Anda di halaman 1dari 42

DIPONEGORO FINANCIAL NATIONAL COMPETITION 2018

OPTIMALISASI QR CODE PAYMENT UNTUK MEMPERKUAT


SEKTOR PERBANKAN DI ERA FINTECH AND THE RISE OF
SHADOW BANKING

Disusun oleh :
BAKHITAH
Zahro Ubaydilla (041711433055) 2017
Retno Wulan Dari (041511233241) 2015
Arintis Wahyu Susanti (041511333124) 2015

UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
LEMBAR PERNYATAAN

i
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Ketua : Zahro Ubaydilla
Tempat, Tanggal Lahir : Tulungagung, 31 Maret 199
Jurusan/Fakultas : S1 Ekonomi Islam/ Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Perguruan Tinggi : Universitas Airlangga

Nama Anggota : Retno Wulan Dari


Tempat, Tanggal Lahir : Jombang, 12 September 1996
Jurusan/Fakultas : S1 Manajemen/ Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Perguruan Tinggi : Universitas Airlangga

Nama Anggota : Arintis Wahyu Susanti


Tempat, Tanggal Lahir : Trenggalek, 25 Maret 1997
Jurusan/Fakultas : S1 Akuntansi/ Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Perguruan Tinggi : Universitas Airlangga
Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis yang berjudul :
“Optimalisasi QR code Payment untuk Memperkuat Sektor Perbankan Di Era
Fintech And The Rise Of Shadow banking” adalah benar-benar hasil karya sendiri
dan bukan merupakan hasil dari plagiasi dari karya tulis orang lain serta belum
pernah diikutsertakan dalam kompetisi sebelumnya. Apabila dikemudian hari kami
melanggar pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi yang telah
ditetapkan oleh panitia berupa diskualifikasi dari kompetisi
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenar – benarnya dengan sadar
dan tanpa paksaan dari pihak manapun

Surabaya, 20 Agustus 2018

materai
6000

(Zahro Ubaydilla)

ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur ataskKehadirat-nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan karya tulis dengan judul “Optimalisasi QR code Payment untuk
Memperkuat Sektor Perbankan Di Era Fintech And The Rise Of Shadow banking”.
Karya tulis ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan karya ini. Untuk itu kami
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan karya tulis ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan dalam karya tulis ini. Oleh karena itu, kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya tulis selanjutnya. Akhir
kata kami berharap semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Surabaya, 20 Agustus 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

LEMBAR PERNYTAAN...................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4

2.1 Shadow banking ........................................................................................ 4


2.2 Fintech....................................................................................................... 5
2.3 Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Era Financial Technology6
2.4 QR (Quick Response) System................................................................... 8
2.5 Penelitian Terdahulu................................................................................... 12

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 14

3.1 Jenis dan Metode Penelitian ....................................................................... 14


3.2 Objek Penelitian dan Sumber Data............................................................ 14
3.3 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 14
3.4 Tahapan Penelitian ..................................................................................... 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 16

4.1 Dampak Fenomena Shadow banking terhadap Sektor Perbankan............. 16


4.2 Potensi Penggunaan QR code Payment Perbankan untuk Pedagang Kaki
Lima di Indonesia ....................................................................................... 19
4.3 Implementasi Inovasi QR Payment Perbankan untuk Pedagang Kaki Lima
................................................................................................................... 24

iv
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 34

5.1 Kesimpulan................................................................................................. 34
5.2 Saran .......................................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA

v
OPTIMALISASI QR CODE PAYMENT UNTUK
MEMPERKUAT SEKTOR PERBANKAN DI ERA FINTECH
AND THE RISE OF SHADOW BANKING

BAKHITAH

ABSTRAK

Indonesia telah memasuki era disruption yang disebabkan oleh pengaruh teknologi,
sehingga muncul inovasi-inovasi baru termasuk di sektor keuangan seperti Shadow
banking. Adanya Shadow banking tentu bisa menjadi ancaman bagi sektor
perbankan. Tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu optimalisasi sistem
pembayaran melalui QR code untuk memperkuat sektor perbankan di tengah
maraknya Shadow banking serta mengakselerasi inklusi keuangan. Metode yang
digunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Bank saat ini berada dalam transformasi digital yang mengharuskan
sektor perbankan terus berinovasi dalam memberikan nilai atau jasa baru.
Penguatan sektor perbankan dalam layanan digital diperlukan di tengah
persaingan lembaga keuangan non bank yang memanfaatkan pesatnya
perkembangan tekhnologi dan memberi kemudahan bagi sektor mikro dalam
mengakses layanan keuangan seperti perusahaan peer to peer lending. Salah satu
inovasi yang bisa dilakukan sektor perbankan adalah dengan memanfaatkan digital
banking. Digital banking dapat dioptimalkan untuk menyasar sektor mikro.
Pengoptimalan digital banking bisa melalui transaksi penjualan barang ataupun
produk dari PKL (Pedagang Kaki Lima) yang menggunakan teknologi pembayaran
digital dengan QR code. Pemilihan pangsa pedagang kaki lima didasarkan dengan
beberapa pertimbangan diantaranya kuantitas pedagang kaki lima yang sangat
banyak di Indonesia selain itu juga bisa mempercepat inklusi keuangan.
Optimalisasi pembayaran QR code dalam transaksi pedagang kaki lima memiliki
peluang besar karena Bank Indonesia pada tahun 2018 akan merilis peraturan
baru untuk pembayaran QR code dengan keterbukaan system.

Kata kunci : Disruption, Digital Ekonomi, Perbankan, QR code Payment

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia telah memasuki era disrupsi yang disebabkan oleh pengaruh


teknologi. Era disrupsi menyebabkan perubahan secara mendasar di berbagai
bidang. Perubahan yang terjadi di era disrupsi tidak secara bertahap akan tetapi
melalui revolusi. Rhenald Kasali (2017) mengamati bahwa adanya disrupsi inovasi
di Indonesia. Era disrupsi mengakselerasi inovasi, tekhnologi, platform dan model
bisnis yang baru.

Adanya disrupsi inovasi membuat banyak model bisnis baru dengan


memanfaatkan tekhnologi. Aktivitas yang dilakukan manusia mengala mi
perubahan dari sebelum pesatnya kemajuan tekhnologi. Hal ini bisa menimbulka n
dampak negatif bagi beberapa pihak. Menurut lembaga riset internasio na l
Pricewaterhouse (2017) disrupsi akan membuat 30% pekerjaan di Inggris hilang,
sementara di Amerika Serikat mencapai 38%, di Jerman 35%, dan Jepang 21% dan
diprediksi Indonesia juga mengalami hal yang sama. Berdasarkan data tersebut bisa
diketahui bahwa disrupsi bisa berdampak negatif terhadap profesi.

Selain berdampak pada profesi, era disrupsi juga mengancam sektor


perusahaan baik perusahaan keuangan maupun non keuangan. CEO Generali
Indonesia Edy Tuhirman (2017) meyakini bahwa disrupsi bukan hanya pada sektor
retail dan transportasi tetapi juga pada industri keuangan. Pernyataan Edy Tuhir ma n
selaras dengan Ketua Umum Perbanas (2017) yang menyatakan bahwa perbankan
akan mengalami disrupsi dalam skala besar. Ancaman disrupsi pada sektor
perbankan yaitu munculnya kompetitor di industri financial technology.

Worldbank (2016) mendefinisikan financial technology sebagai


perusahaan-perusahaan yang menggunakan teknologi agar sistem keuangan dan
penyampaian layanan keuangan lebih efisien. financial technology yang tidak
bekerjasama dengan sektor perbankan bisa mengancam eksistensi perbankan di

1
industri keuangan karena merupakan Shadow banking. Shadow banking merupakan
sebutan untuk lembaga keuangan nonbank yang menjalankan bisnis atau bertindak
seolah-olah perbankan.

Laporan dari Financial Stability Board (FSB) menyebutkan bahwa dana


yang dihimpun melalui Shadow banking diperkirakan mencapai US$67 triliun di
seluruh dunia. Sistem Shadow banking telah meningkat tiga kali lipat sebesar
US$41 triliun untuk 10 tahun terakhir. Namun, aktivitas saham yang berada di
Amerika Serikat (AS) telah turun dari 44% menjadi 35%, bergerak ke Inggris dan
Benua Eropa. (infobanknews.com, 2018)

Shadow banking tentunya bisa menimbulkan ancaman bagi bank – bank


formal jika bank formal tidak melakukan inovasi. Praktik ini di Indonesia mewakili
praktik pembiayaan atau multifinance, lembaga keuangan mikro, reksadana, dan
financial technology seperti crowdfunding dan peer to peer lending. Sehingga
praktik Shadow banking layaknya perbankan namun memberi kredit dengan bunga
tinggi dan persyaratan yang mudah dipenuhi dibandingkan syarat perbankan formal.
Penetrasi Shadow banking diprediksi bisa mengganggu stabilitas ekonomi
dikarenakan praktik tersebut memudahkan pengucuran kredit dengan bunga tinggi,
sehingga berpotensi menyebabkan non performing loan (NPL) atau kredit
macetnya tinggi.

Berdasarkan paparan diatas bisa diketahui bahwa Shadow banking memilik i


beberapa kemudahan yang ditawarkan kepada masyarakat, seperti lebih longgar
dalam memberikan pinjaman dan sektor yang dituju adalah sektor mikro. Guna
merespon adanya Shadow banking maka sektor bank harus melakukan inovasi yang
ditujukan untuk sektor mikro dan mengoptimalkan layanan QR code untuk
menjangkau segmen mikro.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana dampak fenomena Shadow banking terhadap sektor perbankan?
2. Bagaimana potensi penggunaan QR code Payment perbankan untuk pedagang
kaki lima di Indonesia?
3. Bagaimana inovasi mengembangkan QR code Payment perbankan untuk
pedagang kaki lima?

2
1.3 Tujuan Penelitian
1. Memaparkan dampak fenomena shadow banking terhadap sektor perbankan
2. Mendeskripsikan potensi penggunaan QR code Payment perbankan untuk
pedagang kaki lima di Indonesia
3. Menjelaskan inovasi mengembangkan QR code Payment perbankan untuk
pedagang kaki lima

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat Teoritis
1. Memberikan sumbangasih pemikiran terhadap perkembangan sektor
perbankan
2. Memperkaya referensi penulisan tentang perbankan
Manfaat praktis
1. Bahan masukan, untuk perkembangan sektor perbankan
2. Mempaparkan terobosan yang konkret dalam mendukung perbankan

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Shadow banking


2.1.1 Pengertian Shadow banking
Shadow banking memiliki beberapa pengertian. salah satunya adalah
“Rivals the traditional banking system in the intermediation of credit to households
and businesses” (Zoltan Pozsar dkk, 2010 ). Definisi tersebut menjelaskan secara
sederhana bahwa praktek Shadow banking juga beroperasi layaknya perbankan
dengan memberikan kredit kepada rumah tangga dan bisnis, namun pada kasusnya,
shadow banking ini belum diregulasi secara ketat. Bank Indonesia (BI)
mendefinisikan shadow banking adalah institusi keuangan bukan bank yang
menjalankan fungsi layaknya perbankan, seperti perusahaan sekuritas, private
equity, dana pensiun, asuransi, lembaga pembiayaan, hingga lembaga keuangan
mikro (LKM). Menurut penemu istilahnya Paul McCulley pada tahun 2007,
“Shadow banking” adalah “Levered-up non-bank intermediaries that fund
themselves with uninsured short-term funding”, sedangkan definisi versi Financia l
Stability Board, “Entities that undertake credit intermediation outside the banking
system”.

Sebagian peneliti lainnya, lebih senang menghubungkan shadow banking


dengan instrument keuangan, diantaranya adalah “On a high level the shadow
banking system and its component financial instruments provide many of the
functions of traditional depository banking, yet operate by connecting borrowers to
investors in capital markets”(Gerding, 2011). Menurut Gerding, shadow banking
mencakup wilayah operasi yang lebih luas dari sekedar memberi kredit dan
menerima simpanan layaknya bank-bank tradisional (bank-bank pada umumnya),
Gerding juga mendefinisikan sedikitnya enam hal terkait instrument yang dimilik i
sistem perbankan bayangan, yakni :

1. Intermediasi : “Unlike with bonds, these instruments interpose an


intermediary between borrowers and investors” disini, lembaga-lemba ga
Shadow banking hanya berlaku selayaknya agen.

4
2. Pooling : Pada gilirannya, intermediasi yang dilakukan oleh lembaga -
lembaga shadow banking memungkinkan perpindahan aliran kas dan risiko
keuangan.
3. Structuring : yakni penataan, dana yang masuk ke lembaga-lemba ga
Shadow banking, ditata ulang dan dibentuk menjadi instrument baru dan
dijual atau ditawarkan kembali kepada investor.
4. Maturity transformation : intermediasi dan penataan (structuring)
memungkinkan lembaga-lembaga shadow banking melakukan konversi
instrumen berjangka panjang menjadi instrumen jangka pendek.
5. “Money”creation : intermediasi, jaringan, penataan, dan transformasi yang
dilakukan lembaga-lembaga shadow banking memungkinkan mereka untuk
menawarkan instrumen yang berlikuiditas tinggi dan berisiko rendah. Pada
kelompok ini, lembaga-lembaga shadow banking juga melayani pertukaran
uang, dan pembukaan rekening.
6. Opacity : Dengan semakin banyaknya praktek Shadow banking ini, hal ini
menaikkan tingkat keburaman (opacity, tidak jelas) sehingga menyulitka n
investor untuk menilai risiko keuangan, termasuk risiko kredit, dan asset
yang mendasari instrumen yang telah dibeli.

2.2 Financial Technology (Fintech)


2.2.1 Pengertian Financial Technology (Fintech)
Dalam sejumlah literatur ditemukan beragam definisi tentang fintech.
Secara umum dan dalam arti luas, fintech menunjuk pada pengunaan teknologi
untuk memberikan solusi-solusi keuangan (Arner, et al, 2015). Secara spesifik,
fintech didefinisikan sebagai aplikasi teknologi digital untuk masalah-masa la h
intermediasi keuangan (Aaron, et al, 2017). Dalam pengertian yang lebih luas,
fintech didefinisikan sebagai industri yang terdiri dari perusahaan-perusahaan yang
menggunakan teknologi agar sistem keuangan dan penyampaian layanan keuangan
lebih efisien (World Bank, 2016). Dikutip dari financial technology yang kini lebih
dikenal dengan istilah fintech, adalah bentuk usaha yang bertujuan menyediaka n
layanan finansial dengan menggunakan perangkat lunak dan teknologi modern.

Menurut Peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tentang


Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran menimbang bahwa

5
perkembangan teknologi dan sistem informasi terus melahirkan berbagai inovasi,
khususnya yang berkaitan dengan Financial Technology ( Fintech ) dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk dibidang jasa sistem pembayaran, baik
dari sisi instrumen, penyelenggara, mekanisme, maupun infrastruktur
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Fintech akan menghadirka n
proses transaksi keuangan yang lebih praktis, aman serta modern.

2. 3 Pengembang Pedagang Kaki Lima (PKL) di era Financial Technology


2.3.1 Pengerian Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang kaki lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut
penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. istilah itu sering ditafsirkan karena
jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki yang dimaksud adalah dua kaki
pedagang ditambah tiga “kaki” gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua
roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan
pada umumnya. 6 Menurut McGee dan Yeung (1977:hal 25) PKL mempunya i
pengertian yang sama dengan ”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang
yang menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang
untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Menurut
Waworoentoe (dalam Widjajanti, 2000: 28),

PKL banyak dijumpai pada ruang-ruang fungsional kota.Secara sosiologis,


PKL merupakan entitas sosial yang di dalamnya terdapat pengelompokan menurut
karakteristik tertentu seperti suku, etnik, bahasa, adat istiadat, asal daerah, jenis
kegiatan, dan juga agama (Sarjono 2005:5). Entitas ini memiliki aktivitas yang
sama yakni berdagang pada tempat-tempat yang tidak semestinya dalam tata letak
kota untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. (Sarjono: 2005 hal 28).
Alisyahbana (2005:3-12) dalam sebuah penelitiannya menyebutkan bahwa piliha n
menjadi PKL biasanya dilator belakangi oleh beberapa hal. Pertama, keterpaksaan,
karena tiada pekerjaan lain.

2.3.2 Pengelolaan dan Jumlah Pedagang Kaki Lima (PKL) di Indonesia

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan bagian dari pelaku usaha infor ma l
yang tidak dapat dilepaskan dari roda perekonomian Indonesia. Keberadaannya
yang terus berkembang menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk dapat menata,

6
membina dan menjawab tantangan pengelolaan Usaha Mikro dan Kecil termasuk
Pedagang Kakilima (PKL) ini.

Kewenangan pengelolaan PKL dalam sistem pemerintahan di Indonesia ada


ditangan Pemerintah Daerah. Perpres No. 125 tahun 2012 tentang Koordinasi
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima menggariskan kebijakan
nasional terkait permasalahan sektor informal ini untuk dapat dikelola dan
dikoordinasi oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Provinsi telah melakukan
berbagai upaya dalam menyusun kebijakan yang tepat mengenai pengelolaan PKL.

Di tahun 2005 Pemerintah Provinsi melakukan pemetaan terhadap


keseluruhan aktivitas PKL untuk menyusun profil dan tantangan yang dihadapi
PKL dan Pemerintah Kota dalam menangani penggerak sektor informal ekonomi
ini (Jakarta 2015). Dari hasil pemetaan tersebut di dapat dari 92.751 usaha kaki lima
yang beroperasi pada tahun 2005, hanya 19.960 usaha yang beroperasi pada lokasi
dengan status resmi atau sebesar 21,52% dari keseluruhan usaha. Sisanya sebanyak
72.791 usaha atau sebesar 78,42% merupakan usaha yang menempati lokasi tidak
resmi atau lokasi liar.

Sarana tempat usaha berperan sebagai tempat untuk menjajakan barang


dagangan kaki lima. Sarana tempat usaha yang paling banyak digunakan oleh para
pengusaha kaki lima adalah meja sejumlah 18.731 usaha atau sekitar 20,19%,
kemudian kios sebanyak 18.169 usaha atau 19,59% dan gerobak beroda menetap,
gelaran menetap, serta tenda terpal/plastik dengan jumlah masing- masing usaha
sebesar 17.686 usaha atau 19,07%; 15.795 usaha atau 17,02%; dan 12.260 usaha
atau 13,22%.

2.3.3 Pedagang Kaki Lima (PKL) “Melek Digital” di era Financial Technology

Potensi bisnis Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terus berkembang kini telah
dibidik sejumlah kalangan sebagai potensi bisnis yang menguntungkan. Sejalan
dengan kemajuan jaman, bisnis PKL terus dikembangkan sejumlah kalangan
dengan melibatkan teknologi digital di dalamnya. Berdasarkan data Kementerian
Komunikasi dan Informatika Indonesia, hingga saat ini ada 59 juta PKL di
Indonesia. Namun, hanya 8 persen yang telah mengoperasikan usahanya melalui

7
media online.Indonesia akan menjadi kuat jika dibantu Pedagang Kaki Lima
(Achmad, 2018). Berkembangnya bisnis PKL saat ini harus diimbangi dengan
memberikan pelatihan di sektor digital bagi para pelaku usaha, hal ini sangat di
perlukan agar Pedagang Kaki Lima (PKL) dapat memiliki daya saing dan mampu
berinovasi di era disruption ekonomi saat ini.

Sejumlah PKL yang diberikan pelatihan saat ini cukup beragam. Mereka bergerak
di sektor makanan, pakaian, perdagangan, jasa dan sebagainya. Penggunaan media
sosial saat ini saja belum mencukupi apabila tidak ditunjang dengan manajemen
pemasaran, keuangan dan promosi yang memadai. Pada dasarnya, penerapan dari
platform digital dapat memberikan keuntungan yang variatif bagi PKL, tidak hanya
dari cakupan tetapi juga ke aktivitas operasional hingga pendanaan. Karena itu,
penerapan teknologi digital menjadi hal sangat penting bagi perkembangan bisnis
PKLdi Indonesia.

2.4 QR (Quick Response) System

2.4.1 Quick Response Code

Quick Response Code atau yang biasa disebut dengan QR code merupakan
sebuah barcode dua dimensi yang diperkenalkan oleh Perusahaan Jepang Denso
Wave pada tahun 1994. Jenis barcode ini awalnya digunakan untuk pendataan
inventaris produksi suku cadang kendaraan dan sekarang sudah digunakan dalam
berbagai bidang layanan bisnis dan jasa untuk aktivitas marketing dan promosi.
Pada dasarnya bahwa QR code dikembangkan sebagai suatu kode yang
memungkinkan isinya untuk dapat diterjemahkan dengan kecepatan
tinggi(Rouillard, 2008). Tujuan dari QR code ini adalah untuk menyampa ika n
informasi secara cepat dan juga mendapat tanggapan atau respon secara cepat. Pada
awalnya QR code digunakan untuk pelacakan bagian kendaraan untuk perusahaan
manufacturing. Akan tetapi sekarang QR code telah digunakan untuk komersil
yang ditujukan pada pengguna telepon seluler. QR code adalah perkembangan dari
barcode atau kode batang yang hanya mampu menyimpan informasi secara
horizontal, sedangkan QR code mampu menyimpan informasi lebih banyak baik
secara horizontal maupun vertikal.

8
Gambar 2.1 Contoh Gambar QR code
sumber : google.co.id
QR code biasanya berbentuk persegi putih kecil dengan bentuk geometris
hitam (dapat dilihat di Gambar 1), meskipun sekarang banyak yang telah berwarna
dan digunakan sebagai brand produk. Informasi yang di kodekan dalam QR code
dapat berupa URL (Uniform Resource Locator), nomor telepon, pesan SMS (Short
Message Service), V-Card, atau teks apapun (Ashford,2010). QR code telah
mendapatkan standarisasi internasional ISO/IEC 18004 dan Jepang JIS-X-0510
(Denso, 2011)

Saat ini, untuk penggunaan QR code telah banyak diimplementas ika n


dalam bentuk aplikasi QR code reader dan QR code generator, sehingga seseorang
akan sangat mudah untuk membuat informasi dalam bentuk QR code dan
mendapatkan informasi yang ingin diketahuinya, hanya dengan melakukan proses
scanning dan pemindaian data melalui media dari kamera ponsel (Anastasia, Istiadi,
dan Hidayat, 2010). Dalam bidang pelayanan bisnis, QR code telah banyak
digunakan oleh perusahaan ataupun penyedia jasa layanan tertentu untuk dapat
mengarahkan pelanggannya langsung ke alamat URL yang dituju (Anonymo us,
2011), yaitu dengan memasang gambar QR code pada majalah, poster, atau media
cetak lainnya, dimana QR code itu akan memaparkan segala sesuatu yang ingin
disampaikan oleh perusahaan ataupun penyedia jasa layanan tersebut melalui situs
mereka, seperti pada penelitian yang telah dilakukan terhadap Layanan Taman
Nasional di Fort Smith (Cramer danTheresa, 2010), tiga Dealer Acura di kota New
York (Sawyers dan Arlena, 2010), industri toko perhiasan (Anonymous, 2010),
perusahaan Cannondale dan Fox Racing Shox (Norman dan Jason, 2010),

9
perusahaan J Vineyards & Winery (Anonymous, 2011) dan aplikasi pemesanan
tiket nonton bioskop berbasis android (Habibi, Purwantoro dan Akbar, 2012).

2.4.2 Quick Response Code Payment (Q-Pay)

Perkembangan teknologi QR code semakin pesat. Penggunaan kode QR


pada sistem pembayaran elektronik memberikan dua keunggulan, yaitu faktor
otentifikasi dan respon cepat. Enkripsi pada kode QR dapat meningkatka n
keamanan dalam bertransaksi.

Q-Pay merupakan sebuah aplikasi mobile berbasis android dimana pada


aplikasi ini memiliki fungsi untuk melakukan pencatatan informasi dan transaksi
pembelian pada aplikasi toko serta memiliki fungsi sebagai alat pembayaran pada
aplikasi konsumen. Dengan mendaftarkan diri pada website payment gateway,
konsumen nantinya dapat menikmati transaksi dengan nyaman dengan aplikasi Q-
Pay. Teknologi Q-Pay sendiri menggunakan wso2 carbon sebagai penghubung
antara aplikasi mobile dengan server payment gateway. Dibangun dengan
pemrograman java berbasis android serta menggunakan teknologi zxing (zebra
crossing) sebagai pemindai dan melakukan generalisasi data menjadi sebuah kode
QR (Quick Response). Pada fitur keamanan data, Q-Pay menerapkan metode
enkripsi .

Metode pembayaran mobile saat ini telah menarik minat banyak peneliti.
Banyak penelitian dilakukan seperti pelaksanaan smartcard contactless atau
pembayaran berbasis RFID. Metode ini memberikan skema pembayaran mobile
dengan memanfaatkan Quick Response (QR ). Dengan menggunakan metode ini,
sistem pembayaran tidak memerlukan perangkat khusus untuk membaca dan
menghasilkan kode QR . Kode QR diperkenalkan pada tahun 1994 oleh sebuah
perusahaan Jepang (Denso-Wave), yang dimana bentuknya seperti kode bar dua
dimensi. Metode ini memiliki banyak keuntungan dibandingkan kode bar
tradisional karena dapat menyimpan hingga 4296 karakter alfanumerik dan dapat
dibaca di bawah tingkat kerusakan tertentu. Para peneliti menggunakan sistem ini
untuk keperluan lain, seperti otentikasi web dan tiket elektronik.

2.4.3 Anatomi QR code

10
Gambar 2.2 Anatomi QR code
sumber : google.co.id
Gambar 2 menampilkan anatomi QR code. Ariadi (2011) menjelaska n
bagian-bagian dari anatomi QR -Code sebagai berikut ini :

a. Finder Pattern berfungsi untuk identifikasi letak QR code


b. Format Information berfungsi untuk informasi tentang error correction level
dan mask pattern.
c. Data berfungsi untuk menyimpan data yang dikodekan.
d. Timing Pattern merupakan pola yang berfungsi untuk identifikasi koordinat
pusat QR code, berbentuk modul hitam putih.
e. Alignment Pattern merupakan pola yang berfungsi memperbaik i
penyimpangan QR code terutama distorsi non linier.
f. Version Information adalah versi dari sebuah QR code.
g. Quiet Zone merupakan daerah kosong di bagian terluar QR code yang
mempermudah mengenali pengenalan QR oleh sensor CCD.
h. QR code version adalah versi dari QR code yang digunakan.

2.4.4 Manfaat QR code

Beberapa manfaat yang terdapat pada QR code menurut Denso (2011)


antara lain :

1. Kapasitas tinggi dalam menyimpan data. Sebuah QR code tunggal dapat


menyimpan data sampai 7.089 angka.
2. Ukuran yang kecil. Sebuah QR code dapat menyimpan jumlah data yang sama
dengan barcode 1D dan tidak memerlukan ruang besar.

11
3. Dapat mengoreksi kesalahan. Tergantung pada tingkat koreksi kesalahan yang
dipilih, data pada QR code yang kotor atau rusak sampai 30% dapat
diterjemahkan dengan baik.
4. Banyak jenis data. QR code dapat menangani angka, abjad, simbol, karakter
bahasa Jepang, Cina atau Korea dan data biner.
5. Kompensasi distorsi QR code tetap dapat dibaca pada permukaan melengk ung
atau terdistorsi.
6. Kemampuan menghubungkan Sebuah QR code dapat dibagi hingga 16 simbol
yang lebih kecil agar sesuai dengan ruang. Simbolsimbol kecil yang dibaca
sebagai kode tunggal apabila di scan menurut urutan.

2.5 Penelitian Terdahulu

Berikut adalah beberapa penelitian relevan terkait dengan Shadow Bankig


dan penggunaan aplikasi berbasis system QR code yang merupakan data yang
dibutuhkan dalam pengembangan QR code payment.

Sulistyandari, dkk (2016) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul


“Regulation and Supervision Shadow Banking Intitutions Which Is Potentially
Gives Systemic Risk As an Effort To Give Law Protection To Consumers (Study in
Banyumas Ex-Residency)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan
pengawasan lembaga shadow banking di wilayah eks Karesidenan Banyumas
potensi menimbulkan kerugian kepada nasabah terutama pada Lembaga Jasa
Keuangan Non Bank (LJKNB) yang berbentuk KSP/KJKS yang memberika n
pelayanan kepada non anggota, LJKNB yang menyalahgunakan izin kegiatan
usahanya, LJKNB yang belum berbadan hukum, namun tidak berpotensi sistemik.
Faktor hukum, penegak hukum, sarana, masyarakat dan kebudayaan mempengar uhi
pelaksanaan pengawasan di wilayah Eks-Karesidenan Banyumas.

Haviz,dkk (2013) dalam hasil penelitiannya yang di presentasikan pada


Seminar Nasional Sistem Informasi Indonesia (SESINDO) 2013 yang berjudul
“Pengembangan Sistem Pembayaran Elektronik Menggunakan Kode QR Berbasis
Android” meniliti mengenai pengembangan koperasi menggunakan QR code
Payment. aplikasi ini memodifikasi sistem pembayaran mobile yang mengacu pada
penelitian sebelumnya dan disesuaikan dengan keadaan koperasi di lapangan.

12
Aplikasi ini memberikan keamanan dan kenyamanan lebih dalam transaksi mob ile
tanpa harus terkoneksi dengan internet.

Crocker, Paul, Nicolau, and Vasco, 2011, A Secure Architecture for


Electronic Ticketing Based on the Portuguese e-ID Card, Journal of Computer
Security, ProQuest document ID 1010346768, Pages. 38-VI, dalam penelitia nnya
mengusulkan sebuah arsitektur inovatif baru untuk keamanan pengiriman tiket
elektronik dan sistem pembayarannya yang akan diintegrasikan dengan Portugis e-
ID. Penelitian ini menggunakan media QR code dan NFC dengan hasil sistem
tersebut akan memberikan kemudahan dalam melakukan proses pembayaran dan
transaksi tiket pada berbagai jasa layanan di Negara Portugis, serta memberika n
jaminan keamanan bagi penggunanya, karena sudah dilengkapi dengan penggunaa n
PIN kriptografi dan otentikasi sistem biometrik pada Portugis e-ID.

13
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yaitu metode yang


membicarakan beberapa kemungkinana untuk memecahkan masalah aktual dengan
jalan mengumpulkan data, menyusun dan mengklasifikasikannya, menganalis is
dan menginterpretasikannya. Metode deskriptif digunakan karena pendekatan yang
digunakan merupakan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini, penulis menggunaka n
metode deskriptif untuk menjelaskan permasalaham pada pengembangan Fintech
dalam era disruption ekonomi sekaligus mengalisis penggunaan QR code Payment
sebagai solusi pengembangan Fintech dalam sektor perbankan pada era Fintech and
The Rise Of Shadow banking.

3.2 Objek Penelitian dan Sumber Data

Objek dalam penelitian ini adalah penggunaan QR code payment terhadap


lembaga perbankan dalam kaitannya dengan optimalisasi pada era financial
technology. Data bersumber dari jurnal maupun prosiding konferensi serta
informasi yang berkaitan dengan QR code payment dan shadow banking. Data
tersebut berupa hasil penelitian topik terkait seperti penggunaan QR code, manfaat
dan hambatan yang ditemui dalam penggunaan QR code payment di era digital.
Data yang dikumpulkan sebagai landasan pemikiran untuk pengembangan solusi
berupa QR code Payment sebagai inovasi baru .
3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
studi pustaka.

3.4 Tahapan Peneltian


1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini penulis mengumpulkan dan membaca literatur yang


berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti serta mengumpulka n
teori yang berkaitan.

14
2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini literatur yang sudah dikumpulkan seperti jurnal maupun
prosiding konferensi dibaca dan dirangkum sehingga menghasilkan suatu
data acuan.

3. Tahap Pengolahan Data

Data acuan yang telah didapatkan dibandingkan dengan teori dan


keadaan aktual serta kondisi ideal yang diharapkan di masa depan kemudian
menghasilkan pemikiran konsep dasar solusi yang diusulkan.

Studi Pustaka

Data Tertulis Media Elektronik

Jurnal Informasi
Prosiding laman web
konferensi Berita terkait
Buku

Data Acuan Kondisi Ideal

Landasan Konsep QR Code Payment


Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian
Sumber: Ilustrasi Penulis

15
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Dampak Fenomena Shadow banking terhadap Sektor Perbankan

Era disrupsi membawa dampak besar terhadap lembaga formal yang


sudah berdiri lama dan stabil seperti perbankan. Sektor perbankan bisa terdisrupsi
oleh shadow banking jika tidak melakukan inovasi. shadow banking tumbuh pesat
selama dua dekade sebelum krisis keuangan global tahun 2007 – 2009. Waktu
ekspansi shadow banking bertepatan dengan deregulasi sistem keuangan yang
dimulai pada tahun 1980 sehingga menguntungkan sebagian besar lembaga
keuangan non bank. Sementara sektor perbankan formal menjadi lebih ketat
peraturannya setelah adanya kesepakatan basel pada tahun 1988, perlakuan
pengaturan preferensial pinjaman sekuritas, dan aktivitas reksadana pasar uang
yang mendorong intermediasi keuangan di luar bank. (Gorton dan Metrcik, 2010)
Shadow banking menyediakan intermediasi alternatif, sejajar dengan
perbankan tradisional yang ditawarkan oleh bank konvensional. Shadow banking
meningkatkan jumlah kredit yang tersedia bagi peminjam khususnya sektor mikro
yang unbankable. Akan tetapi di sisi lain shadow banking bisa menyebabkan
ketidakstabilan sistem keuangan. Ketidakstabilan karena sistem shadow banking
bisa disebabkan karena leverage yang tinggi dan moral hazard dalam memilih risiko
pinjaman dan eksposur bank run.

Shadow banking memperluas kredit dan menurunkan biaya pinjaman


pada periode sebelum krisis keuangan, shadow banking berperan penting dalam
membuat seluruh sektor perbankan lebih lemah dan menyebabkan "Resesi Besar".
Peningkatan default di antara pemberi kredit subprime disebabkan pasar Shadow
banking berbeda, menyebabkan collaps sebagian besar lembaga yang tidak diatur
dan juga mempengaruhi sistem perbankan tradisional.

Beberapa tahun terakhir ini perbankan Indonesia juga mengalami risiko


Shadow banking yang dikhawatirkan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia (BI)
memperingatkan ancaman penetrasi shadow banking terhadap stabilitas sistem

16
keuangan Indonesia. Jumlah shadow banking yang tidak masuk pengawasan BI dan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun makin banyak dengan berbagai model.

Gubernur BI, Agus D.W. Martowardojo (2017) menyatakan meningkatnya


fenomena shadow banking dengan syarat yang lebih mudah dibandingkan dengan
perbankan, mulai jadi ancaman bagi Indonesia. Salah satu perkembangan
tekhnologi yang bisa menimbulkan risiko shadow banking adalah platform
financial technology (infobanknews.com,2017). Risiko perbankan terkena dampak
negatif dari financial technology juga diperkuat oleh Survei Perbankan Indonesia
2018 yang dirilis Pricewaterhouse Coopers (PwC). Hasil survei Pricewaterhouse
Coopers menyebutkan bahwa financial technology menjadi ancaman yang
signifikan 2023.

Platform financial technology yang sangat berkembang di Indonesia adalah


peer to peer lending. Menurut (James Younker, 2017) Peer to peer lending adalah
bentuk Shadow banking di mana pinjaman dapat dilakukan melalui platform online
di luar lembaga tradisional.

Gambar 4.1 Skema Kerja Peer to peer lending

Dari skema diatas diketahui sistem kerja peer to peer lending yaitu
website peer to peer lending sebagai intermediasi peminjam dan investor.
Peminjam mendaftarkan kebutuhan pinjamannya dan berkewajiban melakukan
pengembalian pokok hutang dan bunga yang dijanjikan. Kemudian investor yang

17
tertarik meminjamkan uang bisa langsung menanamkan modal secara online lewat
website. Peer to peer lending sebagai intermdiasi memiliki wewenang untuk
menganalisis data dari peminjam.
Data yang dikeluarkan oleh otoritas jasa keuangan pada tahun 2017
menunjukkan ada 160 perusahaan financial technology di Indonesia. Dominasi dari
jumlah tersebut adalah peer to peer lending. Meskipun financial technology sudah
diatur oleh otoritas jasa keuangan pada peraturan POJK Nomor 77/POJK.01/2016
akan tetapi peraturan tersebut belum sepenuhnya menjadikan financial technology
di Indonesia bebas dari sebutan Shadow banking dari sisi regulasi. Hal ini
dikarenakan walaupun sudah terdapat aturan tersebut akan tetapi masih terdapat
banyak financial technology yang ilegal. Tahun 2018 terdapat sebanyak 227 fintech
peer to peer lending dinyatakan ilegal oleh otoritas jasa keuangan. Selain itu masih
terdapat banyak sekali permasalahan inkosistensi dalam regulas i OJK untuk
financial technology.
Selain peer to peer lending juga terdapat crowdfunding. Crowdfunding
merupakan praktik penggalangan dana dari sejumlah besar orang untuk memodali
suatu proyek atau usaha yang umumnya dilakukan melalui internet.

Gambar 4.2 skema crowdfunding


Sumber : Valanciene & Jegeleviciute, 2014

Terdapat tiga pihak dalam skema crowdfunding yaitu pebisnis, platform dan
investor. Pada mekanismenya pebisnis mengajukan ide yang dituangkan dalam
proposal dan diupload pada platform crowdfunding, kemudian juga menjelaska n
return yang diterima oleh investor. Investor yang tertarik, mendanai ide bisnis dari
pebisnis dengan tujuan mendapatkan return. Jadi platform berfungsi sebagai

18
intermediasi antara investor dan pebisnis. Crowdfunding juga berkembang di
Indonesia, khususnya pada sektor mikro yang membutuhkan pendanaan usaha.

Dari paparan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa financial technology


berupa peer to peer lending dan crowdfunding memiliki potensi untuk mendisr ups i
sektor perbankan dalam menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat.
Padahal tugas bank dalam menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat
telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998. Meskipun yang menjadi pangsa
financial technology adalah sektor mikro, namun bank juga mempunyai program
kredit usaha rakyat, yakni pinjaman yang ditujukan untuk menunjang usaha rakyat
kecil.

Inovasi merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk semua
perusahaan termasuk perbankan agar tetap sustainability terhadap risiko Shadow
banking. Menghadapi risiko Shadow banking maka pihak perbankan harus
berinovasi atau mengoptimalkan layanan digital banking. Salah satu digital
banking yang bisa dioptimalkan oleh perbankan adalah QR code, yang mampu
meraih pangsa sektor mikro.

4.2 Potensi Penggunaan QR code Payment Perbankan untuk Pedagang Kaki


Lima di Indonesia

Quick Response Code (QR code) Technology bukan suatu hal yang baru
lagi dalam bisnis kuliner. Teknologi ini memberikan kemudahan dalam melakukan
pelayanan maupun bertransaksi kepada masyarakat pelanggan kuliner tersebut. Hal
ini telah dibuktikan dalam beberapa penelitian. Salah satunya adalah penelitia n
mengenai penggunaan QR code technology yang dipublikasikan Denisse
Andriyanto tahun 2015. hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa penggunaa n
QR code Technology mampu memudahkan masyarakat untuk mencari restoran,
melakukan pesanan, melakukan proses billing, memanggil pelayan, hingga
settlement atas transaksi di restoran tersebut. QR code technology juga sudah
diaplikasikan di singapura sebagai salah satu metode pembayaran yang terintegras i
dengan sistem perbankan dan dompet digital (e-wallet). Melalui provider bernama
NETS (Network for Electronic Transfers) metode ini dikembangkan untuk

19
menyelesaikan transaksi pembayaran di beberapa hawker centers, kedai kopi dan
kantin tertentu. Di Indonesia sendiri mulai bermunculan platform e-wallet yang
menyediakan jasa penyelesaian transaksi tanpa uang tunai (cashless). platform ini
menyasar pedagang-pedagang kecil untuk mengenalkan transaksi non tunai
tersebut.

Sistem pembayaran menggunakan QR code technology sangat potensial


untuk dikembangkan dalam sistem perbankan di Indonesia karena beberapa alasan.
Alasan pertama adalah kondisi penduduk di Indonesia. Data statistik Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2015 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia meningkat
dari tahun ke tahun. Bahkan, proyeksi kependudukan jumlah ini akan terus
meningkat sampai tahun 2035.

Tabel 4.1 Proyeksi penduduk Indonesia tahun 2010 -2035 (dalam ribuan)

Tahun
Provinsi
2010 2015 2020 2025 2030 2035
Jumlah penduduk 238,518,800 255,461,700 271,066,400 284,829,000 296,405,100 305,652,400
sumber : bps.go.id

Pada table 4.1 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia akan
mengalami peningkatan sejumlah 128% dari tahun 2010 ke tahun 2035. Angka ini
menunjukkan terjadi kelahiran sejumlah 67.133.60 jiwa dari tahun 2010 hingga
2035. Angka kelahiran tersebut menambah jumlah penduduk usia muda yang ada
di Indonesia.

Pertambahan penduduk usia muda berdampak pada komposisi penduduk


di Indonesia. Saat ini komposisi penduduk Indonesia termasuk ekspansif. kondisi
penduduk ekspansif berarti jumlah usia muda dan produktif di Indonesia lebih besar
daripada penduduk usia tua. Dengan adanya prediksi pertambahan penduduk yang
signifikan sampai tahun 2035 ini maka keberadaan penduduk yang mengena l
teknologi akan menjadi pasar yang cukup potensial bagi penyedia layanan transaksi
non kas (cashless).

20
Gambar 4.3 Piramida Penduduk Indonesia tahun 2017 Bedasarkan
Kelompok Umur

sumber : bps.go.id

Kelompok penduduk muda yang sudah mengenal teknologi ini


mempermudah penetrasi teknologi baru. Penduduk usia muda cenderung lebih
mudah menerima teknologi terkini yang ditawarkan karena mereka sudah mengena l
teknologi sejak kecil. Dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun,
maka probabilitas aksepsi akan hadirnya metode pembayaran digital menggunaka n
QR code technology akan lebih mudah.

21
Gambar 4.3 Jumlah Usaha Non Pertanian Hasil Sensus Ekonomi tahun 2016
sumber : bps.go.id
Kondisi perekonomian penduduk Indonesia untuk sasaran implementas i
metode pembayaran QR code juga cukup potensial. hal ini dapat dilihat dengan
jumlah usaha non pertanian di Indonesia. bedasarkan data BPS jumlah usaha non
pertanian di Indonesia sebanyak ±26.700.000 usaha. Jumlah ini di dominasi oleh
usaha pedagang kaki lima dan pedagang kecil yang tidak memiliki bangunan tetap
dengan proporsi sebanyak 70,8%.

Alasan kedua, sistem pembayaran cashless yang lebih digemar i.


Pembayaran cashless yang saat ini berkembang di Indonesia adalah pembayaran
kartu dan pembayaran digital. Perbankan selama ini telah mengeluarkan alat
berupa kartu debit dan kredit. Jumlah pengguna kartu debit di Indonesia berjumlah
8.817.007 sedangkan jumlah pengguna kartu kredit berjumlah 155.663.442.
Banyaknya jumlah pengguna kartu debit dan kredit yang dikeluarkan perbankan ini
disebabkan karena penggunaan kartu debit dan kredit menawarkan kemudahan
dalam bertransaksi. kemudahan bertransaksi juga dapat ditemukan dalam metode
transaksi digital. Dalam penelitian Amijaya, (2010) variabel kemudahan, risiko, dan
layanan berpengaruh signifikan terhadap pengguna internet banking pada nasabah.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Anik Susanti (2015). hasil penelitian tersebut
menunjukkann bahwa persepsi penggunaan dan persepsi kemudahan berpengaruh
simultan terhadap penggunaan mobile banking. kemudahan yang ada pada internet
banking dan mobile banking juga dapat ditemukan dalam metode pembayaran QR
code. Karena pembayaran dengan teknologi digital, khususnya QR code sama-
sama menawarkan kemudahan dengan transaksi menggunakan kartu, berikut
penulis menyajikan analisis mengenai perbandingan kelebihan dan kekurangan
metode pembayaran QR code dan kartu debit atau kredit.

Tabel 4.2 Perbandingan kelebihan dan kekurangan metode pembayaran


kartu dan QR code

Kartu Debit / Kredit QR code


Kelebihan : Kelebihan :

22
1. relatif aman terhadap pembajakan 1. pedagang dapat mengawasi arus
data nasabah kas perdagangannya melalui
2. mempermudah penggunaan laporan rekening koran bank
pelanggan untuk membayar, 2. masyarakat (pelanggan) merasa
karena masyarakat hanya perlu lebih aman untuk memasukkan
menggesekan kartu dan pin saat bertransaksi
memasukkan pin 3. tidak perlu menggunakan alat
EDC (electronic data capture)
yang mahal bagi pedagang kecil
4. biaya investasi murah

Kelemahan : Kelemahan :
1. biaya layanan kartu setiap bulan 1. relatif rentan terhadap malware
2. investasi EDC (electronic data dan pembajakan data
capture) relatig mahal 2. kode QR mudah terhapus
3. jika kartu hilang, proses
penggantiannya memerlukan
keterlibatan pihak ketiga (polisi)
4. mesin EDC tertentu hanya untuk
jenis bank tertentu
sumber : berbagai sumber, diolah

Pada tabel 4.2, dapat dilihat bahwa metode pembayaran menggunakan QR


code memberikan fleksibilitas bagi para penggunanya dan lebih terjangkau dari
pada kartu debit. Dengan adanya kemudahan tersebut harapannya metode
pembayaran menggunakan QR code dapat menjangkau masyarakat luas di
Indonesia.

4.3 Implementasi Inovasi QR Payment Perbankan untuk Pedagang Kaki


Lima

Quick Response Code (QR code) Payment oleh perbankan untuk


pedagang kaki lima dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan ekistensi perbankan
ke golongan masyarakat kecil dan melakukan efisiensi transaksi. Sistem
pembayaran QR code ini melibatkan pengguna langsung dari sisi pedagang
maupun pembeli. Selain itu, ada pihak yang tidak langsung dalam pelaksanaan

23
pembayaran menggunakan QR code, yaitu bank dan provider gerbang pembayaran
nasional (GPN).

4.3.1 Rancangan Sistem QR Payment Perbankan untuk Pedagang Kaki


Lima

Pendagang Pembeli
QR Code

Bank
Bank pembeli
Pedagang

GPN

Keterangan :
: Arus informasi
: Arus pembayaran transaksi
: Arus Alternatif pembayaran

Gambar 4.4 Diagram Sistem QR payment Perbankan untuk Pedagang kaki


Lima
sumber : ilustrasi penulis

Sistem QR code payment menggunakan QR code sebagai media untuk


bertukar informasi mengenai pesanan pembeli. QR code ini berupa kode fisik yang
akan di tempatkan di lapak pedagang. Ketika QR code ini di pindai (scanning)
dengan ponsel pembeli, kode ini akan di terjemahkan QR code dalam bentuk tautan
ke akun pedagang. Pembeli akan menerima informasi mengenai deskripsi pesanan
dan jumlah pembayaran. Alur pembayaran dalam sistem ini berasal dari pembeli ke
pedagang langsung dengan transaksi antar bank atau melalui GPN. Tujuannya agar
pembeli bisa melakukan transaksi tidak hanya melalui akun bank saja, melainka n

24
dapat melalui dompet digital yang dimiliki. Pembayaran kemudian akan di teruskan
ke akun bank pembeli dan akan diterima oleh bank pedagang.

mulai

Log in ke akun m-
banking

Konfigurasi
pembayaran QR Code

Pilih mode (pedagang)

input pesanan

konfirmasi penerimaan
pembayaran

selesai

Gambar 4.5 Diagram proses pembayaran untuk pedagang


sumber : ilustrasi penulis
Proses pembayaran dilakukan oleh pembeli dan pedagang. Tujuannya agar
pedagang memiliki catatan atas penjualan yang dilakukan dan dapat
mengkonfirmasi secara cepat pembayaran yang diterima. Gambar 4.5 menjelaska n
proses penerimaan pembayaran dari aku pedagang. Prosesnya dimulai dengan
pedagang yang membuka akun mobile bankingnya (m-baning) dengan cara
melakukan input username dan password akun m-banking. Sistem m-banking akan
melakukan verifikasi terhadap akun pedagang. apabila input berhasil maka
pedagang akan memasuki menu utama m-banking tersebut. Apabila input tidak
berhasil maka pedagang harus melakukan input ulang data tersebut. Kemudian
pedagang akan menuju menu pembayaran dengan QR code. Sistem akan

25
mengkonfigurasi menu-menu pembayaran QR yang tersedia, hingga pedagang
dapat memilih mode akses sebagai pedagang. dalam mode akses sebagai pedagang,
pedagang harus mengisikan data pesanan. Akumulasi data ini dapat dilihat dalam
catatan transaksi QR Payment. Selanjutnya, data pesanan akan dikirimkan sebagai
informasi dalam tautan pedagang. Setelah itu pedagang akan menerima notifikas i
jika pembayaran sudah dilakukan pembeli sehingga pedagang dapat melakukan
konfirmasi penerimaan pembayaran secara langsung.

mulai

Log in ke akun m-
banking

Konfigurasi
pembayaran QR Code

Pilih mode (pembeli)

scanning stiker QR
code penjual

konfirmasi Saldo tidak cukup


ketersediaan saldo
akun bank

log in ke akun GPN


Saldo cukup

pilih metode lain


pembayaran

konfirmasi
pembayaran

selesai

26
Gambar 4.6 Diagram proses pembayaran oleh pembeli
sumber : ilustrasi penulis
Gambar 4.6 menunjukkan diagram proses pembayaran oleh pembeli.
Proses ini dimulai dengan pembeli melakukan log in ke akun m-banking. kemudian,
sistem akan melakukan verifikasi terhadap data pembeli. Pembeli akan memilih
menu QR payment pada akun m-banking nya, setelah itu pembeli memilih mode
akses sebagai pembeli. sistem m-banking akan menghubungkan langsung aplikasi
dengan kamera pada ponsel pembeli sebagai scanner atas kode QR fisik yang
dimiliki pedagang. Pembeli melakukan pemindaian (scanning) stiker kode QR fisik
tersebut hingga pembeli terkoneksi ke jaringan pedagang dan mendapatkan
informasi jumlah yang harus dibayar. Sistem akan secara otomatis melakukan
pemeriksanaan terhadap ketersediaan saldo akun bank pembeli. apabila saldo
mencukupi, maka pembeli melakukan konfirmasi pembayaran secara langsung.
Apabila saldo tidak mencukupi, maka pembeli akan dialihkan ke halaman GPN
yang telah bekerja sama dengan bank tersebut. Pembeli harus melakukan input akun
GPN dan memilih metode alternatif pembayaran. Setelah itu pembeli baru dapat
melakukan konfirmasi pembayaran.

4.3.2 Perangkat yang Dibutuhkan untuk Eksekusi QR code Payment

Implementasi penggunaan QR code payment memerlukan perangkat keras


dan perangkat lunak untuk mencapai kinerja yang optimal.

M-
aplikasi mobile banking

Ponsel Stiker QR browser


Code
Perangkat keras Perangkat lunak

Gambar 4.6 Perangkat keras dan perangkat keras untuk penggunaan QR


Payment

27
sumber : berbagai sumber, diolah
Perangkat keras yang dibutuhkan dalam implementasi QR code payment
adalah ponseldan stiker QR code. Ponsel akan digunakan sebagai media untuk
menjalankan aplikasi m-banking dan menjalankan fungsi kamera sebagai scanner.
ponsel ini wajib dimiliki oleh pedagang maupun pembeli. Pedagang akan
menggunakan ponsel untuk melakukan proses permintaan pembayaran dan
melakukan konfirmasi penerimaan pembayaran. Pembeli akan menggunaka n
ponsel untuk menjalankan proses pembayaran. Stiker QR code merupakan stiker
yang mana telah distandarisasi oleh pemerintah agar dapat dijalankan juga dalam
sistem GPN. Stiker QR code ini dikeluarkan oleh bank mitra pedagang dalam
bentuk fisik dan ditempelkan didepan lapak pedagang.

Perangkat lunak yang digunakan adalah aplikasi mobile banking dan


browser. Aplikasi mobile banking ini dimodifikasi sehingga bisa menampilka n
menu QR code payment. menu QR code payment memiliki dua mode akses, yang
pertama sebagai pedagang dan yang kedua sebagai pembeli. Dalam mode akses
sebagai pembeli, aplikasi mobile banking akan langsung terkonfigurasi dengan
kamera yag ada diponsel. Browser digunakan sebagai media untuk menuju website
national payment gateway apabila pembayaran dengan akun bank tidak berhasil.

4.3.3 User Interface Mobile Banking untuk QR Payment

Aplikasi m-banking untuk QR code payment merupakan modifikasi dari


aplikasi m-banking yang sudah ada saat ini. Hal ini dimaksudkan agar bank hanya
perlu memodifikasi aplikasi dan para nasabah cukup meng-upgradenya. Berikut
dijelaskan mengenai tampilan aplikasi mobile banking untuk QR code payment.

28
Gambar 4.7 Tampilan halaman depan aplikasi

sumber : ilustrasi penulis


Pada gambar 4.7 halaman depan aplikasi mobile banking ini memilik i
fitur utama log in dan aktivasi. fitur log in digunakan untuk masuk ke halaman
selanjutnya. pada saat pertama kali ingin menggunakan layanan m-banking,
nasabah harus melakukan aktivasi terlebih dahulu ke customer service bank
tersebut. Nasabah juga harus menyetujui syarat dan ketentuan mengena i
penggunaan aplikasi mobile banking.

Gambar 4.8 Menu utama aplikasi mobile banking

sumber : ilustrasi penulis


Aplikasi mobile banking pada umumnya memiliki beberapa menu seperti
yang di ilustrasikan pada gambar 4.8 Pada gambar tersebut ada lima menu. Pertama,
menu rekening. menu ini digunakan untuk melihat mutasi dan saldo rekening bank.
kedua, manu transfer. menu ini digunakan untuk melakukan transfer uang ke
rekening bank lain. Ketiga, menu pembayaran. Menu ini digunakan untuk transaksi
pembayaran online seperti pembayaran BPJS, tagihan listrik, air, dan lain-la in.
Keempat, menu pengguana QR code payment. menu ini yang menjadi jembatan
untuk melakukan transaksi cepat dengan QR code. Kelima menu Admin. Menu ini
menunjukkan kepada nasabah apabila nasabah ingin menghubungi pihak bank
secara langsung. Untuk menggunakan QR code payment nasabah hanya perlu
melakukan klik pada menu “Gunakan QR ”, sehingga akan muncul tampila n
sebagai berikut.

29
Gambar 4.9 Mode akses pada menu “Gunakan QR ”

sumber : ilustrasi penulis


Ada dua mode akses pada menu penggunan QR code payment. Mode
pedagang digunakan untuk melakukan catatan order dan mengkonfir mas i
penerimaan uang, sedangkan mode pembeli digunakan untuk melakukan
pembayaran langsung.

Gambar 4.10 Tampilan mode akses pedagang

sumber : ilustrasi penulis


Pada gambar 4.10 Mode akses pedagang memiliki lima sub menu. Sub
menu pertama adalah QR ID. Sub menu ini menunjukkan QR code khusus
pedagang beserta identitas pedagang. Sub menu kedua adalah masukkan pesanan.
Pedagang akan memasukkan data barang yang dijual sehingga data tersebut dapat
dikirim sebagai tagihan ke tautan jaringan pedagang. Pada sub menu inila h

30
pembayaran akan berlangsung. menu ketiga, catatan transaksi. catatan transaksi ini
adalah menu untuk melihat daftar penjualan yang telah dilakukan. Data transaksi
tersebut disajiakan perbulan dan dapat di ekspor ke dalam bentuk dokumen
microsoft excel. Sub menu ke empat adalah menu konfigurasi. Sub menu ini
digunakan untuk tersambung dengan jaringan yang tertaut pada QR code jika
penyambungan langsung dari sub menu masukkan order tidak bekerja. Sub menu
terakhir adalah bantuan. Bantuan digunakan untuk memudahkan pengguna QR
code payment agar dapat bekerja dengan baik.

Saat akan melakukan pembayaran, pedagang harus memasukkan data


nomer pesanan, daftar menu yang dibeli pembeli, jumlah yang dibeli dan jumlah
nominal uang yang harus dibayar pembeli. Setelah itu pedagang hanya perlu klik
satu kali pada tombol kirim tagihan. Jika pembeli sudah melakukan pembayaran,
maka akan muncul pop up yang berisi pesan bahwa pembayaran telah diterima.

Gambar 4.11 Tampilan mode akses pembeli


sumber : ilustrasi penulis
Mode Akses pembeli ditunjukkan pada gambar 4.11 Setelah memilih
mode akses pembeli, aplikasi akan secara langsung terkoneksi dengan kamera
ponsel. Pembeli melakukan scanning atas QR code yang ada pada lapak pedagang
untuk melakukan pembayaran. Apabila scanning berhasil berarti saldo bank
mencukupi untuk membayar sehingga muncul pop up bahwa pembayaran telah
selesai dilakukan. Apabila saldo tidak cukup, maka pembeli akan langsung
dirahkan ke website GPN pada browser.Pembeli juga dapat melihat bantuan yang

31
terdapat pada pojok kanan bawah jika mendapatkan kesulitan saat menggunaka n
QR code payment.

4.3.4 Analisis SWOT Inovasi QR Payment Perbankan

QR code payment perbankan sebagai bentuk metode pembayaran baru


untuk transaksi pada pedagang kaki lima memiliki memiliki kekurangan dan
kelebihan. Berikut analisis Strength, Weakness, Opportunity, and threat (SWOT)
dari QR code payment perbankan.

Tabel 4.3 Analisis SWOT QR Payment Perbankan

Strengths Weaknesses
a. cara pembayarannya mudah a. aplikasi memerlukan input
b. biaya implementasi murah manual untuk memasukka n
c. proses pembayaran cepat pesanan
d. pedagang tidak perlu menyediaka n b. QR code dalam bentuk stiker
uang kembalian dapat mudah rusak
e. pedagang dapat melihat data c. aplikasi mobile banking
penjualan yang dilakukan terkadang mengalami eror pada
f. catatan penjualan dapat dijadikan jenis ponsel tertentu
dasar untuk melihat omset yang d. pembayaran lebih dari satu
mungkin akan berguna dalam pembeli tidak dapat dilakukan
proses perpajakan sekaligus
Opportunities Threats
a. jumlah pedagang kaki lima yang a. aplikasi mobile banking dapat
belum mendapatkan akses jasa terkena virus
perbankan b. banyaknya pesaing (startup
b. kebijakan pemerintah dalam penyedia layanan e-wallet)
pelaksanaan gerbang pembayaran c. banyaknya metode pembayaran
nasional dan kampanye gerakan digital
cashless society
c. pengguna ponsel yang cukup
banyak di Indonesia
sumber : berbagai sumber, diolah

32
4.3.5 Peranan pihak-pihak terkait

Keberadaan layanan QR code payment memerlukan bantuan dari beberapa


pihak agar dapat bekerja secara optimal. layanan QR code payment ini melibatka n
bank, penyedia layanan gerbang pembayaran nasional (GPN), pemerintah, calon
pembeli, dan pedagang kaki lima. berikut peranan entitas-entitas tersebut dalam
implementasi inovasi QR Payment.

a. Bank
Bank sebagai lembaga keuangan berperan penting menyediakan aplikasi
mobile banking dan stiker QR code. Selain itu bank juga berupaya
menarik calon pembeli untuk menjadi nasabah pada bank tersebut agar
pembeli dapat menggunakan layanan QR payment.
b. Penyedia layanan GPN
Penyedia layanan GPN menyediakan jaringan untuk melihat alternatif
pembayaran apabila pembeli tidak memiliki jumlah saldo bank yang
cukup untuk melakukan transaksi. keberadaan GPN menjadi alternatif
karena biaya bertransaksi yang melibatkan pihak ke tiga lebih tinggi dari
pada biaya transaksi antar bank secara langsung.
c. pemerintah
pemerintah bertindak sebagai regulator yang menentukan kebijakan
mengenai sistem pembayaran di Indonesia serta standarisasi aplikasi dan
stiker QR code. Selain itu pemerintah bertindak untuk mengawas i
jalannya sistem QR code payment agar sistem ini tidak dimanfaatka n
untuk kepentingan tertentu.
d. calon pembeli dan pedagang kaki lima
calon pembeli dan pedagang kaki lima berperan dalam mengeksekus i
aplikasi sistem QR code payment. Mereka dapat memberikan tanggapan
(feedback) atas jalannya QR code payment kepada bank-bank penyedia
sehingga upaya perbaikan QR code payment dapat disesuaikan dengan
minat penggunanya.

33
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada era financial technology ini, Lembaga keuangan disandingkan dengan
adanya shadow banking. Keberadaan shadow banking menyediakan intermed ias i
alternatif,yang lebih mudah. Shadow banking meningkatkan jumlah kredit yang
tersedia bagi peminjam khususnya sektor mikro seperti pedagang kaki lima yang
unbankable. Akan tetapi di sisi lain shadow banking bisa menyebabkan
ketidakstabilan sistem keuangan. Ketidakstabilan karena sistem shadow banking
bisa disebabkan karena leverage yang tinggi dan moral hazard. Oleh karena itu
perbankan harus mampu mempertahankan eksistensinya sebagai Lembaga
keuangan yang lebih aman.

Sebagai upaya mempertahankan eksistensi tersebut, perbankan harus


mampu mengikuti perkembangan teknologi dengan menyasar kalangan masyarakat
mikro, seperti pedangang kaki lima. Hal ini akan menjadi kesempatan yang
potensial bagi perbankan untuk mengenalkan diri mereka kare jika dilihat
komposisi penduduk di Indonesia, sebagian besar adalah penduduk usia muda dan
71% dari penghasilan penduduk non pertanian berada di sektor pedagang kaki lima.

Implementasi inovasi untuk mempertahankan eksistensi tersbut dapat


dilakukan dengan menciptakan QR Code Payment. QR code payment ini
merupakan alternative pembayaran cepat yang dapat terintegrasi dengan akun bank
pembeli dan pedagang melalui mobile banking. Penerapan QR code payment ini
memerlukan bantuan beberapa pihak agar dapat dilaksanakan dengan baik. pihak-
pihak tersebut adalah : bank, pedagang, pembeli, pemerintah, dan penyedia gerbang
pembayaran nasional (GPN).

5.2 Saran
Penelitian ini merupakan penelitian inovasi operasional atas QR code
payment. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan refensi untuk melakukan
penelitian teknis terkait pengembangan sistem QR code payment perbankan

34
DAFTAR PUSTAKA

Apriyani. 2018. “Memahami Praktik Shadow banking ”.


http://infobanknews.com. (Diakses 12 Agustus 2018)
Badan Pusat Statistik. 2015. “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035 ”
https://www.bps.go.id. (diakses Juli 2018)
_______. 2017. ”Jumlah Usaha Non Pertanian Hasil Sensus Ekonomi Tahun 2016.
https://www.bps.go.id. (diakses Agustus 2018).
_______. 2018. “Penduduk Indonesia Bedasarkan Umur dan Jenis kelamin.
https://www.bps.go.id. (diakses Agustus 2018)
Bank Indonesia. 2017. “Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/8/PBI/2017 tentang
Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway) ”
https://www.bi.go.id. (diakses Agustus 2018)
______. 2018. “Jumlah APMK beredar”. https://www.bi.go.id. (diakses Maret
2018)
Dennise Adrianto, dkk. 2015. “QR code Reader pada Amartphone Android
Untuk Aplikasi Layanan Restoran”. Comtech Vol.6 No (2).
Don W. Tyler, dkk.2017. “QR code-Enabled P2P Payment System and
Methods”.United Stated Patent
Gorton, G. , Metrick, A. , 2010. Regulating the Shadow banking system. Brook.
Papers Econ Act. 1, 261–312
Internasional Pricewaterhouse. 2017. “Perguruan Tinggi Menyambut Era
Disrupsi”. Artikel dalam https://nasional.sindonews.com . (Diakses tangga l
8 agustus 2018)
Kasali, rhenald. 2017. £Disrupsi Akan Semakin Kuat”.
https://ekonomi.kompas.com. (Diakses pada 5 agustus 2018).
Ketua Umum Perbanas. 2017. “Perbankan Harus Siap Hadapi Disrupsi Digita l
ini Alasannya”. http://www.tribunnews.com. (Diakses 12 Agustus 2018 )
Liguo Lou, dkk. 2017. “Tourist Satisfication Enhancement Using Mobile QR
code Payment : An Empirical Investigation”. Sustainability Vol. 9.
Otoritas Jasa Keuangan. 2018. Mayoritas Perusahaan Fintech “ Peer to Peer
Lending Ilegal Berasal dari China. Artikel dalam
https://ekonomi.kompas.com/ . (Diakses pada 1 agustus 2018)
POJK Nomor 77/POJK.01/2016
Ratnasari, Yuliana. 2018. “BI Terbitkan Aturan QR code di Sistem Pembaya ra n
Mulai April 2018. https://www.tirto.id (diakses Agustus 2018)
Supriyatna, Iwan. 2018. “BI Klaim Pembayaran Via QR code lebih Simpel dan
Murah”. https://www.suara,com (diakses Agustus 2018)

1
Tuhirman, edy. 2017. “Disrupsi Akan Terjadi di Sektor Keuangan Korban
Pertama Perbankan”. https://www.wartaekonomi.co.id. (Diakses 8 agustus
2018)
Valančienė, L., & Jegelevičiūtė, S. (2014). Crowdfunding for creating value :
stakeholder approach. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 156, 599-
604
Younker, James. 2017. “Peer-to-Peer Lending:An Emerging Data Gap in
Shadow banking”. http://www.bis.org.(diakses 12 Agustus 2018)
2014.“ Pengembangan Sistem Pembayaran Elektronik Menggunakan Kode QR
Berbasis Android”. Jurnal Teknik Pomits Vol 2, No. (1).

Anda mungkin juga menyukai