Anda di halaman 1dari 3

FILSAFAT ISLAM AL ISYRAQIYYAH

SUHRAWARDI

PENGERTIAN TEOSOFI
Secara etimologis kata teosofi berasal dari kata theosophia, gabungan dari kata theos yang berarti Tuhan dan
shophia yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom. Jadi secara literal teosofi berarti pengetahuan atau
keahlian dalam masalah-masalah ketuhanan.

Dalam kaitan dengan bidang kajiannya, ada term lain yang mirip dengan teosofi, yaitu teologi. Kedua istilah ini
mengacu pada pembahasan terhadap masalah-masalah ketuhanan, perbedaannya terletak pada
operasionalnya. Di dalam mengkaji masalah ketuhanan, teologi menggunakan pendekatan spekulatif-intelektual
dalam menginterpretasikan hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara teosofi lebih
menukik pada inti permasalahan dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang paling dalam. Orang yang
ahli dalam bidang teologi disebut teolog sementara orang yang ahli teosofi dinamakan teosofos.
Dalam pemahaman Suhrawardi, pengertian teosofos menjadi lebih luas. Menurutnya teosofos adalah orang
yang ahli dalam dua hikmah sekaligus, yakni hikmah nazariyyah dan hikmah ‘amaliyyah. Adapun yang dimaksud
dengan hikmah nazariyyah ialah filsafat sementara hikmah ‘amaliyyah ialah tasawuf.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa teosofi adalah pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan
yang diperoleh melalui pemikiran filosofis-sufistis sekaligus, sedangkan teosofos adalah orang yang mampu
mengawinkan latihan intelektual teoritis melalui filsafat dengan penyucian jiwa melalui tasawuf dalam mencapai
pemahaman tersebut.

Pemikiran teosofi Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi, ishraqiyyah) yang lahir sebagai
perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Ishraqi sendiri sebagai simbol geografis mengandung makna timur
sebagai dunia cahaya. Sementara mashriq yang berarti tempat matahari terbit merefleksikan sumber cahaya.

Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini mengingatkan kita kepada sebuah firman Allah dalam
Surat al-Nu>r ayat 35 berikut ini :
Artinya : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya
(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-
perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

PENGARUH SUHRAWARDI DALAM DUNIA FILSAFAT ISLAM

Dari aspek geografis, pengaruh pemikiran Suhrawardi berkembang di Persia lalu menyebar ke India-Pakistan,
Syria, Anatolia, dan bahkan ke Eropa. Di Persia perkembangan pengaruh pemikiran Suhrawardi ini didukung
oleh beberapa faktor antara lain : faktor tanah kelahiran, faktor historis dan kultur, serta dukungan politis
penguasa Safawi terhadap pengembangan intelektual di Persia.
Di India penyebaran pengaruh pemikiran Suhrawardi berawal dari penerjemahan karya-karyanya, terutama
karya monumentalnya Hikmah al-Ishraq yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Sanskrit. Penyebaran ini
juga ditopang oleh perhatian penguasa, seperti Sultan Muhammad ibn Tughlug (1325 M), yang besar terhadap
pengembangan intelektual di India. Perhatian itu tidak hanya terbatas pada penciptaan suasana yang kondusif
tetapi juga penyediaan anggaran untuk fasilitas pendidikan seperti asrama dan perpustakaan yang banyak berisi
karya-karya filsafat terutama dari Ibn Sina, Nas}ir al-Din al-T{u>si, dan Qut}b al-Din al-Shirazi. Sebagaimana
diketahui bahwa dua tokoh terakhir ini adalah pengikut Suhrawardi. Berdasarkan fakta ini maka dapat
diasumsikan bahwa doktrin-doktrin hasil pemikiran Suhrawardi telah mulai dikaji oleh para ilmuan di India.
Berbeda dengan kawasan-kawasan yang telah disebutkan di atas, di Eropa, pemikiran Suhrawardi pada
mulanya kurang mendapat perhatian yang serius, tidak seperti filosof muslim lainnya seperti Ibn Sina, al-Farabi,
dan Ibn Rushd yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Karya-karya
Suhrawardi tidak diterjemahkan sehingga mereka tidak mengenal dengan baik pemikiran teosofis Suhrawardi.
Baru pada abad XX sejumlah sarjana Barat seperti Carra de Vaux, Max Horten, Lois Massignon, Otto Spies, dan
Henry Corbin mulai melirik karya-karya Suhrawardi yang mereka anggap sebagai tokoh penting pasca Ibn Sina.
berbagai subyek dan masalah filsafat yang berbeda dengan pandangan dan pemikiran filsafat peripatetik. Di
antaranya penggunaan istilah cahaya sebagai fokus Ilahiyyatnya, penolakannya terhadap teori bahwa jisim
tersusun dari materi dan forma, penolakannya dalam mendefinisikan sesuatu dengan menggunakan esensialitas
sesuatu, pandangannya tentang ke-non hakiki-an wujud, dan berbagai pandangannya yang lain yang berbeda
dengan maktab peripatetik.

Di antara subyek yang paling penting yang dibahas dalam bagian ini adalah epistemologi iluminasi yang dikenal
dengan ilmu hudhuri, pensucian jiwa, zuhud, dan riyadah. Suhrawardi, yang membahas subyek ilmu hudhuri
dalam banyak tempat dari tulisannya, mengkaji tentang bagaimana jiwa mendapatkan ilmu terhadap dzatnya
dan bagaimana kita dapat membuktikan bahwa ilmu ini secara kualitas didapatkan secara langsung dan tanpa
perantara sama sekali. Di akhir kitab ini Suhrawardi mengingatkan bahwa untuk mendapatkan ilmu ini menuntut
kezuhudan.

Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di
antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles (al-
Taftazânî, 1983:195)
.
Sikap kompromistik Suhrawardî terhadap agama-agama lain menimbulkan kritik keras di kalangan pemikir
muslim. Bahkan sebagian di antaranya menuduh bahwa Suhrawardî anti Islam. Penilaian semacam ini tentu saja
salah kaprah. Di mata Suhrawardî, agama-agama lain bukanlah musuh yang harus dijauhi atau dilawan, tetapi
adalah teman yang harus didekati untuk diajak berdialog. Agama-agama lain itu tidak merusak dan
menyimpangkan Islam. Tetapi sebaliknya, agama-agama lain itu dapat memperkaya pemahaman tentang Islam.
Di sinilah terletak universalitas Islam karena Islam sangat luas dan mencakup agama-agama lain dalam
pengertian ajaran-ajaran esoteriknya. Kebijaksanaan perenial dalam agama-agama lain adalah kebijaksanaan
perenial dalam Islam. Oleh karena itu, Islam dapat melakukan dialog yang sejati dengan agama-agama lain
tanpa kehilangan identitas dirinya.

Di samping berhasil melakukan dialog dengan berbagai agama, Suhrawardî pun berhasil mengadakan dialog
dengan berbagai pemikiran filsafat, khususnya filsafat peripatetik yang banyak diikuti oleh para filosof muslim.
Model dialog yang dirancang Suhrawardî adalah berupa kritik sistemik terhadap sejumlah pemikiran filsafat
peripatetik (Nashr, 1968:329)

Dalam kajian tentang sumber ilmu pengetahuan, Suhrawardî membaginya ke dalam pengetahuan hushûlî dan
hudhûrî. Pengetahuan hushûlî terbagi ke dalam dua jenis sarana untuk mencapainya. Pertama diperoleh dengan
memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Melalui indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap
dan menggambarkan segala objek indrawi sesuai dengan justifikasi indrawi yaitu melihat, mendengar, meraba,
mencium dan merasa. Kedua diperoleh melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi
segala objek rasio dalam bentuk spritual (ma’qûlat) secara silogisme yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang
diketahui kepada hal-hal yang belum diketahui (Yazdî, 1994:9).
Sedangkan pengetahuan hudhûrî adalah pengetahuan dengan kehadiran (observasi ruhani) yaitu pengetahuan
yang bersumber langsung dari pemberi pengetahuan tertinggi berdasarkan mukâsyafat (pengungkapan tabir)
dan iluminasi. Konsep ilmu hudhûrî ini dikembangkan Suhrawardî dengan penekanan pada aspek ketekunan
dalam mujâhadat, riyâdhat dan ‘ibâdat daripada memaksimalkan fungsi rasio, dengan kata lain ilmu hudhûrî
lebih menekankan olah dzikir dari pada olah pikir (Ziai, 1990: 17).

Uraian yang dipaparkan di atas menunjukkan beberapa kelebihan Suhrawardî dibandingkan dengan para filosof
teosofi muslim lainnya. Harmonisasi filsafat lintas agama dan lintas aliran pemikiran yang dipeloporinya
menunjukkan sikap objektif dan bebas nilai yang patut dicontoh oleh setiap pemikir. Meskipun sarat dengan
kritikan dan hujatan, pemikiran Suhrawardî tetap perlu untuk dikontekstualisasikan terutama untuk menyejukkan
suasana keberagamaan manusia di alam modern saat ini. Di samping itu, rekonstruksi terhadap pemikiran
Suhrawardî dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkuat bangunan pemikiran metafisika filsafat Barat
yang dinilai sedang mengalami krisis spritualitas.

CATATAN:
Teori emanasi Plotinus diawali dengan pemikiran yang menyatakan bahwa semua makhluk yang ada, bersama-
sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki terdapat “Yang Satu” (to
hen) yaitu Allah. Dari “Yang Satu” dikeluarkan akal budi (nus). Akal budi merupakan suatu intelek yang
memikirkan dirinya sendiri. Jadi, akal budi tidak satu lagi karena di sini terdapat dualitas yaitu pemikiran dan
yang dipikirkan. Dari akal budi itu kemudian muncul jiwa dunia (psykhe). Akhirnya, dari jiwa dunia dikeluarkan
materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan jagat raya (Bertens, 1983:19).
Teosofi adalah modifikasi antara latihan intelektual teoritis melalui filsafat dan pemurnian hati melalui sufisme

Konsep epistemologi Hudhuri ini dimulainya dengan menjelaskan hakikat cahaya. Menurut Suhrawardi, cahaya
adalah sesuatu hal yang tak perlu dijelaskan atau diterangi lagi karena ia sudah terang dengan sendirinya
Selanjutnya cahaya ini terbagi pada dua jenis yaitu pertama cahaya murni atau Nur Al-Mujarrad yang merupakan
cahaya yang berdiri sendiri dan cahaya temaram atau Nur Al-Aridh yang merupakan cahaya yang tidak mandiri.

Suhrawardi menggunakan kata Nur al-Anwar untuk meyebut Tuhan, dengan konsep al-Isyraq-nya, Suhrawardî
menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya dan gradasi sinar dari
sumber cahaya berakhir pada kegelapan. Cahaya merupakan essensi yang paling nyata, dan cahaya yang
pertama tidaklah memerlukan penyebab laur selain dirinya sendiri, dalam hal ini Suhrawardi mengikuti pemikiran
Ibn Sina tentang Wajib al-Wujud. Dalam hal ini Suhrawardi menegaskan bahwa Wajib al-Wujud mestilah satu
dan itulah Nur al-Anwar. Disamping itu juga menurut Suhrawardi tidak mungkin Nur al-Anwar memiliki sekutu
karena mustahil ada dua cahaya utama secara bersamaan

Suhrawardi menegaskan bahwa Tuhan itu mesti satu baik sifat maupun dzat-Nya, karena itu Tuhan tidak boleh
memiliki banyak sifat karena keragaman sifat dapat memberikan konsekwensi logis pada dzat-Nya yaitu
kergaman dzat-Nya. Selain itu Suhrawardi menegaskan bahwa bahwa Tuhan tidak dapat diliputi aksiden
ataupun substansi karena hal itu akan mengurangi keesaan-Nya.

Konsep cahaya yang dibangun oleh Suhrawardi juga disinyalir terpengaruh oleh ajaran Zoroaster akan tetapi
memiliki perbadaan dalam menilai hubungan antara kegelapan dan cahaya. Zoroaster melihat bahwa hubungan
keduanya adalah hubungan perang yang abadi sementara bagi Suhrawardi hubungan antara cahaya dan
kegelapan memiliki garis demarkasi yang jelas. Menurutnya konsep cahaya dan gelap merupakan runtutan dari
intensitas pancaran cahaya artinya terjadinya kegelapan karena semakin jauh dari cahaya.

Anda mungkin juga menyukai