Oleh:
Erika Christanti 170070201011027
Khalifah Lummi Wewang 170070201011051
Linati Shabrina 170070201011060
Izdihar Rahmadinda 170070201011158
Supervisor Pembimbing:
dr. Arif Widiatmoko, Sp.KK, FINSDV
Pedikulosis kapitis atau kutu kepala adalah infestasi dari kulit kepala dan
rambut yang disebabkan oleh pediculosis humanus capitis. Pedikulosis kapitis
sering terdapat diruang umum, seperti bioskop, sekolah, dan di tempat banyak
orang yang saling bersentuhan. Penularan kutu kepala yang paling umum adalah
dari kepala ke kepala atau kontak langsung seperti melalui sisir dan bantal yang
dipakai bersama-sama14
Pasien yang dibahas pada kasus ini adalah perempuan 18 tahun,
merupakan mahasiswa yang tinggal di asrama UNISMA, yang berjumlah lima
orang dalam satu kamar. Hewan peliharaan (-). Pasien mengatakan hanya keramas
satu kali dalam seminggu. Mandi menggunakan shampoo dan sabun lifebuoy
dengan air dingin. Pasien tidak mengetahui apakah teman asramanya mengalami
hal yang sama atau tidak. Pasien dengan keluhan gatal di area kepala leher, dan
belakang telinga. Gatal dirasakan sejak satu bulan yang lalu. Namun, sesuai
dengan data epidemiologi dikatakan bahwa penyakit ini terjadi di seluruh dunia
dan sering menyerang anak-anak, terutama berusia usia sekolah, 3-11 tahun.
Menurut beberapa penelitian yang telah ada, anak perempuan lebih sering terkena
penyakit pediculosis kapitis. Hal ini dapat dihubungkan bahwa anak perempuan
hampir semuanya memiliki rambut yang lebih panjang daripada anak laki-laki.
Orang yang memiliki rambut panjang lebih sering terkena infestasi kutu kepala15
Pasien mengeluhkan gatal di area kepala, terutama kulit kepala, belakang
kepala, bagian leher dan belakang telinga, dirasakan sejak satu bulan yang lalu
dan semakin memberat. Dikatakan terdapat rambut rontok, kemerahan, luka, dan
nanah. Diketahui bahwa area predileksi dari pedikulosis kapitis adalah pada regio
oksipital dan retroaurikular. Meskipun diketahui pada beberapa pasien keluhan
dapat bersifat asimptomatis, sebagian besar keluhan berupa gatal, dan pada anak
sering terlihat menggaruk kepala merupakan salah satu tanda yang mengarahkan
pada diagnosis pedikulosis kapitis. Gatal pada pedikulosis disebabkan oleh karena
reaksi hipersensitivitas terhadap saliva dari kutu saat makan, dan bisa juga
dicetuskan oleh feses dari kutu tersebut14
Pada peemeriksaan fisik. Pada bagian kepala, dengan lokasi tersebar di
seluruh area kepala didapatkan skuama putih tipis, dan ditemukan nits dan tungau
menempel pada batang rambut, terdapat eritema dan ekskoriasi. Pada bagian
leher, didapatkan patch dan plak eritematosa, multiple, bentuk dan ukuran
bervariasi, batas tidak tegas, tepi ireguler. Ditutupi oleh krusta berwarna coklat
kehitaman, bentuk dan ukuran bervariasi, multple, batas tegas, tepi ireguler. Dan
pada seluruh tubuh ditemukan papul eritematosa, multiple, bentuk bulat ukuran
bervariasi, tepi ireguler, batas tegas, dengan ekskoriasi disekitarnya. Diketahui
gigitan dari kutu dapat menyebabkan macula eritematous dan papul, tetapi
pemeriksaan seringnya hanya menemukan eritema dan ekskoriasi saja. Ada
beberapa individu yang mengeluh dan menunjukkan tanda demam yang tidak
tinggi dan irritable14 Garukan pada kulit kepala dapat menyebabkan terjadinya
erosi, ekskoriasi dan infeksi sekunder berupa pus dan krusta. Bila terjadi infeksi
sekunder berat, rambut akan bergumpal akibat banyak nya pus dan krusta.
Keadaan ini disebut plicapolonica yang dapat ditumbuhi jamur kutu kepala adalah
penyebab utama penyakit pyoderma sekunder dikulit kepala diseluruh dunia15
Pada Pedikulosis kapitis sering ditemukan kutu dewasa meletakkan telur
di rambut kurang dari 5 mm dari kulit kepala, maka seiring bertumbuhnya rambut
kepala, telur yang semakin matang akan terletak lebih jauh dari pangkal rambut.
Telur terletak terutama di daerah oksipital kulit kepala dan retroaurikular. Warna
dari telur yang baru dikeluarkan adalah kuning kecoklatan dan biasanya terletak
proksimal (1 cm) dari kulit kepala.. Telur yang sudah lama/ infertil berwarna putih
dan jernih dan jaraknya semakin jauh dari kulit kepala, sebagai tanda bahwa
infeksi sudah tidak aktif dan telur sudah infertil. Untuk membantu diagnosis,
dapat menggunakan pemeriksaan lampu wood. Telur dan tungau akan
memberikan fluoresensi warna kuning-hijau. Namun untuk diagnosis pasti
ditemukan telur, nimfa imatur, dan kutu14
Pasien diberikan terapi berupa Permethrin 1% lotion untuk mencegah
infeksi dan mempercepat penyembuhan, pemberian obat diberi 1 kali seminggu di
kepala. Diketahui pengobatan untuk pedikulosis kapitis adalah permethrin 1%
krim diberikan ke kulit kepala dan rambut. Awalnya rambut dicuci dengan sampo
nonconditioner kemudian dikeringkan dengan handuk. Lalu diberikan Permethrin
1% cream rinse selama 10 menit kemudian dibilas. Hal ini diperkirakan dapat
membasmi sekitar 20%-30% dari telur. Tetapi, disarankan agar pemakaiannya
diulang apabila kutu masih terlihat pada 7-10 hari setelahnya. Dapat juga
diberikan beberapa regimen terapi lainnya seperti:
1. Krotamiton 10% dalam bentuk losion digunakan untuk terapi skabies, dan
beberapa penelitian menunjukkan krotamiton 10% juga efektif untuk kutu kepala
dimana diberikan ke kulit kepala dan didiamkan selama 24 jam sebelum dibilas.
Aman untuk anak, dewasa, dan wanita hamil.
2. Ivermectin adalah suatu agen antiparasitik yang efektif untuk kutu kepala.
Ivermectin diberikan dengan dosis tunggal secara oral 200 mikrogram/oral dengan
dosis pemberian 2 kali setelah 7-10 hari. Ivermectin tidak boleh diberikan ke anak
yang berat badannya kurang dari 15 kg. Penggunaaan Ivermectine oral belum
diakui oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai pedikulosid.
3. Malathion organophosphate adalah suatu penghambat cholinesterase dan telah
digunakan selama 20 tahun untuk pengobatan kutu kepala9. Malathion 0,5% atau
1% yang digunakan dalam bentuk losio atau spray. Caranya: malam sebelum tidur
rambut dicuci dengan sabun kemudian dipakai losio malathion, lalu kepala ditutup
dengan kain. Keesokan harinya rambut dicuci lagi dengan sabun lalu disisir
dengan sisir yang halus dan rapat (serit). Pengobatan ini dapat diulang lagi
seminggu kemudian, jika masih terdapat kutu atau telur.
4. Pyrethrin diperoleh dari suatu sari alami bunga chrysanthemum. Pyrethrin yang
dikombinasi dengan piperonyl butoxide adalah neurotoksik untuk kutu tetapi
kurang toksik terhadap manusia. Produk ini seperti sampo dimana diberikan pada
rambut yang kering dan didiamkan selama 10 menit sebelum dibilas. Penggunaan
dapat diulang 7-10 hari kemudian untuk membasmi kutu kepala yang baru.
5. Lindane (1%)
adalah organochloride yang mempunyai efek toksik terhadap
CNS (Central Nervous System) apabila penggunaannya tidak benar.
Penggunaannya seperti sampo dan dapat didiamkan kurang lebih selama 10 menit
dengan pemakaian yang berulang dalam 7-10 hari. Dalam beberapa tahun kasus
resisten pernah dilaporkan diseluruh dunia. Oleh karena adanya efek toksik
terhadap CNS yang dapat menyebabkan serangan dan kematian,sehingga
penggunaan lindane terhadap pasien harus dibatasi.
6. Trimethoprim-sulfamethoxazole oral. Antibiotik ini biasa juga disebut
cotrimoxazole digunakan dalam dosis otitis media, sama efektif pemberiannya
untuk kutu kepala. Antibiotik ini dapat membasmi simbiosis bakteri dalam gerak
kutu atau berhubungan langsung dengan efek toksik dari kutu. Penggunaan
Trimethoprim-sulfamethoxazole belum diakui sebagai pedikulosid oleh FDA14
1. Putri K.E. 2014. Hubungan Perilaku Kebersihan Diri Dan Kepadatan Hunian
Terhadap Kejadian Pediculosis Capitis Di Pesantren Al Fataa, Bantul,
Yogyakarta. Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada.
2. Burkhart CN, Burkhart CG. Scabies, Other Mites, and Pediculosis. Dalam :
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor.
2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.Edisi ke-8.New
York:McGraw-Hill;h.2573-6.
3. Bohl, Brittany, Jessica Evetts, Kymberli McClain, Amanda Rosenauer, Emily
Stellitano, 2015. Clinical practice update: Pediculosis capitis.Continuing
Nurse Education, 41(5): 227-234.
4. Sinaga, R. M. 2013. Efektifitas Alat Pemanas Pelurus Rambut Dalam
Penanganan Pedikulosis Kapitis (Master's thesis)
5. Natadisastra. D & Ridad, A, 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC
6. Gulgun, Mustafa, Elcin Balci, Abdul baki Karaoglu, Oguzhan Babacan,Turker
Turker (2013). Pediculosis capitis: Prevalence and its associated factors in
primary school children living in rural and urban areas in kayseri turkey. Cent
Eur J Public Health, 21 (2): 104–108.
7. Saleh A.S.S., Linuwih S. 2013. Hubungan tingkat pengetahuan mengenai
pediculosis kapitis dengan karakteristik demografi santri pesantren X, Jakarta
Timur. 1(1): 53-57.
8. Anggraini A. 2016. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Personal Hygiene
terhadap Kejadian Pedikulosis Kapitis pada Anak Asuh di Panti Asuhan Liga
Dakwah Sumatera Barat. Doctoral dissertation, Universitas Andalas.
9. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, dan Sungkar S. Parasitologi kedokteran
edisi keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
10. Audhah NA, Umniyati SR, dan Siswati AS. Scabies risk factor on students of
islamic boarding school (study at darul hijrah islamic boarding school, cindai
alus village, martapura subdistrict, banjar district, south kalimantan). J Buski.
2012;1(4):14- 22.
11. Aminah P, Sibero HT, dan Ratna MG. Hubungan tingkat pengetahuan dengan
kejadian skabies. J Majority. 2015;5(4):54- 59.
12. Ronny PH. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar H, Siti A, Editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. hlm.
122-125.
13. Insect Bites and Infestations. In : Freedberg IM at al, eds, Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine 8th 2012. USA: McGrawHill.
14. Burkhart CN, and Burkhart CG. 2012. Scabies, Other Mites, and Pediculosis,
Dalam: Goldsmith LA, Katz SI., Gilcherst BA, Paller As, Leffel DJ, Wolf K,
eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi kedelapan. New
York: Mc Graw Hil
15. Nutanson, I., Steen, C.J., Schwartz, R.A., and Janniger, C.K., 2008. Pediculus
humanus capitis: an update. Acta Dermatoven APA Vol 17 No 4.
16. Handoko, RP 2002. Scabies. Dalam: Djuanda Adhi, hamzah mochtar, aisah siti,
eds. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: balai penerbit fakultas
kedokteran universitas indonesia
17. Gustia, R dan Anas, E. 2018. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
skabies di wilayah kerja puskesmas lubuk buaya kota padang tahun 2015.
Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1), 51-58.
18. Leone PA. 2008. Pubic Lice and Scabies. Dalam: Holmes KK, Sparling PF,
Stamm WE,Piot P, Wasserheit JN, Corey L, et al, eds. Sexually Transmitted
Disease. Edisi Keempat. New York: Mc Graw Hill.
19. Sungkar, Saleha. 2016. Scabies: etiologi, patogenesis, pengobatan,
pemberantasan dan pencegahan. Jakarta: balai penerbit fakultas kedokteran
universitas indonesia