Sumber Teoritis
Menjalani sebuah penyakit dapat menciptakan gangguan dalam kehidupan normal
seseorang. Gangguan tersebut dapat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk fungsi
fisiologis, interaksi sosial, dan konsep diri. Salah satu hal yang menjadi respon terhadap
gangguan tersebut adalah koping. Karena proses seputar perjalanan penyakit terapat di dalam
konteks kehidupan seseorang, maka respon koping secara inheren terletak pada interaksi
sosiologis dengan orang lain dan proses biografi diri. Koping sering digambarkan sebagai
ringkasan strategi yang digunakan untuk mengelola gangguan, usaha untuk menyekat tanggapan
spesifik terhadap satu peristiwa yang hidup dalam kompleksitas konteks kehidupan, atau label
nilai yang diberikan pada perilaku responsif (misalnya, baik atau buruk) yaitu dijelaskan secara
kolektif sebagai coping. Namun, interaksi yang kompleks antara gangguan fisiologis, interaksi
dengan orang lain, dan konstruksi konsep biografi tentang diri memberi jaminan perspektif
penanganan yang lebih canggih.
Teori Trajectory Illness membahas tentang perangkap teoritis tersebut dengan membingkai
fenomena ini dalam perspektif sosiologis yang menekankan pengalaman gangguan yang
berkaitan dengan penyakit dalam konteks perubahan proses interaksional dan sosiologis yang
pada akhirnya mempengaruhi respons seseorang terhadap gangguan tersebut. Pendekatan teoritis
ini mendefinisikan kontribusi teori ini terhadap keperawatan, yaitu koping bukanlah fenomena
stimulus-respons sederhana yang dapat dipisahkan dari konteks kehidupan yang kompleks.
Kehidupan berpusat pada tubuh yang hidup, oleh karena itu gangguan fisiologis penyakit
merasuki konteks kehidupan lainnya untuk menciptakan cara baru untuk hidup, dan perasaan
yang baru terhadap diri sendiri. Tanggapan terhadap gangguan yang disebabkan oleh penyakit
terjalin kedalam berbagai konteks yang dihadapi dalam kehidupan seseorang dan interaksi
dengan pelaku lain dalam situasi kehidupan tersebut.
Dalam kerangka sosiologis ini, Wiener dan Dodd menanggapi kekhawatiran serius
mengenai atribusi konseptual berlebihan pada peran dari ketidakpastian untuk memahami
tanggapan terhadap kehidupan dengan gangguan penyakit (Wiener & Dodd, 1993). Pepatah lama
mengatakan bahwa tidak ada sesuatu dalam kehidupan yang pasti, kecuali kematian dan pajak.
Hidup penuh dengan ketidakpastian, namun penyakit (terutama penyakit kronis) menimbulkan
ketidakpastian dengan cara yang mendalam. Sakit kronis melebih-lebihkan ketidakpastian hidup
bagi mereka yang dikompromikan (yaitu, karena penyakit) dalam kemampuan mereka untuk
menanggapi ketidakpastian ini. Jadi, walaupun konsep ketidakpastian memberikan lensa teoretis
yang berguna untuk memahami trajectory illness, tidak dapat diposisikan secara teoritis sehingga
dapat membayangi secara konseptual konteks dinamis hidup dengan penyakit kronis. Dengan
kata lain, trajectory illness didorong oleh pengalaman penyakit yang hidup dalam konteks yang
secara inheren tidak pasti dan melibatkan diri dan orang lain. Aliran konteks kehidupan yang
dinamis (biografi dan sosiologis) menciptakan arus ketidakpastian dinamis yang menggunakan
berbagai bentuk, makna, dan kombinasi saat hidup dengan penyakit kronis. Dengan demikian,
menoleransi ketidakpastian adalah untaian teoritis kritis dalam Teori trajectory illness.
Asumsi Utama
Manusia adalah fokus dari teori Wiener dan Dodd tentang trajektori sakit. Teori ini
menjelaskan asumsi utama yang mencerminkan turunannya dalam sebuah perspektif sosiologis
Teori ini meliputi tidak hanya komponen fisik dari penyakit, tetapi “total organisasi kerja yang
dilakukan selama perjalanan penyakit” (Wiener&Dodd, 1993 dalam Alligood, 2014). Trajektori
sakit secara teoritis berbeda dari perjalanan suatu penyakit. Dalam teori ini, trajektori sakit tidak
terbatas pada orang yang menderita penyakit. Sebaliknya, organisasi keseluruhan melibatkan
orang sakit, keluarga, dan professional perawatan kesehatan yang memberikan perawatan
(Alligood, 2014).
Teori ini menjelaskan penggunaan istilah kerja. “Para pemain yang bervariasi dalam
organisasi memiliki berbagai jenis pekerjaan; namun, pasien adalah pekerja sentral dalam
trajektori sakit”. Pekerjaan yang hidup dengan penyakit menghasilkan konsekuensi tertentu yang
menyerap kehidupan orang-orang yang terlibat. Pada gilirannya, konsekuensi dan konsekuensi
timbal balik berada diseluruh organisasi, melibatkan organisasi, melibatkan organisasi
keseluruhan dengan pekerja pusat (yaitu, pasien) melalui trajektori hidup dengan penyakit.
Hubungan antara para pekerja di dalam trajektori adalah sebuah atribut yang “memengaruhi baik
manajemen dari perjalanan penyakit itu, maupun nasib orang yang sakit” (Wiener & Dodd, 1993,
dalam Alligood, 2014).
Penegasan Teoritis
Konteks untuk pekerjaan dan hubungan sosial yang memengaruhi pekerjaan hidup dengan
penyakit dalam teori trajektori sakit berbasis pada karya yang dipengaruhi oleh Corbin dan
Strauss (1988). Sebagai pekerja pusat, tindakan-tindakan dilakukan seseorang untuk mengelola
dampak hidup dengan penyakit dalam berbagai konteks, termasuk biografis (konsepsi diri) dan
sosiologis (interkasi dengan orang lain). Dari perspektif ini, mengelola gangguan (atau koping
terhadap ketidakpastian) melibatkan interaksi pasien dengan berbagai pemain dalam organisasi
serta kondisi sosial eksternal. Mengingat kompleksitas interaksi tersebut di beberapa konteks dan
dengan banyak pemain di seluruh trajektori sakit, koping adalah sebuah proses yang sangat
bervariasi dan dinamis (Alligood, 2014).
Awalnya, diantisipasi bahwa trajektori hidup dengan kanker memiliki fase-fase yang
kelihatan atau tahapan yang dapat diidentifikasi oleh pergeseran besar masalah, tantangan, dan
kegiatan yang dilaporkan. Ini adalah alasan untuk mengumpulkan data kualitatif di tiga titik
selama pengobatan kemoterapi. Bahkan, gagasan ini tidak berlaku: status fisik pasien dengan
kanker dan konsekuensi sosial-psikologis penyakit dan pengobatan adalah tema sentral pada
semua titik pengukuran sepanjang trajektori (Alligood, 2014).
Para penulis secara konseptual menyamakan ketidakpastian dengan hilangnya kontrol,
menggambarkan sebagai “aspek yang paling bermasalah dari hidup dengan kanker”. Penegasan
teoritis ini tercermin lebih lanjut dalam identifikasi proses sosial-psikologis inti dari hidup
dengan kanker, :mentoleransi ketidakpastian yang menyertai penyakit” (Wiener&Dodd, 1993
dalam Alligood, 2014). Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat ketidakpastian diungkapkan
oleh pasien dan keluarga yang berbasis dalam kerangka kerja teoritis dari total organisasi dan
kondisi sosiologis eksternal, termasuk sifat dukungan keluarga, sumber daya keuangan, dan
kualitas bantuan dari penyedia layanan kesehatan (Alligood, 2014).
Ketidakpastian Temporary
Ketidakpastian yang pertama pada pasien kanker adalah ketidakpastian temporary.
Ketidakpastian ini timbul dikarenakan ketidakpastian terhadap prognosis penyakit, bagaimana
cara penyembuhannya, serta bagaimana perubahan yang terjadi dalam kehidupannya di masa
yang akan datang. Pasien merasa cemas akan situasi penyakit yang dihadapinya mulai dari putus
harapan, tidak lagi melihat sinar cerah, muncul pengingkaran, ancaman terhadap kelangsungan
hidup, dan kemungkinan cacat atau kehilangan fungsi tubuh. Penerimaan pasien dapat
dipengaruhi secara negatif oleh keluhan penyakit yang mengancam, stadium sangat lanjut dari
kanker, kurangnya dukungan karena kurangnya komunikasi antara dokter atau para pemberi
pelayanan, masalah-masalah didalam keluarga, atau kesulitan didalam hubungan dengan orang
tercinta. Terkadang informasi tentang penyakit pasien tidak dijelaskan secara rinci,
prosedur pengobatan yang dijalani dan perawatan setelah tindakan pengobatan sehingga ada
ketidakpastian akan apa yang terjadi jika pengobatan dilakukan (Neuman, 2012).
Sikap pasien terhadap penyakit kanker dan pengobatannya juga bisa disebabkan oleh
beberapa hal. Kemampuan kognitif pasien tentang penyakit kanker dan pengobatannya berbeda.
Pencarian informasi oleh tiap-tiap pasien berbeda-beda sehingga persepsi mereka pun
berbeda. Kurangnya pengetahuan dan informasi pasien mengenai penyakit, tidak jelasnya
diagnosis, prognosis, dan gejala-gejala yang akan muncul setelah pengobatan kanker juga
menjadi penyebab persepsi ketidakpastian mengenai hasil pengobatan yang akan dijalani
(Madeo, al., 2012). Ketika melakukan terapi pengobatanpun, pasien kanker akan mengalami
perasaan ketidakpastian terhadap lama pengobatan yang harus dijalaninya dan
keberhasilan/penyembuhan yang didapat setelah pengobatan. Begitu juga kejadian tak terduga
pada efek samping pada treatment kanker dan gangguan hubungan sosial pasien dengan kerabat
sekitar membuat ketidakpastian pada pasien kanker tersebut.
Persepsi ketidakpastian seseorang akan mengakibatkan sikap yang positif atau negatif pada
seseorang. Pasien kanker juga pada umumnya dikuasai oleh perasaan tidak berguna,
kekhawatiran karena merasa dirinya hanya menjadi beban keluarga dan orang lain, serta rasa
malu, kesepian dan terasing karena jauh dari teman atau ditinggalkan keluarga. Ketidakpastian
akan masa depan juga muncul dikarenakan perasaan pasien bahwa ia tidak mempunyai arti dan
manfaat bagi keluarga dan orang lain. Kehadiran keluarga, pasangan, dan pemberi bantuan
kesehatan sangat penting untuk dukungan, pengenalan dan pengakuan akan ketidakpastian dan
ancaman tersbut. Sesudah penyembuhan, ketidakpastian dan ancaman tetap menganggu
ketenangan pasien, dikarenakan ketidakpastian akan berulangnya kembali penyakit kanker
tersebut atau kemungkinan kanker berikutnya dapat lebih parah dan kemampuan tubuh dalam
mengontrol penyakitnya.
Peran struktur internal dalam diri manusia dan struktur eksternal seperti dukungan sosial
dari keluarga, lingkungan sosial, dan para pemberi pelayanan kesehatan menjadi peran yang
mendukung dalam mengatasi ketidakpastian. Peran perawat dalam hal ini adalah memberikan
informasi yang sebenar-benarnya tentang apapun yang pasien ingin ketahui terkait penyakit
kanker dan pengobatannya, senantiasa mendampingi pasien dalam waktu-waktu yang dianggap
sulit oleh pasien, memberikan support mental dalam masa perawatannya, serta memaksimalkan
peran dan dukungan moral dari keluarga selama proses penyembuhan pasien kanker tersebut.
Ketidakpastian Identitas
Ketidakpastian identitas merupakan interpretasi diri yang menyimpang sebagai tubuh yang
gagal untuk melakukan aktivitas dengan cara biasa dan harapan terkait dengan arus kejadian
(temporalitas) yang diubah oleh penyakit dan pengobatan. Identitas ego berarti definisi ego
berdasarkan atribut atau trait yang membedakan diri dengan orang lain dan hubungan personal
yang dimilikinya. Setiap individu memiliki identitas yang berbeda sesuai dengan latar belakang
budaya, nilai-nilai diri, kepercayaan, tujuan masa depan dan cara kita mendefinisikan diri
bergantung pula pada situasi dan konteks sosial. Perkembangan identitas ego terbukti menjadi
prediktor yang penting bagi tingkat rasa keingintahuan individu (Jones & Hartmann, 1988 dalam
Dumas, 2012)
Sebuah ketidakpastian identitas ini bersumber dari kegagalan tubuh dan kesulitan
membaca tubuh dalam membuat pembentukan konsep diri. Pada pasien kanker saat pertama kali
mendapati diagnosanya adalah kanker sebagai sebuah kejutan. Ada perasaan ilusif, shock,
sesuatu yang tidak nyata, perasaan kaget, kesal, ketakutan, rasa tidak berdaya dan kesulitan
untuk percaya bahwa mereka sakit parah. Sehingga pasien mencoba untuk mendorong
mengeluarkan pikiran tersebut, tetapi faktanya itu adalah “aku”.(Missel, Pedersen, Hendriksen,
Tewes, & Adamsen, 2015)
Kegelisahan dan depresi yang terjadi terus menerus akan berakibat pemikiran yang
negative tentang kanker. Sehingga identifikasi awal akan memfasilitasi intervensi yang akan
ditargetkan. Intervensi pencegahan harus fokus pada pengurangan ruminasi dan memberikan
dukungan emosional. (Lam et al., 2013). Perawat merupakan bagian penting dari manajemen
ketidakpastian. Perawat dapat menyesuaikan intervensi untuk memenuhi kebutuhan spesifik
seseorang. Penanganan ketidakpastian identitas berbeda tergantung fase yang dialami. Misalnya,
saat menangani ketidakpastian di fase akut atau krisis, intervensi mungkin berbeda dengan fase
stabil. Selama fase krisis, mungkin ada sedikit ketidakpastian daripada saat penyakit stabil. Ini
bisa jadi karena selama tahap penyakit yang lebih serius, tujuan pengelolaannya adalah untuk
menghapus ancaman hidup.Sebaliknya, selama fase stabil atau comeback persepsi ketidakpastian
dapat mengungkapkan ketidakpastian yang meningkat. (Christensen, 2015).
Ketidakpastian Tubuh
Ketidakpastian penderita kanker juga meliputi ketidakpastian tubuh. Ketidakpastian tubuh
meliputi perubahan yang berhubungan dengan penyakit dan perawatan berpusat di kemampuan
seseorang tampil dalam kegiatan yang melibatkan penampilan, fungsi fisiologis, dan respon
terhadap pengobatan pada penderita kanker. Menurut Desen (2008), banyak terapi yang
dilakukan terhadap kanker, diantaranya kemoterapi yang umumnya digunakan untuk terapi
sistemik dan kanker dengan metastasis klinis ataupun subklinis. Pada kanker stadium lanjut
secara lokal, kemoterapi sering menjadi satu satunya metode pilihan yang efektif. Hingga saat ini
obat anti kanker jenis kemoterapi yang sudah dapat digunakan secara klinis mencapai 70 jenis
lebih.
Obat-obat kemoterapi sering menimbulkan efek samping bagi pasien terutama mual muntah
dengan derajat yang bervariasi. Obat golongan Sisplatin, Karmustin, dan Siklofospamid
merupakan jenis obat yang mempunyai kemampuan tinggi dalam menimbulkan mual muntah.
Lebih dari 90% pasien yang menggunakan obat golongan ini mengalami muntah (Hesketh,
2008). Mual muntah yang dialami pasien kanker menyebabkan penderita kanker tidak dapat
beraktivitas optimal dikarenakan rasa tidak nyaman dari keluhan mual serta kondisi tubuh yang
tidak stabil akibat terjadinya muntah yang sering terjadi. Penderita kanker dapat tidak berdaya
dalam menghadapi respon dari pengobatan kanker ini jika tidak didukung oleh support system
dari berbagai sumber.
Fakta lain dari pengobatan kemoterapi pada pasien kanker yaitu tidak selektif kerjanya.
Dampak dari terapi itu beberapa sel-sel normal/ sehat yang memiliki aktifitas pembelahan yang
tinggi seperti sel-sel sumsum tulang, akar rambut, kulit, kelenjar kelamin akan terhambat
(Sutandio , 1999). Dampak rambut rontok dapat menyebabkan ketidakpastian tubuh pada pasien.
Bagaimana koping pasien agar dapat tetap produktif dengan penampilan tubuhnya yang telah
berubah dari keadaan sebelumnya, akan sangat ditentukan oleh support system yang adekuat.
Dari keseluruhan ketidakpastian yang ada, perawat bertugas untuk menjembatani dan
mengkomunikasikan pentingnya peningkatan support system bagi pasien.
pasien Kanker
Sesuai dengan tingkatannya sebagai middle range teori keperawatan, teori trajectory
illness sudah dapat diterapkan secara langsung dalam praktik keperawatan. Teori tersebut
memiliki karakteristik khusus sebagai middle range theory, yaitu terdapat scope tertentu dalam
penerapannya. Menurut Murray (2005), pasien dengan kanker merupakan satu dari tiga cakupan
teori trajectory illness yaitu yang termasuk dalam kategori periode singkat penurunan fungsi.
Pasien dengan kanker mengalami penurunan fungsi yang cukup drastis, yang digambarkan dalam
grafik berikut.
Implikasi keperawatan yang muncul dari fenomena tersebut adalah bagaimana perawat dan
tenaga kesehatan lainnya dapat mempersiapkan kematian yang terbaik bagi pasien, sesuai dengan
konsep perawatan paliatif. Adanya kebutuhan akan pemberian asuhan yang berkelanjutan pada
pasien kanker, teori trajectory illness banyak dikembangkan, salah satunya oleh Christensen
(2015). Kelebihan dari modifikasi teori trajectory illness adalah teori tersebut memiliki struktur
pengkajian, intervensi, dan management goal yang lengkap dan komprehensif, serta mencakup
seluruh fase yang mungkin muncul pada pasien dengan penyakit terminal. Struktur perawatan
tersebut dapat membantu memudahkan perawat dalam mengetahui kebutuhan fokus pasien di
setiap fase, sehingga perawat dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan tepat.
Kerangka kerja dari teori trajectory illness juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan
perilaku penderita kanker dalam menjalani kehidupannya, seperti yang dilakkan oleh Klimmek
& Wenzel (2013). Hasil pengamatan tentang perilaku pasien dengan kanker juga dapat
menberikan peringatan bagi perawat agar mampu mengenali gejala ketidakpastian pasien dengan
penyakit kanker lebih awal, agar pasien terhindar dari keadaan keputusasaan.
Namun kembali pada prinsip bahwa teori trajectory illness ini hanya memberikan
gambaran konseptual, pasien tidak boleh hanya dimasukkan ke dalam kategori yang ditetapkan
tanpa melakukakn tinjauan kondisi. Pasien memiliki kemungkinan untuk meninggal pada tahap
yang berbeda dengan pasien yang lain, serta memiliki tingkat perkembangan penyakit bisa saja
bervariasi. Seorang pasien bisa saja memiliki penyakit penyerta lain selain kanker sehingga
prioritas dan kebutuhannya berubah. Kekurangan dari teori trajectory illness ini juga masih
membutuhkan pengembangan terhadap poin-poin pengkajian yang lebih aplikatif, seperti
pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam pengkajian yang disatukan menjadi intrumen
pengkajian. Namun karena beragamnya jenis pengkajian yang dibedakan berdasarkan fase, maka
pada fase tertentu perawat tidak bisa menggunakan pengkajian dari fase yang lain. Hal ini
menjadi kekurangan karena perawat harus bisa mengidentifikasi terlebih dahulu seorang pasien
sedang berada di fase apa, lalu menentukan jenis pengkajian serta intervensi apa yang tepat
digunakan pada pasien tersebut
DAFTAR REFERENSI
Alligood, Martha Raile. 2017. Nursing theories and their work. Singapore: Elsevier
Christensen, D. (2015). The Health Change Trajectory Model. Advances in Nursing Science, 38(1),
55–67. https://doi.org/10.1097/ANS.0000000000000061
Klimmek, R., & Wenzel, J. (2013). NIH Public Access, 39(6). https://doi.org/10.1188/12.ONF.E499-
E510.Adaptation
Lam, W. W. T., Soong, I., Yau, T. K., Wong, K. Y., Tsang, J., Yeo, W., … Fielding, R. (2013). The
evolution of psychological distress trajectories in women diagnosed with advanced breast cancer:
A longitudinal study. Psycho-Oncology, 22(12), 2831–2839. https://doi.org/10.1002/pon.3361
Missel, M., Pedersen, J. H., Hendriksen, C., Tewes, M., & Adamsen, L. (2015). Diagnosis as the First
Critical Point in the Treatment Trajectory. Cancer Nursing, 38(6), E12–E21.
https://doi.org/10.1097/NCC.0000000000000209
Murray, S. A. (2005). Illness trajectories and palliative care. Bmj, 330(7498), 1007–1011.
https://doi.org/10.1136/bmj.330.7498.1007