PJ Mata Kuliah:
Mufti Wirawan S.Psi., M.K.K.K.
Kelompok 3:
Akmalina Fadhilah Yahya 1806206366
Annisa Tria Agustina 1806206315
Halimatuzzahra 1806206220
Mustofa Abduh 1806206422
Riska Oktaviana 1806206510
Suci Stephani KH 1806143125
Kami dengan ini menyatakan bahwa makalah yang berjudul “Human Error Prevention
Approaches” dibuat secara jujur, bebas plagiarisme, dan mengikuti kaidah Etika Penulisan
Ilmiah Universitas Indonesia.
Apabila diantara kami tidak menandatangani surat pernyataan ini berarti kami tidak
berkontribusi dalam pembuatan makalah serta bersedia untuk menerima sanksi yang sesuai.
Halimatuzzahra 1806206220
DAFTAR ISI
1
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME 1
DAFTAR ISI 2
DAFTAR GAMBAR 3
DAFTAR TABEL 4
ISI 5
Traditional Engineering Approach 5
Tujuan Penggunaan Traditional Engineering Approach 5
Konsep Traditional Engineering Approach 5
Penerapan Traditional Engineering Approach 5
Kekurangan Penerapan Traditional Engineering Approach 6
Human Factors Engineering Approach 7
Faktor - Faktor Human Factors Engineering Approach 7
Konsep Human Factors Engineering Approach 7
Penerapan Human Factors Engineering Approach 10
Cognitive Approach 13
Sejarah dan Pencipta Cognitive Approach 13
Konsep Cognitive Approach 14
Manfaat Cognitive Approach 14
Socio-Technical Approach 16
Sejarah dan Pencipta Socio-Technical Approach 16
Konsep Socio-Technical Approach 18
Penerapan Socio-Technical Approach 18
DAFTAR PUSTAKA 22
2
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.1 1
3
DAFTAR TABEL
4
ISI
1. Traditional Engineering Approach
Salah satu asal mula pandangan penyebab kesalahan dan kecelakaan ini
adalah theory of accident pronenes yang mengatakan bahwa sejumlah kecil
individu bertanggung jawab atas sebagian besar kecelakaan. Sejumlah statistik
penelitian bertentangan dengan teori tersebut, namun masih banyak yang
mempercayai terutama traditional industries yang mempercayai bahwa sejumlah kecil
individu menyebabkan sebagian besar kecelakaan.
5
1.3. Penerapan Traditional Engineering Approach
Beberapa strategi untuk mencegah kecelakaan menurut pandangan ini
adalah dengan melakukan kontrol terhadap unsafe conditions. Caranya dengan
mengeliminasi hazard tersebut, baik langsung dari sumbernya atau dengan
menggunakan alat pelindung diri. Adapun untuk mengeliminasi unsafe acts, hal
yang dapat dilakukan adalah memotivasi pekerja untuk mengubah perilaku
mereka--dengan asumsi, unsafe behavior terjadi karena kurangnya pengetahuan
atau melupakan cara yang benar untuk melakukan sesuatu.
Dalam prakteknya, pencegahan human error menurut pendekatan
tradisional dapat dilakukan dengan cara.
a. Safety Campaign
Adalah sebuah program yang memiliki tujuan untuk
mempengaruhi orang lain agar bertindak lebih selamat. Caranya adalah
dengan memberikan paparan informasi serta reinforcement untuk
pelatihan keselamatan. Bentuknya dapat beragam, bisa berupa poster, film,
role play, dan lain-lain. Adapun dari untuk menilai keefektifannya dalam
segi mengubah perilaku seseorang, safety campaign dapat dinilai dengan
menggunakan indikator performa (performance indicator).
b. Disciplinary Actions
Merupakan sebuah cara untuk mempengaruhi perilaku seseorang
melalui punishment yang akan diberikan ketika terjadi kesalahan. Namun,
cara tersebut terbukti tidak memiliki efek yang signifikan dalam mencegah
kesalahan yang sama terulang kembali. Misalnya, seperti penerapan
hukuman untuk pekerja yang tidak menggunakan PPE hanya akan efektif
selama empat minggu. Setelah itu, pekerja tersebut akan memiliki mindset
bahwa memakai PPE atas dasar takut terkena denda/sanksi, bukan karena
sadar hal tersebut perlu dilakukan. Ini menunjukkan bahwa disciplinary
action justru membentuk rasa takut dan menghambat laju informasi atau
pemahaman mengenai underlying causes dari suatu kecelakaan.
c. Safety Management System Audits
6
Merupakan konsep yang telah memperoleh validitas lumayan
tinggi untuk mengidentifikasi permasalahan dan bahaya yang memerlukan
strategi untuk mengurangi tingkat error di perusahaan. Cara ini meliputi
monitoring tempat kerja yang mungkin akan membuka jalan komunikasi
yang lebih baik di antara pekerja serta pengukuran. Melalui cara ini juga,
tempat kerja jadi memiliki komitmen yang lebih baik dalam manajemen
keselamatan. Namun, audit ini dapat memicu terjadinya 'cover up' atau
menutup-nutupi masalah karena ingin mendapatkan hasil audit yang
bagus.
d. Training
Selain dilakukannya safety campaign, safety training juga
memegang peran penting dalam menurunkan angka human failure. Suatu
training harus diarahkan kepada underlying causes dari sebuah error dan
memperhatikan desain pekerjaan, peralatan, dan faktor lainnya.
1.4. Kekurangan Penerapan Traditional Engineering Approach
Pendekatan metode ini menghasilkan pemikiran bahwa setiap kesalahan
yang dilakukan oleh pekerja baik yang terjadi karena disengaja maupun di luar
kendali mereka merupakan hal yang patut untuk disalahkan. Melihat penyebab
utama kesalahan dan kecelakaan disebabkan oleh faktor individu ini
menyebabkan sistem pengumpulan data kecelakaan berfokus pada karakteristik
individu yang menyebabkan kecelakaan sehingga tidak ada pertimbangan
penyebab alternatif dari masalah yang ada, seperti prosedur yang tidak memadai,
pelatihan atau desain peralatan serta desain tugas yang tidak memadai, kegagalan
komunikasi, dan tidak mendukungnya penyelidikan akar penyebab yang mungkin
merupakan penyebab umum dari banyak kecelakaan yang terjadi.
7
1. Tempat kerja dan desain pekerjaan untuk mengakomodasi persyaratan
pekerjaan para pekerja dengan karakteristik fisik dan mental yang berbeda
2. Desain antarmuka manusia-mesin seperti panel kontrol untuk memastikan
bahwa informasi proses dapat segera diakses dan diinterpretasikan dan
bahwa tindakan kontrol yang sesuai dapat dilakukan
3. Desain lingkungan fisik (panas, bising, getaran, pencahayaan), untuk
meminimalkan efek fisik dan psikologis negatif dari kondisi yang tidak
optimal
4. Mengoptimalkan beban kerja mental dan fisik pekerja
2.2. Konsep Human Factors Engineering Approach
8
sumber:https://iea.cc/what-is-ergonomics/
9
sumber:https://iea.cc/what-is-ergonomics/
sumber:https://iea.cc/what-is-ergonomics/
10
2.3. Penerapan Human Factors Engineering Approach
Namun, persyaratan lain untuk mengikuti proses standar desain tertentu, dapat
digunakan jika diminta. Sedangkan proses desain umum untuk proyek rekayasa
sosioteknik dapat dijelaskan sebagai berikut:
11
Gambar 2.3.2 Proses Design Umum Human factor engineering
12
Gambar 2.3.3: The Human-Machine Interface (adapted from Wickens,
1984)
13
memutuskan tindakan yang sesuai. Pengambilan keputusan akan melibatkan
perhitungan, pengalaman masa lalu, dan tuntutan lain pada memori jangka panjang.
Error akan muncul dari pemrosesan informasi yang berlebihan pada individu.
3) Tindakan Kontrol
Tahap terakhir dari pemrosesan informasi yaitu tindakan atau respons kontrol.
Kompleksitas proses pemilihan tindakan dipengaruhi oleh sejumlah strategi kontrol
yang dipilih pekerja, karakteristik fisik dari kontrol, dan kemiripan dari tindakan
kontrol.
3. Cognitive Approach
3.1. Sejarah dan Pencipta Cognitive Approach
14
Munculnya psychology cognitive seringkali dikatakan berasal dari karya
George Miller (1956) "The Magical Number 7 Plus or Minus 2." Pada tahun
1960, Miller mendirikan Pusat Kajian Kognitif di Harvard dengan ahli
perkembangan kognitif terkenal, Jerome Bruner. Kemudian Ulric Neisser (1967)
menerbitkan "Cognitive Psychology", yang menandai awal resmi dari pendekatan
kognitif. Diikuti oleh model proses memori Model Multi Store Atkinson &
Shiffrin (1968). Hingga pendekatan kognitif sangat berpengaruh di semua bidang
psikologi (misalnya, biologis, sosial, Behaviorisme, perkembangan, dll.).
Konsep ini meliputi analisis tugas kognitif, yang berfokus pada kegagalan
pemrosesan informasi, dan penggunaan sistem dari berbagai tingkat kecanggihan
untuk membantu penanganan situasi abnormal. Pendekatan kognitif merupakan
pendekatan yang paling komprehensif dalam hal mengevaluasi penyebab
kesalahan. Hal ini memiliki relevansi khusus dengan menganalisis penyebab
kesalahan berulang untuk dapat memprediksi kesalahan tertentu yang mungkin
memiliki konsekuensi sebagai analisis keselamatan.
15
melihat faktor mental yang mendasarinya. Jadi, diperlukan Cognitive
Approach untuk mengklasifikasikan kesalahan berdasarkan penyebab
yang mendasari secara sistematis.
3.2.2. Klasifikasi Skill, Rule, and Knowledge Based
Skill Based mengacu pada pelaksanaan yang lancar dari tindakan
yang sangat terlatih, sehingga sudah bekerja tanpa sadar. Rule Based
mengacu pada peraturan yang telah diberitahu serta pelatihan formal. Serta
Knowledge Based mengacu pada pelaksanaan menjalankan tugas dengan
cara yang hampir sepenuhnya sadar pekerja harus mengerahkan upaya
mental yang cukup untuk menilai situasinya, dan tanggapannya
kemungkinan besar akan lambat.
3.2.3. The Generic Error Modeling System (GEMS)
GEMS dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana peralihan
terjadi antara berbagai jenis pemrosesan informasi (Skill, Rule, and
Knowledge) dalam tugas-tugas. Contohnya, pekerja proses yang
memantau panel kontrol melakukan serangkaian operasi rutin seperti
membuka dan menutup katup akan menggunakan Skill Based. jika terjadi
sesuatu yang aneh maka pekerja akan memasuki tingkat Rule Based untuk
pengumpulan informasi dari berbagai sumber seperti dial, perekam grafik,
dll. Jika masalah belum selesai dengan mencari dari aturan-aturan yang
ada maka pekerja memasuki tahap Knowledge Based memecahkan
masalah yang ada dengan keilmuan/pengetahuan yang dimiliki.
3.2.4. Klasifikasi Error dari Perspektif Kognitif
3.2.4.1. Slips and Mistakes
Slip diartikan sebagai kesalahan dimana maksudnya benar,
tetapi kegagalan terjadi saat melaksanakan kegiatan yang
diperlukan. Sebaliknya, kesalahan muncul dari niat yang salah,
yang mengarah pada urutan tindakan yang salah, meskipun ini
mungkin cukup konsisten dengan niat yang salah. Niat yang salah
mungkin timbul dari kurangnya pengetahuan atau diagnosis yang
tidak tepat.
16
3.2.4.2. Rule-Based Mistakes
Dalam mode berbasis aturan, kesalahan niat dapat muncul
jika aturan diagnostik yang digunakan salah. Misalnya, seorang
pekerja yang memiliki banyak pengalaman dalam mengoperasikan
reaktor batch mungkin telah mempelajari aturan diagnostik yang
tidak sesuai untuk operasi proses yang berkelanjutan.
3.2.4.3. Knowledge-Based Mistakes
Dengan adanya tuntutan pada pekerjaan, tidak
mengherankan bahwa manusia tidak bekerja dengan baik dalam
kondisi stres tinggi, situasi asing di mana mereka diharuskan untuk
"berpikir sendiri" tanpa adanya aturan, rutinitas, dan prosedur
untuk menangani situasi tersebut.
3.2.4.4. Error Recovery
Dalam mode berbasis keterampilan, pemulihan biasanya
cepat dan efisien, karena individu akan menyadari hasil yang
diharapkan dari tindakannya. Oleh karena itu, akan mendapatkan
umpan balik awal berkaitan dengan kesalahan apapun yang telah
terjadi yang mungkin mencegah hasil ini. tercapai.
3.2.5. The Stepladder Model
Model GEMS didasarkan pada model kinerja manusia yang lebih
rinci yang dikenal sebagai The Stepladder Model. Pada model ini
digambarkan berbagai tahapan yang bisa dilalui seorang pekerja saat
menangani gangguan proses.
17
Gambar 3.2.1 The Stepladder Model
Sumber:Dekker, S. (2006) The Field Guide to Understanding Human
Error. Edited by Ashgate. London: CRC Press.
Panah yang lebih ringan mewakili jalan pintas yang
menghilangkan tahapan tertentu dalam rantai pemrosesan informasi. Garis
putus-putus dalam diagram menunjukkan berbagai jalur umpan balik yang
ada untuk memungkinkan individu mengidentifikasi jika tahap tertentu
dari rantai pemrosesan dijalankan dengan benar. Putaran umpan balik
digunakan untuk mengetahui apakah berhasil atau tidaknya suatu rencana,
serta menunjukkan peluang untuk koreksi kesalahaan.
18
keterampilan sebagian besar akan dijalankan secara otomatis ketika isyarat
yang tepat untuk tindakan diterima. Dengan demikian, bentuk bantuan
kerja yang paling tepat kemungkinan besar berupa daftar periksa
sederhana yang menetapkan titik awal dari setiap urutan tindakan dengan
kemungkinan pemeriksaan khusus untuk memverifikasi bahwa setiap
aktivitas telah dilakukan dengan benar.
4. Socio-Technical Approach
4.1. Sejarah dan Pencipta Socio-Technical Approach
19
faktor teknis di dalam sistem organisasi. Hasil dari pendekatan ini adalah
melahirkan pemahaman yang lebih dalam bagaimana faktor manusia, sosial, dan
organisasi saling mempengaruhi suatu pekerjaan dan sistem teknisnya (Carayon
et al., 2015). Hal tersebut dapat diaplikasikan ke dalam isu technical engineering
dan interaksi personal dengan technical system itu sendiri. Tujuannya adalah
menghasilkan kondisi ‘win-win-win-win’ di mana manusia lebih berkomitmen,
teknologi beroperasi mendekati potensinya dan organisasi berkinerja lebih baik
secara keseluruhan sambil lebih siap beradaptasi dengan perubahan di
lingkungannya (Pasmore et al., 2019).
Metode ini bermula dari ketertarikan Eric Trist dan rekan kerjanya dari
Tavistoc Institute for Human Relations, Britania Raya, mengenai riset bidang
social science yang mengaplikasikan penelitian ‘action research’ Lewin’s yang
menyinggung masalah organisasi (Pasmore et al., 2019).
Dalam pencarian mereka untuk lokasi penelitian, Ken Bamforth, mantan
eksekutif industri batubara yang telah bergabung dengan staf Tavistock, membuat
Trist sadar akan tantangan yang terkait dengan penerapan teknologi baru untuk
meningkatkan produksi batubara pascaperang. Sebelum tahun 1950-an, teknologi
memang mulai diterapkan di industri-industri dan industri batubara merupakan
salah satunya.
Setelah melakukan wawancara lebih dalam dengan pekerja terkait,
beberapa di antaranya mengeluhkan bahwa mengoperasikan teknologi tersebut
sesuai dengan apa yang diinstruksikan para insinyur (yang kebanyakan tidak
pernah bekerja sebagai penambang batu bara) adalah sesuatu yang sangat tidak
memungkinkan untuk dilakukan karena kondisi underground yang ekstrim dan
tidak mudah ditebak; menghasilkan masalah keselamatan lain. Sementara itu,
manajemen mengatakan bahwa masalahnya terletak pada para pekerja yang
enggan mematuhi peraturan dalam mengoperasikan teknologi baru.
Melalui penelitian tersebut, Eric Trist menemukan bahwa setiap tambang
batu bara memberikan respons yang berbeda atas pemasangan teknologi baru.
Pertambangan dengan manajemen yang berpikir bahwa kesalahan terdapat pada
pekerja memiliki angka kematian yang lebih tinggi dan angka produktivitas yang
20
lebih rendah daripada pertambangan yang berpikir sebaliknya (Pasmore et al.,
2019). Hal ini menunjukkan bahwa organisasi memiliki pilihan mengenai
bagaimana mereka mengatur pekerjaan dan technical system di tempat kerjanya.
Namun, sayangnya, pihak British Coal Board tidak memberikan izin untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut di tempat tersebut. Oleh sebab itu, Trist
berpindah dan kemudian bergabung dengan Fred Emery untuk melanjutkan
penemuannya mengenai socio-technical system di Norwegia dan lahirlah prinsip-
prinsip classic socio-technical system design. Prinsip tersebut meliputi:
wholeness, teams, process control, self-direction, multi-skilling, discretion, joint-
optimization, adaptation, meaning, dan incompletion.
Setelah itu, tepatnya pada tahun 1970-an, metode ini semakin dikenal dan
penelitiannya berkembang di berbagai negara, seperti Amerika Serikat. Lalu, pada
tahun 1980-an, socio-technical system merambah ke dunia non-manufaktur
sebagai terobosan dari Calvin Pava, Ron Purser, tim peneliti dari University of
Southern California. Di manapun, permasalahan dari socio-technical system selalu
sama: ‘traditional leaders’ yang tidak berani untuk memberikan pekerja kontrol
terhadap desain dan sistem operasi kerja di tempat tersebut sehingga hasil kerja.
Bagaimanapun, hadirnya socio-technical system menunjukkan bahwa
kemajuan teknologi dan cita-cita manusia dapat dicapai secara bersamaan.
Menurut Mumford dan Beekman (1994) sebagaimana dikutip dari Leitch et al
(2010), hasil utama dari penelitian socio-technical system pada awal
perumusannya adalah: “Jika technical system dibuat dengan mengorbankan sistem
sosial, hasil yang diperoleh akan menjadi tidak optimal.”
21
mencapai maksimal maka disebut joint optimisation (Cummings & Molloy,
1977). Pada umumnya, perusahaan hanya memperhatikan satu aspek yaitu aspek
teknik dan tidak memahami aspek lain yang saling berkesinambungan. Menurut
Harold J, organisasi terdiri dari empat komponen yang saling berinteraksi, yaitu:
task, structure, technology dan people.
sumber:https://business.leeds.ac.uk/downloads/download/64/socio-technical_systems_theory
22
mengidentifikasi potensi kesalahan dan akhirnya dapat
mengembangkan strategi perbaikan yang tepat. dengan cara seperti ini
diharapkan dapat mendorong partisipasi aktif oleh individu dengan
tahapan yang kuat dalam pencegahan kecelakaan sebagai bagian dari
proses perbaikan berkelanjutan.
Pendekatan HFAM ini hampir serupa dengan pendekatan TRIPOD
sebab sama-sama berdasarkan pada kesalahan tampilan sistem,
dipengaruhi kebijakan dalam menyebabkan kesalahan secara langsung,
dan dikembangkan secara konstan menggunakan uji coba lapangan
yang luas.
4.3.3. The UK Health & Safety Executive Research Program on
Sociotechnical Systems
Program ini dilakukan oleh United Kingdom Health & Safety
Executive (HSE) untuk menunjukkan efek dari faktor sosio teknikal
yang berisiko pada Chemical Process Industry (CPI). Penekanan awal
dari program ini adalah untuk mengembangkan metodologi sehingga
Chemical Process Quantitative Risk Analysis (CPQRA) akan
mempertimbangkan efek dari kualitas faktor-faktor manajemen pabrik
yang dinilai.
4.3.4. Systems Theoretic Accident Modeling and Processes (STAMP)
Model STAMP berisikan hubungan antara operasi sistem dan
desain atau pengembangan sistem.
23
Gambar 4.3.1 STAMP Model
(Carayon et al., 2015)
4.4.
24
DAFTAR PUSTAKA
(2004) Guidelines for Preventing Human Error in Process Safety, Guidelines for Preventing
Human Error in Process Safety. doi: 10.1002/9780470925096.Tapora.se. 2020. Human
Factors Engineering In Complex Sociotechnical Systems | Tapora. [online] Available at:
<https://tapora.se/human-factors-engineering-in-the-development-of-complex-
sociotechnical-systems-background/> [Accessed 5 October 2020].
American Institute of Chemical Engineers (1994) Guidelines for Preventing Human Error in
Process Safety, Guidelines for Preventing Human Error in Process Safety. New York. doi:
10.1002/9780470925096.
American Institute of Chemical Engineers (1994) Guidelines for Preventing Human Error in
Process Safety, Guidelines for Preventing Human Error in Process Safety. New York. doi:
10.1002/9780470925096.
Bridger, R. S. (2018). Introduction to Human Factors and Ergonomics, 4th Edition. Boca
Raton, FL, USA. CRC Press.
Carayon, P. et al. (2015) ‘Advancing a sociotechnical systems approach to workplace safety –
developing the conceptual framework’, Ergonomics, 58(4), pp. 548–564. doi:
10.1080/00140139.2015.1015623.
Carayon, P. et al. (2015) ‘Advancing a sociotechnical systems approach to workplace safety –
developing the conceptual framework’, Ergonomics, 58(4), pp. 548–564. doi:
10.1080/00140139.2015.1015623.
Center for Chemical Process Safety, 2010. Guidelines For Preventing Human Error In
Process Safety. Hoboken: John Wiley & Sons.
Cummings, T. G., & Molloy, E. S. (1977). Improving productivity and the quality of working
life. New York: Praeger.
Dekker, S. (2006) The Field Guide to Understanding Human Error. Edited by Ashgate. London:
CRC Press.
Emery, F. L., & Trist, E. L. (1969). Socio-technical systems. In F. L. Emery (Ed.), Systems
Thinking. London: Penguin
25
Flach, J. M., Vicente, K. J., Tanabe, F., Monta, K., and Rasmussen, J.. (1998) ‘An ecological
approach to interface design’, Annual Meeting of the Human Factors and Ergonomics
Society, Human Factors Society, San Francisco, Calif.
García Herrero, S. et al. (2002) ‘From the traditional concept of safety management to safety
integrated with quality.’, Journal of safety research, 33(1), pp. 1–20. doi: 10.1016/s0022-
4375(02)00008-7.
Hendrick, H. W. (2003). Determining the cost-benefits of ergonomics projects and factors
that lead to their success. Applied Ergonomics, 34, 419-427
Leavitt, H. J. (1965) Applied Organizational Change in Industry; structural, technological and
humanistic approaches. In J. G. March (1965) Handbook of Organizations. Chicago; Rand
McNally & Company, 1144 – 1170.
Leitch, S. et al. (2010) ‘ETHICS : The Past , Present and Future of Socio-Technical Systems
Design To cite this version : ETHICS : The Past , Present and Future of Socio-’, History of
computing: Learning from the past. Springer Berlin Heidelberg, 2, pp. 189–197.
Mcleod, S., (2020). Cognitive Approach Simply Psychology. [online] Simplypsychology.org.
Available at: <https://www.simplypsychology.org/cognitive.html> [Accessed 12 October
2020].
Pasmore, W. et al. (2019) ‘Reflections: Sociotechnical Systems Design and Organization
Change’, Journal of Change Management. Taylor & Francis, 19(2), pp. 67–85. doi:
10.1080/14697017.2018.1553761.
Principles and Guidelines for HF/E Design and Management of Work Systems. (2019) Joint
Document by IEA and the International Labour Organization (ILO).
Read, G.J.M., Salmon, P.M., Goode, N., & Lenné, M.G. (2018). A sociotechnical design
toolkit for bridging the gap between systems‐based analyses and system design.Human
Factors and Ergonomics in Manufacturing & Service Industries,28(6), 327-341.
Taylor P. and Lewis J., (2011). Encyclopedia Of Software Engineering Human Factors
Engineering Human Factors Engineering. Taylor and Francis, pp.37-41.
26