Anda di halaman 1dari 4

1.

    Pendahuluan
Frekuensi bencana alam di Indonesia pada akhir tahun 2001 dan awal tahun 2002, seperti
banjir, tanah longsor, dan letusan gunung berapi terus meningkat serta telah memakan korban ribuan
manusia dan harta benda. Kerugian material yang diderita oleh negara dan masyarakat tidak
terhitung jumlahnya.
Secara garis besar, bencana alam dapat disebabkan oleh 2 (dua) peristiwa, yakni: proses
alam dan perbuatan manusia.
Sepanjang bencana alam yang disebabkan oleh proses alam,
menurut Koesnadi  Hardjasoemantri (2002:3), maka upaya pencegahan dikaitkan dengan
pencegahan penderitaan yang akan dialami masyarakat apabila peristiwa tersebut terjadi. Apabila
terjadi tanah longsor karena hujan yang terus-menerus dan keadaan tanah di sekitar itu labil, maka
yang dapat dilakukan adalah membuat sistem peringatan dini (early warning system), sehingga
penduduk dapat mengungsi pada saat yang tepat. Demikian pula bencana alam yang disebabkan
oleh meletusnya gunung berapi, sistem peringatan dini telah tersedia dengan memanfaatkan
teknologi yang relatif cangggih.
Sebaliknya, apabila bencana alam itu disebabkan oleh perbuatan manusia, maka upaya
pencegahan dikaitkan dengan penggunaan instrumen yang dapat mencegah terjadinya bencana
alam tersebut. Pencegahan terjadinya banjir yang disebabkan oleh dibangunannya pemukiman
penduduk di daerah resapan air dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL). Kedudukan AMDAL dalam hal ini adalah sebagai instrumen
pengaman masa depan. Apabila hasil AMDAL menyatakan bahwa rencana kegiatan pembangunan
pemukiman tersebut tidak layak karena diperkirakan akan menimbulkan dampak besar dan penting
berupa perusakan/pencemaran lingkungan atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka
rencana kegiatan tersebut harus ditolak dan seharusnya izin tidak diberikan. 
Persoalannya adalah sampai sejauh mana AMDAL dapat digunakan sebagai instrumen
pencegah terjadinya bencana alam?
Untuk membahas masalah tersebut di atas, berikut ini diuraikan sekilas tentang pengertian,
fungsi dan posisi AMDAL dalam sistem hukum lingkungan dan sistem tata ruang Indonesia.

2.    Pengertian AMDAL
Istilah dampak lingkungan merupakan terjemahan dari “Environmental Impact”, sedangan
istilah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan terjemahan dari “Environmental
Impact Analysis” atau “Environmental Impact Statement” atau “Environmental Impact Assessment”
(Abdurrahman, 1986:73-74). Istilah AMDAL telah dipergunakan secara baku baik dalam UU No. 4
tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun undang-undang
penggantinya, yakni UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengertian
AMDAL menurut Pasal 1 angka 10 UU No. 4 tahun 1982 adalah “hasil studi mengenai dampak suatu
kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan”. Definisi AMDAL ini kemudian direvisi oleh Pasal 1 angka 21 UU No. 23 tahun 1997
menjadi: “kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan”.
Perbedaan pengertian AMDAL menurut kedua undang-undang tersebut adalah definisi yang
pertama lebih menitikberatkan pada “hasil” dari analisis atau studi mengenai dampak dari kegiatan
(proyek) yang direncanakan itu, sedangkan definisi yang kedua lebih menitikberatkan pada “proses”
studi atau kajian mengenai dampak besar dan penting[2] dari proyek yang direncanakan itu.
Munadjat Danusaputro (1981:12) tidak menggunakan istilah AMDAL melainkan istilah Analisa
Dampak Lingkungan (ANDAL atau ADL) yang berarti:
“suatu studi yang mempelajari pengaruh dari suatu kegiatan manusia, khususnya suatu proyek,
terhadap lingkungan secara utuh dan menyeluruh baik pengaruhnya yang positif maupun yang
negatid dengan tujuan untuk terakhirnya memperkecil pengaruh negatifnya dan memperbesar
pengaruh positifnya terhadap lingkungan”.   

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka jelaslah bahwa AMDAL pada hakekatnya adalah
suatu studi (analisis) yang di dalamnya mengandung suatu proses. Proses itu menurut Munadjat
Danusaputro (1981:13), mencakup antara lain:
a.    pengumpulan data dan informasi;
b.    penelitian dan penyelidikan data serta informasi tersebut;
c.    penilaian (evaluasi) data dan informasi yang tersedia;
d.   perkiraan tabiat dan akibat serta kemungkinan data dan informasi;
e.    kesimpulan dan konsep penanganannya.

3.    Fungsi dan Tujuan AMDAL


Pasal 1 angka 10 UU No. 4 tahun 1982 maupun Pasal 1 angka 21 UU No. 23 tahun 1997
sama-sama menegaskan bahwa AMDAL diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Dengan
perkataan lain, studi AMDAL digunakan sebagai alat bantu bagi proses pengambilan keputusan yang
menjadi dasar diperkenankan atau tidaknya suatu usulan proyek.
AMDAL merupakan bagian dari atau masukan pada siklus proyek atau project cycle (ADB,
1997). Oleh karena itu, AMDAL selalu diintegrasikan pada studi kelayakan sutau proyek atau
kegiatan (Pasal 2 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997) yang diperkirakan mempunyai dampak besar dan
penting (Pasal 15 UU No. 23 tahun 1997). Dengan perkataan lain, AMDAL tidak dapat digunakan
untuk menilai suatu proses alami, bahkan tidak mungkin dikenakan pada suatu kegiatan biasa yang
sifatnya non-project yang dilakukan oleh individu atau masyarakat (Silalahi, 2002:1).
AMDAL bertujuan untuk memahami dampak dari suatu kegiatan pembangunan terhadap
lingkungan fisik/kimia/biologi dan lingkungan sosial budaya (termasuk sosial ekonomi) dari
masyarakat yang dikaji secara interdisipliner. Dengan mempelajari dan memanfaatkan hasil dari studi
AMDAL, maka diharapkan pembangunan akan dapat dilaksanakan dengan tetap memelihara
keserasian hubungan timbal balik antara manusia dengan sumber daya alam dan lingkungan
hidupnya. Karena itu, studi ini harus dilaksanakan dengan tujuan untuk dimanfaatkan dalam proses
pengambilan keputusan (baca: perizinan) dan perencanaan dari suatu kegiatan pembangunan
(Abdurrahman, 1986:85-86).
Sebagai salah satu instrumen kebijaksanaan lingkungan, AMDAL merupakan proses yang
meliputi penyusunan berturut-turut dokumen-dokumen kerangka acuan, analisis dampak lingkungan
(ADL) dan rencana pemantauan lingkungan. Proses ini dalam bahasa Inggris disebut “Environmental
Impact Assessment” atau “Environmental Impact Analysis” atau dalam bahasa Belanda disebut
“Milieu-effectrapportage” (Rangkuti, 1996:110).
Oleh karena kegiatan pembangunan, seperti pengembangan kawasan industri, perumahan,
perkantoran, dan lain-lain, baik di daerah hulu maupun hilir dapat menimbulkan dampak yang serius
bagi lingkungan, misalnya berupa banjir dan tanah longsor, maka sejak dini perlu dipersiapkan
langkah untuk mencegah atau mengurangi sedapat mungkin terjadinya dampak negatif melalui
prosedur perijinan lingkungan. AMDAL merupakan bagian dari proses perencanaan kegiatan yang
menjadi pangkal tolak pengaturan dalam prosedur perijinan lingkungan. Dengan demikian, AMDAL
juga bertujuan untuk menjaga agar kondisi lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu
demi menjamin kesinambungan pembangunan (Sustainable Development).
Meskipun tak dapat disangkal bahwa secara normatif peranan AMDAL sangatlah penting dan
menentukan dalam upaya pelestarian lingkungan, namun dalam tataran praksis semuanya
bergantung pada kemauan dan kemampuan instansi yang berwenang dalam memberikan keputusan
mengenai izin AMDAL sesuai dengan ukuran-ukuran dan syarat-syarat yang ditentukan dalam
peraturan mengenai AMDAL (baca juga: PP No. 51 tahun 1993 tentang AMDAL). Kecerobohan atau
penyalahgunaan wewenang dalam memberikan keputusan mengani AMDAL tentunya sangat
berbahaya bagi kelestarian dan keseimbangan lingkungan, yang pada akhirnya disadari atau tidak
dapat menimbulkan bencana alam sebagai akibat dari kegiatan manusia yang salah dalam mengelola
lingkungan. 

4.    Posisi AMDAL dalam Sistem Hukum Lingkungan


Posisi AMDAL dalam sistem hukum lingkungan Indonesia dapat ditelusuri melalui ketentuan
dalam Pasal 15 UU No. 23 tahun 1997 yang menyatakan bahwa “setiap rencana usaha dan atau
kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup, wajib memiliki AMDAL”. Atas dasar ketentuan tersebut, UU No. 23 tahun 1997 sebagai
landasan AMDAL, menurut Silalahi (2002:1-2), mengandung beberapa hal penting, yaitu:
a.    AMDAL merupakan salah satu instrumen hukum penting dalam sistem hukum lingkungan Indonesia,
terutama sebagai alat prediksi secara dini kemungkinan dampak besar dan penting yang dapat terjadi
dari suatu kegiatan yang direncanakan (aspek hukum preventif).
b.    AMDAL juga merupakan instrumen pengelolaan kegiatan untuk meningkatkan efisiensi dan
mencegah atau mengurangi kemungkinan dampak yang tidak diharapkan dalam sistem pengelolaan
kegiatan, meningkatkan ketaatan pada kebijakan lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah (aspek
hukum pengelolaan lingkungan).
c.    AMDAL dapat pula berfungsi sebagai alat bukti hukum (scientific evidence) bagi penyelesaian
sengketa lingkungan dari berbagai kasus lingkungan melalui transformasi hasil studi dampak
lingkungan ke dalam bahasa hukum baku di pengadilan dengan melibatkan saksi ahli (alat bukti
ilmiah dalam sengketa lingkungan).
d.   AMDAL dapat pula membantu menyusun sistem informasi bagi rencana kegiatan sejenis atau studi
kelayakan kawasan di sekitarnya, sehingga dapat mempercepat proses studi dan mengurangi biaya-
biaya studi awal dari kegiatan berikutnya (sistem informasi lingkungan).
e.    AMDAL dapat meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan yang informasinya
mengandung pengertian teknis dan ilmiah ke dalam proses yang melibatkan berbagai stakeholders.
  
5.    Posisi AMDAL dalam Sistem Hukum Tata Ruang
Sistem hukum tataruang terbentuk melalui pengertian penataan ruang menurut UU No. 24
tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Yang dimaksud dengan “penataan ruang” adalah proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Keterkaitan AMDAL dengan sistem hukum tata ruang diperlihatkan dalam sistem perizinan
menurut pasal 18 dan 19 UU No. 23 tahun 1997. Dalam menerbitkan izin melakukan usaha da/atau
kegiatan wajib diperlihatkan rencana tata ruang (RTR). Dilihat dari ketentuan tersebut, pasisi AMDAL
dalam sistem hukum tata ruang, menurut Silalahi (2002:2), antara lain meliputi:
a.    Dari siklus proyek, posisi AMDAL sangat sentral karena tahap awal dari siklus proyek merupakan
perencanaan umum (lihat: bentuk dan struktur konsep RTR berdasarkan UU No. 24 tahun 1992
tentang Tata Ruang, yang meliputi: RUTR, RDTR, dan RTTR) [3] dapat memberikan deskripsi faktual
tentang kondisi dan karakter lingkungan sebagai bagian dari studi kelayakan;
b.    Dari hukum perencanaan (Planning Law) akan membantu studi AMDAL dari segi peruntukan
kawasan, mengurangi perbenturan rencana kegiatan melalui RTRW;
c.    Dengan adanya AMDAL, informasi yang diperoleh berdasarkan penataan ruang, seperti RTRW,
termasuk konsep GIS (Geological Information System) yang dikembangkan di Bappeda, dapat
mengurangi terjadinya dampak besar dan penting yang membahayakan kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat dan risiko atau kerugian lingkungan pada kegiatan yang direncanakan;
d.   Perda tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dapat membantu rencana pembangunan di
daerah;
e.    Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Perda tentang RTRW
Kabupaten/Kota di samping merupakan peluang untukmeningkatkan investasi sekaligus juga
merupakan sarana melakukan perkiraan kemungkinan banjir, longsor dan peristiwa alam lainnya
sebagai instrumen preventif kebijakan pembangunan berdasarkan konsep tata ruang di daerah.

6. kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:


a.    AMDAL merupakan instrumen hukum lingkungan yang digunakan dalam proses pengambilan
keputusan mengenai suatu usaha/kegiatan (proyek) yang diperkirakan menimbulkan dampak besar
dan penting bagi lingkungan;
b.    AMDAL dalam sistem hukum lingkungan Indonesia secara garis besar memiliki 2 fungsi, yaitu di satu
sisi AMDAL merupakan studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha/kegiatan dan di
sisi lain AMDAL merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan
usaha/kegiatan;
c.    Apabila mekanisme studi ilmiah dalam rangka pemberian atau penolakan AMDAL telah dilaksanakan
oleh pejabat yang berwenang secara profesional, obyektif, cermat dan bijaksana sesuai dengan
syarat-syarat ilmiah dan prosedur hukum yang benar, maka fungsi AMDAL sebagai alat
prediksi terjadinya dampak besar dan penting, khususnya bencana alam yang disebabkan oleh faktor
kegiatan manusia (bukan karena proses alam), dapat dicegah atau dalam batas-batas tertentu dapat
dikurangi dampak negatifnya;
d.   Studi AMDAL sebagai sumber informasi yang direkam dengan baik (sistem pelaporan lingkungan)
dapat membantu mengurangi bencana alam yang disebabkan oleh banjir, longsor dan pengaruh
gunung berapi), setidak-tidaknya mengurangi tingkat kerusakan/kerugian hingga pada kisaran
tertentu, apabila hal itu dijadikan kebijaksanaan pembangunan (Environmental Administrative
Control).

Anda mungkin juga menyukai