PBL Skenario 2 Kedkom
PBL Skenario 2 Kedkom
PBL Skenario 2 Kedkom
B. Penetapan KLB
Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi penyakit yang tengah
berjalan dengan insidensi penyakit dalam keadaan biasa (endemik), pada populasi yang
dianggap berisiko, pada tempat dan waktu tertentu.
Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan waktu harus diingat bahwa beberapa
penyakit dalam keadaan biasa (endemis) dapat bervariasi menurut waktu (pola temporal
penyakit). Penggambaran pola temporal penyakit yang penting untuk penetapan KLB adalah,
pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan kecenderungan jangka panjang (periode
tahunan – pola maksimum dan minimum penyakit). Dengan demikian untuk melihat
kenaikan frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit pada tahun yang
sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun berbeda (CDC, 1979).
Identifikasi kasus penting dilakukan untuk membuat perhitungan kasus dengan teliti.
Hasil perhitungan kasus ini digunakan selanjutnya untuk mendeskripsikan KLB berdasarkan
waktu, tempat dan orang dengan lebih teliti. Ketelitian dalam mengidentifikasikan kasus
sangat diperlukan untuk dasar deskripsi KLB berdasarkan waktu, tempat dan orang (Mac
Mahon and Pugh, 1970; Kelsey at al., 1986).
Dasar yang dipakai pada identifikasi kasus adalah hasil pemastian diagnosis penyakit.
Jika diagnosis pasti belum dapat ditentukan maka dapat digunakan frekuensi gejala klinis,
kemudian dibuat definisi operasional kasus yang sesuai dengan frekuensi gejala klinis yang
ditemukan.
Identifikasi paparan perlu dilakukan sebagai arahan untuk indentifikasi sumber
Deskripsi KLB
1. Deskripsi Kasus Berdasarkan Waktu.
Penggambaran kasus berdasarkan waktu pada periode wabah (lamanya KLB
berlangsung), yang digambarkan dalam suatu kurva epidemik.
Kurva epidemik adalah suatu grafik yang menggambarkan frekuensi kasus berdasarkan saat
mulai sakit (onset of illness) selama periode wabah. Kurva ini digambarkan dengan axs
horizontal adalah saat mulainya sakit dan sebagai axis vertikal adalah jumlah kasus.
Kurva epidemik dapat digunakan untuk tujuan :
a. Menentukan / memprakirakan sumber atau cara penularan penyakit dengan melihat tipe
kurva epidemik tersebut (common source atau propagated).
b. Mengidentifikasikan waktu paparan atau pencarian kasus awal (index case). Dengan cara
menghitung berdasarkan masa inkubasi rata-rata atau masa inkubasi maksimum dan
minimum.
Penanggulangan sementara
Kecepatan keputusan cara penanggulangan sangat tergantung dari diketahuinya
etiologi penyakit, sumber dan cara penularannya (Goodman et al., 1990).
1. Jika etiologi telah diketahui sumber dan cara penularannya dapat dipastikan maka
penanggulangan dapat dilakukan tanpa penyelidikan yang luas.
3. Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah diketahui maka
penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih memerlukan penyelidikan yang
luas tentang etiologinya.
4. Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka penanggulangan tidak
dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara penanggulangan baru dapat dilakukan sesudah
penyelidikan.
Penyusunan rekomendasi
A. Penanggulangan KLB
Menurut Goodman et al (1990), tujuan utama penyelidikan epidemiologi KLB adalah
merumuskan tindakan untuk mengakhiri KLB pada situasi yang dihadapi (penanggulangan)
dan mencegah terulangnya KLB di masa mendatang (pengendalian).
Tindakan penanggulangan KLB didasari oleh diketahuinya :
1. etiologis,
2. sumber dan cara penularan.
Sistem surveilans
Agar dapat mengevaluasi terhadap tindakan penanggulangan yang dijalankan dan
mencegah timbulnya komplikasi atau kematian, maka diperlukan sistim penemuan kasus dan
kasus komplikasi secara dini. Sistim berlaku selama periode KLB atau periode yang diduga
komplikasi akan terjadi. Sistim surveilans penyakit di masyarakat (menggunakan tenaga
masyarakat, kader) biasanya lebih dapat dipergunakan untuk memantau kasus baru dan
komplikasinya (Bres, 1986).
Artinya;
Jika kamu mendengar tentang tha’un di suatu tempat, maka janganlah kamu memasukinya
(tempat itu). Apa bila kamu (terlanjur) berada di tempat yang terkena wabah itu, maka
janganlah kamu keluar darinya (tempat itu) (H.R. at-Turmuzi dari Sa’id).
Pernah di suatu saat daerah luar Madinah terjangkit wabah tha’un (pes, sampar, atau
penyakit sejenisnya) dan al-masih (sejenis kuman yang mengelupaskan kulit – mungkin
seperti wabah gudik, bengkoyok, atau secara umum penyakit kulit). Rasulullah melarang
siapa pun yang terkena kedua jenis penyakit itu (tha’un dan al-masih) masuk ke kota
Madinah. Demikian sabda Nabi: . . . la yadkhulu al-Madinata al-masihu wala ath-
tha’un ( . . . Tidak boleh masuk ke Madinah bagi yang terjangkit oleh al-masih dan tha’un –
H.R.al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Tha’un Sebagai Kotoran (ar-Rijsu) Sekaligus Rahmat
Dalam hadis yang panjang, Rasulullah mengatakan: . ath-tha’un rijsun ..
(. . .tha’un itu adalah kotoran . . . H.R. al-Bukhari dari Usamah bin Zaid) dan berfungsi
sebagai siksa atau penyakit (‘azab). Beliau bersabda:
- – - انه كا ن عذ ا با يبعثه هللا على من يشاء فجعله هللا رحمة للمؤمنين فليس من عبد يقع الطعون فيمكث فى بلده صا برا يعلم انه لم
) عن عائشه يصيبه اال ما كتب هللا له اال كا ن مثل اجر االشهيد (رواه البخارى
Artinya:
. . . Bahwa ada suatu ‘azab yang Allah mengutusnya (untuk) menimpa kepada seseorang
yang Ia kehendakinya. Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang mukmin.
Tidaklah bagi seseorang yang tertimpa tha’un kemudian ia berdiam diri di wilayahnya itu
dengan sabar dan ia menyadari bahwa tha’un itu tidak akan menimpa kecuali telah
ditetapkan Allah, kecuali ia memperoleh pahala bagaikan orang mati syahid (H.R. al-
Bukhari dari ‘Aisyah).
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahawa (l) penduduk yang wilayahnya terkena
wabah dan tidak boleh keluar dari wilayah itu supaya mereka bersabar. Penyakit itu tidak
akan menular kepada orang kecuali atas kehendak Allah. Pahala orang yang sabar (tidak
keluar dari wilayahnya) memperoleh pahala sepadan orang mati syahid, (2) Perwujudan
rahmat dalam kasus ini adalah bersabar. Orang sabar berada dalam lindungan Allah (inna-
llaha ma’a ash-shabirin)
Kesimpulan
Dari berbagai kasus wabah yang menimpa pada zaman Islam generasi pertama ini
dapat disimpulkan bahwa: (l) tha’un cukup menggelisahkan masyarakat generasi pertama
Islam, (2) mereka berusaha supaya wabah tidak menjalar ke daerah lain secara luas. Kata
kunci untuk usaha ini adalah lari dari takdir lama kemudian mencari takdir baru.
Sudah menjadi semacam kesepakatan, bahwa menjaga agar tetap sehat dan tidak terkena
penyakit adalah lebih baik daripada mengobati, untuk itu sejak dini diupayakan agar orang
tetap sehat. Menjaga kesehatan sewaktu sehat adalah lebih baik daripada meminum obat saat
sakit. Dalam kaidah ushuliyyat dinyatakan:
Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata, aku pernah datang menghadap Rasulullah SAW, saya bertanya:
Ya Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa yang akan akan baca dalam doaku, Nabi
menjawab: Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan, kemudian aku menghadap
lagipada kesempatan yang lain saya bertanya: Ya Rasulullah ajarkan kepadaku sesuatu doa
yang akan akan baca dalam doaku. Nabi menjawab: “Wahai Abbas, wahai paman Rasulullah
saw mintalah kesehatan kepada Allah, di dunia dan akhirat.” (HR Ahmad, al-Tumudzi, dan
al-Bazzar)
Berbagai upaya yang mesti dilakukan agar orang tetap sehat menurut para pakar kesehatan,
antara lain, dengan mengonsumsi gizi yang yang cukup, olahraga cukup, jiwa tenang, serta
menjauhkan diri dari berbagai pengaruh yang dapat menjadikannya terjangkit penyakit. Hal-
hal tersebut semuanya ada dalam ajaran Islam, bersumber dari hadits-hadits shahih maupun
ayat al-Quran.
Dengan merujuk konsep sehat yang dewasa ini dipaharm. berdasarkan rumusan WHO yaitu:
Health is a state of complete physical, mental and social-being, not merely the absence q;
disease on infirmity (Sehat adalah suatu keadaan j^sm rohaniah, dan sosia] yang baik, tidak
hanyatidak bt”.*)-esiyal cacat). Dadang Ha\v?ri melaporkan, bahwa s^aK ^hunsehingga
rnonjadi -eliat
Menurut penelitian ‘Ali Mu’nis, dokter spesialis internal Fakultas Kedokteran Universitas
‘Ain Syams Cairo, menunjukan bahwa ilmu kedokteran modern menemukan kecocokan
terhadap yang disyariatkan Nabi dalam praktek pcngobatan yang berhubungan dengan
spesialisasinya.
Sebagaiman disepakati oleh para ulama bahwa di balik pengsyariatan segala sesuatu
termasuk ibadah dalam Islam terdapat hikrnah dan manfaat phisik (badaniah) dan psikis
(kejiwaan). Pada saat orang-orang Islam menunaikan kewajiban-kewajiban keagamannya,
berbagai penyakit lahir dan batin terjaga.
Kesehatan Jasmani
Ajaran Islam sangat menekankan kesehatan jasmani. Agar tetap sehat, hal yang perlu
diperhatikan dan dijaga, menurut sementara ulama, disebutkan, ada sepuluh hal, yaitu: dalam
hal makan, minum, gerak, diam, tidur, terjaga, hubungan seksual, keinginan-keinginan nafsu,
keadaan kejiwaan, dan mengatur anggota badan.
Dalam ilmu kesehatan atau gizi disebutkan, makanan adalah unsur terpenting untuk menjaga
kesehatan. Kalangan ahli kedokteran Islam menyebutkan, makan yang halalan dan thayyiban.
Al-Quran berpesan agar manusia memperhatikan yang dimakannya, seperti ditegaskan dalam
ayat: “maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya”.(QS. ‘Abasa 80 : 24 )
Dalam 27 kali pembicaraan tentang perintah makan, al-Quran selalu menekankan dua sifat,
yang halal dan thayyib, di antaranya dalam (Q., s. al-Baqarat (2)1168; al-Maidat (s):88; al-
Anfal (8):&9; al-Nahl (16) : 1 14),
Perhatian Islam terhadap masalah kesehatan dimulai sejak bayi, di mana Islam menekankan
bagi ibu agar menyusui anaknya, di samping merupakan fitrah juga mengandung nilai
kesehatan. Banyak ayat dalam al-Quran menganjurkan hal tersebut.
Islam juga memberikan hak badan, sesuai dengan fungsi dan daya tahannya, sesuai anjuran
Nabi: Bahwa badanmu mempunyai hak
Islam menekankan keteraturan mengatur ritme hidup dengan cara tidur cukup, istirahat
cukup, di samping hak-haknya kepada Tuhan melalui ibadah. Islam memberi tuntunan agar
mengatur waktu untuk istirahat bagi jasmani. Keteraturan tidur dan berjaga diatur secara
proporsional, masing-masing anggota tubuh memiliki hak yang mesti dipenuhi.
Di sisi lain, Islam melarang membebani badan melebihi batas kemampuannya, seperti
melakukan begadang sepanjang malam, melaparkan perut berkepanjangan sekalipun
maksudnya untuk beribadah, seperti tampak pada tekad sekelompok Sahabat Nabi yang ingin
terus menerus shalat malam dengan tidak tidur, sebagian hendak berpuasa terus menerus
sepanjang tahun, dan yang lain tidak mau ‘menggauli’ istrinya, sebagaimana disebutkan
dalam hadits:
“Nabi pernah berkata kepadaku: Hai hamba Allah, bukankah aku memberitakan bahwa kamu
puasa di sz’am? hari dan qiyamul laildimalam hari, maka aku katakan, benarya Rasulullah,
Nabi menjawab: Jangan lalukan itu, berpuasa dan berbukalah, bangun malam dan tidurlah,
sebab, pada badanmu ada hak dan pada lambungmujuga ada hak” (HR Bukhari dan Muslim).
Aktivitas terpenting untuk menjaga kesehatan dalam ilmu kesehatan adalah melalui kegiatan
berolahraga. Kata olahraga atau sport (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin Disportorea
atau deportore, dalam bahasa Itali disebut ‘deporte’ yang berarti penyenangan, pemeliharaan
atau menghibur untuk bergembira. Olahraga atau sport dirumuskan sebagai kesibukan
manusia untuk menggembirakan diri sambil memelihara jasmaniah.
Tujuan utama olahraga adalah untuk mempertinggi kesehatan yang positif, daya tahan, tenaga
otot, keseimbangan emosional, efisiensi dari fungsi-rungsi alat tubuh, dan daya ekspresif
serta daya kreatif. Dengan melakukan olahraga secara bertahap, teratur, dan cukup akan
meningkatkan dan memperbaiki kesegaran jasmani, menguatkan dan menyehatkan tubuh.
Dengan kesegaran jasmani seseorang akan mampu beraktivitas dengan baik.
Dalam pandangan ulama fikih, olahraga (Bahasa Arab: al-Riyadhat) termasuk bidang
ijtihadiyat. Secara umum hokum melakukannya adalah mubah, bahkan bisa bernilai ibadah,
Sumber ajaran Islam tidak mengatur secara rinci masalah yang berhubungan dengan
berolahraga, karena termasuk masalah ‘duniawi’ atau ijtihadiyat, maka bentuk, teknik, dan
peraturannya diserahkan sepenuhnya kepada manusia atau ahlinya. Islam hanya memberikan
prinsip dan landasan umum yang harus dipatuhi dalam kegiatan berolahraga.
Nash al-Quran yang dijadikan sebagai pedoman perlunya berolahraga, dalam konteks
perintah jihad agar mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi kemungkinan serangan
musuh, yaitu ayat:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya;
sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu najkahkanpadajalan Allah niscaya akan
dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS.Al-Anfal :
6o):
Nabi menafsirkan kata kekuatan (al-Quwwah) yang dimaksud dalam ayat ini adalah
memanah. Nabi pernah menyampaikannya dari atas mimbar disebutkan 3 kali, sebagaimana
dinyatakan dalam satu hadits:
Nabi berkata: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sang
gupi” Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, Ingatlah kekuatan itu adalah memanah,
Ingatlah kekuatan itu adalah memanah, (HR Muslim, al-Turmudzi, Abu Dawud, Ibn Majah,
Ahmad, dan al-Darimi)
Ajaran Islam sangat memperhatikan masalah kebersihan yang merupakan salah satu aspek
penting dalam ilmu kedokteran. Dalam terminologi Islam, masalah yang berhubungan dengan
kebersihan disebut dengan al-Thaharat. Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, al-
thaharat merupakan salah satu bentuk upaya preventif, berguna untuk menghindari
penyebaran berbagai jenis kuman dan bakteri.
Imam al-Suyuthi, ‘Abd al-Hamid al-Qudhat, dan ulama yang lain menyatakan, dalam Islam
menjaga kesucian dan kebersihan termasuk bagian ibadah sebagai bentuk qurbat, bagian dari
ta’abbudi, merupakan kewajiban, sebagai kunci ibadah, Nabi bersabda: “Dari ‘Ali ra., dari
Nabi saw, beliau berkata: “Kunci shalat adalah bersuci” (HR Ibnu Majah, al-Turmudzi,
Ahmad, dan al-Darimi)
‘Abd al-Mun’im Qandil dalam bukunya al-Tadaivi bi al-Quran seperti halnya kebanyakan
ulama membagi thaharat menjadi dua, yaitu lahiriah dan rohani. Kesucian lahiriah meliputi
kebersihan badan, pakaian, tempat tinggal, jalan dan segala sesuatu yang dipergunakan
manusia dalam urusan kehidupan. Sedangkan kesucian rohani meliputi kebersihan hati, jiwa,
akidah, akhlak, dan pikiran.
Terakhir, semoga pemaparan di atas semakin menambah pengetahuan kita tentang korelasi
antara Islam dan kesehatan dan menguatkan azam kita untuk menekuni pengobatan yang
telah diajarkan oleh Nabi agung kita Muhammad saw, amin….
HUKUM BEROBAT
Para fuqoha’ (ahli fiqih) bersepakat bahwa berobat hukum asalnya dibolehkan[2], kemudian
mereka berbeda pendapat (mengenai hukum berobat, -ed) menjadi beberapa pendapat yang
masyhur
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa berobat hukumnya wajib, dengan alasan adanya
perintah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berobat dan asal hukum perintah
adalah wajib[4], ini adalah salah satu pendapat madzhab Malikiyah, Madzhab Syafi’iyah, dan
madzhab Hanabilah.
2. Pendapat kedua mengatakan sunnah/ mustahab, sebab perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk berobat dan dibawa kepada hukum sunnah karena ada hadits yang lain
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bersabar[6], dan ini adalah madzhab
Syafi’iyah.
3. Pendapat ketiga mengatakan mubah/ boleh secara mutlak , karena terdapat keterangan
dalil- dalil yang sebagiannya menunjukkan perintah dan sebagian lagi boleh memilih, (ini
adalah madzhab Hanafiyah dan salah satu pendapat madzhab Malikiyah)[8].
4. Pendapat kelima mengatakan makruh, alasannya para sahabat bersabar dengan sakitnya[9],
Imam Qurtubi rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Abu
Darda radhiyallahu ‘anhum, dan sebagian para Tabi’in.
Sesungguhnya terdapat berbagai macam dalil dan keterangan yang berbeda- beda tentang
berobat, oleh karena itu sebenarnya pendapat- pendapat di atas tidaklah bertentangan. Akan
tetapi berobat hukumnya berbeda- berbeda menurut perbedaan kondis. Ada yang haram,
makruh, mubah, sunnah, bahkan ada yang wajib.