkatkan volume darah untuk membantu meningkatkan
tekanan darah. Kembalinya tekanan darah normal menghentikan sekresi renin oleh sel JG.
Collecting duct

● Bagian terakhir dari setiap nefron, connecting tubules yang membawa filtrat ke
dalam sistem pengumpul yang membawanya ke calyx minor dan di mana lebih
banyak air diserap kembali jika dibutuhkan oleh tubuh.,connecting tubule memanjang
dari setiap nefron dan beberapa bergabung bersama dalam di meduler kortikal untuk
membentuk collecting duct epitel kuboid sederhana dengan diameter rata-rata 40 μm.

● Connecting tubules dan collecting duct sebagian besar terdiri dari sel-sel utama
pewarnaan pucat dengan sedikit organel, mikrovili jarang, dan batas sel yang sangat
berbeda (Gambar 19-14). Secara ultra-struktural, sel utama dapat dilihat memiliki
lipatan membran basal, konsisten dengan perannya dalam transpor ion, dan silium

23
primer di antara mikrovili. Collecting duct dimedula adalah tempat terakhir
reabsorpsi air dari filtrat. Sel utama sangat kaya akan aquaporin, protein poripada
membran integral berfungsi sebagai saluran spesifik untuk molekul air, tetapi di sini
kebanyakan aquaporin diasingkan dalam vesikel sitoplasma membran.

1.3 FISIOLOGI
URINARY SYSTEM
Urinary system terdiri dari urine-forming organs yaitu kidney dan struktur yang membawa
urin dari kidney ke luar untuk dikeluarkan dari tubuh.
Kidney  Renal Pelvis  Ureter  Urinary Bladder  Uretra

Tiga proses dasar yang terlibat dalam pembentukan urin :


a. Glomerular filtration
b. Tubular reabsorption
c. Tubular secretion

A. Glomerular Filtration
Cairan yang disaring dari glomerulus ke dalam kapsul Bowman harus melewati tiga lapisan
yang yang membentuk membran glomerulus :
1) Glomerular capillary wall
o Terdiri dari single layer endothelial cells
o Lapisan sel endotel memiliki pori-pori berdiameter 70–100 nanometer (nm).
Karena pori-pori ini relatif besar, cairan, zat terlarut , dan protein plasma
semuanya disaring melintasi lapisan penghalang kapiler glomerulus ini. Di sisi
lain, pori-porinya tidak terlalu besar sehingga sel darah bisa disaring.

2) Basement membrane

24
o Merupakan lapisan gelatin aseluler yang terdiri dari kolagen dan glikoprotein yang
diapit di antara glomerulus dan kapsul Bowman.
o Fungsi Kolagen : Memberikan kekuatan structural
Fungsi Glikoprotein : Menghambat filtrasi protein plasma kecil.
o Protein plasma yang lebih besar tidak dapat disaring karena tidak dapat masuk
melalui pori-pori kapiler, tetapi pori-pori tersebut hanya memungkinkan untuk
lewatnya albumin, protein plasma terkecil.
o Namun, karena glikoprotein bermuatan negatif,akan menolak albumin dan protein
plasma lainnya, yang juga bermuatan negatif. Protein kecil yang menyelinap ke
dalam filtrat diambil oleh tubulus proksimal oleh endositosis yang dimediasi
reseptor, kemudian didegradasi menjadi asam amino yang dikembalikan ke darah.
Jadi, urin biasanya bebas protein.

3) Inner layer of bowman’s capsule


o Terdiri dari podocytes.
o Sebuah podocytes memiliki beberapa primary foot processes yang memanjang
yang masing-masing memiliki banyak cabang samping, atau secondary foot
processes.
o Secondary foot processes dari satu podocytes berselang-seling dengan secondary
foot processes dari podosit yang berdekatan saat mereka melingkari kapiler
glomerulus.
o Celah sempit antara secondary foot processes interdigitasi dari podosit yang
berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi (filtration slits), yang menyediakan jalur
di mana cairan yang keluar dari kapiler glomerulus dapat memasuki lumen kapsul
Bowman.
Secara kolektif, lapisan ini berfungsi sebagai saringan molekuler halus yang menahan sel
darah dan protein plasma tetapi memungkinkan H2O dan zat terlarut dengan dimensi molekul
kecil untuk disaring
Tekanan Starling
Untuk mencapai filtrasi glomerulus, suatu gaya harus mendorong sebagian plasma di
glomerulus melalui celah di membran glomerulus. Tekanan yang mendorong pergerakan
fluida melintasi dinding kapiler glomerulus adalah Tekanan Starling atau Gaya Starling.
Tiga kekuatan fisik yang terlibat dalam filtrasi glomerulus : glomerular capillary blood
pressure, plasma-colloid osmotic pressure, dan Bowman’s capsule hydrostatic pressure.
Glomerular capillary blood pressure mendukung filtrasi, sedangkan dua gaya lain melawan
filtrasi
a) Glomerular capillary blood pressure (hydrostatic)
o Diberikan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tergantung pada kontraksi
jantung (sumber energi yang menghasilkan filtrasi glomerulus) dan resistensi
terhadap aliran darah yang diberikan oleh arteriol aferen dan eferen.
o Glomerular capillary blood pressure, dengan perkiraan nilai rata-rata 55 mm Hg,
lebih tinggi dari tekanan darah kapiler di tempat lain. Alasan untuk tekanan yang

25
lebih tinggi adalah diameter yang lebih besar dari arteriol aferen dibandingkan
dengan arteriol eferen.
o Darah dapat mengalir lebih cepat ke dalam glomerulus melalui arteriol aferen
yang lebar daripada yang dapat keluar melalui arteriol eferen yang lebih sempit,
sehingga glomerular capillary blood pressure dipertahankan tetap tinggi sebagai
akibat dari darah yang membendung di kapiler glomerulus. Juga, karena resistensi
tinggi yang ditawarkan oleh arteriol eferen, tekanan darah tidak turun sepanjang
kapiler glomerulus.
o Tekanan darah glomerulus nondekremental yang meningkat ini cenderung
mendorong cairan keluar dari glomerulus ke dalam kapsul Bowman di sepanjang
kapiler glomerulus.

b) Plasma-colloid osmotic pressure (πp)


o Disebabkan oleh distribusi protein plasma yang tidak merata di seluruh membran
glomerulus.
o Protein plasma tidak dapat disaring sehingga mereka berada di kapiler glomerulus
tetapi tidak di kapsul Bowman.
o Dengan demikian, konsentrasi H2O lebih tinggi di kapsul Bowman daripada di
kapiler glomerulus.
o Kecenderungan yang dihasilkan untuk H2O untuk bergerak melalui osmosis
menuruni gradien konsentrasinya dari kapsul Bowman ke dalam glomerulus
melawan filtrasi glomerulus. Gaya osmotik yang berlawanan ini rata-rata 30 mm
Hg, yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kapiler lainnya. Ini lebih tinggi karena
lebih banyak H2O yang disaring dari darah glomerulus, sehingga konsentrasi
protein plasma lebih tinggi daripada di tempat lain.

c) Bowman’s capsule hydrostatic pressure


o Tekanan yang diberikan oleh fluida di bagian awal tubulus ini, diperkirakan
sekitar 15 mm Hg.
o Tekanan ini, yang cenderung mendorong cairan keluar dari kapsul Bowman,
melawan filtrasi cairan dari glomerulus ke dalam kapsul Bowman.

Glomerular Filtration Rate (GFR)


Gaya yang bekerja melintasi membran glomerulus tidak seimbang. Gaya total yang
mendukung filtrasi adalah Glomerular capillary blood pressure pada 55 mm Hg. Total dari
dua gaya yang berlawanan dengan filtrasi adalah 45 mm Hg.
Perbedaan bersih yang mendukung filtrasi (tekanan 10 mm Hg) disebut Net filtration
pressure. Tekanan sederhana ini memaksa sejumlah besar cairan dari darah melalui membran
glomerulus yang sangat permeabel. Laju filtrasi yang sebenarnya, Glomerular Filtration
(GFR), tidak hanya bergantung pada Net filtration pressure, tetapi juga pada seberapa banyak
luas permukaan glomerulus yang tersedia untuk penetrasi dan seberapa permeabel membran
glomerulus (yaitu, seberapa “berlubang” ini). Sifat-sifat membran glomerulus ini secara
kolektif disebut sebagai koefisien filtrasi (Kf). Demikian :

26
GFR = Kf X net filtration pressure
Biasanya, sekitar 20% dari plasma yang memasuki glomerulus disaring pada Net filtration
pressure 10 mm Hg, menghasilkan 180 liter glomerulus filtrat secara kolektif setiap hari
dengan GFR rata-rata 125 mL / menit pada laki-laki (160 L / hari, 115 mL / menit pada
wanita).
Perubahan GFR
Karena net filtration pressure yang menyelesaikan filtrasi glomerulus hanyalah hasil dari
ketidakseimbangan kekuatan fisik yang berlawanan antara glomerular capillary plasma dan
Bowman’s capsule fluid , perubahan gaya fisik ini dapat memengaruhi GFR
a) Unregulated
o Plasma-colloid osmotic pressure dan Bownman’s capsule hydrostatic pressure
biasanya tidak banyak berbeda dan tak terkendali/tidak dapat diregulasi.
o Namun, dapat berubah secara patologis dan dengan demikian secara tidak sengaja
memengaruhi GFR.
Plasma-colloid osmotic pressure
o Penurunan konsentrasi protein plasma  mengurangi dari πP  () GFR
o Peningkatan konsentrasi protein plasma  meningkatkan dari πP  ()
GFR
Bowman’s capsule hydrostatic pressure
o Bowman’s capsule hydrostatic pressure meningkat  Filtrasi menurun

b) Regulated
- Glomerular capillary blood pressure dapat dikontrol untuk menyesuaikan GFR
agar sesuai dengan kebutuhan tubuh.
- Besarnya Glomerular capillary blood pressure bergantung pada kecepatan aliran
darah di dalam masing-masing glomeruli. Jumlah darah yang mengalir ke
glomerulus per menit sangat ditentukan oleh :
1. Besarnya tekanan darah arteri sistemik rata-rata
2. Resistensi yang diberikan oleh arteriol aferen
o Jika resistensi arteriol aferen meningkat, darah yang mengalir ke
glomerulus lebih sedikit  GFR menurun.
o Jika resistensi arteriol aferen menurun, lebih banyak darah mengalir ke
glomerulus  GFR meningkat.
Regulasi GFR
Dua mekanisme kontrol utama regulasi GFR yang mana keduanya diarahkan untuk mengatur
aliran darah glomerulus dengan mengatur radius dan resistensi arteriol aferen. Mekanisme
tersebut antara lain :
1. Autoregulasi
- Autoregulasi ditujukan untuk mencegah perubahan spontan GFR
- Tekanan darah arteri merupakan kekuatan yang mendorong darah ke glomerulus
- Peningkatan tekanan darah arteri  GFR meningkat
- Penurunan tekanan darah arteri  GFR menurun

27
- Perubahan GFR yang spontan dan tidak disengaja sebagian besar dicegah oleh
mekanisme pengaturan intrinsik yang diprakarsai oleh ginjal itu sendiri, suatu
proses yang dikenal sebagai autoregulasi.
- Dua mekanisme berkontribusi pada autoregulasi GFR :
a) Mekanisme miogenik
o Otot polos vaskular arteriolar berkontraksi secara inheren sebagai respons
terhadap peregangan yang menyertai peningkatan tekanan di dalam
pembuluh. Oleh karena itu, arteriol aferen secara otomatis menyempit
dengan sendirinya saat diregangkan karena tekanan penggerak arteri yang
meningkat. Respon ini membantu membatasi aliran darah ke glomerulus
menjadi normal meskipun tekanan arteri meningkat.
o Sebaliknya, relaksasi inheren dari arteriol aferen yang tidak teregang
ketika tekanan di dalam pembuluh darah berkurang meningkatkan aliran
darah ke glomerulus meskipun tekanan arteri menurun.
b) Mekanisme tubuloglomerular feedback
o Mekanisme ini merasakan perubahan kadar garam dalam cairan yang
mengalir melalui komponen tubular nefron.
o Mekanisme tubuloglomerular feedback (TGF) melibatkan aparatus
juxtaglomerular, yang merupakan kombinasi khusus dari sel tubular dan
vaskular di mana tubulus, setelah membengkok ke belakang, melewati
sudut yang dibentuk oleh arteriol aferen dan eferen saat bergabung dengan
glomerulus . Sel otot polos di dalam dinding arteriol aferen di wilayah ini
dikhususkan untuk membentuk sel granular. Sel tubular khusus di wilayah
ini secara kolektif dikenal sebagai makula densa. Sel makula densa
mendeteksi perubahan kadar garam dari cairan yang mengalir melewatinya
melalui tubulus.
o Jika GFR meningkat karena peningkatan tekanan arteri  lebih banyak
cairan yang disaring dan mengalir ke tubulus distal  Menanggapi
peningkatan yang dihasilkan dalam pengiriman garam ke tubulus distal, sel
macula densa melepaskan ATP dan adenosin  keduanya bertindak secara
lokal sebagai parakrin pada arteriol aferen yang berdekatan,
menyebabkannya menyempit, sehingga mengurangi aliran darah
glomerulus dan mengembalikan GFR menjadi normal.
o Jika GFR menurun karena penurunan tekanan arteri  lebih sedikit cairan
yang disaring dan mengalir ke tubulus distal  lebih sedikit garam yang
dikirim ke tubulus distal  lebih sedikit ATP dan adenosin yang
dilepaskan oleh sel makula densa  Vasodilatasi arteriol aferen yang
dihasilkan meningkatkan laju aliran glomerulus, memulihkan GFR
menjadi normal.
o Selain itu, sel macula densa juga mensekresi oksida nitrat vasodilator,
yang mengerem aksi ATP dan adenosin di arteriol aferen. 

2. Extrinsic sympathetic control

28
- Ditujukan untuk regulasi tekanan darah arteri jangka panjang.
- Kontrol ekstrinsik GFR, yang dimediasi oleh input sistem saraf simpatis ke
arteriol aferen, ditujukan untuk regulasi tekanan darah arteri jangka panjang.
Sistem saraf parasimpatis tidak memberikan pengaruh apa pun pada ginjal.
Volume plasma menurun (misalnya : perdarahan)

Penurunan tekanan darah arteri

Dideteksi oleh sinus karotis arteri dan baroreseptor aorta arch

Dikoordinasikan oleh pusat kendali kardiovaskular di brainstem

Peningkatan aktivitas simpatis ke jantung dan pembuluh darah

- Meskipun peningkatan cardiac output dan resistensi perifer total membantu


meningkatkan tekanan darah ke arah normal dalam jangka pendek, volume plasma
masih berkurang.
- Dalam jangka panjang, volume plasma harus dikembalikan ke normal. Salah satu
kompensasi untuk volume plasma yang menipis adalah berkurangnya keluaran
urin sehingga lebih banyak cairan dari biasanya disimpan untuk tubuh. Output
urin berkurang sebagian dengan mengurangi GFR; jika lebih sedikit cairan yang
disaring, lebih sedikit yang tersedia untuk dikeluarkan.

29
B. Tubular Reabsorption dan Tubular Secretion
Zat yang akan direabsorbsi, pertama-tama harus diangkut (1) melintasi membran epitel
tubular ke dalam cairan interstisial ginjal dan kemudian (2) melalui membran kapiler
peritubular kembali ke dalam darah. Reabsorpsi melintasi epitel tubular ke dalam cairan
interstisial terdiri dari :
1. Transpor aktif
2. Transpor pasif
Kemudian, setelah absorpsi melalui sel epitel tubular ke dalam cairan interstisial, air dan zat
terlarut diangkut melalui dinding kapiler peritubular ke dalam darah dengan ultrafiltrasi
(bulk flow) yang dimediasi oleh gaya hydrostatic dan colloid osmotic.
Kapiler peritubular berperilaku seperti ujung vena dari kebanyakan kapiler lainnya karena
terdapat net reabsorptive force yang menggerakkan cairan dan zat terlarut dari interstisium ke
dalam darah.

1. Transpor Aktif
Transpor Aktif Primer
- Transpor aktif primer merupakan transpor yang digabungkan langsung ke sumber
energy.
- Energi untuk transpor aktif ini berasal dari hidrolisis ATP melalui ATPase yang
terikat membran, yang juga merupakan komponen mekanisme pembawa yang
mengikat dan memindahkan zat terlarut melintasi membran sel.
- Transporter aktif utama di ginjal termasuk natrium-kalium ATPase, hidrogen
ATPase, hydrogen-potasium ATPase, dan kalsium ATPase.

30
- Contoh yang baik dari sistem transpor aktif primer adalah reabsorpsi ion natrium
melintasi membran tubulus proksimal . Reabsorpsi aktif natrium oleh natrium-
kalium ATPase terjadi di sebagian besar bagian tubulus.
- Reabsorpsi bersih ion natrium dari lumen tubular kembali ke darah melibatkan
setidaknya tiga langkah:
a. Natrium berdifusi melintasi membran luminal ke dalam sel menuruni gradien
electrochemical yang dibentuk oleh pompa natrium-kalium ATPase di sisi
basolateral membran.
b. Natrium diangkut melintasi membran basolateral melawan gradien
electrochemic oleh pompa natrium-kalium ATPase.
c. Natrium, air, dan zat lainnya di reabsorpsi dari cairan interstisial ke dalam
kapiler peritubular dengan ultrafiltrasi, suatu proses pasif yang didorong oleh
gradien tekanan osmotik hidrostatis dan koloid.
Transpor Aktif Sekunder
- Transpor aktif sekunder merupakan transpor yang digabungkan secara tidak
langsung ke sumber energi, seperti yang disebabkan oleh gradien ion.
- Ketika salah satu zat (misalnya, natrium) berdifusi ke bawah gradien
electrochemical, energi yang dilepaskan digunakan untuk menggerakkan zat lain
(misalnya, glukosa) melawan gradien electrochemical nya. Jadi, transpor aktif
sekunder tidak memerlukan energi langsung dari ATP.
- Contoh : Reabsorpsi glukosa dan asam amino di tubulus proksimal.
- Sodium glucose co-transporters (SGLT2 dan SGLT1) terletak di brush border sel
tubular proksimal dan membawa glukosa ke dalam sitoplasma sel. Sekitar 90 %
dari glukosa yang difiltrasi, direabsorpsi oleh SGLT2 di bagian awal tubulus
proksimal dan 10 % sisanya diangkut oleh SGLT1 di segmen terakhir tubulus
proksimal.
- Di sisi basolateral membran, glukosa berdifusi keluar dari sel ke dalam ruang
interstisial dengan bantuan glucose transporters (GLUT2 dan GLUT1) dari
tubulus proksimal.

2. Transpor Pasif
- Reabsorpsi aktif Na+ menyebabkan reabsorpsi pasif CI-, H20, dan urea. Selain
reabsorpsi aktif sekunder glukosa dan asam amino yang berkaitan dengan pompa
Na+-K+ basolateral, reabsorpsi pasif Cl-, H20, dan urea juga bergantung pada
mekanisme reabsorpsi Na+ aktif ini.
Reabsorpsi Klorida
o Ketika natrium di reabsorpsi melalui sel epitel tubular, klorida diangkut
bersama natrium karena adanya potensi listrik. Artinya, pengangkutan ion
natrium bermuatan positif keluar dari lumen meninggalkan bagian dalam
lumen yang bermuatan negatif, dibandingkan dengan cairan interstisial.
Lingkungan ini menyebabkan ion klorida berdifusi secara pasif melalui
jalur paraseluler.

31
Reabsorpsi Air
o Meskipun zat terlarut dapat di reabsorpsi dengan mekanisme aktif dan /
atau pasif oleh tubulus, air selalu di reabsorpsi oleh mekanisme osmosis,
yang berarti difusi air dari wilayah konsentrasi zat terlarut rendah
(konsentrasi air tinggi) ke salah satu wilayah konsentrasi zat terlarut tinggi
(konsentrasi air rendah).
o H20 direabsorpsi secara pasif di seluruh panjang tubulus karena H20 secara
osmosis mengikuti Na+ yang direabsorpsi secara aktif. Dari H20 yang
difiltrasi, 65%- 117 liter sehari direabsorpsi secara pasif pada akhir tubulus
proksimal. Sebanyak 15% H20 yang difiltrasi direabsorpsi di lengkung
henle.
Reabsorpsi Urea
o Reabsorpsi pasif urea, selain Cl- dan H20, juga secara tak-langsung
berkaitan dengan reabsorpsi aktif Na+. Urea adalah suatu produk sisa dari
pemecahan protein. Reabsorpsi H20 yang berlangsung secara osmosis di
tubulus proksimal akibat reabsorpsi aktif Na+ menghasilkan gradien
konsentrasi untuk urea yang mendorong reabsorpsi pasif.
o Saat H2O di reabsorpsi dari tubulus, konsentrasi urea dalam lumen tubulus
meningkat. Peningkatan ini menciptakan gradien konsentrasi yang
mendukung reabsorpsi urea.
Reabsorpsi dan Sekresi pada bagian-bagian ginjal :
a. Reabsorpsi Tubuler Proximal

- Tubulus proksimal me-reabsorpsi sekitar :


o 65% natrium, klorida, bikarbonat, dan kalium yang difiltrasi
o Semua glukosa dan asam amino yang difiltrasi.
- Tubulus proksimal juga mensekresikan :
o Asam organik, basa, dan ion hidrogen ke dalam lumen tubular.
o Selain produk limbah metabolisme, ginjal mensekresikan banyak obat atau
racun yang berpotensi berbahaya langsung melalui sel tubulus ke dalam
tubulus.

32
b. Loop Of Henle

- Lengkung Henle terdiri dari tiga segmen yang berbeda secara fungsional : the thin
descending segment, the thin ascending segment, dan the thick ascending
segment.
- Thin descending segments
Me-reabsorpsi :
o Sekitar 20% dari air
- Thick segment
Me-reabsorpsi :
o Sekitar 25% dari natrium, klorida, dan kalium yang difiltrasi, serta
sejumlah besar kalsium, bikarbonat, dan magnesium
Mensekresi :
o Ion hidrogen

c. Distal Tubule

- Tubulus Distal akan me-reabsorpsi :


o Sebagian besar ion, termasuk natrium, kalium, dan klorida
d. Late Distal Tubule & Cortical Collecting Tubule

33
- Bagian kedua dari tubulus distal dan cortical collecting tubule memiliki
karakteristik fungsional yang serupa. Secara anatomis,terdiri dari dua jenis sel
yang berbeda, principal cells dan intercalated cells
Principal cells
o Mereabsorpsi : natrium dan air dari lumen
o Mensekresikan : ion kalium ke dalam lumen.
Intercalated cells
Ada dua jenis intercalated cells, tipe A dan tipe B. Sel interkalasi tipe A
o Mereabsorpsi : Bikarbonat
o Mensekresikan : ion hidrogen

Regulasi Tubular Absorpsi dan Sekresi


Lima hormon mempengaruhi tingkat reabsorpsi Na+, Cl-, Ca2+, dan air serta sekresi K oleh
tubulus ginjal. Hormon-hormon ini termasuk angiotensin II, aldosteron, hormon antidiuretik,
peptida natriuretik atrium, dan hormon paratiroid.

Hormone Major Stimuli that Mechanism and Effect


trigger release site of action
Angiotensin II Volume darah rendah Menstimulasi Meningkatkan reabsorpsi
atau tekanan darah aktivitas antiporter Na +, zat terlarut lainnya,

34
rendah merangsang Na+-H+ dalam sel dan air, yang
produksi angiotensin II tubulus proksimal. meningkatkan volume
yang diinduksi renin darah dan tekanan darah.
Aldosteron Peningkatan kadar Meningkatkan Meningkatkan sekresi K
angiotensin II dan aktivitas pompa + dan reabsorpsi Na +,
peningkatan kadar K + natrium-kalium di Cl-; meningkat reabsorpsi
plasma mendorong membran basolateral air, yang meningkatkan
pelepasan aldosteron dan saluran Na + di volume darah dan darah
oleh korteks adrenal. membran apikal tekanan.
principal cell dalam
collecting duct.
Antidiuretic Peningkatan osmolaritas Merangsang Meningkatkan reabsorpsi
Hormone cairan ekstraseluler atau penyisipan protein fakultatif air, yang
(ADH) penurunan volume darah saluran air menurun osmolaritas
mendorong pelepasan (aquaporin-2) ke cairan tubuh.
ADH dari kelenjar dalam membran
hipofisis posterior. apikal principal cell.
Atrial Peregangan atrium Menekan reabsorpsi Meningkatkan ekskresi
Natriuretic jantung merangsang Na+ dan air di Na + dalam urin
Peptide (ANP) sekresi ANP. tubulus proksimal (natriuresis);
dan collecting duct; meningkatkan keluaran
menghambat sekresi urin (diuresis) dan dengan
aldosteron dan demikian menurunkan
ADH. volume darah dan
tekanan darah.
Paratiroid Penurunan kadar Ca2 + Merangsang Meningkatkan reabsorpsi
Hormone plasma mendorong pembukaan saluran Ca2 +.
(PTH) pelepasan PTH dari Ca2 + di membran
kelenjar paratiroid. apikal sel tubulus
distal awal.

FISIOLOGI GINJAL

35
Untuk menghasilkan urin, nefron dan collecting ducts melakukan tiga proses dasar ;
Glomerular filtration, Tubular reabsorption, and Tubular secretion.

a. Glomerular Filtration. Pada langkah pertama produksi urin, air dan sebagian besar
zat terlarut dalam plasma darah bergerak melintasi Glomerular Capillaries, di mana
mereka disaring dan pindah ke Glomerular Capsule dan kemudian ke Renal Tubule.
b. Tubular Reabsorption. Saat cairan yang disaring mengalir melalui Renal tubules
(tubulus ginjal) dan melalui Collecting ducts, sel tubulus menyerap kembali sekitar
99% air yang disaring dan banyak zat terlarut yang berguna. Air dan zat terlarut
kembali ke darah saat mengalir melalui Peritubular Capillaries (kapiler peritubular)
dan vasa recta. Istilah reabsorpsi mengacu pada kembalinya zat ke aliran darah.

36
Istilah absorpsi, sebaliknya, berarti masuknya zat baru ke dalam tubuh, seperti yang
terjadi di saluran pencernaan.
c. Tubular Secretion. Saat cairan yang disaring mengalir melalui renal tubules dan
Collecting ducts, renal tubule and duct cells mengeluarkan bahan lain, seperti
wastes(limbah), obat-obatan, dan kelebihan ion, ke dalam cairan. Sekresi tubular
menghilangkan zat dari darah.

1) GLOMERULAR FILTRATION
The fluid that enters the capsular space is called the glomerular filtrate.
The fraction of blood plasma in the afferent arterioles of the kidneys that becomes glomerular
filtrate is the filtration fraction.
Rata-rata, volume harian filtrat glomerulus pada orang dewasa adalah 150 liter pada wanita
dan 180 liter pada pria. Lebih dari 99% dari filtrat global kembali ke aliran darah melalui
reabsorpsi tubular, sehingga hanya 1-2 liter yang diekskresikan sebagai urin.
1.1 The Filtration Membrane

Glomerular Capillaries & Podocytes (yang mengelilingi kapiler), keduanya membentuk


Leaky Barrier yang disebut jga dengan Filtration Membrane. This Sandwichlike
memungkinkan penyaringan air dan zat terlarut kecil, tetapi mencegah penyaringan sebagian
besar protein plasma, sel darah, dan trombosit. Zat yang disaring dari darah melewati 3
filtration barriers ; glomerular endothelial cell, the basal lamina, and a filtration slit yang
dibentuk oleh Podocyte.
 Glomerular endothelial cells are quite leaky because they have large fenestrations that
measure 0.07–0.1 m in diameter.
 Ukuran ini memungkinkan semua zat terlarut dalam plasma darah keluar dari kapiler
glomerulus tetapi mencegah penyaringan sel darah dan trombosit.

 These contractile cells help regulate glomerular filtration.

 The basal lamina, a layer of acellular material between the endothelium and the
podocytes, terdiri dari serat kolagen kecil dan proteoglikan dalam matriks
glikoprotein; muatan negatif dalam matriks mencegah penyaringan protein plasma
bermuatan negatif yang lebih besar.

37
o A thin membrane, the slit membrane, extends across each filtration slit; it permits the
passage of molecules having a diameter smaller than 0.006–0.007 m, including
water, glucose, vitamins, amino acids, very small plasma proteins, ammonia, urea,
and ions.

1.2 Net Filtration Pressure

Glomerular filtration bergantung pada 3 tekanan utama ; 1 pressures mendorong filtrasi & 2
pressure oppose (melawan) filtration.

a. Glomerular blood hydrostatic pressure (GBHP) is the blood pressure in glomerular


capillaries. GBHP is about 55 mmHg. It promotes filtration by memaksa air and zat
terlarut in blood plasma through the filtration membrane.

b. Capsular hydrostatic pressure (CHP) adalah tekanan hidrostatik yang diberikan


terhadap membran filtrasi oleh cairan yang sudah ada di dalam capsular space dan
tubulus ginjal. CHP opposes (melawan) filtration and represents a “back pressure” of
about 15 mmHg.

c. Blood colloid osmotic pressure (BCOP), yang disebabkan oleh adanya protein
seperti albumin, globulin, dan fibrinogen dalam plasma darah, juga melawan filtrasi.
BCOP rata-rata di kapiler glomerulus adalah 30 mmHg.

Net filtration pressure (NFP), the total pressure that promotes filtration, is determined as
follows:

Net filtration pressure (NFP) = GBHP - CHP - BCOP

By substituting the values just given, normal NFP may be calculated:

NFP = 55 mmHg - 15 mmHg - 30 mmHg = 10 mmHg

38
Thus, a pressure of only 10 mmHg causes a normal amount of blood plasma (minus
plasma proteins) to filter from the glomeru- lus into the capsular space.

1.3 Glomerular Filtration Rate (GFR)

Merupakan jumlah filtrat yang terbentuk di semua renal corpuscles di kedua ginjal. Pada
orang dewasa, GFR rata-rata 125 mL / menit pada pria dan 105 mL / menit pada wanita. Jika
GFR terlalu tinggi, zat-zat yang dibutuhkan bisa lewat begitu cepat melalui tubulus ginjal
sehingga beberapa tidak diserap kembali dan hilang dalam urin. Jika GFR terlalu rendah,
hampir semua filtrat dapat diserap kembali dan produk limbah tertentu mungkin tidak dapat
dikeluarkan secara memadai. GFR hampir konstan ketika tekanan darah arteri rata-rata
berada di antara 80 dan 180 mmHg.

2) TUBULAR REABSORPTION & TUBULAR SECRETION

39
Reabsorpsi — mengembalikan sebagian besar air yang disaring dan banyak zat terlarut yang
disaring ke aliran darah — adalah fungsi dasar kedua dari nefron dan saluran pengumpul.
Biasanya, sekitar 99% air yang disaring diserap kembali. Sel epitel sepanjang tubulus dan
duktus ginjal melakukan reabsorpsi, but proximal convoluted tubule cells make the largest
contribution. Zat terlarut yang diserap kembali oleh proses aktif dan pasif termasuk glukosa,
asam amino, urea, dan ion Na+ (sodium), K+ (potassium), Ca2+ (calcium), Cl- (chloride),
HCO3- (bicarbonate), and HPO42- (phosphate).

Zat yang disekresikan termasuk ion hidrogen (H+), K+, ion amonium (NH4+), kreatinin, dan
obat-obatan tertentu seperti penisilin. Sekresi tubular memiliki dua hasil penting: (1) Sekresi
H+ membantu mengontrol pH darah. (2) The secretion of other substances helps eliminate
them from the body in urine. Sebagai akibat dari sekresi tubular, zat tertentu lolos dari darah
ke urin dan dapat dideteksi dengan urinalisis. Tes urine juga dapat digunakan untuk
mendeteksi keberadaan alkohol atau obat-obatan terlarang seperti marijuana, kokain, dan
heroin.

Principles of Tubular Reabsorption and Secretion

a. Reabsorption Routes

Zat yang direabsorbsi dari cairan di lumen tubulus dapat mengambil salah satu dari dua rute
sebelum memasuki kapiler peritubular: Zat dapat bergerak di antara sel tubulus yang
berdekatan atau melalui individual tubule cell.

40
Along the renal tubule, tight junctions surround and join neighboring cells to one another,
much like the plastic rings that hold a six-pack of soda cans together.

The Apical Membrane (the tops of the soda cans) contacts the tubular fluid, and the
basolateral membrane (the bottoms and sides of the soda cans) contacts interstitial fluid at
the base and sides of the cell.

Fluid can leak between the cells in a passive process known as Paracellular Reabsorption.
Di beberapa bagian tubulus ginjal, paracellular route diperkirakan mencapai 50% dari
reabsorption ion tertentu dan air yang menyertainya melalui osmosis.

In Transcellular Reabsorption, suatu zat melewati cairan di lumen tubulus melalui Apical
Membrane, melintasi sitosol, dan keluar ke interstitial fluid melalui Basolateral membrane.

b. Transport Mechanism

Tight junction membentuk penghalang yang mencegah pencampuran protein dalam


kompartemen membran apikal dan basolateral. Reabsorpsi Na+ oleh tubulus ginjal sangat
penting karena banyaknya ion natrium yang melewati filter glomerulus. Sebagian besar ion
natrium yang melintasi membran apikal akan dipompa ke dalam Interstitial fluid di dasar dan
samping sel.

Reabsorpsi zat terlarut mendorong reabsorpsi air karena semua reabsorpsi air terjadi melalui
osmosis. Sekitar 90% dari reabsorpsi air yang disaring oleh ginjal terjadi bersamaan dengan
Reabsorption (penyerapan kembali) zat terlarut seperti Na+, Cl-, dan glukosa. This type of
water reabsorption occurs in the proximal convoluted tubule and the descending limb of the
nephron loop because these segments of the nephron are always permeable to water.

41
Reabsorption and Secretion in the Proximal Convoluted Tubule

The largest amount of solute and water reabsorption from filtered fluid occurs in the proximal
convoluted tubules, which reabsorb :

- 65% of the filtered water,

- Na+, and K+; 100% of most filtered organic solutes such as glucose and amino acids;

- 50% of the fil- tered Cl-;

- 80–90% of the filtered HCO3-;

- 50% of the filtered urea;

- and a variable amount of the filtered Ca2+, Mg2+, and HPO42- (phosphate).

Selain itu, proximal convoluted tubules memiliki sejumlah variabel H+, ion amonium (NH4),
dan urea.

Kebanyakan reabsorpsi zat terlarut di Proximal Convoluted Tubules (PCT) melibatkan Na+.
Transpor Na+ terjadi melalui mekanisme symport dan anti-port di PCT. Biasanya, glukosa
yang disaring, asam amino, asam laktat, vitamin yang larut dalam air, dan nutrisi lainnya
tidak hilang dalam urin. Rather, they are completely reabsorbed in the first half of the
proximal convoluted tubule by several types of Na+ symporters located in the apical
membrane.

42
43
Dalam proses transpor aktif sekunder lainnya, antiporter Na+ - H+ membawa Na+ yang telah
disaring menuruni gradien konsentrasinya ke dalam sel PCT saat H+ dipindahkan dari sitosol
ke dalam lumen menyebabkan Na+ diserap kembali darah dan H+ untuk disekresikan ke
tubular fluid. (a)
Sel PCT menghasilkan H+ yang dibutuhkan untuk menjaga antiporter berjalan dengan cara
berikut. (a) & (b)

Reabsorpsi zat terlarut di PCT meningkatkan osmosis air.


Setiap zat terlarut yang direabsorbsi meningkatkan osmolarisasi, pertama-tama di dalam sel
tubulus, kemudian dalam cairan interstisial, dan terakhir di dalam darah. Dengan demikian,
air bergerak cepat dari cairan tubular, melalui jalur paraseluler dan transeluler, ke kapiler
peritubular dan mengembalikan keseimbangan osmotik.

44
Reabsorption in the Nephron Loop

Because all of the proximal convoluted tubules reabsorb about 65% of the filtered water
(about 80 mL/min), fluid enters the next part of the nephron, the nephron loop, at a rate of
40–45 mL/min. Komposisi kimiawi dari tubular fluid sekarang sangat berbeda dari
glomerular filtrat karena glukosa, asam amino, dan nutrisi lain tidak lagi ada. Osmolaritas
tubular fluid masih mendekati osmolaritas darah, karena reabsorpsi air dengan osmosis
mengikuti reabsorpsi zat terlarut di sepanjang PCT.

The Nephron Loop menyerap kembali sekitar :

- 15% air yang disaring,

- 20-30% dari Na+ dan K+ filter yang disaring,

- 35% dari Cl- yang disaring,

- 10-20% dari HCO3- yang disaring,

- dan jumlah variabel yang disaring Ca2- dan Mg2+.

Membran apikal sel di cells di thick ascending limb of the Nephron loop memiliki symporters
Na+ – K+– 2Cl- yang secara bersamaan mengambil kembali satu Na+, satu K+, dan dua Cl-
dari fluid in the tubular lumen (Gambar 26.15).

Na+ yang secara aktif diangkut ke dalam interstitial fluid di base dan sisi sel berdifusi ke
dalam vasa recta. Cl- bergerak melalui leakage channels di basolateral membrane ke dalam
cairan interstisial dan kemudian ke vasa recta. Karena banyak K+ Leakage channels ada di
membran apikal, kebanyakan K+ yang dibawa oleh symporters bergerak ke bawah gradien
konsentrasinya kembali ke dalam cairan tubular. Jadi, efek utama dari simbol Na – K+ – 2Cl-
adalah reabsorpsi Na+ dan Cl-.

45
Meskipun sekitar 15% dari air yang disaring diserap kembali di descending limb of the
nephron loop, little or no water is reabsorbed in the ascending limb. In this segment of the
tubule, the apical membranes are virtually impermeable to water. Because ions but not water
molecules are reabsorbed, the osmolarity of the tubular fluid decreases progressively saat
fluid mengalir menuju the end of the ascending limb.

Reabsorption in the Early Distal Convoluted Tubule

Cairan memasuki Distal Convulted Tubules (DCT) dengan kecepatan sekitar 25 mL/menit
karena 80% air yang disaring sekarang telah diserap kembali. The early or initial part (bagian
awal) of the distal convoluted tubule (DCT) reabsorbs about :

- 10–15% of the filtered water,

- 5% of the filtered Na+,

- and 5% of the filtered Cl-.

Sodium–potassium pumps and Cl- leakage channels in the basolateral membranes kemudian
memungkinkan reabsorption of Na+ and Cl- kedalam peritubular capillaries. DCT awal juga
merupakan tempat utama di mana hormon paratiroid (PTH) merangsang reabsorpsi Ca2+.
Jumlah reabsorpsi Ca2+ pada DCT awal bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh.

46
Reabsorption and Secretion in the Late Distal Convoluted Tubule and Collecting Duct

Pada saat cairan mencapai the end of the distal convoluted tubule, 90–95% zat terlarut yang
disaring dan air telah kembali ke aliran darah.

Na+ melewati membran apikal sel utama melalui Na+ Leakage channels. Konsentrasi Na+
dalam sitosol tetap rendah, seperti biasa, karena pompa natrium-kalium secara aktif
mengangkut Na+ melintasi membran basolateral. Kemudian Na+ secara pasif berdifusi ke
dalam peritubular capiler dari interstitial spaces di sekitar tubule cells.

Transcellular and paracellular reabsorption in the proximal convoluted tubule and nephron
loop return most filtered K+ to the bloodstream. Untuk menyesuaikan dietary intake kalium
yang bervariasi dan untuk mempertahankan tingkat K+ yang stabil dalam cairan tubuh,
Principal cell mengeluarkan sejumlah variabel K. Karena pompa natrium-kalium basolateral
terus menerus membawa K+ ke dalam sel utama, konsentrasi K+ intraseluler tetap tinggi.
beberapa K+ berdifusi ke bawah gradien konsentrasinya ke dalam cairan tubular, di mana
konsentrasi K+ sangat rendah. Mekanisme sekresi ini adalah sumber utama K+ yang
diekskresikan dalam urin.

47
KONSEP KESEIMBANGAN

A. Kumpulan internal suatu zat adalah jumlah zat itu di ECF


 Jumlah zat tertentu di ECF adalah kumpulan internal yang tersedia.
 Jika jumlah zat ingin tetap stabil di dalam tubuh, masukannya melalui ingesti
(konsumsi) atau produksi metabolic, harus diimbangi dengan output yang sama
melalui ekskresi atau konsumsi metabolik.
 Hubungan ini, yang dikenal sebagai konsep keseimbangan, sangat penting dalam
mempertahankan homeostasis.
 Tidak semua jalur input dan output berlaku untuk setiap zat cairan tubuh. Misalnya,
garam tidak disintesis atau digunakan oleh tubuh, jadi menjaga konsentrasi garam
yang stabil dalam cairan tubuh bergantung sepenuhnya pada keseimbangan antara
konsumsi garam dan ekskresi garam.
 Jika tubuh secara keseluruhan memiliki kelebihan atau kekurangan zat yang disimpan,
tempat penyimpanan dapat diperluas atau diperkecil untuk menjaga konsentrasi ECF
agar tetap seimbang
 Misalnya, setelah penyerapan makanan, ketika lebih banyak glukosa yang memasuki
plasma, glukosa ekstra dapat disimpan sementara, dalam bentuk glikogen, dalam sel
otot dan hati.

B. Untuk menjaga keseimbangan ECF yang stabil, input harus sama dengan output

 Ketika total masukan tubuh dari suatu zat tertentu sama dengan total keluaran tubuh,
keseimbangan yang stabil terjadi.
 Input > output  keseimbangan positif. Hasilnya adalah peningkatan jumlah total zat
di dalam tubuh.
 Input < output keseimbangan negatif = jumlah total zat di dalam tubuh berkurang.
 Mengubah jumlah input atau output untuk zat tertentu dapat mengubah konsentrasi
plasma.

48
 Untuk mempertahankan homeostasis, setiap perubahan input harus diimbangi dengan
perubahan output yang sesuai (misalnya, peningkatan asupan garam harus diimbangi
dengan peningkatan output garam dalam urin
 Penyesuaian kompensasi dalam ekskresi urin dari zat-zat ini menjaga volume cairan
tubuh dan komposisi garam dan asam

KESEIMBANGAN CAIRAN

 Air sejauh ini merupakan komponen tubuh yang paling banyak, rata-rata 60% dari
berat badan tetapi berkisar antara 40% sampai 80%.
 Kandungan H2O seseorang tetap konstan karena ginjal secara efisien mengatur
keseimbangan H2O, tetapi persentase H2O tubuh bervariasi dari orang ke orang.
 Alasan utama H2O tubuh di antara individu-individu adalah jumlah jaringan adiposa
(lemak) mereka yang bervariasi.
 Jaringan adiposa memiliki persentase H2O yang rendah dibandingkan jaringan lain.
 Plasma mengandung lebih dari 90% H2O.
 Bahkan jaringan lunak seperti kulit, otot, dan organ dalam terdiri dari 70% hingga
80% H2O.
 Tulang hanya 22% H2O.
 Lemak memiliki 10% kandungan H2O.

A. Air tubuh didistribusikan di antara ICF dan kompartemen ECF.

H2O tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen cairan utama: cairan di dalam
sel, atau cairan intraseluler (ICF), dan cairan yang mengelilingi sel, atau cairan ekstraseluler
(ECF)

1. Komponen ECF Mayor


 Kompartemen ICF = 2/3 dari total H2O tubuh.
 Komponen ECF = 1/3 dari total H2O tubuh, selanjutnya dibagi lagi menjadi
plasma dan cairan interstitial.
 Plasma = 1/5 volume ECF.
 Cairan interstisial, cairan yang terletak di ruang antara sel dan melakukan
pertukaran dengan sel = 4/5 kompartemen ECF.

49
2. Kompartemen ECF Minor
 Terdiri dari : getah bening dan cairan transeluler.
 Limfatik adalah cairan yang dikembalikan dari cairan interstisial ke plasma
melalui sistem limfatik, di mana ia disaring melalui kelenjar getah bening untuk
tujuan pertahanan kekebalan
 Cairan transeluler, volume cairan khusus, yang semuanya disekresikan oleh sel-sel
tertentu ke dalam rongga tubuh tertentu untuk menjalankan beberapa fungsi
khusus.
 Cairan transeluler termasuk:
1. cairan serebrospinal (mengelilingi, bantalan, dan memberi nutrisi pada otak
dan sumsum tulang belakang);
2. cairan intra-okular (mempertahankan bentuk dan menutrisi mata);
3. cairan sinovial (melumasi dan berfungsi sebagai peredam kejut untuk sendi);
4. cairan perikardial, intrapleural, dan peritoneal (gerakan pelumas jantung, paru-
paru, dan usus, masing-masing); dan
5. cairan pencernaan (mencerna makanan yang dicerna).
 kompartemen transeluler secara keseluruhan biasanya tidak mencerminkan
perubahan keseimbangan cairan tubuh. Misalnya, volume cairan serebrospinal
tidak berkurang ketika tubuh secara keseluruhan mengalami keseimbangan H2O
negatif.
 Ini bukan untuk mengatakan bahwa volume fluida ini tidak pernah berubah.
Perubahan terlokalisasi dalam kompartemen cairan transeluler tertentu dapat
terjadi secara patologis, tetapi gangguan cairan terlokalisasi seperti itu tidak
mempengaruhi keseimbangan cairan tubuh.

B. Kontrol volume ECF penting diregulasi tekanan darah jangka panjang.


 Penurunan volume ECF menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dengan
penurunan volume plasma.
 Sebaliknya, peningkatan volume ECF meningkatkan tekanan darah arteri dengan
meningkatkan volume plasma.

50
1. Jangka Pendek untuk Menjaga Tekanan Darah

A. Refleks baroreseptor
 Cardiac output dan resistensi perifer total keduanya meningkat untuk
meningkatkan tekanan darah saat turun terlalu rendah
 keduanya menurun untuk menurunkan tekanan darah saat naik terlalu
tinggi.
B. Perpindahan cairan terjadi secara sementara dan otomatis antara plasma dan cairan
interstisial sebagai akibat dari perubahan keseimbangan gaya hidrostatik dan
osmotik yang bekerja melintasi dinding kapiler yang muncul ketika volume
plasma menyimpang dari normal

 Kedua tindakan ini memberikan bantuan sementara untuk membantu menjaga


tekanan darah agar tetap konstan, tetapi ini bukan solusi jangka panjang.
 tindakan kompensasi jangka pendek ini memiliki kemampuan terbatas untuk
meminimalkan perubahan tekanan darah.

2. Jangka Panjang untuk Menjaga Tekanan Darah

 Pengaturan tekanan darah jangka panjang terletak pada ginjal dan mekanisme rasa
haus, yang masing-masing mengontrol pengeluaran urin dan asupan cairan.
 terjadi pertukaran cairan yang dibutuhkan antara ECF dan lingkungan eksternal
untuk mengatur total volume cairan tubuh.
 Oleh karena itu, mereka memiliki pengaruh jangka panjang yang penting pada
tekanan darah arteri.
 Dari langkah-langkah ini, kontrol keluaran urin oleh ginjal adalah yang paling
penting untuk menjaga tekanan darah.

ACID-BASE BALANCE

- Mekanisme yang berfungsi untuk maintance konsentrasi ion H+ dalam cairan tubuh
- pH normal arteri : 7.37-7.42 dan pH Intrasel : 7.2
- asam akan mengeluarkan H+ kedalam cairan
- basa akan menyingkirkan H+ dari cairan
Ada 3 cara
1. Buffer : melalui ekstraseluler fluid dan intraseluller fluid
2. Respiratory Mechanism : ekskresi CO2 lewat paru
3. Renal Mechanism : Reabsorpsi HCO3- dan Sekresi H+
(Buffer dan Respiratory bekerja cepat ; Menit-Jam. Renal bekerja slow : Jam-Hari)

51
1. BUFFER SYSTEM
- first defense against change pH
- Prinsip akan mencampur/mix
 asam lemah + basa konjugasi
 basa lemah + asam konjugasi
(nomenclature Bronsted-Lowry)
- Asam lemah : disebut HA dan merupakan donor H+ (BH+)
- Basa lemah : disebut A- dan merupakan penerima H+ (B)
- ada 2 tipe

a. Extracelluler Fuid Buffer (ECF)


- menggunakan Bicarbonat (HCO3-/CO2) dan Phosphate (HPO4-2/H2PO4-)

 Asam Karbonat (H2CO3-) & Bicarbonat (HCO3-)


- berespon cepat terhadap CO2,laktat,NaHCO3
- sistem terbatas
- Menggunakan persamaan

Jika H+ meningkat (asidosis)  pH ECF akan menurun  H+ akan meningkat  H+


berikatan dengan HCO3-  membentuk H2CO3-  pH stabil kembali
Jika H+ menurun (alkalosis)  pH ECF akan meningkat  HCO3- akan meningkat 
berikatan dengan H+  membentuk H2CO3-  pH stabil kembali
- Sistem kimiawi bertindak sebagai first line pertahanan terhadap perubahan
[H+]
 Semua sistem penyangga kimiawi bertindak segera, dalam sepersekian detik,
untuk meminimalkan perubahan pH.
 Sistem buffer hanya menghilangkan ion hidrogen dari larutan dengan
memasukkannya ke dalam salah satu anggota pasangan buffer, sehingga
mencegahnya berkontribusi pada keasaman cairan tubuh.

52
 Karena setiap sistem buffer memiliki kapasitas terbatas untuk menyerap H+, H+
yang diproduksi tanpa henti pada akhirnya harus dikeluarkan dari tubuh dengan
cara lain.

 Phosphate
- molekul yang mengandung fosfat dalam larutan ; DNA,RNA,ATP,Ion Fosfat

-- pH turun (asam)  ion HPO4- akan berikatan dengan H+  membentuk H2PO4-

-- pH naik (basa)  H2PO4- akan terdisosiasi menjadi  H+ dan HPO4-

b. Intracelluar Fluid Buffer (ICF)


- menggunakan Plasma Protein da Fosfat Organik

 Plasma Protein
- yang memiliki gugus asam -COOH/-COO-/-NH3/-NH2
- seperti Hemoglobin dan Deoxyhemoglobin

Perubahan pK Hb  release Oksigen


Oxyhemoglobin mengeluarkan Oksigen ke jaringan  berubah menjadi deoxyhemoglobin
(Bersamaan dengan itu) CO2 yang dilepaskan ke jaringan  difusi ke sel darah 

bergabung dengan H20  membentuk

 Fosfat Organik
- termasuk ATP,ADP,AMP,Glucose-1-phosphate dan 2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG)

2. RESPIRATORY MECHANISM

53
Melalui buffer Asam Karbonat (H2CO3-) & Bicarbonat (HCO3-)

pH darah turun (asam)  kons H+ meningkat  H+ berikatan dengan HCO3-


membentuk H2CO3-  terdisosiasi menjadi H2O dan CO2  karena kons CO2 meningkat
 penurunan pH ECF  stimulate Respiratory center di brainstem  peningkatan Rate
dan depth bernafas (hiperventilasi)  sehingga CO2 yang terkumpul akan di keluarkan via
Paru-Paru  kadar CO2 di darah turun (pH naik) dan pH ECF meningkat  pH darah stabil

pH darah naik (basa)  kons HCO3- meningkat dan H+ jadi seolah-olah turun  jadi
hanya beberapa HCO3- yang bisa berikatan dengan H+  hanya sedikit H2CO3- yang
terbentuk  H2CO3- terdisosiasi menjadi H2O dan CO2 tetapi kadarnya sedikit  pH ECF
meningkat  inhibisi Respiratory Center di Brainstem  penurunan Rate dan depth
bernafas (hipoventilasi)  sehingga CO2 yang ada/yang terbentuk di perrtahankan  kadar
CO2 darah meningkat (pH turun) dan pH ECF menurun  pH darah stabil

- Sistem pernapasan berfungsi sebagai yang second line pertahanan terhadap


perubahan [H+]
 Regulasi pernapasan bekerja pada kecepatan sedang, mulai berlaku hanya jika
kontrol buffer kimiawi saja tidak dapat meminimalkan perubahan [H+].
 Jika buffer pada [H+] tidak segera dan sepenuhnya diperbaiki oleh kontrol buffer,
kontrol pernapasan akan beraksi beberapa menit kemudian, sehingga berfungsi
sebagai second line terhadap perubahan [H+].
 Sistem pernapasan saja dapat mengembalikan pH hanya 50% hingga 75%

- Ketidakseimbangan

A. Asidosis respiratorik terjadi karena peningkatan [CO2]

 akibat dari retensi abnormal CO2 karena hipoventilasi

54
 Karena CO2 yang keluar dari paru lebih sedikit daripada normal, peningkatan
CO2 yang terjadi menghasilkan lebih banyak H+

 PENYEBAB ASIDOSIS RESPIRATORIK

 penyakit paru,

 depresi pusat pernapasan oleh obat atau penyakit,

 gangguan saraf atau otot yang mengurangi kemampuan bernapas

 [CO2] meningkat, sementara [HCO3-] normal, dan pH berkurang.

 KOMPENSASI UNTUK ASIDOSIS RESPIRATORIK

Tindakan kompensasi bekerja untuk memulihkan pH ke normal.

■ buffer kimiawi segera mengabsorbsi kelebihan H+


■ ginjal menjadi sangat penting dalam tindakan kompensasi terhadap asidosis
respiratorik.

 menahan semua HCO3- yang difiltrasi dan menambahkan HCO3- baru ke


plasma secara bersamaan menyekresi dan, karenanya, mengekskresi lebih
banyak H+.

 Akibatnya, simpanan HCO3- di tubuh meningkat.

 Peningkatan konservasi HCO3- oleh ginjal telah mengom-pensasi secara


penuh akumulasi CO2 sehingga pH kembali ke normal

B. Alkalosis respiratorik terjadi akibat penurunan [CO2]

 Alkalosis respiratorik terjadi ketika kelebihan CO2 dari tubuh akibat


hiperventilasi

 Jika ventilasi paru meningkat melebihi laju produksi CO2, CO2 yang keluar
terlalu banyak. Akibatnya, [H+] yang terbentuk dari sumber ini menjadi lebih
sedikit.

 PENYEBAB ALKALOSIS RESPIRATORIK

 demam, rasa cemas, dan keracunan aspirin, yang dapat merangsang


ventilasi secara berlebihan

55
 Alkalosis respiratorik juga terjadi karena mekanisme fisiologik di tempat
yang tinggi. Ketika konsentrasi O2 yang rendah dalam darah arteri secara
refleks merangsang ventilasi untuk memperoleh lebih banyak O2, CO2
akan keluar dalam jumlah terlalu besar yang secara taksengaja
menyebabkan keadaan alkalotik

 peningkatan pH, penurunan [CO2], sementara [HCO3-] tetap normal.

 KOMPENSASI UNTUK ALKALOSIS RESPIRATORIK

Tindakan kompensasi bekerja untuk menggeser pH kembali ke normal.

■ Sistem buffer kimiawi membebaskan H+ untuk mengurangi keparahan


alkalosis.

■ Sewaktu [CO2] dan [H+] plasma turun di bawah normal akibat ventilasi
berlebihan, dua dari perangsang kuat untuk mendorong ventilasi lenyap. Efek
ini cenderung "mengerem" dorongan yang ditimbulkan oleh faktor non-
respirasi, misalnya demam atau rasa cemas, terhadap ventilasi. Karena itu,
hiperventilasi tidak berlanjut tanpa kendali.

■ Jika situasi berlanjut selama beberapa hari, ginjal melakukan kompensasi


dengan menahan H+ dan mengekskresi lebih banyak HCO3-. Simpanan
HCO3- berkurang akibat keluarnya HCO3- di urine. Karena itu, pH
dikembalikan ke normal dengan menurunkan jumlah HCO3- untuk
mengompensasi hilangnya CO2.

3. RENAL MECHANISM

Prinsip : Reabsorpsi HCO3- ke intertitial/darah


: Sekresi H+ ke urin

<1> Reabsorpsi HCO3- ke intertitial/darah

56
- terjadi di Proximal convulated tubul (major), Loop Henle,Distal Tubul,Collect Duct (minor)
- 99.9 % ter-reabsorption

- Mechanism

Natrium dari lumen  via Na+-H+ exchanger (di membrane luminal)  masuk ke sel
proximal convulated tubular dengan menuruni gradien elektrokimia nya  Bersama dengan
ini,H+ dari sel proximal convulated tubule masuk ke lumen (melawan gradien
electrokimianya)  H+ di lumen akan berikatan dengan HCO3-  (dibantu brushborder
carbonic anhydrase) menjadi H2CO3  H2CO3 terdisosiasi menjadi CO2 dan H2O  CO2
dan H2O akan masuk ke sel proximal convulated tubule  dan dibantu intracellular
carbonic anhydrase  menjadi H2CO3  H2CO3 terdisosiasi menjadi H+ dan HCO3- 
* H+ akan keluar lagi ke lumen via Na+-H+ exchanger untuk mengikat HCO3- yang
ada di tubular fluid (lumen)
* HCO3- (hasil dr reabsorpsi lumen) akan reabsorpsi ke darah dengan 2 cara
1. via HCO3- CL- exchanger
2. via HCO3- Na+ cotransporter

- efek terhadap filtered load HCO3-


Jika kadar HCO3- meningkat lebih dri 40 mEq/L  akan ada HCO3- yang tidak
tereabsorpsi  ekskresi ke urin
- efek ECF terhadap Reabbs HCO3-
Perubahan vol ECF mengubah rebsorpsi HCO3- via Starling force melalui perubahan
gaya di peritubular capillary
+) ECF meningkat  menghambat isosmotic reabsorpsi di proximal tubule  HCO3-
tidak ter-reabsorpsi
+) ECF menurun  stimulate isosmotic reabsorpsi di proximal tubule  HCO3-
reabsorpsi
 stimulate renin  aktivasi RAAS  Aktivasi AT II  stimulate
Na+H+ exchanger di luminal membrane  mekanisme yang sama spt penjelasan di atas 
HCO3- Reabsorpsi
- efek pCO2 terhadap HCO3-
+) jika pCO2 menurun = Reabs HCO3- menurun

57
+) jika pCO2 meningkat = Reabs HCO3- meningkat

<2> Eksresi H+ ke Urine


- ada 2 bentuk eksresi H+ ke urin
1) Titrable Acid
2) NH4+

1) Titrable Acid
- 15% ter-reabsorpsi
- 20 mEq/L
- tempat ; alfa-Intercalated cells di Late Distal Tubule & Collecting duct
- terbatas tergantung jumlah fosfat yang ada di urine

Adanya aktivitas metabolic pada sel alfa-Intercalated cells di Late Distal Tubule & Collecting
duct  terbentuknya H+  H+ akan keluar menuju lumen via H+ATPase  masuk ke
lumen  di lumen H+akan berikatan dengan HPO4-2 (bentuk basa lemah dari phosphate
buffer)  membentuk H2PO4-  ekskresi ke urine

- fosfat harus di ekskresi ke urin tapi harus dalam bentuk berikatan dengan H+ dengan
membentuk H2PO4-
- setiap terbentuknya 1 molekul H+ akan terbentuk juga 1 molekul HCO3- yang baru 
HCO3- ini akan reabsorpsi via HCO3-Cl- (Basolateral membrane)  masuk ke darah

2) NH4+
- 85% ter-reabsorpsi
- sekitar 30 mEq/L
- tempat : ada 3 tempat
1. Proximal : via Na+H+ Exchanger

58
2. Thick Acending : reabs NH4+ dari proximal dan akan terjadi countercurrent
Multiplication
3. Alfa-intercallated cells di collecting tubule : NH3 dan H+ disekresi ke lumen
Membentuk NH4
- Mech

1. Proximal Convulated Tubule


- Terdapat enzyme Glutaminase  merubah glutamine menjadi 2 bentuk
1. NH4+  terdisosiasi menjadi 2 bentuk
 H+  via Na+H+ exchanger  masuk ke lumen
 NH3  difusi ke lumen (karena lipid soluble)
 di lumen H+ berikatan dengan NH3  membentuk NH4+  ekskresi
Directly Ke urin
2. Glutamate  alfa-ketoglutarat  HCO3-  via Na+HCO3- cotransporter
 masuk ke darah (reabsorpsi)
- setiap NH4+ yang terbentuk akan terbentuk juga HCO3- baru yang akan ter-reabsorpsi

2. Thick Ascending Limb


Karena peritubular fluid yang dari proximal tubule banyak mengandung NH4+  mengalir ke
Loop Henle  di bagian thick ascending akan terjadi penyerapan NH4+ via Na+K+2Cl
cotransporter  menuju intertitial fluid  countercurrent multiplication  peningkatan
osmolaritas intertitial fluid

3. Collecting duct
- Adanya aktivitas metabolic pada sel alfa-Intercalated cells di Collecting duct 
menghasilkan H+ yang di sekresi ke lumen (bisa) via H+ATPase dan H+K+ATPase 
masuk ke Lumen  H+ akan berikatan dengan NH3  membentuk NH4+  NH4+ ter
trapping di tubular fluid  NH4+ eksresi ke urine

59
- NH3 muncul karena dia berdifusi dari daerah yang konsentrasi tinggi di medullary intertitial
fluid  lumen collecting duct

- All process di collecting duct called “diffusion trapping” karena bentuk buffer yang lipid
soluble berdifusi dan bentuk buffer water soluble ter-trap dan ter-ekskresikan
- setiap H+ yang terbentuk akan terbentuk juga HCO3- baru yang akan ter-reabsorpsi

- efek
-- pH
> peningkatan ekskresi NH4+ = penurunan pH
-- asidosis terhadap sintesis NH3
> laju sintesis NH3 bergantung pada jumlah H+ yang harus di ekskresikan
> penurunan pH Intacelluler pH  induce enzyme yang terlibat  sintesis
NH3 meningkat  lebih banyak berikatan dengan H+  lebih banyak
Terbentuk NH4+  ekskresi H+ dalam bentuk NH4+ meningkat
-- efek plasma K+ pada sintesis NH3
` > hyperkalemia  K+ masuk ke sel  pH intrasel meningkat  menghambat
Sintesis NH3
> Hypokalemia  K+ keluar dari sel  pH intrasel menurun  stimulasi
Glutaminase  sintesis NH3 meningkat

- Ginjal adalah third line pertahanan yang sangat kuat terhadap perubahan [H+].

 Ginjal memerlukan beberapa jam hingga hari untuk mengompensasi perubahan


pH cairan tubuh,
 Karena itu, ginjal membentuk third line pertahanan terhadap perubahan [H+] di
cairan tubuh.
 Namun, ginjal adalah mekanisme regulasi asam-basa terkuat; organ ini tidak saja,
dapat mengubah tingkat pengeluaran H+ dari semua sumber tetapi juga dapat
menahan atau mengeliminasi HCO3- bergantung pada status asam-basa tubuh.
 Dengan secara bersamaan mengeluarkan asam (H+) dari dan menambahkan basa
(HCO3-) ke cairan tubuh, ginjal mampu memulihkan pH ke arah normal dengan

60
lebih efektif daripada paru, yang hanya dapat menyesuaikan CO2 pembentuk H+
di tubuh.
 Hal yang juga berperan dalam kemampuan regulatorik asam- basa ginjal adalah
kemampuan organ ini mengembalikan pH hampir tepat ke normal.

- Ketidakseimbangan

A. Asidosis metabolik berkaitan dengan penurunan [HCO3-].

 dikenal sebagai asidosis non-respiratorik

 mencakup semua jenis asidosis selain yang disebabkan oleh kelebihan CO2 di
cairan tubuh. ditandai oleh penurunan [HCO3-] plasma, sementara [CO2]
normal

 Masalah dapat timbul karena pengeluaran cairan kaya-HCO3- yang berlebihan


dari tubuh atau karena akumulasi asam non-karbonat.

 PENYEBAB ASIDOSIS METABOLIK

1. Diare berat.

 Selama pencernaan, digestive juice yang kaya- HCO3- biasanya


disekresikan ke dalam saluran cerna dan kemudian diserap kembali ke
dalam plasma

 Selama diare, HCO3- ini hilang dari tubuh dan tidak direabsorpsi.

 Karena HCO3- berkurang, HCO3- yang tersedia untuk menyangga


berkurang sehingga lebih banyak H+ bebas yang ada di cairan tubuh.

2. Diabetes melitus.

 Kelainan metabolisme lemak akibat ketidakmampuan sel menggunakan


glukosa karena kurangnya efek insulin menyebabkan pembentukan asam
keto secara berlebihan. Penguraian asam-asam keto ini meningkatkan [H+]
plasma.

3. Olahraga berat.

 Ketika otot mengandalkan glikolisis anaerob sewaktu olahraga berat,


terjadi peningkatan produksi asam laktat (laktat) yang meningkatkan [H+]
plasma

4. Asidosis uremik.

61
 Pada gagal ginjal berat (uremia), ginjal tidak dapat menyingkirkan bahkan
dalam jumlah normal yang dihasilkan dari asam-asam non-karbonat dari
proses-proses metabolik sehingga H+ mulai menumpuk di cairan tubuh.

 Ginjal juga tidak dapat menahan HCO3- dalam jumlah memadai untuk
menyangga beban asam yang normal.

 KOMPENSASI UNTUK ASIDOSIS METABOLIK

 Buffer menyerap kelebihan H+.

 Paru mengeluarkan tambahan CO2 penghasil H+.

 Ginjal mengekskresikan lebih banyak H+ dan menahan lebih banyak HCO3-.

 Jika penyakit ginjal menjadi penyebab asidosis metabolik, kompensasi tidak


mungkin tuntas karena tidak tersedia mekanisme ginjal untuk mengatur pH. Ingat
kembali bahwa sistem pernapasan hanya dapat mengompensasi hingga 75% jalan
menuju normal. Asidosis uremik merupakan hal yang sangat serius karena ginjal
tidak dapat membantu memulihkan pH hingga ke normal.

B. Alkalosis metabolik berkaitan dengan peningkatan [HCO3-].

 Metabolic non-respiratorik

 penurunan [H+] plasma akibat defisiensi relatif asam-asam non-karbonat.

 Gangguan asam-basa ini berkaitan dengan peningkatan [HCO3-] yang, pada


keadaan tak- terkompensasi, tidak disertai oleh perubahan [CO2].

 PENYEBAB ALKALOSIS METABOLIK

1. Muntah

 menyebabkan pengeluaran abnormal H+ dari tubuh akibat hilangnya getah


lambung yang asam.

 Asam hidroklorida disekresikan ke dalam lumen lambung selama pencernaan.

 Selama sekresi HC1, bikarbonat ditambahkan ke plasma. HCO3- ini


dinetralkan oleh H+ akhirnya diserap kembali ke dalam plasma sehingga
dalam keadaan normal tidak terjadi penambahan HCO3- ke plasma

 Namun, jika asam ini keluar dari tubuh sewaktu muntah, tidak saja [H+]
plasma menurun tetapi juga tidak lagi terjadi reabsorpsi H+ untuk menetralkan
HCO3- yang ditambahkan ke plasma sewaktu sekresi HCl lambung.

62
 Karena itu, keluarnya HC1 pada hakikatnya meningkatkan [HCO3-] plasma.

2. Ingesti obat alkali

 dapat menyebabkan alkalosis, misalnya saat soda kue (NaHCO3, yang


terurai menjadi Na+ dan HCO3+ dalam larutan) digunakan sendiri
sebagai terapi hiperasiditas lambung.

 Dengan menetralkan kelebihan asam di lambung, HCO3- meredakan


gejala iritasi lambung dan heartburn; tetapi jika HCO3- yang ditelan
melebihi kebutuhan, kelebihan HCO3- akan diserap dari saluran cerna
dan meningkatkan [HCO3-] plasma.

 Kelebihan HCO3- ini berikatan dengan sebagian H+ bebas yang


normalnya ada di plasma dari sumber-sumber non-karbonat,
menurunkan [H+] bebas. (Sebaliknya, produk alkali komersial untuk
mengobati hiperasiditas lambung sama sekali tidak diserap dari saluran
cerna sehingga tidak mengubah status asam-basa tubuh.)

 KOMPENSASI UNTUK ALKALOSIS METABOLIK

■ Pada alkalosis metabolik, sistem dapar kimiawi segera membebaskan H+.


■ Ventilasi berkurang sehingga CO2 penghasil H+ tertahan di cairan tubuh.

■ Jika keadaan menetap beberapa hari, ginjal menahan H+ dan mengekskresikan


kelebihan HCO3- di urine.

REGULASI ACID BASE BALANCE

63
64
BAB II
CLINICAL SCIENCE

2.1 KIDNEY INJURY

• Definisi: Kidney injury/disease keadaan dimana hilangnya fungsi ginjal secara


progresif
Faktor resiko
• Faktor risiko yang dijelaskan dengan baik untuk hilangnya secara progresif fungsi
ginjal:
- hipertensi sistemik,
- diabetes,
- dan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosterone (Tabel 2-1).

Klasifikasi
• ACUTE KIDNEY INJURY
• CHRONIC KIDNEY INJURY

Acute kidney injury


Cedera ginjal akut (AKI), sebelumnya dikenal sebagai akut gagal ginjal, ditandai dengan
gangguan fungsi ginjal yang tiba-tiba mengakibatkan retensi nitrogen dan produk limbah
lainnya yang biasanya dibersihkan oleh ginjal.
Chronic kidney desease
Penyakit ginjal kronis (CKD) mencakup spektrum proses patofosiologis yang berbeda yang
terkait dengan fungsi ginjal abnormal dan penurunan progresif tingkat filtrasi glomerular
(GFR).
Etiology:
AKI

65
CKD

2.2 ACUTE KIDNEY INJURY

Definisi: gangguan fungsi ginjal yang tiba – tiba mengakibatkan retensi nitrogen dan
produk limbah (waste product) lainnya yang biasanya dibersihkan oleh ginjal. AKI
bukanlah penyakit tunggal melainkan, sebutan untuk sekelompok kondisi heterogen yang
memiliki ciri diagnostik yang sama: khususnya, peningkatan konsentrasi kreatinin serum
(SCr) yang sering dikaitkan dengan penurunan volume urin. / impairment in the
glomerular filtration rate (GFR)

66
Epidemiologi:
- Insiden AKI telah meningkat lebih dari empat kali lipat di Amerika Serikat sejak 1988
dan diperkirakan memiliki insiden tahunan sebesar 500 per 100.000 penduduk, lebih
tinggi dari insiden stroke tahunan.
- AKI dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian yang nyata pada individu yang
dirawat di rumah sakit, terutama pada mereka yang dirawat di ICU di mana angka
kematian di rumah sakit dapat melebihi 50%.
- Prerenal conditions account for 50–65% of cases, postrenal for 15%, and renal for the
remaining 20–35%

Etiologi dan Klasifikasi:

Manifestasi Klinis:

67
• Tanda dan gejala bergantung pada penyebab serta tipe AKI yang di timbulkan,
namun pada umumnya:
• Peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN), peningkatan serum creatinine (SCr),
penurunan GFR, Oliguria hingga anuria
• Muntah, diare, glikosuria yang menyebabkan poliuria, dan beberapa obat termasuk
diuretik, NSAID, penghambat ACE, dan ARB.
• Tanda-tanda fisik hipotensi ortostatik, takikardia, penurunan tekanan vena jugularis,
penurunan turgor kulit, dan membran mukosa kering (SERINGNYA PADA
PRERENAL)

1. Prerenal
Kecuali untuk kasus yang jarang terjadi dengan jantung terkait atau gagal "pompa",
pasien biasanya mengeluh haus atau pusing dalam postur tegak (pusing
ortostatik). Mungkin ada riwayat kehilangan cairan secara nyata. Penurunan
berat badan mencerminkan derajat dehidrasi. Pemeriksaan fisik sering
menunjukkan penurunan turgor kulit, vena leher yang kolaps, selaput lendir
kering, dan yang terpenting, perubahan ortostatik atau postural yang berlebihan
pada tekanan darah (didefinisikan sebagai penurunan sistolik> 20 atau
penurunan diastolik> 10 mm Hg) dan denyut nadi.

2. Intrinsic
Biasanya riwayat menunjukkan beberapa data penting seperti sakit tenggorokan
atau infeksi saluran pernapasan atas, penyakit diare, penggunaan antibiotik,
atau penggunaan obat-obatan intravena (sering kali jenis terlarang). Nyeri
punggung bilateral, kadang-kadang parah. Mungkin ada hematuria kotor. Biasanya
pielonefritis muncul sebagai cedera ginjal akut kecuali jika disertai sepsis, obstruksi,
atau keterlibatan ginjal soliter. Penyakit sistemik di mana terjadi cedera ginjal akut
termasuk Henoch-Schönlein purpura, lupus eritematosus sistemik, dan skleroderma.
Defisiensi imun manusia Infeksi virus (HIV) dapat muncul dengan cedera ginjal akut
akibat nefropati terkait HIV.

3. Postrenal
Nyeri dan nyeri tekan pada sudut kostovertebral sering terjadi. Jika telah terjadi
cedera ureter operatif dengan ekstravasasi urin terkait, urin bisa bocor melalui luka.
Edema akibat overhidrasi mungkin terjadi. Ileus sering muncul bersamaan dengan
perut kembung dan muntah.

68
Stage:

Diagnosis:

1. Anamnesis
• Apakah gagal ginjal akut atau kronis? Riwayat penyakit kronis atau tanda-tanda CKD
seperti anemia dapat mengindikasikan kronisitas

69
• Adakah obstruksi saluran kemih? Obstruksi harus selalu dianggap sebagai penyebab
karena dapat disembuhkan dan pengobatan yang tepat dapat mencegah kerusakan
ginjal permanen
• Adakah penyebab langka cedera ginjal akut? Misalnya, mieloma, vaskulitis sistemik,
sindrom uremik hemolitik karena pengobatan yang tepat dapat menyelamatkan
nyawa.

• Anamnesis mungkin menunjukkan adanya gangguan ginjal, hipertensi, atau


diabetes mellitus yang sudah ada sebelumnya, yang semuanya merupakan
predisposisi penyakit ginjal.iskemia.
• Hematuria Frank yang diikuti oliguria menunjukkan glomerulonefritis; hemoptisis
menunjukkan sindrom Goodpasture; Infeksi tenggorokan atau kulit baru-baru ini
menunjukkan glomerulonefritis pasca infeksi.
• Pada pria, frekuensi kencing, nokturia, dan aliran yang buruk dengan keraguan
dan dribbling menunjukkan obstruksi postrenal akibat penyakit prostat.
• Nyeri otot dan bengkak setelah olahraga menunjukkan adanya rhabdomyolysis.
• Gastroenteritis baru-baru ini dapat mengindikasikan sindrom uremik hemolitik terkait
Escherichia coli.
• Riwayat medis masa lalu dapat mengungkapkan penyakit multisistem yang mendasari
terkait dengan glomerulonefritis, penyakit vaskular (terkait dengan stenosis arteri
ginjal), keganasan (terkait dengan hiperkalsemia), atau infeksi kronis seperti
osteomielitis atau katup jantung abnormal yang rentan terhadap endokarditis .
• Riwayat obat harus mencakup kemungkinan penggunaan analgesik dan keracunan
sendiri.
• A history of prostatic disease, nephrolithiasis, or pelvic or paraaortic malignancy
(POSTRENAL)
• Colicky flank pain radi-ating to the groin suggests acute ureteric obstruction.
(POSTRENAL)

2. PEMERIKSAAN FISIK
• Kaji status volume cairan. Perhatikan tanda-tanda penyakit multisistem, emboli
kolesterol, dan penggunaan obat intravena.
• Otot bengkak atau nyeri menunjukkan rhabdomyolysis.
• Mata mungkin mengalami hipertensi, diabetes, atau perubahan diagnostik lainnya.
• Periksa semua luka baring, serta luka bedah dan trauma untuk mengetahui
adanya sepsis.
• Nadi, tekanan darah (berbaring dan berdiri jika perlu), tekanan vena jugularis, dan
pemeriksaan jantung dapat mengindikasikan penurunan volume, lesi jantung, atau
perikarditis.
• Periksa dada untuk mengetahui adanya edema paru dan bukti infeksi atau
perdarahan.
• Penyakit saluran napas bagian atas atau sinusitis menunjukkan penyakit Wegener.
• Ginjal polikistik dapat teraba dan kandung kemih besar yang teraba
menunjukkan adanya obstruksi.
• Pemeriksaan rektal mungkin menunjukkan penyakit prostat atau panggul.

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Urine Findings (Urinalisis dan urine sediment)
• Oliguria, defined as <400 mL/24 h) usually denotes more significant AKI

70
- AKI from ischemia or nephrotoxins leads to mild proteinuria (<1 g/d).
- Prerenal azotemia may present with hyaline casts or an unremarkable urine
sediment exam.
- Postrenal AKI may also lead to an unremarkable sediment (minimal proteinuria or
haematuria), but hematuria and pyuria may be seen depending on the cause of
obstruction.
- AKI from ATN due to ischemic injury, sepsis, or certain nephrotoxins has
characteristic urine sediment findings: pigmented “muddy brown” granular casts and
tubular epithelial cell casts.

71
• Peningkatan konsentrasi urea plasma dan kreatinin
• Peningkatan konsentrasi kalium dalam plasma
• Asidosis metabolik dan peningkatan anion gap
• Peningkatan fosfat plasma dan penurunan kalsium plasma (kurang ditandai
dibandingkan di CKD)
• Dapat terjadi penurunan natrium plasma
• Perubahan biokimia urin: tergantung pada apakah ada gagal ginjal atau prerenal

• Radiologi
Ultrasonografi wajib dilakukan untuk menyingkirkan obstruksi dan untuk menentukan
ukuran ginjal. Ginjal kecil menunjukkan penyakit ginjal kronis. Pemeriksaan angiografi
atau ultrasonografi Doppler atau metode radio-isotop dapat mengevaluasi perfusi ginjal.
• Novel Biomarker
BUN dan kreatinin adalah biomarker fungsional filtrasi glomerulus daripada biomarker
cedera jaringan dan oleh karena itu mungkin kurang optimal untuk diagnosis penyakit.

72
73
RIFLE

Klasifikasi RIFLE didasarkan pada penentu SCr dan UO, dan mempertimbangkan tiga kelas
keparahan AKI (Risiko, Injury, dan Failure), menurut variasi SCr dan / atau UO, dan dua
kelas hasil (kehilangan fungsi ginjal). dan penyakit ginjal stadium akhir)

74
Manajemen:

Penanganan bergantung pada penyebabnya dan tipe dari AKI.


PRINSIPNYA adalah :
- Optimalisasi hemodinamis
- Optimalisasi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh
- Penghentian obat yang nephrotoxic

Pengaturan dosis obat


• Elektrolit
Elektrolit plasma harus diukur setiap hari. Asupan kalium harus dibatasi dan diuretik atau
terapi penggantian ginjal digunakan untuk mencegah hiperkalemia.
• Asam
Asam menghambat proses metabolisme. Asidosis berat dengan fungsi ginjal yang tidak
memadai harus diobati dengan terapi penggantian ginjal.
• Volume
Kaji volume cairan tubuh secara teratur. Jika perlu, ukur tekanan vena sentral dengan kateter
vena jugularis interna atau subklavia. Pantau pemasukan dan pengeluaran cairan. Kateterisasi
urin memberikan volume urin yang akurat, tetapi merupakan risiko infeksi. Kehilangan
insensible harian bervariasi dengan minimal 500mL dan sekitar 500mL ekstra per ° C
demam. Penimbangan harian pasien dapat memandu penggantian volume. Penggantian
volume harus sesuai dengan kerugian yang diketahui dan tidak dapat dirasakan.

75
• Edema paru
Pasien harus duduk dan diberi oksigen. Diuretik diberikan jika ada fungsi ginjal. Jika tidak,
terapi penggantian ginjal harus segera dilakukan. Sementara itu, nitrat dan opiat memberikan
vasodilatasi. Jika perlu, lakukan vena 200-500 mL darah dan berikan ventilasi pada pasien
dengan tekanan ekspirasi akhir positif.
• Renal Replacement Therapy
Indikasi absolut untuk terapi penggantian ginjal meliputi hiperkalemia, asidosis, edema
paru, dan komplikasi uremik yang parah.

76
77
Komplikasi:
- Uremia
- Hypovolemia
- Hypervolemia
- Bleeding

78
- Hyponatremia
- Hyperkalemia
- Acidosis
- Hyperphospathemia dan hypocalcemia
- Cardiac complications (aritmia, pericarditis, pericardial effusion)
- Infeksi
- Malnutrisi

Prognosis:
• Azotemia prerenal, dengan pengecualian sindrom kardiorenal dan hepatorenal, dan
azotemia postrenal memiliki prognosis yang lebih baik daripada kebanyakan
kasus AKI intrinsik. Ginjal dapat pulih bahkan setelah AKI parah yang
membutuhkan dialisis. Orang yang selamat dari episode AKI yang membutuhkan
dialisis sementara, bagaimanapun, berada pada risiko yang sangat tinggi untuk CKD
progresif, dan hingga 10% dapat mengembangkan penyakit ginjal stadium akhir.
• Pasien dengan AKI lebih mungkin meninggal secara prematur setelah meninggalkan
rumah sakit meskipun fungsi ginjalnya telah pulih.

PATHOGENESIS & PATHOPHYSIOLOGY AKI


PreRenal

Renal/Intrinsik

79
Post Renal

PATFIS UMUM AKI (terjadi di semua klasifikasi)

2.3 CHRONIC KIDNEY DISEASE

Definisi
- Penyakit ginjal kronis (CKD) mencakup spektrum proses patofisiologis yang berbeda
yang terkait dengan fungsi ginjal abnormal dan penurunan progresif dalam laju filtrasi
glomerulus (GFR).

80
- Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan sebagai adanya kerusakan ginjal atau
perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR) kurang dari 60 ml / menit / 1,73 mt2,
bertahan selama 3 bulan atau lebih, terlepas dari penyebabnya.
- Ini adalah keadaan hilangnya fungsi ginjal secara progresif yang pada akhirnya
memerlukan terapi penggantian ginjal (dialisis atau transplantasi).

Epidemiologi
• Prevalensi sekitar 10% sampai 14% pada populasi umum.
• Albuminuria (mikroalbuminuria atau A2) dan GFR kurang dari 60 ml menit / 1,73
mt2 memiliki prevalensi masing-masing 7% dan 3% - 5%.
• Di seluruh dunia, CKD menyumbang 2.968.600 (1%) dari disability-adjusted life-
years dan 2.546.700 (1% sampai 3%) life-years lost pada tahun 2012.
• Diperkirakan 6% dari populasi orang dewasa di Amerika Serikat menderita CKD
pada tahap 1 dan 2. Dan 4,5% dari populasi A.S. diperkirakan memiliki stadium 3 dan
4 CKD.

Penyebab CKD bervariasi secara global, dan penyakit primer yang paling umum
menyebabkan CKD dan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) adalah sebagai berikut :
• Diabetes melitus tipe 2 (30% hingga 50%)
• Diabetes melitus tipe 1 (3,9%)
• Hipertensi (27,2%)
• Glomerulonefritis primer (8,2%)
• Nefritis tubulointerstitial kronis (3,6%)
• Penyakit keturunan atau kistik (3,1%)
• Penyakit keturunan atau kistik (3,1%)
• Glomerulonefritis sekunder atau vaskulitis (2,1%)
• Diskrasia atau neoplasma sel plasma (2.1)
• Sickle Cell Nephropathy (SCN) 1%
• CKD dapat terjadi akibat proses penyakit di salah satu dari tiga kategori:
• prerenal (penurunan tekanan perfusi ginjal),
• ginjal intrinsik (patologi pembuluh darah, glomeruli, atau tubulus-interstitium), atau
• postrenal (obstruktif).

Etiologi
1. Penyakit Prerenal
Penyakit prerenal kronis terjadi pada pasien dengan gagal jantung kronis atau sirosis dengan
perfusi ginjal yang terus menurun, yang meningkatkan kecenderungan terjadinya beberapa

81
episode cedera ginjal intrinsik, seperti nekrosis tubular akut (ATN). Hal ini menyebabkan
hilangnya fungsi ginjal secara progresif dari waktu ke waktu.
2. Penyakit Vaskular Ginjal Intrinsik
Penyakit pembuluh darah ginjal kronis yang paling umum adalah nefrosklerosis, yang
menyebabkan kerusakan kronis pada pembuluh darah, glomeruli, dan tubulointerstitium.
Penyakit pembuluh darah ginjal lainnya adalah stenosis arteri ginjal akibat
aterosklerosis atau displasia fibromuskular yang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun,
menyebabkan nefropati iskemik, yang ditandai dengan glomerulosklerosis dan fibrosis
tubulointerstitial.
3. . Penyakit Glomerular Intrinsik (Nefritik atau Nefrotik)
Pola nefritik ditunjukkan oleh mikroskop urin abnormal dengan ada sel darah merah
(RBC) dan sel darah merah dysmorphic, terkadang sel darah putih (WBC), dan tingkat
proteinuria yang bervariasi. Penyebab tersering adalah GN pasca streptokokus, endokarditis
infektif, nefritis shunt, nefropati IgA, lupus nefritis, sindrom Goodpasture, dan vaskulitis.
Pola nefrotik dikaitkan dengan proteinuria, biasanya dalam kisaran nefrotik (lebih dari
3,5 gm per 24 jam), dan analisis mikroskopis urin tidak disertatai RBC. Hal ini umumnya
disebabkan oleh penyakit perubahan minimal, glomerulosklerosis fokal segmental, GN
membran, GN membranoproliferatif (Tipe 1 dan 2 dan terkait dengan krioglobulinemia),
nefropati diabetik, dan amiloidosis.

4. Penyakit Tubular dan Interstisial Intrinsik


- penyakit ginjal polikistik (PKD).
- nefrokalsinosis (paling sering karena hiperkalsemia dan hiperkalsiuria),
- sarkoidosis,
- sindrom Sjogren,
- nefropati refluks pada anak-anak dan dewasa muda,
- Idiopatik
5. Postrenal (Nefropati Obstruktif)
- penyakit prostat,
- nefrolitiasis atau tumor perut / panggul
- Fibrosis retroperitonea l(jarang)

Faktor Resiko

Faktor Risiko CKD yang Tidak Dapat Dimodifikasi


• Usia yang lebih tua,
• jenis kelamin laki-laki,
• etnis non-Kaukasia (Afrika Amerika, individu Afro-Karibia, Hispanik, dan Asia)
• Faktor genetik : mutase gen TCF7L2 dan MTHFS & polimorfisme gen yang
mengkode mediator fibrous tissue ginjal dan sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAAS) ditemukan mempengaruhi perkembangan CKD.
Faktor Risiko CKD yang Dapat Diubah
• hipertensi sistemik,
• proteinuria, dan
• faktor metabolic (resistensi insulin, dislipidemia, dan hiperurisemia)
• Obesitas
• Merokok
Rekomendasi untuk Skrining CKD

82
Pedoman KDOQI merekomendasikan skrining populasi berisiko tinggi yang mencakup
individu dengan Hipertensi, Diabetes mellitus, dan mereka yang berusia lebih dari 65 tahun.
Mencakup
1. urinalisis,
2. rasio albumin-kreatinin urin (ACR),
3. pengukuran kreatinin serum dan estimasi GFR
sebaiknya dengan persamaan kolaborasi epidemiologi penyakit ginjal kronis (CKD-EPI).

Klasifikasi
Klasifikasi KDIGO CKD 2012 :
mengklasifikasikannya ke dalam 6 kategori berdasarkan laju filtrasi glomerulus 6 kategori
tersebut meliputi:
• G1: GFR 90 ml / menit per 1,73 m2 ke atas
• G2: GFR 60 hingga 89 ml / menit per 1,73 m2
• G3a: GFR 45 hingga 59 ml / menit per 1,73 m2
• G3b: GFR 30 hingga 44 ml / menit per 1,73 m2
• G4: GFR 15 hingga 29 ml / menit per 1,73 m2
• G5: GFR kurang dari 15 ml / menit per 1,73 m2 atau pengobatan dengan dialisis
Tiga tingkat albuminuria termasuk rasio albumin-kreatinin (ACR)
• A1: ACR kurang dari 30 mg / gm (kurang dari 3,4 mg / mmol)
• A2: ACR 30 sampai 299 mg / gm (3,4 sampai 34 mg / mmol)
• A3: ACR lebih besar dari 300 mg / gm (lebih dari 34 mg / mmol).

83
Pathogenesis dan patofisiologi

84
Patofisiologi

Kerusakan kronis dan berkelanjutan dari nefropati kronis dan progresif berkembang menjadi
fibrosis ginjal progresif dan kerusakan arsitektur normal ginjal. Ini mempengaruhi semua
kompartemen-kompartemen ginjal, yaitu
• glomeruli,
• tubulus,
• interstisium, dan pembuluh darah.
Secara histologis bermanifestasi sebagai
• glomerulosklerosis,
• fibrosis tubulointerstitial, dan
• sklerosis vaskular.

Urutan peristiwa yang menyebabkan jaringan parut dan fibrosis bersifat kompleks,
• Infiltrasi ginjal yang rusak dengan sel inflamasi ekstrinsik
• Aktivasi, proliferasi, dan hilangnya sel ginjal intrinsik (melalui apoptosis, nekrosis,
mesangiolisis, dan podocytopenia)
• Aktivasi dan proliferasi sel penghasil matriks ekstraseluler (ECM) termasuk
miofibroblas dan fibroblas
• Deposisi ECM menggantikan arsitektur normal

Mekanisme yang mempercepat progresi CKD


• Hipertensi sistemik dan intraglomerular
• Hipertrofi glomerulus
• Pengendapan kalsium fosfat intramenal
• Metabolisme prostanoid berubah
Semua mekanisme ini mengarah pada entitas histologis yang disebut glomerulosklerosis
fokal segmental.

Patofisiologi CKD melibatkan dua set besar mekanisme kerusakan:


• mekanisme awal yang spesifik terhadap etiologi yang mendasari (misalnya, kelainan
genetik yang ditentukan dalam perkembangan atau integritas ginjal, deposisi
kompleks imun dan inflamasi pada jenis glomerulonefritis tertentu, atau toksin
paparan penyakit tertentu pada tubulus ginjal dan interstitium) dan
• serangkaian mekanisme progresif, yang melibatkan hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron
aktif yang tersisa, yang merupakan konsekuensi umum setelah pengurangan massa
ginjal jangka panjang, terlepas dari etiologi

85
Faktor risiko klinis untuk percepatan perkembangan CKD
• proteinuria,
• hipertensi,
• ras kulit hitam, dan
• hiperglikemia.
• paparan lingkungan seperti timbal, merokok, sindrom metabolik, mungkin beberapa
agen analgesik, dan obesitas
Patofisiologi sindrom uremik dapat dibagi menjadi manifestasi dalam tiga bidang disfungsi:
• akibat akumulasi toksin yang biasanya menjalani ekskresi ginjal, termasuk produk
metabolisme protein;
• akibat hilangnya fungsi ginjal lainnya, seperti homeostasis cairan dan elektrolit serta
regulasi hormon; dan
• inflamasi sistemik progresif.

86
Sign & Symptoms
Stadium awal CKD tidak bergejala, dan gejala bermanifestasi pada stadium 4 atau 5.
Biasanya terdeteksi dengan tes darah atau urine rutin. Beberapa gejala dan tanda umum pada
tahapan CKD ini adalah:
• Mual
• Muntah
• Kehilangan selera makan
• Kelelahan dan kelemahan
• Gangguan tidur
• Oliguria
• Ketajaman mental menurun
• Otot berkedut dan kram
• Pembengkakan pada kaki dan pergelangan kaki
• Pruritus persisten
• Nyeri dada akibat perikarditis uremik
• Sesak napas akibat edema paru akibat kelebihan cairan
• Hipertensi yang sulit dikendalikan
• Pemeriksaan fisik seringkali terkadanag ditemukan
• Pigmentasi kulit
• Bekas luka pruritus
• Gesekan gesekan perikardial akibat uremik pericarditis
• Uremic frost, where high levels of BUN result in urea in sweat
• Hypertensive fundal changes suggesting chronicity

Persistensi dalam urin> 17 mg albumin per gram kreatinin pada pria dewasa dan 25
mg albumin per gram kreatinin pada wanita dewasa biasanya menandakan kerusakan
ginjal kronis
Stadium 1 dan 2 CKD biasanya tidak berhubungan dengan gejala apa pun yang timbul
dari penurunan GFR.
Jika penurunan GFR berlanjut ke stadium 3 dan 4, komplikasi klinis dan laboratorium
CKD menjadi lebih menonjol. Hampir semua sistem organ terpengaruh, tetapi komplikasi
yang paling jelas termasuk
• anemia dan mudah lelah yang terkait;
• penurunan nafsu makan dengan malnutrisi progresif;
• kelainan kalsium, fosfor, dan hormon pengatur mineral, seperti 1,25 (OH) 2D3
(kalsitriol), hormon paratiroid (PTH), dan
• faktor pertumbuhan fibroblas 23 (FGF-23); dan
• kelainan pada natrium, kalium, air, dan homeostasis asam basa.

87
Evaluasi
Menentukan Kronisitas
Ketika eGFR kurang dari 60 ml / menit / 1,73m terdeteksi pada pasien, perhatian perlu
diberikan pada hasil tes darah dan urin sebelumnya dan riwayat klinis untuk menentukan
apakah ini merupakan hasil dari AKI atau CKD yang telah ada tapi asimtomatik. Faktor-
faktor yang membantu
• Riwayat hipertensi kronis yang berlangsung lama, proteinuria, mikrohematuria, dan
gejala penyakit prostat
• Pigmentasi kulit, bekas goresan, hipertrofi ventrikel kiri, dan perubahan fundus
hipertensi
• Hasil tes darah dari kondisi lain seperti multiple myeloma, vasculitis sistemik akan
membantu.
• serum Kalsium yang rendah dan kadar fosfor yang tinggi, tetapi kadar hormon
paratiroid yang normal menunjukkan AKI daripada CKD
• Pasien yang memiliki nilai nitrogen urea darah (BUN) yang sangat tinggi lebih dari
140 mg / dl, kreatinin serum lebih dari 13,5 mg / dl, yang tampak relatif baik dan
masih buang air kecil dengan volume normal lebih cenderung mengalami CKD
dibandingkan penyakit ginjal akut. .
• Penilaian Laju Filtrasi Glomerulus
• Untuk pasien yang perbedaan antara AKI dan CKD tidak jelas, tes fungsi
ginjal harus diulang dalam 2 minggu sejak ditemukannya eGFR rendah di bawah 60
ml / menit / 1,73 m. Jika tes sebelumnya memastikan bahwa eGFR rendah bersifat
kronis atau hasil tes darah berulang selama 3 bulan konsisten, CKD dikonfirmasi. Jika
eGFR berdasarkan kreatinin serum diketahui kurang akurat, maka penanda lain
seperti cystatin-c atau pengukuran pembersihan isotop dapat dilakukan.

88
• Penilaian Proteinuria
• KDIGO merekomendasikan bahwa proteinuria harus dinilai dengan
mengambil sampel urin di pagi hari dan mengukur rasio albumin-kreatinin (ACR).
Derajat albuminuria dinilai dari A1 hingga A3, menggantikan istilah sebelumnya
seperti mikroalbuminuria.
Pencitraan Ginjal
• Jika pemeriksaan ultrasonografi ginjal menunjukkan ginjal kecil dengan ketebalan
kortikal berkurang, ekogenisitas meningkat, jaringan parut, atau banyak kista, ini
menunjukkan proses kronis.
• USG ginjal Doppler dapat digunakan pada dugaan stenosis arteri ginjal untuk
mengevaluasi aliran vaskular ginjal
• Tomografi terkomputerisasi: CT non-kontras dosis rendah digunakan untuk
mendiagnosis penyakit batu ginjal. Ini juga digunakan untuk mendiagnosis obstruksi
ureter yang dicurigai yang tidak dapat dilihat dengan ultrasonografi.
• Angiografi ginjal berperan dalam diagnosis poliarteritis nodosa di mana terlihat
banyak aneurisma dan daerah penyempitan yang tidak teratur.
• Voiding cystourethrography terutama digunakan ketika refluks vesikouretral kronis
dicurigai sebagai penyebab CKD. Ini digunakan untuk memastikan diagnosis dan
memperkirakan tingkat keparahan refluks.
• Pemindaian ginjal/ Renal scans dapat memberikan informasi yang cukup tentang
anatomi dan fungsi ginjal. Mereka digunakan terutama pada anak-anak karena
dikaitkan dengan paparan radiasi yang lebih rendah dibandingkan dengan CT scan.
Pemindaian ginjal radionuklida digunakan untuk mengukur perbedaan fungsi antara
ginjal.

Staging
The 6 categories include:
G1: GFR 90 ml/min per 1.73 m2 and above
G2: GFR 60 to 89 ml/min per 1.73 m2
G3a: GFR 45 to 59 ml/min per 1.73 m2
G3b: GFR 30 to 44 ml/min per 1.73 m2
G4: GFR 15 to 29 ml/min per 1.73 m2
G5: GFR less than 15 ml/min per 1.73 m2 or treatment by dialysis
The 3 levels of albuminuria include albumin-creatinine ratio (ACR):
A1: ACR less than 30 mg/gm (less than 3.4 mg/mmol)
A2: ACR 30 to 299 mg/gm (3.4 to 34 mg/mmol)
A3: ACR greater than 300 mg/gm (greater than 34 mg/mmol)

Diagnosis Banding
• Acute kidney injury
• Airport syndrome
• Antigiomerular basement membrane disease
• Chronic glomerulonephritis
• Diabetic nephropathy
• Multiple myeloma
• Nephrolithiasis
• Nephrosclerosis
• Rapidly progressive glomerulonephritis
• Renal artery stenosis

89
Treatment
Memperlambat Perkembangan CKD
• Faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan CKD harus ditangani seperti
hipertensi, proteinuria, asidosis metabolik, dan hiperlipidemia.
• Menghentikan merokok : risiko pengembangan nefrosklerosis dan penghentian
merokok memperlambat perkembangan CKD.
• Pembatasan protein : jenis dan jumlah asupan protein belum dapat ditentukan.
• Suplementasi bikarbonat untuk pengobatan asidosis metabolik kronis
• kontrol glukosa yang intensif pada penderita diabetes dapat memperlambat
perkembangan albuminuria dan juga perkembangan albuminuria menjadi proteinuria.
Persiapan dan Inisiasi Terapi Penggantian Ginjal
Setelah perkembangan CKD dicatat, pasien harus ditawarkan berbagai pilihan untuk terapi
penggantian ginjal.
• Hemodialisis (rumah atau di tengah)
• Dialisis peritoneal (kontinyu atau intermiten)
• Transplantasi ginjal (donor hidup atau meninggal): Ini adalah pengobatan pilihan
untuk ESRD dengan hasil jangka panjang yang lebih baik.
• Pasien yang tidak menginginkan terapi penggantian ginjal harus diberikan informasi
tentang manajemen perawatan konservatif dan paliatif.
• Hemodialisis dilakukan setelah akses vaskular yang stabil ditempatkan pada lengan
yang tidak dominan.
• Dialisis peritoneal dilakukan setelah pemasangan kateter peritoneal.
Indikasi untuk Terapi Penggantian Ginjal
• Perikarditis atau pleuritis (indikasi mendesak)
• Ensefalopati atau neuropati uremik progresif, dengan tanda-tanda seperti
kebingungan, asteriksis, mioklonus, dan kejang (indikasi mendesak)
• Diatesis perdarahan yang signifikan secara klinis disebabkan oleh uremia (indikasi
mendesak)
• Hipertensi tidak responsif terhadap obat antihipertensi
• Kelebihan cairan bersifat refrakter terhadap diuretik Gangguan metabolisme yang
refrakter terhadap terapi medis seperti hiperkalemia, hiponatremia, asidosis
metabolik, hiperkalsemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia
• Mual dan muntah terus menerus
• Bukti malnutrisi
Transplantasi ginjal adalah pilihan pengobatan terbaik untuk ESRD dibandingkan dengan
terapi dialisis jangka panjang. Pasien dengan CKD memenuhi syarat untuk terdaftar untuk
program transplantasi ginjal ketika eGFR kurang dari 20 ml / menit / 1,73m2 .

Penatalaksanaan konservatif ESRD juga merupakan pilihan untuk semua pasien yang
memutuskan untuk tidak melanjutkan terapi penggantian ginjal. Perawatan konservatif
mencakup
• manajemen gejala,
• perencanaan perawatan, dan
• penyediaan perawatan paliatif yang sesuai.

Kapan Merujuk ke Nephrologist


Pasien dengan CKD harus dirujuk ke nephrologist jika GFR diperkirakan kurang dari 30 ml /
menit / 1,73 mt2. Inilah saatnya membahas pilihan terapi pengganti ginjal.

Komplikasi

90
Prognosis
Pasien dengan CKD dan terutama penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) berada pada
peningkatan risiko kematian, terutama dari penyakit kardiovaskular. Review data USRDS
2009 menunjukkan bahwa kemungkinan bertahan hidup 5 tahun pada pasien yang menjalani
dialisis hanya sekitar 34%

Pencegahan dan Edukasi Pasien


• Semua kelompok pasien risiko tinggi seperti penderita diabetes, hipertensi, sebaiknya
tidak hanya dilakukan skrining untuk CKD tetapi juga diberikan penyuluhan tentang
gejala dan tanda PGK. Pasien dengan CKD harus diajari tentang intervensi berikut di
rumah
• 80%-85% pasien CKD menderita hipertensi, dan mereka harus diinstruksikan untuk
mengukur tekanan darah setiap hari dan mencatat tekanan darah dan berat badan
harian. Mereka harus diberi resep diuretik sebagai bagian dari rejimen antihipertensi.
• Harus ada diskusi dengan pasien oleh ahli gizi atau dokter tentang diet rendah protein
yang dapat memperlambat perkembangan CKD dan makanan yang mengandung
kalium.
• Semua pasien dengan PGK stadium lanjut harus diinstruksikan tentang perlunya
mengontrol kadar fosfor.
• Pasien CKD yang sedang hamil harus diberi tahu bahwa kehamilan dapat
memperburuk CKD dan bagaimana penurunan fungsi ginjal dapat mempengaruhi
kehamilan

KEY POINT & other issues

91
• Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau perkiraan
laju filtrasi glomerulus (eGFR) kurang dari 60 ml / menit / 1,73 m yang berlangsung
selama tiga bulan atau lebih terlepas dari penyebabnya.
• CKD biasanya asimtomatik sampai stadium IV dan V.
• Pedoman KDOQI merekomendasikan skrining populasi berisiko tinggi yang meliputi
individu dengan hipertensi, diabetes mellitus, dan mereka yang berusia lebih dari 65
tahun dengan urinalisis, rasio albumin-kreatinin urin (ACR), pengukuran kreatinin
serum dan estimasi GFR dengan kolaborasi epidemiologi penyakit (CKD-EPI).
• Kalsium dan fosfor tidak berguna untuk membedakan AKI dari CKD. Namun, PTH
normal menunjukkan AKI daripada CKD.
• Hipertensi sistemik, proteinuria, hiperlipidemia, dan asidosis metabolik menyebabkan
progresi CKD dan perlu ditangani secara agresif.
• Suplementasi bikarb
• onat untuk mencapai target bikarbonat serum sebesar 23 menunda perkembangan
CKD. Semua pasien PGK perlu dievaluasi untuk anemia, hipertensi, asidosis
metabolik, dan kelainan tulang dan mineral.

92
2.4 MANAGEMENT AKI
Hyperkalemia
Hyperkalemia merupakan salah satu komplikasi AKI yang mengancam jiwa. Sehingga
diperlukan pengobatan segera.
Hyperkalemia pada AKI diantaranya disebabkan karena :
 Retensi kalium akibat kegagalan filtrasi dan sekresi kalium melalui tubulus oleh ginjal
yang rusak.
 Terdapat peningkatan beban kalium endogen yang terkait dengan beberapa penyebab
acute kidney injury seperti muscle crush injury.
 Kondisi atau obat yang secara langsung memengaruhi kapasitas tubulus distal untuk
mengeluarkan kalium, seperti pada kondisi saluran kemih terinfeksi dan obstruksi,
aldosteron rendah, atau ketika potassium-sparing diuretics atau inhibitor ACE sedang
digunakan.
 Asidosis metabolik, dapat menyebabkan hiperkalemia dengan cara meningkatkan
pertukaran transselular ion kalium dengan ion hidrogen.
Gangguan kalium ini sangat serius karena potensinya untuk menghasilkan asistol jantung
yang mengancam jiwa melalui efeknya pada rangsangan cardiac conducting tissue.
Gangguan kalium juga dapat menyebabkan kelemahan otot rangka yang parah.
Abnormalitas EKG sering kali merupakan indikasi pertama adanya hiperkalemia berat yang
terkait dengan kalium serum lebih > 6,5 mmol / L, memerlukan perawatan darurat dengan :
 Infus kalsium glukonat untuk menstabilkan potensi membran di cardiac conducting
tissue
 Diikuti oleh agen untuk memindahkan kalium ke dalam sel (nebulized betaagonists,
intravenous sodium bicarbonate, intravenous glucose and insulin).
 Tindakan ini harus disertai dengan intervensi untuk menghilangkan kalium dari tubuh
(ion exchange resins atau dialysis)

Acute treatment
Tujuan terapi akut :
1. Menstabilkan membran miokardium untuk mencegah aritmia, dengan cara:

93
o Kalsium intravena diberikan untuk menstabilkan miokardium; itu menurunkan
potensi ambang batas, sehingga menangkal efek racun dari kalium tinggi.
o Pasien harus dalam monitor jantung, dan EKG dapat diulang setelah pemberian
kalsium. Jika perubahan EKG berlanjut setelah 5–10 menit, injeksi kalsium kedua
harus diulangi dalam 5 menit.
o Kalsium harus diberikan dengan hati-hati dan dipantau secara ketat pada pasien
yang menggunakan digitalis, terutama mereka yang memiliki tingkat digoksin
yang tinggi dalam darahnya. Hiperkalsemia dapat meningkatkan efek kardiotoksik
digitalis. Untuk keamanan tambahan, dosis kalsium yang sama (10 cc dari 10%
kalsium glukonat) ditambahkan ke 100 cc dekstrosa 5% dalam air dan diinfuskan
selama 20-30 menit untuk menghindari hiperkalsemia sementara. Dalam kondisi
hiperkalemia akibat toksisitas digitalis, diindikasikan penggunaan antibodi
spesifik digitoksin.

2. Memindahkan kalium dari ruang vaskular ke dalam sel


A. Insulin
o Insulin biasanya diberikan 10 unit secara intravena dengan 50 mL glukosa 50
persen untuk melawan hipoglikemia. Dosis berulang dapat diberikan jika kadar
kalium tetap tinggi.
o Insulin bekerja dengan meningkatkan aktivitas Na-K-ATPase .
o Patients with hyperglycemia can be given insulin alone to avoid worsening of
hyperkalemia by hyperosmolar state. Blood sugar levels should be closely
monitored to avoid hypoglycemia
B. Agonis beta-2
o Agonis beta-2 yang dihirup memiliki onset kerja yang cepat. Efek agonis beta2
aditif terhadap pemberian insulin, dan mereka dapat digunakan bersama-sama.
Nebulisasi albuterol (Ventolin) diambil dalam dosis 10 sampai 20 mg.
o Bekerja dengan meningkatkan Na-K-ATPase

3. Meningkatkan eliminasi dari kalium tubuh


A. Terapi diuretic
Penggunaan loop diuretik, seperti furosemid 40-80 mg IV, dalam kombinasi
dengan infus saline untuk memastikan pengiriman natrium ke nefron distal dapat
meningkatkan ekskresi kalium ginjal pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Terapi diuretik kronis dapat digunakan pada pasien CKD dan hiperkalemia ringan.
B. Resin penukar kation
o Sodium-polysterene sulfonate (SPS) dapat digunakan secara oral dan dalam
bentuk enema retensi dan bekerja terutama di usus besar dengan menukar natrium
dengan ion kalium.
o SPS dapat menyebabkan sembelit, sehingga biasanya diberikan dengan agen
laxatives, seperti sorbitol.

94
o Resin ini tidak digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk hiperkalemia
karena onset kerjanya yang lambat dan kurangnya efek langsung.
o Tidak ada pedoman yang ditetapkan tentang dosisnya berkorelasi dengan tingkat
kalium
o Tinjauan retrospektif kadar kalium pada orang yang hanya menerima resin
menunjukkan bahwa 30 g resin menghasilkan penurunan rata-rata kalium serum
0,99 mEq / L
o Salah satu efek samping utama SPS di sorbitol adalah nekrosis kolon yang
berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pasien mungkin
rentan terhadap iskemia usus bahkan tanpa adanya penyakit ginjal stadium akhir,
intervensi bedah, atau komorbiditas yang signifikan.
C. Hemodialisis
o Hemodialisis adalah terapi pilihan untuk hiperkalemia yang mengancam jiwa pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal, rhabdomiolisis berat, atau untuk
hiperkalemia berat yang tidak responsif terhadap penatalaksanaan medis.

Long term treatment


1. Modifikasi diet
o Diet rendah kalium dan obat yang memicu hiperkalemia harus dihentikan jika
memungkinkan.
o Pembatasan garam dan cairan menjadi penting dalam pengelolaan gagal ginjal di
mana ginjal tidak mengeluarkan racun atau cairan secara memadai.
o Karena kalium tidak diekskresikan secara optimal pada pasien AKI, kadar
elektrolit dalam darah cenderung tinggi. Pembatasan elemen-elemen ini dalam
makanan mungkin diperlukan

2. Obat
o Penggunaan diuretik loop atau fludrokortison diperlukan untuk pasien dengan
hipoaldosteronisme hiporeninemik yang hiperkalemia berulang atau kronis.
o Hiperkalemia yang disebabkan oleh penggunaan penghambat ACE atau
penghambat reseptor angiotensin pada pasien dengan gagal ginjal kronis dan
asidosis metabolik dapat berespon terhadap suplementasi natrium bikarbonat.
Dosisnya adalah 25 hingga 50 mEq setiap hari (dua tablet dua kali sehari dengan
masing-masing 8 mEq,) atau soda kue (1/2 hingga 1 sdt setiap hari). Penggunaan
diuretik bersamaan membatasi risiko kelebihan volume

Metabolic Acidosis
Asidosis metabolic merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada AKI.
Management :
A. Natrium bikarbonat (jika pH <7,2 untuk menjaga bikarbonat serum> 15 mmol /
L)
NaHCO3 dapat dikonsumsi secara oral sebagai tablet atau bubuk atau diberikan
secara intravena sebagai bolus hipertonik atau infus isotonik, yang dapat dibuat

95
dengan menambahkan 150 mmol NaHCO3 untuk 1 liter dekstrosa 5% dalam air
(D5W). Larutan ini berguna jika perawatan membutuhkan ekspansi volume dan
pemberian alkali.
B. Sitrat
Dapat diambil secara oral sebagai cairan, sebagai natrium sitrat, kalium sitrat, atau
asam sitrat, atau kombinasi.
Banyak pasien menemukan larutan yang mengandung sitrat lebih enak daripada
NaHCO3 oral sebagai sumber terapi alkali oral.
C. Administration of other bases, e.g., THAM
D. Renal replacement therapy
E. Suplemen asidosis bikarbonat
F. Dialisis

Cairan Cystaloid
Cairan kristaloid adalah pilihan lini pertama untuk resusitasi cairan dengan adanya
hipovolemia, perdarahan, sepsis, dan dehidrasi.
Sementara saline normal (0,9% NaCl Solution) adalah cairan kristaloid yang paling sering
digunakan.
Cairan kristaloid lain yang tersedia secara komersial meliputi:
o Larutan Ringer Laktat / Larutan Hartman (larutan buffer laktat)
o Larutan buffer asetat
o Larutan buffer asetat dan laktat
o Larutan buffer asetat dan glukonat
o 0,45% NaCl (larutan hipotonik)
o 3% NaCl (larutan hipertonik)
o 5% Dekstrosa dalam air
o 10% Dekstrosa dalam air

Mekanisme kerja
o Cairan kristaloid adalah larutan yang terdiri dari garam mineral dan molekul kecil
yang water-soluable. Sebagian besar larutan kristaloid yang tersedia secara komersial
bersifat isotonik terhadap plasma manusia. Cairan ini mendekati konsentrasi berbagai
zat terlarut yang ditemukan dalam plasma dan tidak memberikan efek osmotik in
vivo.
o Cairan kristaloid berfungsi untuk memperbesar volume intravaskuler tanpa
mengganggu konsentrasi ion atau menyebabkan perpindahan cairan yang signifikan
antara ruang intraseluler, intravaskuler, dan interstisial.
o Larutan hipertonik seperti larutan garam 3% mengandung konsentrasi zat terlarut
yang lebih tinggi daripada yang ditemukan dalam serum manusia. Karena perbedaan
konsentrasi ini, fluida ini aktif secara osmotik dan oleh karena itu, akan menyebabkan

96
perpindahan fluida. Indikasi utamanya adalah penggantian zat terlarut serum yang
muncul, seperti pada hiponatremia dengan gejala neurologis.
o Larutan buffer mengandung molekul yang memetabolisme in vivo menjadi
bikarbonat. Larutan ini dirancang untuk mempertahankan pH plasma fisiologis
normal. Tiga molekul yang umum digunakan adalah laktat, asetat, dan glukonat.
Laktat dan glukonat dimetabolisme di hepari menjadi bikarbonat, sedangkan asetat
sebagian besar dimetabolisme secara perifer oleh otot rangka.
 Administration:
A. Resusitasi Cairan:
Pemberian cairan harus dalam 1 jam bundel dengan pemberian kristaloid 30 mL / kg
untuk hipotensi atau laktat = 4 mmol / L.
B. Cairan Perawatan:
Kebutuhan cairan pasien ditentukan terkait dengan kalori pasien
o 0-10 kg: +4 mL / kg / jam

o 10-20 kg: +2 mL / kg / jam

o > 20 kg: +1 mL / kg / jam

Contoh: 100kg pasien: 20 kg (40 + 20 mL / jam) + 80 kg (80 mL / jam) = 140 mL / jam

2.5 INTERPRETASI

 Hb
Pada pasien : 15,6 gr/dl
 normal

 Ht
Pada pasien : 50%
 normal

97
 WBC
pada pasien : 12000/mm3
 meningkat
 Infection
• Leukemic neoplasia
• Trauma
• Stress
• Tissue necrosis
• Inflammation

 Urea
o Ureum adalah produk akhir katabolisme protein dan asam amino yang
diproduksi oleh hati dan didistribusikan melalui cairan intraseluler dan
ekstraseluler ke dalam darah untuk kemudian difiltrasi oleh glomerulus.
o Pengukuran ureum serum dapat dipergunakan untuk mengevaluasi fungsi
ginjal, status hidrasi, menilai keseimbangan nitrogen, menilai progresivitas
penyakit ginjal, dan menilai hasil hemodialisis.
o metode untuk mengukur kadar ureum serum, yang sering digunakan adalah
metode enzimatik. Enzim urease menghidrolisis ureum dalam sampel
menghasilkan ion ammonium yang kemudian diukur. Ada metode yang
menggunakan dua enzim, yaitu enzim urease dan glutamat
o Ureum dapat diukur dari bahan pemeriksaan plasma, serum, ataupun urin

98
Serum urea level pada pasien : 180 mg/dl
 meningkat

 Creatinine
o Kreatinin merupakan hasil pemecahan kreatin fosfat otot, diproduksi oleh
tubuh secara konstan tergantung massa otot. Kadar kreatinin menggambarkan
perubahan kreatinin dan fungsi ginjal.
o Kadar kreatinin dipengaruhi oleh massa otot, diet, dan status kesehatan.
o Penurunan kadar kreatinin terjadi pada keadaan glomerulonefritis, nekrosis
tubuler akut, polycystic kidney disease akibat gangguan fungsi sekresi
kreatinin.
o Sebagian besar kreatinin dibersihkan dari darah seluruhnya oleh ginjal. Jika
clearance ginjal menurun maka kreatinin di darah akan meningkat.

99
Serum creatinine level pada pasien : 5,3 mg/dl
 meningkat

 Potassium
o Kalium (k) adalah kation utama didalam sel
o K dieksresikan oleh ginjal, dan tidak ada resorpsi K di ginjal. Oleh karena itu
jika K tidak diberikan secara memadai dalam makanan (atau dengan
pemberian IV pada pasien yang tidak dapat makan)
o Elektrokardiogram dapat menunjukan gelombang T yang memuncak,
kompleks QRS yang melebar, dan segmen ST yang tertekan dalam keadaan
hiperkalemia
o Hipokalemia dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas jantung terhadap
digoksin, aritmia jantung, gelombang T yang rata, dan gelombang U yang
menonjol.

Serum potassium level pada pasien : 7 mEq/L


 meningkat

100
Pada pasien:
EKG: Tall and peak T wave and widening QRS complex
 Hyperkalemia : Elektrokardiogram dapat menunjukan gelombang T yang
memuncak, kompleks QRS yang melebar, dan segmen ST yang tertekan

 Sodium

Pada pasien = 145 mEq/L


 normal

 Arterial Blood Gases (ABGs)


Pengukuran ABG memberikan informasi berharga dalam menilai dan
mengelola homeostasis asam basa dan elektrolit pernapasan (ventilasi) dan metabolik
(ginjal) pasien. Ini juga digunakan untuk menilai kecukupan oksigenasi. ABG
digunakan untuk memantau pasien dengan ventilator, untuk memantau pasien
nonventilator yang sakit kritis, untuk menetapkan parameter dasar sebelum operasi,
dan untuk mencerahkan terapi elektrolit.

101
(A) pH
PH adalah ukuran alkalinitas (pH> 7,4) dan keasaman (pH <7,35). Pada
alkalosis respirasi atau metabolik, pH meningkat; pada asidosis respirasi atau
metabolik, pH menurun

(B) pCO2
- Pco2 adalah ukuran tekanan parsial CO2 dalam darah
- Pco2 adalah ukuran kemampuan ventilasi.
- Semakin cepat dan lebih dalam seseorang bernafas, semakin banyak CO2
yang dilepaskan dan level Pco2 menurun. Oleh karena itu Pco2 disebut
sebagai komponen pernapasan dalam penentuan asam basa karena nilai ini
dikontrol terutama oleh paru-paru.
- Pco2 dalam darah dan cairan serebrospinal merupakan stimulan utama ke
pusat pernapasan di otak. Saat level Pco2 meningkat, pernapasan dirangsang.

102
(C) Bicarbonat ( HCO3)
- Ion bikarbonat adalah ukuran komponen metabolik (ginjal) dari
kesetimbangan asam-basa. Ini diatur oleh ginjal.
- Hubungan bikarbonat dengan pH berbanding lurus.
- HCO3 meningkat pada alkalosis metabolik
- HCO3 menurun pada asidosis metabolik

(D) pO2
PO2 adalah ukuran tegangan (tekanan) oksigen terlarut dalam plasma.
Tekanan ini menentukan kekuatan O2 untuk berdifusi melintasi membran alveoli
paru. Tingkat PO2 menurun pada pasien yang:
• Tidak dapat mengoksigenasi darah arteri karena kesulitan difusi O2 (misalnya,
pneumonia)
• Memiliki pencampuran darah vena dengan darah arteri secara dini (misalnya,
pada penyakit jantung bawaan)
• Memiliki alveoli paru yang kurang berventilasi dan terlalu banyak berfusi
(sindrom Pickwickian atau pasien dengan atelektasis yang signifikan)

103
(E) Saturasi O2
- Saturasi oksigen merupakan indikasi persentase hemoglobin yang jenuh
(saturated) dengan O2.
- Ketika 92% sampai 100% dari hemoglobin membawa O2, jaringan cukup
disediakan dengan O2
- Ketika level Po2 ↓, persentase saturasi hemoglobin juga ↓.

(F) Konten O2
- Merupakan angka yang dihitung yang mewakili jumlah O2 di dalam darah.
- Rumus perhitungannya adalah:

104
Pada pasien : Metabolic Asidosis
• pH 7,245 (menurunl)
• pCO2 18 cmH2O (rendah)
• pO2 94 cmH2O ( rendah)
• HCO3 7mEq/L (rendah)

 Urine normal
- Volume urin normal
• Rata-rata orang dewasa menghasilkan 600 hingga 2000 mL urin per hari,(henry)
• 1 mL/mnt dan 1,5 liter (sherwood)
- Dalam keadaan abnormal
• Increases in Urine Volume
Produksi lebih dari 2000 mL urin dalam 24 jam disebut poliuria
etiologi :
-Asupan air yang berlebihan (polidipsia) akan menyebabkan poliuria
-konsumsi obat-obatan tertentu dengan efek diuretik, seperti kafein, alkohol,
tiazid, dan diuretik lainnya.
-Larutan intravena dapat meningkat keluaran urin.
-Peningkatan asupan garam dan diet tinggi protein akan dibutuhkan lebih banyak
air untuk ekskresi.
 Decrease urine
1. OLIGURIA
- adalah ekskresi kurang dari 500 mL urin per 24 jam
2. ANURIA
adalah suppresion complete dari pembentukan urin.
Kekurangan air akan menyebabkan penurunan volume urin bahkan sebelum
tanda-tanda dehidrasi muncul.

 Stool analysis
- Normal findings  ≤ 2/hpf
- Leukosit biasanya tidak terlihat pada tinja jika tidak ada infeksi atau penyakit
radang usus. Fecal leukocytosis adalah respons terhadap infeksi mikroorganisme
yang menyerang jaringan atau menghasilkan racun. Ini menyebabkan kerusakan
jaringan pada dinding usus, menghasilkan infiltrasi leukosit yang kuat. Tes ini
digunakan untuk mengidentifikasi infeksi usus, penyakit diare, atau penyakit
radang usus. Leukosit tinja umumnya ditemukan pada penderita infeksi bakteri
seperti Shigella, Campylobacter, Salmonella, Yersinia, atau Clostridium spp.

105
- Temuan abnormal  Radang usus besar menular seperti kolera, C. difficile,
Salmonella spp., Dan sebagainya. Penyakit radang usus seperti kolitis ulserativa,
atau penyakit Crohn

106
BAB III

PATOMEKANISME,BHP,IIMC

3.1 PATOMEKANISME

107
3.2 BHP
1. Menyarankan pasien agar teratur minum agar tidak dehidrasi
2. Menyarankan pasien untuk istirahat yang cukup
3. Memfollowup pasien dalam pengobatan

3.3 IIMC
Qs. Al baqarah : 286
“allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat
(pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang
diperbuatnya. (mereka berdoa), “ya tuhan kami, janganlah engkau bebani kami dengan beban
yang berat sebagaimana engkau bebankan kepada orang orang sebelum kami, . ya tuhan kami
janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.
Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkau pelindung kami, maka
tolonglah kami menghadapi orang orang kafir.”

108
DAFTAR PUSTAKA

Costanzo, L. S. (2018). Physiology (Vol. 6th Edition ). Philadelphia: Elsevier.


Feehally. (2019). Comprehensive Clinical Nephrology 6th ed. London: Elsevier.
Gartner, L. P. (2017). Textbook of Histology Fourth Edition . Philadelpia: Elsevier, Inc.
Keith L, A. F. (2014). Moore Clinically Oriented Anatmoy Seventh Edition . West Camden
Street: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business.
L.Mescher, A. (2018). Junqueira's Basic Histology Text & Altas Fifteenth Edition. United
States: McGraw-Hill Education.
Russo, V. R. (2017). Seely's Anatomy & Phsyiology . Penn Plaza, New York: McGraw-Hill
Education.
Tortora, G. J., & Derrickson, B. (2014). Principle of anatomy & physiology 14th Edition.
United States America: WILEY.

109

Anda mungkin juga menyukai