Anda di halaman 1dari 16

Penggunaan Mesin Bantuan Napas (Ventilator) pada

Pasien dengan Gagal Napas Ditinjau dari Kaidah Dasar


Bioetik dan Kode Etik Kedokteran Indonesia

Disusun oleh :
Kelompok pulmonology dan kedokteran respirasi

dr. Atikanur
dr. Mario Oktafiendi Ginting
dr. Riska Yuliana Sari
dr. Rizki Romadani
dr. Said Tryanda syafitra

PPDS Pulmonologi Dan Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran Universitas Riau
RSUD Arifin achmad Propinsi Riau
2020
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................................................2
Daftar Isi...................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG.................................................................................4
1.2 RUMUSAN MASALAH.............................................................................4
1.3 TUJUAN......................................................................................................5
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 VENTILATOR............................................................................................6
2.2 GAGAL NAPAS.........................................................................................8
2.3 ASPEK BIOETIKA TERAPI BANTUAN HIDUP PADA PERAWATAN
KRITIS.........................................................................................................9
2.4 ASPEK MEDIKOLEGAL DAN KODE ETIK KEDOKTERAN.............10
BAB III PEMBAHASAN
3.1 ISU BIOETIKA.........................................................................................11
3.2 ISU MEDIKOLEGAL DAN KODE ETIK KEDOKTERAN...................13

BAB IV PENUTUP...............................................................................................15
Daftar Pustaka........................................................................................................16
Lampiran................................................................................................................17

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ventilasi mekanik (ventilator) memegang peranan penting dalam dunia
kedokteran, dimana perannya sebagai pengganti bagi fungsi ventilasi bagi pasien
dengan gangguan fungsi respiratorik. Ventilator merupakan alat bantu pernapasan
bertekanan negatif atau positif yang menghasilkan udara terkontrol pada jalan
napas sehingga pasien mampu mempertahankan ventilasi alveolar secara optimal
untuk memenuhi kebutuhan metabolik pasien, memperbaiki hipoksemia, dan
memaksimalkan transport oksigen. Kemajuan ilmu dan teknologi di bidang ini
telah menimbulkan berbagai permasalahan atau dilema etika kesehatan yang
sebagian besar belum teratasi. Sebagai contoh, sesuai judul makalah adalah
penggunaan ventilator pada pasien gagal napas dapat menimbulkan dilema etik.
Dilema etik berdasarkan isu yang kami angkat adalah pelepasan
pemasangan ventilator pada pasien gagal napas akibat koma. Ditinjau dari kaidah
dasar bioetik (KDB) dokter harus membuat keputusan yang matang untuk
melakukan tindakan yang berhubungan dengan kehidupan pasien. KDB yang
mejadi perhatian pada isu ini adalah beneficence, non-maleficence dan autonomy.
Pelepasan ventilator pada pasien gagal napas akibat koma tidak sesuai KDB
beneficence, yaitu dokter harus mengusahakan kehidupan baik minimal pasien,
tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan khusus apabila tujuan tindakan
adalah untuk meringankan penderitaan pasien. Sebaliknya, hal ini bertentangan
dengan KDB non-melaficence karena menempatkan pasien dalam keadaan
bahaya. Sedangkan, berdasarkan KDB autonomy dokter wajib menghargai
rasionalitas keluarga pasien dalam pengambilan keputusan tentang tindakan medis
yang akan dilakukan dokter selanjutnya. Oleh karena itu, kami mengangkat isu
“Penggunaan Mesin Bantuan Napas (Ventilator) pada Pasien dengan Gagal Napas
Ditinjau dari Kaidah Dasar Bioetik dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.”

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa indikasi penggunaan ventilator?
2. Apakah dokter boleh menghentikan penggunaan ventilator pada pasien?

3
3. Bagaimana pertimbangan medis pemasangan dan pelepasan ventilator
pada pasien gagal napas?
4. Bagaimana pertimbangan bioetika pemasangan dan pelepasan ventilator
pada pasien gagal napas?
5. Bagaimana pertimbangan medikolegal dan Kode Etik Kedokteran tentang
penggunaan ventilator pada pasien gagal napas?

1.3 Tujuan
Mengetahui pertimbangan medis, bioetika, medikolegal serta Kode Etik
Kedokteran tentang pemasangan dan pelepasan ventilator pada pasien gagal
napas.

4
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Ventilator
Pengertian Ventilator
Ventilasi mekanik adalah alat bantu napas yang memberikan bantuan
napas dengan cara membantu sebagian atau mengambil alih semua fungsi
pernapasan guna untuk mampertahankan hidup.

Indikasi Pemasangan Ventilator


Menurut Deliana, “indikasi secara umum pemakaian ventilasi mekanis
digunakan untuk pasien dengan gagal napas akut, koma, gagal napas akut pada
gagal napas kronik dan kelainan neuromuskuler.” Ventilasi mekanis diindikasikan
sebagai terapi definitif untuk hipoksemia berat, hipoventilasi alveolar dan
hiperkapnia. Indikasi yang sering untuk pemasangan ventilasi mekanis pada
penyakit paru adalah edema paru akut, pneumonia, ARDS, serangan asma berat
dan PPOK eksaserbasi akut yang berat. Secara umum ventilasi mekanik dapat
dilakukan apabila terdapat keadaan sebagai berikut:
1. Takipnea (RR > 30x/menit)
2. Bradipnea atau apnea
3. Cedera paru akut atau gangguan napas akut
4. Kapasitas vital < 15 mL/kg
5. PaO2 < 50 mmHg dengan FiO2 > 0,60
6. Kelelahan otot pernapasan
7. Obtundasi atau koma
8. Hipotensi
9. PCO2 > 50 mmHg dengan pH arteri < 7,25
10. Penyakit neuromuskular

Kriteria Penyapihan Ventilasi Mekanik


Penyapihan adalah pelepasan ventilator mekanik sebagai alat bantu napas
baik secara bertahap atau langsung. Penyapihan memperhatikan kriteria berikut:

5
1. Proses penyakit yang menyebabkan pasien membutuhkan ventilator
mekanik sudah tertangani
2. PaO2 /FiO2 > 200; PEEP < 5; FiO2 < 0,5; pH > 7,25; Hb > 8 g%
3. Pasien sadar, dan afebril (suhu tubuh normal)
4. Fungsi jantung stabil:
- HR < 140/min
- Tidak terdapat iskemi otot jantung (myokardial Ischemia)
- Bebas dari obat-obatan vasopresor atau hanya menggunakan obat-
obatan inotropik dosis rendah
5. Fungsi paru stabil:
- Kapasitas vital 10-15 cc/kg
- Volume tidal 4-5 cc/kg
- Ventilasi menit 6-10l
- Frekuensi < 20 permenit
6. Kondisi selang ET/TT:
- Posisi diatas karina pada foto Rontgen
- Ukuran : diameter 8,5 mm
7. Terbebas dari asidosis respiratorik
8. Nutrisi :
- Kalori perhari 2000-2500 kal
- Waktu : 1 jam sebelum makan
9. Jalan Napas :
- Sekresi : antibiotik bila terjadi perubahan warna, penghisapan (suction)
- Bronkospasme : kontrol dengan Beta Adrenergik, Tiofilin atau Steroid
- Posisi : duduk, semifowler
10. Obat-obatan :
- Agen sedatif : dihentikan lebih dari 24 jam
- Agen paralisis: dihentikan lebih dari 24 jam
11. Psikologi pasien
- Mempersiapkan kondisi emosi/psikologi pasien untuk tindakan
penyapihan

6
Komplikasi Ventilator Mekanik

Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat penggunaan


ventilator mekanik terutama dalam jangka panjang. Komplikasi tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Risiko yang berhubungan dengan intubasi endotrakea, termasuk kesulitan


intubasi, sumbatan pipa endotrakea oleh sekret
2. Kerusakan laring dan trakea
3. Gas ventilasi dapat mengeringkan jalan napas dan retensi sekret sehingga
dapat menimbulkan infeksi paru-paru

4. Masalah-masalah yang berhubungan dengan pemberian sedasi dan anestesi


yang memiliki efek depresi jantung, gangguan pengosongan lambung,
penurunan mobilitas dan memperlama proses pemulihan
5. Gangguan hemodinamik terutama pada penggunaan IPPV dan PEEP yang
dapat mengurangi venous return, curah jantung dan tekanan darah
sehingga mengurangi aliran darah ke saluran pencernaan dan ginjal
6. Barotrauma dan volutrauma

2.2 Gagal Napas


Pengertian Gagal Napas
Gagal napas merupakan kondisi ketidakmampuan sistem respirasi untuk
memasuk oksigen yang cukup dan membuang karbodioksida, yang disebakan oleh
kelainan sistem pernapasan dan sistem lainnya, termasuk gangguan sistem saraf.
Keadaan ini menyebabkan terjadinya hipoksemia, hiperkapnia atau kombinasi
keduanya. Secara praktis, gagal napas didefinisikan sebagai PaO2 < 60 mmHg
atau PaCO > 50 mmHg. Ketika pasien selalu harus melebarkan dinding dada
dengan volume tinggi untuk jangka waktu/periode yang lama, kelelahan otot-otot
pernapasan akan terjadi, sehingga akhirnya terjadi penurunan usaha bernapas
(Lyrawati, 2012). Keadaan ini menyebabkan terjadinya hipoksemia, hiperkapnia
atau kombinasi keduanya.

7
Klasifikasi dan Etiologi
Menurut Deliana, “gagal napas akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu
gagal napas akut hipoksemia (gagal napas tipe I) dan gagal napas akut hiperkapnia
(gagal napas tipe II). Gagal napas tipe I dihubungkan dengan defek primer pada
oksigenasi sedangkan gagal napas tipe II dihubungkan dengan defek primer
ventilasi.” Penyebab gagal napas tipe I secara umum adalah PPOK, pneumonia,
edema paru, fibrosis paru, asma, pneumotoraks, bronkiektasis, ARDS dan emboli
paru. Sedangkan, untuk gagal napas tipe II diantaranya adalah PPOK, asma berat,
edema paru dan ARDS.

Tanda Klinis
Tanda-tanda klinis akan terjadinya gagal napas antara lain kecepatan nadi
meningkat, suara napas berkurang, agitasi akibat memburuknya hipoksia, atau
letargi karena peningkatan retensi CO2. Tanda-tanda klinis tersebut relatif tidak
spesifik dan dipengaruhi banyak variabel, jadi sebaiknya tidak digunakan untuk
mendeteksi kemungkinan gagal napas (Lyrawati, 2012).

2.3 Aspek Bioetika Terapi Bantuan Hidup pada Perawatan Kritis


Terdapat kontroversi mengenai terapi bantuan hidup pada perawatan kritis,
yaitu mengenai penundaan dan penghentian bantuan hidup (withholding and
withdrawing life support). Istilah withholding life support dan withdrawing life
support tidak sama maknanya. Secara sederhana istilah withholding life support
berarti tidak lagi melakukan resusitasi. Sebaliknya pada withdrawing life support,
sekali diputuskan withdrawal terapi maka ventilator dan inotropik harus
dihentikan, sedasi berat biasanya muncul dan kematian akan segera terjadi
(Suryadi, 2017:61).
Dalam hal ini, dapat terjadi moral dilemma jika dihubungkan dengan
kaidah bioetika. Menolong pasien kritis dan mengusahakan keselamatan dan
kehidupan baik pasien dalam kaidah bioetika beneficence dan non-maleficence
mungkin bertentangan dengan keinginan pasien dan keluarga pasien untuk
mengakhiri bantuan hidup dalam kaidah bioetika autonomy. Jika hal seperti ini
terjadi, pertimbangan bioetika yang harus diperhatikan dalam menentukan

8
tindakan penundaan dan penghentian bantuan hidup adalah kapan, dimana dan
kondisi bagaimana dokter menyampaikan hal tersebut kepada keluarga pasien.
Pertama sekali dokter harus menghormati harkat martabat pasien (otonomi
pasien). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah apakah tindakan tersebut bersifat
ordinary atau extraordinary. Menurut Suryadi (2017), “tindakan yang ordinary
(biasa) adalah semua tindakan medis, bedah atau obat-obatan yang menawarkan
harapan “perbaikan keadaan” yang wajar, yang dapat diperoleh atau dilakukan
tanpa biaya berlebihan, kesakitan/susah payah atau ketidaknyamanan yang lain.”
Sedangkan, tindakan extraordinary adalah “semua tindakan medis, bedah
atauobat-obatan yang tidak dapat diperoleh/dilakukan tanpa biaya berlebih, susah
payah atau ketidaknyamanan, atau yang apabila dilakukan tidak menawarkan
harapan “perbaikan keadaan” yang wajar.

2.4 Aspek Medikolegal dan Kode Etik Kedokteran


Berdasarkan Permenkes RI nomor 290 tahun 2008 bab 4 pasal 16 tentang
persetujuan tindakan kedokteran pada situasi khusus yaitu tindakan
withdrawing/withholding life support pada seorang pasien harus mendapat
persetujuan keluarga terdekat pasien. Lebih lanjut, berdasarkan Permenkes RI
nomor 290 tahun 2008 bab 5 pasal 18 tentang penolakan tindakan kedokteran
yaitu dapat dilakukan oleh pasien dan atau keluarga terdekatnya setelah menerima
penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Oleh karena itu,
keputusan mengenai tindakan penundaan dan penghentian bantuan hidup wajib
dengan persetujuan keluarga pasien. Keluarga pasien dapat meminta ataupun
menolak tindakan tersebut.
Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 5, tiap perbuatan atau
nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien. Pada hakikatnya, tindakan penundaan dan penghentian alat
bantu hidup akan membuat pasien menjadi rentan, walaupun mungkin dilakukan
demi kenyamanan pasien. Hal ini menegaskan bahwa tindakan tersebut
memerlukan persetujuan pasien. Jika pasien tidak dapat memberikan persetujuan,
maka keluarga terdekat yang akan memberikan persetujuan.

9
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Isu Bioetika


Berdasarkan isu tentang “dilepaskannya ventilator serta alat medis
penunjang hidup pasien dibantah pihak keluarga”. Keputusan tersebut tidak hanya
diputuskan berdasarkan aspek medis saja namun berkaitan juga dengan aspek
bioetika dan medikolegal. Withholding and withdrawing life support berpegang
teguh kepada kaidah dasar moral (moral principles), yaitu beneficence, non-
maleficence, autonomy dan justice.

Kaidah Dasar Bioetika 1 Berdasarkan Beneficence


Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan
dengan keburukannya : apabila tindakan medis dianggap sebagai tindakan yang
sia-sia maka dapat dihentikan, tetapi apabila dianggap masih memberikan manfaat
maka oleh alasan apapun tidak etis bila dihentikan. Beneficence berarti setiap
tindakan medis harus ditujukan untuk kebaikan pasien, jika tujuan pelepasan
ventilator adalah untuk kenyamanan pasien dengan catatan bahwa tidak ada
manfaat lagi dalam pemasangan ventilator, maka hal tersebut dapat dimaklumi.

Kaidah Dasar Bioetika 2 Berdasarkan Non-Maleficence


Non-maleficence berarti setiap tindakan medis harus tidak boleh
memperburuk keadaan pasien: withholding and withdrawing life support
bertujuan secara konsensus umum untuk mengikuti perjalanan penyakit alaminya,
bukan mengambil keputusan mempercepat kematian dan mengakhiri kehidupan.
Tetapi, jika ventilator dihentikan maka akan muncul gejala sedasi berat dan
kematian akan segera terjadi, maka tindakan tersebut bertentangan dengan kaidah
bioetika non-maleficence.

Kaidah Dasar Bioetika 3 Berdasarkan Autonomy


Setiap tindakan medis haruslah memperoleh persetujuan dari pasien atau
keluarga terdekat. Dokter harus menghormati keputusan pasien. Pada kondisi ini

10
pasien maupun keluarganya harus mempunyai otonomi untuk menerima informasi
yang relevan tentang penyakitnya, serta memutuskan terapi yang akan dijalani.
Dokter harus menentukan apakah pasien, keluarga atau kerabat faham tentang
kondisi kesehatan terakhir dari pasien. Jika pasien atau keluarga kemudian
memutuskan untuk menunda atau menghentikan pemakaian ventilator, maka
dokter harus mengikuti kemauan pasien.

Dillema Bioetika dan Prima Facie


Keputusan untuk menghentikan suatu peralatan atau tindakan
memperpanjang hidup yang telah diterapkan pada seseorang pasien memang tetap
merupakan masalah, terutama jika peralatan atau tindakan tersebut belum pernah
dilakukan pada pasien. Ditinjau dari aspek etika, hal tersebut sesungguhnya dapat
dilihat dari dua sisi, dimana di satu sisi perbuatan tersebut ialah tindakan amoral
karena menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, namun di sisi lain dapat
dianggap sebagai perbuatan mulia karena bermaksud untuk tidak memperpanjang
penderitaan yang dialami oleh pasien. Tetapi, kaidah autonomy lebih kuat dari
kedua pertimbangan bioetik lain karena dokter wajib menghormati keputusan
pasien dan tidak boleh memaksakan terapi yang dilakukan. The American
Medical Association membuat sebuah pedoman umum diantaranya:
1. Apakah seorang dokter secara legal dapat meminta dilakukannya semua
terapi mempertahankan kehidupan sebesar mungkin?
Tidak, karena pasien berhak menolak tindakan medik termasuk terapi
mempertahankan kehidupan seperti ventilasi mekanik, atau hidrasi dan
nutrisi buatan.
2. Apakah withholding and withdrawing life support sama dengan
euthanasia?
Tidak, karena withholding and withdrawing life support bertujuan secara
konsensus umum untuk mengikuti perjalanan penyakit alaminya tidak
mengambil keputusan mempercepat kematian dan mengakhiri kehidupan.
Sementara euthanasia aktif mengambil keputusan mempercepat kematian
dan mengakhiri kehidupan.
3. Apakah dokter “membunuh” pasien jika melepas ventilator?

11
Tidak, jika tujuan pelepasan ventilator adalah untuk kenyamanan pasien
(atau karena pemasangan ventilator tidak memberi manfaat lagi) bukan
kematian.

3.2 Isu Medikolegal dan Kode Etik Kedokteran


Peraturan perundang-undangan di Indonesia tentang penentuan tindakan
withdrawal atau withholding terhadap support terapi yaitu pada pasien yang
berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang
dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile) dapat
dilakukan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup. Berdasarkan
Permenkes RI nomor 290 tahun 2008 bab 4 pasal 16 tentang persetujuan tindakan
kedokteran pada situasi khusus yaitu tindakan penundaan atau penghentian
bantuan hidup pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat
pasien. Berdasarkan Permenkes RI nomor 290 tahun 2008 bab 5 pasal 18 tentang
penolakan tindakan kedokteran yaitu dapat dilakukan oleh pasien dan atau
keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran
yang akan dilakukan.
Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien ditetapkan oleh Direktur atau
Kepala Rumah Sakit. Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi
bantuan hidup tindakan kedokteran terhadap pasien dilakukan oleh tim dokter
yang menangani pasien. Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi
bantuan hidup harus diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga
pasien atau yang mewakili pasien. Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan
atau ditunda hanya tindakan yang bersifat terapeutik dan atau perawatan yang
bersifat luar biasa (extra-ordinary) yaitu Rawat di Intensive Care Unit, Resusitasi
Jantung Paru, Intubasi trakeal, Ventilasi mekanis, serta Tindakan lain yang
ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran. Terapi bantuan hidup yang tidak
dapat dihentikan atau ditunda meliputi oksigen, nutrisi enteral dan cairan
kristaloid. Dalam hal perburukan kondisi pasien terburuk yaitu berakhir dengan
kematian, maka semua terapi bantuan hidup harus segera dihentikan. Jika pasien
atau keluarga pasien meminta penghentian atau menolak bantuan hidup, dalam hal
ini ventilator, maka dokter harus menghargai keputusan pasien.

12
Dijelaskan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dalam
pasal 7d, yang berbunyi: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani.” Serta, dijelaskan juga pada Pasal
5, “tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, seorang dokter harus tetap
mengupayakan peringanan atas penderitaan pasien, namun tidak diperbolehkan
untuk mengakhiri nyawa sang pasien. Semua tindakan yang diambil dokter dalam
keadaan non emergensi atau pasien sadar perlu persetujuan pasien. Sedangkan,
dalam hal pasien meminta penghentian bantuan hidup, dokter tidak mempercepat
atau membunuh pasien, melainkan menghargai keputusan pasien dan
mengembalikan keadaan alami perjalanan penyakit pasien.

13
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Penggunaan ventilator pada pasien gagal napas wajib dilakukan karena
sesuai dengan KDB beneficence dan non-maleficence. Akan tetapi, terdapat
dilemma etik jika pasien atau keluarga pasien, berdasarkan KDB autonomy
meminta penundaan atau penghentian penggunaan ventilator sebagai alat
penunjang hidup. Dalam kaidah non-maleficence, hal tersebut tidak boleh
dilakukan karena akan memperburuk keadaan pasien serta merupakan suatu
tindakan yang amoral. Dalam kaidah beneficence, hal tersebut bertentangan
dengan prinsip mengusahakan kehidupan baik minimal pasien, tetapi dapat
dimaklumi jika bertujuan untuk meringankan penderitaan pasien. Sedangkan,
berdasarkan kaidah autonomy, dokter harus menghargai apapun keputusan pasien.
The American Medical Association membuat sebuah pedoman umum yang salah
satu diantaranya: Apakah dokter “membunuh” pasien jika melepas ventilator?
Tidak, jika tujuan pelepasan ventilator adalah untuk kenyamanan pasien (atau
karena pemasangan ventilator tidak memberi manfaat lagi) bukan kematian. Pada
dasarnya, pelepasan ventilator hanya mengembalikan perjalanan penyakit secara
alami, bukan mempercepat apalagi mengusahakan kematian pasien. Dijelaskan
dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dalam pasal 7d, yang
berbunyi: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani.” Tetapi, dijelaskan juga pada Pasal 5, “tiap perbuatan atau
nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penundaan atau penghentian
alat bantu hidup, dalam hal ini ventilator, dapat dilakukan jika berdasarkan
permintaan dan persetujuan pasien atau keluarga pasien. Dokter tidak boleh
memutuskan penghentian kecuali telah memenuhi kriteria penyapihan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar. Aspek Klinis Dan Tatalaksana Gagal Napas Akut Pada Anak. Jurnal
Kedokteran Syah Kuala 13.3 (2013): 173-178.

Deliana, Anna, et al. Indikasi Perawatan Pasien dengan Masalah Respirasi di


Instalasi Perawatan Intensif. Jurnal Respirologi Indonesia 33.4 (2013): 264-70.

Kusuma, Ida, et al. Penyapihan Ventilasi Mekanik.

Lyrawati, Diana, dan Ni Luh Made Agustini Leonita. Sistem Pernapasan:


Assessment, Patofisiologi, dan Terapi Gangguan Pernapasan. Buku Ajar PSF-
FKUB Universitas Brawijaya, 2012.

Suryadi, Taufik. Aspek Bioetika-Medikolegal Penundaan dan Penghentian Terapi


Bantuan Hidup pada Perawatan Kritis. Jurnal Kedokteran Syah Kuala 17.1
(2017): 60-64.

Wijayanti, Vaiana, dan A. Muthalib Nawawi. Ventilasi Mekanik.

15
16

Anda mungkin juga menyukai