Anda di halaman 1dari 53

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Persalinan

1. Pengertian Persalinan

Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput

ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinaan dianggap normal jika prosesya

terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa

disertai adanya penyulit. Persalinan dimulai (inpartu) sejak uterus

berkontraksi dan menyebabkan perubahan pada serviks (membuka dan

menipis) dan berakhir dengan lahirnya plasenta secara lengkap. Ibu belum

inpartu jika kontraksi uterus tidak mengakibatkan perubahan serviks

(JNPK-KR, 2007 dalam Rukiyah dkk, 2009: 2).

Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat

hidup dari dalam uterus ke dunia luar. Persalinan mencakup proses

fisiologis memungkinkan serangkaian perubahan yang besar pada ibu

untuk dapat melahirkan janinnya melalui jalan lahir. Persalinan dan

kelahiran normal merupakan proses pengeluaran janin yang terjadi pada

kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi

belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik

ibu ataupun janin ( Jannah, 2015: 1).

Persalinan normal adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang

dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar dengan

8
9

presentasi belakang kepala tanpa memakai alat-alat atau pertolongan

istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi, dan umumnya berlangsung

dalam waktu kurang dari 24 jam (Prawirohardjo 1997 dalam Rukiyah dkk,

2009: 1).

2. Jenis-jenis persalinan

Menurut Jannah (2015: 1) jenis persalinan menurut cara persalinan yaitu

terdiri dari:

a. Persalinan normal atau disebut juga persalinan spontan. Pada

persalinan ini, proses kelahiran bayi pada letak belakang kepala

(LKB) dengan tenaga ibu sendiri berlangsung tanpa bantuan alat serta

tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24

jam

b. Persalinan abnormal/buatan yaitu persalinan pervaginam dengan

menggunakan bantuan alat, seperti ekstraksi dengan forceps atau

vakum atau melalui dinding perut dengan section caesarea atau SC.

c. Persalinan anjuran. Persalinan ini tidak dimulai dengan sendirinya,

tetapi baru berlangsung setelah dilakukan perangsangan, seperti

dengan pemecahan ketuban dan pemberian prostaglandin.

Persalinan menurut usia kehamilan dibagi menjadi empat macam (Jannah,

2015: 2)

a. Abortus (keguguran). Penghentian dan pengeluaran hasil konsepsi

dari jalan lahir sebelum mampu hidup diluar kandungan. Usia


10

kehamilan biasanya kurang dari 28 minggu dan berat janin kurang dari

1.000 gram.

b. Partus prematurus. Pengeluaran hasil konsepsi baik secara spontan

atau buatan pada usia kehamilan 28-36 minggu dengan berat janin

kurang dari 2.499 gram.

c. Partus matures atau aterm (cukup bulan). Pengeluaran hasil konsepsi

yang spontan ataupun buatan antara usia kehamilan 37-42 minggu

dengan berat janin lebih dari 2.500 gram.

d. Partus postmaturus (serotinus). Pengeluaran hasil konsepsi yang

spontan ataupun buatan melebihi usia kehamilan 42 minggu dan

tampak tanda-tanda janin postmatur.

Menurut Mochtar. 1988 dalam Rukiyah dkk (2009: 2) persalinan

berdasarkan umur kehamilan adalah sebagai berikut:

a. Abortus adalah pengeluaran buah kehamilan sebelum kehamilan 22

minggu dan atau bayi dengan berat badan kurang dari 500 gram.

b. Partus immaturus yaitu pengeluaran buah kehamilan antara 22 minggu

dan 28 minggu atau bayi dengan berat badan antara 500 gram dan 999

gram.

c. Partus prematurus yaitu pengeluaran buah kehamilan antara 28

minggu dan 37 minggu atau bayi dengan berat badan antara 1000

gram dan 2.499 gram.

d. Partus maturs atau aterm yaitu pengeluaran buah kehamilan antara 37

minggu dan 42 minggu dengan berat badan bayi di atas 2.500 gram.
11

e. Partus postmaturus (serotinus) yaitu pengeluaran buah kehamilan

setelah 2 minggu atau lebih dari waktu persalinan yang ditafsirkan.

3. Tanda-tanda persalinan

Tanda persalinan dibagi menjadi dua fase dalam Marmi (2016: 9-11),

yaitu:

a. Tanda-tanda bahwa persalinan sudah dekat

1). Terjadinya lightening

2). Terjadi his permulaan

b. Tanda-tanda timulnya persalinan (inpartu)

pada fase ini sudah memasuki tanda-tanda inpartu

1) Terjadinya his persalinan

2) Keluarnya lender bercampur darah (show)

3) Terkadang disertai ketuban pecah

4) Dilatasi dan effacement

4. Tahapan persalinan

Tahapan persalinan dibagi menjadi empat kala yaitu:

1) Kala I

Pada kala I serviks membuka sampai terjadi pembukaan 10 cm,

disebut juga kala pembukaan. Secara klinis partus dimulai bila timbul

his dan wanita tersebut mengeluarkan lendir yang bersemu darah

(Ilmiah, 2014: 4).


12

Proses membukanya serviks dibagi menjadi 2 fase:

1) Fase laten: berlangsung selama 8 jam sampai pembukaan 3 cm

his masih lemah dengan frekuensi jarang, pembukaan terjadi

sangat lambat

2) Fase aktif dibagi menjadi 3:

a) Fase akselerasi lamanya 2 jam pembukaan 3 cm menjadi 4

cm

b) Fase dilatasi maksimal, dalam waktu 2 jam pembukaan

berlangsung sangat cepat, dari pembukaan 4 cm menjadi 9

cm

c) Fase deselerasi, pembukaan menjadi lambat sekali. Dalam

waktu 2 jam pembukaan dari 9 cm menjadi 10 cm.

2) Kala II

Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah

lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi. Kala II pada

primipara berlangsung selama 2 jam dan pada multipara 1 jam

(Rohani dkk, 2011:7)

3) Kala III

Kala III dimulai sejak bayi lahir sampai lahirnya plasenta/uri.

Normalnya kurang dari 30 menit dan rata-rata berkisar 15 menit,

baik primipara maupun multipara (Djami dan Indrayani, 2016:

396).
13

1) Fase-fase dalam kala tiga persalinan

a) Fase pemisahan/pelepasan plasenta

Segera setelah bayi lahir dan air ketuban sudah

tidak berada dalam uterus, kontraksi akan terus

berlangsung dan terjadi penyusutan volume rongga uterus.

Penyusutan ukuran ini akan menyebabkan berkurangnya

ukuran tempat perlekatan plasenta karena tempat

perlekatan menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran

plasenta tidak berubah maka plasenta akan terlipat,

menebal dan kemudian akan lepas dari dinding uterus.

Akibat dari penyusutan ukuran uterus, plasenta akan

terlepas sedikit demi sedikit dan sebagian pembuluh darah

yang kecil akan robek saat plasenta lepas sehingga terjadi

pengumpulan perdarahan di antara ruang plasenta dan

desidua basalis yang terjadi pengumpulan perdarahan

diantara ruang plasenta dan desidua basalis yang disebut

retroplacenter hematom. Tempat melekatnya plasenta

akan berdarah sehingga uterus berkontraksi. Uterus yang

berkontraksi akan menekan semua pembuluh darah yang

akan menghentikan perdarahan. Sebelum uterus

berkontraksi ibu tersebut bisa kehilangan darah 350-560

ml
14

b) Turunnya plasenta

Setelah pemisahan, plasenta bergerak turun ke jalan lahir

dan melalui dilatasi (pelebaran) serviks melebar.

c) Fase pengeluaran plasenta

Uterus tidak bisa sepenuhnya berkontraksi hingga plasenta

lahir dahulu seluruhnya. Kelahiran yang cepat dari

plasenta segera setelah lepas dari dinding uterus

merupakan tujuan dari manajemen kebidanan kala tiga.

Ada dua mekanisme pelepasan plasenta, yaitu:

(1) Mekanisme Duncan (Mathews-duncan mechanism)

Pelepasan plasenta dari pinggir atau

bersamaan dari pinggir dan tengah plasenta. Hal ini

mengakibatkan terjadi semburan darah sebelum

plaenta lahir.

(2) Mekanisme Schultz

Pelepasan plasenta yang dimulai dari

sentral/bagian tengah sehingga terjadi bekuan

retroplasenta. Cara pelepasan paling sering terjadi.

Tanda pelepasan dari tengah ini mengakibatkan

perdarahan tidak terjadi sebelum plasenta lahir.

Perdarahan banyak terjadi segera setelah plasenta

lahir.
15

2) Tanda-tanda pelepasan plasenta

Setelah terlepas, plasenta akan turun ke segmen bawah

uterus atau ke dalam vagina, menyebabkan munculnya tanda-

tanda pelepasan plasenta antara lain (Eniyati dan Sholihah,

2016: 132)

a) Perubahan bentuk dan tinggi uterus

Setelah bayi lahir dan sebelum miometrium mulai

berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi

fundus biasanya di bawah pusat. Setelah uterus

berkontraksi dan plasenta terdorong ke bawah, uterus

berbentuk segitiga atau seperti buah pear atau alpukat dan

fundus berada di atas pusat.

b) Tali pusat memanjang

Apabila dilakukan penegangan tali pusat terkendali

(PTT) tali pusat memanjang, dimana tali pusat terlihan

menjulur keluar melalui vulva (tanda ahfeld).

c) Semburan darah tiba-tiba dan singkat

Darah yang terkumpul dibelakang plasenta akan

membantu mendorong plasenta keluar dibantu oleh gaya

gravitasi. Apabila kumpulan darah (retroplacental

pooling) dalam ruang diantara dinding uterus dan

permukaan dalam plasenta melebihi kapasitas

tampungnya maka darah tersembur keluar dari tepi


16

plasenta yang terlepas. Akan tetapi tanda semburan darah

tiba-tiba dan singkat ini tidak selalu ada, apabila

mekanisme pelepasan plasenta secara Schultz maka tida

terjadi semburan darah tiba-tiba sebelum plasenta lahir.

Pada kondisi seperti ini, untuk memastikan apakah

plasenta sedah terlepas sedah terlepas atau belum,

bidan/penolong bisa mengidentifikasi tanda-tanda

pelepasan plasenta yang lain.

Untuk mengetahui apakah plasenta telah lepas dari tempat

implantasinya, ada beberapa perasat:

(1) Perasat kustner

Tangan kanan meregangkan atau menarik

sedikit tali pusat, tangan kiri menekan daerah di

atas simfisis. Bila tetap atau tidak masuk ke dalam

vagina, berarti plasenta sedah terlepas. Perasat ini

yang dianjurkan untuk dilakukan dan

dikombinasikan dengan tindakan penekanan kearah

dorso kranial saat tali pusat diregangkan.

(2) Perasat strassmen

Tangan kanan meregangkan tali pusat,

tangan kanan mengetok-ngetok fundus uteri. Bila

terasa getaran pada tali pusat yang diregangkan,


17

berarti plasenta belum lepas. Bila tidak terasa

getaran berarti plasenta telah terlepas.

(3) Perasat klein

Ibu diminta mengedan, maka tali pusat akan

tampak turun kebawah. Bila ibu berhenti mengedan

dan tali pusat masuk kembali ke dalam vagina,

berarti plasenta belum lepas.

3) Pengeluaran plasenta

Pengeluaran ini sebagai tanda berakhirnya kala tiga.

Setelah itu, otot uterus akan terus berkontaksi secara kuat dan

dengan demikian akan menekan pembuluh dara robek.

Kondisi ini (bersama-sama dengan terjadinya proses fisiologi

pembekuan darah) dengan cepat mengurangi dan

menghentikan perdarahan postpartum. Plasenta yang sudah

lepas dan menempati segmen bawah rahim, kemudian melalui

serviks, vagina dan ke introitus vagian. Setelah plasenta

tampak di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan kedua

tangan. Pegang atau putar plasenta hingga selaput ketuban

terpilin kemudian lahirkan dan tempatkan plaenta pada wadah

yang telah disediakan. Jika selaput ketuban robek, pakai

sarung tangan DTT atau steril untuk melakukan eksplorasi sisa

selaput kemudian gunakan jari-jari tangan atau klem


18

DTT/steril untuk mengeluarkan bagian selaput yang tertinggal

(Eniyanti dan Sholihah, 2013: 132)

4) Pemantauan perdarahan.

Selama hamil aliran darah ke uterus 500-560 ml/menit.

Uerus tidak berkontraksi dapat menyebabkan kehiangan darah

sebanyak 350-560 ml. dengan adanya kontraksi uterus akan

menekan pembuluh darah uterus diantara anyaman

myometrium sehingga perdarahan dapat terhenti.

5) Manajemen aktif kala III

Tujuan dari manajemen aktif kala III , yaitu:

a) Mengupayakan kontraksi uterus yang adekuat dari uterus

dan mempersingkat waktu kala III.

b) Mengurangi jumlah kehilangan darah.

Mengupayakan kontraksi uterus juga dapat

dilakukan dengan menstimulasi puting susu dimana

menurut saifuddin dalam sari (2017), dengan memberikan

rangsangan puting susu setelah bayi lahir dapat

mempengaruhi hipotalamus agar mengeluarkan hormon

oksitosin secara alamiah yang akan mempercepat kontraksi

uterus sehingga mengurangi perdarahan

postpartum.kontraksi uterus sangat penting untuk

mengontrol perdarahan setelah kelahiran. Bemtuk lain

stimulasi pada puting susu yang dapat membantu uterus


19

berkontraksi yaitu dengan melakukan stimulasi dengan jari

dengan cara pemilinan.

c) Menurunkan angka kejadian retensio plasenta.

Kerugian manajemen aktif kala III

a) Penolong persalinan tidak bisa meninggalkan pasien

sehingga diperlukan assisten untuk memberikan obat

oksitosin dan menolong anak yang baru lahir.

b) Mengganggu proses fisiologi normal.

Menurut Sholihah dan Eniyati, 2013: 134, terdapat

tiga langkah utama manajemen aktif kala III

a) Pemberian oksitosin atau uterotonika sesegera mungkin

(1) Letakkan bayi baru lahir diatas kain bersih yang

telah disiapkan diperut bawah ibu dan minta ibu

atau pendampingnya untuk memegang bayi

tersebut

(2) Pastikan tidak ada bayi lain di dalam uterus

(3) Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik

(4) Segera (dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir)

suntikkan oksitosin 10 unit IM pada 1/3 bagian

atas paha bagian luar (aspektus lateralis)

(5) Dengan mengerjakan semua prosedur tersebut

terlebih dahulu maka akan memberi cukup waktu

pada bayi untuk memperoleh sejumlah darah kaya


20

zat besi dan setelah itu (setelah 2 menit) baru

dilakukan tindakan dan penjepitan tali pusat

(6) Serahkan bayi yang telah dibungkus kain pada ibu

untuk inisiasi menyusu dini dan kontak kulit-kulit

dengan ibu.

(7) Tutup kembali perut ibu dengan kain bersih

b) Melakukan penegangan tali pusat terkendali (PTT)

(1) Berdiri disamping ibu

(2) Pindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-10 cm

dari vulva

(3) Letakkan tangan tangan yang lain pada abdomen

ibu (beralaskan kain) tepat diatas simfisis pubis.

Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus

dan menekan uterus pada saat melakukan

penegangan tali pusat. Setelah terjadi kontraksi

yang kuat, tegangkan tali pusat dengan satu tangan

dan tangan yang lain (pada dinding abdomen)

menekan uterus kearah lumbal dan kepala ibu

(dorsokranial). Lakukan secara hati-hati untuk

mencegah inversion uteri.

(4) Bila plasenta belum lepas, tunggu hingga uterus

berkontraksi kembali (sekitar dua atau tiga menit


21

berselang) untuk mengulangi kembali penegangan

tali pusat terkendali

(5) Saat mulai berkontraksi, tegangkan tali pusat kea

rah bawah, lakukan tekanan dorsokranial hingga

tali pusat makin menjulur dan korpus uteri

bergerak keatas yang menandakan plasenta telah

lepas dan dapat dilahirkan.

c) Rangsangan taktil (masase) pada dinding uterus atau

fundus uteri

(1) Minta ibu untuk meletakkan telapak tangannya

pada dinding uterus

(2) Instruksikan untuk mengusap dinding uterus

dengan gerakan sirkuler

(3) Beritahukan bahwa mungkin timbul rasa kencang

atau tidak nyaman

(4) Uterus yang menencang menunjukkan respon

adekuat terhadap rangsangan

(5) Teruskan rangsangan taktil bila uterus masih

belum berkontraksi

(6) Memeriksa plasenta dan selaputnya untuk

mamastikan keduanya lengkap dan utuh

(a) Periksa plasenta sisi maternal (yang melekat

pada dinding uterus) untuk memastikan bahwa


22

semuanya lengkap dan utuh (tidak ada bagian

yang hilang)

(b) Pasangkan bagian-bagian plasenta yang robek

atau terpisah untuk memastikan tidak ada

bagian yang hilang

(c) Periksa plasenta sisi petal (yang menghadap

ke bayi) untuk memastikan tidak adanya

kemungkinan lobus tambahan (suksenturiata)

(d) Evaluasi selaput untuk memastikan

kelengkapannya

(7) Periksa kembali uterus setelah satu hingga dua

menit untuk memastikan uterus berkontraksi. Jika

uterus masih belum berkontraksi dengan baik,

ulangi masase fundus uteri. Ajarkan ibu dan

keluarganya cara melakukan masase uterus

sehingga mampu untuk segera mengetahui jika

uterus tidak berkontraksi baik

(8) Periksa kontraksi uterus setiap 15 menit selama 1

jam pertama pasca persalinan dan 30 menit selama

1 jam kesua pasca persalinan.

4) Kala IV

Dimulai dari lahirnya plasenta sampai dua jam pertama

postpartum untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap


23

perdarahan postpartum. Kala IV pada primigravida dan

multigravida sama-sama berlangsung dalam dua jam (Jannah,

2015: 6).

Observasi yang dilakukan pada kala IV meliputi:

1) Evaluasi uterus

2) Pemeriksaan dan evaluasi serviks, vagina, dan perineum

3) Pemeriksaan dan evaluasi plasenta, selaput, dan tali pusat

4) Penjahitan kembal episiotomi dan lasesari (jika ada)

5) Pemantauan dan evaluasi lanjut tanda vital, kontraksi uterus,

lokea, perdarahan,kandung kemih.

5. Deteksi Dini Penyulit Dan Komplikasi Persalinan

Beberapa komplikasi dan penyulit dalam persalinan antara lain:

a. Kala I

Beberapa kompikasi dan penyulit persalinan kala I menurut

Sari dan Rimandini (2014: 203-206) yaitu:

1) Kala I fase laten memanjang

2) Kala I fase aktif memanjang

b. Kala II

Beberapa penyulit dan komplisai dalam persalinan menurut

Rukiyah dan Yulianti, 2010: 139) yaitu:

1) Distosia karena kelainan presentasi

a) Presentasi puncak kepala

b) Presentasi dahi
24

c) Presentasi muka

d) Persistent oksipito posterior

2) Distosia karena kelainan posisi janin

a) Letak sungsang

b) Letak lintang

3) Distosia kelainan tenaga/his

a) His hipotonik

b) His hipertonik

c) His yang tidak terkoordinasi

4) Distosia karena kelainan alat kandungan

a) Kelainan pada vulva

b) Kelainan pada vagina

c) Kista vagina

d) Kelainan pada uterus/serviks

e) Kesempitan pintu atas panggul (PAP)

f) Kesempitan bidang tengah panggul (BTP)

g) Kesempitan pintu bawah panggul (PBP)

5) Distosia karena kelainan janin

a) Bayi besar

b) Hydrochepalus

c) Anenchepalus

d) Kembar siam
25

e) Gawat janin

c. Kala III

Beberapa komplikasi dan penyulit persalinan kala III menurut

Rukiyah dan Yulianti, 2010: 139), yaitu:

1) Atonia uteri

2) Retensio plasenta

3) Emboli air ketuban

4) Robekan jalan lahir

d. Deteksi dini dan penyulit persalinan kala IV

Beberapa koplikasi dan penyulit menurut Rukiyah dan Yulianti, 2010:

139), yaitu

1) Perdarahan kala IV

a) Perdarahan primer

b) Perdarahan sekunder

2) Syok obstetric

B. Retensio Plasenta

1. Pengertian

Retensio plasenta adalah keadaan plasenta yang tertahan atau

belum lahir hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.

Plasenta biasanya telah terlepas dari tempat implantasinyapada keadaan

normal 15 menit setelah bayi lahir (Jannah, 2015: 154).


26

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta

hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar

gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kotraksi uterus

(Nugroho, 2014: 158)

Retensio plasenta adalah belum lahirnya plasenta ½ jam setelah

bayi lahir. Tidak semua plasenta menyebabkan terjadinya perdarahan.

Apabila terjadi perdarahan, maka plasenta dilepaskan secara manual lebih

dahulu (Rukiyah dan Yulianti, 2010: 53)

2. Faktor Yang Mempengaruhi

Menurut Walyani (2015, 41) faktor yang mempengaruhi retensio

plasenta adalah

a. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks;

kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang

tetanik dari uterus; serta pembentuk constriction ring.

b. Kelainan dari plasenta dan sifat perlekatan plasenta pada uterus.

c. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari

uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta

menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonika

yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan

menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang

melemahkan kontraksi uterus.


27

3. Fisiologi Plasenta

Klasifikasi plasenta merupakan proses fisiologis yang terjadi

dalam kehamilan akibat deposisi kalsium pada plasenta. Klasifikasi pada

plasenta terlihat mulai kehamilan 29 minggu dan semakin meningkat

dengan bertambahnya usia kehamilan, terutama setelah kehamilan 33

minggu (Rukiyah dkk, 2009: 297)

Selama kehamilan pertumbuhan uterus lebih cepat dari pada

pertumbuhan plasenta. Sampai usia kehamilan 20 minggu plasenta

menempati sekitar ¼ luas permukaan myometrium dan ketebalannya tidak

lebih dari 2-3 cm, menjelang kehamilan aterm plasenta menempati sekitar

1/8 luas permukaan myometrium, dan ketebalannya dapat mencapai 4-5

cm. ketebalan plasenta yang normal jarang melebihi 4 cm, plasenta yang

menebal (plasentomegali) dapat dijumpai pada ibu yang menderita

diabetes mellitus, ibu anemia (Hb < 8 gr%), hidrop petalis, tumor

plasenta, kelainan kromosom, insfeksi (sifilis, CMV) dan perdarahan

plasenta. Plasenta yang menipis dapat dijumpai pada pre eclampsia,

pertumbuhan janin terhambat (PJT), infark plasenta, dan kelainan

kromosom. Belum ada batasan yang jelas mengenai ketebalan minimal

plasenta yang masih dianggap normal. Beberapa penulis memakai batasan

minimal plasenta normal antara 1,5-2,5 cm (Rukiyah dkk. 2009: 297).

4. Fisiologi Pelepasan Plasenta

Pemisahan plasenta ditimbulkan dari kontraksi dan retraksi

myometrium sehingga mempertebal dinding uterus dan mengurangi


28

ukuran area plasenta. Area plasenta menjadi lebih kecil, sehingga plasenta

mulai memisahkan diri dari dinding uterus dan tidak dapat berkontraksi

atau berinteraksi pada area pemisahan bekuan darah retroplasenta

terbentuk. Berat bekuan ini menambah pemisahan kontraksi uterus

berikutnya akan melepaskan keseluruhan plasenta dari uterus dan

mendorongnya keluar vagina disertai dengan pengeluaran selaput ketuban

dan bekuan darah retroplasenta (WHO, 2001 dalam Rukiyah dkk, 2009:

297).

5. Faktor Predisposisi Terjadinya Retensio Plasenta

Faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta menurut

(Karlina, dkk, 2016: 137-139) adalah:

a. Paritas ibu

Pada multipara akan terjadi kemunduran dan cacat pada

endometrium yang mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas

implantasi plasenta pada persalinan sebelumnya sehingga

vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan pada

janin, plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan villi

khorialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga

akan terjadi plasenta adhevisa sampai perkreta. Ashas Kimen

mendapatkan angka kejadian tertinggi retensio plasenta pada

multipara, sedangkan Puji Ichtiarti mendapatkan kejadian retensio

plasenta tertinggi pada paritas 4-5.


29

b. Usia

Usia adalah usia individu terhitung saat mulai dilahirkan

sampai berulang tahun. semakin cukup umur maka tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir

dan bekerja. Makin tua umur ibu maka akan terjadi kemunduran yang

progresif dari endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan

nutrisi janin diperlukan pertumbuhan plasenta yang lebih luas.

Kesehatan reproduksi wanita sangat penting pengaruhnya dalam

kehamilan. Usia ibu merupakan factor resiko terhadap terjadinya

retensio plasenta. Menurut varney bahwa usia ibu lebih dari 35 tahun

mempunyai resiko tinggi terjadi komplikasi persalinan dikarenakan

otot-otot rahim yang sudah lemah sehingga persalinan akan

berlangsung lama yang salah satunya akan menyebabkan terjadinya

retensio

c. Pendidikan ibu

Pendidikan adalah keseluruhan pengalaman setiap orang

sepanjang hidupnya. Dalam hal ini tidak dikenal batas usia, tidak

dibatasi oleh tempat, lingkungan dan juga kegiatan. Tingkat

pendidikan seseorang sangat berpengaruh dalam memberi respon

terhadap sesuatu yang datang dari luar seperti sikap dan penerimaan

anjuran atau nasehat yang diberikan oleh orang lain (tenaga

kesehatan). Klien yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon


30

yang lebih rasional dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih

rendah sebab pendidikan yang menunjukkan kualitas dalam dirinya.

d. Pekerjaan

Salah satu program pemerintah dalam pembangunan adalah

memberikan pekerjaan untuk mengurangi pengangguran, karena

pengangguran dapat memberikan dampak yang merugikan dalam

ketahanan keluarga. Kemampuan untuk melaksanakan program

pemerintah merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan keluarga dan masyarakat serta sumber daya manusia.

Pekerjaan adalah mata pencaharian yang meningkatkan

penghasilan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hasil symposium

nasional mengatakan kecenderungan bertambahnya waktu yang

dipakai para wanita yang berpartisipasi dalam program pemerintah

adalah berbagai waktu dalam kegiatan rumah tangga.

e. Anemia

Menurut penelitian Riyanto (2015), menyatakan bahwa terdapat

hubungan antara anemia dengan retensio plasenta. Terdapat ibu

bersalin dengan anemia berjumlah 29% mengalami retensio plasenta.

Ibu bersalin dengan anemia mempunyai resiko 3, 467 kali untuk

mengalami retensio plaseenta dibandingkan dengan ibu bersalin yang

tidak anemia.

Anemia pada ibu hamil dan bersalin dapat menyebabkan

kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada di sekitar


31

pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengkatan

plasenta menjadi lemah sehingga memperbesar resiko terjadinya

retensio plasenta karena myometrium tidak berkontraksi.

Ibu dengan anemia dapat menimbulkan gangguan pada kala uri

yang diikuti retensio plasenta dan perdarahan postpartum. Ibu yang

memasuki persalinan dengan konsentrasi hemoglobin yang rendah

dapat mengalami penurunan yang lebih cepat lagi jika terjadi

perdarahan, bagaimanapun kecilnya. Anemia berkaitan dengan

debilitas yang merupakan penyebab lebih langsung terjadinya retensio

plasenta (Paster dan Coper, 2009)

Faktor predisposisi retensio plasenta menurut manuaba (2007:815), yaitu:

a. Grandemultipara

b. Kehamilan ganda, sehingga memerlukan implantasi plasenta yang

agak luas

c. Kasus infertilitas, karena lapisan endometrium tipis

d. Plasenta previa, karena bagian isthmus uterus pembuluh darah sedikit

sehingga plasenta perlu berimplementasi lebih dalam

e. Bekas operasi pada uterus

6. Etiologi Retensio Plasenta

Etiologi dari retensio plasenta menurut Sholihah dan Eniyati (2013:

136) sebagai berikut:

a. Plasenta belum terlepas dari dinding Rahim karena tumbuh melekat

lebih dalam, yang menurut tingkat perlengkatannya dibagi menjadi:


32

1) Plasenta adhevisa: plasenta melekat pada desidua endometrium lebih

dalam

2) Plasenta inkreta: dimana villi khorialis tumbuh lebih dalam dan

menembus desidua sampai myometrium

3) Plasenta akreta: menembus lebih dalam kedalam myometrium tetapi

belum menembus serosa

4) Plasenta perkreta: menembus sampai serosa atau peritoneum dinding

Rahim

b. Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan

menyebabkan perdarahan yang banyak. Atau karena adanya lingkaran

kontriksi pada bagian bawah Rahim akibat kesalahan penanganan kala

III, yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata)

Plasenta yang belum lepas sama sekali tidak akan trjadi perdarahan,

tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan

dan ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya. Plasenta

mungkin pula tidak keluar karena kandung kemih dan rectum penuh,

karena keduanya harus dikosongkan.

Tabel 2.1 Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta


Separasi/ Plasenta Plasenta
Gejala
akreta parsial inkarserata akreta
Konsistens
Kenyal Keras Cukup
i uterus
2 jari bawah
Tinggi Sepusat Sepusat
pusat
Bentuk Agak
Discoid Discoid
uterus globuler
Perdaraha Sedang- Sedikit/tidak
Sedang
n banyak ada
Tali pusat Terjulur Terjulur Tidak
33

sebagian terjulur
Ostium
Terbuka Konstriksi Terbuka
uteri
Separasi Lepas Melekat
Sedah lepas
plasenta sebagian seluruhnya
Jarang
Syok Sering Jarang
sekali
Sumber: Rukiyah dan Yulianti, 2010

7. Klasifikasi Retensio Plasenta

Menurut Karlina dkk (2016: 139) retensio plasenta terdiri dari

beberapa jenis, antara lain:

a. Plasenta adhevisa adalah implantasi yang kuat jari jonjot korion

plasenta sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi

fisiologis

b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga

mencapai sebagian lapisan myometrium

c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion hingga

mencapai/melewati lapisan myometrium

d. Plasentra perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang

menembus lapisan myometrium hingga mencapai serosa dinding

uterus.

e. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,

disebabkan oleh kontraksi ostium uteri

1) Berdasarkan luasnya

a) Total yaitu seluruh plasenta yang melekat pada myometrium

b) Parsial yaitu ada salah satu atau lebih kotiledon atau sebagian

kotiledon yang melekat pada myometrium


34

2) berdasarkan dalamnya

a) Akreta yaitu plasenta melekat pada myometrium

b) Inkreta yaitu villi chorialis menembus otot uterus tetapi tidak

keseluruhan tebalnya

c) Perkreta yaitu villi chorialis menembus dinding uterus dan dapat

menimbulkan, perforasi lapisan serosa dapat terjadi ruptur uteri

Gambar2.1: Implantasi Plasenta


Sumber: Djami Dan Indiyani, 2016

8. Tanda dan Gejala Retensio Plasenta

Tanda dan gejala retensio menurut Karlina dkk (2016: 140) adalah:

a. Plasenta akreta parsial/separasi

1) Konsistensi uterus kenyal

2) Tinggi fundus uteri setinggi pusat

3) Bentuk uterus discoid

4) Perdarahan sedang-banyak

5) Tali pusat terjulur sebagian

6) Ostium uteri terbuka

7) Separasi plasenta lepas sabagian

8) Syok sering
35

b. Plasenta inkarserata

1) Konsistensi uterus keras

2) Tinggi fundus uteri 2 jari bawah pusat

3) Bentuk uterus globular

4) Perdarahan sedang

5) Tali pusat terjulur

6) Ostium uteri terbuka

7) Saparasi plasenta sudah lepas

8) Syok jarang

c. Plasenta inkreta

1) Konsistensi uterus cukup

2) Tinggi fundus uterus setinggi pusat

3) Bentuk uterus discoid

4) Perdarahan sedikit / tidak ada

5) Tali pusat tidak terjulur

6) Ostium uteri terbuka

7) Separasi plasenta melekat seluruhnya

8) Syok jarang sekali, kecuali akibat inversion oleh tarikan kuat

pada tali pusat

9. Patofisiologis Retensio Plasenta


36

Pada persalinan kala III, fisiologis plasenta yang normal dan

pelaksanaan manajemen aktif kala III yang benar menjadi penyebab past

kelahiran plasenta secara normal. Saat dimana terjadi kesalahan

penanganan kala III dan atau kontraksi uterus ditemukan tidak bekerja

dengan baik (atonia uteri) maupun terjadi plasenta inkarserata diamana

plasenta tidak dapat lahir karena terhalang oleh cincin Rahim, maka

didapatkan bahwa plasenta telah lahir sebagian, dan yang memperparah

keadaan ini adalah perdarahan yang banyak dan terus menerus jika tidak

segera diberi pertolongan. Sementara plasenta akreta, inkreta, dan perkreta

akan menyebabkan plasenta tidak dapat lahir seluruhnya karena fisiologis

plasenta yang tidak normal sehingga menyebabkan kontraksi jelek dan

perlu dilakukan penanganan lebih khusus yaitu histerektomi untuk

mengatasinya (Karlina dkk, 2016 139).

10. Penatalaksanaan

a. Syok hipovelemik

Terjadi karena volume intravaskuler berkurang akibat perdarahan,

kehilangan cairan akibat diare, muntah dan dehidrasi, sehingga

menyebabkan pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel tidak adekuat

(buku saku pelayanan kesehatan ibu, 2013: 69).

Tabel 2.2 Estimasi Kehilangan Darah Pada Syok Hipovolemik


37

Klas I Klas II Klas III Klas IV


Kehilangan
Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000
darah (ml)
Kehilangan
darah Sampai 15% 15-30% 30-40% >40%
(%EBV)
Denyut nadi Normal >100 >120 >140
Tekanan
Gap TD
darah Normal >100 >70
melebar
(mmHg)
Frekuensi
14-20 20-30 30-35 >35
nafas (x/m)
Produksi
urin >30 20-30 5-15 Tidak ada
(ml/jam)

Status Gelisah Gelisah Gelisah dan Bingung dan


mental ringan sedang bingung letargis

Cairan
Kristaloid dan Kristaloid dan
pengganti kkristaloid Kristaloid
darah darah
(rumus 3:1)

Sumber: Canon, 2018: 375

Menurut Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu (2013: 68-70),

tatakaksana umum bila terjadi syok:

1) Carilah bantuan tenaga kesehatan lain.

2) Pastikan jalan nafas bebas dan berikan oksigen.

3) Atur posisi pasien trendelenburg

4) Pasang infus intravena (2 jalur bila mungkin) dengan

menggunakan jarum terbesar (no. 16 atau 18 atau ukuran terbessar

yang tersedia)

5) Berikan cairan kristaloid (NaCl 0,9% ATAU Ringer Laktat)

sebanyak 1 liter dengan cepat (15-20 menit).


38

6) Pasang kateter urin (kateter folley) untuk memantau jumlah urin

yang keluar.

7) Lanjutkan pemberian cairan sampai 2 liter dalam 1 jam pertama

atau hingga 3 liter dalam 2-3 jam (pantau kondisi ibu dan tanda

vital).

8) Cari penyebab syok dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

lebih lengkap secara simultan, kemudian beri tatalaksana yang

tepat sesuai penyebab.

b. Tidak syok

Menurut buku saku pelayanan kesehatan ibu (2013: 107),

penatalaksanaan retensio plasenta yaitu:

1) Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 mll larutan NaCl 0,9% /

Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan

berhenti.

2) Lakukan tarikan tali pusat terkendali

3) Bila tarikan tali pusat tidak terkendali tidak berhasil lakukan

manual plasenta secara hati-hati.

4) Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 gr IV dan

metronidazole 500 mg per oral).

5) Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi

komplikasi perdarahan hebat atau infeksi.

Penatalaksanaan retensio plasenta menurut jurnal NHS (2017: ), yaitu:

a. Penatalaksanaan jika di rumah


39

1) Jelaskan kepada wanita dan pendamping kelahirannya apa yang

terjadi

2) Hubungi paramedis.

3) Tetapkan akses IV dan jelaskan kepada wanita mengapa tindakan

tersebut diperlukan.

4) Amati dan catat kehilangan darah.

5) Catat TD ibu, denyut nadi dan laju pernapasan setiap 15 menit dan

catat pada bagan partograf.

6) Rujuk ibu ke RS.

7) Ranitidine oral 150 mg harus diberikan sesegera mungkin jika tidak

ada diberikan selama persalinan.

b. Manajemen jika di BPM/ Klinik

1) Jelaskan pada ibu dan pendamping persalinannya tentang

kondisinya saat ini.

2) Menetapkan akses IV dan menjelaskan kepada wanita mengapa ini

diperlukan

3) Mengambil darah dan simpan.

4) Mengamati dan mencatat kehilangan darah.

5) Pantau tekanan darah ibu, denyut nadi dan laju pernapasan setiap 15

menit dan catat pada partograf.

6) Rujuk ke RS.

7) Ranitidine oral 150 mg harus diberikan sesegera mungkin jika tidak

ada yang diberikan selama persalinan.


40

c. Manajemen di Delivery Suite

1) Jelaskan kepada ibu dan pendamping kelahirannya tentang

kondisinya saat ini.

2) Membangun akses IV dan menjelaskan kepada wanita mengapa ini

diperlukan.

3) Jangan menggunakan oksitosin intravena secara rutin untuk

plasenta yang tertahan

4) Berikan agen oksitosik intravena jika plasenta dipertahankan dan

wanita mengalami perdarahan berlebihan

5) Jangan menggunakan vena umbilikalis jika plasenta dipertahankan

6) Ambil darah untuk Hb dan simpan sampel

7) Pantau Tekanan Darah, denyut nadi dan laju pernapasan pada

interval 15 menit dan catat pada partograf kecuali dinyatakan

sebaliknya

8) Menginformasikan kepada petugas pada ruang persalinan yang

akan menilai perlunya pengangkatan plasenta secara manual. Jika

wanita tersebut ditawari pemeriksaan vagina untuk menilai perlunya

melakukan pengangkatan plasenta secara manual, jelaskan bahwa

penilaian ini bisa menyakitkan dan menyarankannya untuk

melakukan analgesia. Jika wanita tersebut melaporkan analgesia

yang tidak adekuat selama penilaian, hentikan pemeriksaan dan

segera atasi ini.

9) Jangan melakukan eksplorasi uterus atau pengangkatan plasenta


41

secara manual tanpa anestesi.

10) Beri tahu ahli anestesi tentang ruang persalinan membutuhkan

anestesi spinal, epidural, atau umum.

11) Plasenta harus dilepas sesegera mungkin untuk mengurangi risiko

perdarahan pasca persalinan.

Penalatalaksanaan retensio plasenta menurut Nugroho (2014: 159-

162) yaitu:

a. Retensio plasenta dengan separasi parsial

1) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan

tindakan yang akan diambil. Regangkan tali pusat dan minta

pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba

traksi terkontrol tali pusat.

2) Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 ml NS/RL dengan 40 tetes

per menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg

perrektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena

kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta

terperangkap dalam kavum uteri)

3) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan

manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari

terjadinya perforasi dan perdarahan

4) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 gr IV / oral +

metronidazole 1 gr supositoria / oral)


42

5) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok

neurogenic

b. Plasenta inkarserata

1) Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan

pemeriksaan

2) Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk

menghilangkan kontruksi serviks dan melahirkan

3) Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat,

siapkan infus oksitosin 20 IU dalam 500 ml NS/RL dengan 40

tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan kontraksi yang

diakibatkan bahan anestesi tersebut

4) Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui

cunam ovum, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta.

Untuk produser ini berikan analgesic (tramadol 100 mg IV atau

pethidine 50 mg IV) dan sedatif (diazepam 5 mg IV) pada tabung

suntik yang terpisah.

Manuver sekrup:
a) Pasang spekulum sims sehingga ostium dan sebagian plasenta

tampak dengan jelas

b) Jepit porsio dengan klem ovarium agar ostium pada jam 12, 4 jam

8 kemudian lepaskan speculum

c) Tarik ketiga klem ovarium agar ostium, tali pusat dan plasenta

tampak lebih jelas


43

d) Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta di sisi

berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin. Minta asisten

untuk memegang klem tersebut

e) Satukan kedua klem tersebut kemudian sambal diputar kearah

jarum jam, Tarik plasenta keluar perlahan-lahan melalui

pembukaan ostium

Pengamatan dan perawatan lanjutan meliputi pemantauan tanda

vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan pasca

tindakan. Tambahan pemantauan yang diperlukan adalah pemantauan

efek samping atau komplikasi dari bahan-bahan sedatif, analgetika atau

anestesi umum missal: mual, muntah, hipo/atonia uteri, pusing/vertigo,

halusinasi, mengantuk.

c. Plasenta akreta

Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah

ikutnya fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan

dalam sulit ditentukan tepi plesenta karena implantasi yang dalam

upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah

menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit

rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif.

d. Sisa plasenta

a) Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan

pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus

sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian


44

besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan dengan

keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah dan

subinvolusi uterus

b) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gelaja

metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 gr

IV dilanjutkan 3 x 1 gr oral kombinasi dengan mertonidazol 1 gr

supositoria

c) Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan

mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya

dapat dilalui ole instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan

dilatasi dan kuretase.

d) Bila kadar Hb <8 gr/dl berikan transfuse darah. Bila kadar Hb > 8

gr/dl, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 100 hari.

11. Pemeriksaan penunjang retensio plasenta

Tempat insersi pada plasenta seringkali ditandai oleh cekukan

pada permukaan plasenta. Daerah yang tidak dilapisi selaput amnion

cenderung mudah berdarah, biasanya berupa perdarahan bercak.

Kelainan ini diduga berperan dalam terjadinya perdarahan antepartum

(endjun, 2008: 127)

Peda pemeriksaan dengan doppler dapat dilihat pembuluh darah

yang menghubungkan pada lobus eksesoriusnya. Pada plasenta

sirkumvalata, permukaan fetal lebih kecil dari permukaan maternal

sehingga mengganggu sirkulasi darah. Sedangkan pada plasenta


45

membranasea, plasenta berbentuk tipis sehingga aliran darah juga

terganggu. semua abnormalitas bentuk plasenta dapat dideteksi dengan

USG. Diagnosa dini ini sangat penting karena kelainan tersebut

meningkatkan resiko perdarahan ibu dan mortalitas janin dalam Hurley

VA (Endjun, 2008: 127)

Diagnosis pasti kelainan plasenta ini ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan patologi dengan atomi. Pemeriksaan USG dengan

resolusi yang baik, apalagi dengan disertai dengan doppler berwarna,

akan membantu menentukan perkiraan jenis kelainan plasenta dan

penatalaksanaan kasus.

1) Plasenta akreta

Plasenta akreta terjadi bila vili bagian basal melekat dengan

miometrium sepertiga bagian dalam, dan bisa mengenai seluruh

permukaan plasenta.

Kriteria sonografis, pada plasenta akreta hilangnya daerah

hipoekoik subplasental yang merupakan kompleks vena-vena

merupakan tanda khas. Daerah hipoekoik ini memisahkan jaringan

plasenta dengan miometrium.

2) Plasenta inkreta

Plasenta inkreta terjadi bila vili korialis dan sel tropoblas

tertanam didalam dua per tiga miometrium. Kriteria sonografis


46

pada pada plasenta inkreta jaringan plasenta telah menginfiltrasi

miometrium

3) Plasenta perkreta

Pada plasenta perkreta penetrasi vili korialis sudah mencapai

lapisan serosa uterus. Kriteria sonografi pada plasenta bila pada

pemeriksaan dengan doppler berwarna atau power doppler

ditemukan pembuluh darah plasenta hingga dinding vesika

urinaria, hal ini menunjukkan adanya plasenta perkreta.

12. Manual Plasenta

a. Pengertian

Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat

implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum

uteri secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan

manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan langsung

kedalam kavum uteri. Pada umumnya ditunggu sampai 30 menit dalam

lahirnya plasenta secara spontan atau dengan tekanan ringan pada

fundus uteri yang berkontraksi. Bila setelah 30 menit plasenta belum

lepas sehingga tidak dapat dilahirkan atau jika dalam waktu menunggu

terjadi perdarahan yang banyak, plasenta sebaiknya dikeluarkan dengan

segera (Maryuni,2016: 366).

Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk

melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi plasenta manual tidaklah


47

sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan

tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita (Maryuni,2016: 366).

b. Etiologi

Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan

perdarahan pada kala III persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak

dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta

setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti

forcep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk

eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus (Maryuni,2016: 367).

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta

hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir

sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan

kontraksi uterus (Maryuni,2016: 367).

c. Indikasi melakukan manual plasenta

Indikasi dilakukannya manual plasenta menurut manuaba

(2007:814) adalah:

1. Perdarahan mendadak sekitar 400-500 cc

2. Riwayat hemorage postpartum (HPP) habitualis

3. Post operasi

a) Transvaginal

b) Transabdominal

4. Penderita dalam keadaan narkosa atau anesterhia umum

d. Prosedur manual plasenta


48

Prosedur manual plasenta menurut Djami dan Indriyani (2016:

419-421) adalah

1. Persiapan

a) Cairan infuse

Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau di

infus NaCl atau ringer laktat

b) Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan

Sebelum mengerjakan manual plasenta, pendekatan disiapkan

pada posisi litotomi

c) Lakukan anestesi verbal/ analgesi per rectal

Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan

memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuscular. Anestesi

ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri.

d) Siapkan dan jelaskan prosedur pencegahan infeksi

2. Tindakan penetrasi di dalam cavum uteri

a) Pastikan kandung kemih kosong

b) Jepit tali pusat5-10 cm dari vulva, tegangkan dengan satu

tangan sejajar lantai

c) Secara obstetric tangan kangan (punggung tangan bawah)

dimasukkan kedalam vagina dengan menelusuri tali pusat

bagian bawah
49

d) Setelah tangan kanan mencapai pembukaan serviks, minta

asisten untuk memegangi kocher, kemudian tangan kiri

penolong menahan fundus uteri

e) Sambil menahan fundus uteri dengan tangan kiri, tangan

kanan masuk kedalam kavum uteri hingga mencapai tempat

implantasi plasenta.

f) Buka dengan obstetric menjadi seperti memberi salam dengan

ibu jari merapat kepangkal jari telunjuk

3. Melepas plasenta dari dinding uterus

a) Tentukan implantasi plasenta di corpus uteri bagian belakang

atau bagian depan, temukan tepi plasenta yang paling bawah

b) Bila berada dibelakang, tali pusat tetap disebelah atas bila

dibagian depan , pindahkan tangan ke bagian depan tali pusat

dengan punggung tangan menghadap ke atas

c) Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari

tempat implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari

diantara plasenta dan dinding uterus dengan punggung tengah

menghadap dinding uterus. Bila plasenta dibagian depan,

lakukan hal yang sama tetapi tali pusat berada dibawah telapak

tangan kanan

d) Kemudian gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil

bergeser ke cranial sehingga semua permukaan maternal

plasenta dapat dilepaskan


50

e) Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu lakukan

penanganan yang sesuai bila terjadi penyulit

4. Mengeluarkan plasenta

a) Sementara tangan kanan masih didalam kavum uteri lakukan

eksplorasi ulangan untuk memastikan tidak ada bagian

plasenta yang masih melekat pada dinding uterus

b) Pindahkan tangan kiri ke supra simfisis untuk menekan uterus

bagian bawah pada saat plasenta keluar

c) Tangan kiri sedikit mendorong uterus ke dorso kranial (untuk

mengembalikan posisi uterus

5. Pencegahan infeksi pasca tindakan (Eniyati dan Sholihah, 2013:

139)

a) Sementara masih menggunakan sarung tangan, masukkan

bahan dan instrument akan dipergunakan lagi, keadaan wadah

yang mengandung larutan klorin 0.5% dan rendam selama 10-

20 menit

b) Bersihkan sarung tangan dengan larutan klorin 0.5%

kemudian lepaskan secara terbalik dan rendam dalam larutan

klorin

c) Setelah melepas sarung tangan, cuci tangan kembali dengan

sabun di bawah air mengalir

d) Keringkan tangan dengan handuk/tissue yang bersih


51

6. Pemantauan pasca tindakan

a) Periksa kembali tanda vital ibu

b) Catat kondisi ibu dan buat laporan tindakan

c) Tuliskan rencana pengobatan, tindakan yang masih diperlukan

dari asuhan lanjutan

d) Beritahu ibu dan keluarga bahwa tindakan telah selesai tetapi

ibu masih memerlukan pemantauan dan asuhan lanjutan

e) Lanjutkan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca tindakan

sebelum dipindah ke ruang rawat gabung

e. Komplikasi Manual Plasenta

Menurut Karlina dkk (2016: 141) menyatakan bahwa retensio

plasenta dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai

benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata, dapat terjadi polip plasenta

dan terjadi degenarasi ganas kario karsinoma .

Menurut Manuaba, Dkk (2007: 815) menyatakan komplikasi

manual plasenta yaitu:

1) Perforasi, karena tipisnya tempat implantasi plassenta

2) Meningkatkan kejadian infeksi asenden

3) Tidak berhasil karena perlekatan plasenta, dapat menimbulkan

perdarahan yang sulit dihentikan, dapat dikatakan bahwa manual

plasenta pada retensio plasenta yang tidak menimbulkan perdarahan

harus berhati-hati karena kemungkinan perlekatan sangat erat.


52

Retensio plasenta

Plasenta akreta parsial Plasenta inkreta/perkreta


1. Konsistensi uterus kenyal 1. Konsistensi uterus cukup
2. Tinggi fundus uteri setinggi pusat 2. Tinggi fundus uterus setinggi pusat
3. Bentuk uterus discoid 3. Bentuk uterus discoid
4. Perdarahan sedang-banyak 4. Perdarahan sedikit -tidak ada
5. Tali pusat terjulur sebagian 5. Tali pusat tidak terjulur
6. Ostium uteri terbuka 6. Ostium uteri terbuka
7. Separasi plasenta lepas sabagian 7. Separasi plasenta melekat
8. Syok sering seluruhnya
8. Syok jarang sekali

Syok Tidak syok RUJUK


1. Pantau KU, kesadaran 1. Nilai jumlah pengeluaran
2. pantau TTV darah
3. Cairan infus 3:1 2. Infus oksitosin 20 IU
4. Pemberian O2
dalam 500 ml NaCl/RL HISTEREKTOMI
5. Segera tanggulangi
penyebab syok 3. Pantau TTV
4. Cek lab dan USG

MANUAL PLASENTA

Plasenta lahir tidak lengkap Plasenta lahir lengkap


1. kotiledon yang robek/tidak 1. Kotiledon lengkap
tengkap 2. Selaput ketuban utuh
2. Terdapat selaput ketuban 3. USG: tidak terdapat
yang robek bintik hitam pada bekas
3. USG: terdapat bintik hitam tempat insersi plasenta
pada bekas tempat insersi
plasenta

Tatalaksana
Tatalaksana
1. Cek kelengkapan 1. Observasi keadaan
plasenta umum, ttv
2. Rujuk untuk 2. Cek kontraksi uterus
kuretase

Gambar 2.1 Penatalaksanaan Retensio Plasenta


Sumber: Walyani, 2015. Karlina dkk, 2016. Kemenkes RI, 2013.
53

C. Konsep Manajemen Kebidanan

1. Manajemen Asuhan Kebidanan Varney

Dalam memberikan asuhan kebidanan kepada klien, bidan

menerapkan pola pikir dengan menggunakan pendekatan manajemen

asuhan kebidanan menurut Varney. Manajemen kebidanan tersebut

terdiri atas tujuh langkah. Untuk lebih jelasnya, berikut akan dibahas

lebih dalam tentang manajemen kebidanan. Secara garis besar, ada

beberapa pengertian manajemen kebidanan (Mangkuji dkk, 2014: 4).

1) Menurut IBI (50 tahun IBI), manajemen kebidanan adalah

pendekatan yang digunakan oleh bidan dalam menerapkan metode

pemecahan masalah secara sistematis, mulai dari pengkajian,

analisis data, diagnosis kebidanan, perencanaan, pelaksanaan dan

evaluasi.

2) Menurut Depkes RI (2014), manajemen kebidanan adalah metode

dan pendekatan pemecahan masalah ibu dan anak yang khusus

dilakukan oleh bidan dalam memberikan asuhan kebidanan kepada

individu, keluarga dan masyarakat.

3) Menurut Hellen Varney (2014), manajemen kebidanan adalah

proses pemecahan masalah masalah yang digunakan sebagai metode

untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori

ilmiah, penemuan-penemuan, keterampilan dalam

rangkaian/tahapan yang logis untuk pengambilan suatu keputusan

yang berfokus pada klien.


54

2. Prinsip-prinsip Manajemen Kebidanan

Menurut Varney dalam Mangkuji,.dkk (2014: 7), Prinsip-prinsip

Manajemen Kebidanan adalah sebagai berikut :

1. Secara sistematis mengumpulkan dan memperbaharui data yang

lengkap dan relevan dengan melakukan pengkajian yang

komprehensip terhadap kesehatan setiap klien, termasuk

mengumpulkan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.

2. Mengidentifikasikan masalah dan membuat diagnosa berdasarkan

interpretasi data dasar.

3. Mengidentifikasi kebutuhan terhadap asuhan kebidanan dalam

menyelesaikan masalah dan merumuskan tujuan asuhan kebidanan

bersama klien.

4. Memberikan informasi dan dukungan sehingga klien dapat membuat

keputusan dan bertanggung jawab atas kesehatannya.

5. Membuat rencana asuhan yang komprehensif bersama klien.

6. Secara pribadi bertanggung jawab terhadap impementasi rencana

individu.

7. Melakukan konsultasi, perencanaan dan melaksanakan manajemen

dengan kolaborasi dan merujuk klien untuk mendapat asuhan

selanjutnya.

8. Merencanakan tindakan jika terdapat komplikasi tertentu dan

apabila ada penyimpangan dari keadaan normal.


55

9. Mengevaluasi pencapaian layanan kesehatan bersama klien

berdasarkan rencana asuhan yang sudah dibuat.

3. Standar 7 (Tujuh) Langkah Varney

Menurut Varney H (Sudarti dan Fauziah, 2010:30) bahwa dalam

melakukan manajemen kebidanan, bidan harus memiliki kemampuan

berfikir secara kritis untuk menegakkan diagnosis atau masalah potensial

kebidanan. Selain itu diperlukan pula kemampuan kolaborasi atau kerja

sama. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanaan

kebidanan selanjunya, langkah-langkah dalam proses manajemen adalah

sebagai berikut:

a. Langkah I : Pengumpulan data dasar

Pada langkah ini, kegiatan yang dilakukan adalah pengkajian

dengan mengumpulkan semua data yang diperlukan untuk

mengevaluasi klien secara lengkap. Data yang dikumpulkan antara

lain :

1) Keluhan klien

2) Riwayat kesehatan klien

3) Pemeriksaan fisik secara lengkap sesuai dengan kebutuhan

4) Meninjau catatan terbaru atau catatan sebelumnya

5) Meninjau data laboratorium. Pada langkah ini, dikumpulkan

semua informasi yang akurat dari semua sumber yang berkaitan

dengan kondisi klien. Pada langkah ini, bidan mengumpulkan

data dasar awal secara lengkap.


56

b. Langkah II : Interpretasi data dasar

Pada langkah ini, kegiatan yang dilakukan adalah

mengiterpretasikan semua data dasar yang yang telah dikumpulkan

sehingga ditemukan diagnosis atau masalah. Diagnosis yang

dirumuskan adalah diagnosis dalam lingkup praktik kebidanan yang

tergolong pada nomenklatur standar diagnosis, sedangkan perihal

yang berkaitan dengan pengalaman klien ditemukan dari hasil

pengkajian.

c. Langkah III : Identifikasi diagnosis/masalah potensial

Pada langkah ini, kita mengindentifikasi masalah atau

diagnosis potensial lain berdasarkan rangkaian diagnosis dan masalah

yang sudah teridentifikasi. Berdasarkan temuan tersebut, bidan dapat

melakukan antisipasi agar diagnosis/masalah tersebut tidak terjadi.

Selain itu, bidan harus bersiap-siap apabila diagnosis/masalah

tersebut benar-benar terjadi.

d. Langkah IV : Identifikasi kebutuhan yang memerlukan

penanganan segera

Pada langkah ini, yang dilakukan bidan adalah

mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh bidan/dokter untuk

dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan anggota tim kesehatan

lain sesuai dengan kondisi klien. Ada kemungkinan, data yang

diperoleh memerlukan tindakan yang harus segera dilakukan oleh


57

bidan, sementara kondisi yang lain masih bisa menunggu beberapa

waktu lagi.

e. Langkah V : Perencanaan asuhan yang menyeluruh

Pada langkah ini, direncanakan asuhan yang menyuluruh

yang ditentukan berdasarkan langkah-langkah sebelumnya. Rencana

asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi hal yang sudah

teridentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang

berkaitan, tetapi dilihat juga dari apa yang akan diperkirakan terjadi

selanjutnya, apakah dibutuhkan konseling dan apakah perlu merujuk

klien. Setiap asuhan yang direncanakan harus disetujui oleh kedua

belah pihak, yaitu bidan dan pasien.

f. Langkah VI : Pelaksanaan

Pada langkah keenam ini, kegiatan yang dilakukan adalah

melaksanakan melaksanakan rencana asuhan yang sudah dibuat pada

langkah ke-5 secara aman dan efisien. Kegiatan ini bisa dilakukan

oleh bidan atau anggota tim kesehatan yang lain. Jika bidan tidak

melakukan sendiri, bidan tetap memikul tanggung jawab untuk

mengarahkan pelaksanaannya. Dalam situasi ini, bidan harus

berkolaborasi dengan tim kesehatan lain atau dokter. Dengan

demikian, bidan harus bertanggung jawab atas terlaksananya rencana

asuhan yang menyeluruh yang telah dibuat bersama tersebut.


58

g. Langkah VII : Evaluasi

Pada langkah terakhir ini, yang dilakukan oleh bidan adalah:

1) Melakukan evaluasi keefektifan asuhan yang sudah diberikan,

yang mencakup pemenuhan kebutuhan, untuk menilai apakah

sudah benar-benar terlaksana/terpenuhi sesuai dengan kebutuhan

yang telah teridentifikasi dalam masalah dan diagnosis.

2) Mengulang kembali dari awal setiap asuhan yang tidak efektif

untuk mengetahui mengapa proses manajemen ini tidak efektif.

4. Pendokumentasian Manajemen Kebidanan dengan Metode SOAP

Pendokumentasian manajemen kebidanan dengan metode SOAP

menurut Sudarti dan Fauziah (2010:30), yaitu:

a. S = DATA SUBYEKTIF

Data subyektif (S), merupakan pendokumentasian manajemen

kebidanan menurut Helen Varney langkah pertama adalah

pengkajian data, terutama data yang diperoleh dari anamnesis. Data

subyektif ini berhubungan dengan masalah dari sudut pandang

pasien. Ekspresi pasien mengenai kekhawatiran dan keluhannya

yang dicatat sebagai kutipan langsung atau ringkasan yang akan

berhubungan langsung dengan diagnosis.

b. O = DATA OBYEKTIF

Data obyektif (O) merupakan pendokumentasian manajemen

kebidanan menurut Helen Varney pertama adalah pengkajian data,

terutama data yang diperoleh melalui hasil observasi yang jujur dari
59

pemeriksaan fisik pasien, pemeriksaan laboratorium atau

pemeriksaan diagnostik lain. Catatan medik atau informasi dari

keluarga atau orang lain dapat dimasukkan dalam data obyektif ini.

Data ini akan memberikan bukti gejala klinis pasien dan fakta yang

berhubungan diagnosia

c. A = ANALISIS ATAU ASSESSMENT

Analisis atau assessment (A), merupakan pendokumentasian

hasil analisis dan interpetasi (kesimpulan) dari data subyektif dan

obyektif. Dalam pendokumentasian manajemen kebidanan. Karena

keadaan pasien yang setiap saat bisa mengalami perubahan, dan akan

ditemukan informasi baru dalam data subyektif maupun data

obyektif maka pengkajian data akan menjadi sangat dinamis. Hal ini

juga menuntut bidan untuk melakukan analisis data yang dinamis

tersebut dalam rangka mengikuti perkembangan pasien. Analisis

yang tepat dan akurat akan menjamin cepat diketahuinya perubahan

pada pasien, sehingga dapat diambil keputusan atau tindakan yang

tepat.

Analisis atau assassment merupakan pendokumentasian

manajemen kebidanan menurut Helen Varney langkah kedua, ketiga

dan keempat sehingga mencakup hal-hal berikut ini diagnosis atau

masalah kebidanan, diagnosis atau masalah potensial serta perlunya

mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera harus diidentifikasi


60

menurut kewenangan bidan, meliputi tindakan mandiri, kolaborasi

dan tindakan rujukan klien.

d. P = PLANNING

Planning atau perencanaan adalah membuat rencana asuhan

saat ini dan yang akan datang. Rencana asuhan disusun berdasarkan

hasil analisis atau interpretasi data. Rencana asuhan ini bertujuan

untuk mengusahakan tercapainya kondisi pasien seoptimal mungkin

dan mempertahankan kesejahteraannya. Rencana asuhan ini harus

bisa mencapai kriteria tujuan yang ingin dicapai dalam batas waktu

tertentu. Tindakan yang dilakukan harus mampu membantu pasien

mencapai kemajuan dan harus sesuai dengan hasil kolaborasi tenaga

kesehatan lain, antara lain dokter.

Anda mungkin juga menyukai