Anda di halaman 1dari 47

TUGAS WORD BU RAHAYU

Nama:Daud Parluhutan Novanto


NIM:1961050011
Kelompok 6B

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA


2019
Tujuan Pembelajaran:
1. Konsep dasar terjadinya penyakit :
-penyebab majemuk
-model segitiga epidemiologi
2. penyakit menular dan tidak menular
3. Surveilans Epidemiologi dan KLB
4. Vital statistik : insiden rate mortilitas, morbiditas
5. pencegahan penyakit menurut leavel dan clark
6. Terjadi nya penykit difteri menurut segitiga epidemiologi
7. Definisi sehat menurut WHO
8. Manfaat antibiotik dan vaksinasi
Jawab:

1.Konsep dasar terjadinya penyakit :


a. Penyebab Majemuk
Akibat dari penyakit difteri terdiri dari beberapa sebab yang berkaitan
dengan host, agen, dan lingkungan (environment).
 Faktor penyebab Host :
 Umur
Umur yang sering terkena difteri adalah 2–10 tahun. Jarang
ditemukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan oleh karena
imunisasi pasif melewati plasenta dari ibunya. Juga jarang
pada dewasa yang berumur diatas 15 tahun.
 Jenis Kelamin
Jenis kelamin perempuan lebih berisiko untuk terkena difteri
dibandingkan dengan laki-laki. Wanita lebih berisiko untuk
terkena infeksi difteri dikarenakan daya imunitas yang lebih
rendah.
 Status Imunisasi
Penyakit difteri dapat dicegah dengan pemberian imunisasi.
Imunisasi merupakan upaya untuk meningkatkan kekebalan
tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit.
Imunisasi DPT pada usia bayi dan pemberian vaksin DT pada
anak usia sekolah merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah penyakit difteri. Kekebalan
terhadap difteri dipengaruhi oleh adanya antitoksin didalam
darah dan kemampuan seseorang untuk membentuk
antitoksin dengan cepat. Kemampuan ini akibat dari imunisasi
aktif dari pernah menderita atau vaksinasi.
 Status Gizi
Kekurangan gizi atau gizi buruk mengakibatkan sesorang
rentan terhadap penyakit infeksi. Kerentanan tersebut
diakibatkan oleh zat anti toksin yang tidak terbentuk secara
cukup didalam tubuh.
 Prilaku
Peran orang tua sangat penting dalam mendukung anak untuk
melakukan imunisasi dasar lengkap. Ibu yang
mengimunisasikan DPT pada bayinya berarti telah melakukan
perilaku kesehatan yaitu mencegah terjadinya penyakit difteri
pada bayinya, jika ditinjau dalam bidang kesehatan.
 Pendidikan
Pengetahuan yang baik yang dimiliki oleh orang tua akan
membantu orang tua dalam mengatasi masalah kesehatan
yang dialami oleh keluarga dan meningkatkan tingkat peran
keluarga dalam pencegahan suatu penyakit. Perilaku orang tua
dapat menekan kejadian difteri. Pendidikan orang tua
mempengaruhi kejadian difteri karena perilaku orang tua yang
berpendidikan tinggi akan melakukan pencegahan penyakit
difteri dengan memberikan imunisasi pentabio pada anaknya.
Pendidikan orang tua khususnya ibu karena ibu yang
mengurus anak di rumah.

 Faktor penyebab agen :


 Corynebacterium diphtheriae
Agen yang menyebabkan difteri adalah Corynebacterium
diphtheriae, merupakan bakteri Gram positif fakultatif
anaerob. Kuman ini menghasilkan eksotoksin yang
menimbulkan gejala lokal dan umum. Dampak fatal infeksi
difteri terhadap manusia adalah karena toksin yang dihasilkan.
Ketika bakteri masuk dalam tubuh, bakteri difteri akan
melepaskan toksin. Toksin ini akan menyebar melalui darah
dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh,terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang
saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan, sehingga
mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama akibat
dari toksin yang dihasilkan..Kerusakan akibat toksin difteri bisa
sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan
kematian mendadak. Masa inkubasi difteri antara 2-5 hari.
Manusia merupakan reservoir tunggal dan sumber penularan
utama Corynebacterium diphtheriae. Kuman yang infektif
ditularkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin, dan
berbicara atau melalui pakaian, makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Kuman ini cukup resisten terhadap udara
panas, dingin, kering, dan tahan hidup pada debu dan muntah
selama 6 bulan. Dapat mati pada suhu 60° selama 10 menit.
Dengan menggunakan desinfektan dapat dengan mudah
membunuh bakteri ini. Bakteri ini dapat terdispresi melalui
debu. Sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri ini
selama beberapa jam.

 Faktor penyebab lingkungan (Enviroment) :


 Pencahayaan Alami
Cahaya matahari berperan sebagai pembunuh kuman karena
memiliki gelombang elektromagnetik dan memiliki energi.
Dibandingkan dengan kuman lain yang tidak berspora
Corynebacterium diphtheria lebih tahan lama terhadap
pengaruh cahaya. Sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman ini dalam beberapa jam. Corynebacterium diphtheria
dapat mati apabila terkena sinar matahari kurang lebih 3 jam.
 Ventilasi Rumah
Ventilasi berfungsi untuk menjaga agar aliran udara di dalam
rumah tersebut tetap segar, bebas dari bakteri, dan terjaga
kelembaban optimum. Pertukaran udara yang cukup
menyebabkan udara ruangan tetap segar (cukup mengandung
oksigen).
 Kepadatan Pendudukan
Wilayah yang memiliki penduduk yang padat maka
perpindahan penyakit khususnya penyakit yang ditularkan
melalui udara (droplet) juga akan semakin mudah dan cepat
termasuk penularan terhadap penyakit difteri, karena penyakit
difteri dapat menular melalui droplet. Semakin tinggi
kepadatan berarti semakin tinggi kontak penderita difteri
dengan orang yang sehat, sehingga semakin banyak orang
yang terpapar kuman difteri.
 Jenis Dinding Rumah
Dinding yang berupa bata/batako yang tidak diplester
memungkinkan debu berada dicelah-celah bata/batako
sehingga sulit untuk dibersihkan. Kuman difteri dapat bertahan
di debu sekitar 6 bulan.
 Jenis Lantai Rumah
Lantai rumah akan mempengaruhi kelembaban ruangan dan
berdebu. Kelembaban rumah yang tinggi dapat mempengaruhi
penurunan daya tahan tubuh seseorang yang selanjutnya akan
meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama
penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan daya
tahan hidup bakteri di ruangan yang lebih lembab.

b. Model Segitiga Epidemiologi


 Segitiga Epidemiologi (Teori John Gordon)
Menurut John Gordon dan La Richt (1950), model ini menggambarkan
interaksi tiga komponen penyebab penyakit, yaitu manusia (host),
penyebab (Agent), dan lingkungan (environment).

Gordon berpendapat bahwa :

 Penyakit timbul karena ketidakseimbangan antara agent


(penyebab) dan manusia (host)
 Keadaan keseimbangan bergantung pada sifat alami dan
karakteristik agent dan host (baik individu/kelompok)
 Karakteristik agent dan host akan mengadakan interaksi,
dalam interaksi tersebut akan berhubungan langsung pada
keadaan alami dari lingkungan (lingkungan sosial, fisik,
ekonomi, dan biologis)
Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya
analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Penyakit dapat
terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara ketiga komponen
tersebut. Model ini lebih di kenal dengan model triangle epidemiologi
atau triad epidemologi, dan cocok unutk menerangkan penyebab
penyakit infeksi. Sebab peran Agent (mikroba) mudah diisolasi dengan
jelas dari lingkungannya. Menurut model ini perubahan salah satu
komponen akan mengubah keseimbangan interaksi ketiga komponen
yang akhirnya berakibat bertambah atau berkurangnya penyakit.
Hubungan antara ketiga komponen tersebut digambarkan seperti tuas
pada timbangan. Host dan Agent berada di ujung masing-masing tuas,
sedangkan environment sebagai penumpunya.
Jenis Interaksi Host, Agen dan Lingkungan :
Keterangan:

 Model I
Dalam model ini penjamu dalam keadaan sehat karena timbangan
dalam keadaan seimbang hasil dari interaksi bibit penyakit,
penjamu dan lingkungan.
 Model II
Dalam model ini sudah terjadi ketidakseimbangan dimana bibit
penyakit menjadi lebih berat, dimana bibit penyakit mendapat
kemudahan menyebabkan penyakit sehingga penjamu menjadi
sakit
 Model III
Dalam model ini sudah terjadi ketidakseimbangan dimana
penjamu menjadi lebih berat, dimana penjamu menjadi lebih peka
terhadap penyakit sehingga penjamu menjadi sakit.
 Model IV: Dalam model ini sudah terjadi ketidakseimbangan
dimana terjadi pergeseran lingkungan yang memudahkan bibit
penyakit masuk ke penjamu sehingga penjamu menjadi sakit.
 Model V
Dalam model ini sudah terjadi ketidakseimbangan dimana
penjamu menjadi sangat peka terhadap bibit penyakit sehingga
penjamu menjadi sakit

 Teori Roda (The Wheel of Caution)


Model roda memerlukan identifikasi dari berbagai faktor yang
berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu menekankan
pentingnya agen. Disini dipentingkan hubungan antara manusia
dengan lingkungan hidupnya. Besarnya peranan dari masing -masing
lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan.
(Notoatmodjo, 2003).
Sebagai contoh peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang
lainnya pada stress mental, peranan lingkungan fisik lebih besar dari
lainnya pada sunburn, peranan lingkungan biologis lebih besar dari
lainnya pada penyakit yang penularannya melalui vektor (vector
borne disease) dan peranan inti genetik lebih besar dari lainnya pada
penyakit keturunan.
Dengan model-model tersebut ditunjukkan bahwa pengetahuan yang
lengkap mengenai mekanisme-mekanisme terjadinya penyakit
tidaklah diperuntukkan bagi usaha-usaha pemberantasan yang efektif.
Oleh karena banyaknya interaksi-interaksi ekologis maka seringkali
kita dapat mengubah penyebaran penyakit dengan mengubah aspek-
aspek tertentu dari interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya
tanpa intervensi langsung pada penyebab penyakit. (Notoatmodjo,
2003)

 Jaring-Jaring Sebab Akibat (Web of Causation)


Model ini menyatakan bahwa penyebab penyakit tidak hanya oleh
satu sebab, melainkan oleh serangkaian proses sebabakibat. Oleh
karena itu, salah satu cara untuk menghentikan penyakit adalah
dengan memotong mata rantai dari berbagai faktor.
2.Penyakit menular dan tidak menular
PENYAKIT MENULAR

Menurut para ahli, penyakit menular dapat didefinisikan sebagai sebuah penyakit yang
dapat ditularkan (berpindah dari orang satu ke orang yang lain, baik secara langsung
maupun tidak langsung atau melalui perantara/penghubung). Penyakit menular ini ditandai
dengan adanya agent atau penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah serta
menyerang host atau inang (penderita).

Faktor Penyebab Penyakit Menular

1. Faktor penyebab atau agent yaitu organisme penyebab penyakit

b. Infektivitas, Infektivitas adalah kemampuan unsur penyebab atau agent untuk


masuk dan berkembang biak serta menghasilkan infeksi dalam tubuh pejamu.

c. Patogenesis adalah kemampuan untuk menghasilkan penyakit dengan gejala


klinis yang jelas

d. Virulensi, Virulensi adalah nilai proporsi penderita dengan gejala klinis yang berat
terhadap seluruh penderita dengan gejala klinis jelas. Dalam hal ini CFR dapat
pula merupakan ukuran virulensi.

e. Imunogenisitas, Imunogenisitas adalah suatu kemampuan menghasilkan


kekebalan atau imunitas

2. Sumber penularan yaitu reservoir maupun resources


Reservoir atau sumber penularan adalah organisme hidup atau barang mati
(misalnya tanah ataupun air), di mana unsur penyebab penyakit menular hidup
secara normal dan berkembang biak sampai siap untuk menularkan ke panjamu
potensial. Komponen reservoir merupakan pusat penyakit menular karena reservoir
adalah komponen utama dari lingkaran penularan penyakit dimana unsur penyebab
meneruskan dan mempertahankan hidupnya, dan juga sekaligus sebagai
pusat/sumber penularan dalam suatu lingkaran penularan.
3. Cara penularan khusus melalui mode of transmission

Karakteristik Penyakit Menular

1. Rantai penularan jelas


2. Etiologi organisme jelas
3. Diagnosis mudah
4. Biaya relative mudah
5. Morbiditas dan mortalitas cenderung menurun
6. Jelas muncul dipermukaan
7. Mudah mencari penyebab
8. Bersifat kausa tunggal
9. Akut
10. Banyak dinegara berkembang

Contoh Penyakit Menular

a.Penyakit menular langsung terdiri yaitu: Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Campak,
Typhoid, Kolera, Rubella, Yellow Fever; Influensa dan Meningitis.

b. Penyakit menular vektor dan binatang pembawa penyakit yaitu: Malaria, Demam
Berdarah, Chikungunya, Filariasis dan Kecacingan, Schistosomiasis, Japanese
Enchepalitis, Rabies, Antraks, Pes, Toxoplasma, Leptospirosis, Flu Burung (Avian
Influenza), dan West Nile.

PENYAKIT TIDAK MENULAR


Penyakit jenis ini tidak dapat ditularkan dari penderita kepada orang lain. Penyakit ini
merupakan penyakit non infeksi yang penyebabnya bukan mikroorganisme. Biasanya
penyakit ini terjadi karena pola hidup yang kurang sehat seperti merokok, turunan/bawaan,
cacat fisik, penuaan/usia, dan gangguan kejiwaan. Penyakit tidak menular terjadi akibat
interaksi antara agent (Non living agent) dengan host dalam hal ini manusia (faktor
predisposisi, infeksi dan lain-lain) dan lingkungan sekitar (source and vehicle of agent).

Faktor Risiko Yang Dapat Menimbulkan Penyakit Tidak Menular

a. Setiap penyakit, faktor risiko dapat berbeda-beda (merokok, hipertensi,


hiperkolesterolemia)
b. Satu faktor risiko dapat menyebabkan penyakit yang berbeda-beda, misal: merokok
dapat menimbulkan kanker paru, penyakit jantung koroner, kanker laring.
c. Untuk kebanyakan penyakit, faktor-faktor risiko yang telah diketahui hanya dapat
menerangkan sebagian kecil kejadian penyakit, tetapi etiologinya secara pasti belum
diketahui.

Faktor risiko yang telah diketahui ada kaitannya dengan penyakit tidak menular yang
bersifat kronis, antara lain: Tembakau, Alkohol, Kolestero, Hipertensi, Diet, Obesitas,
Aktivitas , Stress, Pekerjaan, Lingkungan, Gaya hidup, dan lain-lain

Karakteristik Penyakit Tidak Menular

1. Tidak ada rantai penularan


2. Etiologi organisme tidak jelas
3. Diagnosa sulit
4. Biaya Mahal
5. Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat
6. Ada iceberg phenomen
7. Sulit mencari penyebab
8. Biasanya kausa ganda
9. Kronis
10. Ditemui dinegara industri
Contoh Penyakit Tidak menular

Contoh penyakit tidak menular yaitu: Penyakit jantung, Atherosklorosis, Hipertensi, Stroke,
Diabetes Melitus, Kanker, Tumor, Kecelakaan lalulintas, Merokok, Usia lanjut

3.Surveilans Epidemiologi dan KLB


Survelian Epidemiologi adalah Pengumpulan data epidemiologi yang akan digunakan sebagai
dasar kegiatan-kegiatan dalam bidang penanggulan penyakit yang terdiri dari perencanaan
program pembertantasan penyakit dan penanggulan KLB

Dalam surveilans epidemiologi, kita mengenal adanya surveilans epidemiologi penyakit


menular, surveilans epidemiologi penyakit tidak menular, surveilans epidemiologi penyakit
infeksi, surveilans epidemiologi penyakit akut dan surveilans epidemiologi penyakit kronis.
Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan secara konseptual antara kegiatan surveilans
epidemiologi penyakit akut dan kronis.

I.Survelian Epidemiologi

A.Ruang lingkup surveilans epidemiologi

menurut tempatnya dapat dibedakan menjadi 2: yaitu surveilans epidemiologi dalam


masyarakat dan surveilans epidemiologi di rumah sakit.

1. Surveilans epidemiologi dalam


masyarakat Surveilans epidemiologi ini dilakukan pada suatu wilayah administrasi atau pada
kelompok populasi tertentu. Dengan analisis secara teratur berkesinambungan terhadap
data yang dikumpulkan mengenai kejadian kesakitan atau kematian, dapat memberikan
kesempatan lebih mengenal kecenderungan penyakit menurut variabel yang diteliti.
Variabel tersebut diantaranya adalah distribusi penyakit menurut musim atau periode
waktu tertentu, mengetahui daerah geografis dimana jumlah kasus/penularan meningkat
atau berkurang, serta berbagai kelompok risiko tinggi menurut umur, jenis kelamin, ras,
agama, status sosial ekonomi serta pekerjaan.
2. Surveilans epidemiologi di rumah sakit

Saat ini penderita penyakit menular yang dirawat d rumah sakit jumlahnya masih cukup
besar. Suatu keadaan khusus dimana faktor lingkungan, secara bermakna dapat mendukung
terjadinya risiko meendapatkan penyakit infeksi, sehingga tekhnik surveilans termasuk
kontrol penyakit pada rumah sakit rujukan pada tingkat propinsi dan regional memerlukan
perlakuan tersendiri. Pada rumah sakit tersebut, terdapat beberapa penularan penyakit dan
dapat menimbulkan infeksi nosokomial. Selain itu, rumah sakit mungkin dapat menjadi
tempat berkembangbiaknya serta tumbuh suburnya berbagai jenis mikro-organisme.
Untuk mengatasi masalah penularan penyakit infeksi di rumah sakit maka telah
dikembangkan sistem surveilans epidemiologi yang khusus dan cukup efektif untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya penularan penyakit (dikenal dengan infeksi
nosokomial) di dalam lingkungan rumah sakit.

B.Jenis Surveilans

1.Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-
individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis,
tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi
institusional segera terhadap kontak,sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan.

Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan
aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus
penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi
penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional
pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina:
1.Karantina total
Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular
selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar.
2 Karantina parsial.
Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan
tingkat
kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk
mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja.
Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap
bekerja. Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal,
politis, etika, moral,
dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan
tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).

2. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap
distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis,
konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan
lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak
negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-
daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari
sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara
dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program
surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkanbiaya untuk sumber
daya masing-masing, danmemberikan informasi
duplikatif,sehingga mengakibatkan inefisiensi
3. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multipledisease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans
sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi
yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-
indikator individu sakit,seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium,
yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang
suatu penyakit. Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun
nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan
kegiatan surveilans sindromik berskalanasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip
influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam
surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan
definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan
mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis
kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk
memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks,
sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk
memonitor krisis yang tengah berlangsung. Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua
kasus penyakit tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada
lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans
sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas

4.Surveilans berbasis laboratorium


digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada
penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah
laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi
outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan
pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
5. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai
sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan
personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk
tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap
memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit.

Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:

(1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);

(2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;

(3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;


(4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis
data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan
laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya);

(5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit.


Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang
penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).
6.Surveilans Kesehatan Masyarakat
Global Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia
dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas
negara.Konsekunsinya,masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan
negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi)
khususnya menuntutdikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang
menyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara.
Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama
yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul
(new emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global
yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan
pertahanan keamanan dan ekonomi
C.Keuntungan kegiatan surveilans
epidemiologi disini dapat juga diartikan sebagai kegunaan surveilans
epidemiologi,yaitu :
1. Dapat menjelaskan pola penyakit yang sedang berlangsung yang dapat dikaitkan dengan
tindakantindakan/intervensi kesehatan masyarakat. Dalam rangka menguraikan pola
kejadian penyakit yang sedang berlangsung, contoh kegiatan yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
a)Deteksi perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya
b)Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit
c) Identifikasi dan faktor risiko dan penyebab lainnya, seperi vektor yang dapat
menyebabkan sakit dikemudian hari
d)Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi

2.Dapat melakukan monitoring kecenderungan penyakit endemis.

3.Dapat mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologi penyakit, khususnya untuk
mendeteksi adanya KLB/wabah

Melalui pemahaman riwayat penyakit, dapat bermanfaat sebagai berikut :


a)Membantu menyusun hipotesis untuk dasar pengambilan keputusan dalam intervensi
kesehatan masyarakat
b)Membantu untuk mengidentifikasi penyakit untuk keperluan penelitian epidemiologi
c) Mengevaluasi program-program pencegahan dan pengendalian penyakit
4.Memberikan informasi dan data dasar untuk memproyeksikan kebutuhan pelayanan
kesehatan dimasa mendatang. Data dasar sangat penting untuk menyusun perencanaan dan
untuk mengevaluasi hasil akhir intervensi yang diberikan. Dengan semakin kompleksnya
pengambilan keputusan dalam bidang kesehatan masyarakat, maka diperlukan data yang
cukup handal untuk mendeteksi adanya perubahan-perubahan yang sistematis dan dapat
dibuktikan dengan data (angka).

5.Dapat membantu pelaksanaan dan daya guna program pengendalian khusus dengan
membandingkan besarnya masalah sebelum dan sesudah pelaksanaan program.

6.Membantu menetapkan masalah kesehatan dan prioritas sasaran program pada tahap
perencanaan program. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat prioritas
masalah dalam kegiatan surveilans epidemiologi adalah :
a) Frekuensi kejadian (insidens, prevalens dan mortalitas);
b) Kegawatan/ Severity (CFR, hospitalization rate, angka kecacatan);
c) Biaya (biaya langsung dan tidak langsung);
d) Dapat dicegah (preventability);
e) Dapat dikomunikasikan (communicability);
f)Public interest

7.Mengidentifikasi kelompok risiko tinggi menurut umur, pekerjaan, tempat tinggal dimana
masalah kesehatan sering terjadi dan variasi terjadinya dari waktu ke waktu (musiman, dari
tahun ke tahun), dan cara serta dinamika penularan penyakit menular.

II.KLB
A.Definisi
-Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut Wabah adalah kejadian berjangkitnya
suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara
nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat
menimbulkan malapetaka. Penyebab Wabah secara garis besar adalah karena Toxin ( kimia
& biologi) dan karena Infeksi (virus, bacteri, protozoa dan cacing)
-Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang
bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan
merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah

B.Upaya penanggulangan KLB


dilaksanakan dengan tujuan untuk memutus rantai penularan sehingga jumlah kesakitan,
kematian maupun luas daerah yag terserang dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam
operasionalnya maka kegiatan penanggulangan selalu disertai kegiatan penyelidikan yang
selanjutnya digunakan istilah penyelidikan dan penanggulangan KLB. Upaya penyelidikan
dan penanggulangan secara garis besar meliputi:

a. Persiapan Penyelidikan dan Penanggulangan KLB


Persiapan penyelidikan dan penanggulangan KLB meliputi persiapan administrasi, tim
penyelidikan epidemiologi, bahan logistik dan bahanlaboratorium serta rencana kerja
penyelidikan epidemiologi KLB. Pelaksanaan penyelidikan epidemiologi KLB bekerjasama
dengan unit kesehatan terkait setempat, dapat melakukan wawancara, pemeriksaan medis
dan laboratorium terhadap penderita, pemeriksaan orang-orang yang mendapat serangan
penyakit, pemeriksaan sumber-sumber penyebaran penyakit, pemeriksaan data perawatan
penderita di unitunit pelayanan kesehatan, pemeriksaan data perorangan, sekolah, asrama,
dan tempat-tempat lainnya yang berhubungan dengan penyebaran penyakit dengan
memperhatikan etika pemeriksaan medis dan etika kemasyarakatan setempat.
Rekomendasi dirumuskan dengan memperhatikan asas segera, efektip dan efisien dalam
rangka penanggulangan KLB yang sedang berlangsung sesuai dengan kemampuan yang ada
serta disampaikan kepada tim penanggulangan KLB dengan memperhatikan kerahasiaan
jabatan dan implikasi terhadap kesejahteraan dan keselamatan masyarakat.
b. Memastikan adanya KLB
Kepastian adanya suatu KLB berdasarkan pengertian dan kriteria kerja KLB yang secara
formal ditetapkan oleh Bupati/Walikota atas rekomendasi teknis Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, baik bersumber data kesakitan dan atau data kematian yang ada di
masyarakat, maupun bersumber data kesakitan dan atau kematian yang ada di unit-unit
pelayanan penderita serta hasil pemeriksaan laboratorium. Untuk memastikan adanya KLB,
maka data penderita setidak-tidaknya menunjukkan perkembangan penyakit dari waktu ke
waktu berdasarkan tanggal mulai sakit dan atau tanggal berobat yang dapat digunakan
untuk memperkirakan tanggal mulai sakit, tempat kejadian menurut unit pelayanan
penderita berobat, tempat tinggal penderita, tempat usaha atau karakteristik tempat lain,
serta menurut umur, jenis kelamin dan kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan
kebutuhan untuk memastikan adanya KLB. Secara operasional, langkah-langkah untuk
memastikan adanya KLB adalah sebagai berikut :
1. Melakukan analisis terhadap data kesakitan dan kematian yang ada di Puskesmas
atau Rumah Sakit
2. Mendiskusikan dengan petugas poliklinik tentang adanya peningkatan jumlah
penderita atau diduga penderita penyakit berpotensi KLB diantara yang berobat ke poliklinik
menurut desa atau lokasi tertentu.
3. Menanyakan pada setiap orang yang datang berobat ke Puskesmas atau Rumah
Sakit tentang adanya peningkatan jumlah penderita atau diduga penderita penyakit
berpotensi KLB tertentu atau adanya peningkatan jumlah kematian di desa, sekolah, asrama
atau tempat lain. Peningkatan jumlah penderita dibandingkan dengan kewajaran jumlah
penderita pada keadaan normal berdasarkan data yang ada di Puskesmas atau menurut
pandangan orang-orang yang diwawancarai.
4. Melakukan kunjungan ke lokasi yang diduga terjadi KLB untuk memastikan
adanya KLB. Tatacara memastikan adanya KLB adalah dengan wawancara penduduk
setempat melalui survei masyarakat, dan atau dengan membuka pelayanan pengobatan
umum. Apabila jumlah penderita dan atau kematian cukup banyak dan meningkat
dibandingkan jumlah penderita pada keadaan sebelumnya sesuai dengan kriteria kerja KLB,
maka dapat dipastikan adanya KLB di daerah tersebut.
c. Menegakkan Etiologi KLB
1. Etiologi suatu KLB dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis penderita perorangan,
gambaran klinis kelompok, gambaran epidemiologi dan hasil pemeriksaan laboratorium
atau alat penunjang pemeriksaan lainnya.
d. Identifikasi Gambaran Epidemiologi KLB
e. Mengetahui Sumber dan Cara Penyebaran KLB
Cara untuk mengetahui sumber dan cara penyebaran penyakit adalah berdasarkan metode
epidemiologi deskriptip, analitik dan kesesuaian hasil pemeriksaan laboratorium antara
penderita dan sumber penyebaran penyakit yang dicurigai.
f. Menetapkan Cara-Cara Penanggulangan KLB
Cara-cara penanggulangan KLB meliputi upaya-upaya pengobatan yang tepat terhadap
semua penderita yang ada di unit-unit pelayanan kesehatan dan di lapangan, upaya-upaya
pencegahan dengan menghilangkan atau memperkecil peran sumber penyebaran penyakit
atau memutuskan rantai penularan pada KLB penyakit menular. Caracara penanggulangan
KLB sebagaimana tersebut diatas sesuai dengan masing-masing cara penanggulangan KLB
setiap jenis penyakit, keracunan atau masalah kesehatan tertentu dan penyakit berpotensi
KLB yang belum jelas etiologinya.
g. Rekomendasi
Rekomendasi merupakan salah satu tujuan penting dari suatu penyelidikan dan
penanggulangan KLB. Rekomendasi berisi cara-cara penanggulangan KLB yang sedang
berlangsung, usulan penyelidikan dan penanggulangan KLB lebih luas dan atau lebih teliti,
dan upaya penanggulangan KLB dimasa yang akan datang. Perumusan suatu rekomendasi
berdasarkan fakta hasil penyelidikan dan penanggulangan KLB, merujuk hasil-hasil
penelitian dan pembahasan para ahli terhadap masalah yang sama atau berkaitan,
kemampuan upaya penanggulangan KLB dan kondisi kelompok populasi yang mendapat
serangan KLB. Rekomendasi disampaikan kepada tim penanggulangan KLB berdasarkan asas
cepat, tepat dan bertanggungjawab untuk segera menghentikan KLB dan mencegah
bertambahnya penderita dan kematian pada KLB.

C.Pencegahan KLB
1. Kajian Epidemiologi Ancaman KLB Untuk mengetahui adanya ancaman KLB, maka
dilakukan kajian secara terus menerus dan sistematis terhadap berbagai jenis penyakit
berpotensi KLB dengan menggunakan bahan kajian :
a. data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB,
b. kerentanan masyarakat, antara lain status gizi dan imunisasi,
c. kerentanan lingkungan,
d. kerentanan pelayanan kesehatan,
e. ancaman penyebaran penyakit berpotensi KLB dari daerah atau negara lain, serta
f. sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi.

Sumber data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB adalah :


a. laporan KLB/wabah dan hasil penyelidikan dan penanggulangan KLB,
b. data epidemiologi KLB dan upaya penanggulangannya,

c. surveilans terpadu penyakit berbasis KLB, d. sistem peringatan dini-KLB di rumah sakit .

Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi adalah : a. data surveilans terpadu
penyakit, b. data surveilans khusus penyakit berpotensi KLB, c. data cakupan program, d.
data lingkungan pemukiman dan perilaku, pertanian, meteorologi geofisika e. informasi
masyarakat sebagai laporan kewaspadaan KLB, f. data lain terkait Berdasarkan kajian
epidemiologi dirumuskan suatu peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya
peningkatan KLB pada daerah dan periode waktu tertentu.

2. Peringatan Kewaspadaan Dini KLB

Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya peningkatan KLB pada daerah
tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3-6 bulan yang akan datang) dan disampaikan
kepada semua unit terkait di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi,
Departemen Kesehatan, sektor terkait dan anggota masyarakat, sehingga mendorong
peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB di Unit Pelayanan Kesehatan
dan program terkait serta peningkatan kewaspadaan masyarakat perorangan dan
kelompok. Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga dilakukan terhadap penyakit
berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yang akan datang), agar terjadi
kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat menjadi acuan perumusan perencanaan strategis
program penanggulangan KLB.

3. Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB


Kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi peningkatan kegiatan surveilans
untuk deteksi dini kondisi rentan KLB; peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini
KLB; penyelidikan epidemiologi adanya dugaan KLB; kesiapsiagaan menghadapi KLB dan
mendorong segera dilaksanakan tindakan penanggulangan KLB.
a. Deteksi Dini Kondisi Rentan KLB
Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya kerentanan
masyarakat, kerentanan lingkungan-perilaku, dan kerentanan pelayanan kesehatan
terhadap KLB dengan menerapkan cara-cara surveilans epidemiologi atau pemantauan
wilayah setempat (PWS) kondisi rentan KLB. Identifikasi timbulnya kondisi rentan KLB dapat
mendorong upaya-upaya pencegahan terjadinya KLB dan meningkatkan kewaspadaan
berbagai pihak terhadap KLB.
b. Deteksi Dini KLB
Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya KLB dengan mengidentifikasi
kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah setempat terhadap penyakit-penyakit
berpotensi KLB dan penyelidikan dugaan KLB.
c. Deteksi Dini KLB melalui Pelaporan Kewaspadaan KLB oleh Masyarakat
Laporan kewaspadaan KLB merupakan laporan adanya seorang atau sekelompok penderita
atau tersangka penderita penyakit berpotensi KLB pada suatu daerah atau lokasi tertentu.
Isi laporan kewaspadaan terdiri dari jenis penyakit; gejala-gejala penyakit; desa/lurah,
kecamatan dan kabupaten/kota tempat kejadian; waktu kejadian; jumlah penderita dan
jumlah meninggal.
d. Kesiapsiagaan Menghadapi KLB
Kesiapsiagaan menghadapi KLB dilakukan terhadap sumber daya manusia, sistem konsultasi
dan referensi, sarana penunjang, laboratorium dan anggaran biaya, strategi dan tim
penanggulangan KLB serta kerjasama tim penanggulangan KLB Kabupaten/Kota, Propinsi
dan Pusat.
e. Tindakan Penanggulangan KLB Yang Cepat Dan Tepat.
Setiap daerah menetapkan mekanisme agar setiap KLB dapat terdeteksi dini dan dilakukan
tindakan penanggulangan dengan cepat dan tepat.
f. Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD-KLB
Penyelenggaraan SKD-KLB dilaksanakan terus menerus secara sistematis di tingkat nasional,
propinsi, kabupaten/kota dan di masyarakat yang membutuhkan dukungan politik dan
anggaran yang memadai di berbagai tingkatan tersebut untuk menjaga kesinambungan
penyelenggaraan dengan kinerja yang tinggi.

4. Vital statistik : insiden rate mortilitas, morbiditas


A.    Data statistik vital
Data statistik vital disebut juga kejadian vital yang mengacu pada proses pengumpulan
data dan penerapan metode statistic dasar pada data tersebut guna mengidentifikasi fakta-
fakta kesehatan yang vital didalam suatu masyarakat, populasi atau wilayah tertentu. Data
mortalitas, pernikahan, perceraian, kelahiran semuanya merupakan data statistic vital.

1.                  Angka kelahiran dan angka kelahiran kasar


Angka kelahiran (birth rate) suatu populasi biasanya merupakan angka kasar (crude
rate) dan angka ini mengacu pada keseluruhan populasi. Saatmenggunakan angka kasar
(kelahiran maupun kematian) perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap penggunaan
rate spesifik dan distribusi usia karena karakteristik penduduk sangat beragam sehingga
angka kasar juga menjadi beragam dan tidak akurat. Usia merupakan variable yang dapat
menyebabkan semua rate pada keseluruhan populasi menghasilkan data yang beragam pada kelompok
yang berlainan.
Angka kelahiran kasar dan angka kematian kasar merupakan indikator yang sangat
berguna karena memberikan informasi ringkas,sekaligus data statistik umum dari populasi
yang besar. Angka kasar (crude rate) dapat dipakai dalam perbandingan internasional
sekaligus dalam perbandingan umum kejadian vital selama beberapa waktu.
2.    Angka Kematian dan akta kematian pada data stasitik vital
Akta kematian juga termasuk dokumen yang penting bagi keluarga yang ditinggal.
Alasan yang paling penting akta kematian sangat dibutuhkan adalah untuk memenuhi
kebutuhan hukum. Kematian ditangani dengan serius dan hukum memberikan perlindungan
terhadap kemungkinan terjadinya kematian akibat kesalahan melalui penelusuran dan
pendataan kematian dengan metode yang ketat.Kematian harus diregistrasi dan jika ada
sesuatu yang mencurugakan, kematian tersebut akan diselidiki termasuk melakukan
autopsy. Akta kematian juga dibutuhkan untuk mengajukan klaim pensiun dan
asuransi jiwa. Angka kematian dan data relevan diperoleh dari proses registrasi akta
kematian.The National Center for  Health Statistics telah menetapkan akta kematian standar
dan akta kematian standar  untuk kematian janin yang memperlihatkan informasi minimum
yang harus ada pada akta. Masing-masing negara dapat mengembangkan aktanya sendiri
dari akta standarini.Rincian yang ada dalam akta kematian, selain penyebab kematian, juga
ada “penyebab utama kematian”. Ada ruang yang memang dikosongkan dalam akta
kematian untuk diisi dengan kondisi yang berkontribusi dalam kematian.
B.     Sumber Data Statistik Vital
Data merupakan sumber informasi yang diperlukan oleh epidemiologidalam melakukan
perannya. Tanpa data, epidemiologi buta dan tidak mampu melihatmesalah kesehatan yang
terjadi.
 Sumber data epidemiologi antara lain adalah :
1.      Data kependudukan
a)      Sensus penduduk 
b)      Survey
2.      Kelahiran dan kematian
a)      Pencatatan akta kelahiran dan surat keterangan meninggal.
b)      Klinik umum/ klinik bersalin dan pelayanana kesehatan lainnya.
3.      Data kesakitan
a)      Rekam medis (Medical record) rumah sakit
b)      Praktek dokter swasta
c)      Penelitian khusus.
4.      Data lainnya
a)      Penelitian/data sanitasi dan lingkungan
b)      Catatan imunisasi
c)      Pelaporan keluarga berencana

KEMATIAN
Kematian adalah keadaan menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen
yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Beberapa hal mengenai data kematian
harus dapat diperhatikan yaitu sumber data, jumlah dan distribusi penduduk serta umur
sebab dan tempat kematian. Data kematian menghasilkan ukuran kematian yang meliputi
angka kematian kasar dan angka kematian khusus yang berhubungan dengan umur waktu
kejadian kematian, dan keadaan atau sebab kematian.
a.    Angka Kematian Kasar ( CDR )
Yaitu jumlah semua kematian selama satu periode untuk tiap 1000 penduduk dalam suatu
wilayah tertentu, pada pertengahan periode yang sama.

Rumus =
Angka kematian kasar ini hanya dapat menggambarkan tingkat kematian dan perubahan
secara umum. Sehingga masih dibutuhkan angka kematian lain yang menunjangnya.
b.    Angka kematian yang berhubungan dengan umur waktu kejadian kematian
1.    Angka kematian menurut golongan umur ( ASDR )
Yaitu jumlah kematian pada golongan umur tertentu dalam suatu periode untuk tiap 1000
penduduk golongan umur tersebut pada pertengahan periode yang sama.
Untuk Negara yang sudah maju angka ini bisa diperoleh dari data dengan system registrasi
vital. Sedangkan di Negara berkembang termasuk Indonesia angka ini diperkirakan dengan
cara tak langsung melalui teknik statistic tertentu dari data sensus dan survey. Angka
kematian menurut golongan umur ini diperinci lebih lanjut.
2.    Angka kematian bayi ( IMR )
Yaitu jumlah kematian bayi dibawah umur 1 tahun pada suatu daerah selama satu periode
untuk tiap 1000 kelahiran hidup pada periode yang sama.

Angka kematian bayi ini merupakan indicator yang peka untuk mengukur derajat kesehatan
masyarakat, karena merupakan salah satu factor yang menentukan kualitas kehidupan.
Seperti juga angka kematian menurut golongan umur, angka kematian bayi ini di Negara
berkembang dihitung dari data sensus dan survey dengan catatan sampel harus cukup besar
agar angka yang diperoleh dapat mewakili keadaan sebenarnya karena kejadian kematian
bayi yang tidak besar.
3.    Angka kematian neonatal ( NDR )
Yaitu jumlah kematian bayi berumur kurang dari 28 hari pada suatu daerah selama satu
periode untuk tiap 1000 kelahiran hidup pada periode yang sama.

4.    Angka kematian post neonatal ( PNDR )


Yaitu jumlah kematian bayi berumur lebih dari 28 hari dan kurang dari 1 tahun pada suatu
daerah selama satu periode untuk tiap 1000 kelakuan hidup pada periode yang sama.

Angka kematian neonatal dan angka kematian post neonatal bila dijumlahkan akan
merupakan angka kematian bayi. Perincian lebih lanjut angka tersebut adalah untuk
membedakan kemungkinan penyebab kematian. Pada neonatal kematian biasanya
dipengaruhi oleh keadaan prenatal seperti malformasi konginetal, immanuritas, sedangkan
pada post neonatal biasanya kematian karena pengaruh lingkungan secara umum atau
penyakit infeksi.
5.    Angka lahi Mati ( Still Birth Rate )
Yaitu jumlah bayi yang lahir mati pada suatu daerah selama satu periode untuk tiap 1000
kelahiran (baik lahir hidup maupun lahir mati) pada periode yang sama.

Disini perlu dicatat adanya pengertian lahir hidup dan lahir mati. Lahir hidup ialah keluarnya
janin dari rahim ibu dengan menunjukkan tanda-tanda kehidupan (denyut jantung, denyut
vena umbilis, pergerakan otot volunter). Sedangkan lahir mati adalah keluarnya janin dari
rahim ibu tanpa kehidupan, sesudah umur kehamilan mencapai 20-28 minggu atau lebih.
6.    Angka kematian perinatal
Yaitu jumlah bayi yang lahir mati dan jumlah kematian bayi berumur kurang dari 7 hari,
pada suatu daerah selama satu periode untuk setiap 1000 kelahiran (baik lahir hidup
maupun mati) pada periode yang sama.

Kematian bayi yang terjadi pada umur kurang dari 7 hari dan lahir mati mempunyai sebab
kematian yang hamper sama dan ukuran yang dihasilkan (angka kematian perinatal)
merupakan indeks yang terpenting dari kualitas perawatan kehamilan.
7.    Angka kematian anak umur 1-4 tahun ( Child MR )
Yaitu jumlah kematian anak yang berumur 1-4 tahun yang terjadi dalam satu periode pada
wilayah tertentu untuk tiap 1000 penduduk berumur 1-4 tahun pada pertengahan tahun
periode yang sama.

Tingginya angka kematian anak umur 1-4 tahun dapat menunjukkan buruknya keadaan gizi
dan hygiene anak serta adanya infeksi penyakit menular ataupun terjadinya kecelakaan.
8.    Angka kematian balita
Yaitu jumlah kematian anak balita (dibawah umur 5 tahun) pada suatu wilayah tertentu
dalam satu periode untuk tiap 1000 anak balita pada periode yang sama.
Angka kematian balita ini menilai semua keadaan yang menyangkut kondisi perinatal,
keadaan gizi lingkungan dan penyakit menular.
c.    Angka kematian yang berhubungan dengan keadaan atau sebab kematian
1.    Angka kematian karena sebab tertentu
Yaitu jumlah kematian baik karena penyakit atau sebab kematian lain tertentu selama satu
periode pada suatu daerah untuk tiap 1000 penduduk pertengahan periode yang sama.

2.    Angka kematian karena satu penyakit


Yaitu jumlah kematian karena satu penyakit tertentu selama satu periode pada suatu
daerah, untuk tiap 1000 penderita penyakit tersebut selama periode yang sama.

3.    Angka proporsi atau rasio kematian karena penyakit tertentu (“Cause Specifio Proportional
Mortality Rate/Cause Specific Mortality”) Yaitu jumlah kematian karena satu penyakit
tertentuselama satu periode pada satu daerah, untuk tiap 1000 jumlah kematian karena
semua sebab dalam periode yang sama.

4.    Angka kematian ibu ( Maternal Mortality Ratio ) Yaitu jumlah kematian ibu karena
kehamilan,persalinan, masa nifas, atau komplikasi-komplikasinya selama satu periode,
untuk tiap 1000 kelahiran (hidup+mati) selama periode yang sama.

STANDARDISASI ANGKA KEMATIAN


Angka-angka kematian dalam bentuk rate dan ratio di atas, sudah merupakan angka
yang memuaskan dalam menyatakan nilai relatif, tetapi tidak menjelaskan probabilitas
kematian secara tepat. Bila akan membandingkan beberapa angka kematian dari wilayah
yang berbeda atau periode yang berbeda, maka angka-angka kematian tersebut harus
distandardisasi lebih dulu. Maksud standardisasi yaitu menghilangkan pengaruh-pengaruh
susunan penduduk (umur, jenis kelamin, golongan pekerjaan, ethnic dsb.).

Cara standardisasi ada dua yaitu, cara langsung dan cara tidak langsung
·      Cara langsung
Untuk membandingkan dua nilai angka kematian, digunakan wilayah ketiga sebagai
standar dimana diketahui data jumlah penduduk menurut umur, baik yang sebenarnya
maupun teoritis saja.
Contoh (1)
Jml.Pend
Daerah C
Daerah A Daerah B
Umur (standard "Expected
dalam ) Deaths"
tahun Jml. Jml. Jml.
Jml. ASDR ASDR
Pend Pend Kematia A B
Kematian o/oo o/oo
. . n

0- 500 2 4.0 400 1 2.5 1500 6 3.75


15- 2000 8 4.0 300 1 3.3 1000 4 3.3
30- 2000 12 6.0 1000 5 5.0 1000 6 5
45- 1000 10 10.0 2000 18 9.0 900 9 8.1
60- 500 20 40.0 2000 70 35.0 600 24 21
75- 1000 15 150.0 400 50 125.0 500 75 62.5
Semua
6100 67 11 6100 145 23.8 5500 124 103.65
Umur
Daerah A dan Daerah B mempunyai data jumlah penduduk dan Angka Kematian menurut
golongan umur. Dengan daerah C yang diketahui jumlah penduduknya menurut umur
sebagai standard, didapatkan angka kematian yang diharapkan baik untuk daerah A dan B.

Angka kematian daerah A sudah distandardisasi : 124/5500 x 1000 = 22.5 0/00


Angka kematian daerah B sudah distandardisasi : 103.65/5500 x 1000 = 18.7 0/00
Ratio angka kematian daerah A/ angka kematian daerah B = 22.5/18.7 = 1.1
Sebelum distandardisasi angka kematian daerah A lebih kecil dari pada daerah B, namun
sesudah distandardisasi angka kematian daerah A lebih besar daripada daerah B.
Contoh (2)
Disini digunakan wilayah ketiga sebagai standard, dimana jumlah penduduk daerah tersebut
dianggap sama untuk masing-masing golongan umur dan bersifat hipotetik saja.
Jumlah
pend.
Daerah A Daerah B
Umur Daerah "Expected
dalam standard Deaths"
tahun Jml. Jml.
Jml.kemati ASDR Jml.kemati ASDR
Pen Pend A B
an o/oo an o/oo
d. .

0- 500 2 4.0 400 1 2.5 1000 4.0 2.5


200
15- 0 8 4.0 300 1 3.3 1000 4.0 3.3
200
30- 0 12 6.0 1000 5 5.0 1000 6.0 5.0
100
45- 0 10 10.0 2000 18 9.0 1000 10.0 9.0
60- 500 20 40.0 2000 70 35.0 1000 40.0 35.0
100 150. 125.
75- 0 15 0 400 50 0 1000 150.0 125.0
Semua 610
67 11.0 6100 145 23.8 6000 214.0 179.0
Umur 0

Didapatkan angka kematian daerah A yang sudah distandardisasi =


2140/6000 x 1000 = 35,8 o/oo
Angka kematian daerah B yang sudah distandardisasi =
1790/6000 x 1000 = 30,0 o/oo. Ratio = 35,8/30,0 = 1,2
Hasil perbandingan angka kematian wilayah A dan B, seperti juga contoh (1), berbeda
sebelum dan sesudah dilakukan standardisasi.
Contoh (3)
Umur dalam Tahun 1938 Tahun 1941 Jumlah
"Expected Deaths"
tahun pend.
Jml. Pend. ASDR Jml. Pend. ASDR
rata-rata 1938 1941
o/oo o/oo o/oo o/oo
o/ oo

0- 350 5.0 300 4.0 325 1.625 1.300


15- 200 4.5 250 3.5 225 1.0125 1.7875
30- 200 7.5 150 6.0 175 1.3125 1.050
45- 150 15.0 150 10.0 150 2.250 1.500
60- 75 30.0 95 25.0 85 2.550 2.125
75+ 25 150.0 55 125.0 40 6.000 5.000

Semua Umur 1000 1000 1000 14.75 11.7625

Bila ingin membandingkan dua angka kematian dalam suatu wilayah dengan periode
berbeda, maka digunakan standard, dengan jumlah penduduknya adalah rata-rata jumlah
penduduk kedua periode tersebut.

Angka kematian yang sudah distandardisasi untuk tahun 1938 =


14.750/1000 x 1000 = 14.750 %
Tahun 1941 = 11.7625/14.750 = 0,80
-Indeks perbandingan kematian tahun 1938 = 14.750/14.750 = 1,0
Tahun 1941 = 11.7625/14.750 = 0,80
Jadi kesimpulannya ada penurunan kematian 20% pada tahun 1941 dibandingkan dengan
tahun 1938.
·      Cara tidak langsung
Untuk membandingkan dua nilai angka kematian, digunakan wilayah ketiga sebagai
standard, dimana yang diketahui adalah angka kematian menurut golongan umurnya.
Contoh (1)
Di daerah A dan daerah B tidak diketahui angka kematiannya tetapi di daerah C sebagai
standard diketahui jumlah penduduk dan angka kematiannya.
"Expected
Umur Daerah A Daerah B Daerah C
Deaths"
dlm
Jml. Jml. Jml. Jml. Jml. Jml.
tahun ASDR ASDR ASDR A B
Pend. Kematian Pend. Kematian Pend. Kematian

0- 500 400 1500 6 4.0 2.0 1.6


15- 2000 300 1000 7 7.0 4.0 2.1
30- 2000 1000 1000 8 8.0 16.0 8.0
45- 1000 2000 900 9 10.0 10.0 20.0
60- 500 2000 600 30 25.0 25.0 100.0
75+ 100 400 500 75 150.0 15.0 60.0
Semua
6100 67 11.061 145 23.8 5500 135 24.5 82 191.7
Umur

Indeks angka kematian daerah A = 82.0/6100 x 1000 = 13.4


B = 191.9/6100 x 1000 = 31.4
Faktor koreksi untuk angka kematian kasar daerah
A = 24.5/13.4 = 1.83
B = 24.5/31.4 = 0.77
Angka kematian yang sudah distandardisasi pada daerah
A = 11.0 x 1.83 = 20.13 0/00
B = 23.8 x 0.77 = 18.56 0/00
Ratio angka kematian yang sudah distandardisasi untuk daerah A dan B = 20.13/18.56 = 1.1
Contoh (2)
Bila ingin membandingkan dua nilai angka kematian dari kelompok dalam masyarakat,
(misal jenis pekerjaan) bisa digunakan cara standardisasi tak langsung ini. Sebagai nilai
standard adalah angka kematian menurut golongan umur di masyarakat dan bila nilai angka
kematian masyarakat ini diterapkan pada kelompok yang akan dibandingkan, didapatkan
nilai yang diharapkan (“Expected Death”). Kemudian nilai yang diharapkan tersebut
dibandingkan dengan nilai pengamatan (“observed deaths”) akan didapatkan Ratio angka
kematian yang sudah distandardisasi.

Jumlah pend. "Expected "Observed


Umur ASDR dlm
menurut sensus Deaths" Death"
dalam masy
Dokte Dokte
tahun o/oo Dokter Petani Petani Petani
r r

20 - 3.29 1874 69.909 6.0 230 8 162


161.27
25- 3.46 22834 1 79.0 558 73 404
174.77
35- 5.59 16993 6 95.0 997 89 637
183.39
45- 11.14 16248 1 181.0 2043 195 1453
169.63
55-65 33.55 17240 9 404.0 3995 449 3037

767.0 7803 814 5693

Ratio angka kematian yang sudah distandardisasi


Dokter = 814/767 = 1.06
Petani = 5693/7803 = 0.73
Dapat disimpulkan di sini bahwa kematian golongan petani lebih baik dari golongan dokter.
Secara keseluruhan kematian golongan petani lebih baik dari pada masyarakat, dan
sebaliknya dokter lebih buruk dari pada masyarakat. (Ratio kematian masyarakat adalah 1.0)

KELAHIRAN
Dalam ilmu Demografi, terdapat berbagai istilah yang saling tumpang tindih yang
berhubungan dengan kelahiran ini. Kelahiran adalah istilah yang mempunyai arti sempit,
sebagai proses kelahiran itu sendiri; fertilitas membicarakan tentang peranan kelahiran
pada perubahan penduduk; Natalitas membicarakan tentang peranan kelahiran pada
perubahan penduduk dan reproduksi manusia. Ukuran-ukuran yang menyatakan peristiwa
kelahiran tersebut adalah,

1. Angka Kelahiran Kasar (“Crude Birth Rate”)

Yaitu jumlah kelahiran hidup dalam satu periode suatu wilayah tertentu, untuk tiap 1000
jumlah penduduk pada pertengahan periode yang sama.

Angka kelahiran kasar ini juga belum menggambarkan fertilitas populasi karena angka
tersebut dipengaruhi oleh jumlah wanita berusia reproduksi. Untuk itu perlu dihitung angka
fertilitas umum (“General Fertility Rate”).

2. Angka Fertilitas Umum (“General Fertility Rate”)

Yaitu jumlah kelahiran hidup dalam satu periode di suatu wilayah, untuk tiap 1000 wanita
reproduksi (umur 15-49 tahun) pada pertengahan periode yang sama.

Angka ini juga masih terbatas karena belum memperhitungkan distribusi wanita menurut
umurnya pada usia reproduksi tersebut, sehingga perlu angka Fertilitas Khusus menurut
Umur “Age Specific Fertility Rates”.

3. Angka Fertilitas Khusus menurut Umur (“Age Specific Fertility Rates”)

Yaitu jumlah kelahiran hidup dari ibu-ibu yang berumur x tahun (golongan umur x) dalam
satu periode di suatu wilayah, untuk tiap 1000 wanita yang berumur x tersebut pada
pertengahan periode yang sama.

Bila angka fertilitas khusus menurut umur ini dihitung lebih lanjut, akan didapatkan angka
fertilitas total (“Total Fertility Rate”)

4. Angka Fertilitas Total (“Total Fertility Rate”)


Yaitu jumlah semua angka fertilitas khusus menurut umur tiap tahun pada wanita berumur
reproduksi (15-49 tahun). Apabila angka fertilitas khusus menurut umur wanita usia
reproduksi tersedia dalam kelompok 5 tahunan, maka angka fertilitas totalnya = 5 ∑ angka
fertilitas menurut umur kelompok 5 tahunan. Angka ini memperkirakan rata-rata jumlah
anak yang dilahirkan pada masa reproduksi wanita. Angka fertilitas total ini sangat erat
hubungannya dengan analisis kecenderungan populasi.

5. Jumlah anak yang dilahirkan (“Children Ever Born”) yaitu rata-rata jumlah kelahiran
hidup pada sekelompok wanita tertentu.

Angka ini tidak menyangkut waktu, dan mudah didapatkan datanya dari sensus dan survey.
Tetapi karena menyangkut kelompok umur, maka ada kemungkinan besar kesalahan
kelompok umur penduduk, yang dapat juga mempengaruhi angka ini.

6. Ratio Wanita Anak (“Child Woman Ratio”) yaitu jumlah anak di bawah umur 5 tahun
untuk tiap 1000 penduduk wanita usia reproduksi di suatu daerah.

Angka ini dipengaruhi oleh tingkat kematian anak yang lebih besar dari orang tua, sehingga
rasio wanita-anak ini selalu lebih kecil dari tingkat fertilitas yang seharusnya.

7. Angka Reproduksi Gross (“Gross Reproduction Rate”) yaitu jumlah kelahiran bayi
wanita dalam satu periode di suatu wilayah, untuk tiap 1000 wanita berusia
reproduksi (berumur 15-49 tahun).

Angka reproduksi gross ini seperti juga angka Fertilitas total, dapat memperkirakan jumlah
penduduk tetapi berdasarkan hanya kelahiran bayi wanita.

8. Angka Reproduksi Net (“Net Reproduction Rate”)


Yaitu perkalian antara Angka Reproduksi Gross dengan jumlah bayi wanita yang akan
mencapai usia reproduksi untuk tiap bayi wanita yang dilakukan.

Angka ini sudah memperhitungkan kondisi-kondisi yang menyebabkan kematian wanita


tersebut untuk mencapai usia reproduksinya.

STANDARDISASI
Bila ingin membandingkan angka fertilitas, dilakukan cara standardisasi yang sama
seperti pada angka kematian, kecuali pada angka fertilitas total (“Total Fertility Rate”) yang
sudah merupakan standard.
PENYAKIT
Peristiwa sakit adalah keadaan selain sehat. Statistik penyakit tersebut juga statistik
morbiditas, dimana pengukuran peristiwa sakit atau penyakit, masih sukar karena sakit
dapat berlangsung dalam suatu periode waku tertentu, dapat kambuh, berat ringannya
penyakit yang berbeda-beda serta seseorang mungkin menderita beberapa penyakit
sekaligus.
Beberapa hal harus diperhatikan dalam pengumpulan data sakit ini yaitu, umur, jenis
kelamin, pekerjaan, tempat terjadinya, jumlah penderita dan peristiwa penyakit, jumlah
penderita baru, serta lamanya penyakit berlangsung. Sumber data sakit bisa didapatkan dari
tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dokter praktek swasta,
perusahaan asuransi kesehatan, juga observasi sekolah/karyawan, dan yang terbaik adalah
survei penyakit.
1.      Rate Insidens (“Incidence Rate”)
Yaitu jumlah kasus baru dari satu penyakit tertentu yang timbul atau dilaporkan selama satu
periode di suatu wilayah, umur tiap 1000 penduduk pada pertengahan periode yang sama.
2.      Rate Prevalens Period (“Periode Prevalence Rate”)
Yaitu jumlah penyakit/penderita penyakit tertentu yang ada selama satu periode di suatu
wilayah, untuk tiap 1000 penduduk pada pertengahan periode yang sama.
3.      Rate Prevalens Titik (“Point Prevalence Rate”)
Yaitu jumlah kasus suatu penyakit pada satu saat tertentu di suatu wilayah, untuk tiap 1000
penduduk pada saat itu juga.
4.      Rate Prevalens Rata-rata (“Average Prevalence Rate”)
Yaitu jumlah semua rate prevalens titik selama satu periode untuk tiap lama titik prevalenst
tersebut (biasanya jumlah dalam hari).
5.      Rata-rata lama sakit (“Average Duration of Illness”)
Yaitu jumlah semua lamanya penyakit tertentu berlangsung untuk tiap peristiwa penyakit
tersebut.
6.      Hubungan antara prevalens suatu periode tertentu berbanding lurus dengan perkalian
antara insiden pada periode yang sama dan lamanya sakit, yang dinyatakan dalam satuan
periode termaksud
Rumus = P=IxD P = Prevalens
I = Insidens
D = Lamanya sakit
7.      Ratio Immaturitas (“Immaturity Ratio”)
Yaitu jumlah bayi yang dilahirkan hidup dengan berat badan kurang dari 2500 gram
(immatur) selama satu periode di suatu wilayah untuk tiap 100 kelahiran hidup pada
periode yang sama.
8.      Rate Serangan Kedua (“Secondary Attack Rate”)
Yaitu jumlah kasus tambahan karena kontak dengan sumber primer dengan masa inkubasi
maximum untuk tiap 100 jumlah kasus yang bisa menular.

TABEL KEMATIAN KLINIK


Teknik (tabel kematian) dimulai penggunaannya oleh mereka yang berkecimpung
dalam bidang kependudukan. Teknik ini dengan pesat menyebar ke bidang pengetahuan
lainnya. Saat ini ada tiga tipe table kematian yang banyak digunakan dalam analisis
penelitian, yaitu: Tabel Kematian Kependudukan, Tabel kematian klinik, Tabel kematian
kohort.
Tabel kematian kependudukan diperkenalkan pertama kalinya oleh E.Halley pada
tahun 1693. Ia menggunakan teknik ini untuk memberikan gambaran kematian yang dialami
oleh sekelompok individu. Sedangkan tabel kematian kohort menggambarkan perjalanan
kehidupan sebenarnya yang dialami oleh sekelompok individu yang mempunyai tanggal
kelahiran yang sama. Tabel kematian kohort merupakan teknik yang jarang digunakan.
Tabel kematian klinik adalah teknik tabel kematian yang biasanya digunakan pada
penelitian klinik atau laboratorium dimana diperlukan pengawasan yang lama terhadap tiap
pasien.
ANALISIS WAKTU HIDUP
Dalam tabel kematian klinik, waktu hidup (“survival time”) dari tiap pasien dimanati
selama periode tertentu. Analisis waktu hidup (“survival time”) tiap pasien adalah penting,
dalam mengevaluasi prognosis suatu penyakit atau kemanfaatan suatu pengobatan (waktu
hidup) bukan hanya berarti waktu dari timbulnya penyakit sampai kematian, tapi dapat
berupa waktu mulai dari pengobatan sampai timbulnya reaksi perbaikan, lamanya waktu
remisi, lamanya waktu bebas tumor atau lain-lain reaksi yang timbul dalam mengamati
waktu hidup. Jadi titik akhir dari suatupengamatan terhadap “survival time” tidak selalu
berupa kematian.
Untuk jelasnya marilah kita mengamati contoh data yang menyangkut penderita
tumor paru-paru. Dalam penelitian seperti ini biasanya pasien masuk ke dalam penelitian
tidak sekaligus bersama-sama. Kita biasanya menerima pasien pada saat pasien datang
untuk berobat ke rumah sakit. Lalu kita mengikuti pasien tersebut sampai kematian atau
sampai waktu penelitian berakhir.
Sayangnya, sebagian dari pasien tidak dapat diamati sampai kematiannya, atau sampai akhir
dari penelitian. Dalam hal ini peneliti tidak dapat menentukan status dari pasien tersebut
apakah masih hidup atau telah meninggal. Pasien seperti ini berstatus hilang (“lost to
follow-up”). Adapula pasien yang mengundurkan diri dari penelitian. Misalnya karena
komplikasi yang diderita, pasien tidak memercayai tim peneliti lagi atau pasien pindah
tempat tanpa memberitahukan alamat barunya. Pasien seperti ini berstatus mengundurkan
diri.
kasus-kasus seperti yang dijelaskan di atas. Pasien pertama mengikuti penelitian
tidak lama setelah penelitian dimulai dan dalam waktu yang singkat meninggal dunia. Pasien
kedua meninggal setelah cukup lama mengikuti penelitian, sedangkan pasien ketiga
mengundurkan diri tidak lama setelah penelitian. Pasien keempat “hilang” dari pengamatan
setelah mengikuti penelitian selama 1,5 tahun. Pasien terakhir berhasil diamati sampai akhir
dari penelitian. Pasien ini berstatus masih hidup, jadi statusnya adalah sama dengan pasien
yang mengundurkan diri. Untuk mudahnya pasien ketiga dan kelima dikelompokkan
kedalam satu status “mengundurkan diri”.
Dalam analisis penelitian di atas kita mengasumsikan bahwa pengobatan dan karakteristik
dari pasien tidak berubah selama waktu penelitian tersebut, sebab itu saat pasien memasuki
penelitian dapat dipindahkan ke permulaan penelitian. Dengan perkataan lain risiko
kematian tidak tergantung pada waktu.
Dalam tabel kematian kependudukan, menentukan saat mulainya “survival time” adalah
mudah, yakni saat kelahiran. Tapi dalam tabel kematian klinik hal ini merupakan suatu
kesulitan. Suatu penyakit biasanya tidak jelas saat mulainya. Kita menginginkan permulaan
“survival time” yang sama untuk semua pasien. Idealnya saat timbulnya gejala pertama
(“date of onset”) merupakan waktu yang terbaik sebagai titik permulaan “survival time”
menentukan prognosis suatu penyakit. Tetapi “date of onset” ini sangat sulit untuk
ditentukan karena tergantung dari kemampuan penderita untuk mengingat kembali
kejadian-kejadian masa lalu dan juga tergantung dari keahlian si dokter dalam
mewawancarai penderita mengenai riwayat perjalanan penyakitnya. Jadi ,”date of onset”
merupakan titik permulaan “survival time” yang sulit ditentukan secara akurat. Biasanya
saat penyakit didiagnosis, saat pasien mulai atau berhenti berobat, saat masuk atau kelar
dari rumah sakit, saat pasien dioperasi atau selesai dioperasi dipakai sebagai titik permulaan
“survival time”.
Setelah titik permulaan “survival time” ditentukan selanjutnya dilakukan
pengamatan pasien menurut jadwal tertentu. Tak kalah pentingnya adalah menentukan titik
akhir “survival time” secara jelas dan terperinci. Kematian merupakan titik akhir dari
“survival time” yang mudah ditentukan apabila fenomena yang diamati adalah suatu
kehidupan. Tetapi apabila yang diamati bukan suatu kehidupan, maka kematian bukan
merupakan suatu titik akhir “survival time”.
Pada prinsipnya titik akhir “survival time” harus merupakan variabel dikotom. Yakni variabel
yang hanya mempunyai dua kemungkinan kategori. Misalnya dalam mengamati garis
kehidupan hanya ada dua kemungkinan, yaitu hidup atau mati. Di samping pembatasan ini,
tiap penderita harus mempunyai hanya satu titik akhir dalam satu periode penelitian .
Teknik tabel kematian tidak mengijinkan adanya titik akhir yang lebih dari satu. Misalnya
pada titik akhir yang berupa remisi keganasan tertentu, tidak dibolehkan adanya multipel
remisi. Teknik ini masih dapat digunakan pada multipel remisi, bila analisis dilakukan secara
terpisah. Misalnya dilakukan analisis tersendiri untuk remisi pertama, remisi kedua, dan
seterusnya.
Tabel kematian klinik dapat dibagi menjadi 2 tipe :
1)      “Acturial life table”, dimana dalam analisis digunakan data yang sudah dikelompokkan.
Biasanya menyangkut penelitian yang jumlah sampelnya besar.
2)      “Kaplan Meier Life Table”, dimana data yang digunakan adalah observasi perseorangan,
bukan data yang sudah dikelompokkan.

5. Pencegahan penyakit menurut leavel dan clark


Pelayanan kesehatan dan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dapat
dilakukan dengan berdasarkan tingkat pencegahan sebagai upaya promotif dan preventif.

Upaya pencegahan menurut teori Leavel dan Clark (Maulana, 2009) dibedakan menjadi 3 yaitu :

1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah peningkatan kesehatan dan perlindungan umum dan khusus terhadap
penyakit-penyakit tertentu adalah usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit (pre pathogenesis),
dan disebut dengan pencegahan primer.
Pencegahan primer dilakukan pada masa individu yang belum menderita sakit. Pencegahan primer
terdiri dari promosi kesehatan (health promotion) dan perlindungan khusus (spesifiic protection).

a) Promosi Kesehatan (Health Promotion)

Health promotion bertujuan untuk meningkatkan, memajukan dan membina koordinasi sehat yang
sudah ada hingga dipertahankan dan dijauhkan dari ancaman penyebab penyakit atau agent secara
umum. Pendidikan kesehatan yang diperlukan antara lain : Meningkatnya gizi, Perbaikan sanitasi
lingkungan, Ph(derajat keasaman), Pendidikan sifat umum, Nasihat perkawinan, Penyuluhan
kehidupan sex, Olahraga dan kebugaran jasmani, Pemeriksaan secara berkala, Meningkatnya
standar hidup dan kesejahteraan keluarga, Nasihat tentang keturunan, Penyuluhan tentang PMS,
Penyuluhan AIDS.

b) Spesific Protection

Spesific protection adalah upaya spesifik untuk mencegah terjadinya penularan penyakit tertentu.
Spesific protection terdiri dari (Efendi, 1998 ; Maulana, 2009 ) :
1) Memberikan imunisasi pada golongan yang rentan untuk mencegah terhadap penyakit-penyakit
tertentu. Contohnya : imunisasi hepatitis diberikan kepada mahasiswi kebidanan yang akan praktek
di rumah sakit.

2) Isolasi terhadap penderita penyakit menular.

Contohnya : isolasi terhadap pasien penyakit flu burung.

3) Perlindungan terhadap kemungkinan kecelakaan di tempat-tempat umum dan di tempat kerja.


Contohnya : di tempat umum, misalnya adanya rambu-rambu zebra cross agar pejalan kaki yang
akan menyebrang tidak tertabrak oleh kendaraan yang sedang melintas. Sedangkan di tempat kerja:
para pekerja yang memakai alat perlindungan diri.

4) Peningkatan keterampilan remaja untuk mencegah ajakan menggunakan narkotik. Contohnya :


kursus-kursus peningkatan keterampilan, seperti kursus menjahit, kursus otomotif.

5) Penanggulangan stress. Contohnya : membiasakan pola hidup yang sehat , dan seringnya
melakukan relaksasi.

2. Pencegahan sekunder

Penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, disebut pencegahan
sekunder (seconder preventive). Pencegahan sekunder dilakukan pada masa individu mulai sakit.
Pencegahan sekunder bentuknya upaya diagnosis dini dan pengobatan segera ( early diagnosis and
prompt treatment ).

a) Early diagnosis

Early diagnosis mengandung pengertian diagnosa dini atau tindakan pencegahan pada seseorang
atau kelompok yang memiliki resiko terkena penyakit.

Tindakan yang berupaya untuk menghentikan proses penyakit pada tingkat permulaan sehingga
tidak akan menjadi parah. Prinsipnya diterapkan dalam program pencegahan, pemberantasan dan
pembasmian macam penyakit baik menular ataupun tidak dan memperhatikan tingkat kerawanan
penyakit terhadap masyarakat yang tinggi. Misalnya : TBC paru-paru, kusta, kanker, diabetes,
jantung dll.

Tindakan pencegahan meliputi :

1) Upaya penemuan kasus (case finding) tertuju pada individu, keluarga, masyarakat. Misalnya :
anemia gravidarum, dll.

2) Survey kesehatan, untuk memperoleh data tentang prestasi dari penyakit banyak diderita
masyarakat, sehingga dapat didiagnosis secara dini untuk diberi pengobatan segera.

3) Papsmear, tujuan untuk deteksi dini adanya kanker serviks sehingga dapat dilakukan pengobatan
tindakan segera.

4) Pemeriksaan rutin pada tiap individu.

5) Pengawasan obat-obatan, termasuk obat terlarang yang diperdagangkan secara bebas (golongan
narkotika).

6) Mencegah yang sudah ada agar tidak meningkatkan lebih lanjut. Misalnya : flu burung, papsmear.
b) Prompt treatment

Prompt treatment memiliki pengertian pengobatan yang dilakukan dengan tepat dan segera untuk
menangani berbagai masalah yang terjadi. Prompt treatment merupakan tindakan lanjutan dari
early diagnosis. Pengobatan segera dilakukan sebagai penghalang agar gejala tidak menimbulkan
komplikasi yang lebih parah.

3. Pencegahan tersier

Pembatasan kecacatan dan pemulihan kesehatan disebut pencegahan tersier (tertiary prevention).
Pencegahan tersier bentuknya membatasi ketidakmampuan/kecacatan (disability limitation) dan
pemulihan kesehatan (rehabilitation). Pada proses ini diusahakan agar cacat yang diderita tidak
menjadi hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik, mental
dan sosial.

a. Disabilition (Pembatasan kecacatan)

Pencegahan dilakukan dalam taraf penyakit sudah nyata bahkan sudah lanjut sehingga penderita
dalam keadaan disable (tidak sanggup melakukan aktivitas yang biasa dikerjakan walau tidak sakit).
Sehingga penderita bisa sembuh.

Tindakan pencegahan meliputi :

1) Pengobatan agar tidak makin parah

2) Mencegah supaya penderita tidak mati

3) Mencegah kecacatan yang menetap

4) Mencegah penyakit menjadi tidak menahun

b. Rehabilitasi (pemulihan)

1) Ruang dokter, yaitu pemulihan fungsi organ yang baru sembuh/mengalami kelainan yang
menetap/cacat.

2) Ruang biang diklat keterampilan, yaitu berupaya memulihkan kembali kemampuan


profesionalnya sehingga dapat bekerja kembali di masyarakat.

3) Ruang sosial, yaitu memulihkan kembali kehidupan sosial masyarakat sehingga masyarakat mau
menerima kembali. Misalnya, sembuh dari penyakit kusta.

4) Ruang kejiwaan (psikologi), yaitu upaya memulihkan kepercayaan dan harga diri penderita setelah
sembuh dari penyakit. Misalnya :

a) Tempat pendidikan untuk tuna netra dan rungu

b) Tempat pendidikan untuk anak cacat

c) Bedah rekonstruksi untuk mantan penderita kusta


d) Fisioterapi dan latihan untuk penderita polio

6. Terjadi nya penyakit difteri menurut segitiga epidemiologi

I. Terjadinya penyakit difteri menurut segitiga epidemiologi

Beberapa model penyebab majemuk:

 Segitiga epidemiologi
 Jaring-jaring sebab akibat
 Model Roda

1. Segitiga Epdemiologi

Faktor Host
Menurut teori Achmadi, faktor host pada timbulnya suatu penyakit sangat luas.
Hubungan interaktif antara faktor penyebab, faktor lingkungan penduduk berikut
perilakunya dapat diukur dalam konsep yang diukur sebagai perilaku pemajanan. Faktor
host yang mempengaruhi kejadian penyakit pada umumnya adalah umur, status imunisasi,
status gizi dan staus sosial ekonomi, juga perilaku.
- Umur: Umur merupakan faktor host yang terpenting dalam munculnya penyakit. Hal ini
berhubungan dengan kerentanan yang ada pada host yang dipengaruhi faktor umur. Ada
beberapa penyakit yang dominan menyerang pada kelompok anak-anak umur tertentu atau
sebaliknya ada yang hanya menyerang pada golongan umur lanjut usia. Menurut sejarah
difteri masih merupakan penyakit utama yang menyerang masa anak-anak, populasi yang
dipengaruhi adalah usia dibawah 12 tahun. Bayi akan mudah terserang penyakit difteri
antara usia 6 – 12 bulan setelah imunitas bawaan dari ibu melalui transplasenta menurun.
Penyakit difteri banyak menyerang kelompok umur anak-anak. Sementara menurut
data CDC’s National Notifiable Diseases Surveillance System, mayoritas kasus difteri (77%)
berusia antara 15 tahun atau lebih tua, 4 dari 5 kematian terjadi pada anak yang tidak
divaksinasi. Namun setelah dilakukannya program imunisasi kasus difteri pada anak-anak
menurun secara drastis. Bahkan pada saat ini difteri telah bergeser pada populasi remaja
dan dewasa.
- Status Imunisasi : Sebagaimana kita mafhum, faktor imunitas sangat berpengaruh pada
timbulnya suatu penyakit, termasuk difteri. Sistem imunitas yang terbentuk pada tubuh
seseorang ada yang didaptkan secara alamiah atau buatan. Untuk imunitas alamiah ada
yang bersifat aktif yaitu imunitas yang diperoleh karena tubuh pernah terinfeksi agent
penyakit sehingga tubuh memproduksi antibodi dan bersifat dan bersifat tahan lama.
Imunitas alamiah pasif adalah imunitas yang dimiliki bayi yang berasal dari ibu yang masuk
melalui plasenta, imunitas seperti ini tidak tahan lama dan biasanya akan menghilang
sebelum 6 bulan. Imunitas dapatan juga ada yang bersifat aktif yaitu jika host telah
mendapat vaksin atau toksoid, sedangkan imunitas dapatan pasif jika host diberi gamma
globulin dan berlangsung hanya 4-5 minggu.
Vaksin dapat melindungi dari infeksi dan diberikan pada masa bayi. Pemberian
imunisasi pada sebagian besar komunitas akan menurunkan penularan penyebab penyakit
dan mengurangi peluang kelompok rentan untuk terpajan agen tersebut. Imunisasi selain
dapat melindungi terhadap infeksi akan memperlambat laju akumulasi individu yang rentan
terhadap penyakit tersebut.
Terbentuknya tingkat imunitas di kelompok masyarakat sangat mempengaruhi
timbulnya penyakit di masyarakat, dengan terbentuknya imunitas kelompok, anak yang
belum diimunisasi akan tumbuh menjadi besar atau dewasa tanpa pernah terpajan oleh
agen infeksi tersebut. Akibatnya bisa terjadi pergeseran umur rata-rata kejadian infeksi ke
umur yang lebih tua.

- Faktor status gizi dan sosial ekonomi : Faktor sosial yang terkait erat dan berkontribusi
besar dalam penyebaran difteri adalah kemiskinan yang terkait dengan aspek kepadatan
hunian dan rendahnya hygiene sanitasi kulit.
Terdapat hubungan yang saling terkait antara asupan gizi dan penyakit infeksi. Pasa
satu sisi penyakit infeksi menyebabkan hilangnya nafsu makan, sehingga asupan gizi
menjadi berkurang, sebaliknya tubuh sedang memerlukan masukan yang lebih banyak
sehubungan dengan adanya destruksi jaringan dan suhu yang meninggi, hingga anak dalam
malnutrisi marginal menjadi lebih buruk keadaannya. Keadaan gizi yang memburuk
menurunkan daya tahan terhadap infeksi sehingga akan lebih cepat menjadi sakit.
Sementara berkurangnya antibodi dan sistem imunitas akan mempermudah tubuh
terserang infeksi seperti; pilek, batuk dan diare.

Faktor Agen :
Agent penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk
batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksioleh kuman sifatnya
tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaituexotoxin. Exotoxin yang
diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yangtidak tahan terhadap panas dan
cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bilaterinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toksigen. Toxin difteri ini, karenamempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type
intermedius dan typegravis.
Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis
menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7
termasuk tipe gravis yang tidak ganas,sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak
ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa. Organisme ini
terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri initumbuh dan mengeluarkan
eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersamadengan leukosit, eritosit, dan bakteri
membentuk eksudat berwarna kelabu suramyang disebut pseudomembran pada faring. Di
dalam pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika
pseudomembran ini meluas sampai ketrakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si
penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman
ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi
sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus
penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Pada pseudomembran bisa bertahan hidup selama 14 hari, pada suhu 58oC bisa
bertahan selama 10 menit sedangkan pada air mendidih hanya tahan 1 menit. Bakteri ini
akan mati jika kontak dengan desinfektan. Menurut sebuah hasi penelitian,
corynebacterium diphtheriae dapat bertahan hidup di lingkungan dalam keadaan kering
pada tekstil, kaca, dan di pasir dan debu untuk jangka waktu hingga 7 bulan. Secara
epidemiologis, diketahui bahwa sumber penyakit difteri atau disebut juga reservoir adalah
manusia (baik penderita maupun karier). Menurut data di negara endemis difteri 3%-5%
individu sehat mengandung bakteri difteri di tenggorokan mereka. Sementara cara
penularan penyakit difteri melalui cara penularan tidak langsung, antara lain merupakan
salah satu jenis airborne diseaase, bakteri terpercik terbawa dalam droplet ketika penderita
atau karier bersin, batuk atau berbicara. Sedangkan cara lain dapat terbawa beberapa
peralatan, seperti ketika droplet terbawa saluran pemanas atau pendingin ruangan dalam
gedung atau disebarkan melalui kipas angin ke seluruh bangunan atau kompleks bangunan.

Faktor Lingkungan:
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri antara lain meliputi
tingkat kepadatan hunian rumah, sanitasi rumah, serta faktor pencahayaan dan ventilasi.
Faktor lingkungan fisik yang meliputi kondisi geografi, udara, musim dan cuaca sangat
mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap jenis penyakit tertentu. Hal ini berkaitan
dengan kebiasaan seseorang dalam adapatasi dengan lingkungannya tersebut.
Kepadatan penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah memunculkan slum
area dengan segala problem kesehatan masyarakatnya. Sementara ditingkat rumah tangga,
kepadatan hunian rumah berpotensi melebihi syarat yang telah ditentukan. Ukuran
kepadatan hunian rumah ini antara lain bisa dilihat dari kepadatan hunian ruang tidur.
Standar yang dipersyaratkan sesuai Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter persegi dan tidak
dianjurkan digunakan oleh lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak
dibawah umur 5 tahun.
Sedangkan standar luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai dan sebaiknya udara
yang masuk adalah udara segar dan bersih. Selain aspek tersebut, persyaratan rumah sehat
lain adalah pencahayaan alami, yang berfungsi sebagai penerangan juga mengurangi
kelembaban ruangan, serta membunuh kuman penyakit karena sinar ultra violet yang
berasal dari cahaya matahari.
Selain faktor kepadatan hunian, mobilitas penduduk yang tinggi juga berpotensi
meningkatkan resiko kejadian difteri. Moblitas tinggi meningkatkan resiko kemungkinan
membawa bibit penyakit dari satu daerah ke daerah lainnya.

Interaksi Faktor Penyebab / Agen, Host dan Lingkungan


Interaksi antara faktor penyebab, host dan lingkungan adalah keadaan yang saling
mempengaruhi dalam menimbulkan suatu penyakit, Sesuai teori John Gordon suatu
penyakit dapat timbul karena terjadi ketidak seimbangan antara penyebab penyakit dengan
host, ketidak seimbangan mana bergantung pada sifat alami dan karakteristik dari faktor
penyebab dan host baik secara individu maupun kelompok dan karakteristik faktor
penyebab dan host berikut interaksinya secara langsung berhubungan dengan dan
tergantung pada keadaan alami dari lingkungan sosial, fisik, ekonomi dan biologis.
Terjadinya penyakit difteri juga disebabkan adanya perubahan keseimbangan yaitu adanya
perubahan pada faktor host, misalnya bertambahnya jumlah orang yang rentan terhadap
Corynebacterium diphtheria. Kerentanan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti status
imunisasi, status gizi, faktor sosial ekonomi dan perilaku host.

2. Model Roda
Lingkungan Sosial

Anak dibawah 14
Tahun
Imunisasi
Imunisasi yang
tidak diketahui

Penjelesan :
- Adanya faktor sosial, menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara anak
anak yang positif terinfeksi penyakit difteri tersebut dengan anak yang sudah
terinfeksi terlebih dahulu.
- Usia anak dibawah 14 Tahun, menunjukkan bahwa usia tersebut merupakan usia
yang cukup rentan terkena penyakit menular, seiring dengan status gizi.
- Imunisasi yang tidak diketahui, menunjukkan bahwa anak anak tersebut dinyatakan
Riwayat vaksinasi DPT tidak diketahui, dalam artian belum pastinya bahwa saat
balita tidak melakukan imunisasi lengkap yang mengakibatkan anak anak tersebut
rentan untuk mudah terserang penyakit menular. Yang dimana manfaat imunisasi itu
sendiri sangatlah penting karna Imunisasi adalah suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau hanya mengalami sakit ringan.

3. Jaring jaring Sebab Akibat


Menurut model ini, penyakit tidak tergantung pada satu sebab saja yang berdiri sendiri,
melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses “sebab dan akibat”. Dengan demikian
maka timbunya penyakit dapat dicegah atau diatasi dengan cara memotong rantai pada
berbagai titik. Berdasarkan metode ini, dalam scenario yang telah diberikan, kita harus
melakukan intervensi berdasarkan penyebab utama dari penyakit ini.

Gizi buruk

Imunisasi DPT Imunitas

Ekonomi (-)
Infeksi Corynebacterium
diphtheriae
Anak anak usia Difteri
dibawah 14 tahun higienis buruk
Kontak sosial

Pendidikan (-)
7.Definisi sehat menurut WHO
I. PENGERTIAN SEHAT
Definisi sehat menurut kesehatan dunia (WHO) adalah suatu keadaan
sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari
penyakit atau kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya
sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih kepada perasan sehat, sejahtera dan
bahagia ( well being ), ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat
merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta mampu
mengatasi tantangan hidup sehari-hari.
UU 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

II. MANFAAT ANTIBIOTIK


Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang
mempunyai kemampuan dalam larutan encer untuk menhambat pertumbuhan
atau membunuh mikroorganisme, contohnya penisilin, sefalosporin,
kloramfenikol, tetrasiklin, dan lain-lain.
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat menghambat
pertumbuhan bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik (contohnya
sulfonamid, trimetroprim, kloramfenikol, tetrasiklin, linkomisin dan klindamisin)
dan ada yang bersifat membunuh bakteri, dikenal sebagai aktivitas bakterisid
(contohnya penisilin, sefalosporin, streptomisn, neomisin, kanamisin, gentamisin
dan basitrasin). Pada kondisi immunocompromised (misalnya pada pasien
neutropenia) atau infeksi dilokasi yang terlindung (misalnya pada cairan
cerebrospinal), maka antibiotik bakterisid harus digunakan (Kemenkes, 2011;
Setiabudy, 2011)
Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu
(Kasper et. al., 2005, Setiabudy, 2011) :
1. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri
terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu komples polimer mukopeptida
(glikopeptida).Obat ini dapat melibatkan otolisin bakteri (enzim yang
mendaur ulang dinding sel) yang ikut berperan terhadap lisis sel. Antibiotik
yang termasuk dalam kelompok iniseperti beta-laktam (penisilin,
sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase),
basitrasin, dan vankomisin.Pada umumnya bersifat bakterisidal.
2. Memodifikasi atau menghambat sintesis protein. Sel bakteri mensintesis
berbagai protein yang berlangsung di ribosom dengan bantuan mRNA dan
tRNA.Penghambatan terjadi melalui interaksi dengan ribosom bakteri.Yang
termasuk dalam kelompok ini misalnya aminoglikosid, kloramfenikol,
tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin,
mupirosin, dan spektinomisin.Selain aminoglikosida, pada umumnya
antibiotik ini bersifat bakteriostatik.
3. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya
trimetoprim dan sulfonamid.Pada umumnya antibiotik ini bersifat
bakteriostatik.
4. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon,
nitrofurantoin.
5. Mempengaruhi permeabilitas membran sel bakteri. Antibiotika yang
termasuk adalah polimiksin
8.Definisi Vaksinasi
III. MANFAAT VAKSINASI
 Pengertian Vaksin
Vaksin adalah antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati,
masih hidup tapi dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, yang telah
diolah, berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid,
protein rekombinan yang apabila diberikan kepada seseorang akan
menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit infeksi
tertentu.
 Pengertian Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak
diimunisasi, berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit
tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum
tentu kebal terhadap penyakit yang lain. Imunisasi adalah suatu upaya
untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan

 Mengapa imunisasi penting?


Menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat
Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi. Secara umun tujuan
imunisasi antara lain :
1) Melalui imunisasi, tubuh tidak mudah terserang penyakit
menular.
2) Imunisasi sangat efektif mencegah penyakit menular.
3) Imunisasi menurunkan angka mordibitas (angka kesakitan) dan
mortalitas (angka kematian) pada balita
 Manfaat imunisasi :
1. Untuk anak: mencegah penderitaan yang disebabkanoleh
penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian.
2. Untuk keluarga: menghilangkan kecemasan dan psikologi
pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga
apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa
kanak-kanak yang nyaman.
3. Untuk negara: memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan
bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan
negara.
Daftar Pustaka
1. Lestari KS. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Difteri di Kabupaten
Sidoarjo. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Kesehatan
Masyarakat Kekhususan Epidemiologi Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia ;
2012
2. Fauziah A, Notoadmojo S, Masyitah S. Determinan Kejadian Difteri di Rumah Sakit
Umum (RSU) Kabupaten Tanggerang. Jurnal Formil (Forum Ilmiah) KesMas
Respati. 2018 : 3(2) ; 85-86
3. Alfina R, Isfandiari MA. Faktor yang Berhubungan dengan Peran Aktif Kader dalam
Penjaringan Kasus Probable Difteri. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2015 : 3(3) ; 353-
365
4. Hartoyo E. Difteri pada Anak. Jurnal Sari Pediatri. 2018 : 19(5) ; 300-306
5. Mardiana DE. Pengaruh Imunisasi dan Kepadatan Penduduk terhadap Prevalensi
Penyakit Difteri di Jawa Timur. Jurnal Berkala Epidemiologi. 2018 : 6(2) ; 122-129
6. Sariadji K, Surnano. Toksigenitas Corynebacterium diphtheria pada Sampel Kejadian
Luar Biasa Difteri Tahun 2010-2015 Menggunakan Elektes. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2017 : 6(1) ; 208-212
7. Irwan. Epidemiologi Penyakit Menular. Edisi ke-1. Absolute Media. 2017
8. Sumampow OJ. Program Pemberantasan Penyakit Menular. Manado : Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi ; 2017
9. Sahbani I, Arafat MY, Saufi H, dkk. Konsep Penyebaran Penyakit Cacingan di SDN
Sungai Tiung 3 Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru, Banjarbaru : Program Studi
S-1 Teknik Lingkungan Universitas Lambung Mengkurat ; 2015
10. Amiruddin R . Mengembangkan Evidence Based Public Health(EBPH)HIV dan Based Public
Health(EBPH)Surveilans. Jurnal AKK.2013;vol(2):48-55
11. Santoso H.Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Wabah Penyakit
Menular:badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI;2005.

Anda mungkin juga menyukai