Digital 20351588 PR Dewanti
Digital 20351588 PR Dewanti
DEWANTI
0806456991
DEWANTI
0806456991
NPM : 0806456991
Tanda Tangan
( ~ )
11
HALAMANPENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 12 Juli 2012
111
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini dengan baik.
Dengan mengucap rasa syukur alhamdulillah akhirnya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah akhir yang berjudul “Analisis Praktik Klinik
Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Pasien Spina Bifida di
Ruang Bedah Anak Lantai III Utara RSUP Fatmawati.”
Karya ilmiah akhir ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti tahapan
proses karya ilmiah akhir untuk mencapai gelar Ners Keperawatan di Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, penyelesaian karya ilmiah akhir ini tidak akan mudah. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Siti Chodidjah, S.Kp., M.N, selaku pembimbing karya ilmiah akhir yang
telah membimbing, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
mengarahkan penulis hingga selesainya karya ilmiah akhir ini;
2. Ibu Kuntarti, S.Kp., M.Biomed, selaku Koordinator dan Ketua Program Studi
Sarjana Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang
memberi motivasi dan mendoakan hingga terselesaikannya perjalanan profesi
ini;
3. Ibu Ns. Yuminah S.Kep, selaku Kepala Ruangan IRNA A Teratai Lantai III
RSUP Fatmawati yang telah membimbing dan memotivasi pelaksanaan
praktik KKMP di ruangan;
4. Ibuku (Darningsih) dan Ayahku (Poerwanto) serta adikku (Rini Permatasari),
yang selalu memberi dukungan, materi, dan doa yang berlimpah selama
penyusunan karya ilmiah akhir ini;
5. Sahabat-sahabatku BEDUK (Harumi, Tiara, Sintha, Kiki, Imam, Asrovi,
Dimas, Ardimas, Iqbal, Aul, Pyong, Bayu, Dian, Farhan) yang Subhanallah
memberikan doa dan tanpa lelah mengingatkan penulis untuk menyelesaikan
karya ilmiah akhir ini tepat pada waktunya;
6. Laskar Pembinaan FARIS 14 (Yudhi, Azul, Halimah, Ayu, Rizki, Bima,
Niroh, Hafsahah, Wendi, Adlan, Nida, Yulia, Dimas, Izzuddiin, Harumi,
iv
Haura, Vina, Dita, Fathanah, Islamia) dan BPH FARIS 14 (Reza, Fitri,
Fahmi, Nimas, Normand, Fandi, Annisa) yang mengajarkan tentang arti
keseimbangan dalam organisasi dan akademis, yang begitu banyak
mendoakan dan memberi dukungan selama penyusunan karya ilmiah akhir
ini;
7. Laskar Bunga dan Syi’ra yang tidak henti-hentinya mendoakan dan
menyemangati ketika penulis menyusun karya ilmiah akhir ini;
8. Seluruh BPH BEM FIK UI 2011 EKSPRESIF yang senantiasa mengirimkan
doa dan limpahan semangat yang luar biasa;
9. Teman-teman satu bimbingan karya ilmiah akhir Ade Kurniah, Titis Tolada,
Aditya Wijayanti, Hafidzah Fitriyah, yang sama-sama berjuang mulai dari
bimbingan, penyusunan proposal hingga sidang serta terselesaikannya karya
ilmiah akhir ini;
10. Angkatan 2008 FIK UI yang PEDULI, yang selalu menjadi insipirasi dan
penyemangat dalam melakukan segala aktivitas perkuliahan dari awal hingga
saat ini.
Penulis
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
Dibuat di : Depok
Yang menyatakan
(Dewanti, S. Kep)
: ~ : VI
ABSTRAK
Spina bifida merupakan salah satu penyakit kongenital pada anak berupa kegagalan
penutupan tulang belakang. Salah satu tindakan dalam mengatasi spina bifida adalah
pembedahan. Masalah utama yang muncul pada anak dengan pembedahan adalah nyeri
akut. Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan
pada anak spina bifida dengan menerapkan teknik guided imagery dalam mengatasi nyeri
paska pembedahan. Penerapan teknik guided imagery yang telah dilakukan pada anak
post op rekonstruksi meningokel (spina bifida) selama 4 hari diperoleh hasil penurunan
skala nyeri dari 7 menjadi 1. Pemberian teknik guded imagery pada anak dengan spina
bifida menjadi upaya untuk menghilangkan atau menurunkan skala nyeri yang diderita
oleh anak pasca pembedahan rekonstruksi meningokel.
ABSTRACT
Spina bifida is one of the congenital diseases in children in the form of failure of closure
of the spine. One of the interventions in dealing with spina bifida is surgery. Acute pain
often becomes a major problem on the children after surgery. The aim of this paper was
to describe nursing care in children with spina bifida by applying guided imagery
technique to decrease pain after surgery. Implementation of guided imagery technique
that have been conducted in children after meningocele reconstruction surgery for 4 days
showed the reduction of pain scale from 7 to 1. Giving guided imagery technique for
children with spina bifida should be addressed to eliminate or decrease pain scale
suffered by the children with spina bifida after meningocele reconstruction surgery.
1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum............................................................................. 5
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 5
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................ 6
1.4.1 Manfaat Bagi Masyarakat ........................................................... 6
1.4.2 Manfaat Bagi Perawat ................................................................. 6
1.4.3 Manfaat Bagi Penidikan .............................................................. 6
5. PENUTUP ................................................................................................. 42
5.1 Simpulan .............................................................................................. 42
5.2 Saran .................................................................................................... 42
ix Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
x Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
Polusi udara yang disebabkan oleh lalu lintas, industri hingga debu
berdampak buruk pada kesehatan. Pada kehamilan akan meningkatkan risiko
berat lahir bayi rendah. Ada dua jenis polusi kendaraan bermotor yang
berdampak pada pertumbuhan janin, yaitu partikel hitam dan nitrogen
dioksida. Dua jenis polusi itu bisa masuk paru-paru dan mengganggu fungsi
organ tersebut. Hasil studi di Amerika Serikat yang dipublikasikan dalam
Jurnal Epidemiologi dan Kesehatan Komunitas sebagaimana dikutip situs
BBC menyebutkan, tingginya paparan polusi dari asap kendaraan bermotor
pada ibu pada awal dan akhir kehamilan bisa menyebabkan janin tidak
tumbuh baik sehingga bayi lahir dengan berat badan rendah. Hal ini juga
dapat menyebabkan bayi lahir dengan kelainan kongenital (Judarwanto,
2013).
1 Universitas Indonesia
2
Spina bifida adalah suatu celah pada tulang belakang (vertebra) yang terjadi
karena bagian dari satu atau beberapa vertebra gagal menutup atau gagal
terbentuk secara utuh (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Wong (2009) spina
bifida merupakan penutupan salah satu kolumna vertebralis tanpa tingkatan
protusi jaringan melalui celah tulang. Penyakit ini menyerang melalui
medulla spinalis dimana ada suatu celah pada tulang belakang (vertebra). Hal
ini terjadi karena ada satu atau beberapa bagian dari vertebara gagal menutup
atau gagal terbentuk secara utuh dan dapat menyebabkan cacat berat pada
bayi,ditambah lagi penyebab utama dari penyakit ini masih belum jelas. Hal
ini jelas akan menyebabkan gangguan pada sistem saraf karena medula
spinalis termasuk sistem saraf pusat yang tentunya memiliki peranan yang
sangat penting dalam sistem saraf manusia. Jika medulla spinalis mengalami
gangguan, sistem-sistem lain yang diatur oleh medulla spinalis pasti juga
akan terpengaruh dan akan mengalami gangguan pula. Hal ini akan semakin
Universitas Indonesia
3
memperburuk kerja organ dalam tubuh manusia, apalagi pada bayi yang
sistem tubuhnya belum berfungsi secara maksimal.
Penyebab spesifik dari spina bifida tidak diketahui, tetapi menurut beberapa
sumber menyebutkan bahwa spina bifida muncul akibat dari faktor genetik
(keturunan) dan kekurangan asam folat pada masa kehamilan. Berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, masalah kekurangan
konsumsi energi protein terjadi pada semua kelompok umur di Indonesia.
Konsumsi energi ibu hamil yang berada di perkotaan 41,9 persen sedangkan
di desa 48 persen dan konsumsi protein ibu hamil di kota dan desa tidak jauh
beda yakni 49,5 persen. Hal ini menunjukan masih rendahnya konsumsi
nutrisi yang optimal untuk ibu hamil. Asam folat berfungsi untuk
metabolisme normal makanan menjadi energi, pematangan sel darah merah,
sintesis DNA, pertumbuhan sel dan pembentukan heme. Tubuh
memerlukannya untuk pembentukan sel baru. Apabila asupan asam folat
tidak adekuat dapat menyebabkan bayi lahir prematur atau cacat, termasuk
cacat sistem saraf (otak) atau cacat tabung saraf (Neural Tube Deffect).
Kelainan kongenital yang diderita bayi baru lahir akan sangat berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup bayi tersebut, maka memerlukan tindakan
pembedahan. Melakukan tindakan pembedahan pada anak, khususnya bayi
memerlukan pengetahuan khusus tentang patofisiologi dan pelayanan
keperawatan bayi, kemampuan untuk mengenali dan merespon komplikasi,
dan menawarkan perawatan pendukung kepada keluarga. Perawatan terhadap
pembedahan pada anak atau bayi antara lain stabilisasi kardiovaskular,
termoregulasi, manajemen cairan dan elektrolit, pemberian obat, perawatan
luka, dan nutrisi pendukung (American Pediatric Surgical Nurses
Association, 2008).
nyeri yang diderita anak baik sebelum maupun setelah proses pembedahan.
Tindakan tersebut mencakup tindakan nonfarmakologi dan tindakan
farmakologi (Wong, 2009). Tindakan nonfarmakologi antara lain
membangun hubungan terapeutik perawat dan pasien, relaksasi, imajinasi
terbimbing (Wong, 2009). Sedangkan tindakan farmakologi yang digunakan
untuk mengurangi nyeri yaitu memberikan analgetik, anestesi lokal atau
regional, dan analgesia epidural (Potter & Perry, 2006).
Melihat gejala yang tampak pada anak paska pembedahan seperti menangis
dan mengeluh nyeri pada daerah pembedahan membuat anak merasa tidak
nyaman dan membuat orang tua menjadi cemas. Oleh karena itu perawat
perlu melakukan intervensi untuk meningkatkan kenyamanan anak. Perawat
dapat menerapkan konsep atraumatic care berupa guided imagery untuk
mengurangi nyeri yang diderita oleh anak paska pembedahan. Dalam hal ini
penulis melakukan aplikasi dari tesis yang dibuat oleh Mariyam (2011)
berjudul “Pengaruh Guided Imagery Terhadap Tingkat Nyeri Anak Usia 7-
13 Tahun Saat Dilakukan Pemasangan Infus di RSUD Kota Semarang”.
Tesis ini menerapkan konsep guided imagery pada anak yang dilakukan
pemasangan infus dan didapatkan hasil bahwa guided imagery berpengaruh
terhadap pengurangan rasa nyeri saat dilakukan pemasangan infus sebesar
60% dibandingkan anak yang tidak dilakukan guided imagery. Penulis
tertarik menggunakan aplikasi ini pada anak yang paska pembedahan yang
mengalami nyeri sehingga anak dapat merasa nyaman. Selain karna mudah
diterapkan dan sesuai dengan usia klien kelolaan, teknik ini tidak memerlukan
biaya dalam penerapannya, serta berdampak positif dalam menurunkan skala
nyeri pada anak.
Salah satu masalah kongenital yang terjadi adalah spina bifida. Sebanyak
65% bayi baru lahir terkena spina bifida. Di RSUP Fatmawati 9 orang dari
100 orang selama 3 bulan terakhir menderita spina bifida. Penyebab spina
bifida antara lain karena kekurangan asam folat selama kehamilan.
Pembedahan merupakan salah satu cara untuk mengangkat meningokel pada
tubuh anak. Hal ini dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman paska
pembedahan berupa sensasi nyeri. Untuk itu perlu dilakukan penanganan
nyeri yang sesuai pada anak dengan menerapkan konsep atraumatic care
berupa guided imagery. Diharapkan dengan pengaplikasian konsep tersebut
dapat menyelesaikan masalah pemenuhan kebutuhan rasa nyaman berupa
nyeri pada anak paska pembedahan.
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan teori pada bab ini akan menguraikan beberapa konsep yang mendasari
pengaplikasian teori pada kasus yang diangkat. Adapun uraian konsep dan teori
dalam landasan teori mencakup tentang uraian penyakit spina bifida, konsep
nyeri, konsep perkembangan nyeri pada anak, konsep guided imagery, dan konsep
nyeri paska operasi.
7 Universitas Indonesia
8
Universitas Indonesia
9
patogenesis cacat tabung saraf, termasuk spina bifida (Smeltzer & Bare,
2002).
campur tangan dari ortopedi (bedah tulang) maupun terapi fisik. Kelainan
saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis dan luasnya gangguan fungsi yang
terjadi (Wong, Hockenberry-Eaton, Wilson, Winkelstein, & Schwartz,
2009).
2.2 Nyeri
2.2.1 Pengertian Nyeri
Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri yang
sama dan respon setiap individu pun berbeda-beda. Nyeri dapat merupakan
faktor utama yang menghambat kemampuan dan keinginan individu untuk
pulih dari suatu penyakit (Potter & Perry, 2006). Karena persepsi nyeri
sangat subjektif, individu yang bisa mengungkapkan nyerinya hanyalah
yang mengalaminya (Strong, Unruh, Wright, & Baxter, 2002; Black &
Hawks, 2009).
Nyeri adalah suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual
atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana terjadi
kerusakan (International Assosiation for Study of Pain (IASP), 2007).
Menurut Kozier, et al. (2004), nyeri adalah sensasi yang tidak
menyenangkan dan sangat individual dan tidak dapat diungkapkan kepada
orang lain. Nyeri juga didefinisikan sebagai pengalaman sensori dan
emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang
aktual dan potensial (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Black dan Hawks
(2009) nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan dan disebabkan
oleh stimulus spesifik mekanis, kimia, elektrik pada ujung-ujung saraf serta
tidak dapat diserahterimakan kepada orang lain.
2009; Kozier, Erb, Berman, Snyder, 2010). Nyeri dapat dibedakan menjadi
nyeri akut dan nyeri kronik, keduanya mempunyai mekanisme fisiologis
yang berbeda sehingga memerlukan tindakan yang berbeda (Helms &
Barone, 2008).
2.2.2.1 Nyeri akut
Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik
hingga enam bulan (Smeltzer & Bare, 2002). Nyeri akut memberikan
peringatan bahwa penyakit atau cedera telah terjadi. Rasa sakit biasanya
terbatas pada daerah yang terkena. Nyeri akut merangsang sistem saraf
simpatik sehingga menghasilkan respon gejala yang meliputi peningkatan
frekuensi jantung dan pernapasan, berkeringat, pupil melebar, gelisah, dan
khawatir. Jenis nyeri akut meliputi somatik, viseral, dan nyeri alih
(referred). Nyeri somatik adalah nyeri dangkal yang berasal dari kulit atau
jaringan subkutan. Nyeri viseral berasal dari organ internal dan lapisan
dari rongga tubuh, sedangkan referred pain adalah nyeri yang dirasakan di
daerah yang jauh dari tempat stimulus (Helms & Barone, 2008).
Ada 2 (dua) tipe serabut saraf yang terlibat dalam transmisi nyeri. Serabut
delta A yang besar menghasilkan nyeri yang didefinisikan dengan tajam,
Universitas Indonesia
14
disebut “fast pain” atau “first pain”, yang secara khusus distimulus oleh
luka potong, getaran listrik, atau karena pukulan fisik. Transmisi di
sepanjang serabut A berlangsung sangat cepat dimana reflek tubuh
dapatberespon dengan lebih cepat dari stimulus nyerinya, menghasilkan
reaksi berupa penarikan bagian tubuh yang terkena stimulus sebelum
seseorang merasa nyeri. Setelah nyeri pertama ini, serabut saraf C yang
lebih kecil mengirimkan luka bakar atau sensasi rasa sakit, disebut sebagai
“second pain”. Serabut C mentransmisikan nyeri lebih lambat daripada
serabut A karena serabut C lebih kecil dan tidak memiliki selubung myelin.
Serabut C merupakan satu-satunya serabut yang menghasilkan nyeri
menetap atau konstan (Helms & Barone, 2008).
sentuhan, atau getaran pada sumber nyeri, sehingga impuls nyeri tidak
diteruskan ke medula spinalis dan juga ke otak. Akhirnya seseorang tidak
merasakan sensasi nyeri. Saat gerebang nyeri terbuka, rangsangan nyeri
dapat dihantarkan ke otak sehingga timbul rasa nyeri (Kozier, 2000).
Universitas Indonesia
17
Sumber: Wong, D. L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., &
Schwartz, P. (2001). Wong’s essentials of pediatric nursing (7th ed.). St. Louis: Mosby,
Inc.
2.2.7.2 Oucher
Oucher merupakan skala pengukuran nyeri yang terdiri atas dua skala
yang terpisah. Terdiri atas enam foto wajah anak yang menggambarkan
“tidak nyeri” sampai “nyeri terberat yang pernah kamu rasakan”. Sebuah
Universitas Indonesia
18
skala numerik dengan nilai 0-100 pada sisi sebelah kiri untuk anak yang
lebih besar dan skala fotografik enam gambar untuk anak yang lebih kecil.
Foto wajah seorang anak (dengan peningkatan rasa tidak nyaman)
dirancang sebagai petunjuk untuk memberi anak-anak pengertian sehingga
dapat memahami makna dan tingkat keparahan nyeri. Skala Oucher
dianjurkan digunakan untuk anak-anak usia 3-13 tahun (Hockenberry &
Wilson, 2009).
Sumber: Wong, D. L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., &
Schwartz, P. (2001). Wong’s essentials of pediatric nursing (7th ed.). St. Louis: Mosby,
Inc.
Universitas Indonesia
19
0 1 2 3 4 5
Skala VAS sangat sensitif terhadap perubahan tingkat nyeri yang dialami
oleh pasien, yang dapat membuat skala VAS sulit untuk digunakan.
Meskipun skala ini umumnya cepat dan mudah digunakan, sekitar 20%
pasien tidak dapat dikaji atau menemukan kebingungan (Wood, 2004,
dalam McLafferty & Farley, 2008).
th
Sumber: (Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006). Fundamental of nursing, (6 ed), USA:
Mosby Company).
2.2.3 Anak usia 13 tahun dan 13 tahun ke atas (Pemikiran Operasional Formal)
Konsep nyeri pada usia ini anak mampu memberi alasan terhadap nyeri
(misal jatuh dan terbentur). Pada usia ini anak mampu menerima beberapa
nyeri psikologis, memiliki pengalaman hidup yang terbatas untuk
melakukan koping terhadap nyeri seperti yang dilakukan orang dewasa yang
memiliki pemahaman nyeri yang matang. Anak takut kehilangan kendali
ketika mengalami nyeri.
Universitas Indonesia
23
Menurut Snyder (2006), guided imagery telah menjadi terapi standar untuk
mengurangi kecemasan dan memberikan relaksasi pada orang dewasa atau
anak-anak, dapat juga untuk mengurangi nyeri kronis, tindakan prosedural
yang menimbulkan nyeri, susah tidur, mencegah reaksi alergi, dan
menurunkan tekanan darah (Snyder, 2006). Guided imagery dapat
membangkitkan perubahan neurohormonal dalam tubuh yang menyerupai
perubahan yang terjadi ketika sebuah peristiwa yang sebenarnya terjadi
(Hart, 2008). Hal ini bertujuan untuk membangkitkan keadaan relaksasi
psikologis dan fisiologis untuk meningkatkan perubahan yang
menyembuhkan ke seluruh tubuh (Jacobson, 2006).
Menurut Hart (2008), jika seseorang membayangkan suatu hal negatif atau
menakutkan dapat meningkatkan rasa sakit atau kecemasan maka hal
tersebut dapat dinetralkan dengan pikiran positif atau menenangkan. Pikiran
dapat dilatih untuk berfokus pada imajinasi penyembuhan. Jika imajinasi
menakutkan atau negatif memiliki kemampuan untuk meningkatkan rasa
sakit dan gejala lain yang tidak diinginkan, maka imajinasi positif atau
menenangkan dapat mengurangi gejala sakit (Hart, 2008)
Mekanisme atau cara kerja guided imagery belum diketahui secara pasti
tetapi teori menyatakan bahwa relaksasi dan imajinasi positif melemahkan
psikoneuroimmunologi yang mempengaruhi respon stres. Respon stres
dipicu ketika situasi atau peristiwa (nyata atau tidak) mengancam fisik atau
kesejahteraan emosional atau tuntunan dari sebuah situasi melebihi
kemampuan seseorang, sehingga dengan imajinasi diharapkan dapat
merubah situasi stres dari respon negatif yaitu ketakutan dan kecemasan
menjadi gambaran positif yaitu penyembuhan dan kesejahteraan (Dossey,
1995 dalam Snyder, 2006). Respon emosional terhadap situasi, memicu
sistem limbik dan perubahan sinyal fisiologis pada sistem saraf perifer dan
otonom yang mengakibatkan melawan stres (Snyder, 2006).
Universitas Indonesia
26
Nyeri post operasi merupakan nyeri akut yang terjadi setelah intervensi bedah
yang memiliki awitan yang cepat. Ketika suatu jaringan mengalami cedera
atau kerusakan mengakibatkan dilepaskanya bahan-bahan yang dapat
menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamine, ion kalium,
bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang mengakibatkan adanya respon
nyeri (Potter & Perry, 2006). Nyeri juga dapat disebabkan oleh stimulus
mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri.
Pada umumnya pasien postoperasi merasakan nyeri yang sangat hebat akibat
dari tindakan operasi yang merusak jaringan dan saraf sekitar, oleh karena
Universitas Indonesia
28
Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
Tanggal 15 Mei 2013 pukul 10.15 Anak T berusia 16 tahun diantar orang tua
ke poli bedah syaraf datang dengan keluhan bila BAK dan BAB tidak terasa.
Tampak benjolan di daerah tulang ekor dengan lebar 8 cm dan ketebalan
kurang lebih 10 cm. Anak T merasa terganggu dengan benjolan yang tumbuh
sejak ia lahir. Terlebih lagi penyakitnya menyebabkan ketidakmampuannya
menahan BAB dan BAK. Anak T merupakan anak pertama dari 4 bersaudara.
Ibu Anak T mengatakan selama kehamilan tidak teratur mengkonsumsi
vitamin yang diberikan dari puskesmas karena mual. Ibu Anak T juga
mengatakan tidak suka makan sayur dan saat mengandung nafsu makannya
kurang sehingga mudah sakit. Anak T lahir secara spontan di bidan dengan
berat lahir 3500 gram dan langsung menangis. Ibu Anak T mengatakan
benjolan yang ada di bagian belakang anaknya sudah ada sejak lahir. Karena
ketidaktahuannya, ia membiarkan hingga saat ini.
Setelah dua hari dirawat untuk persiapan operasi pada tanggal 17 Mei 2013
Anak T menjalani proses pembedahan. Setelah operasi Anak T dirawat di
HCU selama 3 hari. Kemudian pada tanggal 20 Mei 2013 An.A kembali ke
ruang perawatan bedah. Keluhan yang mucul setelah operasi hari ke 3 antara
lain Anak T mengatakan nyeri seperti tertusuk- tusuk, nyeri terasa di sekitar
luka operasi. Skala 7 dari 10 (Visual Analog Scale), nyeri semakin kuat
terutama jika melakukan pergerakan. Tampak balutan luka pada daerah
sakrum, pus (-), bau (-), kemerahan (-), bengkak (-), panas (-), penurunan
fungsi (-), jahitan menyatu dengan baik, dan balutan paten, terpasang DC dan
drain sejak Anak T dioperasi tanggal 17 Mei 2013. Keluarga mengatakan
Anak T tidak bisa tidur karena menahan sakit. Anak T tampak menjaga area
luka. Wajah Anak T meringis menahan sakit saat diajak berbicara. Tampak
Anak T gelisah. Keluar keringat mengucur. Anak T dalam posisi miring
29 Universitas Indonesia
30
Anak T mendapat terapi diit makan lunak 1000 kalori, makan cair 6x250 cc.
Terapi cairan NaCl 0,9 % 500 cc, Ikaneuron 1 ampul, dan Tramadol 100 mg/
24 jam. Obat-obatan yang diberikan berupa Ceftriaxone 2x1 gr, Gentamicin
2x80 mg, Dexametason 3x5 mg, Ranitidin 2x50 mg, dan Ketorolac 2 x 10
mg.
Hasil laboratorium tanggal 17 Mei 2013 pukul 19.34: Hemoglobin 11,4 g/dL
(N:12,8-16,8 g/dL), Hematokrit 34% (N: 33%- 45%), Leukosit 11.700/ul (N:
4.500-13.000/ul), Trombosit 209.000/ul (N: 150.000-440.000/ul), Eritrosit
3,87 juta/ul (N: 3,8-5,2 juta/ul).
Hemostasis: APTT 29 detik (N: 27,4-39,3 detik), PT 12,9 detik (N: 12,7-16,1
detik). Kimia Klinik: SGOT 21 U/I (N:0-34 U/I), SGPT 7 U/I (N: 0-40 U/I),
Albumin 4,6 g/dl (N: 3,4-4,8 g/dl), Ureum 30 mg/dl (N: 0-48 mg/dl),
Universitas Indonesia
31
Kreatinin 0,6 mg/dl (0.0-0.9 mg/dl), GDS 100 mg/dl (70-140 mg/dl), Natrium
144 mmol/l (135-147 mmol/l), Kalium 3,91 mmol/l (3.1-5,1 mmol/l), Klorida
110 mmol/l (N: 95-108 mmol/l).
Hasil pemeriksaan radiologi berupa foto toraks dihasilkan cor dan pulmo
dalam batas normal (mediastinum superior tak melebar, ukuran dan bentuk
jantung normal, CTR <50%, aorta baik, pulmo kedua hilus tak menebal,
kedua sinus dan diafragma baik, tulang-tulang costae dan soft tissue baik).
Masalah kedua adalah risiko infeksi diperoleh dari Anak T yang mengatakan
setiap hari luka dibersihkan, mengatakan nyeri saat luka dibersihkan,
mengatakan tidak ada rembesan pada balutan luka. Risiko infeksi dapat
terjadi pada Anak T dengan post op rekonstruksi meningokel hari ke 3. Saat
ini suhu tubuh Anak T 36.8o C, tampak balutan luka pada daerah sakrum, pus
(-), bau (-), kemerahan (-), bengkak (-), panas (-), penurunan fungsi (-),
jahitan menyatu dengan baik, dan balutan paten, terpasang DC dan drain
Universitas Indonesia
32
sejak Anak T dioperasi tanggal 17 Mei 2013. Selain itu dari hasil
laboratorium diperoleh: hemoglobin 11,4 g/dL (N:12,8-16,8 g/dL), leukosit
11,7 ribu/ul (N: 4.5 – 13.0 ribu/ul).
Masalah ketiga adalah hambatan mobilitas fisik yang diperoleh dari Anak T
yang mengatakan nyeri jika melakukan pergerakkan, klien mengatakan pegal
dengan posisi miring karena biasa berbaring. Anak T tampak menjaga area
luka operasi, tampak balutan luka pada daerah sakrum post op rekonstruksi
meningokel hari ke 3, tampak miring kiri kanan dan tengkurap di tempat
tidur, segala kebutuhannya dipenuhi oleh keluarga dan perawat.
Universitas Indonesia
33
Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS SITUASI
Bab ini menguraikan profil lahan praktik tempat penulis mengambil kasus yang
dibahas pada karya ilmiah ini, analisis masalah keperawatan dengan konsep
terkait KKMP dan konsep kasus terkait. Selain itu dibahas pula analisis salah satu
intervensi dengan konsep dan penelitian terkait serta alternatif pemecahan yang
dapat dilakukan.
Teratai lantai III utara merupakan salah satu ruang perawatan anak umum dan
bedah yang ada di RSUP Fatmawati. Ruang bedah anak IRNA A Lantai III
Utara terdiri dari 12 kamar dengan kapasits tempat tidur sebanyak 45 tempat
tidur. Ke 12 kamar tersebut terbagi atas: 1 kamar bedah prima, 3 kamar kelas
I, 2 kamar kelas II, 1 kamar khusus isolasi infeksi, 1 kamar khusus luka
bakar, dan 4 kamar kelas III.
Berdasarkan catatan kepegawaian di ruang anak lantai III utara diperoleh data
bahwa pegawai di ruang ini terdiri dari perawat, pekarya, dan Cleaning
Service. Jumlah tenaga perawat di rungan sebanyak 23 orang yang terdiri dari
7 orang S1 keperawatan, 14 orang DIII keperawatan, 2 orang SPK, dan 2
34 Universitas Indonesia
35
orang pekarya SLTA. Ruangan di lantai III Utara dikepalai oleh seorang
kepala ruangan yaitu Ibu Ns. Yuminah S.Kep, dibantu wakil kepala ruangan
Ibu Fenty Sahara, AMK, dan dua orang PN yaitu PN 1 Ibu Yanti, AMK dan
Bapak Ns. Dedi Lisman, S.Kep, serta dilengkapi 17 orang perawat pelaksana.
Ruang bedah anak IRNA A Lantai III Utara memiliki beberapa fasilitas
dalam pelayanan keperawatan untuk para pasien, seperti tabung oksigen
besar, tensimeter raksa, termometer, 2 buah trolley obat, 1 buah trolley ganti
balutan, perlengkapan universal precaution (handscoon) yang belum cukup
memadai, alat tenun, suction, Nebulizer, syringe Pump dan lain-lain. Namun,
ruangan tidak mempunyai EKG. Kebutuhan EKG dipenuhi dengan
meminjam EKG ke ruangan lain.
Kasus bedah yang ada di ruangan teratai lantai III Utara bervariasi, seperti
hipospadia, atresia ani, hidrosefalus, fraktur, spina bifida, palatoskiziz,tumor
abdimen, kista, dan lain sebagainya.
4.2 Analisa Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan Kasus
Terkait
Spina bifida merupakan salah satu kasus kelainan kongenital yang berada di
ruang bedah anak RSUP Fatmawati. Spina bifida adalah defek pada
penutupan kolumna vertebralis dengan atau tanpa tingkatan protusi jaringan
melalui celah tulang (Hockenberry & Wilson, 2009). Selama tiga bula
terakhir, sembilan dari seratus anak yang dirawat di ruangan menderita
penyakit ini. Usia anak yang menderita kasus ini berkisar pada bayi baru lahir
hingga usia satu tahun. Penyebab spesifik dari spina bifida tidak diketahui,
tetapi menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa spina bifida muncul
akibat dari faktor genetik (keturunan), kekurangan asam folat, dan ibu dengan
epilepsi yang menderita panas tinggi dalam kehamilannya mengkonsumsi
obat-obat asam volproic, anti konvulsan, klomifen. Kekurangan asam folat
akan menyebabkan bayi menderita spina bifida dan kecacatan lainnya. Asam
folat juga diketahui sebagai koenzim untuk produksi DNA serta
Universitas Indonesia
36
meningkatkan replikasi sel. Asam folat sangat dibutuhkan pada minggu kedua
sampai keempat pertumbuhan janin. Penelitian telah menunjukkan bahwa
kekurangan asam folat (folat) adalah faktor dalam patogenesis cacat tabung
saraf, termasuk spina bifida (Brunner & Suddart, 2002).
Pada kasus anak T yang mengalami spina bifida, Ibu Anak T mengatakan
selama hamil ia jarang mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh
dokter saat melakukan pemerikasaan kehamilan. Ibu Anak A mengatakan
mual setelah mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Ibu juga mengatakan nafsu
makannya turun. Jarang mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Ibu
Anak T juga tidak mengetahui apa itu asam folat dan dalam bentuk apa yang
harus dikonsumsi. Anak T merupakan anak pertama, sehingga Ibu Anak A
belum mengetahui banyak hal tentang kehamilan. Ibu Anak T tinggal di
perkampungan padat penduduk yang tidak jauh dari jalan raya. Ayah Anak T
seorang perokok. Sering kali Ayah Anak T merokok di dekat Ibu Anak T.
Walaupun bukan perokok aktif, Ibu Anak T yang saat itu mengandung juga
menghirup asap rokok yang dikeluarkan suaminya.
Faktor risiko terjadinya spina bifida juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Kepadatan penduduk dan polusi yang ada saat ini dapat mengancam
kesehatan tubuh manusia, tanpa terkecuali pada ibu yang sedang
mengandung. Polusi udara yang disebabkan oleh lalu lintas, industri hingga
debu selama masa kehamilan akan meningkatkan risiko berat lahir bayi
rendah. Ada dua jenis polusi kendaraan bermotor yang berdampak pada
pertumbuhan janin, yaitu partikel hitam dan nitrogen dioksida. Dua jenis
polusi itu bisa masuk paru-paru dan mengganggu fungsi organ itu. Hasil studi
di Amerika Serikat yang dipublikasikan dalam Jurnal Epidemiologi dan
Kesehatan Komunitas sebagaimana dikutip situs BBC menyebutkan,
tingginya paparan polusi dari asap kendaraan bermotor pada ibu pada awal
dan akhir kehamilan bisa menyebabkan janin tidak tumbuh baik sehingga
bayi lahir dengan berat badan rendah. Hal ini dapat menyebabkan bayi lahir
dengan kelainan kongenital. Pancaran radiasi pada ibu hamil juga dapat
Universitas Indonesia
37
Asap rokok ini mengandung berbagai macam bahan kimia yang berbahaya,
lebih dari sekitar empat ribu diantaranya sianida, nikotin, karbon monoksida
serta 60 buah senyawa penyebab kanker. Jika seorang ibu hamil merokok,
maka semua zat-zat kimia tersebut akan mengalir dalam darah dan sampai ke
janin. Sementara dari empat ribu bahan kimia itu tidak ada satu pun yang baik
bagi bayi, maka yang terjadi adalah bayi akan terkontaminasi zat kimia
berbahaya bahkan sebelum ia tumbuh. Nikotin serta karbon monoksida bisa
berakibat gangguan janin karena dapat mengurangi pasokan oksigen lewat tali
pusat. Nikotin berkerja seperti kolesterol yang menyebabkab penyempitan
pembuluh darah ibu hamil dan menyumbat aliran oksigen di seluruh
pembuluh darah termasuk tali pusat. Keadaan akan semakin memburuk
karena sel-sel darah merah yang membawa oksigen pada akhirnya juga bisa
membawa molekul karbon monoksida dan menyalurkannya ke janin.
Universitas Indonesia
38
Kelainan spina bifida pada Anak T tidak diketahui oleh orang tua selama
kehamilan. Orang tua baru mengetahui hal ini ketika Anak T lahir. Ibu Anak
T mengatakan tanda yang muncul berupa penonjolan pada bagian tulang
belakang dekat dengan bokong. Awalnya benjolan itu kecil namun lama
kelamaan semakin membesar. Bahkan menyebabkan Anak T hingga usia 16
tahun tidak dapat menahan BAK dan BAB. Saat ditanyakan tentang penyakit
ini pada orang tua, mereka menjawab tidak mengetahui jika dapat berdampak
pada BAB dan BAK anaknya. Anak T mengatakan malu jika sampai saat ini
masih menggunakan diapers, sehingga Anak T memberanikan diri untuk
dilakukan tindakan operasi.
Universitas Indonesia
39
Universitas Indonesia
40
operasi yang merusak jaringan dan saraf sekitar, oleh karena kerusakan saraf-
saraf itu, maka ujung-ujung saraf menyampaikan stimulusnya ke sistem saraf
pusat, dan timbulah persepsi nyeri (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Hal itu didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Hart (2008), jika
seseorang membayangkan suatu hal negatif atau menakutkan dapat
meningkatkan rasa sakit atau kecemasan maka hal tersebut dapat dinetralkan
dengan pikiran positif atau menenangkan. Pikiran dapat dilatih untuk
berfokus pada imajinasi penyembuhan. Jika imajinasi menakutkan atau
negatif memiliki kemampuan untuk meningkatkan rasa sakit dan gejala lain
yang tidak diinginkan, maka imajinasi positif atau menenangkan dapat
mengurangi gejala sakit (Hart, 2008).
Universitas Indonesia
41
Kedua, terkait subjek yang memimpin, dibutuhkan suara yang lembut dan
menenangkan dalam melakukan guided imagery. Beban kerja perawat yang
begitu banyak memungkinkan tidak terlaksananya terapi ini secara berkala.
Oleh karena itu pelibatan anggota keluarga sangat dibutuhkan. Sesuai dengan
konsep family centered care yang menyatakan bahwa kolaborasi antara
tenaga kesehatan dan unit keluarga sangat penting dilakukan dalam usaha
peningkatan derakat kesehatan klien (Bowden & Greenberg, 2012). Keluarga
dapat diajarkan untuk melakukan guided imagery dan dapat menerapkannya
disaat anak mengalami nyeri.
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan, yaitu mengetahui keefektifan
guided imagery dalam mengurangi gangguan rasa nyaman pada anak spina
bifida paska pembedahan, diperoleh hasil:
a) Anak dengan paska pembedahan mengalami gangguan rasa nyaman
berupa nyeri.
b) Terjadi penurunan nyeri dari skala 7 menjadi skala 1 (Visual Analog Scele)
pada anak paska pembedahan setelah dilakukan guided imagery selama
empat hari (kurang lebih 10 menit setiap intervensi) berturut-turut dan
dilakukan secara teratur.
c) Penurunan skala nyeri pada anak yang tidak diberikan guided imagery
lebih lama dari pada anak yang diberikan terapi guided imagery.
5.2 Saran
5.2.1 Pelayanan
Berdasarkan hasil penelitian terkait keefektifan pada pemberian guided
imagery dalam menangani nyeri, diharapkan institusi pelayanan dapat
menerapkan teknik ini sebagai terapi komplementer yang dijalankan
bersama dengan penatalaksanaan terapi farmakologi.
5.2.2 Pendidikan
Bedasarkan hasil penelitian yang menunjukkan terjadi penurunan nyeri pada
anak paska pembedahan yang diberikan guided imagery, diharapkan hasil
ini dapat menjadi pertimbangan untuk institusi pendidikan dalam
42 Universitas Indonesia
43
5.2.3 Penelitian
Aplikasi guided imagery ini baru diberikan kepada seorang pasien dengan
paska pembedahan dengan usia diatas 10 tahun. Oleh karena itu, diharapkan
penerapan aplikasi guided imagery ini dapat diterapkan bukan hanya pada
kasus paska pembedahan tetapi pada kasus lainnya dengan rentang usia
berbeda. Sehingga dapat lebih meyakinkan bahwa teknik ini efektif
digunakan untuk pengurang nyeri.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
44 Universitas Indonesia
45
Universitas Indonesia
WOC SPINA BIFIDA
Jenis Spina Bifida: Kekurangan Asam folat Faktor Risiko:
Genetik
1. Spina Bifida Okulta (Defek - Lingkungan (Polusi
tidak terlihat) Udara, Radiasi, Asap
2. Spina Bifida Kistik (Defek Pengertian: Kegagalan penutupan roko)
terlihat berupa penonjolan) tulang spina (defek midline) SPINA BIFIDA Hidrosefalus
- Konsumsi obat-obatan
a. Meningokel (Menutupi (Smeltzer & Bare, 2002).
meninges dan cairan spinal)
b. Mielomeningokel (Berisi Peningkatan cairan Risiko
cairan spinal, meninges, dan Cairan spinal mengisi bagian defek serebrospinal Infeksi
nervus) Gangguan
rasa nyaman
Benjolan di vetebra (lumbal/ sakral) Operasi Terdapat luka operasi
Pemeriksaan Diagnostik:
1. MRI (Magnetic Resonance Gangguan
Imaging) Body Image Menekan sistem saraf (medulla spinalis) Nyeri Nyeri Akut
2. Ultrasuara
3. CT Scan
4. Mielografi Keterbatasan gerak
5. Triple Screen Gangguan fungsi otot Gangguan fungsi
6. Pemeriksaan Laboratorium springter otot
- Urinalisis
- Kultur Kerusakan
- BUN BAK tidak terasa Kelemahan Kelemahan Mobilitas Fisik
- Kreatinin Panggul Tungkai atau kaki
Mengompol
Hockenberry, M.J., & Wilson, D. (2009). Wong’s essentials of pediatric nursing 8 th ed. Missouri: Mosby Elsevier.
Sumber: Smeltzer, S.,C. & Bare, B.,G. (2002). Brunner & Suddarth’s textbook of medical-surgical. (Waluyo,A. …[et al], penerjemah). Philadelphia: Lippincott-Raven Publishers. (Sumber asli diterbitkan 1996).
Wilkinson, J. M., & Ahern, N. M. (2012). Buku saku diagnosa keperawatan: diagnosa NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta: EGC.
Wong, D. L., Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M. L., & Schwartz, P. (2009). Wong: Buku ajar keperawatan pediatrik, volume 2. Jakarta: EGC.
Universitas Indonesia
LAPORAN PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANAK
PRAKTIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT
PERKOTAAN (KKMP)
I. Identitas
A. Identitas Klien
1. Nama/Nama panggilan : An. T
2. Tempat tgl lahir/usia : Bogor, 20 Februari 1997
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. A g a m a : Islam
5. Alamat : Jl. Lebak Wangi RT 03/02 Parung, Bogor, Jawa Barat
6. Tgl masuk : 13 Mei 2013 pukul 11.00
7. Tgl pengkajian : 20 Mei 2013
8. Diagnosa medik : Spina Bifida
Tn. K Ib. K
40 th
An.A An. M
An.T An.I
12 th 1 th
16 th 7 th
Ket :
: Klien
: Sumber Informasi
: Tinggal serumah
X. Aktivitas sehari-hari
A. Nutrisi
Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit
1. Selera makan Baik Baik
B. Cairan
Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit
1. Jenis minuman Air Putih Air Putih
2. Frekuensi minum > 5 kali > 5 kali
3. Kebutuhan cairan 1000 cc 1000 cc
4. Cara pemenuhan Baik Baik
C. Eliminasi (BAB&BAK)
Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit
1. Tempat pembuangan Normal Normal
2. Frekuensi (waktu) 4x/hr (BAK), 1-2x/ hr (BAB) 4x/hr (BAK), 1-2x/ hr (BAB)
3. Konsistensi Cair (BAK), Lunak (BAB) Cair (BAK), Lunak (BAB)
4. Kesulitan Tidak terasa saat BAB dan BAK Tidak terasa saat BAB dan BAK
5. Obat pencahar Tidak menggunakan Tidak menggunakan
D. Istirahat tidur
Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit
1. Jam tidur
- Siang 2 jam/ hari 1 jam/ hari
- Malam 8 jam/ hari 6 jam/ hari
2. Pola tidur Normal Normal
3. Kebiasaan sebelum tidur Tidak ada Tidak Ada
4. Kesulitan tidur Tidak ada Tidak ada
E. Olah Raga
Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit
1. Program olah raga - -
2. Jenis dan frekuensi
3. Kondisi setelah olah raga
F. Personal Hygiene
Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit
1. Mandi
- Cara Mandi sendiri Di usap dengan handuk
- Frekuensi 2xsehari 2x/hari
- Alat mandi Sabun, sikat gigi, pasta gigi Sabun, sikat gigi, pasta gigi
2. Cuci rambut
- Frekuensi 2x/hari 2xsehari
- Cara Diusap-usap Diusap-usap
3. Gunting kuku
- Frekuensi 1 pekan sekali Tidak pernah digunting
- Cara Digunting menggunakan -
guntung kuku sendiri.
4. Gosok gigi
- Frekuensi Setiap mandi Setiap mandi
- Cara Sikat gigi Sikat gigi
G. Aktifitas/Mobilitas Fisik
Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit
1. Kegiatan sehari-hari Suka bermain, aktif Suka bermain, aktif
2. Pengaturan jadwal harian Tidak ada Tidak ada
3. Penggunaan alat Bantu aktifitas Tidak Tidak
4. Kesulitan pergerakan tubuh Tidak Ya
H. Rekreasi
Kondisi Sebelum Sakit Saat Sakit
1. Perasaan saat sekolah - -
2. Waktu luang Setiap saat Setiap saat
3. Perasaan setelah rekreasi Senang Senang
4. Waktu senggang klg Setiap hari Setiap hari
5. Kegiatan hari libur Tidak terjadwalkan Tidak terjadwalkan
Ekstremitas bawah
a. Motorik
- Gaya berjalan : normal
- Kekuatan kanan / kiri : baik
- Tonus otot kanan / kiri : baik
b. Refleks
- KPR kanan / kiri : normal
- APR kanan / kiri : normal
- Babinsky kanan / kiri : ada
c. Sensori
- Nyeri : tidak ada
- Rangsang suhu : baik
19. Status Neurologi.
Saraf – saraf cranial
a. Nervus I (Olfactorius) : penghidu : normal
b. Nervus II (Opticus) : Penglihatan : normal
c. Nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlearis, Abducens)
- Konstriksi pupil : normal
- Gerakan kelopak mata : normal
- Pergerakan bola mata : normal
- Pergerakan mata ke bawah & dalam : normal
d. Nervus V (Trigeminus)
- Sensibilitas / sensori : normal
- Refleks dagu : normal
- Refleks cornea : normal
e. Nervus VII (Facialis)
- Gerakan mimik : normal
- Pengecapan 2 / 3 lidah bagian depan : normal
f. Nervus VIII (Acusticus)
Fungsi pendengaran : normal
g. Nervus IX dan X (Glosopharingeus dan Vagus)
- Refleks menelan : baik
- Refleks muntah : baik
h. Nervus XI (Assesorius)
- Memalingkan kepala ke kiri dan ke kanan : normal
- Mengangkat bahu : normal
i. Nervus XII (Hypoglossus)
- Deviasi lidah : normal
Tanda – tanda perangsangan selaput otak
a. Kaku kuduk : tidak ada
b. Kernig Sign : normal
c. Refleks Brudzinski : normal
DO:
- Anak T tampak meringis menahan sakit saat diajak berbicara.
- Diaforesis (+)
- Tampak melindungi area luka.
- Terdapat luka post op di daerah tulang belakang sepanjang 15
cm ditutup oleh kassa.
- Hasil TTV: TD 110/80 mmHg; Suhu 36,8o C ; Nadi 100 x/menit
; RR 24 kali/ menit.
- Tampak gelisah
- Wajah tampak layu
DO:
- Post op rekonstruksi meningokel
- Tampak balutan luka pada daerah sarkum
- Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi seperti pus (-), bau (-),
kemerahan (-), bengkak (-), panas (-), penurunan fungsi (-),
jahitan menyatu dengan baik, dan balutan paten.
- Terpasang DC dan drain sejak tanggal 17 Mei 2013
- Suhu tubuh klien: 36.80 C
- Hasil lab (17 Mei 2013; 19.34) hemoglobin 11,4 g/dL (N:12,8-
16,8 g/dL), leukosit : 11,7 ribu/ul (nilai normal (4.5 – 13.0
ribu/ul)
DS: Hambatan Mobilitas Fisik
- Klien mengatakan nyeri jika melakukan pergerakkan
- Klien mengatakan pegal dengan posisi miring karena biasa
berbaring
DO:
- Klien menjaga area luka agar tidak bergesek.
- Kesulitan membolak-balikan posisi.
- Tampak balutan luka pada daerah sakrum.
- Post op rekonstruksi meningokel.
- Klien tirah baring.
- Keterbatasan melakukan pergerakan sendi
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN POST OP REKONSTRUKSI MENINGOKEL
PADA ANAK T
Universitas Indonesia
teknik manajemen nyeri, seperti meningkatkan rasa kontrol dan dapat
relaksasi napas dalam, imajinasi meningkatkan kempuan koping dalam
visualisasidan sentuhan terapeutik. mananjemen nyeri.
KOLABORASI
1. Kolaborasi pemberian analgesik 1. Merupakan tindakan dependent perawatan,
sesuai indikasi. dimana analgesik berfungsi untuk memblok
stimulus nyeri.
2. Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan MANDIRI
keperawatan selama 4 hari, 1. Memantau TTV, perhatikan 1. Demam 38oC segera setelah pembedahan
Pada hari ke 3 post op rekonstruksi klien tidak mengalami infeksi. peningktan suhu. dapat menandakan infeksi luka atau
meningokel data yang diperoleh: pembentukan tromboflebitis.
Kriteria Hasil:
DS: 1. Tidak ditemukan tanda dan 2. Melakukan tindakan aseptik 2. Menurunkan risiko pasien terkena infeksi
- Klien mengatakan setiap hari luka gejala infeksi seperti demam sebelum dan sesudah kontak dengan sekunder. Mengontrol penyebaran infeksi.
dibersihkan atau peningkatan suhu, klien.
- Klien mengatakan nyeri saat kemerahan, bengkak, pus
dibersihkan pada luka. 3. Melakukan perawatan luka aseptik. 3. Melindungi pasien dari terkontaminasi bakteri
- Klien mengatakan tidak ada rembesan dan membantu dalam penyembuhan luka.
luka 2. TTV dalam batas normal.
4. Mengobservasi tanda-tanda infeksi. 4. Mencegah terjadinya infeksi dan sebagai
DO: 3. Pasien dan keluarga dasar melakukan intervensi.
- Post op rekonstruksi meningokel memelihara higiene personal
- Tampak balutan luka pada daerah dengan mencusi tangan KOLABORASI
sarkum sebelum dan sesudah 1. Berikan antibiotik sesuai indikasi. 1. Mencegah infeksi.
- Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi bersentuhan dengan balutan,
seperti pus (-), bau (-), kemerahan (-), cairan tubuh klien.
bengkak (-), panas (-), penurunan
fungsi (-), jahitan menyatu dengan 4. Pasien dan keluarga mampu
baik, dan balutan paten. melaporkan tanda dan gejala
- Terpasang DC dan drain sejak tanggal infeksi
17 Mei 2013
- Suhu tubuh klien: 36.80 C
- Hasil lab (17 Mei 2013; 19.34)
Universitas Indonesia
hemoglobin 11,4 g/dL (N:12,8-16,8
g/dL), leukosit : 11,7 ribu/ul (nilai
normal (4.5 – 13.0 ribu/ul)
3. Hambatan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan intervensi MANDIRI
selama 4 hari, klien akan 1. Memfasilitasi penggunaan postur 1. Mencegah keletihan dan ketegangan atau
Pada hari ke 3 post op rekonstruksi menunjukkan kemampuan dan pergerakan dalam melakukan cedera muskuloskeletal.
meningokel data yang diperoleh: mobilisasi optimal. aktivitas.
DS: Kriteria Hasil: 2. Mengatur posisi pasien secara 2. Mencegah insiden komplikasi kulit atau
- Klien mengatakan nyeri jika Klien akan: periodik (tengkurap atau miring pernafasan.
melakukan pergerakkan 1. Mempertahankan mobilitas selama 2 jam sekali) dan dorong
- Klien mengatakan pegal dengan posisi optimal yang dapat untuk latihan nafas dalam.
miring karena biasa berbaring ditoleransi.
2. Melakukan pergerakan dan 3. Ajarkan dan dukung pasien dalam 3. Mempertahankan dan meningkatkan kekuatan
DO: perpindahan secara latihan ROM aktif dan pasif. otot.
- Klien menjaga area luka agar tidak perlahan.
bergesek. 3. Mempertahankan atau 4. Memberikan perawatan kulit yang 4. Menurunkan risiko iritasi atau kerusakan
- Kesulitan membolak-balikan posisi. meningkatkan kekuatan dan baik, masase titik yang tertekan kulit.
- Tampak balutan luka pada daerah fungsi bagian tubuh yang setelah perubahan posisi.
sakrum. sakit.
- Post op rekonstruksi meningokel. KOLABORASI
- Klien tirah baring. 1. Kolaborasi dengan ahli terapi 1. Sebagai suatu sumber untuk mengembangkan
- Keterbatasan melakukan pergerakan perencanaan dan mempertahankan mobilitas
sendi pasien.
Universitas Indonesia
CATATAN PERKEMBANGAN
22/05/2013 Hambatan Mobilitas Fisik - Melakukan ROM aktif asistif S:Klien mengatakan setelah dilakukan masase
setiap hari pada pukul 14.30 saat mandi sore lebih nyaman.
14.00 DS:Klien mengatakan kebutuhan - Meminimalkan pergerakan dengan Klien mengatakan tangan dan kakinya lebih
- sehari-hari dipenuhi oleh memposisikan tengkurap atau enak digerakan setelah melakukan ROM.
20.00 keluarga, setelah dilakukan miring selama 2 jam sekali O:
masase lebih nyaman. - Memberikan perawatan kulit yang - Klien tampak melakukan latihan ROM
DO: baik, masase titik yang tertekan secara mandiri.
- Klien tampak melakukan setelah perubahan posisi pada - Klien tampak memenuhi kebutuhan
latihan ROM dibantu oleh pukul 16.00. dibantu oleh keluarga.
perawat dan keluarga. - Memberikan pendidikan - Klien masih melakukan segala aktivitas di
- Klien tampak memenuhi kesehatan untuk latihan tempat tidur.
kebutuhan dibantu oleh pergerakan sedikit demi sedikit - Klien dalam posisi miring kanan
keluarga. hingga kondisi tubuh kembali - Klien tampak rileks setelah dilakukan
- Klien masih melakukan pulih. masase, tidak ada luka tekan.
segala aktivitas di tempat
tidur A: Masalah gangguan mobilisasi fisik teratasi
- Klien dalam posisi miring kiri sebagian.
- Klien tampak rileks setelah
dilakukan masase, tidak ada P :
luka tekan. - Memberikan pendidikan kesehatan untuk
latihan pergerakan sedikit demi sedikit
hingga kondisi tubuh kembali pulih.
- Motivasi melakukan ROM aktif asisif
setiap hari
- Reposisi setiap 2 jam sekali
Tgl Diagnosis Implementasi Evaluasi SOAP Tanda
Keperawatan Tangan
23/05/2013- Nyeri Akut - Mengobservasi nyeri meliputi S:
24/05/2013 lokasi, karakteristik, durasi, - Klien mengatakan nyeri jarang dirasakan
DS : frekuensi, kualitas, intensitas (0- sekarang, skala 1-2.
20.00 - Klien mengatakan nyeri masih 10), dan faktor presipitasi - Klien mengatakan nyeri teratasi setelah
- terasa di bagian tulang menggunakan bantuan skala melakukan nafas dalam dan
09.00 belakang bawah, nyeri seperti visual analogi setiap 8 jam.. membayangkan hal-hal yang
tertusuk, muncul terutama - Memantau TTV setiap 8 jam menyenangkan.
ketika melakukan pergerakan - Mertahahankan imobilisasi bagian - Klien mengatakan lebih nyaman dari hari
atau tergesek, kualitas tumpul, yang sakit dengan tirah baring. ke hari.
skala 3. - Memberikan posisi nyaman. O:
- Klien mengatakan nyeri - Motivasi dan mengevaluasi klien - Klien terlihat lebih rileks dan tersenyum
berkurang setelah melakukan dalam menggunakan teknik saat ditanyakan perasaannya setelah
nafas dalam dan relaksasi nafas dalam dan guided melakukan teknik nafas dalam dan guided
membayangkan hal-hal yang imagery. imagery.
menyenangkan ketika terasa - Kolaborasi pemberian terapi obat - Hasil pengukuran TTV: TD 110/80 mmHg,
nyeri muncul. ketorolac 2x10 mg (Pukul 08.00 N 80X/menit, RR 18X/menit; Suhu 36,5oC.
- Klien mengatakan lebih dan 20.00). - Klien tampak dalam posisi miring kanan.
nyaman hari ini. - Klien diberikan ketorolac 10 mg pada
DO : pukul 20.00
- Klien terlihat lebih rileks dan A : Masalah nyeri teratasi
tersenyum saat ditanyakan P:
perasaannya setelah - Motivasi klien untuk melakukan teknik
melakukan teknik nafas dalam relaksasi apabila terasa nyeri
dan guided imagery. - Lanjutkan pemberian ketorolac 2x10 mg
- Hasil pengukuran TTV: TD - Pantau TTV setiap 8 jam
120/80 mmHg, N 86X/menit, - Mengobservasi nyeri
RR 18X/menit; Suhu 36,8oC.
- Klien tampak dalam posisi
miring kanan.
- Klien diberikan ketorolac 10
mg pada pukul 20.00
23/05/2013- Risiko Infeksi - Mengukur TTV pukul 20.00 S:
24/05/2013 - Melakukan tindakan aseptik - Klien sudah menerapkan cuci tangan
DS: sebelum dan sesudah kontak sebelum mengusap-usap sekitar bagian
20.00 - Klien sudah menerapkan cuci dengan klien. luka apabila gatal.
- tangan sebelum mengusap- - Motivasi klien dan keluarga untuk O:
09.00 usap sekitar bagian luka tindakan aseptik sebelum dan - Hasil pengukuran TTV pukul 20.00
apabila gatal. sesudah kontak dengan klien TD 110/80 mmHg, N 80X/menit, RR
DO: (menyentuh balutan luka). 18X/menit; Suhu 36,5oC.
- Hasil pengukuran TTV pukul - Mengobservasi tanda dan gejala - Perawat selalu menerapkan tindakan
20.00 infeksi pukul 14.00 aseptik sebelum dan sesudah kontak
TD 110/80 mmHg, N - Kolaborasi pemberian antibiotik dengan pasien.
88X/menit, RR 20X/menit; ceftriaxone 2x1 gr (Pukul 08.00 - Kondisi luka baik, rembes (-), bau (-),
Suhu 37oC. dan 20.00) kemerahan (-), bengkak (-), panas (-).
- Perawat selalu menerapkan - Pemberian antibiotik pukul 20.00
tindakan aseptik sebelum dan
sesudah kontak dengan A: Masalah risiko infeksi tidak terjadi
pasien. P:
- Kondisi luka baik, rembes (- - Motivasi klien dan keluarga untuk
), bau (-), kemerahan (-), tindakan aseptik sebelum dan sesudah
bengkak (-), panas (-). kontak dengan klien (menyentuh balutan
- Pemberian antibiotik pukul luka).
20.00 - Pantau tanda dan gejala infeksi
- Ukur TTV setiap 8 jam
- Melakukan perawatan luka setiap hari
- Lanjutkan pemberian terapi
23/05/2013- Hambatan Mobilitas Fisik - Melakukan ROM aktif asistif S:Klien mengatakan senang sudah bisa
24/05/2013 setiap hari pada pukul 07.00 bangun dan berjalan sedikit demi sedikit
DS:Klien mengatakan setelah - Meminimalkan pergerakan dengan dibantu nenek.
20.00 dilakukan masase saat mandi sore memposisikan tengkurap atau O:
- lebih nyaman. miring selama 2 jam sekali - Klien tampak sudah mampu berjalan
09.00 Klien mengatakan tangan dan - Memberikan perawatan kulit yang merambat tembok..
kakinya lebih enak digerakan baik, masase titik yang tertekan - Klien tampak memenuhi kebutuhan
setelah melakukan ROM. setelah perubahan posisi pada sendiri dan dipantau keluarga.
DO: pukul 06.00. - Klien sudah mampu ke kamar mandi
- Klien tampak melakukan - Memberikan pendidikan didampingi keluarga.
latihan ROM secara mandiri. kesehatan untuk latihan - Klien tampak duduk di tempat tidur
- Klien tampak memenuhi pergerakan sedikit demi sedikit - Klien tampak rileks setelah dilakukan
kebutuhan dibantu oleh hingga kondisi tubuh kembali masase, tidak ada luka tekan.
keluarga. pulih.
- Klien masih melakukan A: Masalah gangguan mobilisasi fisik teratasi
segala aktivitas di tempat
tidur. P :
- Klien dalam posisi miring - Memberikan pendidikan kesehatan untuk
kanan latihan pergerakan sedikit demi sedikit
- Klien tampak rileks setelah hingga kondisi tubuh kembali pulih.
dilakukan masase, tidak ada
luka tekan.
BIODATA PENULIS