Anda di halaman 1dari 27

Laporan Kasus

KRISIS TIROID

Disusun Oleh :
Dr. Puji Aulia Zani

Pembimbing :
Dr. Hasnur Rahmi, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIJUNJUNG
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan


ditandai oleh demam tinggi, disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan
sistem saluran cerna.5
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang
beredar dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan
oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena
adanya peningkatan hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan
keadaan klinis tirotoksikosis.18
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular
toksik, nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid
folikular metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak
menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik).7
Krisis tiroid memerlukan diagnosis dan terapi yang segera dan adekuat
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian oleh kelainan ini. Secara klinis
terlihat adanya kemunduran fungsi mental, hyperpyrexia dan aktivasi adrenergik.
Prinsip pengobatan krisis tiroid adalah sama dengan hipertiroid namun dalam
jumlah dosis yang lebih besar.16,17
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian
keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi
terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor
pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan diagnosis
yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa
dan ditandai oleh demam tinggi, disfungsi sistem kardiovaskular, sistem
saraf, dan sistem saluran cerna.5 Awalnya, timbul hipertiroidisme yang
merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang
beredar dengan atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika
jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih
berat, yaitu tirotoksikosis.1 Krisis tiroid merupakan keadaan dimana terjadi
dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut.6 Tipikalnya terjadi
pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas
terobati, dapat dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma.1

B. Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter
multinodular toksik, nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas
deQuevain, karsinoma tiroid folikular metastatik, dan tumor penghasil
TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah
penyakit Graves (goiter difus toksik).7 Meskipun tidak biasa terjadi, krisis
tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi ini
diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada pasien
hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah
operasi. Operasi umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien
mengalami penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau ketika
dicurigai adanya kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus
seperti ini dapat menyebabkan kematian.8

3
C. Patofisiologi
Pada keadaan normal, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-
releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior
untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon
inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya,
kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami
deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu
triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang
tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada
thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang tidak terikat
sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini
mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah
yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.1
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya
tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang
diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase,
simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang
merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar
tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH
dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon
tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas
imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon
tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3’5’cyclic adenosine
monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang
uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.3
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid
yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid
(dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon

4
tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon
ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan
kematian.2 Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan
reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan
reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin, epinefrin maupun
norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.7
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai
akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat
yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan
mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon
dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama
palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi
radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk
perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip
katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik
langsung dari hormon tiroid sebagai akibat kemiripan strukturnya dengan
katekolamin.2

D. Gambaran klinis
Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau
gejala-gejala seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan
kurang dengan berat badan sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi
suhu, serta prestasi sekolah yang menurun akibat penurunan rentang
perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien
adalah demam, berkeringat banyak, penurunan nafsu makan dan
kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna yang sering diutarakan oleh
pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan jaundice. Sedangkan
keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas, perubahan perilaku,
kejang dan koma.2
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur
dapat melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia
hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular

5
yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar
atau hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi
tidak bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain
aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi atrium, tetapi
takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda
neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda
piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis
mencakup tanda orbital dan goiter.2
Kecurigaan terjadinya krisis tiroid apabila terdapat triad 1)
Menghebatnya tanda tirotoksikosia 2). Kesadaran menurun, dan 3).
Hipertermia. Apabila terdapat tanda-tanda tersebut maka kita dapat
meneruskan dengan menggunakan skor indeks klinis krisis tiroid dari
Burch-Wartosky. Skor menekankan 3 gejala pokok: hipertermi, takikardia
dan disfungsi susunan saraf. 18
Pada kasus toksikosis pilih angka tertinggi, >45 highly suggestive,
25-44 suggestive of impending storm, di bawah 25 kemungkinan kecil.

Gambar. 2.1 indeks klinis krisis tiroid dari Burch-Wartosky18

Selain kasus tipikal seperti digambarkan di atas, ada satu laporan


kasus seorang pasien dengan gambaran klinis yang atipik (normotermi dan
normotensif) yang disertai oleh sindroma disfungsi organ yang multipel,

6
seperti asidosis laktat dan disfungsi hati, dimana keduanya merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi. Kasus ini dimana keduanya
merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi. Kasus ini menunjukkan
bahwa kedua sistem organ ini terlibat dalam krisis tiroid dan penting untuk
mengenali gambaran atipik ini pada kasus-kasus krisis tiroid yang
dihadapi.12

E. Gambaran laboratoris
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya
akan ditemukan konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat
hanya jika pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan
mungkin tidak akan didapat dengan cepat dan biasanya tidak membantu
untuk penanganan segera. Temuan biasanya mencakup peningkatan kadar
T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan uptake resin T3, pen murunan
kadar TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam.2
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan
tetapi hal ini jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan
kelainan yang tidak spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk
SGOT, SGPT, LDH, kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada
analisis gas darah, pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan
urinalisis dilakukan untuk menilai dan memonitor penanganan jangka
pendek.2

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah.
Idealnya, terapi yang diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan
aksi perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif dilakukan
kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan

7
dekompensasi multi organ. Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi dan mengatasi faktor pencetusnya yang kemudian diikuti
oleh pengobatan definitif untuk mencegah kekambuhan. Krisis tiroid
merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan
pengawasan terus-menerus.4
1. Penatalaksanaan : Umum 18
Diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit (NaCl dan
cairan lain) dan kalori (glukosa), vitamin, oksigen, kalau perlu obat
sedasi, kompres.

2. Penatalaksanaan: Mengoreksi hipertiroidisme


a). Memblok sintesis hormone baru : PTU dosis besar (loading dose
600-1000 mg) diikuti dosis 200 mg PTU tiap 4 jam dengan dosis
sehari total 1000-1500 mg)18
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan
methimazole (MMI) digunakan untuk menghambat sintesis hormon
tiroid. PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi
perifer dan lebih disukai daripada MMI yang diberikan dengan dosis
60mg/6jam pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI merupakan
agen farmakologik yang umum digunakan pada keadaan
hipertiroidisme. Keduanya menghambat inkorporasi iodium ke TBG
dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat hepatotoksisitas atau
agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan
kontraindikasi kedua obat tersebut.4 PTU diindikasikan untuk
hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit Graves. Laporan
penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan
risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan
dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah ditemukan pada
penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya meninggal).
PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali
pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau untuk

8
wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol
selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk
aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.4
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan
tanda kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi
dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU
dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan
perawatan suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak
kecuali pasien alergi atau intoleran terhadap metimazol dan tidak ada
lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi pada pasien agar
menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut: kelelahan,
kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya
mata maupun kulit pasien.4

3. Penatalaksanaan: menghambat sekresi hormon tiroid


Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat
dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang menurunkan
uptake iodium di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh kalium
iodida dengan pemberian 10 tetes/8 jam dapat digunakan untuk tujuan
ini. Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar satu jam setelah
pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang
digunakan secara tunggal akan membantu meningkatkan cadangan
hormon tiroid dan dapat semakin meningkatkan status tirotoksik.
Pasien yang intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan litium
yang juga mengganggu pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak
dapat menggunakan PTU atau MMI juga dapat diobati dengan litium
karena penggunaan iodium tunggal dapat diperdebatkan. Litium
menghambat pelepasan hormon tiroid melalui pemberiannya.
Plasmaferesis, pertukaran plasma, transfusi tukar dengan dialisis
peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik lain yang
digunakan untuk menghilangkan hormon yang berlebih di sirkulasi

9
darah. Namun, sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan pada
pasien yang tidak merespon terhadap penanganan lini awal. Preparat
intravena natrium iodida (diberikan 1 g dengan infus pelan per 8-12
jam) telah ditarik dari pasaran.4
4. Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid
Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon
tiroid. Propranolol menghambat reseptor beta-adrenergik dan
mencegah konversi T4 menjadi T3. Dosis yang diberikan adalah
1mg/menit sampai beberapa mg hingga efek yang diinginkan tercapai
atau 2-4mg/4jam secara intravena atau 20-40mg/6jam secara oral atau
melalui nasogastric tube (NGT). Obat ini menimbulkan perubahan
dramatis pada manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala.
Namun, propranolol menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada
krisis tiroid hanya pada dosis yang besar. Pemberian secara intravena
memerlukan pengawasan berkesinambungan terhadap irama jantung
pasien.4
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang
berhasil digunakan pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-
selektif, seperti propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan
pada pasien dengan gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau
riwayat asma. Untuk kasus-kasus ini, dapat digunakan obat-obat
seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan dengan reserpin berhasil
pada kasus- kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis besar
propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan
pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular atau syok.4

5. Penatalaksanaan : Defisiensi steroid relatif akibat hipermetabolisme


Pemebrian hidrocortison 100 mg/ 8 jam atau deksametason 2 mg tiap 6
jam dapat memenuhi defisiensi steroid relatif akibat hipermetabolisme
dan menghambat konversi perifer T4.18
6. Penatalaksanaan : mengobati faktor pencetus
Misalnya infeksi, respon pasien (klinis dan membaiknya kesadaran),

10
umumnya terlihat dalam 24 jam, meskipun ada yang berlanjut hingga
seminggu.

7. Penatalaksanaan: efek samping


Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau
gusi mudah berdarah, kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut
kanan atas, peningkatan kadar transaminase hingga tiga kali nilai
normal), infeksi (terjadi akibat agranulositosis), pruritus hingga
dermatitis eksfoliatif, vaskulitis maupun ulkus oral vaskulitik, dan
pioderma gangrenosum. Meskipun termasuk rekomendasi D, beberapa
pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa obat ini harus tetap
dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves selama
kehamilan. Risiko kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan
kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama selama
enam bulan pertama terapi.3
Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada
penggunaan obat anti- tiroid dan merupakan etiologi atas infeksi yang
didapat dari komunitas dan mengancam jiwa pasien yang
menggunakan obat-obat ini. Manifestasi klinis yang sering muncul
adalah demam (92%) dan sakit tenggorokan (85%). Diagnosis klinis
awal biasanya adalah faringitis akut (46%), tonsilitis akut (38%),
pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%). Kultur darah
positif untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Capnocytophaga species. Kematian
disebabkan oleh infeksi yang tidak terkendali, krisis tiroid dan gagal
organ luas dengan aktifitas anti-pseudomonas harus diberikan pada
pasien dengan agranulositosis yang disebabkan oleh obat anti-tiroid
yang menampilkan manifestasi klinis infeksi yang berat.14

G. Komplikasi
Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid
yang jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun

11
yang mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit
dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan
adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat
meningkat hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang
atipik menunjukkan keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat,
perlu dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini
karena kondisi ini memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting
pula untuk menerapkan prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus
krisis tiroid yang atipik.15
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara
lain hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens,
hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal. Komplikasi lain berupa
gangguan visual atau diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema
pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi,
pengurangan massa otot dan kelemahan otot proksimal.1

H. Prognosis
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka
kematian keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-
20% tetapi terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%,
tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis
tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat,
prognosis biasanya akan baik.1

I. Kesimpulan
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa
dan ditandai oleh demam tinggi, disfungsi sistem kardiovaskular, sistem
saraf, dan sistem saluran cerna. Etiologi yang paling banyak menyebabkan
krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Krisis tiroid
timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon
tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat.

12
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Penatalaksanaan krisis tiroid harus
menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan
suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis
dan membalikkan dekompensasi multi organ. Angka kematian
keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-75%.
Namun, dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat,
prognosis biasanya baik.

BAB III
LAPORAN KASUS

13
Identitas Pasien
Nama : Melia Rahmadona
Usia : 26 Th
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pulasan
No. RM : 074587
Masuk RS Tanggal : 16 April 2019

Keluhan Utama
Berdebar-debar sejak 3 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


 Berdebar-debar sejak 3 jam SMRS.
 Sesak nafas (+) sejak 1 hari SMRS, sesak nafas dipengaruhi oleh aktivitas,
tidak dipengaruhi cuaca dan makanan. Sesak saat berbaring (-), riwayat
tidur dengan bantal tinggi (-)
 Batuk (+) sejak 3 hari SMRS, batuk berdahak (+) dahak putih kental.
 Demam (+) sejak 3 hari SMRS, demam tidak tinggi, tidak hilang timbul
 Nafsu makan berkurang, pasien tidak mau makan sejak 3 hari SMRS,
Mual muntah (+) frekuensi 3 kali, berisi apa yang dimakan.
 Pasien tidak suka cuaca panas, sering berkeringat walaupun cuaca kadang
tidak panas, susah tidur, tangan gemetar (+) pasien tampak gelisah.
 Terdapat benjolan di leher sejak lebih kurang 6 bulan yang lalu.
 BAB dan BAK biasa.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien riwayat pengobatan dengan Hipertiroid ke poli penyakit dalam
RSUD Sijunjung pada tanggal 29 Oktober 2018 mendapat obat thyrozol 1

14
x 10 mg, propranolol 2 x 10 mg, cetirizine 1 x 10 mg, lansoprazole 1 x 30
mg, sucralfate 3 x cth 2, domperidone 3 x 10 mg.
 Sejak saat itu pasien belum ada kembali kontrol.

Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum : Sedang


 Kesadaran : CMC GCS 15
 Tekanan Darah : 100/60 mmHg
 Nadi : 149x/menit
 Nafas : 28x/menit
 Suhu : 38oC
 SaO2 : 98%
 Mata : Eksoftalmus +/+, CA-/-, SI -/-
 Leher : Pembesaran KGB (-), Benjolan di tengah leher
bagian depan,
konsistensi lunak, terfiksir, bergerak saat menelan,
ukuran diameter ± 4cm, bruit (-), JVP 5-2 cmH2o
 Thorax
Pulmo : Simetris, Sn. Vesikuler, Rh+/+ Wh-/-
Cor : Ictus cordis tidak terlihat, Bj S1-S2 Reguler,
Murmur (-), S3 Gallop (-)
 Abdomen : Distensi (-), Nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri
lepas (-), BU(+)

Hepatomegali (-), Splenomegali (-)

 Ektremitas : akral hangat, CRT <2dtk, edema -/- ektrmitas atas


tremor (+/+)
 Indeks Burch-Wartofsky :
Temperature (38oC) : 10
Central Nervous system (agitasi) : 10

15
Gastrointestinal-hepatic dysfunction (Mual dan muntah) : 10
Heart Rate (149x/menit) : 25
CHF :0
AF :0
Precipitating Event : 10

Total : 65
Kesan : highly suggestive

Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium

Hb/Ht/Leukosit/Trombosit : 13,7gr/dl / 30% / 4500mm /167.000mm3

GDS : 81 mg/dl

Ur/Cr : 31 mg/dl / 0,7 mg/dl

Na/K/Cl : 136 mg/dl / 4,3 mg/dl / 116 mg/dl

TSH / FT4 (10/07/2018) : <0,05 Uui/ml / 7,03 Pmol/L

 EKG

16
EKG : Irama sinus, regular, HR 149x/i, axis normal, gelombang P normal,
PR interval <0,2 detik, QRS kompleks <0,12 detik, ST-T change (-), LVH
(-), RVH (-).

Diagnosis Kerja

Krisis thyroid

Susp. CAP

Penatalaksanaan

IGD

O2 3l / nasal canula

PTU 400 mg (po)


Propanolol 1 x 10 mg (po)

Rawat HCU
Istirahat, Diet ML
IVFD asering 1000cc/24 jam
Digoxin 1 x 0,25 mg

17
Propanolol 2 x 10 mg
PTU 4 x 100 mg
Clobazam 1 x 10 mg
Dexamethason 3 x 1 amp (iv)
Omeprazole 2 x 40 mg (iv)
Ceftriaxon 2 x 1gr (iv)

Follow Up
18 April 2019
S/ Berdebar debar (+) sesekali.
Sesak nafas (+)
O/ TD : 137/80 mmHg
ND : 120x/menit
NF : 26x/menit
T : 36,7oC
Mata : eksoftalmus +/+
Leher : Pembesaran thyroid (+) diameter ± 4 cm
Thorax
Pulmo : Sn. Bronchovesikuler, rh+/+
Cor : Bj S1-S2 reguler, murmur (-), S3 Gallop
Abdomen :Distensi (-), NTE (+), NL (-) BU(+)
Ektremitas : Akral hangat, CRT <2 dtk, Edema -/-
A/ Krisis thyroid
Bronkopneumonia
P/ Ro thorax PA : Bronkopneumonia
Istirahat, Diet ML
IVFD asering 1000cc/24 jam
Digoxin 1 x 0,25 mg
Propanolol 2 x 10 mg

18
PTU 4 x 100 mg
Clobazam 1 x 10 mg
Dexamethason 3 x 1 amp (iv)
Omeprazole 2 x 40 mg (iv)
Ceftriaxon 2 x 1gr (iv)

20 April 2019
S/ Berdebar debar (-), demam (-), nyeri dada (-)
Sesak nafas (-) batuk sesekali (+)

O/ TD : 108/61 mmHg
ND : 91x/menit
NF : 22x/menit
T : 36,7oC
Mata : eksoftalmus +/+
Leher : Pembesaran thyroid (+) diameter ± 4 cm
Thorax
Pulmo : Sn. Bronchovesikuler, rh+/+
Cor : Bj S1-S2 reguler, murmur (-), S3 Gallop
Abdomen :Distensi (-), NTE (+) Berkurang, NL (-) BU(+)
Ektremitas : Akral hangat, CRT <2 dtk, Edema -/-
A/ Krisis thyroid
Bronkopneumonia
P/ Istirahat, Diet ML
EKG Ulang
IVFD asering 1000cc/24 jam
Digoxin 1 x 0,25 mg
Propanolol 2 x 10 mg
Clobazam 1 x 10 mg

19
Omeprazole 2 x 40 mg (iv)
Ceftriaxon 2 x 1gr (iv)
Azitromisin 1 x 500 mg
Digoxin 1 x 0,25 (aff)
Dexamethason 3 x 1 amp (iv) ↓ Dexamethason 2 x 1 amp

Interpretasi EKG : Irama sinus, regular, HR 91x/i, axis normal, gelombang P


normal, PR interval <0,2 detik, QRS kompleks <0,12 detik, ST segmen normal, T
inverted V1-V6, LVH (-), RVH (-).

22 April 2019
S/ Berdebar debar (-) Demam (-)
Sesak nafas (-) batuk sesekali (+)
O/ TD : 110/63 mmHg
ND : 81x/menit
NF : 22x/menit

20
T : 36,5oC
Mata : eksoftalmus +/+
Leher : Pembesaran thyroid (+) diameter ± 4 cm
Thorax
Pulmo : Sn. Bronchovesikuler, rh-/-
Cor : Bj S1-S2 reguler, murmur (-), S3 Gallop
Abdomen :Distensi (-), NTE (-), NL (-) BU(+)
Ektremitas : Akral hangat, CRT <2 dtk, Edema -/-
A/ Krisis thyroid
Bronkopneumonia
P/ Pasien Boleh Pulang, Obat pulang :
Azitromisin 1 x 500 mg
Propanolol 1 x 10 mg
PTU 3 x 100 mg
Omeprazol 1 x 20 mg
Cefixime 2 x 200 mg
Clobazam 1 x 10 mg

BAB IV

21
DISKUSI

Pasien perempuan usia 26 tahun datang ke IGD RSUD Sijunjung, dengan


keluhan berdebar-debar sejak 3 jam SMRS, terasa secara tiba-tiba. Pasien demam
sejak 3 hari SMRS demam tidak tinggi, tidak hilang timbul. Pasien tidak suka
cuaca panas, sering berkeringat walaupun cuaca kadang tidak panas, susah tidur,
tangan gemetar (+) pasien tampak gelisah. Nafsu makan berkurang, pasien tidak
mau makan sejak 3 hari SMRS, Mual muntah (+) frekuensi 3 kali, berisi apa yang
dimakan. Keluhan pasien sejalan dengan yang dijelaskan pada literatur,
kecurigaan terjadinya krisis tiroid apabila terdapat triad 1). Menghebatnya tanda
tirotoksikosis 2). Kesadaran menurun, dan 3). Hipertermia. 18 Setelah kita
menemukan trias krisis tiroid ini kita dapat melanjutkan menggali gejala lainnya
yang mengarah ke krisis tiroid dengan panduan index Burch-Wartosky

Pasien juga merasakan sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit, sesak nafas dipengaruhi oleh aktivitas, tidak dipengaruhi cuaca dan
makanan. Sesak saat berbaring (-), riwayat tidur dengan bantal tinggi (-). Batuk
(+) sejak 3 hari SMRS, batuk berdahak, dahak berwarna putih kental. Pada
keluhan ini pasien juga memilik keluhan sistem pernafasan, berupa
bronkhopneumonia yang di tegakkan dari ekspertise rontgen, yang bisa menjadi
faktor pencetus pada pasien ini.

Terdapat benjolan di leher sejak lebih kurang 6 bulan yang lalu, pasien
sudah dikenal dengan grave disease, pasien terakhir berobat lebih kurang 6 bulan
yang lalu, dan obat terputus. Hal ini juga dapat dimasukkan pada faktor pencetus.
Dari semua keluhan yang ditemukan, didapatkan index Burch-Wartosky adalah
65, yang mana di kategorikan pada higly sugestive thyroid storm.

Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada


gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi
tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium
atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan
konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien

22
belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat
dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera.2

Pasien ini mendapatkan terapi O2 3l / nasal canula, PTU 400 mg (po),


Propanolol 1 x 10 mg (po) selama di IGD, dan dirawat di HCU dengan terapi :
IVFD asering 1000cc/24 jam, Propanolol 2 x 10 mg, Digoxin 1 x 0,25 mg PTU 4
x 100 mg, Clobazam 1 x 10 mg, paracetamol 3 x 500 mg, Dexamethason 3 x 1
amp (iv), Omeprazole 2 x 40 mg (iv), Ceftriaxon 2 x 1gr (iv). Secara umum
pasien sudah mendapatkan terapi yang sesuai dengan literatur.

Pasien dirawat di HCU, karena krisis tiroid memerlukan perwatan yang


intensif, meliputi menurunkan sintesis dan sekresi hormon tiroid, menurunkan
pengaruh perifer hormon tiroid, mencegah dekompensasi sistemik, dan terapi
penyakit pemicu.19

Penatalaksanaan umum Diberikan cairan untuk rehidrasi dan koreksi


elektrolit, pada pasien ini diberikan asering 1000cc/24 jam. Clobazam 1 x 10 mg
sebagai sedasi pada pasien.

Penatalaksanaan untuk mengoreksi hipertiroidisme dengan cepat diberikan


PTU loading dose karena pada krisis tiroid sering disertai dengan disfungsi
gastrointestinal, pada pasien ini diberikan 400mg, selanjutunya PTU 4 x 100mg.

Pemberian cairan lugol atau cairan jenuh kalium iodida sekitar 1 jam
setalah pemberian PTU atau MMI dapat digunakan untuk menghambat sekresi
hormon tiroid, namun cairan tersebut tidak diberikan karena tidak tersedia pada
rumah sakit. Penatalaksanaan untuk menghambat aksi perifer hormon tiroid
diberikan propranolol 2 x 10mg. Propranolol menghambat reseptor beta-
adrenergik dan mencegah konversi T4 menjadi T3.

Pada pasien juga diberikan digoksin 1 x 0,25mg, pemberian digoksin pada


pasien karena digoksin memiliki efek kronotropik negatif dan mengurangi
aktivitas saraf simpatis, digoksin dapat meningkatkan tonus vagal dan mengurangi
aktifitas simpatis di nodus SA (sini atrial) maupun AV (atrio ventrikular),
sehingga dapat menurunkan irama detak jantung. Efek pada nodus AV inilah yang

23
mendasari penggunaan digoksin pada pengobatan fibrilasi atrium. 20 pada pasien
ini didapatkan irama detak jantung yang sangat cepat, namun belum ada gambaran
fibrilasi atrium, pemberian digoksin mungkin lebih bertujuan untuk mengontrol
rate agar kemungkinan terjadinya gangguan irama dapat berkurang. Selain itu ,
digoksin juga memiliki efek inotropik positif, yang mana pada akhirnya dapat
mengakibatkan kontraktilitas sel otot jantung yang meningkat. Manfaat ini
berhubungan pada kondisi pasien yang di curigai dengan adanya gejala gagal
jantung atau pada kasus ini adanya thyroid heart disease.

Pada pasien ini Pemberian dexamethasone bertujuan untuk memenuhi


defisiensi steroid relatif akibat hipermetabolisme dan menghambat konversi
perifer T4. Pemberian ceftriaxone untuk infeksi saluran pernafasan yang
merupakan salah satu factor pencetus, paracetamol dan omeprazole sebagai terapi
simptomatik.

Untuk mengevaluasi disfungsi system yang terjadi pada krisis tiroid


seperti disfungsi kardiovaskuler yang dirasakan pasien saat awal masuk yaitu
berdebar -debar, pasien di lakukan pemeriksaan EKG berulang, pada hari rawatan
ke 5, pasien di lakukan pemeriksaan EKG, didapatkan adanya perubahan
gelombang T, berupa T inverted pada lead v1-v6. Gambaran T inverted biasanya
dikaitkan dengan adanya iskemik pada otot jantung jika disertai adanya klinis
iskemik seperti angina.

Adanya T inverted tidak selalu menandakan adanya iskemik pada otot


jantung, namun T inverted yang disertai dengan nyeri dada atau angina
merupakan tanda adanya iskemik pada otot jantung. Penggunaan pengobatan
seperti anti aritmia, digoksin, dan diuretik dapat menyebabkan kelainan pada
gelombang T.21

Pada pasien ini tidak ditemukan adanya keluhan nyeri dada atau angina,
kemungkinan adanya kelainan gelombang T pada pasien disebabkan oleh digoksin
pada pasien, sehingga penggunaan digoksin di hentikan. Pasien di rawat di HCU
RSUD Sijunjung selama 7 hari, dalam masa rawatan pasien menunjukan adanya

24
perbaikan klinis, dengan mulai menghilangnya tanda-tanda tirotoksikosis, seperti
jantung berdebar, agitasi, mual muntah, dan demam seperti yang dirasakan pasien
ketika awal masuk.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Schraga ED. Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. Available

at: http://emedicine.medscape.com/article/324556-print.

2. Misra M, Singhal A, Campbell D. Thyroid storm. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/394932-print.

3. Yeung SJ, Habra M, Chiu C. Graves disease. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/234233-print.

4. Kuwajerwala NK, Goswami G, Abbarah T, Kanthimathinathan V, Chaturvedi

P. Thyroid , thyrotoxic storm following thyroidectomy. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/213213-print.

5. Thyroid crisis. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Mesh/database. php?

key=thyroid_crisis.

6. Kanbay M, Sengul A, Gilvener N. Trauma induced thyroid storm complicated

by multiple organ failure. Chin Med J. 2005;118(11):963-5.

7. Duggal J, Singh S, Kuchinic P, Butler P, Arora R. Utility of esmolol in thyroid

crisis. Can J Clin Pharmacol. 2006;13(3):e292-5.

8. Sharma PK, Barr L, Rubin A. Complications of thyroid surgery. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/946738-print.

9. Yamaji Y, Hayashi M, Suzuki Y, Noya K, Yamamoto O. Thyroid crisis

associated with severe hypocalcemia. Jpn J Med. 1991;30(2):179-81.

10. Kahara T, Yoshizawa M, Nakaya I, et al. Thyroid crisis following interstitial

nephritis. Intern Med. 2008;47(13):1237-40.

11. Prof.Dr.M.W.Haznam, Endokrinologi, 1991

26
12. Jiang Y, Hutchinson KA, Bartelloni P, Manthous A. Thyroid storm presenting

as multiple organ dysfunction syndrome. Chest. 2000;118:877-9.

13. Emdin M, Pratali L, Iervasi G. Abolished vagal tone associated with

thyrotoxicosis triggers prinzmetal variant angina and paroxysmal atrial

fibrillation. Ann Intern Med. 2000;132(8):679.

14. Sheng W, Hung C, Chen Y, et al. Antithyroid-drug-induced agranulocytosis

complicated by life-threatening infections. Q J Med. 1999;92:455-61.

15. Izumi K, Kondo S, Okada T. A case of atypical thyroid storm with

hypoglycemia and lactic acidosis. Endocr J. 2009;56(6):747-52.

16. Margaret G, Rosman NP, Hadddow JE. Thyroid strom in an 11-years-old boy

managed by propanolol. Pediatrics 1874;53:920-922.

17. Roizen M, Becker CE. Thyroid strom. The Western Journal of Medicine

1971;115:5-9.

18. Sudoyo AW. Buku ajar penyakit dalam jilid II edisi IV. Jakarta Pusat 2007.

19. Soetjipto S, Sinardja K, Wiryana M. Penatalaksanaan pasien krisis tiroid di

intensive care, Medicina 2017

20. Lupiyatama S. Gambaran peresepan digoksin pada pasien gagal jantung, yang

berobat jalan di RSUP DR. Kariadi Semarang, Universitas Diponegoro, 2012.

21. Kenny BJ, Brown KN. ECG T Wave, NCBI, Kansas city university of

medicine, 2019.

27

Anda mungkin juga menyukai