Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan
ekspresi dan penciptaan sedangkan karya sastra adalah karya yang diciptakan
oleh manusia hasil dari refleksi pikiran manusia yang dituangkan dalam
bentuk tulisan, maupun gambar.

Sejarah Indonesia penuh dengan perjuangan dan pergerakan


menantang sebuah penjajahan, salah satu pahlawan yang melakukan
pergerakan terhadap penjajahan bangsa Indonesia yaitu “Tengku Amir Amir
Hamzah” .Selain sebagai pahlawan nasional, beliau juga merupakan pelopor
kesusastraan Indonesia dan sekaligus pelopor golongan pujangga baru yang
kemudia diikuti oleh golongan pujangga-pujangga baru lainnya.

Sesungguhnya keidupan Amir Hamzah sangat mengasikkan karena


penuh misteri. Apalagi dengan cara kematiannya yang tragis, membuat orang
bertanya-tanya dan terus menggali dan mencari latar belakangkehidupannya.
Riwayat kehidupan Amir Hamzah begitu majemuk dan ganda. Padahal
kebanyakan orang mengenal Amir Hamzah hanya dari satu sisi saja. Para
peminat dan pemerhati sastra lebih mengetahuinya sebagai seorang penyair
besar dengan kumpulan sajak aslinya. Oleh sebab itu kami akan membahas
biografi Amir Hamzah dan karya-karyanya.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat diketahui beberapa rumusan masalah,
yaitu:
1. Bagaimana biografi Amir Hamzah?
2. Apa pengaruh Amir Hamzah terhadap Kasusastraan Indonesia?
3. Bagaimanakah karya-karya Amir Hamzah?

1
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas maka dapat diketahui beberapa tujuan penulisan,
yaitu:
1. Mengetahui bagaimana biografi Amir Hamzah.
2. Mengetahui pengaruh Amir Hamzah terhadap kasusastraan Indonesia.
3. Mengetahui bagaimana karya-karya Amir Hamzah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Amir Hamzah


Amir Hamzah, sastrawan Indonesia yang terkenal sebagai "Raja
Penyair Pujangga Baru" lahir di Binjai, Langkat, Sumatra Utara, 28 Februari
1911. Ayahnya bernama Tengku Muhammad Adil dan menjadi pangeran yang
menjadi wakil sultan di Langkat Hulu, yang berkedudukan di Binjai dengan
gelar "Tengku Bendahara Paduka Raja". Ibunya bernama Tengku Mahjiwa.
Amir Hamzah bersaudara 11 orang. Keluarga besar itu amat taat menjalankan
ajaran Islam. Setelah tamat dari HIS Tanjungpura tahun 1924, ia masuk ke
sekolah Christelijk MULO di Medan. Selanjutnya, Amir Hamzah pindah ke
Batavia untuk melanjutkan kelas 2 dan kelas 3 MULO. Ia menamatkan
sekolah di MULO pada tahun 1927.

Pada tahun 1927 itu juga Amir Hamzah berangkat ke Solo dan
mendaftar pada sekolah AMS (Aglmeene Middelbare School) Solo, Jurusan
Sastra Timur. Dia tercatat sebagai siswa yang tidak pernah bolos dari sekolah
dan kedisiplinannya sangat baik. Di sinilah Amir Hamzah berkenalan dengan
Ilik Sundari, wanita yang sangat dicintainya dan menjadi sumber inspirasi
kepenyairannya. Setelah tamat dari AMS Solo, Amir Hamzah kembali ke
Jakarta (Batavia). Ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Hakim Tinggi.
Pada tahun 1931 ibu Amir Hamzah meninggal dunia, sedangkan
ayahnya meninggal dunia pada tahun 1933. Namun, Amir Hamzah masih
dapat melanjutkan studinya dengan bantuan pamannya, Sultan Mahmud, yang
menjadi Sultan Langkat. Amir Hamzah bekerja pertama kali sebagai guru di
Perguruan Rakyat (bagian dari Taman Siswa) Jakarta. Amir Hamzah mulai
berkenalan dengan Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Sanusi Pane.
Amir Hamzah melibatkan diri dalam majalah Poedjangga Baroe.

Dia juga menulis karya sastra di dalam majalah Timboel, Pandji


Poestaka, Poedjangga Baroe, dan lain-lain. Pada tahun 1935 Amir Hamzah

3
diminta oleh Sultan Langkat pulang ke Langkat untuk menikah dengan
Tengku Kamaliah, putri Sultan Langkat dan diberi gelar Tengku Pangeran
Indra Putra. Dia diangkat menjadi Kepala Luhak Langkat Hilir di
Tanjungpura, kemudian pindah menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di
Pangkalan Brandan. Tidak lama kemudian, ia diangkat menjadi Pangeran
Langkat Hulu, menggantikan kedudukan ayahnya. Dalam suatu revolusi sosial
di Langkat, Sultan Langkat ditangkap, 7 Maret 1946, termasuk Amir Hamzah.
Sejak saat itu Amir Hamzah tidak pernah pulang/kembali lagi.

B. Pengaruh Amir Hamzah Terhadap Kesusastraan Indonesia


Amir dibesarkan dalam lingkungan keraton Langkat, di mana ia selalu
bercakap dalam bahasa Melayu, sehingga bahasa tersebut telah “... mendjadi
darah daging baginja.” (EYD:”menjadi darah dan daging baginya”). Sejak usia
muda ia telah diperkenalkan pada sastra lisan, pantun tertulis dan syair, baik
mendengarkan maupun menciptakannya sendiri dengan improvisasi. Seperti
ayahnya sebelum dia, Amir menggemari tulisan Melayu tradisional, seperti
Hikayat Hang Tuah, Syair Siti Zubaidah Perang Cina, dan Hikayat Panca
Tanderan. Dia akan mendengarkan tulisan-tulisan tersebut ketika dibacakan
dalam upacara umum, dan setelah dewasa ia menyimpan koleksi besar tulisan
tersebut, meskipun koleksinya tersebut hancur saat revolusi komunis Sumatra
Timur yang merenggut nyawanya.
Sepanjang pendidikan formalnya Amir membaca karya sastra Arab,
Persia, dan sastra Hindu. Ia juga dipengaruhi oleh karya-karya dari negara-
negara Timur lainnya: puisi-puisi terjemahan dalam Setanggi Timoer
misalnya, memasukkan karya-karya Umar Khayyām (Persia), Du Fu (China),
Fukuda Chiyo-ni (Jepang), dan Rabindranath Tagore (India). Karya-karya ini
tidak dibacanya dalam bahasa aslinya, tetapi dalam terjemahan berbahasa
Belanda.Kritikus sastra Muhammad Balfas menulis bahwa, tidak seperti rekan
sezamannya, Amir menunjukkan hanya sedikit pengaruh dari soneta dan
penyair neo-romantis Belanda, para Tachtigers; Johns menyimpulkan hal yang
sama. Namun pakar sastra Australia Keith Foulcher mencatat bahwa penyair
dikutip “Lenteavond” dari Willem Kloos dalam artikelnya tentang pantun,
menunjukkan bahwa Amir sangat mungkin dipengaruhi oleh Tachtigers.

4
Banyak penulis telah berkomentar tentang pengaruh yang didapat Amir
dari doktrin Islam. Pencatat sastra Indonesia H.B. Jassin dan penyair Arief
Bagus Prasetyo, adalah termasuk dari beberapa yang berpendapat bahwa Amir
adalah seorang Muslim ortodoks murni, dan itu ditunjukkan dalam karyanya.
Prasetyo berpendapat bahwa hal ini terlihat jelas dalam perkataan Amir
tentang Tuhan, ia tidak memandang Tuhan sebagai sesamanya, sebuah tema
yang ditemukan dalam karya penyair sufi seperti Hamzah Fansuri, tetapi
sebagai tuan untuk hamba Amir.Johns menulis bahwa, meskipun Amir
bukanlah seorang mistik, Amir juga bukan seorang penulis renungan murni,
namun mempromosikan suatu bentuk “Humanisme Islam”.

Pengamat lain, seperti pakar sastra Indonesia dari Belanda, A. Teeuw


dan pakar sastra Indonesia Abdul Hadi WM berpendapat bahwa Amir
dipengaruhi oleh Sufisme. Aprinus Salam dari Universitas Gadjah Mada, dari
posisi yang sama, menunjuk ke contoh di mana Hamzah memperlakukan
Tuhan sebagai kekasih sebagai indikasi pengaruh Sufi. Pada akhirnya, penyair
Chairil Anwar menulis bahwa Nyanyi Sunyi karya Amir bisa disebut “puisi
terselubung” karena pembaca tidak dapat memahami karya Amir tanpa
pengetahuan tentang sejarah Melayu dan Islam.

Beberapa upaya juga telah dilakukan untuk menghubungkan karya


Amir dengan perspektif Kekristenan. Dalam menganalisis “Padamu Jua”,
kritikus Indonesia Bakri Siregar menunjukkan bahwa beberapa pengaruh dari
Alkitab Kristen dapat ditemukan, menunjuk ke beberapa aspek dari puisi yang
tampaknya mendukung pandangan tersebut, termasuk penggambaran Tuhan
yang antropomorfik (tidak diperbolehkan dalam Islam ortodoks) dan
pandangan tentang Tuhan yang cemburu. Dia menulis bahwa konsep tentang
Tuhan yang cemburu tidak ditemukan dalam Islam, tetapi dalam Alkitab,
mengutip Keluaran 20:5 dan Keluaran 34:14. Dalam puisi lain,
“Permainanmu”, Hamzah menggunakan kalimat “Kau keraskan kalbunya”,
Jassin menarik kesejajaran dengan Tuhan yang mengeraskan hati Firaun
dalam Kitab Keluaran.

5
Jassin menulis bahwa puisi Amir juga dipengaruhi oleh cintanya pada
satu atau lebih wanita, dalam Buah Rindu disebut sebagai “Tedja” dan
“Sendari-Dewi”, Jassin beropini bahwa wanita (satu atau lebih) tak pernah
disebutkan namanya karena cinta Amir pada mereka adalah kunci. Husny
menulis bahwa setidaknya sembilan karya di Buah rindu[ terinspirasi oleh
kerinduannya untuk Aja Bun, menggambarkan rasa kecewa setelah
pertunangan mereka dibatalkan. Mengenai dedikasi tiga-bagian dalam buku
tersebut, “Kebawah peduka Indonesia-Raya / Kebawah debu Ibu-Ratu /
Kebawah kaki Sendari-Dewi”,

Mihardja menulis bahwa Soendari telah dikenali setiap teman sekelas


Amir, ia menganggap Soendari sebagai inspirasi Amir, layaknya “Laura
terhadap Petrarch, Mathilde terhadap Jacques Perk”. Kritikus Zuber Usman
juga menemukan pengaruh Soendaripada Nyanyi Sunyi, berpendapat bahwa
perpisahan Amir dari Soendari membawa Amir lebih dekat dengan Tuhan,
sebuah pendapat yang diulang oleh Dini.[89] Burton Raffel menghubungkan
sebuah kuplet di akhir buku, membaca “Sunting Sanggul melayah rendah /
sekaki sajak seni sedih” (“sebuah bunga mengambang di simpul rambut
longgar / melahirkan puisi sedih saya”) sebagai panggilan untuk sebuah cinta
terlarang. Dini berpendapat bahwa cinta Amir pada Soendari menyebabkan
penggunaan istilah Jawa yang sering dalam tulisan Amir.

C. Karya-karya Amir Hamzah

Diketahui kemudian bahwa Amir Hamzah tewas dipancung oleh


algojo, 20 Maret 1946 pukul 20.00 WIB. Amir Hamzah merupakan salah
seorang korban revolusi yang difitnah sebagai seorang yang bekerja sama
dengan Belanda. Dalam dunia kesastraan Amir Hamzah adalah seorang
sastrawan yang sangat penting. Dari tangannya telah lahir puisi-puisi yang
indah dan menarik. Dia berhasil menciptakan puisi-puisi dengan rangkaian
kata yang khas Melayu. Bukunya yang sudah terbit adalah Nyanyi Sunyi
(1937), Buah Rindu (1941), Sastra Melayu Lama dengan Tokoh-Tokohnya
(1941), dan Esai dan Prosa (1982). Terjemahannya: Bhagawad Gita (dimuat

6
dalam Poedjangga Baroe, 1933—1934), dan Setanggi Timur (terjemahan puisi
Jepang, Arab, Inia, Persia, dll., 1939).
Berbagai karangan Amir Hamzah yang tersebar dihimpun oleh H.B.
Jassin dalam Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1963). Sejumlah
puisi Amir Hamzah terdapat dalam antologi Pujangga Baru: Prosa dan Puisi
(1963, ed. H.B. Jassin). Berikut sebagian karya-karya Amir Hamzah yang
tersebar di media massa.

Antara lain karya-karya Amir Hamzah adalah sebagai berikut :

ASTANA RELA Kalau kekasihmu hasratkan dikau


Tiada bersua dalam dunia Restu sempana memangku daku
Tiada mengapa hatiku sayang Tiba masa kita berdua
Tiada dunia tempat selama Berkaca bahagia di air mengalir
Layangkan angan meninggi awan Bersama kita mematah buah
Sempana kerja di muka dunia
Jangan percaya hembusan cedera Bunga cerca melayu lipu
Berkata tiada hanya dunia Hanya bahagia tersenyum harum
Tilikkan tajam mata kepala
Sungkumkan sujud hati sanubari Di situ baru kita berdua
Mula segala tiada ada Sama merasa, sama membaca
Pertengahan masa kita bersua Tulisan cuaca rangkaian mutiara
Ketika tiga bercerai ramai Di mahkota gapura astana rela
Di waktu tertentu berpandang terang

Lipu aku diharu sendu


HARI MENUAI Samar sapur cuaca mata
Lamanya sudah tiada bertemu Sesak sempit gelanggang dada
Tiada kedengaran suatu apa Senak terhentak raga kecewa
Tiada tempat duduk bertanya
Tiada teman kawan berberita Hibuk mengamuk hati tergari

7
Melolong meraung menyentak rentak
Membuang merangsang segala petua Terbaring badanku tiada berkuasa
Tiada percaya pada siapa Tertutup mataku berat semata
Terbuka layar gelanggang angan
Kutilik diriku kuselam tahunku Terulik hatiku di dalam kelam
Timbul terasa terpancar terang
Istiwa lama merekah terang Tetapi hatiku, hatiku kecil
Merona rawan membunga sedan Tiada terlayang di awang dendang
Menanggis ia bersuara seni
Tahu aku Ibakan panji tiada terdiri.
Kini hari menuai api
Mengetam ancam membelam redam
Ditulis dilukis jari tanganku. INSAF
Segala kupinta tiada kauberi
SUBUH Segala kutanya tiada kausahuti
Kalau subuh kedengaran tabuh Butalah aku terdiri sendiri
Semua sepi sunyi sekali Penuntun tiada memimpin jari
Bulan seorang tertawa terang
Bintang mutiara bermain cahaya Maju mundur tiada terdaya
Sempit bumi dunia raya
Terjaga aku tersentak duduk Runtuh ripuk astana cuaca
Terdengar irama panggilan jaya Kureka gembira di lapangan dada
Naik gembira meremang roma
Terlihat panji terkibar di muka Buta tuli bisu kelu
Tertahan aku di muka dewala
Seketika teralpa; Tertegun aku di jalan buntu
Masuk bisik hembusan setan Tertebas putus sutera sempana
Meredakan darah debur gemuruh
Menjatuhkan kelopak mata terbuka Besar benar salah arahku

8
Hampir tertahan tumpah berkahmu Kusongsong juga – biar chedera
Hampir tertutup pintu restu
Gapura rahsia jalan bertemu Bangkit ibu dipegangnya aku
Dirangkumnya segera dikucupnya serta
Insaf diriku dera durhaka Dahiku berapi pancaran neraka
Gugur tersungkur merenang mata; Sejuk sentosa turun ke kalbu
Samar terdengar suwara suwarni
Sapur melipur merindu temu. Demikian engkau;
Ibu, bapa, kekasih pula
Insaf aku Berpadu satu dalam dirimu
Bukan ini perbuatan kekasihku Mengawas daku dalam dunia.
Tiada mungkin reka tangannya
Kerana cinta tiada mendera DI DALAM KELAM
Kembali lagi marak-semarak
Jilat melonjak api penyuci
IBUKU DEHULU Dalam hatiku tumbuh jahanam
Ibuku dehulu marah padaku Terbuka neraka di lapangan swarga
Diam ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu Api melambai melengkung lurus
Tiada peduli apa terjadi Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam
Matanya terus mengawas daku Buah tenaga bunga suwarga
Walaupun bibirnya tiada bergerak
Mukanya masam menahan sedan Hati firdausi segera sentosa
Hatinya pedih kerana lakuku Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
HTerus aku berkesal hati Menghalang cuaca nokta utama
Menurutkan setan, mengkacau-balau
Jurang celaka terpandang di muka Berjalan aku di dalam kelam

9
Terus lurus moal berhenti Tiada sayang;
Jantung dilebur dalam jahanam Dalam rimba telur kemahang
Kerongkong hangus kering peteri. Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta.
Meminta aku kekasihku sayang;
Turunkan hujan embun rahmatmu Anak lasak mengisak panjang
Biar padam api membelam Menyabak merunta mengguling diri
Semoga pulih pokok percayaku. Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa kerana cinta

BATU BELAH Dengar.........dengar !


Dalam rimba rumah sebuah Dari jauh suara sayup
Teratak bambu terlampau tua Mengalun sampai memecah sepi
Angin menyusup di lubang tepas Menyata rupa mengasing kata
Bergulung naik di sudut sunyi.
Rang... rang... rangkup
Kayu tua membetul tinggi Rang... rang... rangkup
Membukak puncak jauh di atas Batu belah batu bertangkup
Bagai perarakan melintas negeri Ngeri berbunyi berganda kali.
Payung menaung jemala raja
Diam ibu berfikir panjang
Ibu bapa beranak seorang Lupa anak menangis hampir
Manja bena terada-ada Kalau begini susahnya hidup
Plagu lagak tiada disangkak Biar ditelan batu bertangkup
Mana tempat ibu meminta
Kembali pada suara bergelora
Telur kemahang minta carikan Bagai ombak datang menampar
Untuk lauk di nasi sejuk Macam sorak semarai ramai
Kerana ada hati berbimbang

10
Terbuka pula, merah basah
Menyahut ibu sambil tersedu Mulut maut menunggu mangsa
Melagu langsing suara susah; Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap..
Batu belah batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi Tiba dara kecil sendu
Insha Allah tiadaku takut Menangis mencari ibu
Sudah demikian kuperbuat janji Terlihat cerah darah merah
Mengerti hati bonda tiada.
Bangkit bonda bewrjalan pelan
Tangis anak bertambah kuat Melompat dara kecil sendu
Rasa risau bermaharajalela Menurut hati menaruh rindu...
Mengangkat kaki melangkah cepat.
Batu belah, batu bertangkup
Jauh ibu lenyap di mata Batu tepian tempat mandi
Timbul takut di hati kecil Insha Allah tiadaku takut
Gelombang bimbang mengharu fikir Sudah demikian kuperbuat janji.
Berkata jiwa menanya bonda

Lekas pantas memburu ibu TURUN KEMBALI


Sambil tersedu rindu berseru Kalau aku dalam engkau
Dari sisi suara sampai Dan kau dalam aku
Suara raya batu bertangkup Adakah begini jadinya
Jaku hamba engkau penghulu ?
Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa Aku dan engkau berlainan
Tutup terkatup mulut ternganga Engkau raja, maha raya
Berderak-derik tulang belulang Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia.

11
Tari tamparku membangkit rindu
Di bawah teduh engkau kembangkan Kucuba serentak genta genderang
Taku berdiri memati hari Memuji kekasihku di mercu lagu
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati Aduh, kasihan hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Diterangi cahaya engkau sinarkan Jari menari doa semata
Aku menaiki tangga, mengawan Tapi hatiku bercabang dua.
Kecapi firdausi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku
TERBUKA BUNGA
Terlihat ke bawah Terbuka bunga dalam hatiku !
Kandil kemerlap Kembang rindang disentuh bibir
kesturimu.
Melambai cempaka ramai tertawa
Melayah-layah mengintip restu
Hati duniawi melambung tinggi senyumanmu.
Berpaling aku turun kembali. Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah
Bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting hatiku, dalam masa
mengembara
DOA POYANGKU
Menanda dikau
Poyangku rata meminta sama
Kekasihku ! inikah bunga sejati yang
Semoga sekali aku diberi
tiadakan
Memetik kecapi, kecapi firdausi
Layu ?
Menampar rebana, rebana swarga

Poyangku rata semua semata


TAMAN DUNIA
Penabuh bunyian kerana suara
Kau masukkan aku ke dalam taman-
Suara sunyi suling keramat dunia, kekasihku !
Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga
tertawa, kuntum tersenyum.
Kini rebana di celah jariku

12
Kau tundukkan huluku tegak, mencium Hanya selagu, sepanjang dendang
wangi tersembunyi sepi.
Kau gemalaikan di pipiku rindu daun
beldu melunak lemah. Golek gemilang ditukarnya pula

Tercengang aku takjob, terdiam. Aku engkau di kotak terletak

Berbisik engkau: Laku boneka engkau boneka

“Taman swarga, taman swarga mutiara Penyenang dalang mengarak sajak.


rupa”.
Engkaupun lenyap.
Termanggu aku gilakan rupa.
KERANA KASIHMU
Kerana kasihmu
Engkau tentukan
SEBAB DIKAU
Sehari lima kali kita bertemu
Kasihkan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Aku inginkan rupamu
Membunga cinta dalam hatiku
Kulebihi sekali
Mewangi sari dalam jantungku
Sebelum cuaca menali sutera

Hidup seperti mimpi


Berulang-ulang kuintai-intai
Laku lakon di layar terkelar
Terus menerus kurasa-rasakan
Aku pemimpi lagi penari
Sampai sekarang tiada tercapai
Sedar siuman bertukar-tukar
Hasrat sukma idaman badan

Maka merupa di datar layar


Pujiku dikau laguan kawi
Wayang warna menayang rasa
Datang turun dari datukku
Kalbu rindu turut mengikut
Di hujung lidah engkau letakkan
Dua sukma esa-mesra –
Piatu teruna di tengah gembala

Aku boneka engkau boneka


Penghibur dalang mengatur tembang
Sunyi sepi pitunang poyang
Di layar kembang bertukar pandang
13
Tidak merentak dendang dambaku Seperti hauri dengan kapaknya
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemercing genta rebana Rupanya ia mutiara jiwaku
Yang kuselami di lautan rasa
Hatiku, hatiku Gewang canggainya menyentuh rindu
Hatiku sayang tiada bahagia Tetapi aku tiada merasa...
Hatiku kecil berduka raya
Hilang ia yang dilihatnya.
PERMAINANMU
Kau keraskan kalbunya
TETEPI AKU Bagi batu membesi benar
Tersapu sutera pigura Timbul telangkaimu bertongkat urat
Dengan nilam hitam kelam Ditunjang pengacara petah fasih
Berpadaman lentera alit
Beratus ribu di atas langit Di hadapan lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular
Seketika sekejap mata Tangannya putih , putih penyakit
Segala ada menekan dada Kekayaanmu nyata terlihat terang
Nafas nipis berlindung guring
Mati suara dunia cahaya Kakasihmu ditindasnya terus
Tangan tapi bersembunyi
Gugur badanku lemah Mengunci bagi pateri
Mati api di dalam hati Kalbu ratu rat rapat
Terhenti dawai pesawat diriku
Tersungkum sujud mencium tanah Kau pukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada
Cahaya suci riwarna pelangi Putera mula penganti diri
Harum sekuntum bunga rahsia Pergi kembali ke asal asli.
Menyinggung daku terhantar sunyi

14
Bertanya aku kekasihku Air naik tetap terus
Permainan engkau permainkan Tumbang bungkar pokok purba
Kau tulis kau paparkan
Kausampaikan dengan lisan Teriak riuh/redam terbelam
Dalam gagap/gempita guruh
Bagaimana aku menimbang Kilau kilat membelah gelap
Kaulipu lipatkan Lidah api menjulang tinggi
Kau kelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Kau hamparkan badan Bebas lepas lelang lapang
Di tubir bibir penaka durjana Di tengah gelisah, swara sentosa
Jadi tanda di hari muka *
Bersemayam sempana di jemala gembala
Bagaimana aku menimbang Juriat jelita bapaku iberahim
Kekasihku astana sayang Keturunan intan dua cahaya
Ratu restu telaga sempana Pancaran putera berlainan bonda.
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati. Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
HANYA SATU Lengah langsung melewat abad
Timbul niat dalam kalbumu;
Terban hujan, ungkai badai Aduh, kekasihku
Terendam karam Padaku semua tiada berguna
Runtuh ripuk tamanmu rampak Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Manusia kecil lintang pukang Serupa musa di puncak tursina.
Lari terbang jatuh duduk

15
Ditayangan ombak bujang bersela
BARANGKALI Dijunjung hulu rapuh semata
Engkau yang lena dalam hatiku Dikipasi angin bergurau senda
Akasa swarga nipis-tipis Lupakan kelana akan dirinya...
Yang besar terangkum dunia
Kecil terlindung alis Dimabukkan harum pecah terberai
Diulikkan bujuk rangkai-rinangkai
Kujunjung di atas hulu Datanglah semua mengungkai simpai
Kupuji di pucuk lidah Hatimu bujang sekali bisai.
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang Bulan mengintai di celah awan
Bersemayam senyum sayu-sendu
Bangkit gunung Teja undur perlahan-lahan
Buka mata mutiaramu Mukanya merah mengandung malu.
Sentuh kecapi firdausi
Dengan jarimu menirus halus Rumput rendah rangkum-rinangkum
Tibun embun turun ke rumpun
Biar siuman dewi-nyanyi Lembah-lembah menjunjung harum
Gambuh asmara lurus lampai Mendatangkan kayal bujang mencium.
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat Melur sekaki dibuaikan sepoi
Dalam cahaya rupa melambai
Mari menari dara asmara Pelik bunga membawaku ragu
Biar terdengar swara swarna Layu kupetik bunga gemalai.
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri. Bunga setangkai gemelai permai
Dalam tanganku jatuh terserah
Kelopak kupandang sari kunilai
MABUK Datanglah jemu mengatakan sudah...

16
Sudahlah untung hendak piatu
Bulan berbuni di balik awan Bagaimana mengubah janji dahulu
Taram-temaram cendera cahaya Sudah diikat di rahim ibu.
Teja lari ke dalam lautan
Tinggallah aku tiada berpelita.
SUNYI
Kuketuk pintu masaku muda
DAGANG Hendak masuk rasa kembali
Susahnya duduk berdagang Taman terkunci dibelan pula
Tiada tempat mengadukan duka Tinggallah aku sunyi sendiri.
Bondaku tuan selalu terpandang
Hendak berjumpa apatah daya. Kudatangi gelanggang tempat menyebung
Masa bujang tempat beria
Terlihat-lihat bonda merenung Kulihat siku singgung menyinggung
Rasa-rasa Bonda mengeluh Aku terdiri haram disapa...
Mengenangkan nasib tiada beruntung
Luka penceraian tiadakan sembuh. Teruslah aku perlahan-lahan
Sayu rayu hati melipur
Bondapun garing seorang diri Nangislah aku tersedan-sedan
Hati luka tiada berjampi Mendengarkan pujuk duka bercampur.
Nangislah ibu mengenangkan kami
Rasakan tiada berjumpa lagi. Kudengar bangsi memanggil-manggil
Tersedu-sedu, dayu mendayu
Allah diseru memohonkan restu Tersalah aku diri terpencil
Moga kami janganlah piatu Badan dilambung gelombang rindu.
Aduh ibu, kemala hulu
Bukankah langit tiada berpintu? Duduklah aku bertopang dagu
Merenung kupu mengecup bunga
Sudahlah nasib tiada bertemu Lenalah aku sementara waktu

17
Dalam rangkum kenangan lama.
Biarkan daku tinggal di sini
Rupanya teja serasa kulihat Sentosa diriku di sunyi sepi
Suaramu dinda rasakan kudengar Tiada berharap tiada meminta
Dinda bersandar duduk bersikat Jauh dunia di sisi dewa.
Aku mengintip ombak berpendar.

Imbau gelombang menyembahkan lagu PADA SENJA


Kepada bibirmu kesumba pati Mengembara senda pada senja
Fikiranku melayang ke padang rindu Rama bermain dalam cahaya
Walaupun dinda duduk di sisi. Kusangka sempurna dalam segala
Sayap kemerlap mengemas rupa
Ditayang kembang kelopak terbuka.
NAIK-NAIK
Membubung badanku, melambung, Dirinjau sinau diliputi wangi
mengawan
Dijunjung tunjung tangkai gemelai
Naik, naik, tipis-rampis, kudus halus
Berkobar-debar berahi diri
Melayang-terbang, mengembang-kembang
Digetar-gegar permai terberai.
Menyerupa-rupa merona-warni langit-
lazwardi.
Kutangkap rama berayun

Bertiup badai merentak topan Kupetik bersama daun

Larikan daku hembuskan badan Kubawa kumuda warni

Tepukkan daku ke puncak tinggi Kurangkai di sisi hati...

Ranggitkan daku kelengkung pelangi...


Matahari menunjuk bentuk

Tenang-tenang anginku sayang Aku lalu harilah suntuk

Tinggalkan badan di lengkung benang Rama kencana tinggal tertunduk

Reda-reda badaiku dalam Puas belum cinta diteguk...

Ulikkan sepoi sunyikan dendam.

18
Dunia segara duka Harum sepadan wangi rambutmu
Tiada cinta selama muda Kalau terurai kita bergurau.
Derita rama remaja
Susah sepah tersia-sia Melur! Duta rindu di purnama raya
Kawan sendu di sunyi malam
Ratna rupa di hulu kemala
HARUM RAMBUTMU Penambah manis jiwa pendiam.
Kupatah tangkai kusuma kukucup
Kendati mencari wangi asli
Cempaka tinggal tergulai lampai BERLAGU HATIKU
Sayang tanganku hendak mencapai. Bertangkai bunga kusunting
Kujunjung kupuja, kurenung
Teja! Hanya cempaka ditayang daun Berlagu hatiku bagai seruling
Aneka bunga menutup bumi Kukira sekalini menyecap untung.
Impian lama datang mengalun
Kerana kusuma kenangan diri. Dalam hatiku kuikat istana
Kusemayamkan tuan digeta kencana
Harum rambutmu terasa ada Kuhamburkan kusuma cempaka mulia
Dalam bunga duduk tersembunyi Kan hamparan turun dewi kakanda...
Suma mana ratna mulia
Kanda sibuk tengah mencari. Tetapi engkau orang biasa
Merana sahaja tiada berguna
Pohon rendah dinaungi kemuning Malu bertalu kerana aku
Puteri dilindungi payung kembang Ganjil terpencil berpaut kedahulu.
Bunga adinda kencana ramping
Irama kusuma abang seorang. MALAM
Daun bergamit berpaling muka
Wangi tertebar membawaku ragu Mengambang tenang di laut cahaya
Mengembang abang ke hari lampau Tunduk mengurai surai terurai

19
Kelapa lampai melambai bidai. Renggang rapat berpegang jari
Kita mendaki bukit tanahmu
Nyala pelita menguntum melati Dinda berkhabar bijak berperi
Gelanggang sinar mengembang lemah Kelu kanda kerana katamu.
Angin mengusap menyeyang pipi
Balik-berbalik menyerah-yerah. Berhenti kita sejurus lalu
Berdekatan duduk sentosa semata
Air mengalir mengilau-sinau Hatiku sendu merindu chumbu
Riak bergulung pecah memecah Kesuma sekaki abang kelana.
Nagasari keluar meninjau
Membanding purnama di langit cerah. Hilang himpau air terjun
Bunga rimba bertudung lingkup
Lepas rangkum pandan wangi Kanda memangku sekar suhun
Terserak harum pemuja rama Lampai permai mata tertutup.
Hinggap mendakap kupu berahi
Berbuai-buai terlayang lena Remuk redam duka di dada
Di hanyutkan arus dewa bahagia
Adikku sayang berpangku guring Menjelma kanda di bibir kesumba
Rambutmu tuan kusut melipu Rasa menginyam madu swarga.
Aduh bahagia bunga kemuning
Diri dihimpit kucupan rindu. Dalam matamu tenang sentosa
Kanda memungut bunga percaya
Japamantera di kala duka
DALAM MATAMU Pelerai rindu di malam cuaca.
Tanahku sayang berhamparkan daun
Bersinar cahaya lemah gemilang Dalam matamu jernih bersih
Dari jauh datang mengalun Kanda kumpulkan mutiara cinta
Suara menderu selang-menyelang Akan tajuk mahkota kasih
Kanda sembahkan kepada bonda.

20
Burung terbang melayang-layang
KENANGAN Serunai berseru “adikku sayang”
Tambak beriak intan terberai Perikan bernyanyi berimbang-imbang
Kemuncak bambu tunduk melambai Laut harungan hijau terbentang.
Mas kumambang mengisak sampai
Merenungkan mata kesuma teratai. Asap kapal bergumpal-gumpal
Melayari tasik lautan jawa
Senyap sentosa sebagai sendu Beta duduk berhati kesal
Tanjung melampung merangkum kupu Melihat perahu menuju Semudera.
Hanya bintang cemerlang mengambang
Diawang terbentang sepanjang pandang Musafir tinggal di tanah Jawa
Seorang diri sebatang kara
Dalam sunyi kudus mulia Hati susah tiada terkata
Murca kanda dibibir kesumba Tidur sekali haram cendera.
Undung dinda melindung kita
Heran kanda menajubkan jiwa Fikiranku melayang entah ke mana
Sekali ke timur sekali ke utara
Dinda berbisik rapat di telinga Mataku memandang jauh ke sana
Lengan melengkung memangku kepala Di pertemuan air dengan angkasa.
Putus-putus sekata dua;
“kunang-kunang mengintai kita”... Di hadapanku hutan umurnya muda
Tempat ashik bertemu mata
Tempat ma‟shuk melagukan cinta
TELUK JAYAKATERA Tempat bibir menyatukan anggota.
Ombak memecah di tepi pantai
Angin berhembus lemah lembut Fikiran lampau datang kembali
Puncak kelapa melambai-lambai Menggoda kalbu menyusahkan hati
Di ruang angkasa awan bergelut. Mengintagkan untung tiada seperti

21
Yayi lalu membawa diri. Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa...
Ombak mengempas ke atas batu Rupanya mawar mengandung lumpur
Bayu merayu menjauhkan hati Kaca piring bunga renungan...
Gelak gadis membawaku rindu
Terkenangkan tuan ayuhai yayi. Igauanku subuh , impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih...
Teja ningsun buah hatiku Kulihat kumbang keliling berlagu
Lihatlah limbur mengusap gelombang Kelopakmu terbuka menerima chembu.
Ingatlah tuan masa dahulu
Adik guring di pangkuan abang? Kusangka hauri bertudung lingkup
Bulu mata menyangga panah asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
KUSANGKA Kalau dipetik menguku segera.
Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri...
Hatiku remuk mengenangkan ini BONDA 1
Wangsangka dan was-was silih berganti. Dalam sepu angin malam
Dalam gerak daun segala
Kuharap cempaka baharu kembang Dalam angguk mawar kusuma
Belum tahu sinar matahari... Bonda kulihat duduk bercinta
Rupanya teratai patah kelopak
Dihinggapi kumbang berpuluh kali. Dalam tepuk air di batu
Dalam buai puncak kelapa
Kupohonkan cempaka Dalam bisik kumbang menyeri
Harum mula terserak... Bonda kudengar memanggil anaknda.
Melati yang ada
Pandai tergelak... Pelangi membangun laksana perahu
Awan berarak behtera ditiru

22
Bintang bertabur jempena serupa BONDA 2
Bonda kulihat duduk beriba. Batu sungai terserak putih
Bintang bertabur gemerlapan cahaya
Di dalam paya kumuda kembang Dipalut pualam pelangi persih
Di atas tampuk embun bergantung Peraduan ibu melepaskan duka
Di dalam permata bonda terpandang
Duduk menangis menyesal untung. Pohon kemboja tunduk temungkul
Memayungi ibu beradu cendera
“Buah hati jauh permainan mata Kusuma terapung tenggelam timbul
Hendak diseru suara tak daya Di atas lautan angin daksina.
Hendak dipanggil kuasa taala
Duduklah bonda berhati iba... Harum bunga melenakan ibu
Sepoi angin mengulikkan bonda
Hati di dalam berseru-seru Patikpun tunduk berhati mutu
Mohonkan restu Tuhan suatu Hendakpun menyepa tiada kuasa.
Moga bertemu sejurus lalu
Dengan dikau bijimataku” Dari jauh suara melambai
Rasa bonda datang menegur
Wah bonda bagaimana menyeru Di atas awan duduk serangkai
Gelombang Melaka umpama gelora, Dengan bintang angsoka hablur.
Aduh bonda, mengapa merestu
Awan tebal laksana dewala. Bunga rampai di atas rimba
Air selabu di pangkuan dinda
Bunga mawar putih setangkai Kami menangis tiada berasa
Anakda petik di kaki wilis Terkenangkan ibu beradu cendera.
Di atas bumi Jawa raya
Akan penunggu telakapkan bonda. Bunga mawar bunga cempaka
Bunga melur aneka warna
Dipetik dinda di halaman kita

23
Akan penyapu telapakan bonda. Layang-layang terbang berlomba-lumba
Akan ibu penambah mulya.
Air selabu patik bawakan Menuju pulau kejunjung tinggi
Dari perigi dipagari batu Dalam hatiku kujadikan duka
Pada bonda kami sembahkan Menyampaikan pesan kataan hati.
Akan pencuci telapakan ibu.
Selamat tinggal bondaku perca
Panjang umur kita bersua
TINGGALLAH Gobahan cembaka anakda bawa
Tinggallah tuan, tinggalah bonda Jadikan gelang di kaki bonda.
Tahan airku Sumatera raya
Anakda berangkat ke pulau Jawa Gelang cempaka pujaan dewa
Memunggut bunga suntingan kepala. Anakda petik di tanah Jawa
Akan bonda penambah cahaya.
Pantai cermin rumu melambai
Selamat tinggal pada anakda
Rasakan ibu serta handai RAGU
Mengantarkan beta ke pengkalan kita. Asap pujaan bergulung-gulung
Naik melingkar kekimu dewa
Telah lenyap pokok segala Rasanya hati melambung-lambung
Bondaku tuan duduk berselimut Estu kupohonkan akan kurnia.
Di balik cindai awan angkasa
Jauh hatipun konon datang meliput. “Permaisurimu, Uma, sudah kupuja
Seroja putih beta sembahkan
Selat melaka ombaknya memecah Sekarang ini wahai Ciwa
Memukul kapal pembawa beta Pada tuanku beta paparkan”.
Rasakan swara yang maha ramah
Melengahkan anakda janganlah duka. Wajahnya arca berkilau-kilau
Bibir terbuka rupa berkata

24
Giginya tampak bersinar-sinar Pukul-memukul belah membelah
Bunyi keluar merdu suara.
Bahtera ditepuk buritan dilanda
“anakku dewi ratna juita Penjajab dihanatuk haluan ditunda
Apatah tersimpul di dalam dada
Uraikan tuan pada ayahnda Chamar terbang riuh suara
Rinduan mana mohonkan sempana?” Alkamar hilang menyelam segera.

Wajahnya jernih gilang gemilang Armada Peringgi lari bersusun


Sentosa semayam di atas durja Melaka negeri hendak diruntun.
Padma seraga berbayang-bayang
Dikucupi cahaya pernama raya. Galyas dan pusta tinggi dan kukuh
Pantas dan angkara ranggi dan angkuh
Hatinya dayang rasa terbuka
Suka dan ria silih berganti Melaka! Laksana kehilangan bapa
Permohonan hati lupa segala Randa! Sibuk mencari cendera mata!
Kerana cahaya menimpa diri.
“Hang Tuah ! Hang Tuah! Di mana dia
Bibir berpisah melepaskan pelukan Panggilkan aku kesuma perwira!”
Suara lalu meninggalkan simpulan
Gadis berkata melayangkan rinduan Tuanku, sultan Melaka, Maharaja Bintan!
“duli” tuanku patik pohonkan. Dengarkan kata bentara kanan.

“Tun Tuah, di Majapahit nama termashur


HANG TUAH Badanya sakit rasakan hancur!”
Bayu berpuput alun digulung
Banyu direbut buih dibubung Wah, alahlah rupanya negara Melaka
Kerana laksamana ditimpa mara.
Selat Melaka ombaknya memecah

25
Tetapi engkau wahai kasturi
Kujadikan suluh, mampukah diri? Bukankah itu laksamana sendiri
Negeri Melaka hidup kembali.
Hujan rintik membasahi bumi
Guruh mendayu menyedihkan hati. Laksamana , cahaya Melaka, bunga
pahlawan
Kemala setia maralah tuan.
Keluarlah suluh menyusun pantai
Angkatan Pertugal hajat dinintai.
Tuanku, jadikan patik tolak bala
Turunkan angkatan dengan segera.
Chucuk diserang ditikami seligi
Sauh terbang dilembari sekali.
Genderang perang disuruhnya palu
Memanggil imbang iramanya tentu.
Lela dipasang gemuruh suara
Rasakan terbang ruh dan nyawa.
Keluarlah laksamana mahkota ratu
Tinggallah Melaka di dalam ragu...
Suluh Melaka jumlahnya kecil
Undur segera mana yang tampil.
Marya! Marya! Tempik Peringgi
Lelapun meletup berganti-ganti.
“Tuanku, armada Peringgi sudahlah dekat
Kita keluari dengan cepat.
Terang cuaca berganti kelam
Bujang Melaka menjadi geram.
Hang Tuah cuba lihati
Apakah „afiat rasanya diri?‟
Galyas dilanda pusta dirampat
Sabas Melaka su‟ma di Selat !
Laksamana Hang Tuah mendengar berita
Armada Peringgi duduk di kuala.
Amuk-beramuk buru-memburu
“Tusuk-menusuk laru-melaru.
Mintak didirikan dengan segera
Hendak berjalan ke hadapan raja.
Lela rentaka berputar-putar

26
Cahaya senjata bersinar-sinar. Bulan bercahaya
Amat cuaca
Laksamana mengamuk di atas pusta Ke mayapada
Yu menyambar umpamanya nyata...
Purnama raya
Hijau segara bertukar warna Gemala berdendang
Sinau senjata pengantar nyawa. Tuan berkata
Naiklah abang
Hang Tuah empat berkawan
Serangnya hebat tiada tertahan. Purnama raya
Bujang berbangsi
Chukuk Peringgi menarik layar Kanda mara
Induk dicari tempat terhindar. Memeluk dewi

Angkatan besar maju segera Purnama raya


Mendapatkan payar ratu Melaka. Bunda mengulik
Nyawa adinda
Perang ramai berlipat ganda Tuan berbisik.
Pencalang berai tempat kesegala.
Purnama raya
Dang Gubenur memasang lela Gadis menutuk
Umpama guntur diterang cuaca. Setangan kuraba
Pintu diketuk
Peluru terbang menuju bahtera
Laksamana dijulang ke dalam segara... Purnama raya
Bulan bercengkerama
Beta berkata
PURNAMA RAYA Tinggallah nyawa
Purnama raya

27
Purnama raya Musafir lata malang berakit?
Kelihatan jarum
Adinda mara Melur takku mahu
Kanda dicium Mawar takku suka,
Sebab semboja dari dahulu
Purnama raya Telah kembang di kubur bonda
Cuaca benderang
Permata kekanda Kemboja bunga rayuan
Pulanglah abang... Musafir anak Sumatera
Pulau Perca tempat pangkuan
Bilamana fakir telah tiada.
CEMPAKA MULIA
Kalau kulihat tuan, wahai suma
Kelopak terkembang harum terserak KAMADEWI
Hatiku layu sejuk segala Kembali pula engkau datang
Rasakan badan tiada dapat bergerak Kepadaku di waktu sekarang
Tengah menjadi permainan gelombang
Tuan tumbuh tuan hamba kembang Gelombang terberai di bunga karang.
Di negeriku sana di kuburan abang
Kemboja bunga rayuan Lah lama kau kulupakan
Hatiku kechu melihat tuan Lah lampau bagi kenangan
Lah lenyap dari pandangan
Bilamana beta telah berpulang
Wah, semboja siapatah kembang Tetapi sekarang apatah mula
Di atas kuburku, si dagang layang? Apakah sebab, aduhai bonda
Ia datang menyusupi beta?
Kemboja, kemboja bunga rayuan
Hendakkah tuan menebarkan bibit Kau ganggu hati yang reda
Barang sebiji di atas pangkuan Kau kacau air yang tenang

28
Kau jagakan dewi asmara Dukamu tuan, aduhai kulum
Kau biarkan air mata berlinang... Walaupun hatimu, rasakan retak.

O, asmara kau permainkan aku Benar mawar kembang


Laguan kasih engkau bisikkan Melur mengirai kelopak
Gendang kenangan engkau palu Anak dara duduk berdendang
Dari kelupaan aku, engkau sentakkan. Tetapi engkau, aduhai fakir, dikenang
orang
Sekalipun tidak.
Pujaan mana kau kehendaki
Persembahan mana kau ingini
Kuketahui, terkukursulang menyulang
Aduhai angkara Asmara dewi.
Murai berkicau melagukan cinta
Tetapi engkau aduhai dagang
Gelak sudah beta sembahkan
Umpamakan pungguk merayukan
Cinta sudah tuan putuskan purnama.
Apatah lagi dewi harapkan
Pada beta duka sampaian... Sungguh matahari dirangkum segara
Purnama raya di lingkung bintang
Kamadewi! Gendewamu bermalaikan Tetapi engkau, aduhai kelana
seroja
Siapa mengusap hatimu bimbang?
Puadai padma seraga
Tetapi aku sepanjang masa
Diam hatiku , diam
Duduk di atas hamparan duka!
Cubakan ria, hatiku ria
Sedih tuan, cubalah pendam
Kamadewi! Tiadakah tuan bertanyakan
nyawa? Umpama disekam, api menyala.

Mengapakah rama-rama boleh bersenda


SENYUM HATIKU , SENYUM Alun boleh mencium pantai
Senyum hatiku, senyum Tetapi beta makhluk utama
Gelak hatiku, gelak Duka dan cinta menjadi selampai ?

29
Apatah lagi laguan kasih
Senyap, hatiku senyap Hilang semata tiada ketara...
Adakah boleh engkau merana
Sudahlah ini nasip yang tetap Tuhanku apatah kekal?
Engkau terima di pangkuan bonda.

TUHANKU APATAH KEKAL? BUAH RINDU 1


Tuhanku , suka dan ria Dikau sambur limbur pada senja
Gelak dan senyum Dikau alkamar purnama raya
Tepuk dan tari Asalkan kanda bergurau senda
Semuanya lenyap, silam sekali. Dengan adinda tajuk mahkota.

Gelak bertukar duka Dituan rama-rama melayang


Suka bersalinkan ratap Didinda dendang sayang
Kasih beralih cinta Asalkan kandaa selang-menyelang
Cinta membawa wangsangka... Melihat adinda kekasih abang.

Junjunganku apatah kekal Ibu, seruku ini laksana pemburu


Apatah tetap Memikat perkutut di pohon ru
Apakah tak bersalin rupa Sepantun swara laguan rindu
Apatah baka sepanjang masa... Menangisi kelana berhati mutu.

Bunga layu disinari matahari Kelana jauh duduk merantau


Makhluk berangkat menepati janji Di balik gunung dewala hijau
Hijau langit bertukar mendung Di Seberang laut cermin silau
Gelombang reda di tepi pantai. Tanah Jawa mahkota pulau...

Selangkan gagak beralih warna Buah kenanganku entah ke mana


Semerbak cempaka sekali hilang Lalu mengembara ke sini sana

30
Haram berkata sepatah jua
Ia lalu meninggalkan beta. Tuan aduhai mega berarak
Yang melipud dewangga raya
Ibu, lihatlah anakmu muda belia Berhentilah tuan di atas teratak
Setiap waktu sepanjang masa Anak Langkat musyafir lata.
Duduk termenung berhati duka
Laksana Asmara kehilangan seroja. Sesa‟at sekejap mata beta berpesan
Padamu tuan aduhai awan
Bonda waktu tuan melahirkan beta Arah manatah tuan berjalan
Pada subuh kembang cempaka Di negeri manatah tuan bertahan?
Adakah ibu menaruh sangka
Bahawa begini peminta anakda? Sampaikan rinduku pada adinda
Bisikkan rayuanku pada juita
Wah kalau begini naga-naganya Liputi lututnya muda kencana
Kayu basah dimakan api Serupa beta memeluk dia.
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani. Ibu, konon jauh tanah Selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bonda hajat hati memeluk gunung
BUAH RINDU 2 Apatah daya tangan ta‟ sampai.
Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dan nestapa Elang, Rajawali burung angkasa
Engkau lagi tempatku berpaut Turunlah tuan barang sementara
Di waktu ini gelap gulita. Beta bertanya sepatah kata
Adakah tuan melihat adinda?
Kicau murai tiada merdu
Pada beta bujang Melayu Mega telahku sapa
Himbau pungguk tiada merindu Margasatwa telahku tanya
Dalam telingaku seperti dahulu. Maut telahku puja

31
Tetapi adinda manatah dia ! Diriku lemah anggotaku layu
Rasakan cinta bertalu-talu
Kalau begini datangnya selalu
BUAH RINDU 3 Tentunya kekanda berpulang dahulu.
Puspa cempaka konon kirimkan
Pada arus lari ke laut Tinggalah tuan, tinggalah nyawa
Akan duta kanda jadikan Tinggal juita tajuk mahkota
Pada adinda kasih terpaut. Kanda lalu menghadap “dewata”
Bertelut di bawah cerpu Maulana.
Teja bunga seroja dalam taman
Kemala hijau di atas mahkota Kanda pohonkan tuan selamat
Orang berikan pada kekanda Ke bawah kaus dewata rahmat
Tiada kuambil kerana tuan. Moga-moga tuan hendaklah mendapat
Kesukaan hidup ganda berlipat.
Adakah gemerlapan bagi kemala
Adakah harum lagi seroja
Pada beta tumpuan duka BUAH RINDU 4
Sebab tuan lalu mengembara. Kalau kekanda duduk menyembah
Duli dewata mulia raya
Tuan lalu tiada berkata Kanda pohonkan untung yang indah
Haram sepatah sepantun duli Kepada tuan wahai adinda.
Kanda tinggal sepenuh wangsangka
Pilu belas di dalam hati. Kanda puja dewa asmara
Merestui remaja adik kekanda
Hatiku rindu bukan kepalang Hendaklah ia sepanjang masa
Dendam beralik berulang-ulang Mengasihi tuan intan kemala
Air mata bercucur selang-menyelang
Mengenangkan adik kekasih abang. Anak busurnya kanda gantungi
Dengan seroja suntingan hauri

32
Badannya dewa kanda lengkapi KURNIA
Dengan busur sedia di jari. Kau kurniai aku,
Kelereng kaca cerah cuaca,
Setelah itu kandapun puja Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Dewata mulia di puncak angkasa Jua bahaya dikandung kurnia, jampi kau
beri,
Memohonkan rahman beribu ganda
Menundukkan kepala naga angkara.
Ia tumpahkan kepada adinda.
Kelereng kaca kilauan kasih,
Menunjukkan daku tulisan tanganMu
Tinggallah tuan tinggallah nyawa
Memaksa sukmaku bersorak raya
Sepanjang hari segenap masa
Melapangkan dadaku, senantiasa sentosa
Pikiran kanda hanyalah kemala
Sebab kelereng guli riwarni,
Dilindungi Tuhan Maha Kuasa.
Kuketahui langit tinggi berdiri,
Tanah rendah membukit datar.
Baik-baik adindaku tinggal
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Aduhai kekasih emas tempawan
Melangit tinggi, membumi keji.
Kasih kanda demi Allah kekal
Kepada tuan emas rayuan.....

PANJI DI HADAPANKU
Kalau mega berarak lalu
Kau kibarkan panji di hadapanku.
Bayu berhembus sepoi basah
Hijau jernih di ampu tongkat mutu-
Ingatlah tuan kanda merayu mutiara.
Mengenangkan nasib salah tarah. Di kananku berjalan, mengiring perlahan,
Ridlamu rata, dua sebaya,
Kalau hujang turun rintik Putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Laksana air mata jatuh mengalir Gelap-gelap kami berempat, menunggu-
nunggu,
Itulah kanda teringatkan adik
Mendengar-dengar, suara sayang,
Duduk termenung berhati khuatir.
panggilan-panjang,
Jatuh terjatuh, melayang-layang,

33
Gelap-gelap kami berempat, meminta- MENGAWAN
minta,
Rengang aku daripadaku, mengikut
Memohon-mohon, moga terbuka selimut kawalku mengawan naik.
kabut,
Mewajah kebawah, terlentang aku, lemah
Pembungkus halus, nokta utama, lunak,
Jika nokta terbuka-raya, jika kabut Kotor terhampar, paduan benda empat
tersingkap semua perkara.
Cahaya ridla mengilau kedalam Datang pikiran membentang kenang,
Nur rindu memancar keluar. Membunga cahaya cuaca lampau,
Menjadi terang mengilau kaca.
Lewat lambat aku dan dia, ria tertawa,
bersedih suka,
MEMUJI DIKAU
Berkasih pedih, bagai merpati bersambut
Kalau aku memuji Dikau, mulut.
Dengan mulut tertutup, mata tertutup, Tersenyum sukma, kasihan serta.
Sujudlah segalaku, diam terbelam, Benda mencintai benda …
Di dalam kalam asmara raya. Naik aku mengawan rahman, mengikut
kawalku membawa warta.
Turun kekasihmu,
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku, biar
Mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi
sampai membidai-belai
sendiri.
Celah tersentuh, di kursi kesturi.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku,
Digantunginya leherku, hasratkan suara
sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud HANYUT AKU
semua segala,
Hanyut aku, kekasihku!
Bertindih ia pada pahaku, meminum ia
akan suaraku … Hanyut aku!
Dan, iapun melayang pulang, Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Semata cahaya, Sunyinya sekelilingku!
Lidah api dilingkung kaca, Tiada suara kasihan, tiada angin
mendingin hati,
Menuju restu, sempana sentosa.
Tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu,
Mati aku, sebabkan diammu.

34
Langit menyerkap, air berlepas tangan, (Karya Terjemahan)
Aku tenggelam.
Tenggelam dalam malam. Hatiku, hatiku, Sukma segala sukma
Air di atas mendidih keras. Hatiku, hatiku, Guru segala guru
Bumi di bawah menolak keatas. Telah hampir
Mati aku, kekasihku, mati aku! Bangkit, bangkit hatiku dan kucup
KakiNya
Kaki Guru maha-raya,
NYANYIAN MIRA – BAI Supaya detikan cintamu
(Karya Terjemahan) Memenuhi seluruh Kaki Gurumu
Tuan tidur, dari abad ke abad
Pada kala aku mengambil air dari sungai Jagalah, hatiku, jaga
Yamuna,
Pada subuh sentosa,
Dipandang Krishna senda
Jika embun menyejuk rumput.
Dengan mataNya yang raya
Hendakkah tuan selalu bisu selaku batu,
Tertawa bertanya
Hatiku, aduh hatiku?
Kendiku telungkup aku pun lalu
Penuh heran dan ragu
Semenjak itu semayam Ia dalam kalbuku
NYANYIAN KABIR II
Krishna berambut ikal.
(Karya Terjemahan )
Hentikan segala mantera, jauhkan
penawar semua
Lepaskan aku dari akar dan jamu! Ceritakan, undanku, kabaranmu kawi

Bawakan daku Krishna berambut hitam Dari mana datangmu? Kemana


terbangmu?
Bawakan daku Krishna bermata cuaca!
Di mana engkau berhenti melipat
Alisnya, busurnya – Pandangnya, sayapmu?
panahnya
Pada siapa engkau nyanyikan laguan
Dibidiknya – lepaskan – tepat! malammu?
Kalau nanti pagi-pagi engkau terjaga,
undanku

NYANYIAN KABIR I
35
Terbang, melayang tinggi dan ikut
jalanku.
Ikutkan daku ke negeri sana, mana susah
dan was-was NYANYIAN JALLALUDIN EL RUMI

Tiada mungkin bernafas, dan maut, (Karya Terjemahan)

Malaikat hitam, tiada lagi memberi negeri


Musim cuaca lagi membunga di pucuk Jangan disalahkan dunia karena
kayu belenggumu,

Harum panas ditebar angin sepoi: Sebab banyakan mawar dari duri.

Aku di dalamnya, ia di dalamku. Jangan disebutkan dunia ini penjara,

Kumbang hatiku menyelam dalam bunga Karena inginmu itulah yang


membangunkan duka.
Dan tiada berhasrat lagi
Jangan pula tanyakan penghabisan
rahasia,
Satu dalam dua, atau baik, tau jahat!
NYANYIAN FARID Usaha pula katakan kasih meninggalkan
tuan,
(Karya Terjemahan )
Jangan ia dicari di pekan dan jalan!
Ta‟ guna takutkan siksa mati,
Farid, jika manusia memukul senda
Sebab takut itulah mendatangkan
Jangan memukul pula sengsara,
Cium kakinya Janganlah buru kijang cita indria,
Lalu … Kalau terburu singa sesalan.
Dan lupa … Jangan hatiku, mengekang diri,
Keduanya … Jadi ta‟ usah malaikat menolong engkau.
Yang menjadikan terkandung
Dalam segala yang dijadikan
Dan yang dijadikan NYANYIAN SYIKING
Tersimpul dalam yang menjadikan (Karya Terjemahan)
Bagaimana engkau berani
Ya Farid, „Wah!‟, kesahnya, „kau dengar ayam
jantan, ia memanggil?‟
Menyumpah sesuatu yang buruk?
„Tidak‟, jawabnya,
Tiada ada melainkan Ia.
36
„Tidak, malam kelam dan tinggi, Telah lenyap, sukacita bertabur ria,
Bukan itu kokok ayam, kekasihku‟ Sampai tuan tiba ke benua, yang diam
semata-mata
„Pintaku, bangkit, singkapkan tabir
Lepaslah tuan dari kami selama-lamanya.
Di tepi, dan tanya olehmu kan langit,
sahabatku‟
Lompat ia: „Celaka kita! Bintang pagi.
Pucat meningkat dari kaki langit‟ PADAMU JUA
„Merah fajar‟ – bisiknya takut, „Sekarang Habis kikis
mesti engkau pergi!‟
Segera cintaku hilang terbang
„Bagaimana aku menanggungnya?‟
Pulang kembali aku padamu
„Hai, Sebelumnya engkau pergi, balaskan
setan itu, Seperti dahulu

Kejam ia menceraikan kita!‟


„Ambil busurmu, tujukan panah ini Kaulah kandil kemerlap

Ayam jantan hatinya tepati!‟ Pelita jendela di malam gelap


Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

NYANYIAN MESIR PURBA


(Karya Terjemahan) Satu kekasihku
Aku manusia

Kurnia kami, hari berbuahkan rahman, Rindu rasa

Berbungakan suka. Rindu rupa

Penghulu segala dewa!


Marahlah tuan dan lihat. Di mana engkau

Urap dan menyan kami persembahkan Rupa tiada

Kusuma dan bakung pedandan leher Suara sayup

Dinda tuan intan rupawan, Hanya kata merangkai hati

Yang siuman dalam hatimu


Yang merangkai pada sisimu. Engkau cemburu

Marilah diri! Gambang dan dendang Engkau ganas

Merdu mengalun, Hari Duka Mangsa aku dalam cakarmu

37
Bertukar tangkap dengan lepas Terapung naik Jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Nanar aku, gila sasar Bebas lepas lelang lapang
Sayang berulang padamu jua Di tengah gelisah, swara sentosa
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai Bersemayam sempana di jemala gembala
Juriat julita bapaku iberahim
Kasihmu sunyi Keturunan intan dua cahaya
Menunggu seorang diri Pancaran putera berlainan bunda
Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku. Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
HANYA SATU Lengah langsung melewat abad
Timbul niat dalam kalbumu.
Terbang hujan, ungkai badai Aduh kekasihku
Terendam karam Padaku semua tiada berguna
Runtuh ripuk tamanmu rampak Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Manusia kecil lintang pukang Serpa musa di puncak tursina.
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba DOA
Dengan apakah kubandingkan pertemuan
kita, kekasihku?
Terika riuh redam terbelam
Dengan senja samar sepoi, pada masa
Dalam gagap gempita guruh purnama meningkat naik, setelah
menghalaukan panas payah
Kilau kilat membelah gelap
Terik.
Lidah api menjulang tinggi

38
Angin malam mengembus lemah, menyejuk
badan, melambung rasa menayang pikir,
membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai
bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu,
bagai sedap malam menyiarkan kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan
katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu,
biar bersinar mataku sendu, biar berbinar
Gelakku rayu!

BERDIRI AKU
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyeduk bumi


Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.

Benang raja mencelup ujung


Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk wama berarak-arak.

Dalam rupa maha sempuma


Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.

39
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Amir Hamzah lahir sebagai seorang penyair yamg juga seorang pahlawan
nasional pada tanggal 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia
merupakan sastrawan angkatan Pujangga Baru. Beliau terlahir sebagai keluarga
istana(bangsawan) yang memiliki darah sastra yang kuat. Beliau juga banyak
menghasilkan karya-karya yang tervermin pada kehidupan seorang Amir Hamzah.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat memperluas pengetahuan tentang bagaimana sosok
Amir Hamzah.

40
DAFTAR PUSTAKA

Nurvhida. 2010. Sejarah Pujangga Baru. Di unduh dari http://nurvhida.wordpress.com


Https://.id.wikipedia.org/wiki/Amir_Hamzah

41

Anda mungkin juga menyukai