Anda di halaman 1dari 17

Adab Suami Kepada Istri .

Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam


menjalankan agama. (At-aubah: 24)

Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan
Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14)

Hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah meminta istri yang


sholehah. (AI-Furqan: 74)

Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar,


Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya
dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)

Jika istri berbuat Nusyuz, maka dianjurkan melakukan tindakan


berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c)
Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa: 34)
Nusyuz adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan
kepada Allah.

Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik
akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)

Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(AthThalaq: 7)

Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)

Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya
terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi,
Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)

Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Yala)

Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang,
tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa: 19)

Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah
sendiri. (Abu Dawud).

Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan
menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim :
6, Muttafaqun Alaih)

Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukumhukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)

Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa: 3)

Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasai)

Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib
mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)

Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada
istrinya. (AI-Baqarah: ?40)

Adab Istri Kepada Suami

Hendaknya istri menyadari dan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah
pemimpin kaum wanita. (An-Nisa: 34)

Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada
istri. (Al-Baqarah: 228)

Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa: 39)

Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:


o Menyerahkan dirinya,
o Mentaati suami,
o Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
o Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
o Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)

Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun


sedang dalam kesibukan. (Nasa i, Muttafaqun Alaih)

Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk


menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan
melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)

Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt.
mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak
suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)

Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal
dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah,
TIrmidzi)

Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.:


Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan
perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)

Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)

Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di


hadapan suami(Thabrani)

Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di


belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa: 34)

Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2)
Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan
Al-Bashri)

Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya


selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)

Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka


dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30-31)

Salah satu tujuan dari pernikahan adalah melahirkan ketenangan dan rasa kasih sayang
antara sepasang suami istri. Para calon suami muslim hendaknya menetukan tujuan yang tidak
menyimpang dari ajaran Islam, yaitu untuk mentaati seruan Islam, mewujudkan keluarga
sakinah, dan untuk mengembangkan dakwah islamiyah. Namun kita pasti tercengang dengan
kondisi yang ada di zaman sekarang ini, atau mungkin hal ini kita anggap suatu hal yang wajar
wajar saja karena kita telah mendengarnya setiap hari. Hal yang dimaksudkan di sini adalah
keadaan suami-istri di Indonesia ini. Mungkin kita tidak melihat secara langsung rumah ke
rumah dari setiap rumah tangga yang ada di Indonesia ini, akan tetapi kita bisa melihat ke media
massa yang beredar di Indonesia tentang permasalahan yang terjadi yang berkaitan dengan
rumah tangga. Maka di sana akan kita lihat peristiwa peristiwa yang membuat kita mengusap
dada, peristiwa peristiwa itu seperti KDRT ( Kekerasan dalam rumah tangga) dimana suami
berbuat kasar kepada istri dengan tindakan apa saja yang suami mau lakukan, banyaknya
TKW[1] ( tenaga kerja wanita ) yang bekerja di luar negri, terdapat kasus kasus tentang
seorang istri yang tega membunuh suaminya sendiri, dll. Tentunya peristiwa peristiwa tersebut
menjadi perhatian kita semua sebagai umat islam. Sehingga akan timbul dalam diri kita
pertanyaan, kenapa hal hal tersebut bisa terjadi? Padahal telah telah kita ketahui bersama
bahwa salah satu tujuan dari suatu pernikahan adalah terwujudnya kehidupan yang sakinah,
mawaddah wa rahmah hal ini didasarkan pada Firman Allah Ta'ala pada surah Ar-Rum ayat 21 :
[21 : ]
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
Selain itu telah dirumuskan pula dalam kompilasi hukum Islam pada Buku I Hukum Perkawinan,
Bab II tentang Dasar dasar Perkawinan Pasal 3 menyebutkan bahwa, Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Namun bila kita melihat realita yang ada tadi tentunya hal ini menjadi dua hal yang bertolak
belakang. Lalu apakah permasalahannya? Tentunya permasalahannya bukan pada
pernikahannya, akan tetapi terdapat pada salah satu komponen yang ada di dalam pernikahan
tersebut yang tidak dapat menjalankan fungsinya terhadap suatu system yang disebut dengan
pernikahan. Komponen yang dimaksudkan adalah suami dan istri dan yang paling mendekati di
sini adalah suami dimana sumi sebagai kepala keluarga dan pemimpin rumah tangga tidak
menjalankan kewajiban kewajibannya dengan baik sehingga timbul kejadian kejadian seperti
yang telah kami sebutkan di atas.[2]
Maka di sini perlu disebutkan kewajiban kewajiban dari seorang suami kepada Istrinya.
Kewajiban kewajiban itu adalah sebagai berikut :
Kewajiban suami terhadap istri dibagi menjadi 2 :
1. Kewajiban Suami yang bersifat kebendaan atau materiil
Kewajiban suami yang bersifat materiil meliputi kewajiban yang bersifat sekali saja dan ada
yang terus menerus diberikan, kewajiban yang pertama adalah kewajiban suami untuk
memberikan mahar, dimana mahar tersebut juga termasuk dalam rukun pernikahan. Hal inii
didasarkan pada Firman Allah Ta'ala Surah An-Nisa : 24





[24 : ]

"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban;
dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya,
sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana".
Sedangkan kewajiban yang bersifat materiil yang kedua ( yang bersifat terus menerus dan
istimrar ) adalah pemberian nafkah kepada istri, dimana di sini suami wajib memberikan
kebutuhan kebutuhan baik sandang ( berupa pakaian yang pantas dan dapat digunakan untuk
menutup aurat bagi istri ), pangan ( pemberian makanan sehari hari ), papan ( tempat tinggal
untuk berteduh dan juga kelengkapannya ) dan juga pengobatan ( untuk menjaga kesehatan dan
pengobatan di saat sakit ). Hal hal ini didasarkan pada firman Allah Ta'ala pada Surah AlBaqarah : 233








[233 : ]

"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para
ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya.
dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan".
]
[7 :
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang
disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan"
Dan dalam hadits :
" : : :


Dari Hakim bin Mu'awiyah Al-Bahzy dari Bapaknya ra. Dia berkata : Aku Berkata : Wahai
Rasulullah Apakah haq istri kami? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kamu
memberi ia makan apabila engkau makan, engjau memberinya pakaian apabila egnkau
berpakaian, janganlah kau memukul wajahnya dan jangan kau menjelekkannya, dan jangan kau
menghardiknya kecuali di rumah". HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasaa'I, Dan Ibnu Majah.
Dan masih banyak dalil dalil lain yang menyebutkan tentang kewajiban suami yang bersifat
materiil.
2. kewajiban suami yang bersifat bukan kebendaan atau immaterial.

Kewajiban suami yang bersifat immaterial yang harus diberikan kepada istri adalah sebagai
berikut :
Dalam Surah An-Nisa : 19, Allah TA'ala telah berfirman :


[19 : ]
"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksaaan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang Telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak".
Dalam buku Hukum Perkawinan Islam KH. Azhar Basyir, MA. Menyatakan bahwa dalam ayat
ini terdapat hak hak istri yang bersifat immaterial yang harus ditunaikan suami, atau dalam kata
lain kewajiban suami yang harus ditunaikan yaitu bahwa suami harus menggauli istri dengan
makruf dan bersabar dalam hal hal yang tidak disenangi.
Sedangkan menggauli istri dengan ma'ruf beliau membaginya menjadi tiga :
a)
Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan perlakuan yang baik, serta meningkatkan
taraf hidupnya dalam bidang bidang agama, akhlaq, dan imu pengetahuan yang diperlukan.
b)
melindungi dan menjaga nama baik istri
c)
memenuhi kebutuuhan kodrat ( hajat ) biologis istri.
Hal hal tersebut didasarkan pada Ayat Alqur'an Surah At-Tahrim :6
[6 : ].....
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka".

[223 : ]
. "Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah
tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman".
Hal hal di atas disandarkan pula terhadap hadits hadits[3] sebagai berikut :
:

: :
.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Bersikap baiklah kamu terhadap istri karena wawanita itu diciptakan dari tulang rusuk,
sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas, apabila
kamu menginginkan untuk meluruskannya maka ia akan patah, dan apabila kamu biarkan maka
akan tetap bengkok, maka bersikap baiklah kamu terhadap para istri". HR al-Bukhari (no.3261)
Dari Abu Hurairah.( Dalam riwayat Musli juga terdapat semisal itu (no.3602))
: . :


: :
.
Rasulullah Shallallhu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya orang yang termasuk paling
buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang laki laki yang mengumpuli
istrinya kemudian ia menyebarkan rahasianya". HR. Muslim dari Abu Sa'id Al-Khudry

(1)
(2)
(3)
a.
b.
c.
(4)
(5)
(6)

Selain itu dalam Kompilasi hukum Islam juga telah disebutkan tentang Kewajiban kewajiban
suami pada BAB XII Tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri pada Bagian Ketiga tentang
Kewajiban Suami Sebagai berikut :
Pasal 80
Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal
urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya
Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
biaya pendididkan bagi anak.
Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai
berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut
pada ayat (4) huruf a dan b.
Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 81

(1)

Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri
yang masih dalam iddah.
(2)
Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)
Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak
lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai
tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)
Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga
maupun sarana penunjang lainnya.
Oleh karena hal hal di atas mengenai kewajiban kewajiban suami terhadap istri maka
tentunya peristiwa peristiwa tersebut tidak kan terjadi, tapi tentunya juga harus ada
keseimbangan antara pelaksanaan kewajiban suami dan istri sehingga tercipta kehidupan yang
sakinah mawaddah dan rahmat[4]. Wallahu a'lam.

[1] Penulis memasukkan permasalahan ini dikarenakan sebenarnya pemberian nafkah adalah kewajiban suami
seperti yang akan disebutkan pada pembahasan berikutnya akan tetapi di Indonesia kebanyakan wanita yang
bekerja di luar negri adalah wanita dan hal ini dianggap tidak sesuai dengan kewajiban kewajiban yang harus ada
di dalam rumah tangga. Wallahu a'lam.

[2] Bukan berarti penulis menyudutkan seorang suami dalam rumah tangga, akan tetapi kebanyakan hal hal
tersebut ( KDRT ) dan hal hal lain seperti wanita harus bekerja , hal hal tersebut sebagian besar dilakukan oleh
suami dan kekurang mampuan suami menjalankan perannya dalam rumah tangga.
[3] Untuk dasar dasar hadits sebagian diambilakan dari kita subulus sallam pada kita nikah bab pergaulan
terhadap istri. Walaupun penulis tidak mengambil semua haditsnya dimana di sana terdapat banyak hadits hatis
yang menyebutkan tentang pergaulan yang baik terhadap istri.
[4] Seperti yang telah dikatakan penulis bahwa untuk terwujudnya rumah tangga yang sakinah mawadda dan
rahmat tentunya juga harus ada keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban suami dan istri tidak hanya suami
saja seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan ini.

KESIMPULAN TANGGUNG JAWAB SUAMI


1.

Menjadi pemimpin anak isteri di dalam rumah tangga.

2.

Mengajarkan ilmu fardhu ain (wajib pribadi) kepada anak isteri yaitu ilmu tauhid, fiqih dan
tasawuf.
Ilmu tauhid diajarkan supaya aqidahnya sesuai dengan aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah.
Ilmu fiqih diajarkan supaya segala ibadahnya sesuai dengan kehendak agama.
Ilmu tasawuf diajarkan supaya mereka ikhlas dalam beramal dan dapat menjaga segala amalannya
daripada dirusakkan oleh rasa riya (pamer), bangga, menunjuk-nunjuk orang lain dan lain-lain.

3.

Memberi makan, minum, pakaian dan tempat tinggal dari uang dan usaha yang halal.
Ada ulama berkata:
Sekali memberi pakaian anak isteri yang menyukakan hati mereka dan halal maka suami mendapat
pahala selama 70 tahun.

4.

Menghindari perbuatan zalim kepada anak isteri yaitu dengan cara:


Memberikan pendidikan agama yang sempurna. Jika ilmu agama tidak dari anak/istri ada

yang tidak lengkap, maka hal ini termasuk zalim.


o

Memberikan nafkah lahir dan batin secukupnya.

Memberi nasihat serta menegur dan memberi panduan/ petunjuk jika melakukan maksiat
atau kesalahan.
Apabila memukul jangan sampai melukakan (melampaui batas).

o
5.

Memberi nasihat jika isteri gemar bergunjing/bergosip, mengomel serta melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan perintah agama.

6.

Melayani isteri dengan sebaik-baik pergaulan.

7.

Berbicara dengan isteri dengan lemah-lembut.

8.

Memaafkan keterlanjurannya tetapi sangat memperhatikan kesesuaian tingkah lakunya dengan


syariat.

9.

Kurangkan perdebatan.

10.

Memelihara harga diri / kehormatan mereka.

Pengertian
secara bahasa, Nusyz berarti penentangan atau lebih umumnya adalah pelanggaran istri terhadap
perintah dan larangan suami secara mutlak, akan tetapi Nusyz dapat juga terjadi pada suami
apabila seorang suami tidak menjalankan kewajiban yang menjadi hak-hak istri, seperti tidak
memberikan nafkah dan lain sebagainya.
Langkah-langkah Menghadapi Suami dan Istri Nusyz dalam al-Quran
terdapat empat ayat yang menggunakan kata Nusyz dalam Al-Quran. yaitu dalam surat
Mujadalah ayat 11, al-Baqarah ayat 259, al-Imron ayat 128 dan ayat 34.
namun hanya pada dua ayat yang berhubungan dengan pembahasan sekarang ini. Berkenaan
langkah menghadapi istri Nusyz Al-Quran menjelaskan: wanita-wanita yang kamu
khawatirkan Nusyz-nya, maka nasehatilah mereka, lalu pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan lalu pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
jadi menurut Al-Quran langkah-langkah menghadapi istri yang Nusyz adalah sebagai berikut:
pertama, dinasehati.
kedua, jika nasehat tidak memberikan pengaruh, maka masuk langkah kedua yaitu pisah tempat
tidur.
ketiga, jika langkah kedua tidak mempan juga, maka memasuki langkah selanjutnya yaitu
memukul istri.
dalam perkara Nusyz suami, Al-Quran menjelaskan: dan jika seorang wanita khawatir akan
Nusyz, atau sikap tidak acuh suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.

Sekilas, dalam kedua ayat tersebut terdapat diskriminatif dan bias gender. untuk istri Nusyz,
jalan terakhirnya adalah berupa pukulan. sementara, untuk suami Nusyz dituntut untuk
berdamai. sudah dijelaskan bahwa hukum-hukum dan ajaran-ajaran Islam disusun sesuai fitrah
manusia. adanya perbedaan dalam hukum bukan berarti sebuah diskriminasi tetapi kembali pada
perbedaan yang terdapat pada lelaki dan perempuan, misalnya perbedaan dari sisi psikologis.
sebagaimana sebagian ulama mengatakan, salah satu hikmah dari perbedaan dalam menghadapi
suami atau istri yang Nusyz adalah kembali pada perbedaan psikologis keduanya.
sedang dalam masalah batasan pukulan, beberapa ulama menjelaskan :
1. Syahid ats-Tsani, dalam kitab masalik Al-Afham menjelaskan : dalam sebagian riwayat,
dijelaskan memukul wanita dengan kayu miswak, .
2. Syeikh Tusi dalam kitab Al-Mabsuth mengatakan : maksud dari pukulan adalah, memukul
dengan kain sapu tangan yang diikatkan, yang tidak boleh menyebabkan memar.
3. Fahrurozi, mengatakan : dibolehkan memukul, jika cara selain memukul tidak dapat
berpengaruh lagi (tidak ada cara lain selain pukulan).
4. menurut As-Suyuthi pukulan tidak boleh keras dan membahayakan.
Langkah-langkah Menghadapi Suami atau Istri Nusyz dalam Fikih Praktis
imam Khameini menjelaskan: jika nampak pada istri, tanda-tanda Nusyz atau penentangan,
seperti: kebiasaan prilaku dan perkataannya berubah, menjawab perkataan suami dengan kasar
padahal sebelumnya berkata dengan lemah lembut, menampakkan muka masam dan marah pada
suami, menjengkelkan (menyakitkan hati) dan bersungut-sungut padanya, padahal sebelumnya
tidak seperti itu, maka nasehatilah ia. jika istri tidak mendengarkan nasehat suaminya, lantas
iapun melakukan salah satu perbuatan yang menjadikan Nusyz (seperti keluar rumah tanpa izin
suami, atau tidak melayani suami), maka dalam hal ini, diperbolehkan atas suami untuk
berpisah tidur dengannya, artinya dapat tidur bersama, tapi dalam keadaan membelakanginya,
atau pisah tidur dengannya. Jika nasehat dan pisah tidur tidak berpengaruh padanya, maka suami
boleh memukulnya yang menyebabkan ia kembali sadar dan meninggalkan penentangannya.
Tidak boleh berlebihan dalam memukul asal tujuan pemukulan terwujud. jika istri tetap tidak
kembali sadar, maka boleh memukul kembali dengan lebih keras, dengan syarat tidak
menyebabkan luka, tidak memberikan bekas hitam atau merah di badan. Dan hendaknya,
pukulan dilakukan dengan tujuan untuk menyadarkan (ishlah), bukan untuk melampiaskan
kemarahan atau untuk membalas dendam. jika pukulan tersebut menyebabkan luka dan
memberikan bekas merah atau hitam (memar), maka suami wajib membayar denda (diyah).

imam melanjutkan: jika nampak pada suami tanda-tanda Nusyz dengan tidak memberikan
hak-hak istri yang menjadi kewajibannya, maka istri berhak untuk menuntut hak-haknya dan
menasehati suami. jika ternyata cara tersebut tidak memberikan pengaruh, maka ia dapat
mengadukan perkaranya pada pengadilan agama (hakim syari), tapi tidak terdapat hukuman
pisah ranjang, juga tidak terdapat pukulan bagi suami Nusyz
oOo
yang jelas, jika pengetahuan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban masing-masing ditingkatkan,
maka pelanggaran atas hak-hak pasangan hidup ataupun kekerasan dalam rumah tangga akan dapat
diminimalisir.
juga akan dapat diantisipasi pencampuradukan antara anjuran dan kewajiban, penyelewengan hukum
dengan dalih hukum (seperti pemukulan istri dengan sewenang-wenang dengan dalih merupakan
ajaran Islam sendiri).
suami istri akan saling memahami dan menghormati kedudukan masing-masing. walaupun demikian,
dalam Islam dijelaskan (dalam beberapa hadis dan ayat al-Quran) bahwa sebuah rumah tangga
tidak dapat dibangun dengan hanya berpijak pada hak-hak dan kewajiban saja tapi
melintasi hak-hak dan kewajiban.

Allah Subhanahu Wa Taala berfirman: Orang-orang mukmin laki-laki dan


orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi
sebagian yang lain. (Q.S. At-Taubah: 71).
Saat sama-sama menjalani kehidupan berumah tangga, seyogyanya suami
dan istri saling tolong-menolong, bahu-membahu dalam memikul beban
menurut proporsinya masing-masing. Jadi, menurut hemat kami, pekerjaanpekerjaan rumah tangga, sebenarnya adalah tanggung jawab bersama.
Siapa yang mengerjakan, dia dapat pahala. Sikap yang paling tepat
adalah fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Jika akhirnya istri
lebih banyak mengerjakannya, tentu bisa dimengerti, karena istri lebih
banyak di rumah ketimbang suaminya. Tetapi, bukan berarti ketika suami
sedang di rumah, dia hanya ongkang-ongkang kaki, membiarkan sang istri
dengan kesibukannya. Apalagi, jika si istri ternyata telah membantunya
mencari tambahan biaya hidup.

Soal 3: Apakah istri-istri itu boleh menuntut suami untuk memberikan uang belanja sejumlah
yang mereka inginkan jika suaminya mampu?
Jawab: Tidak. Kewajiban suami adalah memberikan nafkah keluarga sesuai kemampuannya dan
dalam jumlah yang patut (maruf) menurut kebiasaan masyarakat. Hak istri/ keluarga yang layak
itulah yang boleh dituntut oleh istri/ keluarga kepada suami. Dengan demikian kalau harta suami
lebih banyak dari keperluan yang patut tadi maka pemanfaatan kelebihan tersebut diserahkan
kepada yang punya harta yaitu suami itu sendiri. Bacalah firman Allah dalam QS al-Baqarah ayat
233 yang maknanya kurang lebih: .dan menjadi kewajiban suami untuk memberi rizqi dan
pakaian kepada istri secara patut. Begitu juga firman-Nya dalam QS al-Thalq ayat 6 dan 7
yang maknanya kurang lebih: Tempatkanlah dia (istri) di tempat yang sesuai dengan
kemampuan kamu (suami), dan janganlah kamu beri dia (istri) mudharat karena (kamu) hendak
menyusahkannya. Dan kalau istri-istri itu mengandung berilah mereka nafkah (belanja) sampai
melahirkan. Kalau istri itu menyusukan untuk (anak) mu maka berilah upahnya. Hendaklah
kamu sekalian bermusyawarah secara maruf (patut). Kalau istri dalam kesulitan (sehingga
tidak dapat menyusui anakmu) maka hendaklah disusui oleh (perempuan) yang lain (ayat
6). Agar (suami) yang mampu memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya. Dan siapa yang
rizqinya sempit hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang Allah berikan kepadanya
(suami). Allah tidak memberi beban (taklif) kepada seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya. Setelah kesulitan itu maka Allah akan memberikan kelonggaran (ayat 7).
Soal 4: Kalau suami dianggap kikir (oleh istri) dalam menafkahi keluarga apakah istri boleh
menuntut agar suami memberitahukan seluruh harta/ penghasilannya?
Jawab: Di dalam buku Fiqh Sunnah jild VII hal 80 disebutkan adanya hadits riwayat Imam
Ahmad, al-Bukhri, Muslim, Abu Daud dan Nasi dari Aisyah: Sesungguhnya Hindun
berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sofyan adalah seorang laki-laki yang kikir, dan
tidak memberikan kepadaku apa yang menjadi keperluanku dan anak-anakku sehari hari,
kecuali aku mengambil sebagian hartanya tanpa setahu dia. Nabi n menjawab: Ambillah apa
yang mencukupi kamu dan anak kamu dengan cara yang baik.
Hadits ini menujukkan bolehnya seorang istri mengambil sebagian harta suami untuk keperluan
yang maruf, tanpa sepengetahuan suami dikala suami berlaku kikir dalam menafkahi keluarga
padahal suami itu mampu. Hadits ini tidak memerintahkan agar Abu Sofyan transparan dalam
masalah harta, dan tidak menyuruh Hindun untuk mengetahui harta suaminya.
oal 5: Apakah seorang istri boleh menyisihkan sebagian uang belanja tanpa sepengetahuan suami
lalu menggunakan uang tersebut untuk berinfak?
Jawab: Hal ini pernah ditanyakan kepada Nabi dan dibolehkan asal tidak merugikan suami.
Dalam hal ini istri dan suami sama-sama mendapat pahala. Atas dasar ini maka kalau uang yang
terkumpul itu digunakan untuk lain keperluan (misal arisan) maka juga boleh asal penyisihan itu
tidak merugikan suami. Nabi tidak menjelaskan kriteria merugikan itu seperti apa. Ini berarti
bahwa ukurannya bersifat relatif, dan hanya istri saja yang dapat mengukurnya

Hak Suami yang Wajib Ditunaikan Istrinya


Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
terlimpah kepada Rasulillah, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, kelurga dan para
sahabatnya.
Hak suami atas istri termasuk salah satu hak yang paling agung untuk ditunaikan oleh seorang
wanita. Bahkan haknya suami atas istrinya lebih besar daripada haknya istri atas suaminya. Hal
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya." (QS.
Al-Baqarah: 228)
Al-Jashash berkata: Allah Ta'ala mengabarkan dalam ayat ini, setiap pasangan suami istri
memiliki hak atas pasangannya. Dan bahwasanya suami diistimewakan dangan hak atas istrinya
yang tak dimiliki istrinya atas dirinya."
Di antara hak-hak tersebut:
1) Kewajiban taat kepada suami. Allah telah jadikan para suami sebagai pemimpin atas istrinya.
Ia wajib mengatur, mengarahkan dan mengurusi istrinya sebagaimana pemimpin yang mengurusi
rakyatnya. Hal ini karena Allah telah istimewakan kaum lelaki dari fisik, akal, dan beban nafkah.
Allah Ta'ala berfirman,




"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." (QS. Al-Nisa': 34)
2) Siap melayani suaminya dalam urusan ranjang saat ia memintanya. Ini termasuk hak suami
atas istrinya setelah suami menyerahkan mahar dari perkawinannya. Maka jika seorang istri
menolak untuk melayani suaminya maka ia telah melakukan dosa besar, kecuali ia memiliki
udzur syar'i seperti haid, puasa wajib, sakit dan semisalnya.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,


"Apabila seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya (untuk berjima'), lalu ia menolak
sehingga suaminya di malam itu murka kepadanya, maka para malaikat melaknatnya hingga
pagi." (Muttafaq 'Alaih)
Ibnu Majah meriwayatkan hadits yang dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata: Saat Mu'adz tiba
dari Syam, ia bersujud kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau berkata: "Apa ini
wahai Mu'adz?"
Mu'adz menjawab, "Aku telah datang ke Syam, aku temui mereka bersujud kepada para
pemimpin dan penguasa mereka. Lalu aku berniat dalam hatiku melakukan itu kepada Anda."
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Jangan lakukan itu, kalau saja
aku (boleh) memerintahkan seseorang bersujud kepada selain Allah, pastilah aku perintahkan
wanita bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah
seorang istri disebut telah menunaikan hak Rabb-nya sehingga ia menunaikan hak suaminya.
Kalau saja suami memintanya untuk melayaninya sementara ia berada di atas pelana unta, maka
hal itu tidak boleh menghalanginya." (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah)
Maknanya: hadits tersebut memerintahkan kepada para istri untuk mentaati dan siap melayani
suaminya. Tidak boleh ia menolak ajakan suami walau ia sudah siap melakukan perjalanan,
yakni sudah berada di atas pelana untanya, maka hal ini lebih ditekankan saat ia berada dalam
keadaan selain itu.
3) Tidak mengizinkan masuk ke rumahnya orang yang tidak disuka suaminya. Di antara hak
suami yang harus ditunaikan istrinya, janganlah ia membawa masuk ke dalam rumahnya orang
yang dibenci suaminya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

"Tidak boleh (haram) bagi wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di sisinya kecuali
dengan izinnya. Istri juga tidak boleh memasukkan orang ke dalam rumahnya kecuali dengan
izin suaminya. Dan harta yang ia nafkahkan bukan dengan perintahnya, maka setengah
pahalanya diberikan untuk suaminya." (HR. Al-Bukhari)
4) Tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Syafi'iyah dan Hanabilah berkata, "Ia (istri) tidak boleh keluar untuk menjenguk ayahnya yang
sakit kecuali dengan izin suaminya. Ia punya hak untuk melarang istrinya dari hal itu; karena

ketaatan kepada suami adalah wajib, maka tidak boleh meninggalkan perkara wajib dengan
sesuatu yang tidak wajib."
. . . Ia (istri) tidak boleh keluar untuk menjenguk ayahnya yang sakit kecuali dengan izin
suaminya. Ia punya hak untuk melarang istrinya dari hal itu . . .
5) Suami memiliki hak mendisiplinkan istrinya saat ia tidak patuh kepada perintahnya dengan
cara yang baik, bukan dengan maksiat. Sebabnya, Allah Ta'ala telah memerintahkan
mendisiplinkan wanita dengan hajr (menjauhkan dari tempat tidurnya) dan memukul saat tidak
mau taat.
Hanafiyah menyebutkan 4 tempat dibolehkannya suami memukul istrinya dalam rangka
mendisiplinkannya, di antaranya: Pertama, tidak mau berhias apabila ia menghendaki istrinya
berhias. Kedua, tidak mau menyambut ajakan suami ketika mengajaknya ke ranjangnya padahal
dalam keadaan suci. Ketiga, meninggalkan shalat. Keempat, keluar rumah tanpa seizinnya.
Beberapa dalil yang mendasari bolehnya mendisiplinkan wanita:
Firman Allah Ta'ala,


"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka." (QS. Al-Nisa': 34)
Firman Allah Ta'ala,

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. Al-Tahrim: 6)
Imam Qatadah berkata, "Engkau perintah mereka untuk taat kepada Allah, engkau larang mereka
dari bermaksiat kepada Allah, engkau pimpin dan perintah mereka dengan perintah Allah, dan
engkau bantu mereka menjalankannya. Jika engkau lihat kemaksiatan kepada Allah maka engkau
cegah dan larang mereka darinya."
Serupa dengan itu, Al-Dhahak dan Muqatil berkata, "Kewajiban seorang muslim agar
mengajarkan kepada keluarganya dari kerabatnya, budak wanita, dan budak laki-lakinya apa saja
yang telah Allah fardhukan kepada mereka dan apa yang telah Dia larang dari mereka." (Lihat:
Tafsir Ibni Katsir: 4/392)
6) Istri berkhidmat kepada suaminya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan, bahwa seorang istri wajib membantu suaminya
dengan cara yang ma'ruf. Ini sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi. Khidmatnya wanita

kampung berbeda dengan wanita kota, khidmatnya wanita yang kuat berbeda dengan khidmatnya
wanita yang lemah." (Al-Fatawa al-Kubra: 4/561)
. . . Kewajiban seorang muslim agar mengajarkan kepada keluarganya dari kerabatnya, budak
wanita, dan budak laki-lakinya apa saja yang telah Allah fardhukan kepada mereka dan apa yang
telah Dia larang dari mereka. . .
Penutup
Sesungguhnya pemenuhan hak suami oleh istri merupakan ladang kebaikan yang besar, Siapa
wanita yang bisa menanaminya dengan sebanyak-banyak tanaman, maka ia akan memanen
sebanyak-banyak buah manisnya. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah
bersabda, "Apabila wanita menunaikan shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga
kemaluannya, dan mentaati suaminya; maka disampaikan kepadanya: masuklah surga dari pintu
mana saja yang kamu mau." (Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al-Jami', no. 660)
Diriwayatkan dari al-Husain bin Mihshan, bahwa bibinya pernah datang kepada Nabi Shallallahu
'Alaihi Wasallam karena satu keperluan. Saat sudah selesai, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bertanya kepadanya, "apakah kamu punya suami?"
Ia menjawab, "Ya."
Beliau bertanya lagi, "Bagaimana sikapmu terhadapnya?"
Ia menjawab, "Aku tidak kurangi hak-nya kecuali apa yang aku tidak mampu."
Beliau bersabda, "Perhatikan sikapmu terhadapnya, karena ia surga dan nerakamu." (HR. Ahmad
dan Al-Hakim, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih al;Targhib wa al-Tarhib, no. 1933)
Maksudnya, suamimu itu adalah sebab kamu bisa masuk surga jika kamu tunaikan hak-nya. dan
suamimu itu menjadi sebab kamu masuk neraka jika kamu lalaikan hal itu. Wallahu Ta'ala A'lam.
[PurWD/voa-islam.com]
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/11/01/21466/hak-suami-yangwajib-ditunaikan-istrinya/#sthash.sgLHKwbe.dpuf

Anda mungkin juga menyukai