Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS SEMOTIK DAN KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA

“FRAGMEN PASAR BURUNG” KARYA ROZ ZAKY

DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS KAJIAN DRAMA

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Helvy Tiana Rosa, M.Hum

DISUSUN OLEH:

Rangga Septio Wardana - 1210619059

SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan amanah untuk menyelesaikan tugas
ini. Selawat dan salam tidak pernah lupa untuk kami curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Pada kesempatan ini penulis berhasil menganalisis naskah
drama yang berjudul “Fragmen Burung” karya Roz Zaky, menggunakan
pendekatan semiotika. Analisis ini dibuat dengan tujuan melengkapi penugasan
ujian tengah semester mata kuliah Kajian Drama.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah


terlibat dan membantu dalam penyusunan laporan analisis naskah drama dengan
menggunakan pendekatan semiotika yang berjudul “ANALISIS SEMOTIK DAN
KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA “FRAGMEN PASAR BURUNG”
KARYA ROZ ZAKY”. Seiring dengan senyum penulis tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Kajian Drama yaitu Dr. Helvy
Tiana Rosa, M.Hum yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menyelesaikan penugasan ini.

Penulis menyadari bahwa hasil analisis ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu penulis dengan tangan terbuka untuk segala kritik dan saran guna perbaikan
untuk penelitian selanjutnya. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi peneliti yang membutuhkan.

Bogor, 24 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..i

DAFTAR ISI……………………………………………………………...….…....ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………...…….…..……….3

1.1.1 LATAR BELAKANG…………………………………........…….3


1.1.2 RUMUSAN PENELITIAN………………………………….……4
1.1.3 TUJUAN PENELITIAN……………………….………………....5
1.1.4 SUMBER DATA………………………………………………....5

BAB II METODE DAN LANDASAN TEORI……………………...….……….6

2.1 METODE…………………………………………….……...……….6
2.2 LANDASAN TEORI…………………………………...………...….6

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………..…………….8

3.1 ANALISIS NASKAH…………………………………….…………8


3.2 KRITIK SOSIAL DALAM FRAGMEN PASAR BURUNG........…12

BAB IV PENUTUP……………………………………………………………..13
4.1 KESIMPULAN……………………………………………………...13

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….……..14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Karya sastra pada hakikatnya merupakan penggambaran dari kehidupan


hasil pengamatan seorang pengarang atas kehidupan sekitarnya. Dalam proses
penciptaan karya sastra pengarang mendasarkan pada pengalaman yang telah
diperoleh dari realitas kehidupan di masyarakat dan dituangkan kedalam bentuk
bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Bahasa merupakan produk sosial
sebagai sistem tanda yang bersifat arbitrer. Sastra menampilkan gambaran
kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Sapardi Djoko
Damono, 1978). Bahasa merupakan medium utama karya sastra, sedangkan dalam
karya sastra itu sendiri sudah terkandung berbagai persoalan yang dimunculkan..
Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalam hubungannya dengan sastra, dan
mempunyai sistem dan konvensi sendiri yang mempergunakan bahasa yang disebut
dengan semiotik (Pradopo, 2001: 72). Semiotik adalah suatu disiplin ilmu yang
meyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tanda-
tanda‘ dan berdasarkan pada signs system (code) ‘sistem tanda‘ (Segers, 2000: 4).

Pengarang menyampaikan sebuah gagasan melalui karya sastra yang ia


ciptakan. Untuk memahami sebuah karya sastra tentu saja kita perlu memahami
segala unsur yang terdapat dalam karya sastra sehingga pembaca dapat memperoleh
manfaat dari karya tersebut. Untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan
analisis untuk menyelidiki berbagai tanda-tanda yang dimunculkan pengarang
dalam karya sastra yang ia ciptakan. Pengarang menciptakan sebuah karya sastra
menggunakan media bahasa. Bahasa sebagai sistem tanda mewakili sebuah makna
dari karya itu sendiri. Untuk itu dalam ilmu bahasa dikenal dengan adanya teori
semiotik yaitu ilmu tentang tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem dan
aturan-aturan yang memungkian tanda-tanda tersebut memiliki makna.

Secara umum karya sastra dibagi menjadi 3 genre yaitu prosa, puisi, dan
drama. Drama sebagai karya sastra bertujuan menggambarkan kehidupan dengan
mengemukakan tikaian dari emosi lewat lakuan dan dialog dan drama lazimnya

3
dipentaskan (Sudjiman, 1983: 20). Drama yang merupakan tiruan kehidupan
manusia yang diproyeksikan di panggung. Melihat drama, penonton seolah melihat
kejadian dalam masyarakat, kadang-kadang konflik yang disajikan dalam drama
sama dengan konflik batin mereka sendiri. Menurut (Waluyo, 2001: 1) drama
adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, dan hitam putih
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Mouton (dikutip Sohleh dan Saptaria,
2008: 2) mendefinisikan drama sebagai kehidupan yang dilukiskan dengan gerak.
Sementara, Ferdinand (dalam Azhari (Ed), 2008: 2) memberi kebebasan dalam
drama untuk melahirkan kehendak dengan action selain itu. Vallhagen (dalam
Azhari (Ed), 2008 : 2) juga membatasi drama sebagai kesenian untuk melukiskan
sifat manusia dengan gerak. Dengan membaca naskah drama pembaca dapat
mendapatkan kesenangan positif dan memperkaya batin untuk menemukan nilai-
nilai atau pesan-pesan yang terkandung dari naskah drama itu sendiri.

Naskah drama yang dianalisis dalam penelitian ini adalah naskah drama
Fragmen Pasar Burung karya Roz Zaky yang ditulis pada tahun 2017. Penelitian
ini dilakukan menggunakan pendekatan semiotika guna menyelidiki semua bentuk
tanda-tanda yang terdapat dalam naskah drama dan agar dapat mengetahui pesan
atau makna yang hendak disampaikan pengarang.

1.2 RUMUSAN PENELITIAN

Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai


berikut:

1. Bagaimanakah analisis naskah drama yang berjudul Fragmen Pasar Burung


karya Roz Zaky menggunakan pendekatan semiotik?
2. Bagimana keterikatan makna yang terkandung dalam naskah drama
Fragmen Pasar Burung Karya Roz Zaky dengan realitas sosial yang terjadi?

4
1.3 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam naskah


drama Fragmen Pasar Burung Karya Roz Zaky.
2. Untuk mengetahui kritik sosial yang terdapat dalam naskah drama Fragmen
Pasar Burung Karya Roz Zaky.

1.4 SUMBER DATA

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Naskah Drama
Fragmen Pasar Burung Karya Roz Zaky dalam buku Antologi Naskah Teater Cut
Out, Tahun 2017.

5
BAB II

METODE DAN LANDASAN TEORI

2.1 METODE

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan semiotika.


Metode kualitatif menafsirkan data dan menyajikannya dalam bentuk deskriptif.
Data penelitian ini bersumber dari naskah drama yang berjudul Fragmen Pasar
Burung Karya Roz Zaky sebagai data primer dan jurnal serta artikel literatur yang
relevan sebagai data sekunder. Dengan metode kualitatif penelitian ini memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dikumpulkan dan dipahami secara mendalam
gejala atau fenomena yang ada. ujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami,
mencari makna di balik data, untuk menemukan kebenaran, baik kebenaran empiris
sensual, empiris logis, dan empiris logis.

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika yang berusaha


menafsirkan makna atau pesan yang terkandung dalam sumber data dengan melihat
dan memahami tanda-tanda atau symbol-simbol yang ada dalam sumber data
primer. Symbol-simbol dianalisis berdasarkan teori semiotik guna mengetahui
makna dan pesan yang terkandung dalam naskah drama Fragmen Pasar Burung
Karya Roz Zaky.

2.2 LANDASAN TEORI

Semiotika, ilmu tentang tanda-tanda, mempelajari sosial-budaya termasuk


sastra sebagai sistem tanda (Preminger, 1974:980). Tanda mempunyai dua aspek
yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal tanda itu, dalam bahasa
merupakan satuan bunyi atau huruf dalam sastra tulis, sedangkan petanda adalah
artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penanda tersebut. Berdasarkan hubungan
antara penanda dan petanda dan petandanya ada tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks
dan symbol. Ikon adalah tanda yang penandanya menunjukan adanya hubungan
yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan petandanya. Indeks adalah tanda
yang penanda dan petandanya menunjukan adanya hubungan alamiah yang bersifat
kausalitas. Simbol adalah tanda yang petanda dan penandanya tidak menunjukan

6
adanya hubungan alamiah. Di samping ketiga tanda itu, ada tanda yang disebut
dengan gejala, yaitu penanda yang menunjukan petandanya belum pasti.
Berdasarkan tanda-tanda itu, dicari tanda-tanda yang penting untuk pemaknaan
sastra, apakah tanda itu ikon, indeks, atau simbol.

Dengan demikian metode semiotik dalam pemaknaan sastra itu berupa


pencarian tanda-tanda yang penting, sebab keseluruhan sastra itu merupakan tanda-
tanda, baik berupa ikon, indeks, maupun simbol. Di samping itu, karena tanda-tanda
itu memiliki makna berdasarkan konvensi, memberi makna itu mencari konvensi-
konvensi apa yang menyebabkan tanda-tanda itu memiliki arti atau makna. Tanda-
tanda memiliki makna atau arti yang hendak disampaikan oleh sang pengarang
kepada pembacanya. Dalam hal ini peneliti mencoba menggali realitas sosial atau
kritik sosial yang ada dalam naskah Fragmen Pasar Burung. Kritik sosial adalah
salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi
sebagai kontrol terhadap jalannya suatu sistem sosial. Kritik sosial terdiri dari dua
istilah yakni dari kata kritik dan sosial. Dalam pengertian kamus besar Bahasa
Indonesia di jelaskan bahwa kritik ialah suatu kecaman atau tanggapan serta uraian
dan pertimbangan baik buruk suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya
(1996:359).

7
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk menemukan suatu makna suatu karya sastra, analisis struktur harus
dilanjutkan dengan analisis semiotik. Pendekatan strukturalisme sangat berdekatan
dengan pendekatan semiotik karena setelah dianalisis menggunakan pendekatan
strukturalisme, untuk mengetahui makna suatu karya sastra harus dilakukan analisis
lagi menggunakan pendekatan semiotik. Oleh karena itu untuk memudah analisis
naskah drama menggunakan pendekatan semiotik, peneliti dapat menganalisisnya
dengan pendekatan strukturalisme. Setelah itu penulis menentukan makna naskah
drama tersebut.

3.1 ANALISIS NASKAH

Makna dalam sebuah naskah drama dapat diketahui dengan analisis


menggunakan pendekatan semiotik. Penanda yang berupa tulisan-tulisan atau
ujaran tertentu dapat mengandung suatu petanda yang dapat menjelaskan makna
dari naskah drama tersebut. Penggalan-penggalan teks atau adegan disajikan dan
dianalisis berdasarkan simbol dan diinterpretasikan dengan cara deskriptis. Berikut
adalah sajian penggalan teks atau adegan yang ada dalam naskah drama tersebut.

”Di pasar burung, burung menjadi pemeran utama, tapi penguasa panggung justru
sangkar dan pedagang burung.”

Dalam kutipan kalimat tersebut tempat yang menjadi latar adegan adalah pasar
burung. Burung-burung menjadi pemeran utama, namun yang memiliki kuasa atas
mereka adalah sangkar dan pedagang burung. Dalam adegan diatas penulis seolah-
olah ingin memotret kekuasan yang dimiliki oleh sang pemilik kuasa. Burung
disimbolkan sebagai individu-individu yang terkekang oleh sistem yang ada,
mereka terkurung didalam sangkar atas perintah si yang empunya kuasa. Di realitas
sosial yang ada, hal tersebut sering terjadi. Misal hubungan yang terjadi antara
bawahan dengan atasan, dimana bawahan diharuskan tunduk dengan segala
perintah yang diinginkan oleh atasan yang memiliki kekuasaan. Dan misalnya di
sistem kenegaraan dimana yang memiliki jabatan tinggi memiliki hal untuk
mengatur bawahannya.

8
” di sisi kanan panggung, lima sosok tubuh hitam tanpa wajah bersila. di ribaan
mereka lima sangkar burung berukuran kecil bertinggung. di kepala mereka lima
sangkar lebih besar dijunjung. mereka membentuk semacam pagar sangkar.

Di sisi kiri panggung , lima sosok tubuh hitam tanpa wajah juga bersila. Di ribaan
mereka lima sangkar berukuran kecil berrtinggung. Di kepala mereka lima sangkar
lebih besar dijunjung membentuk semacam pagar sangkar. mereka adalah jiwa-
jiwa yang terperangkap dalam sangkar.

Bagian tengah panggung, enam tubuh hitam tanpa wajah berdiri melingkar
memeluk sangkar berukuran besar. Mereka adalah jiwa-jiwa pilihan yang
terperangkap dalam sangkar, yang akan dipajang di tembok panggung sebagai
lambang kekuasaan pedagang burung. dalam kuasa sangkar dan pedagang
burung. tubuh-tubuh itu menjadi burung yang tidak memiliki kebebasan kehendak.
Mereka hanya boleh bersuara mengikuti kehendak penguasa panggung."

Penggalan teks tersebut memperkuat penjelasan mengenai kuasa sangkar dan


pedagang burung terhadap burung yang mereka kurung dalam sangkar. Sangkar
kecil diletakan dalam posisi yang lebih rendah, sangkar lebih besar mereka junjung,
dan sangkar yang lebih besar mereka peluk. Sangkar burung disimbolkan sebagai
sistem yang mengekang kebebasan berpendapat, dimana mereka hanya boleh
bersuara jika mengikuti kehendak penguasa panggung, yaitu sangkar dan pedagang
burung. cara mereka dalam memperlakukan sangkar burung pun berbeda, sangkar
dengan ukuran lebih kecil tidak diistimewakan, sangkar yang lebih besar mereka
junjung bahkan mereka peluk erat. Dalam realitas sosial yang terjadi,
pembungkaman mengenai kebebasan berpendapat sering dilakukan. Dan cara
penguasa memperlakukan rakyatnya pun tergantung dari kepentingan-kepentingan
yang akan dijalankan oleh para penguasa.

Memasuki fragmen kedua, cerita dilanjutkan dengan adegan semua manusia


yang ada di pasar burung berkomunikasi dengan bahasa burung. tubuh-tubuh tanpa
wajah yang terperangkap dalam sangkar burung hanya diangkap sekadar sebagai
sangkar oleh penjual burung. sangkar kotak berjeruji penyimpan suara kekuasaan.

9
“Demikian. Pedagang burung itu menyapa satu per satu tubuh-tubuh tanpa wajah
yang telah menjadi sangkar, wadah dari suara kekuasaannya. Wajah pedagang
burung itu berpinda-pindah dari senyum ke tawa, berganti-ganti.”

Dalam penggalan teks tersebut semakin jelas bahwa pedagang burung memiliki
kekuasaan tertinggi. Sangkar yang berisi burung disimbolkan sebagai kotak suara
yang mewadahi suara kekuasannya.

Memasuki fragmen tiga. Adegan pengelompokan burung muncul. Burung


dikelompokan berdasarkan kualitas suara dan ras. Burung-burung lokal
ditempatkan dengan burung lokal lainnya. Burung-burung import ditempatkan
dengan burung import lainnya. Pengelompokan ini adalah simbol yang terjadi di
masyarakat. Permasalahan rasial yang muncul di masyarakat adalah akibat dari
pengelompokan suatu masyarakat berdasarkan ras. Dalam naskah drama tersebut
dimunculkan adegan pengelompokan burung berdasarkan suara tertentu yang
mereka hasilkan. Suara burung disimbolkan sebagai suatu ciri khas tertentu yang
miliki oleh suatu masyarakat.

Dalam fragmen empat terdapat adegan bagaimana penjual burung


memandang calon pembeli burung dari warna kulit dan cara berpakaiannya. Calon
pembeli dengan warna kulit lebih terang dan berpakaian lebih rapi akan dipandang
tinggi oleh penjual burung. sementara calon pembeli burung yang memiliki warna
kulit lebih gelap dan berpakaian lusuh akan dipandang dengan sebelah mata oleh
penjual burung. Pembeli burung berpakaian lusuh disimbolkan sebagai orang yang
dipandang sebelah mata karena tidak memenuhi standar yang terbentuk dalam
masyarakat. Dalam realitas kehidupan yang terjadi pandangan-pandangan
mengenai sesuatu yang tidak sesuai dengan standar masyarakat sering terjadi.
Ketidaksesuaian mengenai standar yang ada dalam masyarakat seringkali dianggap
sebagai sesuatu yang salah dan mengakibatkan munculnya pandangan-pandangan
negative terhadap orang yang tidak memenuhi standar masyarakat tersebut. Dalam
naskah drama ini yang menetapkan standarnya adalah penjual burung yang
merupakan pemilik kuasa. Dalam fragmen lima pandangan mengenai pembeli
berwajah lusuh yang biasanya kurang mendapat perhatian dari penjual burung
dipatahkan dengan apa yang dilakukan pembeli. Pembeli berwajah lusuh tersebut

10
menghampiri ke sangkar yang paling besar dan membeli burung dalam sangkar
tersebut. Penjual burung merasa heran namun ia tidak terlalu mempersoalkan
tentang pandangannya yang salah. Bagi penjual burung, bagi penguasa yang
terpenting adalah mendapatkan keuntungan.

Memasuki fragmen enam, muncul perempuan cantik, berwajah cerah, dan


berpakaian rapi. Penjual burung memandang wanita cantik tersebut dengan
keistimewaan karena memiliki wajah cantik, berkulit cerah, dan berpakaian rapi.
Namun wanita tersebut membalas pandangan penjual burung dengan suara kucing
dan gonggong anjing. Wanita berwajah cantik tersebut disimbolkan sebagai orang
yang memenuhi standar kecantikan atau ke-elokan penampilan. Namun pandangan
tersebut dipatahkan oleh perlakuan wanita cantik tersebut. Suara kucing dan
gonggong anjing tentu menciderai martabat suara burung hias. Suara kucing dan
gonggong anjing menyimbolkan perlawanan terhadap kebebasan bersuara di
tempat tersebut. Dimana sebelumnya semua makhluk yang ada ditempat tersebut
hanya boleh bersuara berdasarkan kehendak penjual burung. adegan berlanjut
dengan munculnya seorang perempuan yang berpenampilan lusuh seperti
pengemis, tentu penjual burung tidak akan melirik perempuan tersebut. Namun
perempuan lusuh tersebut mengeluarkan suara yang indah hingga membuat
pedagang burung terperanjat dan langsung memperhatikan perempuan lusuh
tersebut. Perempuan lusuh tersebut mengeluarkan suara yang memesona, suara
yang belum pernah didengar oleh penjual burung. Suara indah disimbolkan sebagai
pandangan masyarakat yang sebelumnya belum pernah didengar oleh penguasa,
karena sebelumnya penguasa selalu membuat semua suara harus sama seperti apa
yang dikehendakinya.

Dalam fragmen sembilan, pedagang burung mencoba mencari suara yang


mirip dengan suara perempuan lusuh tersebut. Pedagang burung mencoba mencari
ke setiap burung yang ia miliki namun tidak ditemukan. Adegan tersebut
menyimbolkan suara rakyat yang sudah lama dikekang dan tidak ingin
memberontak sehingga membuat rakyat terbiasa melakukan apa yang sebelumnya
dikehendaki oleh penguasa. Selanjutnya dalam fragmen sepuluh muncul dua orang
pemuda berdasi yang hendak membeli burung. Kedua pemuda tersebut hendak
membeli suatu jenis burung namun burung-burung tersebut bersuara tidak sesuai

11
denga napa yang dikehendaki penjual burung. ketidaksesuaian suara yang
dihasilkan burung tersebut menyimbolkan munculnya pemberontakan terhadap
kesewenang-wenangan yang selama ini dilakukan oleh penguasa. Pemuda berdasi
disimbolkan sebagai kelompok yang membantu dan mendukung untuk melawan
kesewenang-wenangan dan penindasan yang selama ini terjadi.

3.2 KRITIK SOSIAL DALAM FRAGMEN BURUNG

Dalam analisis naskah Fragmen Pasar Burung ditemukan berbagai


petanda-petanda yang dapat dimaknai sebagai kejadian-kejadian yang terjadi di
realitas kehidupan saat ini. Adegan-adegan ada dalam naskah drama tersebut
seolah-olah adalah sebuah bentuk kritik terhadap sistem sosial yang terjadi.
Pedangan burung yang disimbolkan sebagai penguasa yang melakukan
kesewenang-wenangan, sangkar yang merupakan simbol yang membelenggu
kebebasan berpendapat, dan burung dalam sangkar yang disimbolkan sebagai
rakyat. Adanya pengelompokan terhadap ras maupun jenis suara burung
menyimbolkan adanya stigma-stigma didalam masyarakat. Stigma yang diciptakan
oleh penguasa guna menetapkan suatu standar tertentu yang dikehendaki oleh
penguasa. Adegan yang terjadi dalam naskah drama Fragmen Pasar Burung
mempresentasikan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pengarang berusaha
menyentil hal-hal yang ada dalam masyarakat dengan penyimbolan dengan latar
pasar burung.

12
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan disimpulkan bahwa naskah


drama yang berjudul Fragmen Pasar Burung Karya Roz Zaky menggunakan
simbol-simbol untuk mempresentasikan realitas kehidupan yang terjadi. Naskah
Fragmen Pasar Burung mengangkat tentang penguasa yang semena-mena terhadap
rakyatnya, penguasa yang membelenggu kehidupan rakyat dan hanya menghendaki
apa yang ia ingingkan. Naskah drama ini juga mengkritik tentang sistem
masyarakat yang ada, pandangan sebelah mata terhadap orang yang tidak mencapai
suatu standar yang diciptakan oleh penguasa dan pandangan istimewa terhadap
suatu hal yang sesuai dengan standar penguasa, padahal pandangan-pandangan
tersebut tidak menjamin baik buruknya sebuah perilaku.

13
DAFTAR PUSTAKA

Endaswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Medpress, Cet.


IV.2008

San, Suyadi. Drama Konsep Teori dan kajain. Medan: CV. Pertama Mitra Sari,
2013

Pradopo, Rahman Djoko. Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam


pemaknaan sastra. 1999.

Akbar, Akhmad Zaini, 1997. Kritik Sosial, Pers, Politik Indonesia dalam Kritik
Sosial dan

Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda.

Zaky, Roz. (2017). Fragmen Burung. In A. N. Teater, Cut Out Derdikalisasi Makna
(pp. 161- 173). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai