Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH INCINERATOR

Disusun Oleh:
Agus Susanto (NIM 202133061)

Jurusan Teknik Mesin


Sekolah Tinggi Teknologi Pekanbaru 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Incinerator merupakan teknologi pengolahan limbah medis yang dapat
memusnahkan komponen berbahaya. Teknologi pembakaran atau insinerasi
menggunakan tungku sebagai media pembakarnya. Tungku ruang bakar merupakan
salah satu unit operasi pembakaran limbah padat yang cukup baik yang dapat
mereduksi volume maupun mereduksi berat limbah cukup besar. Untuk mencapai
reduksi volume maksimum diperlukan ruang bakar yang mampu membakar limbah
selanjutnya dan diperlukan suatu ruang bakar yang mempunyai temperatur cukup
tinggi diatas titik bakar dari limbah yang dibakar (Prayitno dan Sukosrono, 2007).
Pada tungku ruang bakar terjadi proses pembakaran yaitu reaksi kimia antara
bahan bakar dengan oksigen dari udara yang dapat digunakan untuk pengolahan
limbah padat. Incinerator yang dirancang mempunyai dua ruang pembakaran. Ruang
pembakaran primary beroperasi untuk menguapkan uap air, fraksi yang mudah
menguaop (volatile) dan membakar karbon tetap dalam sampah. Gas selanjutnya
dilewatkan kedalam ruang pembakaran sekunder dimana udara pembakaran diatur
untuk memberikan kondisi udara lebih (excess air) dan pembakaran sempurna
terhadap zat yang mudah menguap dan hidrokarbon lain dikeluarkan dari ruang
pembakaran primary. Dalam Sistem ruang pembakaran limbah padat dibakar secara
terkendali pada proses pembakaran dengan temperatur mencapai suhu 800-1000 oC,
sehingga menjamin pemusnahan mikroba pathogen dan tidak menimbulkan
pencemaran udara. Ruang pembakaran untuk pengolahan limbah padat secara nyata
akan mengurangi volume atau jumlah limbah padat yang dapat dibakar, dengan
demikian incinerator merupakan unit proses pengolahan atau penanganan limbah
yang cukup bermanfaat.
Sampah medis merupakan bagian dari sampah rumah sakit yang kebanyakan
sudah terkontaminasi oleh bakteri, virus, racun dan bahan radioaktif yang berbahaya
bagi manusia dan makhluk lain disekitar lingkungannya (Riyanto Marosin dan
Ahsonul Anam, 2004). Survei terhadap sebuah rumah sakit di Kroasia mendapatkan
kenyataan bahwa dari 10.064 ton limbah padat per tahun, 86% berupa limbah
domestik dan 14% adalah limbah B3. Sementara itu, di Indonesia menyebutkan
bahwa sebanyak 648 rumah sakit dari 1.476 rumah sakit yang ada, yang memiliki
insinerator baru 49%. Padahal menurut Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999
setiap orang / usaha yang menghasilkan limbah B3 harus mengelola limbahnya mulai
dari sumber penghasil hingga pemusnahannya (Vijay Egclesias Girsang dan Welly
Herumurti, 2013). Sebagian besar rumah sakit (>90%) menghasilkan limbah medis
antara lain darah, limbah otopsi dan limbah benda tajam, limbah dari isolasi penyakit
menular, limbah patologi, limbah otopsi dan limbah bangkai hewan yang telah
terkontaminasi, sedangkan dari kegiatan operasional rumah sakit kecil (>80%)
dihasilkan limbah medis dari kegiatan di ruang operasi, laboratorium dan dianalisis
(Rutala et al., 1989 dalam Palupi Mutiara Perdana 2011) yang penanganannya
diperlukan perlakuan khusus dan tidak boleh ditangani secara sembarangan dan
dibuang di tempat pembuangan sampah yang ada karena dapat mencemari
lingkungan dan menyebarkan penyakit. Untuk menghadapi persoalan tersebut salah
satu penelitian yang telah dilakukan adalah teknik pembakaran sampah terkontrol
dengan sebuah alat incinerator dengan tujuan menurunkan volume sampah yang
cukup besar (Bickford dkk, 1994; Jorgensen dan Johnsen 1989 dalam Bayuseno dan
Sulistyo). Namun permasalahan yang sering terjadi pada penerapan pembakaran
menggunakan incinerator ialah emisi udara berupa particulate matter (PM), SO2,
CO, CO2, HCl, dioksin, furan dan logam berat. Terbentuknya bahan tersebut
dipengaruhi jenis komponen sampah, proses pembakaran yang tidak sempurna
(Chang, 2007 dalam Subagiyo dkk, 2013) dan sistem pembakaran yang digunakan.
Alat incinerator harus dilengkapi dengan sistem pengendalian dan kontrol untuk
memenuhi batas-batas emisi partikel dan gas-buang sehingga dipastikan asap yang
keluar dari tempat pembakaran sampah merupakan asap/gas yang sudah netral. (Enri
Damanhuri, 2008).
Aspek penting dalam merancang sebuah alat incinerator perlu memperhatikan
faktor keamanan agar hasil rancangan aman bagi pengguna dan lingkungan sekitar
saat dioperasikan. Suhu dinding incinerator harus aman ketika kontak langsung
dengan kulit saat dioperasikan, serta asap pembakaran tidak mengganggu kesehatan
dan tidak mencemari lingkungan. Untuk itu perlu diperhitungkan desain rancang
bangun alat incinerator yang efektif, efisien dan optimal dalam memusnahkan limbah
infeksius sesuai dengan kondisi operasi yang aman dalam pengoperasian alat
incinerator.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Incinerator
Incinerator adalah tungku pembakaran untuk mengolah limbah padat, yang
mengkonversi materi padat (sampah) menjadi materi gas, dan abu, (bottom ash dan
fly ash). Insinerasi merupakan proses pengolahan limbah padat dengan cara
pembakaran pada temperatur lebih dari 800oC untuk mereduksi sampah mudah
terbakar (combustible) yang sudah tidak dapat didaur ulang lagi, membunuh bakteri,
virus, dan kimia toksik (A. Sutowo Latief, 2012) Patrick (1980) dalam Arif Budiman
(2001) menyatakan bahwa incinerator adalah alat yang digunakan untuk proses
pembakaran sampah. Alat ini berfungsi untuk merubah bentuk sampah menjadi lebih
kecil dan praktis serta menghasilkan sisa pembakaran yang sterill sehingga dapat
dibuang langsung ke tanah. Energi panas hasil pembakaran dalam incinerator dapat
diguankan sebagai energi alternative bagi proses lain seperti pemanasan atau
pengeringan. Menurut (Hadiwiyoto, 1983 dalam Arif Budiman, 2001) menyatakan
bahhwa untuk merancang alat pembakar sampah diperlukan beberapa pertimbangan
untuk diperhatikan, yaitu jumlah udara pembakaran, sisa hasil pembakaran dan desain
incinerator. Menurut (Hadiwiyoto, 1983 dalam Arif Budiman, 2001) alat pembakaran
sampah terdapat dua jenis berdasarkan metode pembakaran yang berlangsung pada
alat tersebut, yaitu alat pembakar sampah tipe kontinyu dan tipe batch. Pada alat
pembakar sampah tipe kontinyu, sampah dimasukkan secara terus-menerus dengan
debit tetap, sedangkan pada alat pembakaran sampah tipe batch, sampah dimasukkan
sampai mencapai batas maksimum kemudian dibakar bersamaan. Pada incinerator
terdapat 2 ruang bakar, yang terdiri dari Primary Chamber dan Secondary Chamber
(Gunadi Priyamba, 2013).
a. Primary Chamber Berfungsi sebagai tempat pembakaran limbah. Kondisi
pembakaran dirancang dengan jumlah udara untuk reaksi pembakaran kurang dari
semestinya, sehingga disamping pembakaran juga terjadi reaksi pirolisa. Pada reaksi
pirolisa material organik terdegradasi menjadi karbon monoksida dan metana.
Temperatur dalam primary chamber diatur pada rentang 600oC-800oC dan untuk
mencapai temperatur tersebut, pemanasan dalam primary chamber dibantu oleh
energi dari burner dan energi pembakaran yang timbul dari limbah itu sendiri. Udara
(oksigen) untuk pembakaran di suplai oleh blower dalam jumlah yang terkontrol.
Padatan sisa pembakaran di primary chamber dapat berupa padatan tak terbakar
(logam, kaca) dan abu (mineral), maupun karbon berupa arang. Tetapi arang dapat
diminimalkan dengan pemberian suplai oksigen secara continue selama pembakaran
berlangsung. Sedangkan padatan tak terbakar dapat diminimalkan dengan melakukan
pensortiran limbah terlebih dahulu.
b. Secondary Chamber Gas hasil pembakaran dan pirolisa perlu dibakar lebih
lanjut agar tidak mencemari lingkungan. Pembakaran gas-gas tersebut dapat
berlangsung dengan baik jika terjadi pencampuran yang tepat antara oksigen (udara)
dengan gas hasil pirolisa, serta ditunjang oleh waktu tinggal (retention time) yang
cukup. Udara untuk pembakaran di secondary chamber disuplai oleh blower dalam
jumlah yang terkontrol. Selanjutnya gas pirolisa yang tercampur dengan udara
dibakar secara sempurna oleh burner didalam secondary chamber dalam temperatur
tinggi yaitu sekitar 800oC -1000oC. Sehingga gas-gas pirolisa (Metana, Etana dan
Hidrokarbon lainnya) terurai menjadi gas CO2 dan H2O.

2.2 Jenis – Jenis incinerator


Jenis incinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat
B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple
chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator
tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah
limbah padat, cair, dan gas secara simultan (Gunadi P, 2004).
1. Incinerator Rotary Kiln
Tipe ini cocok untuk menginsinerasi limbah yang mempunyai kandungan air
(water content) yang cukup tinggi dan volumenya cukup besar. System incinerator ini
berputar pada bagian Primary Chamber, dengan tujuan untuk mendapatkan
pembakaran limbah yang merata keseluruh bagian. Proses pembakarannya sama
dengan type static, terjadi dua kali pembakaran dalam Ruang Bakar 1 (Primary
Chamber) untuk limbah dan Ruang Bakar 2 (Seacondary Chamber) untuk sisa-sisa
gas yang belum sempurna terbakar dalam Primary Chamber (Gunadi P, 2004).
Gambar 2.1 Incinerator rotary kiln
2. Multiple Hearth Incinerator
Multiple Hearth Incinerator, yang telah digunakan sejak pertengahan tahun
1900-an, terdiri dari suatu kerangka lapisan baja tahan api dengan serangkaian tungku
(hearth) yang tersusun secara vertikal, satu di atas yang lainnya dan biasanya
berjumlah 5-8 buah tungku, shaft rabble arms beserta rabble teeth-nya dengan
kecepatan putaran 3/4 – 2 rpm. Umpan sampah dimasukkan dari atas tungku secara
terus menerus dan abu hasil proses pembakaran dikeluarkan melalui silo. Burner
dipasang pada sisi dinding tungku pembakar di mana pembakaran terjadi. Udara
diumpan masuk dari bawah, dan sampah diumpan masuk dari atas.
Limbah yang dapat diproses dalam multiple hearth incinerator memiliki
kandungan padatan minimum antara 15-50% berat. Limbah yang kandungan
padatannya di bawah 15 %-berat padatan mempunyai sifat seperti cairan daripada
padatan. Limbah semacam ini cenderung untuk mengalir di dalam tungku dan
manfaat rabble tidak akan efektif. Jika kandungan padatan di atas 50 % berat, maka
lumpur bersifat sangat viscous dan cenderung untuk menutup rabble teeth. Udara
dipasok dari bagian bawah furnace dan naik melalui tungku dengan membawa
produk pembakaran dan partikel abu (Gunadi P, 2004).
Gambar 2.2 Multiple hearth incinerator
3. Fluidized Bed Incinerator
Fluidized bed incinerator adalah sebuah tungku pembakar yang menggunakan
media pengaduk berupa pasir seperti pasir kuarsa atau pasir silika, sehingga akan
terjadi pencampuran (mixing) yang homogen antara udara dengan butiran-butiran
pasir tersebut. Mixing yang konstan antara partikel-partikel mendorong terjadinya laju
perpindahan panas yang sangat cepat serta terjadinya pembakaran sempurna.
Fluidized bed incinerator berorienrasi bentuk tegak lurus, silindris, dengan kerangka
baja yang dilapisi bahan tahan api, berisi hamparan pasir (sand bed) dan distributor
untuk fluidasi udara. Fluidized bed incinerator normalnya tersedia dalam ukuran
berdiameter dari 9 sampai 34 ft.
Pembakaran dengan teknologi fluidized bed merupakan satu rancangan
alternatif untuk pembakaran limbah padat. Harapan pasir tersebut diletakkan di atas
distributor yang berupa grid logam dengan dilapisi bahan tahan api. Grid ini berisi
suatu pelat berpori nosel-nosel injeksi udara atau tuyere di mana udara dialirkan ke
dalam ruang bakar untuk menfluidisasi hamparan (bed) tersebut. Aliran udara melalui
nosel menfluidisasi hamparan sehingga berkembang menjadi dua kali volume
sebelumnya. Fluidisasi meningkatkan pencampuran dan turbulensi serta laju
perpindahan panas yang terjadi. Bahan bakar bantu digunakan selama pemanasan
awal untuk memanaskan hamparan sampai temperatur operasi sekitar 750 oC sampai
900oC sehingga pembakaran dapat terjaga pada temperatur konstan. Dalam beberapa
instalasi, suatu sistem water spray digunakan untuk mengendalikan temperatur ruang
bakar. Fluidized bed incinerator telah digunakan untuk macam-macam limbah
termasuk limbah perkotaan damn limbah lumpur. Reaktor unggun atau hamparan
fluidisasi (fluidized bed) meningkatkan penyebaran umpan limbah yang datang
dengan pemanasan yang cepat sampai temperatur pengapiannya (ignition) serta
meningkatkan waktu kontak yang cukup dan juga kondisi pencampuran yang hebat
untuk pembakaran sempurna. Pembakaran normalnya terjadi sendiri, kemudian
sampah hancur dengan cepat, kering dan terbakar di dalam hamparan pasir. Laju
pembakaran sampah meningkat oleh kontak langsung dengan partikel hamparan yang
panas. Aliran udara fluidisasi meniup abu halus dari hamparan. Gas-gas pembakaran
biasanya diproses lagi di wet scrubber dan kemudian abunya dibuang secara landfill
(Gunadi P, 2004).
Gambar 2.3 Fluidized bed incinerator

2.3 Fungsi Insenerator


Fungsi dan penggunaan insenerator adalah:
1. Untuk menghancurkan sampah-sampah berbahaya dan beracun ataupun sampah-
sampah infeksi sehingga sisanya dapat dibuang dengan aman ke tempat
pembuangan sampah umum.
2. Mendestruksi materi -materi yang berbahaya seperti mikroorganisme
pathogen dan meminimalisir pencemaran udara yang dihasilkan dari proses
pembakaran sehingga gas buang yang keluar dari cerobong menjadi lebih
terkontrol dan ramah lingkungan.
2.4 Prinsip Kerja Incinerator
Proses incinerator akan berlangsung melalui 3 tahapan yaitu:
1. Menjadikan/memisahkan air dalam sampah menjadi uap air, hasilnya limbah
menjadi kering dan siap terbakar
2. Terjadinya proses pirolisis yaitu pembakaran tidak sempurna dimana
temperatur belum terlalu tinggi
3. Terjadinya pembakaran sempurna. Ruang bakar pertama digunakan sebagai
pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400oC- 600oC. Ruang bakar kedua
digunakan sebagai pembakar asap dan bau dengan suhu antara 600 oC – 1200oC.
Suplai oksigen dari udara luar ditambahkan agar terjadi oksidasi sehingga
materi – materi limbah akan teroksidasi dan menjadi mudah terbakar. Dengan
terjadinya proses pembakaran sempurna, asap yang keluar dari cerobong
menjadi transparan.
BAB III
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari teknologi reverse osmosis sebagai berikut:
1. Reverse osmosis adalah suatu proses pembalikan dari sutu proses osmosis.
Osmosis adalah proses perpindahan larutan dari larutan dengan konsentrasi zat
terlarut rendah menuju larutan dengan konsentrasi zat trelarut lebih tinggi sampai
terjadi kesetimbangan konsentrasi.
2. Proses osmosis adalah proses mengalirnya molekul air dari larutan berkadar
garam rendah (dilute solution) menuju ke larutan berkadar garam tinggi
(concentrated solution).
3. Pada sistem Reverse Osmosis masalah utama yang sering terjadi adalah
kebuntuan membran (membrane blocked).
4. Reverse Osmosis mampu menghilangkan banyak jenis kontaminan kesehatan dan
aestatik. Di desain dengan efektif sehingga mampu menghilangkan rasa, warna
dan bau yang tidak sedap, dan rasa asin atau soda yang disebabkan oleh klorida
atau sulfat
DAFTAR PUSTAKA
Agung Arief Wijaya, ST, MM SWA “Singapore Water Association” dan MASAR –
USA)
Anonim. 2010. Instalasi Pengolahan Air Sistem Reverse Osmosis
Anonim, 2010. Buku manual Desalite RO Drinking Water System.
http://www.desalite.com/download/buku-manual-reverse-osmosis.pdf
Said, Nusa Idaman. dkk. 2010. Pengolahan Air Asin Atau Payau Dengan Sistem
Osmosis Balik
http://science.howstuffworks.com/reverse-osmosis.htm
http://www.lipi.org/Membran/20Reverse-Osmosis/PUSAT-PENELITIAN-
GEOTEKNOLOGI.htm

Anda mungkin juga menyukai