Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

PEDIKULOSIS KAPITIS DAN SCABIES

Oleh:
Erika Christanti 170070201011027
Khalifah Lummi Wewang 170070201011051
Linati Shabrina 170070201011060
Izdihar Rahmadinda 170070201011158

Supervisor Pembimbing:
dr. Arif Widiatmoko, Sp.KK, FINSDV

DEPARTEMEN SMF. DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


RUMAH SAKIT DR SAIFUL ANWAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infestasi kutu ke manusia sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Terdapat
beberapa spesies kutu yang dijumpai sering berinfestasi pada manusia, di
antaranya adalah Pediculus capitis dan Sarcopetes scabiei.1 Pediculus capitis
merupakan parasit yang menyebabkan infeksi pada kulit atau rambut kepala yang
disebut dengan pedikulosis kapitis. Penyakit ini memiliki angka kejadian dan
kasus baru yang cukup tinggi. Tiap tahunnya, diperkirakan ratusan hingga jutaan
orang terinfeksi parasit ini dan sebagian besar terjadi pada anak-anak. Menurut
Center for Disease Control and Prevention (CDC), di Amerika Serikat,
didapatkan sekitar 6 sampai 12 juta kasus anak-anak yang mengalami pedikulosis
kapitis setiap tahun.2-4
Pediculus capitis merupakan ektoparasit yang memiliki 3 fase hidup, yaitu
fase telur, nimfa, dan kutu dewasa. Parasit ini merupakan salah satu obligat
pemakan darah dan daur hidupnya selalu terkait dengan manusia.1,5 Parasit ini
menyebarkan penyakit melalui transmisi langsung dan tidak langsung. Transmisi
langsung melalui kontak antar kepala orang yang terinfeksi, sementara transmisi
tidak langsung melalui pemakaian sisir, topi, handuk, bantal, kasur dan kerudung.5
Pedikulosis kapitis memberikan gejala klinis berupa rasa gatal pada daerah
kepala dan dapat menyebabkan infeksi sekunder bila digaruk terus-menerus. Pada
kulit, penyakit ini dapat memberikan manifestasi berupa pruritus dan ekskoriasi.
Secara sistemik, dapat muncul manifestasi berupa infeksi sekunder, anemia, dan
pembesaran kelenjar getah bening bagian leher posterior.6 Di sisi lain, pedikulosis
kapitis juga dapat menyebabkan masalah sosial, seperti rasa malu akibat kritikan
orang sekitar yang menyebabkan penderita mengasingkan diri. Selain itu,
penderita pedikulosis kapitis juga dapat mengalami penurunan rasa percaya diri,
kurangnya kualitas tidur, dan gangguan belajar.7-8
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi penyebaran
pedikulosis kapitis, seperti kebersihan diri, tingkat pengetahuan, umur, jenis
kelamin, kepadatan hunian (asrama, pesantren, panti asuhan), dan juga status
sosial ekonomi. Pedikulosis kapitis dikatakan berhubungan erat dengan tingkat
ekonomi rendah dan lingkungan yang kumuh pada masyarakat, sehingga
memerlukan perhatian khusus karena dapat menyebabkan morbiditas yang
signifikan. Walaupun demikian, penyakit ini masih kurang diperhatikan karena
tingkat mortalitas yang rendah.1-6
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi Sarcoptes scabiei var. hominis. Tungau ini dapat menjangkiti semua
orang pada semua tingkat umur, ras, dan tingkat ekonomi sosial.9 Sekitar 300 juta
kasus skabies di seluruh dunia dilaporkan setiap tahunnya. Menurut data dari
puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008, angka kejadian skabies adalah
5,6%-12,95%. Skabies di Indonesia menduduki urutan ke tiga dari dua belas
penyakit kulit tersering.9-10
Serupa dengan pedikulosis kapitis, skabies seringkali diabaikan karena
tidak mengancam jiwa. Walaupun demikian, penyakit ini dapat menjadi kronis
dan berat dan dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Terdapat beberapa
faktor yang menunjang perkembangan skabies, antara lain sosial ekonomi yang
rendah, higienitas yang buruk, dan perkembangan demografik seperti keadaan
penduduk dan ekologi. Keadaan-keadan ini akan memudahkan transmisi dan
infestasi dari tungau Sarcoptes scabiei. Berdasarkan hal tersebut, maka prevalensi
skabies yang lebih tinggi umumnya ditemukan pada lingkungan yang padat dan
kontak interpersonal yang tingg,i seperti asrama, panti asuhan, dan penjara.10-11
Terdapat gambaran yang dikenal dengan 4 tanda utama atau tanda kardinal
pada infestasi Sarcoptes scabiei. Tanda tersebut adalah pruritus nokturna,
menyerang sekelompok orang, terdapat terowongan, dan ditemukannya parasit.12
Walaupun demikian, Skabies memiliki manifestasi klinis yang bervariasi dan
dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis. Hal ini dapat berujung pada
penatalaksanaan yang tidak adekuat sehingga terjadi peningkatan risiko penularan
bahkan menjadi wabah yang dapat mengganggu aktivitas dan menambah biaya
untuk pengobatan penyakit ini.13
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa pedikulosis kapitis dan
skabies merupakan penyakit yang cukup sering terjadi di masyarakat, terutama
masyarakat negara berkembang, salah satunya Indonesia dan juga merupakan
kompetensi 4A dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), sehingga
dokter umum diwajibkan untuk dapat mendiagnosis dan dapat memberikan
tatalaksana hingga tuntas. Oleh karena itu, pengetahuan tentang penyakit
Pedikulosis kapitis penting untuk dapat dipelajari oleh dokter muda rotasi Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin.
BAB II
LAPORAN KASUS

Pada tanggal 20 mei 2019, datang seorang pasien perempuan bernama


Nafisa Amelia berusia 18 tahun dan belum menikah. Pasien mengaku seorang
mahasiswa asal Pakis, Malang. Saat ini pasien berkuliah di Universitas Islam
Malang dan tinggal di asrama kampusnya. Pasien mengeluhkan gatal di area
kepala, terutama kulit kepala, belakang kepala, bagian leher dan belakang telinga.
Gatal dirasakan sejak satu bulan yang lalu dan semakin memberat sehingga pasien
sering menggaruk kepalanya dengan VAS 7/10. Gatal juga dirasakan dibagian
sekitarnya seperti leher dan telinga. Gatal pada leher awalnya berbentuk bruntusan
merah kecil, semakin digaruk semakin menebal dan menjadi bernanah. Pasien
mengaku 3 hari SMRS gatal kemudian dirasakan diseluruh tubuh dan rambut
menjadi berair. Gatal pada tubuh dirasakan terutama pada saat malam hari.
Dikatakan terdapat rambut rontok, kemerahan, luka, dan nanah. Tidak didapatkan
keluhan lain seperti nyeri kepala, demam, batuk, dan pilek. Pada riwayat penyakit
dahulu, dikatakan pasien tidak pernah mengalami penyakit kulit sebelumnya.
Pasien mengatakan, dari pihak keluarga pasien tidak mengetahui apakah
terdapat anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa, ataupun penyakit kulit
lainnya. Pasien tidak memberikan obat apapun terhadap gatal di kepala dan badan.
Terdapat riwayat biduran karena udara dingin, tidak terdapat alergi makanan,
keluhan bersin saat dekat/ terkena debu, maupun asma.
Pasien merupakan mahasiswa yang tinggal di asrama UNISMA, yang
berjumlah lima orang dalam satu kamar. Hewan peliharaan (-). Pasien
mengatakan hanya keramas satu kali dalam seminggu. Mandi menggunakan
shampoo dan sabun lifebuoy dengan air dingin satu kali dalam sehari. Pasien tidak
mengetahui apakah teman asramanya mengalami hal yang sama atau tidak.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan Compos mentis dengan GCS
456. Pada bagian kepala, dengan lokasi tersebar di seluruh area kepala
dipdapatkan skuama putih tipis, dan ditemukan nits dan tungau menempel pada
batang rambut, terdapat eritema dan ekskoriasi.
Pada bagian leher, didapatkan patch dan plak eritematosa, multiple, bentuk dan
ukuran bervariasi, batas tidak tegas, tepi ireguler. Ditutupi oleh krusta
berwarna coklat kehitaman, bentuk dan ukuran bervariasi, multple, batas tegas,
tepi ireguler. Dan pada seluruh tubuh ditemukan papul eritematosa, multiple,
bentuk bulat ukuran bervariasi, tepi ireguler, batas tegas, dengan ekskoriasi
disekitarnya.

Gambar 7. Foto Klinis Pasien

Gambar 8. Foto Hasil Pemeriksaan Pasien

Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan mikroskopis dari


pengambilan ektoparasit, dan ditemukan nits dan tungau pada batang rambut. Dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan,
maka pasien didiagnosa dengan Pedikulosis kapitis dan Scabies.
Pasien diberikan terapi berupa Permethrin 1% lotion untuk mencegah
infeksi dan mempercepat penyembuhan, pemberian obat diberi 1 kali seminggu di
kepala. Pasien dapat beraktivitas sehari-hari seperti biasa. dan Permethrin 5%
cream. Kemudian menjelaskan kepada pasien agar mengoleskan obat Permethrin
cream 5% di seluruh badan untuk mencegah infeksi dan mempercepat
penyembuhan, pemberian obat diberi 1 kali dalam selang 3 hari di seluruh badan
saat malam hari sebelum tidur, dan didiamkan sampai mandi pagi.
Pasien diberikan edukasi mengenai penyakit pedikulosis kapitis dan
scabies. Penyebab dari penyakit pedikulosis kapitis adalah tungau bernama
Pediculosis humanus capitis dan Sarcoptes scabiei. Menjelaskan kepada pasien
bahwa faktor resiko dari penyakit ini adalah kurangnya kebersihan pada badan
dan kepala, serta lingkungan sekitar. Sehingga pasien disarankan untuk
menggunakan pakaian yang bersih, dan semua baju, topi, sarung bantal, handuk,
dan sprei yang digunakan dalam beberapa minggu sebelumnya harus dicuci
dengan air panas dan dikeringkan pada suhu panas. Pakaian yang tidak dapat
dicuci harus di dry clean, setrika, dan diletakkan di lemari pakaian tanpa dicuci,
atau diletakkan pada tas plastic yang tertutup pada area hangat selama 2 minggu.
Sisir dan sikat dapat dicuci pada air panas (65oC) atau dapat diolesi dengan
pedikulosida selama 15 menit. Lantai, karpet, kain pelapis area bermain (rumah
dan mobil), dan furniture harus divacuum secara hati-hati untuk menyingkirkan
rambut dengan telur viable. Pasien kemdian disarankan untuk datang kembali ke
poli infeksi untuk evaluasi kondisi pasien 2 minggu setelahnya.
BAB III
PEMBAHASAN

Pedikulosis kapitis atau kutu kepala adalah infestasi dari kulit kepala dan
rambut yang disebabkan oleh pediculosis humanus capitis. Pedikulosis kapitis
sering terdapat diruang umum, seperti bioskop, sekolah, dan di tempat banyak
orang yang saling bersentuhan. Penularan kutu kepala yang paling umum adalah
dari kepala ke kepala atau kontak langsung seperti melalui sisir dan bantal yang
dipakai bersama-sama14
Pasien yang dibahas pada kasus ini adalah perempuan 18 tahun,
merupakan mahasiswa yang tinggal di asrama UNISMA, yang berjumlah lima
orang dalam satu kamar. Hewan peliharaan (-). Pasien mengatakan hanya keramas
satu kali dalam seminggu. Mandi menggunakan shampoo dan sabun lifebuoy
dengan air dingin. Pasien tidak mengetahui apakah teman asramanya mengalami
hal yang sama atau tidak. Pasien dengan keluhan gatal di area kepala leher, dan
belakang telinga. Gatal dirasakan sejak satu bulan yang lalu. Namun, sesuai
dengan data epidemiologi dikatakan bahwa penyakit ini terjadi di seluruh dunia
dan sering menyerang anak-anak, terutama berusia usia sekolah, 3-11 tahun.
Menurut beberapa penelitian yang telah ada, anak perempuan lebih sering terkena
penyakit pediculosis kapitis. Hal ini dapat dihubungkan bahwa anak perempuan
hampir semuanya memiliki rambut yang lebih panjang daripada anak laki-laki.
Orang yang memiliki rambut panjang lebih sering terkena infestasi kutu kepala15
Pasien mengeluhkan gatal di area kepala, terutama kulit kepala, belakang
kepala, bagian leher dan belakang telinga, dirasakan sejak satu bulan yang lalu
dan semakin memberat. Dikatakan terdapat rambut rontok, kemerahan, luka, dan
nanah. Diketahui bahwa area predileksi dari pedikulosis kapitis adalah pada regio
oksipital dan retroaurikular. Meskipun diketahui pada beberapa pasien keluhan
dapat bersifat asimptomatis, sebagian besar keluhan berupa gatal, dan pada anak
sering terlihat menggaruk kepala merupakan salah satu tanda yang mengarahkan
pada diagnosis pedikulosis kapitis. Gatal pada pedikulosis disebabkan oleh karena
reaksi hipersensitivitas terhadap saliva dari kutu saat makan, dan bisa juga
dicetuskan oleh feses dari kutu tersebut14
Pada peemeriksaan fisik. Pada bagian kepala, dengan lokasi tersebar di
seluruh area kepala didapatkan skuama putih tipis, dan ditemukan nits dan tungau
menempel pada batang rambut, terdapat eritema dan ekskoriasi. Pada bagian
leher, didapatkan patch dan plak eritematosa, multiple, bentuk dan ukuran
bervariasi, batas tidak tegas, tepi ireguler. Ditutupi oleh krusta berwarna coklat
kehitaman, bentuk dan ukuran bervariasi, multple, batas tegas, tepi ireguler. Dan
pada seluruh tubuh ditemukan papul eritematosa, multiple, bentuk bulat ukuran
bervariasi, tepi ireguler, batas tegas, dengan ekskoriasi disekitarnya. Diketahui
gigitan dari kutu dapat menyebabkan macula eritematous dan papul, tetapi
pemeriksaan seringnya hanya menemukan eritema dan ekskoriasi saja. Ada
beberapa individu yang mengeluh dan menunjukkan tanda demam yang tidak
tinggi dan irritable14 Garukan pada kulit kepala dapat menyebabkan terjadinya
erosi, ekskoriasi dan infeksi sekunder berupa pus dan krusta. Bila terjadi infeksi
sekunder berat, rambut akan bergumpal akibat banyak nya pus dan krusta.
Keadaan ini disebut plicapolonica yang dapat ditumbuhi jamur kutu kepala adalah
penyebab utama penyakit pyoderma sekunder dikulit kepala diseluruh dunia15
Pada Pedikulosis kapitis sering ditemukan kutu dewasa meletakkan telur
di rambut kurang dari 5 mm dari kulit kepala, maka seiring bertumbuhnya rambut
kepala, telur yang semakin matang akan terletak lebih jauh dari pangkal rambut.
Telur terletak terutama di daerah oksipital kulit kepala dan retroaurikular. Warna
dari telur yang baru dikeluarkan adalah kuning kecoklatan dan biasanya terletak
proksimal (1 cm) dari kulit kepala.. Telur yang sudah lama/ infertil berwarna putih
dan jernih dan jaraknya semakin jauh dari kulit kepala, sebagai tanda bahwa
infeksi sudah tidak aktif dan telur sudah infertil. Untuk membantu diagnosis,
dapat menggunakan pemeriksaan lampu wood. Telur dan tungau akan
memberikan fluoresensi warna kuning-hijau. Namun untuk diagnosis pasti
ditemukan telur, nimfa imatur, dan kutu14
Pasien diberikan terapi berupa Permethrin 1% lotion untuk mencegah
infeksi dan mempercepat penyembuhan, pemberian obat diberi 1 kali seminggu di
kepala. Diketahui pengobatan untuk pedikulosis kapitis adalah permethrin 1%
krim diberikan ke kulit kepala dan rambut. Awalnya rambut dicuci dengan sampo
nonconditioner kemudian dikeringkan dengan handuk. Lalu diberikan Permethrin
1% cream rinse selama 10 menit kemudian dibilas. Hal ini diperkirakan dapat
membasmi sekitar 20%-30% dari telur. Tetapi, disarankan agar pemakaiannya
diulang apabila kutu masih terlihat pada 7-10 hari setelahnya. Dapat juga
diberikan beberapa regimen terapi lainnya seperti:
1. Krotamiton 10% dalam bentuk losion digunakan untuk terapi skabies, dan
beberapa penelitian menunjukkan krotamiton 10% juga efektif untuk kutu kepala
dimana diberikan ke kulit kepala dan didiamkan selama 24 jam sebelum dibilas.
Aman untuk anak, dewasa, dan wanita hamil.
2. Ivermectin adalah suatu agen antiparasitik yang efektif untuk kutu kepala.
Ivermectin diberikan dengan dosis tunggal secara oral 200 mikrogram/oral dengan
dosis pemberian 2 kali setelah 7-10 hari. Ivermectin tidak boleh diberikan ke anak
yang berat badannya kurang dari 15 kg. Penggunaaan Ivermectine oral belum
diakui oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai pedikulosid.

3. Malathion organophosphate adalah suatu penghambat cholinesterase dan telah
digunakan selama 20 tahun untuk pengobatan kutu kepala9. Malathion 0,5% atau
1% yang digunakan dalam bentuk losio atau spray. Caranya: malam sebelum tidur
rambut dicuci dengan sabun kemudian dipakai losio malathion, lalu kepala ditutup
dengan kain. Keesokan harinya rambut dicuci lagi dengan sabun lalu disisir
dengan sisir yang halus dan rapat (serit). Pengobatan ini dapat diulang lagi
seminggu kemudian, jika masih terdapat kutu atau telur.
4. Pyrethrin diperoleh dari suatu sari alami bunga chrysanthemum. Pyrethrin yang
dikombinasi dengan piperonyl butoxide adalah neurotoksik untuk kutu tetapi
kurang toksik terhadap manusia. Produk ini seperti sampo dimana diberikan pada
rambut yang kering dan didiamkan selama 10 menit sebelum dibilas. Penggunaan
dapat diulang 7-10 hari kemudian untuk membasmi kutu kepala yang baru.
5. Lindane (1%)
 adalah organochloride yang mempunyai efek toksik terhadap
CNS (Central Nervous System) apabila penggunaannya tidak benar.
Penggunaannya seperti sampo dan dapat didiamkan kurang lebih selama 10 menit
dengan pemakaian yang berulang dalam 7-10 hari. Dalam beberapa tahun kasus
resisten pernah dilaporkan diseluruh dunia. Oleh karena adanya efek toksik
terhadap CNS yang dapat menyebabkan serangan dan kematian,sehingga
penggunaan lindane terhadap pasien harus dibatasi.
6. Trimethoprim-sulfamethoxazole oral. Antibiotik ini biasa juga disebut
cotrimoxazole digunakan dalam dosis otitis media, sama efektif pemberiannya
untuk kutu kepala. Antibiotik ini dapat membasmi simbiosis bakteri dalam gerak
kutu atau berhubungan langsung dengan efek toksik dari kutu. Penggunaan
Trimethoprim-sulfamethoxazole belum diakui sebagai pedikulosid oleh FDA14

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan


sensitisasi tungau scabies yaitu Sarcoptes scabiei var hominis16. Secara
epidemiologi, skabies tersebar di seluruh dunia dan menyerang segala usia, ras,
dan level sosial ekonomi. Prevalensi penyakit ini tinggi pada negara berkembang
dengan rasio 4% hingga 100%14. Pada kasus, pasien merupakan seorang
perempuan usia 18 tahun yang tinggal di daerah Malang.
Gatal pada malam hari atau pruritus nokturna adalah keluhan utama
individu dengan skabies, karena aktivitas tungau meningkat pada suhu kulit yang
lembab dan hangat. Pruritus nokturna biasanya muncul 4-6 minggu setelah
infestasi pertama kali pada kulit dan pada re-infestai berulang gejala akan muncul
dalam 2 hari14.
Pasien merupakan mahasiswa yang tinggal di asrama UNISMA, yang
berjumlah lima orang dalam satu kamar. Pasien mengatakan hanya mandi satu
kali sehari. Pasien tidak mengetahui apakah teman asramanya mengalami hal yang
sama atau tidak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gustia dan Anas
pada tahun 2015, kepadatan hunian kamar memiliki hubungan yang bermakna
dengan kejadian skabies. Penyebaran tungau akan lebih mudah terjadi pada
penduduk yang hidup berkelompok atau padat penghuni pada suatu lingkungan
seperti asrama, kelompok anak sekolah, antar anggota keluarga pada rumah yang
padat bahkan antar warga di suatu perkampungan. Selain itu, kepadatan hunian
dapat mempengaruhi kelembaban di dalam ruangan, dimana akan meningkatkan
kelembaban ruangan. Umur tungau skabies di luar kulit dapat mencapai usia 19
hari apabila berada di kondisi ruangan yang lembab.
Lalu, personal hygiene juga memiliki hubungan yang bermakna dengan
kejadian skabies. Pada kasus kami, pasien hanya mandi sekali dalam sehari.
Individu dengan personal hygiene kurang baik apabila berkontak dengan penderita
skabies atau dengan benda-benda yang telah terkontaminasi tungau skabies akan
lebih berisiko untuk menderita skabies. Sebaliknya, apabila kulit individu itu
bersih dengan mandi minimal dua kali sehari secara teratur dan memakai sabun,
maka hal ini dapat menekan dari proses infestasi tungau skabies17. Namun, pada
kasus kami, pasien kurang mengetahui apakah teman asramanya mengalami hal
yang sama atau tidak.
Dari pemeriksaan fisik pada kedua lengan, tangan, kaki, dan badan pasien,
ditemukan papul eritematosa, multiple, bentuk bulat ukuran bervariasi, tepi
ireguler, batas tegas, dengan ekskoriasi disekitarnya. Lesi khas scabies adalah
papul yang gatal pada sepanjang terowongan yang berisi tungau. Lesi berupa
ekskoriasi dan papul, kemerahan, dan umumnya simetris yang biasanya terletak
pada sela-sela jari, sisi-sisi jari, bagian volar pergelangan tangan dan telapak
tangan bagian lateral, flexor siku dan lutut, aksila, periumbilikalis, abdomen
bagian bawah, pantat, skrotum, penis, aerola mammae dan labia. Lesi eritematosa
difus dapat terjadi pada badan oleh karena reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen tungau. Lesi patognomoni adalah ditemukannya terowongan, tipis,
struktur linear, dengan panjang sekitar 1-10 mm. Pada bayi, orangtua, dan
individu imunodefisiensi, lesi dapat ditemukan pada kepala dan leher, juga dapat
terjadi pada seluruh permukaan kulit18.
Diagnosis pasti skabies dapat ditegakkan melalui identifikasi mikroskopis
dengan menemukan tungau skabies, telur maupun skibala. Selain itu, pemeriksaan
penunjang lain yang dapat dilakukan adalah Tes Tinta Burrow yang digunakan
untuk mengidentifikasi terowongan dengan cara meneteskan tinta berwarna hitam
pada area papul kemudian dihapus dengan kertas alkohol, sehingga liang akan
terlihat lebih gelap14. Pada kasus kami tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
Prinsip pengobatan skabies adalah menggunakan skabisida topikal diikuti
dengan perilaku hidup bersih dan sehat baik pada penderita maupun
lingkungannya. Semua skabisida topikal memiliki prinsip penggunaan yang sama
dan harus dipatuhi oleh penderita, tenaga kesehatan, atau orang lain yang
membantu mengoleskan skabisida. Oleh karena itu, penderita skabies perlu
diingatkan untuk membaca pedoman penggunaan skabisida sebelum
menggunakannya.
Sebelum mengoleskan skabisida, penderita skabies harus mandi
menggunakan sabun. Setelah badan kering, skabisida dioleskan ke seluruh
permukaan kulit dari leher sampai ujung jari kaki. Setelah mencapai waktu yang
ditentukan, obat dibersihkan dari seluruh tubuh dengan mandi memakai sabun.
Selesai mandi, badan dikeringkan dengan handuk bersih dan kering lalu handuk
dijemur di bawah terik sinar matahari.
Penderita skabies harus memotong kuku tangan dan kaki secara teratur
serta menjaganya tetap pendek dan bersih. Penderita skabies yang sedang
menjalani terapi dengan obat topikal harus menerapkan gaya hidup bersih dan
sehat terutama mandi dua kali sehari memakai sabun, baik dengan sabun biasa
atau antiseptik.
Pasien diberikan terapi berupa krim Permethrin 5%. Permetrin adalah
insektisida yang termasuk golongan piretroid sintetik, bekerja dengan cara
mengganggu kanal natrium, menyebabkan perlambatan repolarisasi dinding sel
parasit yang pada akhirnya membunuh parasit. Permetrin tersedia dalam bentuk
krim dengan konsentrasi 5%. Permetrin dalam bentuk krim 5% adalah skabisida
pilihan dalam tatalaksana skabies karena angka kesembuhannya tinggi dan
toksisitasnya rendah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa permetrin
merupakan skabisida terbaik dalam pengobatan skabies dibandingkan terapi
lainnya. Efektivitas permetrin dalam mengobati skabies adalah 91%. Dosis
tunggal permetrin dapat menyembuhkan 97,8% penderita skabies.
Krim permetrin digunakan dengan mengoleskannya ke seluruh permukaan
kulit dari leher hingga ujung kaki. Pengolesan permetrin ke seluruh tubuh
menimbulkan perasaan tidak nyaman karena rasa lengket terutama saat penderita
berkeringat. Pada penderita skabies yang mendapat permetrin, ditemukan efek
samping sekitar 1-10% namun efek samping tersebut tergolong ringan dan hilang
dengan sendirinya. Efek samping yang paling sering muncul adalah rasa terbakar
dan menyengat pada sekitar 10% penderita. Sekitar 7% penderita mengalami rasa
gatal setelah pengolesan krim permetrin19. Pada pasien, krim permetrin diulang 3
hari saat malam karena pertimbangan klinis pasien dengan infeksi yang parah.
Selain itu, obat-obatan lain yang dapat digunakan untuk mengobati skabies
antara lain yang pertama adalah Lindane 1% lotion. Obat tersebut dioleskan
selama 8 jam kemudian dibilas. Lindane tidak direkomendasikan pada anak
dibawah usia 2 tahun dan pada kehamilan dan laktasi. Selanjutnya, Krotoamiton
10% krim yang dioleskan selama 2 hari, kemudian diulang dalam 5 hari. Pilihan
lain adalah Sulfur presipitatum 5-10%, diaplikasikan selama 3 hari dan kemudian
dibilas, obat ini aman untuk kehamilan dan untuk anak dibawah usia 2 tahun.
Selanjutnya, Ivermectin 200mcg/kgBB, dosis tunggal, dapat diulang dalam 10-14
hari. Biasanya digunakan pada kasus resistensi terapi atau Norwegian skabies14.
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien perempuan usia 18 tahun dengan keluhan utama


gatal di area kepala, leher, dan badan. Pada pasien ini dilakukan anamnesis,
pemeriksaan status dermatologis, dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil
anamnesis didapatkan gatal di area kepala, terutama kulit kepala, belakang kepala,
leher, dan belakang telinga. Pasien sebelum ini belum pernah mengalami gejala
yang sama dan 3 hari sebelum ke puskesmas gatal menjalar diseluruh tubuh,
terutama saat mapam hari.. Dari hasil pemeriksaan fisik, status dermatologis
didapatkan skuama putih tipis dan nits dan tungau yang menempel pada batang
rambut. Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan nits pada batang rambut dan
sample tungau yang terlihat di mikroskop sehingga mengonfirmasi bahwa ini
adalah telur dan kutu Pediculus humanus capitis. Tetapi tidak dilakukan scrapping
untuk sample Sarcoptes scabiei pada pasien ini.
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pemberian krim Permethrin 1% 1
dd ue/minggu dan Permethrin 5% 1 dd ue (diulang dalam 3 hari saat malam, dan
pasien dianjurkan untuk menjaga hygiene, terutama perawatan kulit kepala,
rambut, dan badan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Putri K.E. 2014. Hubungan Perilaku Kebersihan Diri Dan Kepadatan Hunian
Terhadap Kejadian Pediculosis Capitis Di Pesantren Al Fataa, Bantul,
Yogyakarta. Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada.
2. Burkhart CN, Burkhart CG. Scabies, Other Mites, and Pediculosis. Dalam :
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor.
2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.Edisi ke-8.New
York:McGraw-Hill;h.2573-6.
3. Bohl, Brittany, Jessica Evetts, Kymberli McClain, Amanda Rosenauer, Emily
Stellitano, 2015. Clinical practice update: Pediculosis capitis.Continuing
Nurse Education, 41(5): 227-234.
4. Sinaga, R. M. 2013. Efektifitas Alat Pemanas Pelurus Rambut Dalam
Penanganan Pedikulosis Kapitis (Master's thesis)
5. Natadisastra. D & Ridad, A, 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC
6. Gulgun, Mustafa, Elcin Balci, Abdul baki Karaoglu, Oguzhan Babacan,Turker
Turker (2013). Pediculosis capitis: Prevalence and its associated factors in
primary school children living in rural and urban areas in kayseri turkey. Cent
Eur J Public Health, 21 (2): 104–108.
7. Saleh A.S.S., Linuwih S. 2013. Hubungan tingkat pengetahuan mengenai
pediculosis kapitis dengan karakteristik demografi santri pesantren X, Jakarta
Timur. 1(1): 53-57.
8. Anggraini A. 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Personal Hygiene
terhadap Kejadian Pedikulosis Kapitis pada Anak Asuh di Panti Asuhan Liga
Dakwah Sumatera Barat. Doctoral dissertation, Universitas Andalas.
9. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, dan Sungkar S. Parasitologi kedokteran
edisi keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
10. Audhah NA, Umniyati SR, dan Siswati AS. Scabies risk factor on students of
islamic boarding school (study at darul hijrah islamic boarding school, cindai
alus village, martapura subdistrict, banjar district, south kalimantan). J Buski.
2012;1(4):14- 22.
11. Aminah P, Sibero HT, dan Ratna MG. Hubungan tingkat pengetahuan dengan
kejadian skabies. J Majority. 2015;5(4):54- 59.
12. Ronny PH. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar H, Siti A, Editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. hlm.
122-125.
13. Insect Bites and Infestations. In : Freedberg IM at al, eds, Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine 8th 2012. USA: McGrawHill.
14. Burkhart CN, and Burkhart CG. 2012. Scabies, Other Mites, and Pediculosis,
Dalam: Goldsmith LA, Katz SI., Gilcherst BA, Paller As, Leffel DJ, Wolf K,
eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi kedelapan. New
York: Mc Graw Hil
15. Nutanson, I., Steen, C.J., Schwartz, R.A., and Janniger, C.K., 2008. Pediculus
humanus capitis: an update. Acta Dermatoven APA Vol 17 No 4.
16. Handoko, RP 2002. Scabies. Dalam: Djuanda Adhi, hamzah mochtar, aisah siti,
eds. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: balai penerbit fakultas
kedokteran universitas indonesia
17. Gustia, R dan Anas, E. 2018. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
skabies di wilayah kerja puskesmas lubuk buaya kota padang tahun 2015.
Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1), 51-58.
18. Leone PA. 2008. Pubic Lice and Scabies. Dalam: Holmes KK, Sparling PF,
Stamm WE,Piot P, Wasserheit JN, Corey L, et al, eds. Sexually Transmitted
Disease. Edisi Keempat. New York: Mc Graw Hill.
19. Sungkar, Saleha. 2016. Scabies: etiologi, patogenesis, pengobatan,
pemberantasan dan pencegahan. Jakarta: balai penerbit fakultas kedokteran
universitas indonesia

Anda mungkin juga menyukai