Anda di halaman 1dari 15

International Journal of Penelitian Ilmiah dan Publikasi, Volume 8, Issue 3, Maret

2018 283 ISSN 2250-3153 


HUBUNGAN MENYUSUI FREKUENSI HUBUNGAN DENGAN ikterus
KEJADIAN ANTARA BAYI BARU LAHIR DI AURA SYIFA RUMAH SAKIT
KEDIRI KABUPATEN INDONESIA 
Eny Sendra *, Herawati Mansur *, Anggraini Khodijahturrohmah * 
* Poltekkes Kemenkes Malang 
DOI:10.29322/IJSRP.8.3.2018.p7542
http://dx.doi.org/10.29322/IJSRP.8.3.2018.p7542 

Abstrak- Menyusui sesering mungkin selama hari pertama kehidupan, dapat


melepaskan meconium pada bayi. Meconium memiliki bilirubin, ketika dikeluarkan,
dapat meningkatkan reabsorpsi bilirubin dan menyebabkan penyakit kuning pada
bayi. Sesuai permintaan menyusui dengan frekuensi antara 8-12 kali / hari, sangat
penting bagi bayi untuk mencegah penyakit kuning pada bayi. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui hubungan antara frekuensi ASI dengan ikterus pada bayi
baru lahir. Desain penelitian menggunakan survei analitik dengan pendekatan kohort.
Jumlah populasi adalah 30 responden, diambil dengan menggunakan accidental
sampling dengan jumlah sampel 28 responden, yang sesuai dengan kriteria inklusi.
Instrumen yang digunakan lembar observasi menyusui dan kejadian ikterus. Dianalisa
dengan uji Fisher Exact dengan nilai ρ adalah 0,33 dan tingkat kesalahan adalah 0,05
(α = 0,05). Hasil yang diperoleh nilai ρ adalah 0,33> α = 0,05 menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan frekuensi ASI dengan ikterus pada bayi baru lahir. Berdasarkan
hasil penelitian, bentuk puting susu dan teknik menyusui sangat berpengaruh terhadap
pelepasan ASI. Kematangan fungsi hati menentukan penyakit kuning pada bayi baru
lahir atau tidak. 
Ketentuan Indeks- Bayi baru lahir, frekuensi ASI, kejadian, ikterus 
A s 2011). Begitu ASI, susu bayi http://dx.doi.org/10.29322/IJSRP.8.3.2018.p7542
www.ijsrp.org 
Kontak awal antara ibu dan bayi adalah upaya awal yang efektif untuk
memungkinkan menyusui (Deslidel, secara alami mudah dicerna oleh bayi baru lahir,
karena itu adalah satu-satunya makanan yang sesuai dengan saluran pencernaan bayi
baru lahir. ASI juga mengandung antibodi yang dapat melindungi bayi dari penyakit
selama 6 bulan pertama kehidupan (Maryunani, 2010). 
Menyusui segera setelah bayi lahir, yang dilakukan selama 30 menit - 1 jam, adalah
langkah pertama yang dilakukan antara ibu dan bayi, untuk melatih refleks bayi untuk
mencari puting susu ( rooting reflect ) sehingga proses menyusui dapat segera
terjadi.Riskesdas Hasil menunjukkan proses IMD telah meningkat dari 293% pada
2010 menjadi 345% pada 2013. Ini menunjukkan bahwa Indonesia cukup berhasil
dalam mengimplementasikan IMD (Pusdatin, 2013) . Di Indonesia, kejadian ikterus
yang terjadi pada beberapa pendidikan rumah sakit seperti di Cipto Mangun Kusumo,
58% terjadi pada neonatus aterm dan 29,3% terjadi pada neonatus prematur. Di dr.
Rumah Sakit Sardjito melaporkan sebanyak 85% neonatus cukup bulan yang dan
23,8% neonatus prematur mengalami ikterus di awal kehidupan, dan di Rumah Sakit
dr. Kariadi Semarang, ikterus kejadian sebesar 12,0% terjadi pada Neonatal dan
22,8% pada neonatus prematur. Tingkat kematian terkait hiperbilirubinemia adalah
13,1% (Ningsih, 2013). 
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Aura Syifa
Kabupaten Kediri, kejadian penyakit kuning pada tahun 2014 terjadi pada 5 bayi dan
pada tahun 2016, 11 bayi mengalami penyakit kuning di awal kehidupan. Ini
menunjukkan bahwa kejadian ikterus pada bayi baru lahir masih sering terjadi. 

Jurnal Internasional Publikasi Ilmiah dan Penelitian, Volume 8, Edisi 3, Maret 2018
284 ISSN 2250-3153 

Salah satu upaya untuk mencegah penyakit kuning pada bayi baru lahir yang dapat
dilakukan adalah menyusui secepat mungkin pada bayi untuk mengurangi  pekerjaan
sirkulasi enterohepatik, mempertahankan bakteri normal stabilitas flora, dan
merangsang aktivitas usus kecil (IDAI, 2008). 

menyusui sedini mungkin dan sesering mungkin akan meningkatkan motilitas usus
dan juga menyebabkan masuknya bakteri ke dalam usus. Bakteri dapat mengubah
bilirubin langsung menjadi urobilin yang tidak diserap kembali. Dengan demikian,
kadar bilirubin serum akan turun (Maria, 2013). 

Berdasarkan hasil penelitian Khairunnisak (2013) tentang "Hubungan Menyusui


dengan Genesis Ikterus pada Baru BayiLahir 0-7 Hari di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2013", disarankan bahwa dari
35 responden yang sering melakukan menyusui, mayoritas memiliki penyakit kuning
(68,6%) dengan warna kuning tidak terlihat dalam 24 jam pertama setelah bayi lahir
dan dari 16 responden yang tidak sering memberikan. Sebagian besar ASI 87,5%
memiliki penyakit kuning dengan kuning warna terlihat dalam 24 jam pertama
setelah bayi lahir. 

Menurut Rufia Desi Maria (2013) studi tentang "Frekuensi Menyusui dengan Insiden
Ikterus di BBL 2-10 H di BPM" N "Padang Panjang T 2013", menunjukkan bahwa
dari 30 bayi dengan ikterus fisiologis, 18 bayi (60%) menderita penyakit kuning
karena kurangnya menyusui dan sebanyak 12 bayi (40%) tidak mengalami penyakit
kuning karena mereka sering menyusui. 

Nofrida Pratistiyana (2011), hasil penelitian tentang "sebuah asosiasi Frekuensi


Menyusui dengan Penyakit kuning Neonatorum sebuah insiden di Surabaya
Adiguna RSB" menunjukkan bahwa dari 30 bayi jangka, ada 7 bayi jangka yang sakit
kuningdengan frekuensi menyusui < 8 kali per hari, sedangkan 23 bayi cukup bulan
tidak mengalami ikterus neonatal hampir seluruhnyaa bayi dengan frekuensi
menyusui 8-12 kali per hari 22 bayi (95,65%). 
Berdasarkan pengalaman praktik pada Juni 2014 di Rumah Sakit Gambiran Kediri
selama 2 minggu di kamar bayi, ditemukan 5 bayi yang memiliki penyakit kuning.
Seln yn menerima fototerapi, bayi dengan penyakit kuning juga ditawarkan DIBE
dalam bentuk cairan infus dan ASI. 

Sementara menyusui sendiri ditemukan 1 bayi saja. Jadi, menyusui di minggu-


minggu awal kehidupan, sangat penting bagi bayi baru lahir yang memiliki penyakit
kuning. Menyusui dilakukan sesuai permintaan sesuai kebutuhan bayi dalam waktu
24 jam antara 8-12 kali. Selain menyusui secara teratur, bayi berjemur setiap pagi,
atau penggunaan fototerapi juga membantu menurunkan kadar bilirubin total tinggi,
sehingga mencegah penyakit kuning bayi baru lahir. 

II METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik
menggunakan kohort desain penelitian. Survei analitik adalah survei atau penelitian
yang mencoba mengeksplorasi bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu
terjadi. Kemudian melakukan analisiskorelasi dinamikaantara fenomena atau antara
faktor risiko dan faktor efek (Notoatmodjo, 2012). 

HASIL Bab ini menunjukkan hasil pengumpulan data yang telah dilaksanakan pada
3-23 Juli 2017 di Rumah Sakit Aura Syifa Kabupaten Kediri yang membahas
hubungan frekuensi menyusui dengan ikterus pada bayi baru lahir dengan jumlah
sampel 28 responden. Dalam hasil penelitian ini, data yang akan disajikan di
antaranya terdiri dari data umum dan data khusus.umum
Data dalam penelitian ini menggambarkan karakteristik bayi baru lahir yang terdiri
dari jenis kelamin dan jenis persalinan. Sedangkan data khusus menggambarkan
variabel yang ada dalam penelitian, antara lain, frekuensi menyusui dan kejadian
ikterus pada bayi baru lahir. 

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Mengikat Seks pada Bayi Baru Lahir di


Rumah Sakit Aifera Syifa Kabupaten Kediri. 

Jurnal Internasional Publikasi Ilmiah dan Penelitian, Volume 8, Edisi 3, Maret 2018
285 ISSN 2250-3153 
No. Jumlah Gender ( n) Persentase (%) 
1 Pria 18 64,29% 2 Wanita 10 35,71% 
Total 28 100% 
Sumber: Data Primer dari 3 - 23 Juli 2017 
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden adalah laki-laki,
yaitu 18 bayi baru lahir ( 64,29%). 
Tabel 2 Distribusi Frekuensi berdasarkan Jenis Tenaga Kerja pada New B ay i Lirir di
Rumah Sakit Aifeh Syifa Kabupaten Kediri No. Jenis Jumlah Tenaga Kerja (n)
Persentase (%) 
1 Kelahiran spontan 19 67,86% 
2 Pengiriman Sectio Secarea 9 32,14% 
Total 28 100,00 % Sumber: Data Primer dari 3 - 23 Juli 2017 
Dalam Tabel 4.2, mayoritas responden, yaitu 19 bayi baru lahir (67,86%), dilahirkan
secara spontan. 
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Frekuensi Menyusui pada Bayi Baru Lahir
di Rumah Sakit Aura Syifa Kabupaten Kediri. 
Tidak. Frekuensi Menyusui Jumlah (n) Persentase (%) 
1. ≥ 8 kali / hari 12 42,86% 2. <8 kali / hari 16 57,14% 
Total 28 100,00% Sumber: Data Primer dari 3 - 23 Juli 2017 
Bayi baru lahir disusui dengan frekuensi <8 kali / hari lebih banyak dengan 16 bayi
baru lahir (57,14%), sedangkan bay yang diberi ASI 
dengan frekuensi ≥8 kali / hari dari 12 bayi baru lahir (42, 86%) seperti yang
ditunjukkan pada tabel 3. 
Tabel 4 Distribusi frekuensi berdasarkan kejadian ikterus pada hari ke 2 dan 3 pada
bayi baru lahir diAura Syifa Kabupaten 
Rumah SakitKediri 
No Kejadian 
Ikterus Hari 2 (n) Persentase 
(%) Hari 3 (n) Persentase 
(%) 
1 Bayi Kuning 18 64,29% 22 78,57 % 
2 Bayi bukan 
Jaundice 10 35,71% 6 21,43% 
Total 28 100,00% 28 100,00% 
Sumber: Data Primer dari 3 - 23 Juli 2017 
Pada hari ke-2, 18 bayi baru lahir (64,29%) memiliki penyakit kuning, dan hampir
semua responden memiliki penyakit kuning, dan hampir semua responden memiliki
penyakit kuning pada hari ke-3 dari 22 
bayi baru lahir (78,57%), seperti yang ditunjukkan pada tabel 4. 
Tabel 5 Tabel Hubungan Frekuensi Menyusui dengan Genital Jaundice pada Bayi
Baru Lahir di Aura Syifa Hospi tal Kabupaten Kediri 
No. Frekuensi Kejadian Jaundice Total% 
http://dx.doi.org/10.29322/IJSRP.8.3.2018.p7542 www.ijsrp.org 
Jurnal Internasional Publikasi Ilmiah dan Penelitian, Volume 8, Edisi 3 , Maret 2018
286 ISSN 2250-3153 
Menyusui Jaundice Bayi Bayi bukan 
Jaundice Jumlah 
(n) % Jumlah 
%
(n) 1 ≥ 8 kali / hari 9 32,14% 3 1 0,71% 12 42,86% 2 <8 kali / hari 13 46,43 % 3
10,71% 16 57,14% Total 22 78,57% 6 21,43% 28 100,00% Sumber: Data Primer
dari 3 - 23 Juli 2017 
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa hampir separuh bayi baru lahir yang disusui
dengan frekuensi <8 kali / hari dan memiliki penyakit kuning, 13 bayi baru lahir
(46,43%) lebih tinggi daripada bayi yang disusui <8 kali / hari dan tidak memiliki
penyakit kuning. 
Untuk menganalisis hubungan antara frekuensi menyusui dan kejadian ikterus pada
bayi baru lahir, uji statistik menggunakan Fisher Exact diperoleh dengan nilai hitung
sebesar 0,33 dengan tingkat kesalahan 0,05 (α = 0,005), kemudian didapatkan 
hasil penghitungan yaitu 0 , 33> α = 0,005 maka H 0 diterima dan H 1 ditolak yang berarti tidak ada hubungan
antara frekuensi pemberian ASI dengan kejadian ikterus pada bayi baru lahir di Rumah
Sakit Aura Syifa Kabupaten Kediri. 

IV. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 3-23 Juli
2017 di Rumah Sakit Aura Syifa Kediri, dari 28 bayi baru lahir yang dirawat dengan
ibunya, 12 bayi baru lahir (42,86%) diberikan ASI dengan frekuensi ≥ 8 kali / hari.
Ini karena selama 24 jam ibu memberikan ASI kepada bayinya sesuai permintaan .
Ini sesuai dengan teori Hegar (2008) yang menyatakan bahwa frekuensi menyusui
adalah menyusui sesering mungkin sesuai dengan kebutuhan bayi minimal 8 kali 
dalam 24 jam, bahkan pada malam hari ASI juga diberikan. Menyusui di malam hari
dapat menjaga suplai ASI karena hormon prolaktin meningkat di malam hari. 
Dalam pengamatan frekuensi menyusui, 16 bayi baru lahir (57,14%) dari 28 bayi
baru lahir diteliti, frekuensi ASI pemberian<8 kali / hari. Asih (2016) menjelaskan,
ASI di perut bayi akan kosong dalam waktu 2 jam. Pernyataan ini didukung oleh
wahyu Handy (2012) yang menjelaskan bahwa dalam 24 jam pertama kehidupan,
bayi hanya akan bangun 2-4 pertama jam, dan tidur hingga 20 jam. Penting bagi ibu
untuk membangunkan bayi setiap dua jam untuk menyusui, sehingga kebutuhan 
bayi untuk menyusui terpenuhi. 
Hasil penelitian pengamatan menunjukkan, dari 20 ibu menyusui, 17 ibu memiliki
bentuk puting pendek dan 3 lainnya ibu menenggelamkan puting. Monika (2016)
mengatakan, tingginya jumlah menyusui adalah salah satu faktor frekuensi 
menyusui. Kecukupan pengeluaran untuk menyusui dapat memicu ibu untuk
menyusui sesering mungkin. ASI yang dapat keluar tepat waktu tetapi produksinya
tidak optimal karena beberapa faktor, salah satunya adalah bentuk puting susu yang
kurang menonjol / rata / terbenam, sehingga menghambat aliran ASI keluar melalui
puting susu. 
Kurangnya ASI yang keluar menjadi masalah awal bagi ibu menyusui pasca
persalinan. Sebanyak 20 ibu mengatakan bahwa ASI yang keluar sedikit, sehingga
ibu merasa sulit untuk memberikan ASI kepada bayi, karena bayi itu lapar sementara
ASI kecil yang keluar. Ibu menjadi cemas dan malas memberi ASI. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2016) dengan judul "Hubungan Stres dengan
kelancaran menyusui pada ibu menyusui setelah melahirkan di RSI A. Yani
Surabaya" dari 15 responden mengalami stres, 11 responden menemukan susu tidak
lancar, dan 4 lain responden pengeluaran ASI tergolong lancar. Ini karena ibu masih
merasa lelah setelah bersalin, menderita sakit luka jahitan perineum / SC yang
menyebabkan ibu takut mobilisasi, dan ibu khawatir tentang dirinya sendiri
karena dia merasa beban postpartum yang berat. 

Tidak sering menyusui diberikan kepada bayi, bisa membuat produksi ASI
berkurang. Hampir semua responden, memilikiputing pendek bentuk sehingga ibu
kesulitan menyusui dan sulit melekat. Karena ASI yang diproduksi sedikit,
membuat ibu malas menyusui bayinya. 

Pada hari kedua setelah bayi ditemukan 18 bayi baru lahir (64,29%) memiliki
penyakit kuning dan pada hari ketiga, jumlah bayi kuning mengalami peningkatan
menjadi 22 bayi baru lahir (78,57%). Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan
oleh Hidayat (2009) bahwa penyakit kuning fisiologis adalah penyakit kuning yang
muncul pada hari kedua dan hari ketiga setelah lahir dan menghilang pada minggu
pertama, paling lambat 10 hari pertama setelah kelahiran. 

Peningkatan jumlah bayi baru lahir pada hari ke-3 setelah kelahiran kuning karena
fungsi hati yang belum matang. Menurut Sodikin (2011), kematangan fungsi hati
mempengaruhi kemampuan hati dalam konjugasi bilirubin. Fungsi ekskresi hati dan
aliran empedu berhubungan dengan ekskresi dan resirkulasi asam empedu.
Pematangan proses metabolisme asam empedu memengaruhi fungsi ekskresi hati
secara keseluruhan, termasuk ekskresi empedu. Ketika bilirubin tak terkonjugasi
terkubur dalam darah, kulit, sklera dan selaput lendir mengendap menjadi kuning
yang disebut penyakit kuning. Fungsi jantung mulai matang, ketika bayi
memasuki usia 2 minggu. Pada usia 2 minggu hati mampu melakukan konjugasi
bilirubin dan menghilangkan empedu. 

Hasil uji statistik menggunakan uji Fisher Exact menghasilkan nilai perhitungan
sebesar 0,44 dengan tingkat kesalahan 0,05 (α = 0,005), artinya H0 diterima H1
ditolak atau tidak ada hubungan antara frekuensi pemberian ASI dengan kejadian
ikterus pada bayi baru lahir . 

Enzim UDPGT (Uridine Diphospat Glucoronide Transferase) dan enzim G6PD yang
ada di hati, tidak bekerja secara aktif. Kedua enzim bekerja dalam sintesis bilirubin.
Kondisi hati yang belum matang mengganggu pemecahan sel darah merah.
Singkatnya pemecahan sel darah merah dalam bilirubin menghasilkan akumulasi
bilirubin pada kulit sehingga penyakit kuning dapat muncul (Rahardjo,
2015). dengan judul penelitian "Hubungan menyusui dengan kejadian Ikterus
Neonatorum di UPT Sumberglagah Rumah SakitMojokerto" menyebutkan bahwa
berdasarkan uji bivariat dengan independent sample t - test antara menyusui
dengan neonaturum jaundice menghasilkan kelompok -0,46> 0,005 ( = 0,084)
dengan 95% CI -0,097; 0,63, dan uji Mann Withney = 0,111 dengan signifikansi
yang tidak bermakna, sehingga tidak ada perbedaan antara kelompok yang diberi
ASI dan yang diberi susu formula. 

Setelah bayi lahir, bayi harus dapat mempertahankan diri bahkan tanpa disusui. Bayi
baru lahir memilikiglukosa yang cadangan disimpan di hati dalam bentuk glikogen.
Lemak cokelat yang dimiliki bayi selama berbulan-bulan, dapat membantu
memecah lemak menjadi panas menggunakan glukosa sehingga bayi bisa
mendapatkan energi tanpa harus disusui. Bayi bisa bertahan hidup tanpa ASI
asalkan cadangan lemak cokelatnya masih melimpah. Jumlah atau tidak adanya
lemak coklat yang dihasilkan, dilihat daricukup atau kurang usia kehamilan yangsaat
lahir 

V. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi pada bab sebelumnya, para peneliti menari
kesimpulan sebagai berikut: 

Sebagian besar bayi baru lahir disusui dengan frekuensi menyusui <8 kali / hari.
Sebagian besar bayi baru lahir mengalami penyakit kuning pada hari ke-2 dan
hampir semua bayi baru lahir mengalami penyakit kuning pada hari ke-3. Tidak ada
hubungan antara frekuensi pemberian ASI dengan penyakit kuning kejadi pada bayi
baru lahir di Rumah Sakit Aura Shifa Kediri. 
REFEKENSI 

[1] Amalia, Rizki. (2016). Hubungan Stres dengan Kelancaran ASI pada Ibu Menyusui
Pasca Persalinan di RSI A. Yani Surabaya. Jurnal Ilmiah Kesehatan Vol. 9. Surabaya:
Universitas Nadhlatul Ulama Surabaya. 

[2] Asih, Yusari & Risneni. (2016). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui
Dilengkapi dengan Praktek Berbasis Bukti dan Daftar Titik Asuhan Nifas. Jakarta: TIM. 

[3] Astutik, Reni Yuli. (2014). Payudara dan Laktasi. Jakarta: Salemba Medika. 

[4] Arikunto, Suharsimi. (2006). ProsedurPenelitian. Jakarta: Rineka Cipta. 

[5] Betz, Cecily Lynn, & Linda A. Sowden. (2009). Buku Saku Keperawatan
Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC. 

[6] Cadwell, Karin, Cindy Turner-Maffei. (2011). Buku Saku Manajemen Laktasi.
Jakarta: EGC. 

[7] Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC. 

[8] Davies, Lorna, & Sharon McDonald. (2011). Pemeriksaan Kesehatan Bayi
Pemeriksaan Multidimensi. Jakarta: EGC. 

[9] Deslide, dkk. (2011). Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta:
EGC. 

[10] Dewi, Vivian Nanny Lia. (2013). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.
Jakarta: Salemba Medika. 

[11] Dewi, Vivian Nanny Lia, & Tri Sunarsih. (2014). Asuhan Kebidanan pada Ibu
Nifas. Jakarta: Salemba Medika. 
[12] Faiqah, Syajaratuddur. (2014). Hubungan Usia dan Jenis Persalinan dengan
Kadar Bilirubinemia pada Bayi Ikterus di RSUP NTB. Jurnal Kesehatan Prima Vol.
8 No. 2. Mataram: Poltekkes Kemenkes Mataram Jurusan Kebidanan. 

[13] Fraser, Diane M. (2011). Buku Ajar Myles Edisi 14. Jakarta: EGC. 

[14] Gabriel, JF (2003). Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC. 

[15] Berguna, Fransisca. (2012). Panduan Cerdas Perawatan Bayi. Jakarta: Pustaka
Bunda. [16] Berguna, Fransisca. (2015). AZ Perawatan Bayi. Jakarta: Pustaka Bunda
Grup Puspa Swara. 

[17] Hardjito, Koekoeh. (2012). Pengantar Biostatistika. Magetan: Forum Ilmiah


Kesehatan (Forikes). 

[18] Hegar, Badriul, dkk. (2008). Bedah ASI Kajian dari Berbagai Sudut Pandang
Ilmiah. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 

[19] Hidayat, A. Aziz Alimul. (2009). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk
Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. 

[20] JNPK-KR. (2008). Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi
Dasar (PONED). Jakarta: JNPK-KR. 

[21] Kosim, M. Sholeh, dkk. (2014). Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 

[22] Lissauer, Tom, Avroy A. Fanaroff. (2009). Sekilas tentang Neonatologi. Jakarta:
Erlangga. 
[23] Lumsden, Hilary, & Debbie Holmes. (2012). Asuhan Kebidanan Pada Bayi
yang Baru Lahir. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. [24] [25] Marmi. (2014).
Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas "Puerperium Care". Yogyakarta: Pustaka
Belajar. [26] [27] Maryunani, Anik, & Nurhayati. (2009). Asuhan Kegawatdaruratan
dan Penyulit pada Neonatus. Jakarta: TIM. 

[28] Maryunani, Anik. (2010). Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta:
TIM. 

[29] Maryunani, Anik. (2012). Inisiasi Menyusu Dini, ASI Eksklusif dan Manajemen
Laktasi. Jakarta: TIM. 

[30] Monika, FB (2016). Buku Pintar ASI dan Menyusui. Jakarta: Noura Books
(Mizan Group).

[31] Muslihatun, Wafi Nur. (2010). Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita. Yogyakarta:
Fitramaya. [32] Nelson, Waldo E., dkk. (2000). Nelson Ilmu Kesehatan Anak (Buku
Pelajaran Nelson Pediatrics) Edisi 15 Vol. 1. Jakarta: EGC. 

[33] Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta. 

[34] Nugroho, Taufan. (2011). ASI dan Tumor Payudara. Yogyakarta: Nuha
Medika. 

[35] Nursalam. (2009). Konsep dan penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika. 

[36] Pitriani, Risa, & Rika Andriyani. (2014). Panduan Lengkap Asuhan Kebidanan
Ibu Nifas Normal (Askeb III). Yogyakarta: Deepublish. 
[37] Proverawati, Atikah, & Eni Rahmawati. (2010). Kapita Selekta ASI dan
Menyusui. Bantul: Nuha Medika. 

[38] Rahardjo, Kukuh. (2015). Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 

[39] Reeder, dkk. (2011). Keperawatan Maternitas: Kesehatan Wanita, Bayi, &
Keluarga Edisi 18, Volume 2. Jakarta: EGC. 

[40] Rini, Susilo, & Feti Kumala D. (2016). Panduan Asuhan Nifas dan Praktek
Berbasis Bukti. Yogyakarta: Deepublish. 

[41] Rudolph, Abraham M, dkk. (2007). Buku Ajar Pediatri Rudolph Volume 2 Edisi
20. Jakarta: EGC. 

[42] Saifuddin, Abdul Bari. (2009). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 

[43] Simkin, Penny, dkk. (2008). Panduan Lengkap Kehamilan, Melahirkan, & Bayi.
Jakarta: ARCAN. 

[44] Sinclair, Constance. (2010). Buku Saku Kebidanan. Jakarta: EGC. 

[45] Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem astrointestinal


dan Hepatobilier. Jakarta: Salemba Medika. 

[46] Sugiyono. (2015). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. 

[47] Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.


Bandung: Alfabeta.
[48] Suherni, dkk. (2009). Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta: Fitramaya. 

[49] Sulistyawati, Ari. (2009). Buku Ajar Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta:
ANDI. 

[50] Varney, Helen. (2008). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2.
Jakarta: EGC. 

[51] Wiji, Rizki Natia. (2013). ASI dan Panduan Ibu Menyusui. Yogyakarta: Nuha
Medika. 

[52] Wong, Donna L. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6
Volume 1. Jakarta: EGC. 

[53] GO Young, “Struktur sintetis plastik industri (Gaya buku dengan judul dan
editor kertas),” dalam Plastik, edisi kedua. vol. 3, J. Peters, Ed. New York: McGraw-
Hill, 1964, hlm. 15–64. [54] W.-K. Chen, Linear Networks and Systems (Gaya
buku). Belmont, CA: Wadsworth, 1993, hlm. 123–135. [55] H. Buruk, Pengantar
Deteksi dan Estimasi Sinyal. New York: Springer-Verlag, 1985, ch. 4. [56] B. Smith,
"Suatu pendekatan terhadap grafik bentuk linear (gaya kerja yang tidak diterbitkan),"
tidak diterbitkan. [57] EH Miller, "Catatan tentang array reflektor (gaya periodik —
Diterima untuk publikasi)," IEEE Trans. Antena Propagat., untuk diterbitkan. [58] J.
Wang, "Dasar-dasar array serat penguat erbium-doped (gaya periodik — Diserahkan
untuk publikasi)," IEEE J. Quantum Electron., dikirimkan untuk publikasi. 

Anda mungkin juga menyukai