Anda di halaman 1dari 29

Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam 

Islam
Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam Islam

Sebagai bahan referensi dan renungan bahkan tindakan, berikut, garis besar hak
dan kewajiban suami isteri dalam Islam yang di nukil dari buku “Petunjuk Sunnah
dan Adab Sehari-hari Lengkap” karangan H.A. Abdurrahman Ahmad.

Hak Bersama Suami Istri

 Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan


rahmah. (Ar-Rum: 21)
 Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing
pasangannya. (An-Nisa’: 19 – Al-Hujuraat: 10)
 Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
 Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

Adab Suami Kepada Istri .

 Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam


menjalankan agama. (At-aubah: 24)
 Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan
Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14)
 Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah.
(AI-Furqan: 74)
 Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi
nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku
adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)
 Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini
secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan
pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan
istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
 Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik
akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
 Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan
anaknya.(Ath-Thalaq: 7)
 Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
 Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga.
Sebaiknya terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada
keberkahan. (Baihaqi, Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)
 Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu
Ya’la)
 Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh
kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
 Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya
pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah
ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud).
 Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada
istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-
Ahzab: 34, At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
 Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita
(hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
 Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
 Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
 Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami
wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa.
(AIGhazali)
 Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih
dahulu kepada istrinya. (AI-Baqarah: ?40)

Adab Isteri Kepada Suami

 Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-
Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
 Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih
tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228)
 Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)
 Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:

1. Menyerahkan dirinya,
2. Mentaati suami,
3. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
4. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
5. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)

 Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun


sedang dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
 Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk
menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan
melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)
 Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt.
mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya
daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)
 Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal
dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)
 Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.:
“Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri
bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)
 Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
 Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan
suami(Thabrani)
 Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di
belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
 Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2)
Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
 Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya
selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)
 Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan
menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30-31)

wallahu’alam bisowab…
http://www.hendra.ws/hak-dan-kewajiban-suami-isteri-dalam-islam/
UNIVERSITAS ESA UNGGUL 

2016

BAB I
PENDAHULAN
A.   Latar Belakang
Maraknya perceraian di kalangan masyarakat umumnya terjadi karena kurangnya
pemahaman masyarakat tentang arti sebuah pernikahan. Tujuan pernikahan itu sendiri adalah
untuk melangsungkan keturunan yang sakinah, mawaddah dan warahmah untuk mencapai
ridho Allah SWT.
Pentingnya mengetahui arti sebuah pernikahan memang sudah seharusnya diketahui;
karena dengan begitu, rumah tangga yang akan dibangun dapat berlangsung lama. Dalam
berumah tangga pasti ada ujian ataupun cobaan yang dapat menghambat kehidupan berumah
tangga itu sendiri. Namun jika lebih dewasa menghadapi ujian tersebut, masalah itu justru
akan membuat kelangsungan berumah tangga menjadi semakin kokoh.
Untuk itu, kami mengambil tema ini dalam penyusunan makalah kami untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya arti sebuah pernikahan.
B.   Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Apa pengertian, dalil, tujuan dan hukum pernikahan?
2.      Apa saja rukun dan syariat nikah?
3.      Siapa yang dapat menjadi wali dalam sebuah pernikahan?
4.      Bagaimana sighat (ijab qabul) dalam sebuah pernikahan?
5.      Apa saja contoh kasus-kasus pernikahan?
6.      Apa saja pokok-pokok pembinaan rumah tangga ?
7.      Bagaimana perjanjian dalam pernikahan?
C. Tujuan Masalah
Tujuan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Menjelaskan pengertian, dalil, tujuan dan hukum pernikahan.
2.      Mengetahui rukun dan syariat nikah.
3.      Mengetahui wali dalam sebuah pernikahan.
4.      Mengetahui sighat (ijab qabul) dalam sebuah pernikahan.
5.      Mengetahui kasus-kasus pernikahan.
6.      Menjelaskan pokok-pokok pembinaan rumah tangga.
7.      Menjelaskan perjanjian dalam pernikahan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian, Dalil, Tujuan dan Hukum Pernikahan
Pernikahan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dengan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
berkeluarga, yang diliputi ketentraman, kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.
Pernikahan adalah kejadian- kejadian dimana perjanjian antara dua manusia terjadi.
Perjanjian suci menurut Islam sangatlah berat, karena memerlukan tanggung jawab,
komitmen, dan kasih sayang. Pernikahan adalah hal normal yang dibutuhkan manusia, dalam
Islam, hukum pernikahan adalah sunnah. Tapi dapat menjadi wajib, makruh, atau bahkan
haram.
          Dilansir dari anneahira.com, urusan dan detail-detail pernikahan mulai yang sederhana
sampai terumit sudah diatur didalam Islam secara lengkap. Pernikahan dapat menjadi jalan
bagi yang sudah tidak dapat menahan hawa nafsunya, pernikahan dapat juga berarti untuk
membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, serta memiliki keturunan
yang dididik menjadi sebaik-baiknya manusia dan membawa nama baik keluarga.
          Islam memang agama yang lengkap dengan segalanya yang telah diatur dan memiliki
ketentuan. Termasuk pernikahan yang sakral, pasangan suami istri haruslah memahami satu
sama lain. Hidup bersama berarti juga meghilangkan sifat individualis, saling membutuhkan
satu sama lain baik secara biologis maupun psikologis. Suami harus menafkahi istri dan istri
harus berbakti kepada suami, segalanya akan lebih indah jika berpedoman pada nilai-nilai
Islam.
                 Adapun Dalil atau Hadis Nabi yang tercantum dalam Al Quran yaitu:
1.      Surat An Nisa 4:1 yang berbunyi (wahai manusia, bertakwalah kamu sekalian kepada Tuhan
yang telah menjadikan kamu satu diri, lalu ia jadikan daripadanya jodohnya kemudian dia
kembangkan menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak sekali).
2.      Surat Yaasiin 36:36 yang berbunyi (Maha suci Allah yang telah menciptakan pasangan-
pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dari diri mereka maupun dari
apa yang  mereka ketahui).
3.      Surat Adz Dzariyat 51:49 yang berbunyi ( Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-
pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah).
4.      Surat Ar Ruum 21 yang berbunyi (Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, diciptakan-Nya
untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu mendapat ketenangan hati, dan
dijadikan-Nya kasih sayang diantara kamu, sesungguhnya yang demikian menjadi tanda-
tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berpikir).
          Sedangkan untuk tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk memenuhi hajat naluri
manusia, sesuai petunjuk agama dalam rangka mewujudkan keluarga harmonis, sejahtera,
bahagia lahir batin, berdasar cinta kasih, dan kasih sayang. Selain itu,  juga bertujuan untuk:
a.       Kelangsungan keturunan.
b.      Memenuhi hajat naluri untuk mendapatkan kasih sayang dan ketentraman hidup.
c.       Memenuhi perintah agama.
d.      Menimbulkan rasa tanggung jawab, hak dan kewajiban.
e.       Membangun keluarga bahagia dan masyarakat muslim damai.
f.       Sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT
g.      Untuk Iffah ( menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang).
h.      Menghindari fitnah bagi orang-orang yang sudah menikah adalah lebih mudah ketimbang
orang yang masih membujang, karena timbulnya fitnah adalah dari penglihatan, pendengaran
ataupun khayalan.
i.        Menyempurnakan agama (apabila seorang hamba menikah maka telah sempurna separuh
agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya ).
Hukum pernikahan atau pernikahan yaitu hukum asal merupakan mubah, asalkan sudah
memenuhoi syarat. Wajib bagi yang telah mampu, telah ingin menikah, dan khawatir berzina.
Ada pula 4 asas hukum pernikahan dalam Islam tersebut :
a.       Haram : melaksanakan pernikahan untuk menyakiti istri, bagi seseorang yang tidak mampu
memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak,
haramlah ia kawin. Adapun hadisnya “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
kedalam kebinasaan dengan tangan mu sendiri( QS. Al-Baqarah:195).
b.      Sunnah : telah mampu lahir batin, tetapi tidak akan berbuat zina, maka sunnah lah ia kawin.
Allah bersabda” sesungguhnya Allah menggantikan cara kependetaan dengan cara yang lurus
lagi ranah(kawin)kepada kita.(Sayyid sabiq 6, 1996:23).
c.       Makruh : bagi yang belum mampu ataupun makruh kawin bagi seseorang yang lemah
syahwat dan tidak mampu member belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istrinya,
karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga makruh hukumnya
jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut suatu
ilmu.
d.      Wajib : bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan pernikahan, namun nafsunya
sudah mendesak dan takut terjerumus dalam tindak perzinaan wajiblah bagi dia untuk kawin.
          Walimah atau pesta hukumnya sendiri sunnah. Rasullulah bersabda: adakanlah
walimah walau dengan seekor kambing”. Memenuhi undangan walimah dianjurkan, sebagian
berpendapat wajib.
B.     Rukun dan Syarat Nikah
a.       Rukun Nikah
                 Pernikahan dapat dilaksanakan apabila memenuhi unsur-unsur berikut :
1.    Calon pengantin laki-laki dan wanita.
2.    Wali pihak calon pengantin wanita.
3.    Dua orang saksi
4.    Akad nikah ( ijab Kabul nikah)
5.    Di satu tempat (satu ruangan)
b.      Syarat Nikah
a)    Calon pengantin pria syaratnya:
1.       Beragama Islam
2.       Laki-laki (bukan banci)
3.       Orangnya diketahui, jelas, tak ragu-ragu( misalnya kembar)
4.       Tidak ada larangan nikah dengan calon pengantin wanita.
5.       Mengenal dan mengetahui calon istrinya.
6.       Rela tidak dipaksa.
7.       Tidak sedang ihram.
8.       Tidak mempunyai istri yang dilarang dimadu dengan calon istrinya.
9.      Tidak ada larangan lain, misalnya istrinya sudah empat orang.

b)   Calon pengantin wanita syaratnya:


1.      Beragama Islam
2.      Wanita asli ( bukan banci)
3.      Orangnya diketahui, jelas, tak ragu-ragu(kembar)
4.      Tidak dalam masa iddah
5.      Tidak paksa
C. Wali dalam Sebuah Pernikahan
                 Yang boleh menjadi wali adalah :
a. Dari segi keturunan, secara urutan : ayah kandung, kakak laki-laki, saudara laki-laki kandung,
saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara laki-laki, anak laki-
laki saudara laki-laki seayah, paman, anak laki-laki paman.
b.   Dari segi haknya, ada dua macam wali yaitu :
1.      Wali Mujbir (paksa) adalah wali yang mempunyai kekuatan untuk memisahkan anaknya
dengan ketentuan anak tersebut dibawah umur atau kurang waras.
2.      Wali Hakim adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali, atau walinya menolak
menikahkan anaknya. Wali hakim adalah laki-laki yang soleh, adil dan sempurna panca
indranya, yang diangkat, diminta atau ditunjuk oleh calon pengantin laki-laki dan wanita.
   Dengan demikian dalam keadaan bagaimanapun dalam pernikahan harus ada wali. Tidak
sah suatu pernikahan tanpa adanya wali dan saksi dua orang.
       Rosullulah bersabda: “Tidaklah sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”.

c. Saksi dan Syaratnya.


1.      Dua laki-laki, atau satu laki-laki dan dua wanita.
2.      Muslim.
3.      Baligh ( dewasa).
4.      Berakal.
5.      Mendengar dan mengerti maksud nikah.
D. Ucapan (Sighat) Akad atau Ijab Qabul Nikah
            Contoh ijab atau perkataan dari wali adalah sebagai berikut, “Atnan saya nikahkan
kamu dengan anak saya yang bernama Riri dengan mas kawin emas seberat 5 gram dibayar
tunai, dan langsung dijawab oleh calon pengantin laki-laki, yaitu: saya terima nikahnya Riri
anak Bapak, dengan mas kawin diatas dibayar tunai”.
            Ijab qabul dilaksanakan secara lisan atau langsung, tetapi dapat diwakilkan, dan dapat
pula dengan tulisan. Ijab dari wali, qabul dari pengantin laki-laki, tetapi boleh juga dibalik.
E. Kasus-kasus Pernikahan
a.   Pernikahan campuran
                 Pernikahan campuran disini mempunyai tiga arti, yaitu :
1.    Pernikahan campuran adalah pernikahan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan.
2.    Pernikahan antar orang yang berbeda warga Negara, jika keduanya orang Islam maka
dinikahkan di KUA.
3.    Pernikahan antar dua pemeluk agama yang berbeda. Islam tidak mengatur dan tidak ada
dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974. Islam melarang pernikahan dua pemeluk agama
berbeda.
           Pernikahan antar agama dilarang, dalam satu keluarga harus satu akidah atau satu
tauhid. Bila beda agama berarti lepas hubungan kekeluargaan, termasuk hak waris. Tujuan
pernikahan adalah menciptakan ketenangan, kasih sayang dan kesejahteraan, maka harus satu
komando, satu agama.
b.    Kawin Hamil
   Kawin hamil adalah pernikahan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan
seorang wanitayang telah dihamilinya. Menurut kompilasi hukum Islam bab VIII pasal 53,
seorang wanita yang hamil diluar nikah ( sebelum nikah ) dapat dikawinkan dengan seorang
laki-laki yang menghamilinya. Pernikahan tersebut dapat dilakukan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya. Bagi keduanya tidak perlu melakukan pernikahan ulang setelah
anak yang dikandungnya lahir.
F. Pokok-pokok Pembinaan Rumah Tangga
1. Nilai-nilai kehidupan rumah tangga:
a.       Pasangan suami istri harus pasangan sesame manusia bukan makhluk lain.
b.      Suami itu seperti pakaian bagi istri, suami dan istri harus saling menghargai, menghormati
dan menutup rahasia.
c.       Suami adalah pimpinan dalam rumah tangga yang wajib mengayomi, melindungi dan
tanggung jawab terhadap keluarga. Istri adalah pimpinan rumah tangga yang bersifat
kedalam.
d.      Asas musyawarah dipakai dirumah tangga.
2. Fungsi keluarga
a.       Orang tua sebagai pendidikan dalam pendidikan dasar dan lanjutan dengan pendidikan
tauhid.
b.      Orang tua sebagai pimpinan rumah tangga.
                 Akibat negatif dari pernikahan campuran adalah:
1.      Kerenggangan antar keluarga suami atau istri karena perbedaan agama.
2.      Keluarga yang berbeda agama akan terkucil dan sulit kembali kekeluarga besar yang seiman
tersebut.
3.      Kesulitan perkembangan anak, sebab anak mengikuti siapa. Ibunya atau bapaknya sementara
itu anak harus belajar agama yang diikuti oleh bapaknya atau ibunya.
G. Perjanjian Pernikahan
           Untuk menjalin ikatan pernikahan yang sangat kuat, atas dasar saling percaya dan
menghindarkan diri dari kemungkinan yang tidak dikehendaki. Setelah terjadinya pernikahan
kedua mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawianan. Perjanjian pernikahan
dilaksankan sesaat setelah akad nikah dicatat dan ditanda tangani oleh kedua mempelai, serta
disahkan oleh pegawai pencatat nikah (petugas kantor urusan agama). Perjanjian tersebut
meliputi dua hal yaitu :
1.      Ta’lik Thalak ketentuanya :
a.    Isi ta’lik thalak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
b.    Apabila keadaan yang diisyratkan dalam taklik thalak betul-betul terjadi kemudian, tidak
dengan sendirinya jatuh talak. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan
persoalanya ke pengadilan agama.
c.    Perjanjian taklik thalak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap pernikahan,
akan tetapi sekali talik thalak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
2.      Persyaratan perjanjian pernikahan
a.    Pada waktu sebelum pernikahan dilangsungkan kedua calon  mempelai dapat membuat
perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam
pernikahan.
b.    Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
c.    Disamping ketentuan dipoin pertama dan kedua diatas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenanggan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta
pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
d.   Apabila dibuat perjanjian pernikahan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat,
maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga.
e.    Apabila dibuat perjanjian pernikahan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada nomor 4 diatas,
dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami
menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
f.     Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-
masing kedalam pernikahan maupun yang di peroleh masing-masing selama pernikahan.
g.    Dengan tidak menguranggi ketentuan tersebut pada nomor 6 diatas, dapat juga diperjanjikan
bahwa pencampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat
pernikahan dilangsungkan, sehingga pencampuran ini  tidak meliputi harta pribadi yang
diperoleh selama pernikahan atau sebaliknya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Pernikahan menurut Islam adalah menyatukan laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga, yang diliputi ketentraman, kasih sayang dengan
cara yang diridhoi Allah SWT. Tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk memenuhi hajat
naluri manusia, sesuai petunjuk agama dalam rangka mewujudkan keluarga harmonis,
sejahtera, bahagia lahir batin, berdasar cinta kasih, dan kasih sayang. Pernikahan yang
didasari karena ingin mendapatkan keridhoan dari Allah akan menjadikan keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan warahmah.
B. Saran
            Pengetahuan mengenai pernikahan sudah cukup penting untuk diketahui karena
pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan begitu saja. Pernikahan sudah
sepatutnya dipikirkan baik-baik dan direncanakan secara matang. Restu dari orang tua juga
merupakan salah satu hal yang penting dalam sebuah pernikahan karena orang tua tidak
mungkin memberikan sesuatu yang tidak baik bagi anaknya. Hal yang tak kalah penting
lainnya adalah persiapan mental bagi orang yang akan melangsungkan pernikahan.

DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, 2014. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Universitas Esa Unggul.
http://www.anneahira.com.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia.
Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya
dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi
perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari
bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam
dan lain sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan
dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah
dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita
yang muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti
pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman
liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang
mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal
menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status
pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas
sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, baik itu menurut UUD
1945, Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut agama Islam itu sendiri.

PEMBAHASAN

A.  Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa dasar hukum perkawinan di Indonesia yang
berlaku sekarang ada beberapa peraturan ,diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No.1/1974
5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama


dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 point c dinyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama
Islam. Kemudian dalam pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. KHI tersebut
selaras dengan pendapat Prof. Dr. Hazairin S.H., yang menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta
penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan
melanggar hukum agamanya.
Dalam KHI telah dinyatakan dengan jelas bahwa perkawinan beda agama jelas tidak
dapat dilaksanakan selain kedua calon suami isteri beragama Islam. Sehingga tidak ada
peluang bagi orang-orang yang memeluk agama Islam untuk melaksanakan perkawinan antar
agama.
Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, perkawinan antar agama
dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan
memberikan peluang tersebut terjadi, karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan
beberapa penafsiran bila terjadi perkawinan antar agama.
Berdasarkan UU No. 1/1974 pasal 66, maka semua peraturan yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1/1974, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu
perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW, Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan campuran. Secara a contrario, dapat
diartikan bahwa beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam UU
No. 1/1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan calon suami isteri
dapat dilihat dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1, bahwa
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Pada pasal 10 PP No.9/1975 dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika
dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada
tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan
beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f.
Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena
telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang
perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang
berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga
bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena
itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat
merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang
perkawinan.

B.  Perbedaan Pandangan Tentang Perkawinan Beda Agama

Pendapat yang menyatakan perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap


UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f, maka instansi baik KUA dan Kantor Catatan Sipil
dapat menolak permohonan perkawinan beda agama berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 jo pasal
8 f UU No. 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU ditegaskan
bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan pasal tersebut berarti bahwa
perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya, dan ketentuan yang dilarang oleh
agama berarti dilarang juga oleh undang-undang perkawinan. Selaras dengan itu, Prof. Dr.
Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak
ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi
mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat
dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada
pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan
antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda
agama.
Pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan
campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang
berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat pertama menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara
orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan
penduduknya. Pendapat kedua menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan
antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur
dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan
perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum
diatur dalam undang-undang perkawinan. Berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, maka semua
peraturan yang mengatur tentang perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU No. 1/1974,
dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata / BW, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan peraturan perkawinan
campuran. Artinya beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur dalam
UU No. 1/1974.

C.  Pendapat Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama


Merujuk pada Undang-undang No. 1/1974 pada pasal 57 yang
menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
Berdasarkan pada pasal 57 UU No. 1/1974, maka perkawinan
beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan
campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohonan
perkawinan beda agama baik di KUA dan Kantor Catatan Sipil
dapat ditolak.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan
campuran atau perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-
undang secara tuntas dan tegas. Oleh karenanya, ada Kantor Catatan
Sipil yang tidak mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan
alasan perkawinan tersebut bertentangan dengan pasal 2 UU
No.1/1974. Dan ada pula Kantor Catatan Sipil yang mau
mencatatkan berdasarkan GHR, bahwa perkawinan dilakukan
menurut hukum suami, sehingga isteri mengikuti status hukum
suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang
Perkawinan tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah
pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau
kepercayaannya”. Artinya jika perkawinan kedua calon suami-isteri
adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau
kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua
hukum agama atau kepercayaan itu harus dipenuhi semua, berarti
satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu
kali lagi menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang
lainnya.
Dalam praktek perkawinan antar agama dapat dilaksanakan
dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau
kepercayaan si suami atau si calon isteri. Artinya salah calon yang
lain mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum
agama atau kepercayaan pasangannya.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No.
1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar
agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan
tentang perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989
Nomor: 1400 K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan MA adalah dalam UU No. 1/1974 tidak
memuat suatu ketentuan tentang perbedaan agama antara calon
suami dan calon isteri merupakan larangan perkawinan. Dan hal ini
sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang menyatakan bahwa segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, tercakup
di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga
negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh undang-undang
tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan larangan
untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal
29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi
setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di UU No.
1/1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai karena
terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar
antara UU No. 1/1974 dengan kedua ordonansi tersebut. Sehingga
dalam perkawinan antar agama terjadi kekosongan hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup
di Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak
sedikit terjadi perkawinan antar agama. Maka MA berpendat bahwa
tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut,
sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak
diberiakan solusi secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif
dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa
penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama
serta hukum positif, maka MA harus dapat menentukan status
hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi
perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama
dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai
satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan
permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam
untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan MA tentang perkawinan antar agama sangat
kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum
untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas
dinyatakan dalam UU No. 1/1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat
dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan
perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan
tersebut sebagai salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku
di Indonesia.
Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan
untuk melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan
kepada Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas
dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan
demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan
tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya.
Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan
halangan untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan
bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan
demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam
kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status
hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat
dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang
berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56
UU No. 1/1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat
dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan
antar pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila
dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana
perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak
dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat
didaftarkan di kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Artinya perkawinan antar agama yang dilakukan oleh pasangan
suami isteri yang berbeda agama tersebut adalah sah karena dapat
diberikan akta perkawinan.

D.  PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF FIQH


Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud
secara sempurna jika suami-istri berpegang pada ajaran yang sama.
Keduanya beragama dan teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika
keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan
keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan
makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria
non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlul Kitab. Dan pria Muslim
secara pasti dilarang nikah dengan wanita musyrik. Kedua bentuk
perkawinan tersebut mutlak diharamkan.
Yang menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad
modern ini adalah perkawinan antara pria Muslim dengan wanita
Kitabiyah. Berdasar dzahir ayat 221 surat Al-Baqarah. Menurut
pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria Muslim dengan
Kitabiyah dibolehkan. Sebagian ulama mengharamkan atas dasar
sikap musyrik Kitabiyah. Dan banyak sekali ulama yang
melarangnya karena fitnah atau mafsadah dari bentuk perkawinan
tersebut mudah sekali timbul.
Perkawinan Beda Agama dalam Tinjauan Hukum Islam,
Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail Fiqhiah berpendapat yang
dimaksud dengan “perkawinan antar orang yang berlainan agama”
disini ialah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang
bukan Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini, Islam
membedakan hukumnya sebagai berikut :
1. Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
2. Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul
Kitab.
3. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan pria non
Muslim.
Masjfuk menegaskan bahwa Islam melarang perkawinan
antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik. Berdasarkan
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221
‫رة‬HH‫ (البق‬... ‫ت َحتىَّ ي ُْؤمِنَّ َوألَ َم ٌة م ُْؤ ِم َن ٌة َخ ْي ٌر مِّنْ ُم ْش ِر َك ٍة َو َل ْو أَعْ َج َب ْت ُك ْم‬
ِ َ ‫َوالَ َت ْن ِكح ُْوا ْال ُم ْش ِركا‬
)221 :
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih
baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
Namun dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang
siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu?.
Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa
musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari
bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-
Quran memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala.
Maka menurut pendapat ini seorang Muslim boleh kawin dengan
wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina, India dan
Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab
suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua
musyrikah, baik itu dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab,
selain Ahlul Kitab, yakni (Yahudi dan Nashrani) tidak boleh
dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam
dan bukan pula Yahudi/Nashrani tidak boleh dikawini oleh pria
Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha,
Hindu, Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama selain
Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori “musyrikah”.
Maka Masjfuk mengatakan, bahwa hikmah dilarangnya
perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang
bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara
orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu
terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab
orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta
alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan
percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada
umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka
penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu
mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk
meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti
“kepercayaan/ideologi” mereka.
Menurut Masjfuk, kebanyakan ulama berpendapat, bahwa
seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab
(Yahudi dan Kristen), ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al-
Maidah ayat 5:
... : ‫ (المائدة‬...‫ب ِمنْ َق ْبلِ ُك ْم‬َ َ ‫ات م َِن الَّ ِذي َْن أ ُ ْو ُت ْوا ْالكِتا‬ َ ْ‫ت َو ْالمُح‬
ُ ‫ص َن‬ ِ ‫ات م َِن ْالم ُْؤ ِم َنا‬ َ ْ‫َو ْالمُح‬
ُ ‫ص َن‬
)5
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wantia yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi
kitab suci sebelum kamu”.
         Masjfuk menambahkan, bahwa Rasyid Ridha sependapat
dengan Jumhur yang membedakan musyrikin/musyrikah disatu
pihak dengan Ahlul Kitab (Kristen dan Yahudi) dipihak lain, sesuai
dengan pengelompokan yang dibuat oleh Al-Quran, sekalipun pada
hakikatnya Ahlul Kitab itu sudah melakukan “syirik” menurut
pandangan tauhid Islam. Kaena itu perkawinan antara seorang pria
Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi diperbolehkan agama,
berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5, sunnah dan ijma’. 
          Menurut pandangan Masjfuk, hikmah diperbolehkannya
perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab ialah karena
pada hakekatnya agama Yahudi dan Kristen itu satu rumpun dengan
agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion).
Maka jika wanita Ahlul Kitab kawin dengan Muslim yang baik,
yang taat pada ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas
kesadaran dan kemauan sendiri masuk Islam karena ia dapat
menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran
Islam, setelah ia hidup ditengah-tengah keluarga Islam.
           Yang terakhir Masjfuk mengatakan, bahwa ulama telah
sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan seorang wanita
Muslimah dengan pria non Muslim, baik calon suaminya itu
termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti
Kristen dan Yahudi (revealed religion) ataupun pemeluk agama
yang mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhisme,
Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak
punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci, termasuk
Animisme, Ateisme dan Politeisme.
        Menurut madzhab imamiyah dengan tegas mengharamkan
perkawinan beda agama berdasarkan dalil alqu’an, dan dalil yang
menjadi dasar hukum untuk larangan kawin antara wanita
Muslimah dengan pria non-Muslim ialah:
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:
: ‫ (البقرة‬... ‫ ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َحتىَّ ي ُْؤ ِم ُن ْوا َو َل َع ْب ٌد م ُْؤ ِمنٌ َخ ْي ٌر ِمنْ ُم ْش ِركٍ َو َل ْو أَعْ َج َب ُك ْم‬H‫َوالَ ُت ْن ِكح ُْوا‬
)221
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan
wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
            Madzhab Ato bin rabbah berpendapat bahwa pada masa
penakhlukan kota makkah islam telah memberi rukhsah keringanan
untuk mengawini wanita kitabiyah karena jumlah wanita pada saat
itu sangat sedikit, adapun pada masa sekarang hal tersebut tidak
berlaku lagi karena wanita muslimah sudah cukup banyak. [1]
            Madzhab Ibladiyah dalam aliran ini berpendapat
membolehkan kawin dengan wanita kitabiyah terkait dengan
perjanjian perdamaian, namun ini pun makruh hukumnya, diantara
mereka ada yan berpendapat boleh dengan syarat wanita kitabiyah
telah memeluk agama kristen sebelum alquran diturunkan.
             Madzhab Druze salah satu cabang dari Syiah ismailiyah
berpendapat bahwa haram hukumnya untuk menikahi wanita wanita
ahli kitab dan wanta wanita yang bukan dari golonganya.[2]
 Ijma para ulama tentang larangan perkawinan antara wanita
Muslimah dengan pria non Muslim.
           Menurut Masjfuk, hikmah dari larangan ini adalah karena
dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan
menjalankan ajaran-ajaran agama suaminya, kemudian terseret
kepada agama suaminya (non-Muslim). Demikian pula anak-anak
yang lahir dari perkawinannya dikhawatirkan pula mereka akan
mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga,
terhadap anak-anak melebihi ibunya.
            Dalam hal ini Masjfuk menambahkan, fakta-fakta sejarah
menunjukkan bahwa tiada sesuatu agama dan sesuatu ideologi di
muka bumi ini yang memberikan kebebasan beragama, dan
bersikap toleran terhadap agama/kepercayaan lain, seperta agama
Islam. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat
120 :
“Orang Yahudi dan Kristen tidak akan senang kepada kamu, hingga
kamu mengikuti agama mereka”.
Dan Allah berfirman surat An Nisa ayat 141 yang artinya : 
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-
orang kafir untuk melenyapkan orang-orang yang beriman”.
          Firman tersebut mengingatkan kepada umat Islam hendaknya
selalu berhati-hati dan waspada terhadap tipu muslihat orang-orang
kafir termasuk Yahudi dan Kristen, yang selalu berusaha
melenyapkan Islam dan umat Islam dengan berbagai cara, dan
hendaklah umat Islam tidak memberi jalan/kesempatan pada
meraka untuk mencapai maksudnya, misalnya dengan jalan
perkawinan muslimah dengan pria non Muslim.
        Courtenay Beale dalam bukunya Marriage Before and
After[3], mengingatkan, bahwa pasangan suami-istri yang terdapat
religious antagonism (perlawanan/permusuhan agama), misalnya
perkawinan antara pemuda Katolik dengan pemudi Protestan atau
Yahudi atau Agnostik, yang masing-masing yakin dan konsekuen
atas kebenaran agama/ideologinya, maka akan sulit sekali
menciptakan rumah tangga yang harmonis dan bahagia, karena
masalah agama adalah masalah yang sangat prinsip dan sensitif
bagi umat beragama. 
           Menurut pengamatan Masjfuk, bahwa perkawinan antar
orang yang berlainan agama bisa menjadi sumber konflik yang
dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga. Karena
itu, tepat dan bijaksanalah bahwa agama Islam pada dasarnya
melarang perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan
orang yang bukan Islam, kecuali pria Muslim yang kualitas iman
dan Islamnya cukup baik, diperkenankan kawin dengan wanita
Ahlul Kitab yang kaidah dan praktek ibadahnya tidak jauh
menyimpang dari akidah dan praktek ibadah orang Islam. 
           Sayang sekali bahwa akidah dan praktek ibadah Kristen dan
Yahudi telah jauh menyimpang dari ajaran tauhid yang murni.
Itulah sebabnya sebagian ulama melarang perkawinan antara pria
Muslim dengan wanita Kristen/Yahudi, walaupun secara tekstual
berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5, jelas
membolehkannya.
         Menurut hemat Masjfuk, perkawinan antara orang Islam
(pria/wanita) dengan orang non Islam, yang dilaksanakan di Kantor
Catatan Sipil, tidaklah sah menurut hukum Islam, karena
perkawinannya, tidak dilangsungkan menurut ketentuan syari’at
Islam, sebab tidak memenuhi syarat dan rukunnya, antara lain tanpa
wali nikah dan mahar/mas kawin serta tanpa ijab qabul menurut tata
cara Islam.
         Dalam hal ini pantas kita hargai dan perhatikan permohonan
Majelis Ulama Indonesia kepada Pemerintah DKI agar
menginstruksikan kepada pegawai Catatan Sipil agar tidak
mengizinkan perkawinan antara orang Islam dengan orang yang
bukan Islam di Kantor Catatan Sipil.
         Akhirnya keluarlah Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991
tanggal 22 Juli 1991 menjadi hukum positif yang bersifat unikatif
bagi seluruh umat Islam di Indonesia dan menjadi pedoman para
hakim di lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugas
mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan
dan perwakafan.
        Berdasarkan KHI pasal 40 ayat (c): “Dilarang perkawinan
antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak
beragama Islam”. [4] 
        Menurut hemat Masjfuk, larangan perkawinan tersebut oleh
KHI mempunyai alasan yang cukup kuat, yakni:
Pertama; dari segi hukum positif bisa dikemukakan dasar
hukumnya antara lain, ialah pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. 
Kedua; dari segi hukum Islam dapat disebutkan dalil-dalilnya
sebagai berikut:
َّ ‫ ُّد‬H ‫ َس‬artinya sebagai tindakan preventif untuk mencegah
a. ‫ ِة‬H‫الذ ِري َْع‬
terjadinya kemurtadan dan 
   kehancuran rumah tangga akibat perkawinan antara orang Islam
dengan non Islam.
b. Kaidah Fiqh ‫ال ِِح‬HHHHHH‫ص‬ َ ‫ب ْال َم‬ِ ‫ َّد ٌم َع َلى َج ْل‬HHHHHH‫ ِد ُم َق‬HHHHHH‫اس‬
ِ ‫ دَ رْ ُء ْال َم َف‬artinya,
mencegah/menghindari 
     mafsadah/mudharat atau resiko, dalam hal ini berupa
kemurtadan dan broken home itu 
     harus didahulukan/diutamakan daripada upaya
mencari/menariknya ke dalam Islam 
    (Islamisasi) suami/istri, anak-anak keturunannya nanti dan
keluarga besar dari masing-
     masing suami istri yang berbeda agama itu.
c. Pada prinspnya agama Islam melarang (haram) perkawinan
antara seorang beragama Islam 
    dengan seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 
    221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan seorang
wanita dari Ahlul Kitab
(Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 5
itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan Islam
pria Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan
tersebut mengandung resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai).
Karena itu pemerintah berhak membuat peraturan yang melarang
perkawinan antara seorang yang beragama Islam (pria/wanita)
dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita) apapun
agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban mentaati
larangan pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44. 
           Berangkat dari ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 dan
Al-Maidah ayat 5.
Al Jaziri membedakan orang-orang non-Muslim atas tiga
golongan :
1. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab
semacam kitab samawi, yaitu penyembah berhala dan orang murtad
(sama dengan mereka).
2. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi, mereka
adalah orang-orang Majusi penyembah api.
3. Golongan yang beriman kepada kitab suci, mereka adalah
Yahudi (pada Taurat) dan Nashrani (percaya pada Taurat dan
Injil). [5] 
          Sementara Yusuf Qardlawi membagi golongan non Muslim
atas golongan musyrik, murtad, Bahāi dan Ahlul Kitab.
         Titik tolak penggolongan Al Jaziri dari segi kitab, sedang
Yusuf Qardlawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam
rinciannya sama, hanya Yusuf Qardlawi menambahkan golongan
ateis dan Bahāi.
Selanjutnya Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat
yang mungkin terjadi karena perkawinan dengan wanita non
Muslim :
1. Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non
Muslim. Hal ini akan 
    berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan
laki-laki Muslim. Akan 
    lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim
yang belum kawin.
2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya, demikian pula
anak-anaknya. Bila 
    terjadi, maka “fitnah” benar-benar menjadi kenyataan.
3. Perkawinan dengan non Muslimah akan menimbulkan kesulitan
hubungan suami-istri dan 
    pendidikan anak-anak. Lebih-lebih jika pria Muslim dan
kitabiyah beda tanah air, bahasa, 
    kebudayaan dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan
kitabiyah Eropa atau 
    Amerika.
         Dari segi agama, lemahnya posisi pria Muslim tersebut sangat
berbahaya bila kawin dengan kitabiyah. Karena itu kawin dengan
kitabiyah harus dijauhi. Pada masa Umar bin Khattab kaum
Muslimin sangat kuat. Umar melarang kaum Muslimin kawin
dengan kitabiyah dan para sahabat yang beristri kitabiyah ia suruh
untuk menceraikannya. Jika dalam posisi kaum Muslimin kuat saja,
dilarang kawin dengan kitabiyah, apalagi sesudah kaum Muslimin
lemah, seperti pada masa kini, misalnya di Indonesia.[6]
         Para ulama fiqh telah menetapkan beberapa syarat kufu’
antara calon suami an istri hal ini agar terciptanya suasana
keserasian diantara keduanya, ntuk itu perlu adanya perkawinan
satu keyakinan, dan jika tidak, semisal wanita non muslimsudah
pasti akan membawa tradisi non muslimnya, apa lagi sang suami
terlalu cinta hal tersebut akan menyebabkan sang suami mau
melepaskan tali agamanya.[7]
         Sedangkan Para ulama keempat madzhab hukum islam telah
membahasmasalah perkawinan dengan wanita ahli kitabdan telah
memberikan pandangan hukumnya, menurut adzhab hanafi, haram
hukumnya menikahi wanita ahli kitab bila si wanita itu berada di
negeri yang berkecamuk perang dengan kaum muslimin, dalam hal
demikian maka anak anak akan cenderung ikut pada ibunya,
sedangkan madzhab maliki memiliki dua pandangan yang pertama
Makruh hukumnya,baik dia seorang dzimmi atau penduduk dalam
wilayah perang, dan pandangan yang kedua yaitu tidak makruh
sama sekali karena al-qur an telah mendiamkanya sebagai
persetujuan, Dan pendapat Syafe’i dan Hambali meyakini bahwa
kedua orang tua si wanita haruslah ahli kitab, sedangkan jika ibunya
penyembah berhala, maka perkawinan itu tidak
diperkenankan(haram) sekalipun wanita itu telah dewasa dan
menerima Agama ayahnya.[8]
KESIMPULAN

1. Undang-Undang No.1/1974 tentang Ketentuan Pokok


Perkawinan, tidak mengatur tentang perkawinan beda agama. Oleh
karena itu perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan
berdasarkan pada pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974, bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Dan pada pasal 10 PP No.9/1975
dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan
pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara
perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya
dan kepercayaannya.

2. Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No. 1/1974


tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar agama,
Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989
Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi
perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama
dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai
satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan
permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam
untuk wajib menerima permohonan perkawinan antar agama.

3. Dalam proses perkawinan antar agama maka permohonan untuk


melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada
Kantor Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya
sebagai salah satu pasangan tersebut berkehendak untuk
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan
demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan
tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya.
Sehingga pasal 8 point f UU No. 1/1974 tidak lagi merupakan
halangan untuk dilangsungkan perkawian, dengan anggapan bahwa
kedua calon suami isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan
demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima
permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam
kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status
hukum agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya. 

4. Perkawinan antar agama dapat juga dilakukan oleh sesama warga


negara Indonesia yang berbeda agama dengan cara melakukan
perkawinan tersebut di luar negeri.

Daftar Pustaka

Kompilasi Hukum Islam

UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan

http://auliaazwani.blogspot.com/2012/03/makalah-kasus-hukum-
perdata-perkawinan.html
Al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut, Dar-
ihya al-Turats al-‘Araby.
Vide Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh, Vol.
II, Cairo, Al-Mathba’ah  
al-Yusufiah, 1931

Beale, Courtenay, Marriage Before and After, London, The Wales


Publishing Co.

Abdul Mu’tal muhammad aljabry, Perkawinan Campuran menurut


pandangan Islam, Jakarta : PT Magenta Bhakti Guna, 1988

Prof . Abdur Rahman I. Doi, Ph. D., Perkawinan Dalam Syari’at


Islam, Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992,

Anda mungkin juga menyukai