Anda di halaman 1dari 15

Teori Pertanian Sinclair

Menanggapi Teori pertanian yang sebelumnya telah di gagaskan oleh Von Thunen, Sinclair (1967)
dalam Turner (1982:5) menyarakankan agar kota – kota dalam menghadapi masa perkembangan
mengikuti saja pola yang disusunnya seperti pada gambar berikut.

Dengan adanya spekulasi dan ketakutan akan melanggar peraturan kota yang memaknai sedikit saja
investasi yang dipasang di rural-urban fringe (wilayah peralihan kota ke desa). Model yang disusun
sinclair tidak mengasumsikan adanya peraturan di fringe (suburban) itu akan dijadikan pertanian
tetap, maka yang dikehendaki tentunya pertanian yang intensif modal. Jika wilayah yang
bersangkutan di-zone-kan untuk pembangunan perumahan maka orang takut akan terjadi konversi
( pembalikan ) fungsi lahannya dan segala rencana yang telah direncanakan sebelumnya akan gagal /
macet
Teori Tempat Sentral Oleh Christaller
Walter Christaller pada tahun 1933, seorang geograf Jerman pertama kali
mempublikasikan studinya yang berkaitan dengan masalah tentang bagaimana
menentukan jumlah, ukuran dan pola penyebaran kota-kota. Teorinya dijelaskan pada
buku Die zentralen Orte in Suddeutschland atau Central Places in Southern
Germany atau Tempat-tempat Pusat di Jerman Selatan (Djojodipuro, 1992). Teori ini
memaparkan tentang persebaran dan besarnya permukiman (hierarki permukiman dan
persebarannya secara geografis) dimana berbagai jenis barang pada orde yang sama
cenderung bergabung pada pusat wilayahnya sehingga pusat itu menjadi lokasi
konsentrasi (kota). Dengan kata lain terciptanya suatu kota didorong oleh para
produsen berbagai jenis barang pada orde yang sama cenderung berlokasi pada titik
sentral di wilayahnya.
Teori ini disusun untuk menjawab tiga pertanyaan utama apakah yang
menentukan banyaknya, besarnya, dan persebaran kota. Ia meneropong permasalahan
kota dari desa. Konsep dan model yang dikemukakannya antara lain:

• Range (jangkauan), yaitu jarak yang perlu ditempuh orang untuk mendapatkan
barang kebutuhannya (secara temporer).
• Threshold (ambang), yaitu jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk
kelancaran dan kesinambungan suplai barang.
Range

Threshold

Gambar 4.1 Luas jangkauan range dan Threshold

Christaller dengan menggunakan model bentuk heksaagonal menghasilkan


tiga jenis struktur heksagonal sebagai penggambaran model teorinya yakni K3, K4,
dan K7 dengan asumsi-asumsi :
• Karena para konsumen yang menanggung ongkos angkutan, maka jarak ke tempat
pusat yang dinyatakan dalam biaya dan waktu, amat penting.
• Karena konsumen yang memikul ongkos angkutan, maka jangkauan (range) suatu
barang ditentukan oleh jarak yang dinyatakan dalam biaya dan waktu.

• Semua konsumen dalam usaha mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan,
menuju ke tempat pusat yang paling dekat letaknya.
• Kota-kota berfungsi sebagai central place bagi wilayah di sekitarnya. Artinya ada
hubungan antara besarnya tempat pusat dan besarnya (luasnya) wilayah pasaran,
banyaknya penduduk dan tingginya pendapatan di wilayah yang bersangkutan.
• Wilayah tersebut digagaskan sebagai dataran di mana penduduknya tersebar
merata dan ciri-ciri ekonomisnya sama (besar penghasilan sama).
Dengan menggunakan model heksagonal (K3, K4 dan K7) dijelaskan
mengenai konsep range dan threshold yang kemudian melahirkan prinsip optimalisasi
pasar (market optimizing principle). Prinsip ini antara lain menyebutkan bahwa
dengan memenuhi asumsi di atas, dalam suatu wilayah akan terbentuk wilayah
tempat pusat (central place). Pusat tersebut menyajikan kebutuhan barang dan jasa
bagi penduduk sekitarnya.
Model heksagonal yang diusung oleh Christaller dinilai kurang realistis
karena tidak semua wilayah homogen, selain itu wilayah pasar tidak pernah ada yang
heksagonal karena kondisi geografi fisis dan jaringan transportasi serta manusia tak
selamanya berfikir rasional. Perlu ditambahkan mengenai sisi aspatial yang
mempengaruhi seseorang dalam menganbil keputusan.
Di dalam pengembangan model dan teorinya Christaller ini meliputi beberapa
kendala, antara lain :
• Jumlah penduduk.
• Pola aksesibilitas.
• Distribusi.
Hal tersebut dikarenakan perubahan penduduk yang besar akan menjadikan
pola tidak menentu terhadap pola segi enam yang seyogyanya terjadi. Keterbatasan
aksesibilitas transportasi ke suatu wilayah akan menjadi kebiasan pola segi enam,
terutama bila terdapat keterbatasan fisik wilayah. Dalam kenyataannya, konsumen
atau masyarakat tidak selalu rasional dalam memilih barang atau komoditi yang
diinginkan
2. Teori Perindustrian Weber
Tak jauh berbeda dengan teori sebelumnya, sekitar tahun 1909 seorang
ekonom Jerman bernama Alferd Weber mengemukakan teori lokasi industri untuk
menemukan lokasi optimal bagi setiap pabrik atau industri, di mana terbaik secara
ekonomis maupun mampu memberikan keuntungan yang maksimal. Teorinya
dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Űber den Standort der Industrien (About the
location of industries) atau Tentang Lokasi Industri. Teorinya menyangkut least cost
location, suatu kajian lokasi optimal, yaitu lokasi yang terbaik secara ekonomis.
Weber (dalam Djojodipuro, 1992) memandang hal ini sebagai hal yang primer, di
mana berwujud titik di mana biaya transpor bahan mentah yang dibutuhkan dan
barang jadi yang disuplai oleh pabrik ke pasaran adalah yang minimal.
Isi pokok teori Weber adalah lokasi industri-industri dipilihkan di tempat-
tempat yang biayanya paling minimal. Latar belakang lahirnya teori ini untuk
menemukan lokasi optimal bagi setiap pabrik atau industri, di mana terbaik secara
ekonomis maupun mampu memberikan keuntungan yang maksimal. Namun Weber
lebih cenderung pada sudut pandang terbaik secara ekonomis (least cost location).
Konsep-konsep dan Model yang digunakan Weber yaitu model segitiga
lokasional (locational triangle). Dengan asumsi-asumsi :

• Wilayah yang seragam dalam hal topografi, iklim dan penduduknya. Yang
disebut terakhir ini bertalian dengan keterampilannya dan penguasaannya
(pemerintahannya).

• Sumberdaya atau bahan mentah. Misalnya jika hanya menyangkut pasir dan dan
air, ini terdapat di mana-mana, tetapi tambang besi dan batubara tentunya hanya
terdapat terbatas di tempat-tempat tertentu.

• Upah buruh. Ada upah yang telah baku, artinya sama di mana-mana, tetapi ada
pula upah yang merupakan produk dari persaingan antarpenduduk.
• Biaya transportasi yang bergantung dari bobot bahan mentah yang diangkut atau
dipindahkan, serta jarak antara terdapatnya sumberdaya (bahan mentah) dan
lokasi pabrik.

• Terdapatnya kompetisi antarindustri.


• Manusia itu berpikir rasional.
Pada model segitiga lokasional (locational triangle) dalam menentukan lokasi
industri ada tiga faktor penentu yaitu material, konsumsi dan tenaga kerja. Ketiga
faktor tersebut diukur dengan ekuivalensi ongkos transport sehingga diperoleh
kesimpulan bahwa biaya transportasi tergantung dari dua hal pokok yaitu bobot
barang dan jarak yang harus ditempuh untuk mengangkutnya.

Gambar 4.2 Segitiga Lokasional

Di dalam teori Weber terdapat kelemahan yaitu terlalu melebih-lebihkan arti


pentingnya transport cost, mengabaikan kondisi fisik, mengenyampingkan
perhitungan upah buruh dan jangkauan pasaran. Sadar akan kelemahannnya tersebut,
Weber memodifikasi teorinya sendiri karena berbedanya labour cost sehingga
kawasan yang berisi tenaga kerja murahan dapat menarik pabrik untuk berdiri di situ.
Selain itu, kawasan dengan penumpukan industri fungsinya sebagai magnet terhadap
industri dan pabrik-pabrik.
Teori Perindustrian Hotteling

Teori Hotteling adalah strategi dua industri yang bersaing, baik dari segi lokasi maupun harga
produknya yang bertujuan memaksimalisasi laba pasar. Tujuan analisis wilayah pasar model
hotteling adalah menganalisis strategi lokasi dua industri yang bersaing merebutkan suatu wilayah
pasar. Menurut Hotteling, elastisitas permintaan akan mendorong difusi industri.Teori Hotelling
sendiri pertama kali disampaikan oleh Harold Hotelling (1895 -1973) yang merupakan ahli di
bidang statistika pada sebuah artikel berjudul “Stability in Competition” pada majalah Economic
Journal  di tahun 1929. Teori ini secara garis besar memperlihatkan pengaruh lokasi produsen
terhadap kemampuan meraih laba dan konsumen. Teori ini mucul dari kelemahan teori Webber
yang bersifat homogen , menganggap jarak dan bahan sama sehingga membentu segitiga
sempurna ,tidak memperhitungkan biaya secara keseluruhan.

Asumsi Utama pada Teori Hotelling :

 Ruang homogen
 Konsumen terdistribusi secara merata di semua tempat
 Konsumen bertindak rasional secara ekonomi: membeli barang dengan harga terendah

Kekuatan monopoli keuangan pada teori Hotteling :


 Palander (1935): Lokasi memberikan kekuatan bagi perusahaan untuk melakukan monopoli
pada wilayah di sekitarnya
 Semakin efisien perusahaan (ongkos produksi + ongkos transport<<), semakin luas wilayah
pasarnya (monopolistik)
 Harga Total Untuk Konsumen atau Delivered Price

Pi = harga produk

ti =  tingkat biaya transportasi

di = jarak

Pemilihan lokasi menurut teori Hotelling terbagi atas 2 jenis kondisi, yaitu Interdependence
Location (Demand Dalam Kondisi Inelastic) dan

Interdependence Location(Demand Dalam Kondisi Elastic). Pada pembahasan ini, akan dibahas
Interdependence  Location (Demand Dalam Kondisi Elastic) karena sesuai dengan studi kasus pola
distribusi spasial minimarket di kota-kota kecil.

 
 

Gambar 1. Interdependence Location (Demand Dalam Kondisi Inelastic) kondisi dimana industri A
dan B menguasai market dengan cakupan yang sama.

Gambar 2. Interdependence  Location (Demand Dalam Kondisi Elastic) kondisi dimana ndustri A


dan B melakuka perpindahan  lokasi sehingga berhenti pada titik A’ dan B’ yang dimana kedua
industry tersebut tidak dapat melakukan perpindahan lokasi lagi.
Teori Lokasi Industri Optimal Losch
Pada tahun 1954 seorang geografi Jerman bernama Losch mengeluarkan teori mengenai
lokasi industri yang terinspirasi dari teori Weber. Teori tersebut dikenal dengan teori lokasi
industri optimal. Beliau menulis teori dalam buku Economics of Location dengan inti
penjelasan teori untuk menghasilkan pendapatan paling banyak (maximum revenue)
diperlukan lokasi pabrik atau industri yang berada di mana yang bersangkutan dapat
menguasai wilayah pasaran yang terluas berdasar permintaan (demand). Teori ini agak
berbeda dengan Weber yang mempunyai sudut pandang lokasi optimal industri dari lokasi
terbaik yang paling ekonomis (least cost location) Lösch berpijak pada maximum revenue
location, lokasi yang memberikan keuntungan maksimal.
Lösch mengembangkan model kerucut dan heksagonal yang dimodifikasi dari
Christaller, dengan menggunakan asumsi-asumsi :
• Permukaan lahan yang datar dan homogen yang selalu disuplai oleh pusat
(industri) karena membutuhkan (ada permintaan) secara merata.
• Harga penyerahan segala hasil meningkat karena pada industrialis harus menutup
ekstra dari transportasinya masing-masing.
• Harga cenderung naik mengikuti jarak, maka permintaan terhadap suatu produk
khusus akan hilang seluruhnya.
• Jika hal di atas terjadi merata ke seluruh arah di sekeliling pabrik, maka wilayah
pasaran akan berbentuk lingkaran.
Dari model tersebut diperoleh kesimpulan bahwa lokasi penjual sangat
berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari
tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk
mendatangi tempat penjual semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang
menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar. Atas
dasar pandangan di atas, Losch cenderung menyarankan agar lokasi berada di pasar
atau dekat pasar.
Teori Lokasi Perindustrian menurut Pred

Pred menyusun matrik perilaku yang dapat digunakan utnuk menganalisisis pengambilan keputusan
tentang berbagai lokasi. Pada prinsipnya, lokasi industri menurut pred ditentukan berdasarkan
perilaku pengambilan keputusan.
Menentukan lokasi industri atas dasar bahan baku,pasar,biaya angkut, tenaga kerja, modal,
teknologi, peraturan dan lingkungan dapat dilakukan dengan klasifikasi sebagai berikut :
 Lokasi Industri dekat dengan bahan baku jika :
o Bahan baku yang digunakan mudah rusak
o Pengangkutan barang jadi lebih mudah jika dibandingkan dengan pengangkutan
bahan baku
o Bahan baku yang digunakan lebih berat dibandingkan produk yang akan dihasilkan
 Lokasi industri berdasar pasar jika :
o Produksi yang dihasilkan lebih berat dibandingkan dengan bahan baku
o Bahan baku yang digunakan tidak mudah rusak
o Wilayah pasar luas
o Produksi yang dihasilkan lebih mudah rusak setelah pengolahan
o Faktor prestise ( gengsi lebih dipentingkan, misalkan industri periklanan / adversiting
)
 Lokasi industri berorientasi pada tenaga kerja
Tenaga kerja dalam industri berkaitan dengan dua hal, yaitu
o Kuantutas atau jumlah tenaga kerja yang ditampung oleh industri
o Kualitas atau mutu tenaga kerja yang dimiliki industri
 Lokasi Industri berdasarkan modal dan teknologi
Lokasi industri perlu diperhitungkan, besarnya modal yang dibutuhkan dalam proses
produksi, dan perlu memiliki teknologi yang menjadikan industri lebih efisien. Dalam
teknologi yang dipertimbangkan sumber tenaga yang paling tepat digunakan, seperti tenaga
hewan, tenaga air, tenaga listrik, tenaga gas, tenaga barubara,atau minyak bumi
 Lokasi industri berdasarkan peraturan dan lingkungan
Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menetapkan peraturan pemerintah no 29 tahun 1986
tentang pelaksanaananalisis dampak lingkungan (AMDAL) atau analisis mengenai dampak
lingkungan
Teori Kosentris Burgess
Ernest W. Burgess melakukan penelitan untuk Kota Chicago pada tahun 1923. Hasil menunjukkan
bahwa perkembangan Kota Chicago membentuk sebuah pola penggunaan lahan yang konsentris
dengan fungsi yang berbeda-beda. Teori konsentris meyakini bahwa perkembangan kota dimulai
dari pusatnya yang kemudian meluas ke wilayah yang jauh dari pusat akibat peningkatan penduduk.
Interaksi antara penggunaan lahan dan manusia, baik dalam segi ekonomi, sosial, ataupun politik
membentuk beberapa zona konsentris. Kekurangan dari teori konsentris adalah tidak berlaku di
negara selain Amerika Serikat. Contoh kota dengan teori konsentris adalah Chicago, London,
Kalkuta, Adelaide, dan sebagian besar kota-kota di Indonesia.

Asumsi Teori Konsentris


1. Populasi dengan sosial budaya yang heterogen
2. Industri komersil menjadi basis ekonomi
3. Persaingan ruang untuk zona ekonomi dan ruang pribadi (private ownership)
4. Perluasan area dan peningkatan populasi kota
5. Transportasi dinilai mudah, cepat, dan murah di setiap zona kota
6. Pusat kota untuk pusat kegiatan ekonomi sehingga ruang di dekat pusat menjadi terbatas dan
bernilai tinggi

Susunan Ruang Kota Teori Konsentris


1. Zona Pusat Kegiatan (Central District Business)

Ciri-ciri:

 Inti kota
 Intensitas yang tinggi untuk kegiatan komersil dan pemerintahan (gedung perkantoran,
pertokoan, dan lain-lain)
 Nilai harga jual atau sewa tanah tinggi
 Populasi untuk permukiman sangat sedikit
 Aksesibilitas mudah dan laju orang masuk/keluar jumlahnya besar setiap harinya
2. Zona Peralihan (Transition Zone)

Ciri-ciri:

 Terikat dengan Zona Pusat Kegiatan


 Populasi penduduknya heterogen dan tidak stabil baik di permukiman atau kegiatan sosial
ekonomi
 Daerah dengan berpenduduk miskin
 Kualitas lingkungan permukiman memburuk -> sering ditemukan daerah slum atau
permukiman penduduk kumuh
 Dapat diubah menjadi komplek industri manufaktur, perhotelan, apartemen, dan lain-lain ->
untuk rencana pembangunan kota
 Tingkat kejahatan dan penyakit tertinggi di kota
3. Zona Permukiman Kelas Proletar (Low-Class Residential atau Workingmen’s Homes)

Ciri-ciri:

 Kondisi permukimannya lebih baik -> umumnya rumah-rumah kecil atau rumah susun
 Populasi penduduknya merupakan para pekerja dengan berpenghasilan kecil (buruh)
 Transportasi dapat dikatakan masih relatif mudah dan murah menuju tempat bekerja
4. Zona Kelas Menengah (Medium-Class Residential Zone)

Ciri-ciri:

 Permukiman untuk para pekerja dengan berpenghasilan menengah


 Kondisi permukiman lebih baik dibandingkan kelas proletar -> permukiman horizontal
ataupun permukiman vertikal (apartemen)
 Lokasinya strategis dengan pusat perbelanjaan sudah hampir sama kondisinya dengan yang
berada di pusat kota
5. Zona Penglaju (Commuters Zone)

Ciri-ciri:

 Memasuki daerah belakang (hinterland) -> daerah batas desa – kota


 Penduduknya tinggal di pinggiran kota tetapi bekerjanya di kota
 Biaya transportasi relatif tinggi menuju CBD dibandingkan dengan zona lain
 Pendapatan penduduknya relatif tinggi
4. Teori Hoyt
Hoyt pada tahun 1939 dengan teori sektoral menyatakan bahwa struktur ruang
kota cenderung berkembang berdasarkan sektor-sektor daripada berdasarkan
lingkaran-lingkaran konsentrik (Johnson, 1975). Daerah Pusat Kota (DPK) atau
Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah
kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya
dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu
kota. Hal ini dapat terjadi akibat dari faktor geografi, seperti bentuk lahan dan
pengembangan jalan sebagai sarana komunikasi dan transportasi. Menurut Homer
Hoyt, kota tersusun sebagai berikut :
1. Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (CBD). DPK atau CBD tersebut terbagi
atas dua bagian, yaitu:

• Bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan
pertokoan, perkantoran dan jasa;
• Bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh
bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar,
pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama
(storage buildings).
2. Dekat pusat kota dan dekat sektor pada nomor 2, terdapat sektor murbawisma,
yaitu tempat tinggal kaum murba atau kaum buruh.
3. Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor
masyawisma.
4. Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan
atas.
Teori Pusat Berganda Haris&Ullman
Sedikit berbeda namun masih tetap mengemukakan mengenai keberadaan
DPK atau CBD, Harris dan Ullman pada tahun 1945 mengenalkan Teori Pusat
Berganda. Teori ini merupakan bentuk kritikan terhadap teori konsentriknya Burgess.
Struktur ruang kota dapat terjadi dalam suatu kota dimana terdapat tempat-tempat
tertentu yang berfungsi sebagai inti kota dan pusat pertumbuhan baru yang
menyebabkan adanya beberapa inti dalam perkotaan, misalnya wilayah perindustrian,
pelabuhan, kompleks perguruan tinggi, dan kota-kota kecil di sekitar kota besar
(Sanders, n.d.). Dinyatakan pula bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang
letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu
“growing points”. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat
fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti
“retailing” distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain. Namun, ada perbedaan
dengan teori sektoral Hoyt yaitu pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK
atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.
Adapun struktur ruang kota menurut teori inti berganda adalah sebagai berikut :
1. Pusat kota atau Central Bussines Distric (CBD).
2. Kawasan niaga dan industri pangan.
3. Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah.
4. Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah.
5. Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi.
6. Pusat industri berat.
7. Pusat niaga perbelanjaan lain di pinggiran.
8. Upakota, untuk kawasan masyawisma dan adiwisma.
9. Upakota (suburb) kawasan industri.

Anda mungkin juga menyukai