Isi Amir Hamzah
Isi Amir Hamzah
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat diketahui beberapa rumusan masalah,
yaitu:
1. Bagaimana biografi Amir Hamzah?
2. Apa pengaruh Amir Hamzah terhadap Kasusastraan Indonesia?
3. Bagaimanakah karya-karya Amir Hamzah?
1
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka dapat diketahui beberapa tujuan penulisan,
yaitu:
1. Mengetahui bagaimana biografi Amir Hamzah.
2. Mengetahui pengaruh Amir Hamzah terhadap kasusastraan Indonesia.
3. Mengetahui bagaimana karya-karya Amir Hamzah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada tahun 1927 itu juga Amir Hamzah berangkat ke Solo dan
mendaftar pada sekolah AMS (Aglmeene Middelbare School) Solo, Jurusan
Sastra Timur. Dia tercatat sebagai siswa yang tidak pernah bolos dari sekolah
dan kedisiplinannya sangat baik. Di sinilah Amir Hamzah berkenalan dengan
Ilik Sundari, wanita yang sangat dicintainya dan menjadi sumber inspirasi
kepenyairannya. Setelah tamat dari AMS Solo, Amir Hamzah kembali ke
Jakarta (Batavia). Ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Hakim Tinggi.
Pada tahun 1931 ibu Amir Hamzah meninggal dunia, sedangkan
ayahnya meninggal dunia pada tahun 1933. Namun, Amir Hamzah masih
dapat melanjutkan studinya dengan bantuan pamannya, Sultan Mahmud, yang
menjadi Sultan Langkat. Amir Hamzah bekerja pertama kali sebagai guru di
Perguruan Rakyat (bagian dari Taman Siswa) Jakarta. Amir Hamzah mulai
berkenalan dengan Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Sanusi Pane.
Amir Hamzah melibatkan diri dalam majalah Poedjangga Baroe.
3
diminta oleh Sultan Langkat pulang ke Langkat untuk menikah dengan
Tengku Kamaliah, putri Sultan Langkat dan diberi gelar Tengku Pangeran
Indra Putra. Dia diangkat menjadi Kepala Luhak Langkat Hilir di
Tanjungpura, kemudian pindah menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di
Pangkalan Brandan. Tidak lama kemudian, ia diangkat menjadi Pangeran
Langkat Hulu, menggantikan kedudukan ayahnya. Dalam suatu revolusi sosial
di Langkat, Sultan Langkat ditangkap, 7 Maret 1946, termasuk Amir Hamzah.
Sejak saat itu Amir Hamzah tidak pernah pulang/kembali lagi.
4
Banyak penulis telah berkomentar tentang pengaruh yang didapat Amir
dari doktrin Islam. Pencatat sastra Indonesia H.B. Jassin dan penyair Arief
Bagus Prasetyo, adalah termasuk dari beberapa yang berpendapat bahwa Amir
adalah seorang Muslim ortodoks murni, dan itu ditunjukkan dalam karyanya.
Prasetyo berpendapat bahwa hal ini terlihat jelas dalam perkataan Amir
tentang Tuhan, ia tidak memandang Tuhan sebagai sesamanya, sebuah tema
yang ditemukan dalam karya penyair sufi seperti Hamzah Fansuri, tetapi
sebagai tuan untuk hamba Amir.Johns menulis bahwa, meskipun Amir
bukanlah seorang mistik, Amir juga bukan seorang penulis renungan murni,
namun mempromosikan suatu bentuk “Humanisme Islam”.
5
Jassin menulis bahwa puisi Amir juga dipengaruhi oleh cintanya pada
satu atau lebih wanita, dalam Buah Rindu disebut sebagai “Tedja” dan
“Sendari-Dewi”, Jassin beropini bahwa wanita (satu atau lebih) tak pernah
disebutkan namanya karena cinta Amir pada mereka adalah kunci. Husny
menulis bahwa setidaknya sembilan karya di Buah rindu[ terinspirasi oleh
kerinduannya untuk Aja Bun, menggambarkan rasa kecewa setelah
pertunangan mereka dibatalkan. Mengenai dedikasi tiga-bagian dalam buku
tersebut, “Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu Ibu-Ratu /
Kebawah kaki Sendari-Dewi”,
6
dalam Poedjangga Baroe, 1933—1934), dan Setanggi Timur (terjemahan puisi
Jepang, Arab, Inia, Persia, dll., 1939).
Berbagai karangan Amir Hamzah yang tersebar dihimpun oleh H.B.
Jassin dalam Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1963). Sejumlah
puisi Amir Hamzah terdapat dalam antologi Pujangga Baru: Prosa dan Puisi
(1963, ed. H.B. Jassin). Berikut sebagian karya-karya Amir Hamzah yang
tersebar di media massa.
7
Melolong meraung menyentak rentak
Membuang merangsang segala petua Terbaring badanku tiada berkuasa
Tiada percaya pada siapa Tertutup mataku berat semata
Terbuka layar gelanggang angan
Kutilik diriku kuselam tahunku Terulik hatiku di dalam kelam
Timbul terasa terpancar terang
Istiwa lama merekah terang Tetapi hatiku, hatiku kecil
Merona rawan membunga sedan Tiada terlayang di awang dendang
Menanggis ia bersuara seni
Tahu aku Ibakan panji tiada terdiri.
Kini hari menuai api
Mengetam ancam membelam redam
Ditulis dilukis jari tanganku. INSAF
Segala kupinta tiada kauberi
SUBUH Segala kutanya tiada kausahuti
Kalau subuh kedengaran tabuh Butalah aku terdiri sendiri
Semua sepi sunyi sekali Penuntun tiada memimpin jari
Bulan seorang tertawa terang
Bintang mutiara bermain cahaya Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Terjaga aku tersentak duduk Runtuh ripuk astana cuaca
Terdengar irama panggilan jaya Kureka gembira di lapangan dada
Naik gembira meremang roma
Terlihat panji terkibar di muka Buta tuli bisu kelu
Tertahan aku di muka dewala
Seketika teralpa; Tertegun aku di jalan buntu
Masuk bisik hembusan setan Tertebas putus sutera sempana
Meredakan darah debur gemuruh
Menjatuhkan kelopak mata terbuka Besar benar salah arahku
8
Hampir tertahan tumpah berkahmu Kusongsong juga – biar chedera
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahsia jalan bertemu Bangkit ibu dipegangnya aku
Dirangkumnya segera dikucupnya serta
Insaf diriku dera durhaka Dahiku berapi pancaran neraka
Gugur tersungkur merenang mata; Sejuk sentosa turun ke kalbu
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu. Demikian engkau;
Ibu, bapa, kekasih pula
Insaf aku Berpadu satu dalam dirimu
Bukan ini perbuatan kekasihku Mengawas daku dalam dunia.
Tiada mungkin reka tangannya
Kerana cinta tiada mendera DI DALAM KELAM
Kembali lagi marak-semarak
Jilat melonjak api penyuci
IBUKU DEHULU Dalam hatiku tumbuh jahanam
Ibuku dehulu marah padaku Terbuka neraka di lapangan swarga
Diam ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu Api melambai melengkung lurus
Tiada peduli apa terjadi Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam
Matanya terus mengawas daku Buah tenaga bunga suwarga
Walaupun bibirnya tiada bergerak
Mukanya masam menahan sedan Hati firdausi segera sentosa
Hatinya pedih kerana lakuku Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
HTerus aku berkesal hati Menghalang cuaca nokta utama
Menurutkan setan, mengkacau-balau
Jurang celaka terpandang di muka Berjalan aku di dalam kelam
9
Terus lurus moal berhenti Tiada sayang;
Jantung dilebur dalam jahanam Dalam rimba telur kemahang
Kerongkong hangus kering peteri. Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta.
Meminta aku kekasihku sayang;
Turunkan hujan embun rahmatmu Anak lasak mengisak panjang
Biar padam api membelam Menyabak merunta mengguling diri
Semoga pulih pokok percayaku. Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa kerana cinta
10
Terbuka pula, merah basah
Menyahut ibu sambil tersedu Mulut maut menunggu mangsa
Melagu langsing suara susah; Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap..
Batu belah batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi Tiba dara kecil sendu
Insha Allah tiadaku takut Menangis mencari ibu
Sudah demikian kuperbuat janji Terlihat cerah darah merah
Mengerti hati bonda tiada.
Bangkit bonda bewrjalan pelan
Tangis anak bertambah kuat Melompat dara kecil sendu
Rasa risau bermaharajalela Menurut hati menaruh rindu...
Mengangkat kaki melangkah cepat.
Batu belah, batu bertangkup
Jauh ibu lenyap di mata Batu tepian tempat mandi
Timbul takut di hati kecil Insha Allah tiadaku takut
Gelombang bimbang mengharu fikir Sudah demikian kuperbuat janji.
Berkata jiwa menanya bonda
11
Tari tamparku membangkit rindu
Di bawah teduh engkau kembangkan Kucuba serentak genta genderang
Taku berdiri memati hari Memuji kekasihku di mercu lagu
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati Aduh, kasihan hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Diterangi cahaya engkau sinarkan Jari menari doa semata
Aku menaiki tangga, mengawan Tapi hatiku bercabang dua.
Kecapi firdausi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku
TERBUKA BUNGA
Terlihat ke bawah Terbuka bunga dalam hatiku !
Kandil kemerlap Kembang rindang disentuh bibir
kesturimu.
Melambai cempaka ramai tertawa
Melayah-layah mengintip restu
Hati duniawi melambung tinggi senyumanmu.
Berpaling aku turun kembali. Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah
Bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting hatiku, dalam masa
mengembara
DOA POYANGKU
Menanda dikau
Poyangku rata meminta sama
Kekasihku ! inikah bunga sejati yang
Semoga sekali aku diberi
tiadakan
Memetik kecapi, kecapi firdausi
Layu ?
Menampar rebana, rebana swarga
12
Kau tundukkan huluku tegak, mencium Hanya selagu, sepanjang dendang
wangi tersembunyi sepi.
Kau gemalaikan di pipiku rindu daun
beldu melunak lemah. Golek gemilang ditukarnya pula
14
Bertanya aku kekasihku Air naik tetap terus
Permainan engkau permainkan Tumbang bungkar pokok purba
Kau tulis kau paparkan
Kausampaikan dengan lisan Teriak riuh/redam terbelam
Dalam gagap/gempita guruh
Bagaimana aku menimbang Kilau kilat membelah gelap
Kaulipu lipatkan Lidah api menjulang tinggi
Kau kelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Kau hamparkan badan Bebas lepas lelang lapang
Di tubir bibir penaka durjana Di tengah gelisah, swara sentosa
Jadi tanda di hari muka *
Bersemayam sempana di jemala gembala
Bagaimana aku menimbang Juriat jelita bapaku iberahim
Kekasihku astana sayang Keturunan intan dua cahaya
Ratu restu telaga sempana Pancaran putera berlainan bonda.
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati. Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
HANYA SATU Lengah langsung melewat abad
Timbul niat dalam kalbumu;
Terban hujan, ungkai badai Aduh, kekasihku
Terendam karam Padaku semua tiada berguna
Runtuh ripuk tamanmu rampak Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Manusia kecil lintang pukang Serupa musa di puncak tursina.
Lari terbang jatuh duduk
15
Ditayangan ombak bujang bersela
BARANGKALI Dijunjung hulu rapuh semata
Engkau yang lena dalam hatiku Dikipasi angin bergurau senda
Akasa swarga nipis-tipis Lupakan kelana akan dirinya...
Yang besar terangkum dunia
Kecil terlindung alis Dimabukkan harum pecah terberai
Diulikkan bujuk rangkai-rinangkai
Kujunjung di atas hulu Datanglah semua mengungkai simpai
Kupuji di pucuk lidah Hatimu bujang sekali bisai.
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang Bulan mengintai di celah awan
Bersemayam senyum sayu-sendu
Bangkit gunung Teja undur perlahan-lahan
Buka mata mutiaramu Mukanya merah mengandung malu.
Sentuh kecapi firdausi
Dengan jarimu menirus halus Rumput rendah rangkum-rinangkum
Tibun embun turun ke rumpun
Biar siuman dewi-nyanyi Lembah-lembah menjunjung harum
Gambuh asmara lurus lampai Mendatangkan kayal bujang mencium.
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat Melur sekaki dibuaikan sepoi
Dalam cahaya rupa melambai
Mari menari dara asmara Pelik bunga membawaku ragu
Biar terdengar swara swarna Layu kupetik bunga gemalai.
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri. Bunga setangkai gemelai permai
Dalam tanganku jatuh terserah
Kelopak kupandang sari kunilai
MABUK Datanglah jemu mengatakan sudah...
16
Sudahlah untung hendak piatu
Bulan berbuni di balik awan Bagaimana mengubah janji dahulu
Taram-temaram cendera cahaya Sudah diikat di rahim ibu.
Teja lari ke dalam lautan
Tinggallah aku tiada berpelita.
SUNYI
Kuketuk pintu masaku muda
DAGANG Hendak masuk rasa kembali
Susahnya duduk berdagang Taman terkunci dibelan pula
Tiada tempat mengadukan duka Tinggallah aku sunyi sendiri.
Bondaku tuan selalu terpandang
Hendak berjumpa apatah daya. Kudatangi gelanggang tempat menyebung
Masa bujang tempat beria
Terlihat-lihat bonda merenung Kulihat siku singgung menyinggung
Rasa-rasa Bonda mengeluh Aku terdiri haram disapa...
Mengenangkan nasib tiada beruntung
Luka penceraian tiadakan sembuh. Teruslah aku perlahan-lahan
Sayu rayu hati melipur
Bondapun garing seorang diri Nangislah aku tersedan-sedan
Hati luka tiada berjampi Mendengarkan pujuk duka bercampur.
Nangislah ibu mengenangkan kami
Rasakan tiada berjumpa lagi. Kudengar bangsi memanggil-manggil
Tersedu-sedu, dayu mendayu
Allah diseru memohonkan restu Tersalah aku diri terpencil
Moga kami janganlah piatu Badan dilambung gelombang rindu.
Aduh ibu, kemala hulu
Bukankah langit tiada berpintu? Duduklah aku bertopang dagu
Merenung kupu mengecup bunga
Sudahlah nasib tiada bertemu Lenalah aku sementara waktu
17
Dalam rangkum kenangan lama.
Biarkan daku tinggal di sini
Rupanya teja serasa kulihat Sentosa diriku di sunyi sepi
Suaramu dinda rasakan kudengar Tiada berharap tiada meminta
Dinda bersandar duduk bersikat Jauh dunia di sisi dewa.
Aku mengintip ombak berpendar.
18
Dunia segara duka Harum sepadan wangi rambutmu
Tiada cinta selama muda Kalau terurai kita bergurau.
Derita rama remaja
Susah sepah tersia-sia Melur! Duta rindu di purnama raya
Kawan sendu di sunyi malam
Ratna rupa di hulu kemala
HARUM RAMBUTMU Penambah manis jiwa pendiam.
Kupatah tangkai kusuma kukucup
Kendati mencari wangi asli
Cempaka tinggal tergulai lampai BERLAGU HATIKU
Sayang tanganku hendak mencapai. Bertangkai bunga kusunting
Kujunjung kupuja, kurenung
Teja! Hanya cempaka ditayang daun Berlagu hatiku bagai seruling
Aneka bunga menutup bumi Kukira sekalini menyecap untung.
Impian lama datang mengalun
Kerana kusuma kenangan diri. Dalam hatiku kuikat istana
Kusemayamkan tuan digeta kencana
Harum rambutmu terasa ada Kuhamburkan kusuma cempaka mulia
Dalam bunga duduk tersembunyi Kan hamparan turun dewi kakanda...
Suma mana ratna mulia
Kanda sibuk tengah mencari. Tetapi engkau orang biasa
Merana sahaja tiada berguna
Pohon rendah dinaungi kemuning Malu bertalu kerana aku
Puteri dilindungi payung kembang Ganjil terpencil berpaut kedahulu.
Bunga adinda kencana ramping
Irama kusuma abang seorang. MALAM
Daun bergamit berpaling muka
Wangi tertebar membawaku ragu Mengambang tenang di laut cahaya
Mengembang abang ke hari lampau Tunduk mengurai surai terurai
19
Kelapa lampai melambai bidai. Renggang rapat berpegang jari
Kita mendaki bukit tanahmu
Nyala pelita menguntum melati Dinda berkhabar bijak berperi
Gelanggang sinar mengembang lemah Kelu kanda kerana katamu.
Angin mengusap menyeyang pipi
Balik-berbalik menyerah-yerah. Berhenti kita sejurus lalu
Berdekatan duduk sentosa semata
Air mengalir mengilau-sinau Hatiku sendu merindu chumbu
Riak bergulung pecah memecah Kesuma sekaki abang kelana.
Nagasari keluar meninjau
Membanding purnama di langit cerah. Hilang himpau air terjun
Bunga rimba bertudung lingkup
Lepas rangkum pandan wangi Kanda memangku sekar suhun
Terserak harum pemuja rama Lampai permai mata tertutup.
Hinggap mendakap kupu berahi
Berbuai-buai terlayang lena Remuk redam duka di dada
Di hanyutkan arus dewa bahagia
Adikku sayang berpangku guring Menjelma kanda di bibir kesumba
Rambutmu tuan kusut melipu Rasa menginyam madu swarga.
Aduh bahagia bunga kemuning
Diri dihimpit kucupan rindu. Dalam matamu tenang sentosa
Kanda memungut bunga percaya
Japamantera di kala duka
DALAM MATAMU Pelerai rindu di malam cuaca.
Tanahku sayang berhamparkan daun
Bersinar cahaya lemah gemilang Dalam matamu jernih bersih
Dari jauh datang mengalun Kanda kumpulkan mutiara cinta
Suara menderu selang-menyelang Akan tajuk mahkota kasih
Kanda sembahkan kepada bonda.
20
Burung terbang melayang-layang
KENANGAN Serunai berseru “adikku sayang”
Tambak beriak intan terberai Perikan bernyanyi berimbang-imbang
Kemuncak bambu tunduk melambai Laut harungan hijau terbentang.
Mas kumambang mengisak sampai
Merenungkan mata kesuma teratai. Asap kapal bergumpal-gumpal
Melayari tasik lautan jawa
Senyap sentosa sebagai sendu Beta duduk berhati kesal
Tanjung melampung merangkum kupu Melihat perahu menuju Semudera.
Hanya bintang cemerlang mengambang
Diawang terbentang sepanjang pandang Musafir tinggal di tanah Jawa
Seorang diri sebatang kara
Dalam sunyi kudus mulia Hati susah tiada terkata
Murca kanda dibibir kesumba Tidur sekali haram cendera.
Undung dinda melindung kita
Heran kanda menajubkan jiwa Fikiranku melayang entah ke mana
Sekali ke timur sekali ke utara
Dinda berbisik rapat di telinga Mataku memandang jauh ke sana
Lengan melengkung memangku kepala Di pertemuan air dengan angkasa.
Putus-putus sekata dua;
“kunang-kunang mengintai kita”... Di hadapanku hutan umurnya muda
Tempat ashik bertemu mata
Tempat ma‟shuk melagukan cinta
TELUK JAYAKATERA Tempat bibir menyatukan anggota.
Ombak memecah di tepi pantai
Angin berhembus lemah lembut Fikiran lampau datang kembali
Puncak kelapa melambai-lambai Menggoda kalbu menyusahkan hati
Di ruang angkasa awan bergelut. Mengintagkan untung tiada seperti
21
Yayi lalu membawa diri. Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa...
Ombak mengempas ke atas batu Rupanya mawar mengandung lumpur
Bayu merayu menjauhkan hati Kaca piring bunga renungan...
Gelak gadis membawaku rindu
Terkenangkan tuan ayuhai yayi. Igauanku subuh , impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih...
Teja ningsun buah hatiku Kulihat kumbang keliling berlagu
Lihatlah limbur mengusap gelombang Kelopakmu terbuka menerima chembu.
Ingatlah tuan masa dahulu
Adik guring di pangkuan abang? Kusangka hauri bertudung lingkup
Bulu mata menyangga panah asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
KUSANGKA Kalau dipetik menguku segera.
Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri...
Hatiku remuk mengenangkan ini BONDA 1
Wangsangka dan was-was silih berganti. Dalam sepu angin malam
Dalam gerak daun segala
Kuharap cempaka baharu kembang Dalam angguk mawar kusuma
Belum tahu sinar matahari... Bonda kulihat duduk bercinta
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali. Dalam tepuk air di batu
Dalam buai puncak kelapa
Kupohonkan cempaka Dalam bisik kumbang menyeri
Harum mula terserak... Bonda kudengar memanggil anaknda.
Melati yang ada
Pandai tergelak... Pelangi membangun laksana perahu
Awan berarak behtera ditiru
22
Bintang bertabur jempena serupa BONDA 2
Bonda kulihat duduk beriba. Batu sungai terserak putih
Bintang bertabur gemerlapan cahaya
Di dalam paya kumuda kembang Dipalut pualam pelangi persih
Di atas tampuk embun bergantung Peraduan ibu melepaskan duka
Di dalam permata bonda terpandang
Duduk menangis menyesal untung. Pohon kemboja tunduk temungkul
Memayungi ibu beradu cendera
“Buah hati jauh permainan mata Kusuma terapung tenggelam timbul
Hendak diseru suara tak daya Di atas lautan angin daksina.
Hendak dipanggil kuasa taala
Duduklah bonda berhati iba... Harum bunga melenakan ibu
Sepoi angin mengulikkan bonda
Hati di dalam berseru-seru Patikpun tunduk berhati mutu
Mohonkan restu Tuhan suatu Hendakpun menyepa tiada kuasa.
Moga bertemu sejurus lalu
Dengan dikau bijimataku” Dari jauh suara melambai
Rasa bonda datang menegur
Wah bonda bagaimana menyeru Di atas awan duduk serangkai
Gelombang Melaka umpama gelora, Dengan bintang angsoka hablur.
Aduh bonda, mengapa merestu
Awan tebal laksana dewala. Bunga rampai di atas rimba
Air selabu di pangkuan dinda
Bunga mawar putih setangkai Kami menangis tiada berasa
Anakda petik di kaki wilis Terkenangkan ibu beradu cendera.
Di atas bumi Jawa raya
Akan penunggu telakapkan bonda. Bunga mawar bunga cempaka
Bunga melur aneka warna
Dipetik dinda di halaman kita
23
Akan penyapu telapakan bonda. Layang-layang terbang berlomba-lumba
Akan ibu penambah mulya.
Air selabu patik bawakan Menuju pulau kejunjung tinggi
Dari perigi dipagari batu Dalam hatiku kujadikan duka
Pada bonda kami sembahkan Menyampaikan pesan kataan hati.
Akan pencuci telapakan ibu.
Selamat tinggal bondaku perca
Panjang umur kita bersua
TINGGALLAH Gobahan cembaka anakda bawa
Tinggallah tuan, tinggalah bonda Jadikan gelang di kaki bonda.
Tahan airku Sumatera raya
Anakda berangkat ke pulau Jawa Gelang cempaka pujaan dewa
Memunggut bunga suntingan kepala. Anakda petik di tanah Jawa
Akan bonda penambah cahaya.
Pantai cermin rumu melambai
Selamat tinggal pada anakda
Rasakan ibu serta handai RAGU
Mengantarkan beta ke pengkalan kita. Asap pujaan bergulung-gulung
Naik melingkar kekimu dewa
Telah lenyap pokok segala Rasanya hati melambung-lambung
Bondaku tuan duduk berselimut Estu kupohonkan akan kurnia.
Di balik cindai awan angkasa
Jauh hatipun konon datang meliput. “Permaisurimu, Uma, sudah kupuja
Seroja putih beta sembahkan
Selat melaka ombaknya memecah Sekarang ini wahai Ciwa
Memukul kapal pembawa beta Pada tuanku beta paparkan”.
Rasakan swara yang maha ramah
Melengahkan anakda janganlah duka. Wajahnya arca berkilau-kilau
Bibir terbuka rupa berkata
24
Giginya tampak bersinar-sinar Pukul-memukul belah membelah
Bunyi keluar merdu suara.
Bahtera ditepuk buritan dilanda
“anakku dewi ratna juita Penjajab dihanatuk haluan ditunda
Apatah tersimpul di dalam dada
Uraikan tuan pada ayahnda Chamar terbang riuh suara
Rinduan mana mohonkan sempana?” Alkamar hilang menyelam segera.
25
Tetapi engkau wahai kasturi
Kujadikan suluh, mampukah diri? Bukankah itu laksamana sendiri
Negeri Melaka hidup kembali.
Hujan rintik membasahi bumi
Guruh mendayu menyedihkan hati. Laksamana , cahaya Melaka, bunga
pahlawan
Kemala setia maralah tuan.
Keluarlah suluh menyusun pantai
Angkatan Pertugal hajat dinintai.
Tuanku, jadikan patik tolak bala
Turunkan angkatan dengan segera.
Chucuk diserang ditikami seligi
Sauh terbang dilembari sekali.
Genderang perang disuruhnya palu
Memanggil imbang iramanya tentu.
Lela dipasang gemuruh suara
Rasakan terbang ruh dan nyawa.
Keluarlah laksamana mahkota ratu
Tinggallah Melaka di dalam ragu...
Suluh Melaka jumlahnya kecil
Undur segera mana yang tampil.
Marya! Marya! Tempik Peringgi
Lelapun meletup berganti-ganti.
“Tuanku, armada Peringgi sudahlah dekat
Kita keluari dengan cepat.
Terang cuaca berganti kelam
Bujang Melaka menjadi geram.
Hang Tuah cuba lihati
Apakah „afiat rasanya diri?‟
Galyas dilanda pusta dirampat
Sabas Melaka su‟ma di Selat !
Laksamana Hang Tuah mendengar berita
Armada Peringgi duduk di kuala.
Amuk-beramuk buru-memburu
“Tusuk-menusuk laru-melaru.
Mintak didirikan dengan segera
Hendak berjalan ke hadapan raja.
Lela rentaka berputar-putar
26
Cahaya senjata bersinar-sinar. Bulan bercahaya
Amat cuaca
Laksamana mengamuk di atas pusta Ke mayapada
Yu menyambar umpamanya nyata...
Purnama raya
Hijau segara bertukar warna Gemala berdendang
Sinau senjata pengantar nyawa. Tuan berkata
Naiklah abang
Hang Tuah empat berkawan
Serangnya hebat tiada tertahan. Purnama raya
Bujang berbangsi
Chukuk Peringgi menarik layar Kanda mara
Induk dicari tempat terhindar. Memeluk dewi
27
Purnama raya Musafir lata malang berakit?
Kelihatan jarum
Adinda mara Melur takku mahu
Kanda dicium Mawar takku suka,
Sebab semboja dari dahulu
Purnama raya Telah kembang di kubur bonda
Cuaca benderang
Permata kekanda Kemboja bunga rayuan
Pulanglah abang... Musafir anak Sumatera
Pulau Perca tempat pangkuan
Bilamana fakir telah tiada.
CEMPAKA MULIA
Kalau kulihat tuan, wahai suma
Kelopak terkembang harum terserak KAMADEWI
Hatiku layu sejuk segala Kembali pula engkau datang
Rasakan badan tiada dapat bergerak Kepadaku di waktu sekarang
Tengah menjadi permainan gelombang
Tuan tumbuh tuan hamba kembang Gelombang terberai di bunga karang.
Di negeriku sana di kuburan abang
Kemboja bunga rayuan Lah lama kau kulupakan
Hatiku kechu melihat tuan Lah lampau bagi kenangan
Lah lenyap dari pandangan
Bilamana beta telah berpulang
Wah, semboja siapatah kembang Tetapi sekarang apatah mula
Di atas kuburku, si dagang layang? Apakah sebab, aduhai bonda
Ia datang menyusupi beta?
Kemboja, kemboja bunga rayuan
Hendakkah tuan menebarkan bibit Kau ganggu hati yang reda
Barang sebiji di atas pangkuan Kau kacau air yang tenang
28
Kau jagakan dewi asmara Dukamu tuan, aduhai kulum
Kau biarkan air mata berlinang... Walaupun hatimu, rasakan retak.
29
Apatah lagi laguan kasih
Senyap, hatiku senyap Hilang semata tiada ketara...
Adakah boleh engkau merana
Sudahlah ini nasip yang tetap Tuhanku apatah kekal?
Engkau terima di pangkuan bonda.
30
Haram berkata sepatah jua
Ia lalu meninggalkan beta. Tuan aduhai mega berarak
Yang melipud dewangga raya
Ibu, lihatlah anakmu muda belia Berhentilah tuan di atas teratak
Setiap waktu sepanjang masa Anak Langkat musyafir lata.
Duduk termenung berhati duka
Laksana Asmara kehilangan seroja. Sesa‟at sekejap mata beta berpesan
Padamu tuan aduhai awan
Bonda waktu tuan melahirkan beta Arah manatah tuan berjalan
Pada subuh kembang cempaka Di negeri manatah tuan bertahan?
Adakah ibu menaruh sangka
Bahawa begini peminta anakda? Sampaikan rinduku pada adinda
Bisikkan rayuanku pada juita
Wah kalau begini naga-naganya Liputi lututnya muda kencana
Kayu basah dimakan api Serupa beta memeluk dia.
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani. Ibu, konon jauh tanah Selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bonda hajat hati memeluk gunung
BUAH RINDU 2 Apatah daya tangan ta‟ sampai.
Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dan nestapa Elang, Rajawali burung angkasa
Engkau lagi tempatku berpaut Turunlah tuan barang sementara
Di waktu ini gelap gulita. Beta bertanya sepatah kata
Adakah tuan melihat adinda?
Kicau murai tiada merdu
Pada beta bujang Melayu Mega telahku sapa
Himbau pungguk tiada merindu Margasatwa telahku tanya
Dalam telingaku seperti dahulu. Maut telahku puja
31
Tetapi adinda manatah dia ! Diriku lemah anggotaku layu
Rasakan cinta bertalu-talu
Kalau begini datangnya selalu
BUAH RINDU 3 Tentunya kekanda berpulang dahulu.
Puspa cempaka konon kirimkan
Pada arus lari ke laut Tinggalah tuan, tinggalah nyawa
Akan duta kanda jadikan Tinggal juita tajuk mahkota
Pada adinda kasih terpaut. Kanda lalu menghadap “dewata”
Bertelut di bawah cerpu Maulana.
Teja bunga seroja dalam taman
Kemala hijau di atas mahkota Kanda pohonkan tuan selamat
Orang berikan pada kekanda Ke bawah kaus dewata rahmat
Tiada kuambil kerana tuan. Moga-moga tuan hendaklah mendapat
Kesukaan hidup ganda berlipat.
Adakah gemerlapan bagi kemala
Adakah harum lagi seroja
Pada beta tumpuan duka BUAH RINDU 4
Sebab tuan lalu mengembara. Kalau kekanda duduk menyembah
Duli dewata mulia raya
Tuan lalu tiada berkata Kanda pohonkan untung yang indah
Haram sepatah sepantun duli Kepada tuan wahai adinda.
Kanda tinggal sepenuh wangsangka
Pilu belas di dalam hati. Kanda puja dewa asmara
Merestui remaja adik kekanda
Hatiku rindu bukan kepalang Hendaklah ia sepanjang masa
Dendam beralik berulang-ulang Mengasihi tuan intan kemala
Air mata bercucur selang-menyelang
Mengenangkan adik kekasih abang. Anak busurnya kanda gantungi
Dengan seroja suntingan hauri
32
Badannya dewa kanda lengkapi KURNIA
Dengan busur sedia di jari. Kau kurniai aku,
Kelereng kaca cerah cuaca,
Setelah itu kandapun puja Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Dewata mulia di puncak angkasa Jua bahaya dikandung kurnia, jampi kau
beri,
Memohonkan rahman beribu ganda
Menundukkan kepala naga angkara.
Ia tumpahkan kepada adinda.
Kelereng kaca kilauan kasih,
Menunjukkan daku tulisan tanganMu
Tinggallah tuan tinggallah nyawa
Memaksa sukmaku bersorak raya
Sepanjang hari segenap masa
Melapangkan dadaku, senantiasa sentosa
Pikiran kanda hanyalah kemala
Sebab kelereng guli riwarni,
Dilindungi Tuhan Maha Kuasa.
Kuketahui langit tinggi berdiri,
Tanah rendah membukit datar.
Baik-baik adindaku tinggal
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Aduhai kekasih emas tempawan
Melangit tinggi, membumi keji.
Kasih kanda demi Allah kekal
Kepada tuan emas rayuan.....
PANJI DI HADAPANKU
Kalau mega berarak lalu
Kau kibarkan panji di hadapanku.
Bayu berhembus sepoi basah
Hijau jernih di ampu tongkat mutu-
Ingatlah tuan kanda merayu mutiara.
Mengenangkan nasib salah tarah. Di kananku berjalan, mengiring perlahan,
Ridlamu rata, dua sebaya,
Kalau hujang turun rintik Putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Laksana air mata jatuh mengalir Gelap-gelap kami berempat, menunggu-
nunggu,
Itulah kanda teringatkan adik
Mendengar-dengar, suara sayang,
Duduk termenung berhati khuatir.
panggilan-panjang,
Jatuh terjatuh, melayang-layang,
33
Gelap-gelap kami berempat, meminta- MENGAWAN
minta,
Rengang aku daripadaku, mengikut
Memohon-mohon, moga terbuka selimut kawalku mengawan naik.
kabut,
Mewajah kebawah, terlentang aku, lemah
Pembungkus halus, nokta utama, lunak,
Jika nokta terbuka-raya, jika kabut Kotor terhampar, paduan benda empat
tersingkap semua perkara.
Cahaya ridla mengilau kedalam Datang pikiran membentang kenang,
Nur rindu memancar keluar. Membunga cahaya cuaca lampau,
Menjadi terang mengilau kaca.
Lewat lambat aku dan dia, ria tertawa,
bersedih suka,
MEMUJI DIKAU
Berkasih pedih, bagai merpati bersambut
Kalau aku memuji Dikau, mulut.
Dengan mulut tertutup, mata tertutup, Tersenyum sukma, kasihan serta.
Sujudlah segalaku, diam terbelam, Benda mencintai benda …
Di dalam kalam asmara raya. Naik aku mengawan rahman, mengikut
kawalku membawa warta.
Turun kekasihmu,
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku, biar
Mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi
sampai membidai-belai
sendiri.
Celah tersentuh, di kursi kesturi.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku,
Digantunginya leherku, hasratkan suara
sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud HANYUT AKU
semua segala,
Hanyut aku, kekasihku!
Bertindih ia pada pahaku, meminum ia
akan suaraku … Hanyut aku!
Dan, iapun melayang pulang, Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Semata cahaya, Sunyinya sekelilingku!
Lidah api dilingkung kaca, Tiada suara kasihan, tiada angin
mendingin hati,
Menuju restu, sempana sentosa.
Tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu,
Mati aku, sebabkan diammu.
34
Langit menyerkap, air berlepas tangan, (Karya Terjemahan)
Aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam. Hatiku, hatiku, Sukma segala sukma
Air di atas mendidih keras. Hatiku, hatiku, Guru segala guru
Bumi di bawah menolak keatas. Telah hampir
Mati aku, kekasihku, mati aku! Bangkit, bangkit hatiku dan kucup
KakiNya
Kaki Guru maha-raya,
NYANYIAN MIRA – BAI Supaya detikan cintamu
(Karya Terjemahan) Memenuhi seluruh Kaki Gurumu
Tuan tidur, dari abad ke abad
Pada kala aku mengambil air dari sungai Jagalah, hatiku, jaga
Yamuna,
Pada subuh sentosa,
Dipandang Krishna senda
Jika embun menyejuk rumput.
Dengan mataNya yang raya
Hendakkah tuan selalu bisu selaku batu,
Tertawa bertanya
Hatiku, aduh hatiku?
Kendiku telungkup aku pun lalu
Penuh heran dan ragu
Semenjak itu semayam Ia dalam kalbuku
NYANYIAN KABIR II
Krishna berambut ikal.
(Karya Terjemahan )
Hentikan segala mantera, jauhkan
penawar semua
Lepaskan aku dari akar dan jamu! Ceritakan, undanku, kabaranmu kawi
NYANYIAN KABIR I
35
Terbang, melayang tinggi dan ikut
jalanku.
Ikutkan daku ke negeri sana, mana susah
dan was-was NYANYIAN JALLALUDIN EL RUMI
Harum panas ditebar angin sepoi: Sebab banyakan mawar dari duri.
37
Bertukar tangkap dengan lepas Terapung naik Jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Nanar aku, gila sasar Bebas lepas lelang lapang
Sayang berulang padamu jua Di tengah gelisah, swara sentosa
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai Bersemayam sempana di jemala gembala
Juriat julita bapaku iberahim
Kasihmu sunyi Keturunan intan dua cahaya
Menunggu seorang diri Pancaran putera berlainan bunda
Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku. Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
HANYA SATU Lengah langsung melewat abad
Timbul niat dalam kalbumu.
Terbang hujan, ungkai badai Aduh kekasihku
Terendam karam Padaku semua tiada berguna
Runtuh ripuk tamanmu rampak Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Manusia kecil lintang pukang Serpa musa di puncak tursina.
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan
kita, kekasihku?
Terika riuh redam terbelam
Dengan senja samar sepoi, pada masa
Dalam gagap gempita guruh purnama meningkat naik, setelah
menghalaukan panas payah
Kilau kilat membelah gelap
Terik.
Lidah api menjulang tinggi
38
Angin malam mengembus lemah, menyejuk
badan, melambung rasa menayang pikir,
membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai
bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu,
bagai sedap malam menyiarkan kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan
katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu,
biar bersinar mataku sendu, biar berbinar
Gelakku rayu!
BERDIRI AKU
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
39
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Amir Hamzah lahir sebagai seorang penyair yamg juga seorang pahlawan
nasional pada tanggal 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia
merupakan sastrawan angkatan Pujangga Baru. Beliau terlahir sebagai keluarga
istana(bangsawan) yang memiliki darah sastra yang kuat. Beliau juga banyak
menghasilkan karya-karya yang tervermin pada kehidupan seorang Amir Hamzah.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat memperluas pengetahuan tentang bagaimana sosok
Amir Hamzah.
40
DAFTAR PUSTAKA
41