Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Petrologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan geologi yang


mempelajari batuan beku, sedimen dan metamorf, asal mula pembentukan batuan,
pembentuk kulit bumi, serta penyebarannya baik di dalam maupun di permukaan
bumi. Kata petrologi berasal dari bahasa Yunani petra, yang berarti batu. Petrologi
juga salah satu cabang ilmu pengetahuan geologi yang mempelajari asal mula
pembentukan batuan, pembentuk kulit bumi, serta penyebarannya baik di dalam
maupun di permukaan bumi, mencakup aspek deskripsi dan aspek genesa interpretasi.
Batuan adalah bahan yang menyusun kerak bumi dan suatu agregat
(kumpulan) mineral-mineral yang telah menghablur. Batuan diklasifikasikan menjadi 3
jenis, yaitu batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf. Batuan beku
merupakan penyusun utama kerak bumi, tetapi batuan sedimen merupakan penyusun
permukaan bumi yang paling luas penyebarannya secara horizontal. Batuan terjadi
dalam kondisi berbagai pembentukan, seperti lingkungan pembentukan batuan
dipengaruhi oleh pH, komposisi magma asal (batuan beku), komposisi batuan asal
(sedimen dan metamorf), temperatur pembentukan, proses dekomposisi (rekristalisasi,
litifikasi), tekanan dan waktu. Pembentukan dan penyebarannya batuan di permukaan
bumi memerlukan berbagai proses-proses geologi. Batuan beku memerlukan proses
tektovulkanisme, batuan sedimen memerlukan proses sedimentasi dan tektonik,
batuan metamorf memerlukan proses pembebanan dan tektonik.
Batuan metamorf adalah batuan yang telah berubah atau mengalami
metamorfisme. Metamorfisme adalah proses perubahan mineralogi batuan pada
kondisi padat (solid), akibat perbedaan suhu dan tekanan pada kondisi tertentu
dengan kondisi baru. Proses ini diluar proses pelapukan dan diagenesa, jadi batuan
metamorf merupakan batuan-batuan yang terbentuk dari proses perubahan batuan
asal, baik perubahan bentuk atau struktur maupun susunan mineralnya akibat
pengaruh tekanan dan/atau temperatur yang sangat tinggi, sehingga menjadi batuan
yang baru.

1
Oleh karena itu, kami melakukan praktikum mengenai batuan metamorf untuk
dapat mengetahui tekstur, struktur serta proses pembentukan dari beberapa batuan
yang dijadikan sebagai sampel.

1.2 Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum ini adalah:


1. Memahami tentang batuan metamorf dan mendeskripsikannya berdasarkan
struktur dan tekstur dari batuan metamorf sampel.
2. Menentukan nama batuan metamorf dan komposisi mineralnya berdasarkan
struktur dan tekstur dari batuan metamorf sampel.

1.3 Ruang Lingkup

Praktikum kali ini dilakukan pada hari Jumat, 8 November 2019 dan membahas
mengenai batuan metamorf, kita diberikan beberapa sampel batuan kemudian
mendeskripsikannya berdasarkan sifat fisik, tekstur maupun struktur dari batuan itu.
Tempat dilakukannya praktikum ini berada di laboratorium Analisis Pengolahan Bahan
Galian Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Gowa.

2
BAB II

BATUAN METAMORF

2.1 Batuan

Batuan yang terdapat di permukaan bumi sangat bervariasi jenis dan


kepadatannya. Batuan merupakan pembentuk kulit bumi atau outer shell dari bumi.
Batuan adalah kumpulan-kumpulan atau agregat dari mineral-mineral yang sudah
dalam keadaan membeku atau mengeras (Mustaghfirin, 2013).

Gambar 2.1 Batuan (Mustaghfirin, 2013)


Batuan merupakan salah satu elemen kulit bumi yang didalamnya menyediakan
mineral-mineral anorganik melalui pelapukan yang selanjutnya menghasilkan tanah.
Batuan mempunyai komposisi mineral, sifat-sifat fisik, dan umur yang beraneka ragam.
Kemungkinan 99% dari kulit bumi terdiri atas 20 mineral utama dari ribuan mineral
yang ada di bumi. Keberadaan mineral feldspar tidak hanya dominan dalam mineral
silikat, tetapi juga dominan sebagai mineral-mineral pembentuk batuan. Walaupun ada
ratusan mineral tetapi hanya ada beberapa yang dijumpai mineral-mineral pembentuk
batuan yang sebagian besar adalah pembentuk batuan beku dan batuan sedimen,

3
untuk batuan metamorf sendiri secara kimiawi sama dengan batuan beku dan sedimen
(Mustaghfirin, 2013).

2.2 Batuan Metamorf

Batuan ubah atau metamorf adalah batuan yang telah berubah atau mengalami
metamorfisme. Metamorfisme adalah proses perubahan mineralogi batuan pada
kondisi padat (solid), akibat perbedaan suhu dan tekanan pada kondisi tertentu
dengan kondisi baru. Proses ini diluar proses pelapukan dan diagenesa, jadi batuan
metamorf merupakan batuan-batuan yang terbentuk dari proses perubahan batuan
asal, baik perubahan bentuk atau struktur maupun susunan mineralnya akibat
pengaruh tekanan dan/atau temperatur yang sangat tinggi, sehingga menjadi batuan
yang baru. Proses metamorfisme ini berlangsung dalam kondisi isokimia (Williams,
1954).
Kata metamorfosa berasal dari bahasa Yunani, yaitu methamorphism dimana
metha yang artinya berubah dan morph yang artinya bentuk. Dengan demikian
pengertian metamorfosa dalam geologi adalah merujuk pada perubahan dari kelompok
mineral dan tekstur batuan yang terjadi dalam suatu batuan yang mengalami tekanan
dan temperatur yang berbeda dengan tekanan dan temperatur saat batuan tersebut
pertama kalinya terbentuk (Noor, 2009).
Sebagai catatan bahwa istilah diagenesa juga mengandung arti perubahan
yang terjadi pada batuan sedimen. Hanya saja proses diagenesa terjadi pada
temperatur dibawah 200°C dan tekanan dibawah 300 MPa (MPa = mega paskal) atau
setara dengan tekanan sebesar 3000 atmosfir, sedangkan metamorofsa terjadi pada
temperatur dan tekanan diatas diagenesa. Batuan yang dapat mengalami tekanan dan
temperatur diatas 300 Mpa dan 200°C umumnya berada pada kedalaman tertentu dan
biasanya berasosiasi dengan proses tektonik, terutama di daerah tumbukan lempeng
atau zona subduksi. Batas atas antara proses metamorfosa dan pelelehan batuan
masih menjadi pertanyaan hingga saat ini. Sekali batuan mulai mencair, maka proses
perubahan merupakan proses pembentukan batuan beku (Noor, 2009).
Batuan metamorf adalah batuan yang terbentuk dari batuan asal (batuan beku,
sedimen, metamorf) yang mengalami perubahan temperatur(T), tekanan (P), atau
temperatur (T) dan tekanan (P) secara bersamaan yang berakibat pada pembentukan
mineral-mineral baru dan tekstur batuan yang baru (Noor, 2009).

4
Gambar 2.2 Batuan Metamorf (Williams, 1954).
Metamorfisme dibagi menjadi tiga macam, yaitu metamorfisme termal atau
kontak atau sentuh, metamorfisme dinamo atau kinematik, dan metamorfisme regional
(Williams, 1954).
1. Metamorfisme termal.
Batuan metamorf yang terbentuk pada zona kontak dengan magma, intrusi
maupun ekstrusi, yang memiliki tekanan 1.000-3.000 atm dan suhu 300°C-
800°C.
2. Metamorfisme dinamo.
Proses metamorfisme yang membentuk batuan terjadi pada daerah yang
mengalami pensesaran intensif atau tekanan yang tinggi.
3. Metamorfisme regional.
Batuan metamorf yang terbentuk dihasilkan oleh proses metamorfisme pada
daerah yang luas akibat orogenesis, yang memiliki tekanan dan suhu yang
tinggi. Metamorfosa ini dibedakan menjadi tiga yaitu: metamorfosa orogenik,
burial, dan dasar samudera (ocean floor).

2.3 Tipe-Tipe Metamorfosa

Adapun tipe-tipe metamorfosa sebagai berikut (Noor, 2009):


1. Metamorfosa kataklastik, adalah metamorfosa yang diakibatkan oleh deformasi
mekanis, seperti yang terjadi pada dua blok batuan yang mengalami

5
pergeseran satu dan lainnya disepajang suatu zona sesar / patahan. Panas
yang ditimbulkan oleh gesekan yang terjadi disepanjang zona patahan inilah
yang mengakibatkan batuan tergerus dan termetamorfosokan disepanjang
zona ini. Metamorfosa kataklastik jarang dijumpai dan biasanya menyebaran
terbatas hanya disepanjang zona sesar.
2. Metamorfosa burial, adalah metamorfosa yang terjadi apabila batuan sedimen
yang berada pada kedalaman tertentu dengan temperaturnya diatas 300° C
serta absennya tekanan diferensial. Pada kondisi tersebut maka mineral-mineral
baru akan berkembang, akan tetapi batuan tampak seperti tidak mengalami
metamorfosa. Mineral utama yang dihasilkan dalam kondisi tersebut adalah
mineral zeolite. Metamorfosa burial umumnya saling overlap dengan diagenesa
dan akan berubah menjadi metamorfosa regional seiring dengan meningkatnya
tekanan dan temperatur.
3. Metamorfosa kontak, adalah metamorfosa yang terjadi didekat intrusi batuan
beku dan merupakan hasil dari kenaikan temperatur yang tinggi dan
berhubungan dengan intrusi batuan beku. Metamorfosa kontak hanya terjadi
disekeliling intrusi yang terpanaskan oleh magma dan bagian kontak ini dikenal
sebagai aureole metamorphic. Derajat metamorfosa akan meningkat kesegala
arah kearah luar dari tubuh intrusi. Metamorfosa kontak biasanya dikenal
sebagai metamorfosa yang bertekanan rendah dan temperatur tinggi dan
batuan yang dihasilkan seringkali batuan berbutir halus tanpa foliasi dan
dikenal sebagai hornfels.
4. Metamorfosa regional, adalah metamorfosa yang terjadi pada wilayah yang
sangat luas dimana tingkat deformasi yang tinggi dibawah tekanan diferensial.
Metamorfosa jenis ini biasanya akan menghasilkan batuan metamorf dengan
tingkat foliasi yang sangat kuat, seperti slate, schists, dan gneisses. Tekanan
diferensial berasal dari gaya tektonik yang berakibat batuan mengalami
tekanan (kompresi), dan tekanan ini umumnya berasal dari dua masa benua
yang saling bertumbukan satu dengan lainnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa batuan metamorfosa regional terjadi pada inti dari rangkaian
pegunungan atau pegunungan yang mengalami erosi. Hasil dari tekanan
kompresi pada batuan yang terlipat dan adanya penebalan kerak dapat
mendorong batuan kearah bagian bawah sehingga menjadi lebih dalam yang
memiliki tekanan dan temperatur lebih tinggi.

6
2.4 Tekstur dan Struktur Batuan Metamorf

2.4.1 Tekstur
Tekstur batuan metamorf secara umum dibagi menjadi dua yaitu tekstur
kristaloblastik dan tekstur sisa (relict) (Williams, 1954).
1. Tekstur kristaloblastik
Merupakan tekstur yang terbentuk oleh proses metamorfisme. Tekstur ini
sudah berbeda dengan tekstur batuan asalnya ( protolith). Macam-macam
tekstur pada batuan-batuan metamorf pada tekstur kristaloblastik adalah
sebagai berikut:
a. Lepidoblastik, adalah tekstur batuan metamorf dengan mineral-mineral
penyusun berbentuk tabular.
b. Nematoblastik, adalah tekstur batuan metamorf dengan mineral-mineral
penyusun berbentuk prismatik.
c. Granoblastik, dalam tekstur ini tersusun oleh butiran yang relatif
equidimensional (granular) dengan batas kristal suture.
d. Granuloblastik, tekstur ini tersusun oleh butiran yang relatif equidimensional
(granular) dengan batas kristal unsuture.
e. Dekusat, tekatur granoblastik dengan individu kristalnya cenderung
berbentuk subidioblastik, prismatik dan tersusun secara acak.
f. Porpiroblastik, tektur dengan mineral besar di dalam mineral kecil
g. Tekstur mortar, tektur batuan metamorf akibat penggerusan.

Gambar 2.3 Tekstur Batuan Metamorf (Williams, 1954).

7
2. Tekstur sisa (relict )
Merupakan tekstur batuan metamorf yang masih memperlihatkan tekstur
batuan asalnya.
2.4.2 Struktur Batuan Metamorf
Secara umum struktur batuan metamorf dapat dibadakan menjadi struktur
foliasi dan nonfoliasi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai struktur batuan metamorf
(Jacson, 1997).
1. Struktur Foliasi
Merupakan kenampakan struktur planar pada suatu massa. Foliasi ini dapat
terjadi karena adnya penjajaran mineral-mineral menjadi lapisan-lapisan.
Struktur foliasi yang ditemukan adalah :
a. Slaty Cleavage
Umumnya ditemukan pada batuan metamorf berbutir sangat halus
(mikrokristalin) yang dicirikan oleh adanya bidang-bidang belah planar yang
sangat rapat, teratur dan sejajar. Batuannya disebut slate (batusabak).

Gambar 2.4 Struktur Slaty Cleavage (Jacson, 1997).


b. Phylitic
Struktur ini hampir sama dengan struktur slaty cleavage tetapi terlihat
rekristalisasi yang lebih besar dan mulai terlihat pemisahan mineral pipih
dengan mineral granular. Batuannya disebut phyllite (filit)

8
Gambar 2.5 Struktur phylitic (Jacson, 1997).
c. Schistosic
Terbentuk adanya susunan parallel mineral-mineral pipih, prismatik atau
lentikular (umumnya mika atau klorit) yang berukuran butir sedang sampai
kasar. Batuannya disebut schist (sekis).

Gambar 2.6 Struktur Schistosic (Jacson, 1997).


d. Gneissic/Gnissose
Terbentuk oleh adanya perselingan., lapisan penjajaran mineral yang
mempunyai bentuk berbeda, umumnya antara mineral-mineral granuler
(feldspar dan kuarsa) dengan mineral-mineral tabular atau prismatik

9
(mioneral ferromagnesium). Penjajaran mineral ini umumnya tidak menerus
melainkan terputus-putus. Batuannya disebut gneiss.

Gambar 2.7 Struktur Gneissic (Jacson, 1997).

2. Struktur Non Foliasi


Terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional dan umumnya terdiri dari
butiran-butiran (granular). Struktur non foliasi yang umum dijumpai antara lain:
a. Hornfelsic/granulose
Terbentuk oleh mozaik mineral-mineral equidimensional dan equigranular
dan umumnya berbentuk seperti poligon. Batuannya disebut hornfels
(batutanduk).

Gambar 2.8 Struktur Granulose (Jacson, 1997).

10
b. Kataclastic
Berbentuk oleh pecahan/fragmen batuan atau mineral berukuran kasar dan
umumnya membentuk kenampakan breksiasi. Struktur kataklastik ini terjadi
akibat metamorfosa kataklastik. Batuannya disebut cataclasite (kataklasit).
c. Milonitic
Dihasilkan oleh adanya penggerusan mekanik pada metamorfosa kataklastik.
Ciri struktur ini adalah mineralnya berbutir halus, menunjukkan kenampakan
goresan-goresan searah dan belum terjadi rekristalisasi mineral-mineral
primer. Batiannya disebut mylonite (milonit).

Gambar 2.9 Struktur Milonitik (Jacson, 1997).


d. Phylonitic
Mempunyai kenampakan yang sama dengan struktur milonitik tetapi
umumnya telah terjadi rekristalisasi. Ciri lainnya adalah kenampakan kilap
sutera pada batuan yang, mempunyai struktur ini. Batuannya disebut
phyllonite (filonit).

2.5 Derajat Metamorfosa

Berdasarkan tekanan dan temperatur yang berada diatas kondisi diagenesa,


maka ada 3 tingkat derajat metamorfosa yang dapat dikenal, yaitu derajat
metomorfosa rendah, sedang dan tinggi. Adapun batas antara metamorfosa dan

11
peleburan sangat dipengaruhi oleh jenis batuan dan jumlah air yang terdapat dalam
batuan. Metamorfosa burial dicirikan oleh tekanan, temperatur, yang rendah dan
kedalaman yang relatif dangkal. Tipe metamorfosa akan meningkat seiring dengan
meningkatnya tekanan, temperatur, dan kedalaman, yaitu dari burial metamorfosa
berubah menjadi metamorfosa regional derajat rendah dan kemudian dengan semakin
meningkatnya tekanan, temperatur dan kedalaman metamorfosa regional derajat
rendah dapat berubah menjadi metamorfosa regional derajat tinggi, sedangkan pada
kedalaman (d>20 km), tekanan (p>7 kilobars), dan temperatur (T>700°C) batuan
akan mengalami peleburan (mencair) menjadi magma (Noor, 2009).

Gambar 2.10 Hubungan antara Tekanan (P), Temperatur (T), Kedalaman (D) dan Derajat
Metamorfosa (Noor, 2009).
Kecepatan dimana suatu batuan akan mengalami perubahan dari sekumpulan
mineral-mineralnya untuk mencapai keseimbangan pada kondisi tekanan dan
temperatur yang baru tergantung pada 3 (tiga) faktor, yaitu (Noor, 2009):
1. Kandungan fluida (terutama air) yang ada dalam batuan. Air yang ada dalam
batuan berfungsi sebagai katalisator dalam mentransformasi mineral-mineral
yang terdapat dalam batuan.
2. Temperatur, reaksi kimia akan terjadi lebih cepat pada temperatur yang lebih
tinggi.

12
3. Waktu, untuk dapat tumbuhnya kelompok mineral mineral metamorfik yang
baru pada suatu batuan sangat dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur yang
bekerja terhadap batuan tersebut, oleh karena itu batuan tersebut harus
mendapat tekanan dan temperatur yang cukup lama (umumnya ribuan hingga
jutaan tahun).
Perubahan yang terjadi didalam kelompok mineral mencerminkan suatu
peningkatan dalam derajat metamorfosa (contoh, burial sedimentary atau penebalan
kerak akibat tektonik) yang dikenal dengan prograde metamorphism. Perubahan yang
disebabkan oleh suatu penurunan dalam derajat metamorfosa (contoh, adanya
pengangkatan tektonik dan erosi) dikenal dengan retrograde (Noor, 2009).

Gambar 2.11 Hubungan antara Derajat Metamorfosa dengan Tekanan, Temperatur dan
Kedalaman (Noor, 2009).

Perubahan dalam kelompok mineral pada suatu batuan metamorf didorong oleh
komponen- komponen kimiawinya untuk mencapai konfigurasi energi yang terendah
pada kondisi tekanan dan temperatur yang ada. Jenis jenis mineral yang terbentuk
tergantung tidak saja pada T dan P tetapi juga pada komposisi mineral yang terdapat
dalam batuan. Apabila suatu tubuh batuan mengalami peningkatan tekanan dan atau
temperatur maka batuan tersebut berada dalam keadaan prograde metamorphism
atau batuan mengalami peningkatan derajat metamorfosanya. Derajat metamorfosa
adalah istilah yang umum yang dipakai untuk menjelaskan kondisi tekanan dan
temperatur dimana batuan metamorf terbentuk (Noor, 2009).

13
Gambar 2.12 Facies Metamorfosa (Noor, 2009).
Metamorfosa derajat rendah terjadi pada temperatur antara 200°C–320°C dan
tekanan yang relatif rendah. Batuan metamorf derajat rendah dicirikan oleh
berlimpahnya mineral-mineral hydrous, yaitu mineral-mineral yang mengandung air
(H2O) didalam struktur kristalnya. Contoh dari mineral-mineral hydrous yang terdapat
pada batuan-batuan metamorf derajat rendah seperti mineral lempung, serpentin,
klorit (Noor, 2009).
Metamorfosa derajat tinggi terjadi pada temperatur lebih besar dari 320°C dan
tekanan yang relatif tinggi. Seiring dengan meningkatnya derajat metamorfosa, maka
mineral-mineral hydrous akan semakin kurang hydrous dikarenakan hilangnya unsur
H2O dan mineral-mineral non-hydrous menjadi bertambah banyak. Contoh mineral-
mineral yang kurang hydrous dan mineral-mineral non-hydrous yang mencirikan
batuan metamorfosa derajat tinggi adalah, muskovit mineral hydrous yang akan
menghilang pada metamorfosa derajat tinggi, biotit mineral hydrous yang stabil pada
meskipun pada metamorfosa derajat tinggi sekalipun, piroksen mineral non-hydrous,
garnet mineral non-hydrous (Noor, 2009).

2.6 Faktor Faktor Yang Mengendalikan Metamorfosa

Metamorfosa terjadi karena beberapa mineral hanya akan stabil pada kondisi
tekanan dan temperatur tertentu. Ketika tekanan dan temperaturnya berubah, reaksi
kimia terjadi akan menyebabkan mineral-mineral yang terdapat dalam batuan berubah

14
menjadi sekumpulan mineral yang stabil pada kondisi tekanan dan temperatur yang
baru. Namun demikian proses ini sangat komplek, seperti seberapa besar tekanan
yang diperlukan agar supaya batuan berubah, waktu yang dibutuhkan untuk merubah
batuan, ada tidaknya larutan fluida selama proses metamorfosa (Winter, 2001):
1. Temperatur.
a. Naiknya temperatur seiring dengan kedalaman bumi sesuai dengan
gradient geothermal. Dengan demikian temperatur semakin tinggi dapat
terjadi pada batuan yang berada jauh didalam bumi.
b. Temperatur dapat juga meningkat karena adanya intrusi batuan.
2. Tekanan
a. Tekanan juga akan meningkat dengan kedalaman bumi, dengan demikian
tekanan dan temperatur akan bervariasi disetiap tempat di kedalaman
bumi. Tekanan didefinisikan sebagai gaya yang bekerja kesegala arah
secara seimbang dan tekanan jenis ini disebut sebagai hydrostatic stress
atau uniform stress. Jika tekanan kesegala arah tidak seimbang maka
disebut sebagai “differential stress”.

Gambar 2.13 Tekanan Hydrostatic (kiri) dan Tekanan Diferensial (kanan) (Winter, 2001).
b. Jika tekanan diferensial hadir selama proses metamorfosa, maka tekanan ini
dapat berdampak pada tektur batuan. Butiran butiran yang berbentuk
membundar (rounded) akan berubah menjadi lonjong dengan arah
orientasinya tegak lurus dengan tekanan maksimum dari tekanan
diferensial.

15
Gambar 2.14 Perubahan bentuk butir dari bentuk membundar ke bentuk lonjong sebagai
akibat tekanan diferensial (Winter, 2001).
c. Mineral-mineral yang berbentuk kristal atau mineral yang tumbuh dalam
kondisi tekanan diferensial dapat membentuk orientasi. Hal ini terutama
terjadi pada mineral-mineral silikat, seperti mineral biotite dan muskovit,
klorit, talk, dan serpentin.

Gambar 2.15 Orientasi lembaran mineral mineral silikat akibat Tekanan Diferensial (Winter,
2001).
Mineral-mineral silikat yang tumbuh dengan lembarannya berorientasi
tegak lurus terhadap arah maksimum tekanan diferensial akan
menyebabkan batuan mudah pecah sejajar dengan arah oerientasi dari
lembaran mineralnya. Struktur yang demikian disebut sebagai foliasi.

16
3. Fasa Fluida
Keberadaan setiap rongga antar butir dalam suatu batuan menjadi potensi
untuk diisi oleh larutan fluida, dan umumnya larutan fluida yang paling
dominan adalah H2O, tetapi berisi material mineral. Fase fluida adalah fase
yang penting karena rekasi kimia yang melibatkan sau mineral padat berubah
menjadi mineral padat lainnya hanya dapat dipercepat oleh adanya fluida yang
berfungsi sebagai pembawa ion-ion terlarut. Dengan naiknya tekanan pada
proses metamorfosa, maka ruang antar butir tempat fluida mengalir menjadi
berkurang dan dengan demikian fluida menjadi tidak berfungsi sebagai
penggerak reaksi. Dengan demikian tidak ada larutan fluida ketika temperatur
dan tekanan berkurang sehingga metamorfosa retrogresif menjadi sulit terjadi.
4. Waktu
Reaksi kimia yang terlibat dalam metamorfosa, selama rekristalisasi dan
pertumbuhan mineral-mineral baru terjadi pada waktu yang sangat lambat.
Hasil uji laboratorium mendukung hal tersebut dimana dibutuhkan waktu yang
lama dalam proses metamorfosa untuk membentuk butiran butiran mineral
yang ukurannya cukup besar. Jadi, batuan metamorf yang berbutir kasar akan
memerlukan waktu yang lama, diperkirakan membutuhkan waktu hingga jutaan
tahun.

17
BAB III

METODELOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini, yaitu:
1. Alat tulis, digunakan untuk menulis hasil deskripsi dari batuan yang diamati.

Gambar 3.1 Alat tulis


2. Handphone, digunakan untuk mengambil gambar aktivitas praktikum di
laboratorium serta sampel yang diamati.

Gambar 3.2 Handphone


3. Lup, berfungsi sebagai melihat belahan batuan dan kandungan didalam
batuan.

18
Gambar 3.3 Lup
4. Papan scanner digunakan sebagai pengalas dalam menulis, mendeskripsikan
dan menggambar bentuk batuan.

Gambar 3.4 Papan Scanner


5. Buku Rocks and Minerals berfungsi sebagai buku referensi pada saat
mendeskripsi batuan.

Gambar 3.5 Buku Rocks and Minerals

19
3.1.2 Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan, diantaranya:
1. Sampel, berfungsi sebagai objek pengamatan.

Gambar 3.6 Sampel


2. Lembar deskripsi batuan berfungsi untuk menulis deskripsi batuan yang
diamati.

Gambar 3.7 Lembar Deskripsi

20
3.2 Metode Praktikum

Praktikum kali ini dengan melakukan pengamatan langsung pada batuan yang
disediakan dengan sistematika sebagai berikut:
1. Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Mengunjungi setiap stasiun sesuai dengan urutan kelompok secara bergilir.
2. Memotret sampel batuan yang disediakan sebagai dokumentasi pada laporan.
3. Mengamati sampel batuan dari berbagai jenis batuan metamorf pada setiap
stasiun.
4. Mendeskripsikan batuan sesuai dengan lembar deskripsi yang disediakan.
5. Mencatat hasil deskripsi pada lembar deskripsi.
6. Menggambar sketsa atau gambar dari batuan yang telah dideskripsi pada
lembar deskripsi.
7. Lakukan hal yang sama pada sampel-sampel berikutnya.

21
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Stasiun 01

Gambar 4.1 M-01


Pengamatan sampel M-01 memiliki sifat fisik yang memiliki warna segar abu-
abu kehitaman dan memiliki warna lapuk coklat. Batuan ini memiliki tekstur
granoblastik dan struktur foliasi yakni skistose. Komposisi mineral yang terkandung
dalam batuan ini adalah yaitu mika dan kalsit. Berdasarkan deskripsi tersebut dan
mengacu pada buku rocks and minerals, maka dapat disimpulkan nama batuan
tersebut adalah batu sekis.
Batuan sekis terbentuk pada saat batuan sedimen atau batuan beku yang
terpendam pada tempat yang dalam mengalami tekanan dan temperatur yang tinggi
yaitu pada derajat metamorfosa tingkat menengah. Hampir dari semua jejak jejak asli
batuan (termasuk kandungan fosil) dan bentuk bentuk struktur lapisan menjadi hilang
akibat dari mineral-mineral mengalami proses migrasi dan rekristalisasi. Sekis sangat
umum terdapat di semua wilayah metamorfisme regional di seluruh dunia.Kegunaan

22
dan manfaat batu Sekis antara lain adalah sebagai sumber mika yang utama. Mika ini
merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan kondensator dan kapasitor
dalam industri elektronika.

4.2 Stasiun 02

Gambar 4.2 M-02


Pengamatan sampel M-02 memiliki sifat fisik yaitu warna segar putih dan warna
lapuk coklat. Batuan ini memiliki tekstur granoblastik dan struktur non foliasi yakni
masif. Komposisi mineral yang terkandung dalam batuan ini adalah yaitu kuarsa dan
mika. Berdasarkan deskripsi tersebut dan mengacu pada buku rocks and minerals,
maka dapat disimpulkan nama batuan tersebut adalah batu kuarsit.
Sebagian besar kuarsit terbentuk selama aktivitas pembentukan pegunungan di
batas lempeng konvergen. Batuan ini dapat terbentuk ketika batupasir yang kaya
kuarsa diubah oleh panas, tekanan, dan aktivitas kimia akibat proses metamorfosis.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pengkristalan butiran pasir bersamaan dengan
semen silikanya. Proses ini selanjunya menghasilkan ikatan yang sangat kuat antar
butir kuarsa tersebut. Kuarsit dengan struktur kristal yang demikian membuatnya
menjadi keras, kuat, dan menjadi semakin resisiten.Kuarsit memiliki keragaman
kegunaan baik itu dalam bidang konstruksi, manufaktur, arsitektur, dan seni dekoratif.
Meskipun sifat-sifatnya lebih unggul dari batuan lainnya, penggunaan kuarsit selalu
dibatasi karena berbagai alasan.

23
4.3 Stasiun 03

Gambar 4.3 M-03


Pengamatan ampel M-03 memiliki warna segar abu-abu dengan warna lapuk
coklat. Batuan tersebut tergolong kedalam batuan metamorf yang memiliki struktur
foliasi, yaitu struktur yang menunjukkan adanya penjajaran mineral. Tekstur dari
batuan ini adalah lepidoblastik dimana hal ini berarti sampel M-05 tersusund ari
mineral mineral yang berbentuk tabular. Dengan melihat deskripsi dan mengacu pada
buku rocks and minerals, disimpulkan nama batuan tersebut adalah batuan filit.
Filit adalah tipe batuan metamorf berfoliasi yang terbuat dari batusabak yang
termetamorfosis lebih jauh dan menyebabkan mika putih berbutir sangat halus
menjadi memiliki orientasi tertentu. Filit memiliki komposisi utama berupa kuarsa dan
mika. Filit terdiri daril apisan-lapisan mika berbutir halus yang memiliki orientasi
tertentu, sedangkan batusabak terdiri dari lapisan-lapisan lempung yang sangat halus
dengan orientasi tertentu, dan sekis mempunyai lapisan yang tebal dengan orientasi
tertentu. Filit berkaitan dengan perkembangan aktivitas metamorfik yaitu baliknya
temperatur atau bertambah besarnya rekristalisasi maka slate berubah menjadi filit.

4.4 Stasiun 04

Pengamatan pada sampel M-04 memiliki sifat fisik seperti warna segar abu-abu
dan warna lapuk coklat. Batuan ini memiliki tekstur granoblastik dan struktur foliasi
yakni skistose. Komposisi mineral yang terkandung dalam batuan ini adalah yaitu mika

24
dan kuarsa. Berdasarkan deskripsi tersebut dan mengacu pada buku rocks and
minerals, maka dapat disimpulkan nama batuan tersebut adalah batu sekis.

Gambar 4.4 M-04


Batu sekis terbentuk pada saat batuan sedimen atau batuan beku yang
terpendam pada tempat yang dalam mengalami tekanan dan temperatur yang tinggi
yaitu pada derajat metamorfosa tingkat menengah. Hampir dari semua jejak jejak asli
batuan (termasuk kandungan fosil) dan bentuk bentuk struktur lapisan menjadi hilang
akibat dari mineral-mineral mengalami proses migrasi dan rekristalisasi. Sekis sangat
umum terdapat di semua wilayah metamorfisme regional di seluruh dunia.Kegunaan
dan manfaat batu Sekis antara lain adalah sebagai sumber mika yang utama. Mika ini
merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan kondensator dan kapasitor
dalam industri elektronika.

4.5 Stasiun 05

Pengamatan pada sampel M-05 memiliki sifat fisik seperti warna segar abu-abu
dan warna lapuk coklat. Batuan ini memiliki tekstur granoblastik dan struktur foliasi
yakni skistose. Komposisi mineral yang terkandung dalam batuan ini adalah yaitu mika
dan feldspar. Berdasarkan deskripsi tersebut dan mengacu pada buku rocks and
minerals, maka dapat disimpulkan nama batuan tersebut adalah batu filit.
Batu filit adalah batuan metamorfik tipe regional. Batu filit terbentuk
dari metamorfisme batuan shale dan merupakan proses lanjutan metamorfosisme batu
Slate. Batu Filit adalah batuan metamorfik berbutir halus yang terbentuk pada

25
temperatur dan tekanan lebih tinggi dibandingkan dengan slate tetapi pada temperatur
dan tekanan yang lebih rendah dibanding dengan sekis. Batu filit jarang dimanfaatkan,
namun dapat digunakan sebagai lembaran untuk menutupi atap di bangunan lokal.

Gambar 4.5 M-05

4.6 Stasiun 06

Sampel M-06 memiliki warna segar abu-abu dan warna lapuk coklat. Batuan ini
memiliki tekstur granoblastik dan struktur foliasi yakni filitik. Komposisi mineral yang
terkandung dalam batuan ini adalah yaitu mika dan feldspar. Berdasarkan deskripsi
tersebut dan mengacu pada buku rocks and minerals, maka dapat disimpulkan nama
batuan tersebut adalah batu filit.
Batu filit adalah batuan metamorfik tipe regional. Batu filit terbentuk dari
metamorfisme batuan shale dan merupakan proses lanjutan metamorfosisme batu
Slate. Batu Filit adalah batuan metamorfik berbutir halus yang terbentuk pada
temperatur dan tekanan lebih tinggi dibandingkan dengan slate tetapi pada temperatur
dan tekanan yang lebih rendah dibanding dengan sekis. Batu filit jarang dimanfaatkan,
namun dapat digunakan sebagai lembaran untuk menutupi atap di bangunan lokal.

26
Gambar 4.6 M-06

4.7 Stasiun 07

Sampel M-07 memiliki warna segar abu-abu dan warna lapuk coklat. Batuan ini
memiliki tekstur granoblastik dan struktur foliasi yakni gneissic. Komposisi mineral yang
terkandung dalam batuan ini adalah yaitu plagioklas, feldspar, dan mika. Berdasarkan
deskripsi tersebut dan mengacu pada buku rocks and minerals, maka dapat
disimpulkan nama batuan tersebut adalah batu gneiss.
Batu gneiss termasuk dalam tipe metamorfik regional. Gneiss biasanya
terbentuk oleh metamorfisme regional di batas lempeng konvergen. Batuan ini
merupakan salah satu jenis batuan metamorf berkualitas tinggi dimana butiran mineral
penyusunnya direkristalisasi oleh suhu dan tekanan yang tinggi. Rekristalisasi ini
meningkatkan ukuran butiran mineral yang dipisahkan menjadi bands sebagai indikasi
transformasi yang menghasilkan batuan dan mineral yang lebih stabil dalam
lingkungan pembentukannya. Gneiss dapat terbentuk dalam beberapa cara.
Terbentuknya gneiss yang paling umum dimulai dengan batu serpih, yang merupakan
batuan sedimen. Metamorfosis regional dapat mengubah serpih menjadi batu sabak,
lalu filit, kemudian sekis, dan akhirnya menjadi gneiss. Batu gneiss atau genes banyak
digunakan dan manfaatkan untuk membuat barang kerajinan seperti asbak, vas bunga
dan patung. Gneiss juga dapat digunakan sebagai bahan bangunan.

27
Gambar 4.7 M-07

28
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari praktikum ini dapat disimpulkan bahwa:


1. Batuan metamorf adalah batuan yang telah berubah atau mengalami
metamorfisme. Metamorfisme adalah proses perubahan mineralogi batuan
pada kondisi padat (solid), akibat perbedaan suhu dan tekanan pada kondisi
tertentu dengan kondisi baru. Faktor faktor yangmempengaruhi proses
metamorfisme yaitu temperatur, tekanan, fasa fluida dan waktu.
2. Batuan metamorf memiliki banyak jenis tergantung pada komposisi mineral
yang dikandung di dalam batuan tersebut. Untuk mengetahui nama dan
komposisinya di perlukan pengamatan berupa struktur, tekstur dan proses
pembentukannya.

5.2 Saran

Saran saya pada praktikum yaitu mengenai waktu praktikum saat


mendeskripsikan sampel yang telah disediakan. Diharapkan agar kedepannya untuk
dapat ditambah lagi waktu dalam mendeskripsikan batuan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Jackson, K.C., 1970. Textbook of Lithology. Mc Graw Hill Book Company, New York.

Mustaghfirin, Amin. 2013. Batuan Kelas X. Jakarta.

Noor, Djauhari., 2009, Pengantar Geologi, Bogor, Program Studi Teknik Geologi
Fakultas Tekni Universitas Pakuan.

Williams, H., F. J. Turner and M. Gilbert, 1954, Petrography, W. H. Freeman and Co.,
San Fransisco, 406 p.

Winter, J., 2001. An Introduction to Igneous and Metamorphic Petrology . Prentice-Hall.

30

Anda mungkin juga menyukai