1 SM
1 SM
ABSTRACT: This study aimed to determine the role of social skill training in improving social skills.
Data collection methods used in this study are interviews, WAIS testing, projective test, and SSCT.
The subject of the study was an 18 years old male who had a catatonic schizophrenic disorder who
did not want to interact socially before entering Menur Psychiatric Hospital. The intervention given
was Social Skill Training to improve social skills in 7 sessions. Through Social Skill Training, subjects
are trained in various social skills, such as greeting, introducing themselves, communicating lightly
and to make friends so that the subject is no longer to be silent and sculpting in the room and make
the subject be able to go to school again. The results showed a number of changes, such as subjects
who were able to greet, introduce themselves first, even able to have small conversations with people
around the subject.
ABSTRAK: Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui peranan Social Skill Training dalam
meningkatkan keterampilan sosial. Metode pengumpulan data yang dilakukan pada penelitia ini
adalah wawancara, pemberian tes WAIS, Grafis, dan SSCT. Subjek penelitian adalah seorang laki-
laki berusia 18 tahun yang mengalami gangguan skizofrenia katatonik yang sebelum masuk RSJ
Menur sama sekali tidak mau berinteraksi sosial. Intervensi yang diberikan adalah Social Skill
Training untuk meningkatkan keterampilan sosial yang dilakukan sebanyak 7 sesi. Melalui Social
Skill Training, subjek dilatih berbagai ketrampilan sosial, seperti mengucap salam,
memperkenalkan diri, berkomunikasi ringan dan hingga menjalin pertemanan sehingga subjek
tidak lagi sering diam mematung berada di kamar dan membuat subjek bisa bersekolah lagi. Hasil
penelitian menunjukkan adanya beberapa perubahan, seperti subjek yang mampu menyapa,
memperkenalkan diri terlebih dahulu, bahkan mampu mengobrol ringan dengan orang yang
berada di sekitar subjek.
1
Korespondensi mengenai artikel dapat melalui muhamadfebrian95@gmail.com
Copyright @ 2019 Authors. This is an open-access article distributed under the terms of the 101
Creative Commons Attribution License. (http://creativecommons.org/licences/by-sa/4.0/)
Muhammad Febrian Al Amin
Skizofrenia didefinisikan sebagai fungsi sosial dan isolasi sosial. Gejala positif
penyakit mental dengan gangguan otak yang dapat dikontrol dengan pengobatan, tetapi
kompleks. Skizofrenia adalah suatu penyakit gejala negatif seringkali menetap sepanjang
pervasif yang mempengaruhi lingkup yang waktu dan menjadi hambatan utama
luas dari proses psikologis mencakup pemulihan dan perbaikan fungsi dalam
kognisi, afek, dan perilaku. Mereka kehidupan sehari-hari (Videbeck, 2008).
kehilangan jati diri dan mengalami Ada beberapa kategori dalam
kegagalan dalam menjalankan peran dan skizofrenia salah satunya adalah skizofrenia
fungsinya di dalam masyarakat. Pikiran dan katatonik. Menurut Maramis (2004),
perasaan yang tidak seimbang skizofrenia katatonik atau disebut juga
menyebabkan penderita skizofrenia katatonia, timbulnya pertama kali antara
terputus dari realitas (Nevid, Rathus, & umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta
Beverly, 2002). Skizofrenia adalah suatu sering didahului stres emosional. Mungkin
psikosis fungsional dengan gangguan utama terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor
pada proses pikir serta disharmonisasi katatonik dan ciri diam dan membisu. Pada
antara proses pikir, afek atau emosi, stupor katatonik, penderita tidak
kemauan dan psikomotor disertai distorsi menunjukkan perhatian sama sekali
kenyataan, terutama karena waham dan terhadap lingkungannya dan emosinya
halusinasi, assosiasi terbagi-bagi sehingga sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau
muncul inkoherensi, afek dan emosi perlahan-lahan penderita keluar dari
inadekuat, serta psikomotor yang keadaan stupor ini dan mulai berbicara dan
menunjukkan penarikan diri (Maramis, bergerak. Pada gaduh gelisah katatonik,
2009). terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak
Pada fase awal atau prodormal disertai dengan emosi yang semestinya dan
penderita akan terlihat murung, menarik tidak dipengaruhi rangsangan dari luar.
diri dari lingkungannya, sedikit bicara, dan Dewasa ini skizofrenia katatonik
malas dalam beraktivitas. Dari sini akan jarang ditemukan, mungkin karena terapi
terjadi penurunan peran dan fungsi dalam obat bekerja secara efektif bagi proses-
sosial kemasyarakatan. Fase ini sering tidak proses motorik yang aneh tersebut.
disadari oleh keluarga, teman dekat atau Meskipun terapi obat mampu bekerja secara
bahkan penderita skizofrenia sendiri. Secara efektif, tetap saja hal tersebut sangat
tidak sadar penderita akan memasuki fase dipengaruhi faktor lingkungan dan
berikutnya, yaitu fase akut saat mereka pembelajaran sosial. Onset reaksi katatonik
mengalami waham dan halusinasi dapat lebih tiba-tiba dibanding skizofrenia
Gejala skizofrenia dibagi menjadi dua yang lain, meskipun orang yang
kategori utama, yaitu gejala positif dan bersangkutan sebelumnya telah
gejala negatif. Gejala positif terdiri atas menunjukkan semacan menarik diri dari
delusi (waham), halusinasi dan perilaku kenyataan.
aneh (Videbeck, 2008). Gejala negatif (defisit
perilaku) meliputi afek tumpul dan datar, Social Skill Training
menarik diri dari masyarakat, tidak ada Kondisi subjek skizofrenia katatonik
kontak mata, tidak dapat mengekpresikan memang banyak tidak mengganggu dan
perasaan, tidak mampu berhubungan tidak merusak lingkungan, tetapi banyak
dengan orang lain, dan motivasi menurun. aktivitas sosial yang terabaikan, salah satu
Gejala negatif pada skizofrenia dapat terapi yang tepat untuk pasien tipe katatonik
menyebabkan klien mengalami gangguan adalah social skill training (pelatihan
yaitu masalah kepribadiannya. Kepribadian subjek acuh dan permisif karena jarang
subjek yang tertutup, cenderung pasif dalam berkomunikasi sehingga subjek sehingga
tindakan dan sangat bergantung pada subjek menjadi sosok yang tertutup dan
dorongan serta perhatian orang lain lebih banyak menghabiskan waktu di dalam
membuat subjek mudah tertekan ketika kamar. Kebiasaan subjek juga banyak diam
menghadapi stressor. Kemampuan sosial di kamar dan tidak ada komunikasi dengan
subjek yang rendah membuat subjek keluarga atau sekitarnya, menjadikan subjek
menarik diri dari lingkungan sekitar. Faktor tidak sempat mengungkapkan pendapatnya.
lingkungan juga mendukung seperti pola Hal-hal di atas membuat subjek
asuh sangat permisif membuat subjek tidak menjadi seseorang yang kurang dalam hal
tahu dan tidak pernah belajar coping stress. keterampilan sosialnya. Hal ini terbukti saat
Memiliki diathesis stress dapat di RSJ, subjek lebih sering barada di kamar
meningkatkan resiko seseorang mengalami dan enggan untuk berinteraksi dengan
gangguan. Selain itu secara umum stress lingkungan sekitar. Untuk menghadapi
juga dapat mengarah pada stimulus yang keadaan ini, perlu dilakukan pelatihan
menyebabkan psikopatologis. Dalam ketrampilan sosial. Pelatihan keterampilan
diathesis stress gangguan yang dialami sosial dimaksudkan agar individu meningkat
seseorang tidak mungkin disebabkan faktor untuk berkomunikasi efektif dengan orang
tunggal namun ada faktor lainnya yang juga lain baik secara verbal maupun nonverbal
berperan dalam gangguan. Faktor - faktor sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada
tersebut seperti karakteristik kepribadian, pada saat itu. Ketrampilan ini merupakan
pengalaman masa kecil, strategi perilaku yang dipelajari. Pelatihan
menghadapi stress, stressor yang dialami keterampilan sosial mengajarkan tiga
dimasa dewasa serta berbagai faktor lainnya kemampuan sosial yakni: 1) kemampuan
(Davidson, Neale & Kring, 2006). Model berkomunikasi, 2) kemampuan menjalin
diathesis stress memandang skizofrenia pertemanan, 3) kemampuan dalam
sebagai interaksi atau kombinasi dari menghadapi situasi sulit (MqQuaid, 2000).
diathesis, dalam bentuk predisposisi genetis Dalam penelitian ini, pelatihan hanya
maupun psikologis untuk berkembangnya berfokus pada kemampuan menjalin
gangguan dengan stres lingkungan yang pertemanan seperti Mampu menyapa,
melebihi batas atau coping individu. memperkenalkandiri, berkomunikasi ringan
Stressor lingkungan mencakup faktor dengan lingkungan sekitar.
psikologis seperti konflik keluarga, Keterampilan sosial sejalan dengan
perlakuan yang salah terhadap anak, atau teori belajar sosial dari Bandura yang
kehilangan figur yang memberikan mengemukakan bahwa individu
dukungan dan lain sebagainya (Nevid, mempelajari sesuatu melalui pengalaman
Rathun & Greene, 2005). langsung atau observasi (Bandura, 1986)
Dinamika terbentuknya masalah dalam hal ini dengan menggunakan teknik
pada subjek dapat dijelaskan melalui modeling sehinga subjek mampu
perspektif behavioral. Perspektif mempelajari hal baru dengan cara
behaviorisme mengemukakan bahwa mencontoh perilaku yang ada di sekitarnya.
individu dan lingkungan merupakan dua hal Menurut Bandura, proses mengamati dan
yang saling berkaitan dan memengaruhi meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai
satu sama lain untuk menciptakan sebuah model merupakan tindakan belajar. Teori
perilaku (Bandura, 1977). Dalam hal ini Bandura menjelaskan perilaku manusia
lingkungan subjek tidak memberikan hal dalam konteks interaksi timbal balik yang
positif terhadap subjek, seperti orang tua berkesinambungan antara kognitif, perilaku
memberikan bekal perilaku agar subjek mau subjek. Subjek juga sudah mau mulai
membiasakan diri untuk bersosialisai menyapa dan mengajak berkenalan orang
dengan lingkungan dan meningkatkan yang berada di sekeliling subjek. Subjek juga
interaksi sosial subjek agar merasa tidak sudah mulai terlibat obrolan dengan
sendiri dalam menghadapi masalah . Terapis keluarga dan sepupu-sepupunya yang
juga meminta pada perawat untuk tetap berada di rumah.
mengontrol subjek meskipun proses Subjek juga menyadari bahwa sikap
intervensi sudah berakhir. Terminasi ini subjek yang selama ini hanya diam, tertutup
dilakukan ketika target perubahan yang dan enggan berkomunikasi dengan orang-
diinginkan yaitu ketika keterampilan sosial orang di lingkungan sekitar subjek
subjek untuk meningkatkan interaksi sosial merupakan hal yang kurang tepat.
subjek sudah meningkat. Perubahan yang terjadi pada diri subjek ini
Sesi kedelapan: Follow-up dua didukung oleh keinginan subjek untuk
minggu setelah intervensi berakhir. Follow- merubah sikapnya agar dapat berinteraksi
up dilakukan untuk mengetahui dengan orang lain dan bisa bersekolah lagi
perkembangan subjek dalam interaksinya seperti anak seusia subjek. Selain faktor
terhadap lingkungan sosial subjek. Saat diatas keberhasilan intervensi ini juga
follow up subjek bahkan sudah sering karena adanya dukungan dari lingkungan
berkomunikasi bahkan menjalin sekitar seperti nenek subjek, bibi subjek dan
pertemanan dengan orang-orang sekitar. beberapa sepupu-sepupu subjek yang
mendukung dan membantu agar subjek
Hasil Penelitian mampu untuk melaksaan intervensi ini
Berdasarkan pelaksanaan intervensi sehingga membuat subjek merasa diterima
yang telah dilakukan, subjek sudah mulai dan merasa tidak sendiri dan banyak yang
menunjukkan perubahan secara bertahap. menyanyangi subjek.
Setelah intervensi subjek yang awalnya lebih Berikut ini adalah hasil perubahan
banyak diam dan sering mengurung diri di subjek setelah berlangsungnya intervensi
dalam kamar sudah mau untuk keluar kamar pelatihan ketrampilan sosial.
dan berinteraksi dengan orang di sekitar
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatry Association. (2010). Kendal, P.C. & Hammen, C., 1998. Abnormal
Diagnostic and Statistical Manual Of Psychology Understanding Human
Mental Disorders fifth edition. Problem. New York : Houghton Mifflin
Washington DC: American Psychiatry Company
Association.
Kneisl, C. R, Wilson, H. S. & Trigoboff, E.
Bandura, A. (1977). Social learning theory. (2004). Contemporary Psychiatric
New Jersey: Prentice-Hall. Mental Health Nursing New Jersey:
Pearson Prentice Hall
Bandura, A. (1986). Social foundations of
thought and action: A social cognitive Maramis, WF. (2009). Catatan Ilmu
theory. New Jersey: Prentice-Hall. Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press
Bandura, A. (1989). Social cognitive theory.
In R. Vasta (Ed.). Annals of child McQuaid. (2000). Development of an
development, vol.6. Six theories of child integrated cognitive-bahavior and
development (pp.1-60). Greenwich, social skill training intervention for
CT:JAI Press. older patients with schizoprenia. The
Journal of Psychotherapy Practise and
Corey, G. (1999). Teori dan Praktek Konseling Research, 9(3), 149-156.
Dan Psikoterapi. Bandung:PT Refika
Aditama. Nevid, J., Rathus S., & Beverly G. (2005).
Psikologi Abnormal. Jakarta: Penerbit
Davison, G.C & Neale J.M. (2006). Psikologi Erlangga
Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. Varcarolis, E.M. (2006). Psychiatric Nursing
Clinical Guide: AssessmentTools &
Gimpel, G.A. & Merrell, K.W. 1998. Social Skill Diagnosis. Philadelphia: W.B. Saunders
of Children and Adolescents: Company.
Conceptualization, Assessment,
Treatment. New Jersey: Lawrence Stuart, G.W & Laraia,M.T. (2005). Principles
ErlbaumAssociates Publisher. and Practice of Psychiatric Nursing.
(7th Edition). St.Louis: Mosby.