Anda di halaman 1dari 104

PERANCANGAN INSTALASI PENGOLAHAN

EFLUEN CAIR TANGKI SEPTIK


DI PT FH TANGERANG

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh:
Miranti Suspi Meitha Harahap
104216043

FAKULTAS PERENCANAAN INFRASTRUKTUR


PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
UNIVERSITAS PERTAMINA
2020
Universitas Pertamina - i
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tugas Akhir : Perancangan Instalasi Pengolahan Efluen
Cair Tangki Septik di PT FH Tangerang
Nama Mahasiswa : Miranti Suspi Meitha Harahap
Nomor Induk Mahasiswa : 104216043
Program Studi : Teknik Ligkungan
Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir : 8 September 2020

Jakarta, 13 September 2020


MENGESAHKAN

Pembimbing I Nama : Evi Siti Sofiyah, Ph.D


NIP : 116103

Pembimbing II Nama : Ir. Johannes Matahelemual


NIP : -

MENGETAHUI,
Ketua Program Studi

Dr. Eng. Ari Rahman, S.T., M.Eng.


NIP 116043

Universitas Pertamina - i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul Perancangan Instalasi
Pengolahan Efluen Cair Tangki Septik di PT FH Tangerang ini adalah benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung materi yang ditulis oleh
orang lain kecuali telah dikutip sebagai referensi yang sumbernya telah dituliskan
secara jelas sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya
bersedia menerima sanksi dari Universitas Pertamina sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan


kepada Universitas Pertamina hak bebas royalti noneksklusif (non-exclusive
royalty-free right) atas Tugas Akhir ini beserta perangkat yang ada. Dengan hak
bebas royalti noneksklusif ini Universitas Pertamina berhak menyimpan, mengalih
media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkatan dua (database), merawat,
dan mempublikasikan Tugas Akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Medan, 11 September 2020

Yang membuat pernyataan,

Miranti Suspi Meitha Harahap

Universitas Pertamina - ii
ABSTRAK
Miranti Suspi Meitha Hrp. 104216043. Perancangan Instalasi Pengolahan Efluen
Cair Tangki Septik di PT FH Tangerang.
Tugas akhir ini mengenai perancangan instalasi pengolahan air limbah (IPAL)
untuk mengolah air efluen tangki septik PT FH di Tangerang. Tujuan dari
perancangan ini adalah merencanakan suatu rangkaian unit pengolahan yang tepat
agar air efluen dapat memenuhi baku mutu. Cakupan perancangan meliputi
pembuatan layout IPAL, pembuatan detailed engineering design (DED), dan
perencanaan anggaran biaya. Pada awal perancangan, ditentukan tiga alternatif
solusi yang kemudian dievaluasi dengan menggunakan metode Kepner Tregoe
Decision Analysis (KTDA) dan Adverse Consequences untuk menentukan alternatif
solusi yang terbaik. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa rangkaian unit yang terpilih
pada perencanaan IPAL ini terdiri dari sumur pengumpul, biofilter anaerob-aerob,
bak pengendap akhir, dan unit desinfeksi. Rangkaian IPAL terpilih menghasilkan
efluen dengan kualitas parameter TSS, BOD, COD, serta total koliform yang
diestimasi dapat memenuhi baku mutu sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
Perancangan IPAL menghasilkan dimensi yaitu: sumur pengumpul (0,7 m x 0,7 m x
1,5 m), biofilter anaerob (4,2 m x 2,1 m x 2,4 m), biofilter aerob (4 m x 2,2 m x 2,4 m), bak
pengendap akhir (2,5 m x 1,2 m x 2,4 m), dan desinfeksi (1,9 m x 1,5 m x 0,8 m).
Kata kunci: efluen, tangki septik, IPAL, biofilter

Universitas Pertamina - iii


ABSTRACT
Miranti Suspi Meitha Hrp. 104216043. The Design of a Water Treatment System
for The Liquid Effluent from Septic Tanks at PT FH Tangerang.
This project is about designing a wastewater treatment plant (WWTP) to treat septic
tank effluent of PT FH in Tangerang. The objective of the design is to create suitable
treatment units in order to meet the quality standards of the effluent. The scopes of
the project includes of arranging a WWTP layout, designing a detailed engineering
design (DED), and planning the budget. Three alternative solutions were
determined at the beginning process of designing. The alternatives are evaluated
using the Kepner Tregoe Decision Analysis (KTDA) and Adverse Consequences
method to select the best solution. The results of the evaluation shows that the best
configuration of the WWTP consists of sump well, an anaerobic-aerobic biofilter,
a final settling tank, and a disinfection unit. The selected configuration shows that
the final effluent with the quality parameters of TSS, BOD, COD, and total coliform
are estimated meeting the environmental quality standards according to the
Regulation of the Minister of Environment and Forestry Number 68 of 2016 about
Domestic Wastewater Quality Standards. The dimensions of each unit are: sump
well (0,7 m x 0,7 m x 1,5 m), anaerobic biofilter (4,2 m x 2,1 m x 2,4 m), aerobic
biofilter (4 m x 2,2 m x 2,4 m), final settling tank (2,5 m x 1,2 m x 2,4 m), and
disinfection (1,9 m x 1,5 m x 0,8 m).
Kata kunci: efluent, septic tank, WWTP, biofilter

Universitas Pertamina - iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena telah memberikan rahmat, karunia serta
lindungan-Nya sehingga saya dapat melaksanakan mata kuliah Tugas Akhir hingga
akhirnya dapat menyelesaikan laporan tugas akhir dengan judul Perancangan
Instalasi Pengolahan Efluen Cair Tangki Septik di PT FH Tangerang. Selama
pelaksanaan tugas akhir ini, saya dibantu oleh berbagai pihak sehingga saya dapat
menyelesaikannya laporan tugas akhir ini. Maka dari itu saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan saya kesempatan untuk menjalani
kehidupan dan belajar.
2. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan berupa doa,
semangat, serta motivasi tanpa henti.
3. Kedua pembimbing saya yaitu Ibu Evi Siti Sofiyah, Ph.D dan Bapak Ir.
Johannes Matahelemual yang selalu memberi motivasi, dukungan, saran, dan
masukan yang membantu saya selama proses pelaksanaan tugas akhir.
4. Bapak dan ibu Dosen Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Pertamina
yang telah memberikan ilmu serta bimbingan selama masa perkuliahan.
5. Seluruh teman-teman angkatan 2016 Program Studi Teknik Lingkungan.
6. Serta pihak lainnya yang telah membantu saya dalam penyelesaian laporan
tugas akhir ini.
Semoga laporan Tugas Akhir ini ini bermanfaat bagi saya dan pembacanya
khusunya mengenai pengolahan air limbah.

Medan, 11 September 2020

Miranti Suspi Meitha Hrp

Universitas Pertamina - v
Daftar Isi
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................................... ii
ABSTRAK ........................................................................................................................................ iii
ABSTRACT ...................................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR........................................................................................................................ v
Daftar Isi............................................................................................................................................ vi
Daftar Tabel .................................................................................................................................... viii
Daftar Gambar ................................................................................................................................... ix
Daftar Singkatan................................................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 2
1.3. Batasan Masalah................................................................................................................. 2
1.4. Tujuan Perancangan ........................................................................................................... 2
1.5. Manfaat Perancangan ......................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 3
2.1. Air Limbah Domestik......................................................................................................... 4
2.2. Karakteristik Air Limbah ................................................................................................... 4
2.3. Baku Mutu Air Limbah Domestik...................................................................................... 5
2.4. Proses Pengolahan Air Limbah .......................................................................................... 6
2.4.1. Pengolahan secara fisika ............................................................................................ 6
2.4.2. Pengolahan secara kimia ............................................................................................ 6
2.4.3. Pengolahan secara biologis ........................................................................................ 7
2.5. Pengolahan dengan Tangki Septik ..................................................................................... 8
2.6. Unit Pengolahan Air Limbah ............................................................................................. 9
2.6.1. Sumur pengumpul ...................................................................................................... 9
2.6.2. Lumpur aktif (activated sludge) ................................................................................. 9
2.6.3. Rotating biological contactor (RBC) ....................................................................... 10
2.6.4. Trickling filter .......................................................................................................... 11
2.6.5. Lahan basah buatan arah horizontal (constructed wetland) ..................................... 12
2.6.6. Upflow Anaerobic Sludge Blanket Reactor (UASB)................................................ 13
2.6.7. Biofilter anaerob-aerob............................................................................................. 13
2.6.8. Desinfeksi ................................................................................................................. 17
2.7. Proses Perancangan .......................................................................................................... 18
BAB III KONSEP PERANCANGAN ............................................................................................ 19
3.1 Diagram Alir Perancangan ............................................................................................... 20

Universitas Pertamina - vi
3.2 Pertimbangan Perancangan .............................................................................................. 21
3.3 Analisis Teknis ................................................................................................................. 21
3.4 Peralatan dan Bahan ......................................................................................................... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................................................... 22
Debit dan Kualitas Air Limbah ........................................................................................ 23
Alternatif Solusi Unit Pengolahan IPAL .......................................................................... 23
Evaluasi Alternatif Solusi Unit Pengolahan ..................................................................... 26
4.3.1 Penilaian Kategori Musts (Wajib Terpenuhi) ........................................................... 26
4.3.2 Penilaian Kategori Wants ......................................................................................... 28
Perancangan dan Perhitungan DED ................................................................................. 33
4.4.1 Perancangan Sumur Pengumpul ............................................................................... 34
4.4.2 Perancangan Biofilter Anaerob-Aerob ..................................................................... 35
4.4.3 Perancangan Bak Pengendap Akhir ......................................................................... 40
4.4.4 Perancangan Bak Desinfeksi .................................................................................... 41
Profil Hidrolis................................................................................................................... 44
Rencana Anggaran Biaya ................................................................................................. 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................... 46
5.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 47
5.2 Saran ................................................................................................................................. 47
Daftar Pustaka .................................................................................................................................. 48
Lampiran .......................................................................................................................................... 53

Universitas Pertamina - vii


Daftar Tabel
Tabel 2.1. Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri ................................................................... 6
Tabel 2.2. Kriteria Desain Lumpur Aktif ........................................................................................... 9
Tabel 2.3. Kriteria desain RBC ........................................................................................................ 10
Tabel 2.4. Kriteria Desain Trickling Filter....................................................................................... 11
Tabel 2.5. Kriteria Desain Lahan Basah Buatan Arah Horizontal ................................................... 12
Tabel 2.6. Kriteria Desain Reaktor UASB ....................................................................................... 13
Tabel 2.7. Perbandingan Luas Permukaan Spesifik Media Biofilter ............................................... 15
Tabel 2.8. Kriteria Desain Biofilter Anaerob-Aerob ........................................................................ 15
Tabel 2.9. Perbandingan Analisis Kelebihan dan Kekurangan Tiap Unit Biologis ......................... 16
Tabel 2.10. Matriks Evaluasi Alternatif Solusi dengan KTDA........................................................ 19
Tabel 2.11. Matriks Adverse Consequences..................................................................................... 19
Tabel 4.1 Perbandingan Kualitas Air Efluen Tangki Septik dan Baku Mutu .................................. 23
Tabel 4.2. Pemilihan Teknologi untuk Alternatif Solusi.................................................................. 24
Tabel 4.3. Persentase Penyisihan Tiap Unit Pengolahan ................................................................. 27
Tabel 4.4. Hasil Penyisihan Tiap Alternatif ..................................................................................... 27
Tabel 4.5. Hasil Rekapitulasi Preliminary Sizing Setiap Unit ......................................................... 28
Tabel 4.6. Pembobotan Kategori Wants ........................................................................................... 28
Tabel 4.7. Keterangan Penilaian pada Kategori Wants .................................................................... 29
Tabel 4.8. Persentase Minimum Penyisihan Polutan ....................................................................... 29
Tabel 4.9. Penilaian Kemampuan Penyisihan Tiap Parameter......................................................... 30
Tabel 4.10. Hasil Rekapitulasi Perhitungan Lumpur ....................................................................... 30
Tabel 4.11. Hasil Rekapitulasi Kebutuhan Daya ............................................................................. 31
Tabel 4.12. Hasil Rekapitulasi Evaluasi Alternatif dengan KTDA.................................................. 31
Tabel 4.13. Penilaian pada Metode Adverse Consequences............................................................. 32
Tabel 4.14. Hasil Rekapitulasi Penilaian pada Metode Adverse Consequences .............................. 32
Tabel 4.15. Mass Balance Alternatif 3 (Biofilter Anaerob-Aerob) .................................................. 33
Tabel 4.16. Data Perencanaan Sumur Pengumpul ........................................................................... 34
Tabel 4.17. Data Perencanaan Biofilter Anaerob ............................................................................. 36
Tabel 4.18. Data Perencanaan Biofilter Aerob................................................................................. 37
Tabel 4.19. Data Perencanaan Bak Pengendap Akhir ...................................................................... 40
Tabel 4.20. Data Perencanaan Klorinasi .......................................................................................... 41
Tabel 4.21. Profil Hidrolis................................................................................................................ 44
Tabel 4.22. Rancangan Anggaran Biaya (RAB) IPAL .................................................................... 45

Universitas Pertamina - viii


Daftar Gambar
Gambar 2.1. Mekanisme Lapisan Biofilm pada Media ...................................................................... 7
Gambar 2.2. Potongan Melintang Tangki Septik ............................................................................... 8
Gambar 2.3. Detail Tampak Samping dan Depan Rotating Biological Contactor atau RBC .......... 11
Gambar 2. 4. Potongan Melintang Constructed Welands Aliran Horizontal di Bawah Permukaan 12
Gambar 2.5. Skema Pengolahan dengan Biofilter Anaerob-Aerob ................................................. 15
Gambar 2.6. Tahapan Proses Perancangan ...................................................................................... 18
Gambar 3.1. Diagram Alir Metodologi Perancangan....................................................................... 20
Gambar 4.1. Rencana Rangkaian IPAL dan Mass Balance ............................................................. 33
Gambar 4.2. Media Biofilter Tipe Sarang Tawon ............................................................................ 35

Universitas Pertamina - ix
Daftar Singkatan
Lambang/Singkatan Arti Keterangan
IPAL Instalasi Pengolahan Air Limbah
KTDA Kepner Tregoe Decision Analysis
TSS Total Suspended Solids
BOD Biochemical Oxygen Demand
COD Chemical Oxygen Demand
WWTP Wastewater Treatment Plant
RBC Rotating Biological Contactor
UASB Upflow Anaerobic Sludge Blanket Reactor
DED Detailed Engineering Design
RAB Rencana Anggaran Biaya

Universitas Pertamina - x
Universitas Pertamina - 1
BAB I
PENDAHULUAN
Tugas akhir ini membahas tentang Perancangan Instalasi Pengolahan Efluen Cair Tangki Septik
di PT FH Tangerang. Laporan tugas akhir ini terdiri dari lima bagian dan dilengkapi dengan daftar
pustaka. Pada bagian pendahuluan ini, akan dijelaskan latar belakang yang menjadi alasan pemilihan
judul perancangan, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan perancangan, serta manfaat dari
perancangan yang dilakukan.

1.1. Latar Belakang

Air limbah domestik merupakan air limbah yang berasal dari aktivitas hidup sehari-hari manusia dan
mengandung berbagai konstituen yang berhubungan dengan pemakaian air tersebut (Mara, 2003).
PT FH merupakan suatu perusahaan yang bergerak di bidang farmasi untuk memproduksi berbagai
jenis obat-obatan. Pada industri farmasi ini, air limbah domestik umumnya dihasilkan dari kegiatan
aktivitas para pegawai seperti penggunaan toilet, wastafel mapupun dapur. Air limbah domestik
merupakan salah satu sumber yang dapat mencemari badan air jika tidak dilakukan pengolahan
terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air. Hal ini terjadi karena umumnya limbah domestik
mengandung beban polutan yang dapat mempengaruhi kualitas air seperti nitrat, fosfat, zat organik
dalam chemical oxygen demand (COD) dan biological oxygen demand (BOD), kekeruhan, serta
bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit (Santoso, 2015). Jika dilakukan analisis
berdasarkan jumlahnya pada badan air, air limbah rumah tangga berkontribusi terhadap pencemaran
air sekitar 75%, air limbah perkantoran dan komersial sebesar 15%, dan air limbah industri
memberikan kontribusi sebesar 10% (Said, 2018). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa air limbah perkantoran merupakan salah satu penyebab pencemaran pada badan
air. Dengan demikian, pengolahan air limbah merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dan
menjadi penting untuk dilakukan.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016
tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, dinyatakan bahwa setiap usaha yang menghasilkan air
limbah domestik wajib mengolah air limbah domestiknya tersebut dengan memenuhi baku mutu
yang ditetapkan untuk beberapa parameter seperti pH, BOD, COD, total suspended solid (TSS),
minyak dan lemak, amonia, dan total coliform. Cara yang dapat dilakukan untuk mengolah air limbah
domestik agar memenuhi baku mutu adalah dengan membangun suatu instalasi pengolahan air
limbah (IPAL).

Sistem pengolahan air limbah domestik eksisting pada PT FH adalah dengan mengalirkan buangan
domestiknya ke tangki septik. Namun saat ini belum ada pengolahan lanjutan untuk mengolah
efluennya sehingga efluen cair tangki septik langsung dialirkan ke saluran drainase yang menuju
badan air terdekat. Tangki septik yang dirancang dan dirawat dengan baik umumnya hanya memiliki
persentase pengolahan sebesar 50% untuk penyisihan padatan dan 30% - 40% untuk penyisihan BOD
(Tilley, at al., 2014). Air limbah domestik tanpa pengolahan memiliki konsentrasi tipikal untuk
parameter TSS sebesar 120-400 mg/l dan BOD sebesar 110-350 mg/l (Tchobanoglous et al., 2014).
Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan dengan tangki septik saja berpotensi untuk menghasilkan
kualitas efluen yang belum memenuhi baku mutu. Seperti halnya jika mengacu pada PermenLHK
Nomor 68 Tahun 2016, dinyatakan bahwa kadar maksimum TSS dan BOD pada efluen pengolahan
air limbah domestik adalah sebesar 30 mg/L. Selain itu, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014, dijelaskan bahwa bagian cair yang keluar dari tangki

Universitas Pertamina - 1
septik perlu diresapkan melalui bidang/sumur resapan dan jika tidak memungkinkan karena beberapa
hal seperti ketidaksesuain muka air tanah, keterbatasan luas area yang tersedia, dan kapasitas
minimum dan maksimum pemakai tangki septik, maka dapat dibuat suatu filter atau pengolahan
lanjutan untuk mengelola cairan tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa efluen cair
yang keluar dari tangki septik tidak dapat dibuang ke badan air sebelum diolah terlebih dahulu.
Perancangan pengolahan efluen cair tangki septik menjadi penting untuk dilakukan agar efluen dapat
mematuhi baku mutu dan juga menjaga kualitas lingkungan. Efluen cair tangki septik direncanakan
akan diolah pada suatu rangkaian instalasi pengolahan terpusat. Hal ini disebabkan karena pada
kondisi eksisting, terdapat total tangki septik sekitar 18 unit. Dengan total tangki tersebut, tidak
memungkinkan untuk dibangunnya unit pengolahan seperti resapan di tiap-tiap unit tangki septik
karena akan membutuhkan lahan yang lebih besar.

Sehingga pada proses perancangannya diusahakan semaksimal mungkin untuk menggunakan lahan
yang kecil dikarenakan kondisi lahan eksisting yang terbatas. Selain mengenai penggunaan lahan
yang terbatas dan kemampuan penyisihan agar kualitas dapat memenuhi baku mutu, aspek tambahan
yang menjadi perhatian dalam menentukan pengolahan air limbah adalah aspek ekonomis baik untuk
pembangunan maupun operasional, serta kemudahan dalam perawatan dan operasional (Hartaja,
2017).

1.2. Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan dibahas dalam perancangan ini adalah:


1. Bagaimana mendesain unit pengolahan efluen cair tangki septik yang tepat dan dapat memenuhi
baku mutu air limbah domestik sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 68 Tahun 2016?
2. Bagaimana mengolah efluen dari tangki septik dengan penggunaan lahan yang terbatas, mudah
dalam operasional, serta ekonomis?

1.3. Batasan Masalah

Perancangan ini berfokus pada batasan masalah yang meliputi:


1. Perancangan IPAL dilakukan untuk mengolah air efluen tangki septik pada industri farmasi PT
FH.
2. Debit perancangan didapatkan dari data sekunder yang bersumber dari PT FH.
3. Peraturan mengenai baku mutu yang menjadi acuan perancangan unit pengolahan adalah
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu
Air Limbah Domestik.
4. Fokus parameter kualitas air limbah yang akan diolah adalah parameter yang melebihi baku
mutu.
5. Hasil dari perancangan berupa gambar teknis yang meliputi layout plan IPAL dan detailed
engineering design (DED) beserta rencana anggaran biaya (RAB).

1.4. Tujuan Perancangan

Tujuan yang ingin dicapai dalam perancangan ini adalah:


1. Merancang instalasi pengolahan air limbah untuk mengolah efluen cair tangki septik dengan
menentukan unit pengolahan yang tepat agar dapat memenuhi baku mutu sesuai Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 68 Tahun 2016.

Universitas Pertamina - 2
2. Membuat detailed engineering design (DED) unit pengolahan efluen cair tangki septik beserta
rencana anggaran biaya (RAB).

1.5. Manfaat Perancangan

Manfaat yang didapatkan dari perancangan IPAL ini adalah:


1. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi PT FH dalam membangun instalasi pengolahan air
limbah untuk mengolah limbah domestik yang dihasilkan.
2. Pengaplikasian hasil perancangan rangkaian IPAL ini diharapkan dapat menjadi upaya bagi PT
FH dalam mengolah air limbah domestiknya agar dapat memenuhi standar baku mutu yang telah
ditetapkan.
3. Dapat menjadi sumber informasi terkait proses pengolahan air limbah serta rangkaian instalasi
IPAL khususnya air keluaran dari tangki septik.

Universitas Pertamina - 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memuat hal-hal yang berkaitan dengan informasi mengenai perancangan instalasi pengolahan
air limbah. Terdiri dari beberapa sub-bab yang menjelaskan dan menguraikan teori, definisi, alur
pemikiran, maupun informasi seperti acuan baku mutu dan kriteria desain yang bersumber dari
literatur seperti buku, tugas akhir, jurnal ilmiah, maupun penelitian terdahulu yang dapat menjadi
landasan ilmiah dalam menemukan solusi.

2.1. Air Limbah Domestik

Air limbah merupakan limbah cair yang berasal dari sisa penggunaan air oleh manusia untuk
melakukan berbagai kegiatan yang mengandung bermacam unsur berbahaya bagi lingkungan dan
manusia jika tidak dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke badan air. Secara umum, air limbah
dapat berasal dari berbagai sumber seperti air limbah domestik, industri, infiltrasi, dan stormwater
(Tchobanoglous et al., 2014). Pada sektor industri, dihasilkan juga air limbah domestik sesuai
pernyataan Fauzi (2018) yang menjelaskan bahwa penggunaan air di sektor industri dibagi menjadi
3 kategori yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya. Ketiga jenis air tersebut diantaranya yaitu air
proses untuk mengolah bahan baku menjadi suatu produk, air utilitas untuk mendukung kegiatan
produksi seperti pendingin dan pemanas, serta air limbah domestik.

Air limbah domestik merupakan air buangan yang berasal dari kotoran manusia (tinja dan urin),
pembilasan toilet, mandi, cucian, dan juga dapur (Mara, 2003). Berdasarkan sumber buangan tersebut
air limbah domestik dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu greywater dan blackwater. Jenis air limbah
greywater berasal dari wastafel, mandi, dapur, dan cucian, sedangkan blackwater berasal dari
buangan toilet (Morel dan Diener dalam Paulo et al., 2012)

2.2. Karakteristik Air Limbah

Air limbah mengandung berbagai konstituen dari berbagai sumber pencemar. Akibat sumber yang
beragam, maka perlu dilakukan karakterisasi air limbah sesuai kandungannya. Karakteristik air
limbah dapat dikelompokkan berdasarkan sifatnya yaitu, berdasarkan sifat fisiknya seperti total
padatan tersuspensi, unsur kimianya yang terbagi atas parameter organik seperti BOD, COD, minyak
& lemak, dan parameter anorganik seperti pH dan amonia, serta unsur biologinya seperti total
koliform (Tchobanoglous et al., 2014). Berikut penjelasan setiap karakteristik.

a) Total Suspended Solids (TSS)

Total padatan tersuspensi merupakan parameter air limbah yang mendeskripsikan jumlah material
organik dan anorganik tidak larut dalam air. Padatan tersuspensi dalam air buangan perlu untuk
dihilangkan karena padatan tersuspensi dapat meningkatkan deposit lumpur dan menyebabkan
kondisi anaerobik jika air buangan tanpa pengolahan dibuang secara langsung ke badan air
(Tchobanoglous et al., 2014).

b) Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Parameter BOD merupakan faktor yang menunjukkan kandungan organik pada air limbah. Nilai
BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
mengoksidasi material organik yang mudah terurai. Air limbah dengan nilai BOD tinggi jika dibuang

Universitas Pertamina - 4
langsung ke badan air dapat menyebabkan penurunan sumber oksigen yang tersedia sehingga dapat
memicu kondisi septik (Tchobanoglous et al., 2014)

c) Chemical Oxygen Demand (COD)

Parameter COD juga merupakan faktor pengindikasi polutan organik pada air limbah. Namun, nilai
COD menunjukkan jumlah oksigen yang ekuivalen dengan total zat organik yang dapat dioksidasi
secara kimia menggunakan dikromat dalam kondisi asam (Tchobanoglous et al., 2014). Sama seperti
BOD, tingginya konsentrasi COD pada air limbah yang dibuang ke badan air dapat mengganggu
kehidupan akuatik karena deplesi oksigen yang dapat menyebabkan kematian ikan dan menyebabkan
bau (Henze & Comeau, 2008).

d) Minyak dan Lemak

Minyak dan lemak dapat mencemari perairan karena kehadirannya dapat mengakibatkan konsentrasi
oksigen terlarut di air rendah karena minyak dan lemak dapat menghambat difusi udara pada
permukaan air. Selain itu minyak dan lemak dapat mengurangi penetrasi sinar matahari dari luar
yang masuk ke dalam perairan sehingga mempengaruhi aktivitas fotosintesis (Suyasa, 2015).

e) Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan parameter yang menyatakan tingkat keasaman atau jumlah ion
hidrogen dalam suatu cairan. Selain itu, pH juga dapat menjadi indikator yang menunjukkan tingkat
kesulitan pada proses pengolahan air limbah. Air limbah dengan pH 7 (netral) menunjukkan kondisi
dengan kinerja pengolahan yang optimum. Nilai pH perlu diperhatikan karena dapat merubah kadar
keasaman air dari tempat air limbah tersebut dibuang seperti sungai. Perubahan kondisi yang tidak
sesuai dapat mempengaruhi kehidupan dan metabolisme organisme air, proses biokimiawi di air,
serta tingkat toksisitas senyawa kimia (Sulistia & Septisya, 2019).

f) Amonia (NH3)

Amonia merupakan senyawa kimia yang larut dalam air. Air limbah yang mengandung kadar amonia
tinggi perlu dilakukan pengolahan karena menunjukkan tingginya kandungan nutrien berupa
nitrogen. Selain itu, kadar amonia yang tinggi dapat menyebabkan penurunan jumlah oksigen
terlarut, menyebabkan eutrofikasi, serta efek toksik (Henze & Comeau, 2008). Amonia (NH3)
bersifat toksik bagi biota perairan seperti ikan karena kemampuannya untuk masuk ke dalam tubuh
ikan melalui air yang kemudian ketika di dalam tubuh, amonia (NH3) dapat terionisasi dan
menyebabkan kerusakan sel (Levit, 2010).

g) Total Koliform

Total koliform merupakan salah satu kelompok bakteri koliform yang digunakan sebagai organisme
indikator. Jika pada air limbah terdeteksi adanya total koliform dan nilainya melebihi baku mutu,
maka dapat diindikasi adanya kehadiran patogen penyebab penyakit pada air tersebut
(Tchobanoglous et al., 2014).

2.3. Baku Mutu Air Limbah Domestik

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dijelaskan bahwa baku mutu air limbah adalah batas atau
kadar maksimum suatu unsur pencemar yang dapat ditenggang keberadaannya dalam air limbah

Universitas Pertamina - 5
suatu usaha atau kegiatan sebelum dibuang ke sumber air. Peraturan mengenai air limbah domestik
di Kota Tangerang di bahas pada Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan untuk tingkat provinsi
mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pengembangan
Pengelolaan dan Pengendalian Pencemaran Air Limbah Domestik Regional. Namun, kedua
peraturan tersebut tidak mengatur standar baku mutu air limbah domestik untuk daerahnya secara
tersendiri. Sehingga baku mutu yang dijadikan sebagai pedoman dalam pengolahan air limbah
domestik dapat mengacu pada standar baku mutu nasional berdasarkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
Terdapat berbagai parameter beserta konsentrasi yang telah ditetapkan dan menjadi acuan dalam
perancangan sistem pengolahan air limbah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1. Baku Mutu Air Limbah Domestik Tersendiri
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH - 6-9
BOD mg/L 30
COD mg/L 100
TSS mg/L 30
Minyak & Lemak mg/L 5
Amoniak mg/L 10
Total Coliform Jumlah/100mL 3000
Debit l/orang/hari 100
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2016)

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa setiap parameter memiliki batasan untuk dapat secara aman dibuang
ke badan air. Seperti contohnya parameter organik sebagai BOD dibatasi konsentrasinya sebesar 30
mg/L dan COD 100 mg/L. Nilai ini membuat limbah yang mengandung parameter organik dengan
nillai melebihi baku mutu harus diolah sebelum dibuang ke badan air.

2.4. Proses Pengolahan Air Limbah

Konstituen yang terkandung pada air limbah dapat dihilangkan dengan menentukan pengolahan yang
tepat. Secara umum pengolahan air limbah dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu secara fisika,
kimia, dan biologis. Ketiga proses tersebut dapat dilakukan dalam satu rangkaian maupun terpisah
(Tchobanoglous et al., 2014).

2.4.1. Pengolahan secara fisika

Pengolahan secara fisika biasanya dilakukan di awal pengolahan karena prosesnya yang
mengaplikasikan kemampuan kekuatan secara fisik seperti gravitasi, pengadukan, dan lainnya. Tipe-
tipe proses pada pengolahan secara fisika yaitu sedimentasi, penyaringan, flokulasi, filtrasi dan
lainnya (Tchobanoglous et al., 2014).

2.4.2. Pengolahan secara kimia

Pengolahan secara kimia terjadi ketika penghilangan konstituen dilakukan dengan menambahkan
bahan kimia. Contoh pengolahan secara kimia yang umunya digunakan adalah presipitasi yang
dilanjutkan dengan unit penghilangan presipitat, transfer gas dengan bantuan oksigen, adsorpsi, dan
penggunaan klorin untuk desinfeksi (Tchobanoglous et al., 2014).

Universitas Pertamina - 6
2.4.3. Pengolahan secara biologis

Pengolahan secara biologis pada air limbah dilakukan untuk mendegradasi senyawa polutan organik
dengan menggunakan mikroorganisme. Pengolahan secara biologis dapat dilakukan pada 3 jenis
kondisi terkait keberadaan oksigen pada air, yaitu kondisi aerobik (dengan oksigen) yang baik dalam
mengolah air limbah dengan kandungan organik yang tidak terlalu besar, anaerobik (tanpa adanya
oksigen) yang mampu mengolah air limbah dengan beban organik tinggi, serta kombinasi aerobik-
anaerobik. Pengolahan air limbah secara biologis juga dapat dibedakan berdasarkan tipe pengolahan,
yaitu biakan tersuspensi, biakan melekat, serta proses pengolahan dengan sistem lagoon (Said, 2008).

a) Biakan Tersuspensi (Suspended Growth)

Proses pengolahan air limbah dengan biakan tersuspensi memanfaatkan aktivitas mikroorganisme
yang dibiakkan secara tersuspensi di dalam reaktor untuk menguraikan senyawa polutan yang ada di
dalam air limbah. Berbagai contoh proses pengolahan yang menerapkan proses ini adalah lumpur
aktif, step aeration, kontak stabilisasi, kolam oksidasi dengan sistem parit, dan lainnya (Said, 2008).

b) Biakan Melekat (Attached Growth)

Proses pengolahan dengan biakan melekat merupakan proses pengolahan biologis dengan
memanfaatkan permukaan media seperti batuan, kerikil, plastik, nilon, dan sintesis lainnya untuk
menjadi tempat tumbuhnya mikroorganisme. Mikroba akan tumbuh dan membentuk lapisan yang
biasanya disebut dengan biofilm. Proses biakan melekat dapat dioperasikan secara aerobik, anaerobik
maupun kombinasi antara keduanya. Media filter dapat terletak pada posisi terendam, terendam
sebagian, ataupun tidak terendam pada air limbah (Mines, 2014). Suatu sistem biofilm tersusun atas
lapisan media filter, lapisan biofilm, lapisan air, dan udara. Lapisan pada biakan melekat dapat
diilustrasikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Mekanisme Lapisan Biofilm pada Media (Said, 2008)


Mekanisme proses penguraian pada sistem biofilm seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.1
secara sederhana terjadi dengan mendifusikan senyawa polutan dan amonia yang terkandung dalam

Universitas Pertamina - 7
air limbah ke lapisan biofilm yang melekat pada permukaan medium. Kemudian dengan
menggunakan oksigen terlarut dalam air limbah, senyawa polutan akan diuraikan oleh
mikroorganisme yang terdapat pada lapisan biofilm. Untuk tetap dapat menjaga pasokan oksigen
tersebutlah digunakan berbagai contoh teknologi yang menerapkan sistem biakan melekat
diantaranya adalah biofilter tercelup, trickling filter, aerasi kontak, reaktor kontak biologis (RBC),
dan lainnya (Said, 2008).

c) Lagoon atau Kolam

Pengolahan secara biologis tipe kolam atau lagoon dilakukan dengan menumbuhkan
mikroorganisme secara alami pada suatu kolam dengan waktu tinggal yang cukup lama untuk dapat
mengurai senyawa polutan yang terkandung pada air limbah. Proses aerasi dapat dilakukan untuk
mempercepat proses penguraian dan mengurangi waktu tinggal di kolam. Namun proses ini biasanya
juga dikategorikan ke dalam pengolahan secara biakan tersuspensi (Said, 2008).

2.5. Pengolahan dengan Tangki Septik

Tangki septik merupakan suatu ruangan kedap air yang terdiri dari satu hingga beberapa
kompartemen. Unit ini berfungsi untuk menampung dan mengolah air limbah rumah tangga dengan
kecepatan aliran yang lambat sehingga memberi kesempatan untuk terjadi pengendapan terhadap
suspensi benda-benda padat dan kesempatan untuk penguraian bahan-bahan organik oleh jasad
anaerobik membentuk bahan-bahan larut air dan gas. Tangki septik dapat dibedakan menjadi 2 jenis
yaitu, tangki septik dengan sistem terpisah dan tercampur. Tangki septik sistem tercampur digunakan
untuk menampung buangan air limbah rumah tangga yang meliputi sisa mandi, cuci dan kakus,
sedangkan tangki septik sistem terpisah merupakan tangki septik yang digunakan hanya untuk
menampung air kakus (Badan Standardisasi Nasional, 2017). Pada tangki septik, terjadi
penghilangan parameter polutan seperti padatan dan BOD.

Gambar 2.2. Potongan Melintang Tangki Septik (Tilley, at al., 2014)

Potongan melintang tangki septik secara umum dan proses pengumpulan air limbah dapat dilihat
pada Gambar 2.2 diatas. Gambar tersebut menunjukkan tangki septik dengan dua kompartemen yang
dilengkapi dengan pipa aliran masuk di sisi kiri, zona sedimentasi dibagian bawah, dan pipa aliran
keluar yang posisinya lebih rendah dari pipa aliran masuk. Proses pengolahan pada tangki septik

Universitas Pertamina - 8
terjadi ketika air limbah tertahan di dalam tangki untuk proses pemisahan padatan dengan cairan.
Prinsip kerja tangki septik menyerupai tangki sedimentasi dimana padatan yang mengendap akan
distabilisasi secara anaerobik. Sedimentasi beroperasi secara optimal jika aliran limbah yang masuk
lambat dan tenang, sedangkan proses biologis dapat dioptimalkan dengan kontak yang cepat dan
intensif antara air limbah yang baru masuk dengan lumpur yang telah lama terendap. Proses
sedimentasi yang optimal dapat menghasilkan efluen yang lebih segar dan tidak berbau, sedangkan
pengoptimalan proses biologis dapat meningkatkan proses degradasi padatan tersuspensi dan terlarut
(Sasse, 1998). Tangki septik dapat dikategorikan menjadi tahapan awal dalam proses pengolahan air
limbah dan diperlukan proses pengolahan lanjutan untuk mengolah efluen beserta lumpur. Hal ini
dikarenakan cairan yang keluar dari tangki septik umumnya masih mengandung organik yang tinggi
(Tilley, at al., 2014).

2.6. Unit Pengolahan Air Limbah


Berbagai unit dibawah ini menjelaskan fungsi dan juga penerapan teknologi yang digunakan. Selain
itu dilengkapi juga kriteria desain tiap unit. Terdapat berbagai unit pengolahan air yang umumnya
digunakan seperti sumur pengumpul, unit pengolahan sekunder (lumpur aktif, RBC, trickilng filter,
constructed wetland, upflow anaerobic sludge blanket (UASB), dan biofilter anaerob-aerob) serta
desinfeksi.

2.6.1. Sumur pengumpul

Sumur pengumpul diletakkan di awal pengolahan sebagai unit pendahuluan dengan tujuan untuk
menampung air limbah domestik yang berasal dari berbagai sumber dengan elevasinya yang lebih
rendah daripada unit-unit pengolahan selanjutnya. Sumur pengumpul umumnya dilengkapi pompa
untuk menyalurkan air ke unit selanjutnya. Untuk perancangannya, terdapat kriteria desain yaitu
waktu detensi air limbah dalam sumur pengumpul <10 menit sehingga pada unit ini biasanya tidak
terjadi proses pendegradasian polutan. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya pengendapan
dalam sumur. (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2018).

2.6.2. Lumpur aktif (activated sludge)


Lumpur aktif adalah unit pengolahan secara biologis dengan biakan tersuspensi pada suatu reaktor
yang menggunakan mikroorganisme aerob untuk mengolah polutan organik dan konstituen lainnya.
Karena menggunakan mikroorganisme aerob, unit lumpur aktif dilengkapi dengan proses
pengadukan dan aerasi untuk menjaga pasokan udara. Mikroorganisme akan membentuk partikel
flokulan sehingga diperlukan unit sedimentasi akhir untuk memisahkan fasa cair dan padatan pada
efluen dari tangki aerasi. Lumpur yang terkumpul pada bak sedimentasi akhir dapat diresirkulasi ke
tangki biologis (Tchobanoglous et al., 2014). Kriteria desain unit dapat dilihat pada abel berikut.
Tabel 2.2. Kriteria Desain Lumpur Aktif
Volumetric
Waktu F/M
loading Waktu RAS
Tipe Tinggal (kg BOD/ MLSS
Proses (kg Detensi (Qr/
Reaktor Lumpur Kg MLVSS. (mg/L)
BOD/m3. (jam) Q)
(hari) hari)
hari)
Konvensional Plug 1000- 0,25-
3-15 0,2-0,4 0,3-0,7 4-8
flow 3000 0,75
Complete-mix 1500- 0,25-
CMAS 3-15 0,2-0,6 0,3-1,6 3-5
4000 1,00
Extended Plug 2000- 0,50-
20-40 0,04-0,10 0,1-0,3 20-30
Aeration flow 5000 1,50

Universitas Pertamina - 9
Volumetric
Waktu F/M
loading Waktu RAS
Tipe Tinggal (kg BOD/ MLSS
Proses (kg Detensi (Qr/
Reaktor Lumpur Kg MLVSS. (mg/L)
BOD/m3. (jam) Q)
(hari) hari)
hari)
Sequencing 2000-
Batch 10-30 0,04-0,10 0,1-0,3 15-40 -
Batch Reactor 5000
Oxidation Plug 3000- 0,75-
15-30 0,04-0,1 0,1-0,3 15-30
Ditch flow 5000 1,50
Sumber: Tchobanoglous, Burton, & Stensel (2003)

2.6.3. Rotating biological contactor (RBC)

RBC atau reaktor kontak biologis merupakan unit pengolahan biologis yang biasanya diawali oleh
unit pengolahan primer seperti tangki septik, clarifier, filter anaerobik, dan lainnya. Proses yang
terjadi pada RBC yaitu biakan melekat secara aerob dimana pertumbuhan biomassa terjadi dengan
proses penempelan pada permukaan piringan. Prinsip kerja RBC yakni piringan berputar secara terus
menerus untuk menyediakan proses kontak biomassa dengan air limbah yang mengandung polutan
organik dan dilanjutkan dengan proses kontak udara agar dapat menyerap oksigen (Soedjono,
Wibowo, Saraswati, & Keetalar, 2010). Beberapa kriteria yang diperhatikan dalam perancangan
RBC dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Kriteria desain RBC
Parameter Nilai Satuan
10-15 gr BOD/m2.hari (domestik)
Beban organik
10-50 gr BOD/m2.hari (industri)
50 – 100 l/m2/hari (BOD influen = 200 mg/l)
Beban hidrolis
10-20 l/m2/hari (BOD influen = 500-1000 mg/l)
Jarak antara piringan 3–5 cm
Diameter piringan 1,5 – 3 m
Waktu detensi 2–4 jam
Produk lumpur 0,4 – 0,5 Kg/Kg BOD removal
Kecepatan putaran cakram 1–2 rpm
Diameter cakram 1 – 3,6 m
Kedalaman bak 40% Dari diameter cakram
Temperatur pengoperasian 15 – 40 o
C
Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya (2018)

Tabel 2.3 memaparkan beberapa kriteria desain dari perencanaan RBC. Terdapat parameter penting
terkait beban pengolahan yang harus diperhatikan pada parameter desain RBC, yaitu beban organik
dan beban hidrolis. Beban hidrolis pada Tabel 2.3 dibedakan berdasarkan konsentrasi BOD influen.
Selain mengacu pada konsentrasi BOD, kriteria nilai beban hidrolis pada RBC umunya berkisar
antara 30-160 l/m2/hari (Tchobanoglous, Burton, & Stensel, 2003).

Universitas Pertamina - 10
Gambar 2.3. Detail Tampak Samping dan Depan Rotating Biological Contactor atau RBC (Mines,
2014)

Potongan RBC dengan tampak samping dan tampak depan dapat dilihat pada Gambar 2.3. Pada
potongan tampak samping, terlihat detail bagian pada RBC yang terdiri atas piringan media, shaft,
dan motor untuk memutar shaft. Tampak depan terlihat piringan media, kedalaman bak yang dapat
merendam 35-40% piringan, dan pipa distribusi udara (Mines, 2014).

2.6.4. Trickling filter

Unit pengolahan sekunder dengan trickling filter merupakan jenis pengolahan biologis biakan
melekat dengan tipe media yang tidak terendam. Berbeda dengan tipe filter tradisional yang
menggunakan pasir, reaktor pada trickling filter menggunakan media seperti batuan, kerikil, atau
bahan plastik yang dapat menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme. Proses pengolahannya yaitu
dengan mengalirkan air limbah dari atas dengan bantuan sprinkler yang berputar untuk
medistribusikan air secara kontinu. Kemudian terjadi proses pengolahan ketika air mengalir melalui
media dan kontak dengan biofilm. Desain trickling filter dapat diklasifikasikan berdasarkan laju
beban hidrolik ataupun beban organik (Tchobanoglous, Burton, & Stensel, 2003). Kriteria desain
trickling filter dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut ini.
Tabel 2.4. Kriteria Desain Trickling Filter
Sangat
Karakteristik Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat
Satuan Tinggi
Desain Rendah Sedang Tinggi Tinggi
(Roughing)
Tipe media - Batu Batu Batu Plastik Plastik/ Batu
Beban hidrolik m3/m2.hari 1-4 4-10 10-40 10-75 40-200
3
Beban organik kg BOD/m .hari 0,07-0,22 0,24-0,48 0,4-2,4 0,6-3,2 >1,5
Rasio - 0
0-1 1-2 1-2 0-2
resirkulasi
Penyaring
- banyak sedang sedikit sedikit sedikit
lalat
Sloughing - terkadang terkadang kontinu kontinu kontinu
Kedalaman m 1,8-2,4 1,8-2,4 1,8-2,4 3,0-12,2 0,9-1,6
Efisiensi
penyisihan % 80-90 50-80 50-90 60-90 40-70
BOD
Kualitas
Proses nitrifikasi ya sebagian tidak tidak tidak
efluen
3 3
Daya kW/10 m 2-4 2-8 6-10 6-10 10-20
Sumber: Tchobanoglous, Burton, & Stensel (2003)

Universitas Pertamina - 11
2.6.5. Lahan basah buatan arah horizontal (constructed wetland)

Lahan basah buatan merupakan lahan basah yang dibangun sedemikian rupa agar serupa dengan
lahan basah alami. Sistem pengolahan air limbah ini dibangun dengan dasar lapisan atau saluran yang
diisi pasir atau media seperti kerikil, batu, dan tanah yang kemudian diatasnya ditanami tanaman
makrophyta. Selain itu, lapisan terluar dilapisi dengan material kedap air seperti tanah liat atau
geotekstil agar air tidak tembus (Soedjono et al., 2010). Terdapat dua jenis sistem pengolahan pada
lahan basah buatan yang dibedakan berdasarkan jenis pengaliran airnya. Jenis pertama adalah sistem
aliran permukaan (free water system) dimana air mengalir di atas permukaan tanah dan Jenis kedua
adalah sistem aliran permukaan bawah (subsurface flow system). Pada sistem ini terbagi menjadi 2
jenis sesuai arah alirannya yaitu arah horizontal (horizontal subsurface flow) dan arah vertikal
(vertical subsurface flow) (Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2017).
Prinsip kerja lahan basah buatan yaitu influen dialirkan melewati media filter untuk menyaring
padatan dan menyisihkan polutan organik dengan bantuan bakteri yang menempel pada media filter
(Tilley, at al., 2014).

Gambar 2. 4. Potongan Melintang Constructed Welands Aliran Horizontal di Bawah Permukaan


(Tilley, at al., 2014)

Potongan melintang constructed wetlands dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar tersebut
menunjukkan susunan dan juga komponen yang terdapat pada constructed wetlands seperti pipa
aliran masuk dan keluar, media, dan kemiringan dasar sebesar 1% untuk memudahkan proses
disribusi air (Tilley, at al., 2014). Berikut beberapa kriteria desain yang menjadi pertimbangan saat
proses perancangan lahan basah buatan.
Tabel 2.5. Kriteria Desain Lahan Basah Buatan Arah Horizontal
Parameter Nilai Satuan
Diameter media di area pengolahan 5 – 20 mm
Diameter media di inlet dan outlet 40 – 80 mm
Porositas media 40 %
Kedalaman lahan basah 30 – 60 cm (tipikal=40 cm)
Kemiringan dasar 0,5 – 1 %
tanah liat /
Lapisan bak Jika permeabilitas tanah >10-6 m/s
geomembran
Laju konstanta (KBOD) 0,15 m/hari
Laju beban hidrolik 0,01-0,03 m3/m2.s
Sumber: UN-HABITAT (2008)

Universitas Pertamina - 12
Media yang umumnya memenuhi kriteria porostitas media Pada Tabel 2.5 adalah kerikil. Sebelum
media disusun pada bak, harus dipastikan sudah bersih dan bebas debu untuk menghindari
penyumbatan saat proses pengolahan. Selain berbagai parameter di atas, salah satu parameter lain
yang penting untuk diperhatikan adalah jenis tanaman. Berbagai jenis tanaman hidup yang dapat
digunakan seperti Phragmites australis (reed) biasanya memiliki akar yang dalam dan lebar serta
dapat tumbuh di area yang basah dan kaya nutrisi (UN-HABITAT, 2008).

2.6.6. Upflow Anaerobic Sludge Blanket Reactor (UASB)

Unit pengolahan UASB merupakan jenis pengolahan tersuspensi pada reaktor dengan kondisi tanpa
kehadiran oksigen. Prinsip kerjanya adalah air limbah masuk ke dalam tangki dari arah bawah
kemudian mengalir ke atas. Reaktor UASB dilengkapi dengan selimut lumpur tersuspensi yang dapat
melakukan penyaringan dan pengolahan ketika air limbah melewatinya. Selimut lumpur merupakan
sebutan untuk area tempat terjadinya pendegradasian senyawa organik oleh mikroorganisme yang
terdiri dari butiran mikroba berdiameter 1 sampai 3 mm hasil aglomerasi mikroorganisme yang
karena beratnya dapat tidak terikut ke atas ketika air melewatinya dari arah bawah. Pada proses
pengolahannya dapat dihasilkan gas sehingga unit ini didesain menyempit di bagian atas reaktor
untuk menangkap gas (Tilley, at al., 2014). Untuk kriteria desain reaktor UASB dapat dilihat pada
Tabel 2.6 berikut.
Tabel 2.6. Kriteria Desain Reaktor UASB
Parameter Nilai Satuan
Hydraulic Retention Time (HRT) 8-10 jam
Solid retention time (SRT) 30-50 hari
Konsentrasi sludge blanket 15-30 kg VSS/m3
Beban organik dalam sludge blanket 0,3-1,0 kg COD/kgVSS.hari
Volumetric organic loading 1-3 kg COD/m3.hari
Penyisihan BOD 75-85 %
Penyisihan COD 74-78 %
Kecepatan upflow 0,5-1,2 m/jam
Produksi lumpur 0,15-0,25 kg TS/m3
Produksi gas 0,1-0,3 m3/kg COD yang tersisihkan
Penyisihan nitrogen dan fosfor 5-19 %
Kedalaman reaktor 4,5-5 m
Lebar atau diameter 10-12 m
Kedalaman sludge blanket 2,0-2,5 m
Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya (2018)

2.6.7. Biofilter anaerob-aerob

Biofilter merupakan jenis pengolahan air limbah yang memanfaatkan pembentukan biofilm akibat
pertumbuhan mikroorganisme pada media. Air limbah dialirkan ke dalam reaktor yang dikontakkan
dengan biofilm yang telah terbentuk dan melapisi keseluruhan permukaan media untuk menguraikan
polutan yang ada di dalam air limbah. Proses degradasi akan terjadi ketika senyawa polutan dialiri
melewati celah media dan kontak langsung dengan lapisan mikroba. Mikroorganisme yang tumbuh
pada lapisan media memiliki kesamaan dengan organisme yang hidup pada pengolahan dengan
sistem lumpur aktif. Organisme yang hidup sebagian besar bersifat heterotropik dengan bakteri
fakultatif sebagai organisme utama (Said, 2008).

Universitas Pertamina - 13
Teknologi pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob adalah salah satu proses
yang mengaplikasikan sistem biofilter dengan mengkombinasikan proses secara anaerob dan aerob.
Tujuan dilakukannya penggabungan kedua proses ini adalah untuk meningkatkan persentasi
penyisihan polutan pada air limbah. Pada proses biofilter anaerob tanpa udara (tidak memerlukan
bantuan blower) terjadi penguraian polutan organik yaitu BOD dan COD serta padatan tersuspensi.
Pada proses biofilter aerob terjadi degradasi polutan organik yang tersisa menjadi gas karbon
dioksida (CO2) dan air (H2O), serta amonia menjadi nitrat. Dengan demikian proses secara anerob
umunya dilakukan diawal karena kemampuannya yang lebih baik dalam mengolah air limbah dengan
kandungan organik tinggi. Penggabungan dua proses biofilter anaerob-aerob dapat meningkatkan
kualitas yang lebih baik dengan penggunaan energi yang lebih sedikit (Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, 2017).

Komponen penting yang menjadi kunci utama dalam proses pengolahan pada biofilter adalah media
biofilter. Terdapat beberapa kriteria media biofilter diantaranya adalah (Said & Ruliasih, 2005):
1. Luas permukaan spesifik, hal ini menunjukkan besar luas area tiap satuan volume media yang
aktif secara biologis. Semakin besar luas permukaan spesifik media maka semakin banyak
jumlah mikroorganisme yang tumbuh pada permukaan media per unit volume.
2. Fraksi volume rongga, menunjukkan ruang atau volume kosong atau terbuka dalam media.
Volume rongga yang besar dapat membuat aliran air maupun udara tidak terhalang sehingga
dapat meningkatkan kemungkinan kontak antara substrat dengan biomassa yang menempel pada
media penyangga. Selain itu, media dengan fraksi volume rongga yang lebih besar memiliki
ketahanan terhadap penyumbatan.
3. Diameter celah bebas, kemampuan media untuk meloloskan ukuran diameter terbesar dari
berbagai jenis konstituen pada air.
4. Ketahanan terhadap penyumbatan. Penyumbatan mempengaruhi kemampuan filter untuk
mengolah air sesuai dengan desain.
5. Terbuat dari bahan tidak mudah terurai, tidak korosif, dan tahan terhadap pembusukan dan
kerusakan secara kimia.
6. Keterjangkauan harga per unit luas permukaannya.
7. Memiliki ketahanan mekanik yang baik untuk biofilter berukuran besar. Hal ini berkaitan dengan
proses perawatan dan pemeliharaan.
8. Ukuran berat media. Semakin ringan media, maka dapat mereduksi biaya konstruksi.
9. Fleksibilitas. Berkaitan dengan kemudahan konstruksi dengan kemampuan menyesuaikan
bentuk reaktor yang beragam.
10. Kemudahan dalam pemeliharaan dan perawatan.
11. Kebutuhan energi kecil.
12. Reduksi cahaya. Khususnya biofilter yang digunakan untuk nitrifikasi umumnya menggunakan
media berwarna gelap dan bentuknya harus dapat menghalangi cahaya.
13. Permukaan media bersifat hidrofilik agar mikroorganisme dapat menempel.

Jenis media umumnya dibedakan berdasarkan bahan materialnya seperti batu pecah, kerikil, batu
marmer, batu tembikar, bentuk tali, jaring, butiran tak teratur, papan, sarang tawon, dan lainnya (Said
& Ruliasih, 2005). Beragam media filter ini memiliki luas permukaan spesifik yang berbeda seperti
yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Universitas Pertamina - 14
Tabel 2.7. Perbandingan Luas Permukaan Spesifik Media Biofilter
Luas Permukaan
No Jenis Media
Spesifik (m2/m3)
1 Trickling Filter dengan Batu Pecah 100-200
2 Modul Sarang Tawon (Honeycomb Module) 150-240
3 Tipe Jaring 50
4 RBC 80-150
5 Bio-Ball (Random) 200-240
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011)

Dapat dilihat pada Tabel 2.7 perbedaan luas permukaan spesifik tiap jenis media biofilter. Luas
permukaan spesifik merupakan salah satu variabel penting dalam menentukan efisiensi penyisihan
dan dimensi reaktor. Semakin besar nilai luas permukaan spesifik maka efisiensi pengolahan semakin
besar dan volume reaktor yang dibutuhkan menjadi lebih kecil (Said & Ruliasih, 2005). Media
biofilter akan diletakkan di reaktor dengan penambahan blower pada proses aerobik. Untuk skema
pengolahan biofilter anaerobik-aerobik dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut.

Gambar 2.5. Skema Pengolahan dengan Biofilter Anaerob-Aerob (Said, 2008)

Skema proses yang terjadi pada biofilter anaerob-aerob dalam dilihat pada Gambar 2.5. Gambar
tersebut menunjukkan komponen-komponen yang terdapat pada biofilter. Dimulai dengan bak
pengendap awal, kemudian dilanjutkan ke biofilter anaerob dengan media filter. Selanjutnya air
limpasannya dialirkan ke biofilter aerob yang dilengkapi aerator untuk membantu proses aerasi.
Efluen akan dikumpulkan di bak pengendap akhir sebelum dibuang. Kriteria desain yang digunakan
dalam perancangan biofilter anaerob-aerob dapat dilihat pada Tabel 2.8 berikut ini.
Tabel 2.8. Kriteria Desain Biofilter Anaerob-Aerob
Parameter Nilai Satuan Sumber
Biofilter Anaerob
Waktu detensi rata-rata 6–8 jam
Tinggi ruang lumpur 0,5 m (Kementerian
Tinggi bed media 0,9 – 1,5 m Pekerjaan Umum dan
Tinggi air di atas bed media 0,2 m Perumahan Rakyat,
Beban BOD per satuan permukaan 5 – 30 gr BOD/m2.hari 2017)
media

Universitas Pertamina - 15
Parameter Nilai Satuan Sumber
Beban BOD 0,5 – 4 kg BOD/m3
media
Biofilter Aerob
Waktu tinggal total rata-rata 6–8 jam
Tinggi ruang lumpur 0,5 m
Tinggi bed media 1,2 m
Tinggi air di atas bed media 0,2 m
Bak Pengendap Akhir
Waktu tinggal rata-rata 2–5 jam
Beban permukaan rata-rata 10 – 50 m3/m2.hari
Rasio resirkulasi 25 – 50 %
Media Tempat Melekat Mikroba
(Sarang Tawon)
Material PVC sheet
(Kementerian
Ketebalan 0,15 – 0,23 mm
Kesehatan Republik
Luas Kontak Spesifik 150 – 226 m2/m3
Indonesia, 2011)
Diameter Lubang 2x2 cm x cm
Berat Spesifik 30 – 35 kg/m3
Porositas Rongga 0,98
Berdasarkan Tabel 2.8 di atas, salah satu parameter yang mempengaruhi kinerja dari biofilter adalah
beban BOD atau beban organik. Beban organik merupakan senyawa organik pada air limbah yang
didegradasi per unit volume per hari. Beban organik mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme
yang berdampak pada proses pengolahan air limbah (Herlambang, 2001).

Setiap teknologi pengolahan sekunder yang telah dijelaskan di atas memiliki kelebihan dan
kekurangannya. Rangkuman kelebihan dan kekurangan tiap unit pengolahan biologus dapat dilihat
pada Tabel 2.9 berikut.
Tabel 2.9. Perbandingan Analisis Kelebihan dan Kekurangan Tiap Unit Biologis
No Teknologi Kelebihan Kekurangan
Lumpur 1. Efisiensi penyisihan BOD cukup 1. Konsumsi energi relatif tinggi
aktif (a), (e) tinggi 2. Biaya konstruksi dan operasi
2. Tahan terhadap fluktuasi beban tinggi
organik dan hidrolik 3. Kebutuhan lahan relatif besar,
3. Memungkinkan penyisihan tergantung tipe unit
nutrien 4. Membutuhkan personel yang
1
4. Memiliki beragam modifikasi terampil untuk operasi dan
desain pemeliharaan
5. Lumpur dan efluen
membutuhkan pengolahan
lanjutan
Beban organik = 0,3-1,6 kg BOD/m3.hari (CMAS)
2 RBC (b), (c) 1. Efisiensi penyisihan BOD tinggi 1. Biaya konstruksi tinggi
2. Kebutuhan lahan relatif kecil 2. Sensitif terhadap perubahan
3. Secara konsep lebih sederhana suhu
daripada lumpur aktif 3. Berpotensi pertumbuhan
4. Kebutuhan energi relatif rendah biofilm yang tidak normal dan
5. Lumpur yang dihasilkan lebih peluruhan menyebabkan
sedikit dari lumpur aktif keagalan mekanis
Beban organik = 8-20 gr BOD/m2.hari

Universitas Pertamina - 16
No Teknologi Kelebihan Kekurangan
3 Trickling 1. Efisiensi penyisihan BOD tinggi 1. Biaya konstruksi tinggi
filter (a), (b) 2. Memerlukan peralatan mekanik 2. Kebutuhan lahan relatif besar,
yang sederhana tergantung tipe unit
3. Dapat dioperasikan pada beban 3. Membutuhkan personel yang
organik dan hidrolik yang terampil untuk operasi dan
beragam pemeliharaan
4. Membutuhkan sumber listrik
yang konstan
Beban organik = 0,8-4,8 kg BOD/m3.hari (high rate)
4 Constructed 1. Efisiensi penyisihan BOD, 1. Kebutuhan lahan relatif besar
Wetland padatan tersuspensi, dan patogen 2. Memerlukan penanganan
(a), (b), (f)
tinggi terhadap tumbuhan
2. Tidak membutuhkan energi listrik
yang besar
3. Biaya operasional rendah
4. Biaya konstruksi rendah

Beban organik = Beban organik = <110 kg BOD/ha.hari


5 Reaktor 1. Tahan terhadap beban organik 1. Pengolahan tidak stabil
UASB (a), (b) dan hidrolik terhadap fluktuasi beban
2. Kebutuhan energi kecil organik dan hidrolik
3. Kebutuhan lahan relatif kecil 2. Efisiensi penyisihan BOD
tidak terlalu tinggi
3. Membutuhkan operasi dan
pemeliharaan oleh tenaga yang
terampil terkait pengaturan
kondisi hidrolik yang tepat
4. Diperlukan sumber listrik yang
konstan
5. Memerlukan pengolahan
sekunder lanjutan
6. Menghasilkan lumpur buangan
yang cukup besar
Beban organik = 5-20 kg COD/m3.hari
6 Biofilter 1. Efisiensi penyisihan BOD dan 1. Berpotensi terjadinya
Anaerob- padatan tersuspensi tinggi penyumbatan pada media filter
Aerob (d) 2. Tidak memerlukan lahan yang 2. Perlu dilakukan pencucian
luas filter
3. Lumpur yang dihasilkan relatif 3. Efluen dan lumpur perlu
sedikit diolah lebih lanjut
4. Operasional mudah dan murah
Beban organik = 5-30 kg BOD/m2.hari
Sumber: a. Tilley et al. (2014), b. Sperling (2007), c. Tchobanoglous, Burton, & Stensel (2003),
d. Said & Widayat (2019), e. Qasim & Zhu (2018), dan f. Stefanakis (2015)

2.6.8. Desinfeksi

Desinfeksi merupakan proses pengolahan secara kimia yang bertujuan untuk menghilangkan
mikroorganisme patogen dalam air limbah yang diolah karena mikroorganisme patogen berpotensi
menjadi sumber penyakit bagi manusia. Proses yang umumnya diterapkan adalah dengan
pembubuhan bahan kimia di akhir pengolahan. Jenis bahan kimia sebagai disinfektan yang paling
sering digunakan karena kebutuhan biaya rendah serta mudah didapatkan adalah klorin seperti

Universitas Pertamina - 17
kalsium hipoklorit atau natrium hipoklorit. Namun penggunaan klorin dapat menghasilkan produk
sampingan yang berbahaya jika penakaran dosis yang tidak tepat (Qasim & Zhu, 2018). Maka dari
itu untuk dalam perhitungan dosis klor, perlu diperhatikan sisa klor. Pembubuhan disinfektan dapat
dilakukan secara gravitasi atau menggunakan bantuan pompa. Kriteria desain pada unit desinfeksi
yaitu waktu kontak dalam bak klorinasi umunya selama 30-60 menit (Tchobanoglous et al., 2014).
Selain menggunakan bahan kimia, proses desinfeksi juga dapat dilakukan secara fisik seperti
penggunaan radiasi sinar ultravioluet (UV), sarana mekanis seperti penggunaan screen dan bak
pengendap, serta pemanfaatan radiasi seperti gamma (Mines, 2014). Terdapat beberapa jenis unit
pengolahan yang dapat digunakan untuk proses klorinasi di suatu bak kontak, yaitu (1) dapat secara
mekanis menggunakan screen, (2) penggunaan baffle, dan (3) lompatan hidrolik yang dibuat oleh
downstream weir¸ venturi flume, dan parshall flume (Qasim & Zhu, 2018).

2.7. Proses Perancangan

Proses perancangangan biasanya bersifat samar dan memiliki berbagai kemungkinan jawaban
ataupun solusi yang benar sehingga pada prosesnya diperlukan pengulangan dan iterasi.
Menyelesaikan permasalahan mengenai desain bersifat kontingen dan dapat terus mengalami
perubahan seiring berjalannya proses perancangan. Maka dari itu diperlukan tahapan untuk
mengurutkan cara maupun proses berpikir sehingga dapat membantu dalam proses pemecahan
masalah (Khandani, 2005).

Gambar 2.6. Tahapan Proses Perancangan (Khandani, 2005)


Terdapat 5 tahapan utama dalam proses perancangan yang dapat diterapkan sesuai Gambar 2.7 yang
dimulai dengan pendefinisian masalah, pengumpulan informasi yang berkaitan dengan
permasalahan, membuat berbagai alternatif solusi, melakukan analisis dengan berbagai metode untuk
membantu dalam pemilihan solusi, dan implementasi solusi akhir.

Proses menganalisis dan evaluasi alternatif solusi dilakukan dengan menggunakan metode Kepner
Tregoe Decision Analysis (KTDA). Metode KTDA dapat digunakan untuk berbagai jenis
penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan seperti proyek konstruksi dan perancangan teknik.
Kepner & Tregoe (1997), metode ini dilakukan dengan pembobotan pada 2 objektif penilaian yaitu
kategori musts dan wants. Kategori musts (harus) merupakan indikator yang menunjukkan objektif
penilaian yang wajib terpenuhi pada solusi yang terpilih. Suatu alternatif yang tidak dapat memenuhi
objektif penilaian pada kategori must dapat langsung dieliminasi dari proses analisis selanjutnya.
Pembobotan pada kategori ini adalah sebagai berikut:

- Go = Kriteria yang diinginkan terpenuhi

Universitas Pertamina - 18
- No Go = Kriteria yang diinginkan tidak terpenuhi

Selanjutnya yaitu kategori wants (ingin) merupakan objektif penilaian mengenai kriteria yang
dikehendaki dari solusi yang terpilih. Penilaian ini membantu untuk membandingkan kemampuan
dari setiap alternatif solusi. Dalam Pada kategori wants dilakukan pembobotan untuk masing-masing
kriteria dengan penilaian terhadap weight (tingkat kepentingan) dan rating (tingkat pemenuhan).
Untuk memudahkan penilaian, dapat dibuat matriks penilaian seperti Tabel 2.10 berikut.
Tabel 2.10. Matriks Evaluasi Alternatif Solusi dengan KTDA
No Alternatif Solusi Solusi 1 Solusi 2 Solusi n
A. Musts
1. Kriteria 1 Go … …
2. Kriteria n No Go … …
B. Wants Bobot Rating Nilai Rating Nilai Rating Nilai
1. Kriteria 1 a x ax = m
2. Kriteria 2 b y by = n
3. Kriteria n c z cz = o
Total m+n+o
Pada tahap akhir, alternatif yang memenuhi semua kriteria pada kategori must akan dievaluasi
berbagai kemungkinan konsekuensi yang dapat terjadi di masing-masing solusi dengan
menggunakan metode Adverse Consequences. Pada metode Adverse Consequences, dilakukan
analisis dengan pembobotan untuk case of occurance (kemungkinan terjadi) dan level of seriousness
(tingkat keseriusan) pada setiap kemungkinan konsekuensi yang terjadi di tiap alternatif solusi.
Kedua kategori pembobotan tersebut akan dikalikan dan hasilnya disebut menjadi threat (ancaman).
Alternatif dengan nilai total nilai ancaman terkecil dapat disimpulkan sebagai alternatif yang baik.
Pemilihan solusi akhir dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kedua hasil analisis alternatif
solusi tersebut yaitu KTDA dan Adverse Consequences. Matriks penilaian pada metode Adverse
Consequences dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11. Matriks Adverse Consequences
Kemungkinan Tingkat Penilaian
Adverse Consequences
Terjadi Keseriusan Ancaman
Alternatif x Total= C1+Cn
Konsekuensi 1 A1 B1 C1 = A1xB1
Konsekuensi n An Bn Cn = AnxBn
Alternatif y
Konsekuensi 1
Konsekuensi n

Universitas Pertamina - 19
BAB III
KONSEP PERANCANGAN
Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan tahapan dan juga konsep-konsep yang
berhubungan dengan rencana awal proses perancangan. Terdiri dari beberapa sub-bab yang
membahas diagram alir perancangan, pertimbangan perancangan, dan analisis teknis.

3.1 Diagram Alir Perancangan

Proses desain merupakan suatu proses yang didalamnya terdapat urutan peristiwa dan seperangkat
pedoman yang membantu dalam menentukan titik awal perancangan yang jelas dan juga tahapan
pekerjaan yang dilakukan untuk mencapai hasil akhir dengan tujuan untuk memvisualisasikan suatu
produk hasil perancangan atau produk hasil perealisasian suatu imajinasi (Haik & Shahin, 2011).
Mengutip dari pengertian diatas, maka tahap awal sebelum proses merancang adalah menentukan
tahapan kegiatan sehingga dapat memperjelas perancangan dan mempermudah pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan. Maka dari itu tahapan perancangan yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut:

Gambar 3.1. Diagram Alir Metodologi Perancangan

Universitas Pertamina - 20
Proses perancangan dimulai dengan indentifikasi masalah. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui
permasalahan yang terjadi di lokasi eksisiting sebagai dasar dalam pembuatan latar belakang. Pada
tahap ini, dilakukan survei secara langsung ke lokasi. Identifikasi masalah dapat menghasilkan
kesimpulan mengenai permasalahan yang terjadi sehingga diperlukan solusi yang tepat dengan
menetapkan tujuan perancangan.
Setelah itu dilakukan studi literatur untuk mencari informasi yang berkaitan dengan permasalahan
yang dapat dijadikan dasar perancangan. Sumber yang digunakan dalam studi litaratur berupa buku,
jurnal, tugas akhir, tesis, peraturan, makalah seminar, pedoman teknis, dan lainnya yang dapat
dipertanggung jawabkan. Studi literatur dapat dilakukan untuk mencari informasi mengenai
pengetahuan dasar tentang air limbah khususnya limbah domestik, jenis pengolahan beserta
teknologi yang dapat digunakan, materi mengenai perhitungan dimensi, peraturan yang menjadi
standar baku mutu, dan lainnya yang dapat membantu perancangan.
Selain studi literatur, diperlukan pengumpulan data untuk diolah menjadi suatu pembahasan. Pada
perancangan ini, data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa
luas lahan. Pengambilan data ini dilakukan dengan datang ke lokasi dan mengukur secara langsung
atau dapat dilakukan wawancara dengan pekerja. Data sekunder yang dibutuhkan pertama adalah
debit perancangan yang didapat dari hasil pendataan dan neraca air perusahaan. Kedua adalah
karakteristik efluen tangki septik yang mencakup konsentrasi tiap parameter. Data ini didapatkan
dari hasil pengujian laboratorium sebelumnya yang dilakukan oleh perusahaan. Ketiga adalah kriteria
desain tiap teknologi unit-unit pengolahan air limbah domestik yang dapat diterapkan.
Selanjutnya setelah berbagai informasi dan data telah didapatkan, dilakukan analisis untuk dan
mengolah data untuk menentukan rencana perancangan seperti penentuan analisis teknis, pembatasan
masalah dan pertimbangan dalam perancangan sesuai data yang dimiliki, dan penentuan 3 alternatif
solusi dalam perancangan. Berdasarkan 3 alternatif solusi, akan dipilih satu solusi yang paling tepat
untuk dirancang. Pemilihan alternatif dilakukan dengan bantuan pembobotan tiap alternatif dan
pemilihan dilakukan berdasarkan nilai tertinggi dan hasil pembobotan. Metode yang digunakan
untuk evaluasi alternatuf adalah Kepner Tregoe Decision Analysis (KTDA) dan Adverse
Consequences. Setalah didapatkan solusi maka selanjtnya dimulai proses perancangan yang akan
menghasilkan layout IPAL, gambar detailed engineering design (DED) dari rangakaian IPAL
terpilih beserta rencana anggaran biaya (RAB).

3.2 Pertimbangan Perancangan

Hal – hal yang menjadi pertimbangan dalam perancangan instalasi pengolahan efluen cair tangki
septik ini meliputi:
1. Selain itu IPAL dirancang untuk mampu mengolah air limbah keluaran dari tangki septik.
2. Memastikan efluen dari instalasi pengolahan dapat memenuhi baku mutu sesuai dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2016
tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik.
3. Mempertimbangkan penggunaan lahan dengan minimal. Selain itu perlu diperhatikan juga
mengenai kemampuan penyisihan dalam memenuhi baku mutu, keekonomisan baik dalam
operasional maupun pembangunan, serta kemudahan dalam pengoperasian dan perawatan.

3.3 Analisis Teknis

Perancangan IPAL layak untuk dilakukan karena setiap kegiatan ataupun usaha yang menghasilkan
limbah domestik wajib untuk melakukan pengolahan limbahnya dengan efluen harus memenuhi baku
mutu sesuai peraturan yang ditetapkan yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor 68 Tahun 2016. Secara teknis, cara yang dapat dilakukan untuk mengolah air limbah

Universitas Pertamina - 21
domestik adalah dengan membangun IPAL dengan pemilihan teknologi yang tepat untuk
menyisihkan polutan seperti TSS, BOD, COD, amonia, minyak dan lemak, serta total koliform. Pada
tahapan pemilihan teknologi akan dilakukan pembobotan pada tiga alternatif dengan metode Kepner
Tregoe Decision Analysis dan Adverse Consequences untuk memilih satu solusi akhir. Proses
perancangan akan dilakukan dengan mengacu kepada kriteria desain masing-masing unit pengolahan
yang terpilih. Kesesuaian unit yang terpilih dapat mengacu kepada hasil perhitungan kesetimbangan
massa untuk mengestimasi kualitas efluen pengolahan dalam memenuhi baku mutu dan untuk
melihat proses pengaliran air dapat mengacu pada hasil perhitungan profil hidrolis.

3.4 Peralatan dan Bahan

Perangkat lunak yang digunakan untuk menunjang proses penggambaran layout dan detailed
engineering design berupa AutoCAD 2018.

Universitas Pertamina - 22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan pada bab ini mengacu pada data dan juga hasil studi literatur yang telah didapatkan.
Pengolahan data menghasilkan pembahasan mengenai alternatif solusi terpilih, hasil perhitungan
DED, dan juga RAB.

Debit dan Kualitas Air Limbah

Pada proses perancangan ini, diperlukan data mengenai kualitas dan juga kuantitas air untuk
melakukan pengukuran kapasitas, efisiensi, dan jenis unit sehingga dapat menghasilkan suatu
rangkaian pengolahan IPAL yang tepat. Maka dari itu, tahapan pertama yang dilakukan adalah
dengan mengumpulkan data mengenai debit dan juga kualitas air. Debit yang digunakan untuk
perancangan IPAL ini mengacu pada data sekunder yang berasal dari dokumen neraca air PT FH.
Debit air limbah domestik yang tercatat adalah sebesar 70 m3/hari. Informasi mengenai kualitas air
efluen tangki septik didapatkan dari data sekunder hasil uji laboratorium yang telah dilakukan oleh
PT FH pada tahun 2019 dengan nilai yang yang dapat dilihat pada Tabel 4.1. Hasil uji laboratorium
kemudian dibandingkan dengan parameter yang terdapat pada baku mutu acuan yaitu Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku
Mutu Air Limbah Domestik.
Tabel 4.1 Perbandingan Kualitas Air Efluen Tangki Septik dan Baku Mutu
Baku Mutu Permen
Hasil
Parameter LHK No 68 Tahun Satuan Keterangan
Uji
2016
pH 7,4 6-9 - Memenuhi
BOD 66,9 30 mg/L Tidak Memenuhi
COD 223 100 mg/L Tidak Memenuhi
TSS 81 30 mg/L Tidak Memenuhi
Minyak & Lemak <0,86 5 mg/L Memenuhi
Amoniak 5,5 10 mg/L Memenuhi
Total Koliform 7900 3000 Jumlah/100 mL Tidak Memenuhi
Sumber: Dokumen Kualitas Air Efluen Tangki Septik PT FH (2019)

Berdasarkan data pada Tabel 4.1, dapat dilihat ketercapaian beberapa parameter dalam memenuhi
baku mutu yaitu pH, minyak & lemak, serta amoniak. Tetapi selain parameter tersebut, masih
terdapat beberapa parameter lainnya yang melebihi baku mutu diantaranya adalah BOD sebesar 66,9
mg/L dengan nilai baku mutu 30 mg/L, COD dengan nilai 223 mg/L yang melebihi baku mutu yaitu
100 mg/L, TSS dengan nilai 81 mg/L yang masih di atas baku mutu sebesar 30 mg/L serta koliform
dengan nilai sebesar 7900 Jumlah/100 mL yang melebihi batas baku mutu sebesar 3000 Jumlah/100
mL. Maka dari itu, perancangan unit pengolahan akan mengacu pada keempat parameter yang
melebihi baku mutu yaitu BOD, COD, TSS, dan total koliform.

Alternatif Solusi Unit Pengolahan IPAL

Tujuan yang menjadi dasar dilakukannya perancangan unit pengolahan ini adalah untuk mengolah
air efluen tangki septik PT FH agar memenuhi standar baku mutu Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016. Pada proses perancangannya, dibuat tiga alternatif
rangkaian pengolahan untuk dapat menghasilkan efluen yang memenuhi standar baku mutu. Opsi
yang terdapat pada ketiga alternatif hanya dibedakan berdasarkan unit pengolahan biologisnya saja.

Universitas Pertamina - 23
Hal ini dikarenakan air yang diolah merupakan efluen yang telah mengalami pengolahan di awal
yaitu pada tangki septik, sehingga parameter yang akan disisihkan dapat secara efektif diolah lebih
lanjut secara biologis pada unit pengolahan sekunder. Diagram alir dari rencana perancangan IPAL
adalah sebagai berikut:

Sumur Pengumpul → Unit Pengolahan Biologis → Bak Pengendap Akhir → Desinfeksi

Unit yang terdapat di setiap rangkaian alternatif dipilih karena beberapa hal, yaitu:

1. Sumur pengumpul, diletakkan di awal rangkaian dengan tujuan untuk mengumpulkan air efluen
terlebih dahulu sebelum dilakukan pengolahan pada unit selanjutnya. Selain itu, unit ini
diharapkan dapat menjaga kontinuitas air yang masuk ke unit pengolahan setelahnya.

2. Unit biologis, terpilih karena air limbah yang mengandung polutan senyawa organik dapat secara
efisien memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa tersebut. Selain
itu, menurut Mangkoedihardjo & Samudro (2010), rasio BOD/COD yang berkisar antara 0,2–
0,5 mg/L dapat menjadi indikator awal suatu proses biologis. Hal ini sesuai dengan kualitas air
efluen tangki septik yang memiliki konsentrasi BOD sebesar 66,9 mg/L dan COD sebesar 223
mg/L dengan rasio BOD/COD sebesar 0,3. Maka dari itu, dapat diasumsikan bahwa proses
pendegradasian senyawa polutan secara biologis dapat dilakukan. Selain itu, pengolahan pada
unit biologis juga dapat dilakukan baik secara anaerob maupun aerob. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Putri, Samudro, & Handayani (2013) yang menyatakan bahwa,
rasio BOD/COD dapat menjadi salah satu pertimbangan awal dalam menentukan proses
pengolahan baik secara aerob, fakultatif, maupun anaerob. Pada rentang rasio BOD/COD sebesar
0,2-0,5, dapat dilakukan ketiga jenis pengolahan tersebut dengan kondisi optimum untuk proses
aerob yaitu 0,1, serta proses fakultatif dan anaerob pada rasio 0,2.
Dari berbagai jenis teknologi pengolahan secara biologis, dilakukan pemilihan teknologi yang
didasari oleh studi literatur mengenai pertimbangan kelebihan dan kekurangan tiap teknologi
seperti aspek kemudahan operasi, biaya investasi awal/konstruksi, kebutuhan energi, biaya
operasional, efisiensi penyisihan, serta kebutuhan area yang dapat dilihat pada Tabel 2.9. Hasil
rangkuman perbandingan tiap teknologi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.2. Pemilihan Teknologi untuk Alternatif Solusi
No Kriteria Penjelasan
Kemudahan Operasional
(a) Memerlukan operator yang terampil untuk pemantauan
1 Lumpur Aktif
proses operasional dan juga perawatan unit
Menggunakan peralatan mekanik yang yang sederhana
2 RBC (b)
dan prosesnya lebih sederhana dibandingkan lumpur aktif
Memerlukan operator yang terampil untuk pemantauan
proses operasional seperti pemantauan media filter,
3 Trickling Filter (a)
pompa, serta pembersihan lumpur yang terakumulasi
secara periodik.
Proses operasi sederhana dan tidak memerlukan operator
4 Constructed Wetland (a)
khusus
Memerlukan tenaga operator yang terampil untuk operasi
5 UASB (a) dan pemeliharaan terkait pengaturan kondisi hidrolik
yang tepat dan proses maturasi
Pengoperasian mudah dikarenakan tidak memerlukan
6 Biofilter Anaerob-Aerob (c)
pengaturan sirkulasi lumpur seperti lumpur aktif

Universitas Pertamina - 24
No Kriteria Penjelasan
Biaya Konstruksi
Memerlukan biaya pembangunan yang besar dan ahli
1 Lumpur Aktif (a)
dalam desain unit
2 RBC (b) Biaya konstruksi cukup tinggi
Memerlukan biaya konstruksi yang besar dan ahli dalam
3 Trickling Filter (a)
desain unit
4 Constructed Wetland Biaya yang dibutuhkan untuk konstruksi kecil
Biaya konstruksi tidak terlalu besar namun memerlukan
5 UASB (a), (b)
ahli dalam desain dan konstruksi
6 Biofilter Anaerob-Aerob (c) Biaya yang dibutuhkan untuk konstruksi kecil
Kebutuhan Energi
Konsumsi energi tinggi dan diperlukan sumber energi
1 Lumpur Aktif (a)
listrik yang konstan
Kebutuhan energi sedang dikarenakan tidak memerlukan
2 RBC (b)
peralatan pendukung sumber udara
3 Trickling Filter (a) Memerlukan energi yang tinggi dan juga konstan
4 Constructed Wetland (a) Tidak memerlukan energi listrik
5 UASB (a) Memerlukan pasokan energi listrik yang konstan
Tidak memerlukan energi yang terlalu tinggi karena
6 Biofilter Anaerob-Aerob (c) proses aerasi di reaktor aerob dapat diminimasi dengan
proses anaerob di awal pengolahan
Efisiensi Penyisihan
1 Lumpur Aktif (d) Efisiensi penyisihan sebesar 85-95%
2 RBC (d) Efisiensi penyisihan sebesar 88-95%
3 Trickling Filter (d) Efisiensi penyisihan sebesar 60-80%
4 Constructed Wetland (b) Efisiensi penyisihan sebesar 80-90%
5 UASB (d) Efisiensi penyisihan sebesar 60-75%
6 Biofilter Anaerob-Aerob (h) Efisiensi penyisihan sebesar >90%
Produksi Lumpur
Menghasilkan lumpur dalam jumlah besar sekitar 30-
1 Lumpur Aktif (c)
60% BOD yang dihilangkan menjadi lumpur aktif
2 RBC (c) Produksi lumpur kecil
3 Trickling Filter (c) Lumpur yang dihasilkan lebih sedikit dari lumpur aktif
Tidak menghasilkan lumpur atau relatif kecil sehingga
4 Constructed Wetland (f)
tidak diperlukan pengolahan lumpur
5 UASB (g) Menghasilkan lumpur buangan yang cukup besar
Lumpur yang dihasilkan realtif sedikit sekitar 10-30%
6 Biofilter Anaerob-Aerob(c)
dari BOD yang dihilangkan
Kebutuhan Area
Kebutuhan lahan relatif besar, namun tergantung jenis
1 Lumpur Aktif (b)
modifikasi unit
(b)
2 RBC Kebutuhan lahan relatif kecil
Kebutuhan lahan relatif besar, namun tergantung jenis
3 Trickling Filter (b)
modifikasi unit
Kebutuhan lahan relatif besar, namun tergantung jenis
4 Constructed Wetland (a)
modifikasi unit
5 UASB (b) Kebutuhan lahan relatif kecil
6 Biofilter Anaerob-Aerob (c) Kebutuhan lahan relatif kecil
Sumber: a. Tilley et al. (2014), b. Sperling (2007), c. Said & Widayat (2019), d. Qasim & Zhu
(2018), e. Riffat (2013), f. Dotro et al. (2017), g. Mara (2003), dan h. Said (2000)

Universitas Pertamina - 25
Berdasarkan Tabel 4.2 di atas, terpilihlah tiga unit pengolahan biologis sebagai rangkaian
alternatif solusi dalam perencanaan IPAL. Tiga diantaranya adalah RBC, wetland, serta biofilter
anaerob-aerob.

3. Bak pengendap akhir, memisahkan air dengan padatan yang terkandung pada efluen hasil
pengolahan unit sekunder sebelum dialirkan ke bak desinfeksi. Penambahan bak ini untuk
meminimasi efluen keruh akibat kemungkingkan lapisan biofilm yang terlepas untuk jenis
pengolahan biologis yang menggunakan media dengan biakan melekat.

4. Desinfeksi, dipilih sebagai tahapan akhir dari proses pengolahan. Efluen hasil pengolahan secara
biologis yang masih mengandung patogen perlu dilakukan pengolahan lanjutan untuk
mengurangi jumlah total koliform. Cara yang paling efisien untuk menyisihkan patogen adalah
dengan proses desinfeksi. Terdapat dua metode yaitu desinfeksi secara fisika dan kimia. Pada
perancangan ini digunakan proses kimia dengan klorinasi. Namun hal yang menjadi perhatian
dalam penggunaan klorin adalah produk sampingan desinfeksi atau disinfection by-product
(DBP) yang berbahaya sehingga perlu dipastikan penggunaan dosis klor yang tepat.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dirangkailah tiga alternatif solusi yang selanjutnya akan
dievaluasi untuk menentukan alternatif solusi yang terbaik. Ketiga alternatif solusi tersebut yaitu:

1. Alternatif 1 : Sumur Pengumpul → RBC → Bak Pengendap Akhir → Desinfeksi


2. Alternatif 2 : Sumur Pengumpul → Constructed Wetlands → Desinfeksi
3. Alternatif 3 : Sumur Pengumpul → Biofilter Anaerob-Aerob → Bak Pengendap Akhir →
Desinfeksi

Evaluasi Alternatif Solusi Unit Pengolahan

Berdasarkan ketiga alternatif tersebut, dilakukan evaluasi alternatif solusi dengan menggunakan
metode Kepner Tregoe Decision Analysis (KTDA). Proses evaluasi pada metode ini dilakukan
dengan pembobotan pada 2 objektif kategori penilaian yaitu kategori musts dan wants. Kategori
musts dilakukan di awal evaluasi. Alternatif solusi yang tidak dapat memenuhi penilaian pada
kategori ini atau terdapat No Go pada salah satu kriterianya dapat dieliminasi untuk proses evaluasi
selanjutnya. Keterangan pembobotan pada kategori must adalah sebagai berikut:
- Go = Kriteria yang diinginkan tercapai
- No Go = Kriteria yang diinginkan tidak tercapai

4.3.1 Penilaian Kategori Musts (Wajib Terpenuhi)


Terdapat 2 kriteria utama yang wajib terpenuhi agar alternatif solusi dapat terpilih. Kriteria pertama
adalah alternatif harus dapat mengolah air hingga memenuhi baku mutu dan kedua adalah dapat
menggunakan lahan seminimal mungkin. Penilaian setiap kriteria tersebut dijelaskan pada
pembahasan berikut:

1. Memenuhi baku mutu


Sesuai dengan tujuan dari proses pengolahan air limbah ini, kategori kemampuan unit untuk
menghasilkan efluen yang sesuai dengan baku mutu PermenLHK Nomor 68 Tahun 2016 merupakan
kategori yang sangat penting dan wajib untuk terpenuhi. Penilaian ini mengacu kepada kemampuan
unit alternatif dalam menyisihkan TSS dan polutan organik yang terukur sebagai BOD dan COD.
Kemampuan penyisihan dapat dilihat dari persentase penyisihan tiap parameternya. Alasan penilaian
pemenuhan baku mutu hanya untuk ketiga parameter ini karena total koliform dapat secara efeketif

Universitas Pertamina - 26
dihilangkan di unit desinfeksi yaitu sekitar 98-99%. Namun untuk meningkatkan efisiensi penyisihan
total koliform dan kebutuhan disinfektan pada unit desinfeksi, perlu dipastikan bahwa material
organik, anorganik, serta padatan tersuspensi telah terolah terlebih dahulu di unit sebelumnya. Hal
ini dikarenakan keberadaan material organik dan anorganik dapat meningkatkan dosis disinfektan
dan juga melindungi mikroorganisme yang tidak bebas atau terperangkap pada padatan sehingga
lebih sulit untuk disishikan (Qasim & Zhu, 2018).Untuk nilai persentase penyisihan tiap unit
pengolahan dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Persentase Penyisihan Tiap Unit Pengolahan
Sumur Biofilter Bak
RBC Constructed Desinfeksi
No Parameter Pengumpul Anaerob- Pengendap
(a)
(b)
Wetland € € (f)
(g)
Aerob Akhir
1 TSS 0% 63,20% 87% 94,1% 70% -
2 BOD 0% 85,80% 62,84% 88,9% 40% -
3 COD 0% 82,30% 84,75% (d)
85,5% 40% -
Total
4 0% - 63% - - 98-99%
Koliform
Sumber: a. Agustin (2014), b. Hiras et al. (2003), c. Musarofa et al. (2018), d. Fildzah et al. (2016),
e. Said & Widayat (2019), f. Bintang, Chandrasasi, & Haribowo (2019), dan g. The
Pennsylvania Department of Environmental Protection (2016)

Dari berbagai hasil studi literatur mengenai kemampuan penyisihan tiap unit pengolahan alternatif
pada Tabel 4.3, dilakukan perhitungan penyisihan polutan TSS, BOD, dan COD lalu hasilnya
dibandingkan dengan baku mutu. Hasil penyisihan tiap alternatif dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.4. Hasil Penyisihan Tiap Alternatif
Efluen Tiap Alternatif
Parameter Influen 1 2 3 Baku Mutu Satuan
RBC Wetlands Biofilter
TSS 81 29,81 10,53 4,78 30 mg/l
BOD 66,9 9,50 24,86 7,43 30 mg/l
COD 223 39,47 34,01 32,34 100 mg/l

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4.4, dapat dilihat bahwa ketiga alternatif solusi mampu
menurunkan konsentrasi influen hingga memenuhi baku mutu. Dengan demikian ketiga alternatif
solusi dapat dipertimbangkan sebagai alternatif unit pengolahan pada perancangan rangkaian IPAL
ini.

2. Penggunaan lahan minimal


Selain memenuhi baku mutu, kebutuhan lahan juga menjadi aspek penilaian yang penting dan harus
memenuhi persyaratan. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan pada PT FH untuk dilakukan
pembangunan pengolahan air limbah dan juga area eksisting yang padat dan tidak tersedia lahan
kosong di luar dari wilayah PT FH. Total ketersediaan lahan yang tersedia direncanakan sebesar 30
m2. Untuk menilai tingkat penggunaan lahan, maka dilakukan preliminary sizing yang bertujuan
untuk mengetahui besar kebutuhan lahan serta jumlah unit yang digunakan. Perhitungan dapat dilihat
pada Lampiran 1 dan hasil rekapitulasi perhitungan preliminary sizing di tiap alternatif dapat dilihat
pada Tabel 4.5 berikut.

Universitas Pertamina - 27
Tabel 4.5. Hasil Rekapitulasi Preliminary Sizing Setiap Unit
Alternatif Kebutuhan Luas Area
(m2)
Sumur Pengumpul 0,5
Alternatif 1: RBC 18,9
Alternatif 2: Wetlands 280,7
Alternatif 3: Biofilter Anaerob-Aerob 18
Bak Pengendap Akhir 4,38
Bak Desinfeksi 2,9
Total Area Selain Unit Sekunder 7,78
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4.5, dapat dilihat bahwa total area yang dibutuhkan untuk
unit sumur pengumpul, bak pengendap akhir, dan bak desinfeksi sebesar 7,78 m 2. Lahan tersedia
untuk unit sekunder adalah hasil perhitungan selisih luas lahan tersedia dengan total area yang
dibutuhkan selain unit sekunder. Sehingga besar area yang tersedia untuk unit sekunder sebesar 22,22
m2. Terdapat dua alternatif yang memenuhi ketersediaan lahan yaitu alternatif 1 memerlukan luas
area sebesar 18,9 m2 untuk unit RBC dan Alternatif 2 yaitu biofilter anaerob-aerob sebesar 18 m2.
Alternatif 3 yaitu wetland membutuhkan lahan yang melebihi area yang tersedia sebesar 280,7 m2.
Kemungkinan terjadinya hal ini karena wetlands umumnya memerlukan waktu detensi yang cukup
lama untuk proses pengolahannya. Dengan demikian, alternatif solusi 2 yaitu constructed wetlands
tidak akan dievaluasi pada penilaian kategori selanjutnya yaitu kategori wants.

4.3.2 Penilaian Kategori Wants


Penilaian pada kategori wants dilakukan untuk mengevaluasi tiga kriteria penilaian yaitu efisiensi
penyisihan, produksi lumpur, serta kebutuhan daya. Pembobotan dilakukan sesuai dengan
keterangan dapat dilihat pada Tabel 4.6 berikut.
Tabel 4.6. Pembobotan Kategori Wants
1 2 3
Weight (Tingkat Kepentingan) Tidak Penting Cukup Penting Penting
Rating (Tingkat Pemenuhan) Tidak Baik Cukup Baik Baik

Tabel diatas menunjukkan acuan pembobotan pada metode KTDA kategori wants. Terdapat 2 jenis
penilaian yaitu weight yang menunjukkan seberapa penting kriteria tersebut yang menjadi objektif
analisis pada evaluasi solusi. Semakin tinggi nilainya, maka semakin penting kriteria tersebut.
Keterangan penilaian pada weight adalah sebagai berikut:

1. tidak penting, kriteria ini hanya tambahan, pembangunan instalasi dan proses pengolahan air
limbah tetap dapat dilakukan dan tanpa halangan serta tidak akan mempengaruhi hasil
pengolahan jika kriteria ini tidak terpenuhi.
2. cukup penting, pengolahan air limbah dapat berjalan dengan baik namun akan mengalami
kesulitan pada proses pembangunan maupun biaya pengoperasian jika kriteria ini tidak
dipertimbangkan walaupun hasil pengolahan tetap dapat memenuhi baku mutu.
3. penting, proses pembangunan instalasi maupun pengolahan air limbah akan mengalami kesulitan
bahkan tidak dapat terlaksana jika kriteria ini tidak terpenuhi. Selain itu, hasil pengolahan tidak
akan memenuhi baku mutu.

Universitas Pertamina - 28
Penilaian pada rating menunjukkan kemampuan alternatif solusi dalam memenuhi kriteria tersebut.
Sama halnya dengan weight, semakin baik suatu alternatif dalam memenuhi kriteria maka akan
semakin besar nilainya. Keterangan penilaian pada rating adalah sebagai berikut:

Tabel 4.7. Keterangan Penilaian pada kategori wants


Rating
No Kriteria Weight
1 2 3
COD = <56% COD =56,1-80% COD = >80,1%
Efisiensi penyisihan
1 3 BOD = <56% BOD = 56,1-80% BOD = >80,1%
polutan
TSS = <64% TSS = 64,1-85% TSS = >85,1%
2 Produksi lumpur 2 >3 m3/bulan 1-3 m3/bulan <1 m3/bulan
3 Kebutuhan energi 2 >14,7 kWh 11,5-14,7 kWh <11,5 kWh

1. tidak baik, alternatif solusi tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan sehingga dapat menyulitkan
serta menghambat proses pembangunan maupun pengolahan. Kemampuan penyisihan BOD dan
COD <56% dan TSS <64%. Selain itu, memerlukan energi >14,7 kWh dan lumpur yang
dihasilkan > 3 m3/bulan.
2. cukup, alternatif solusi sudah cukup baik dalam memenuhi kriteria walaupun belum terpenuhi
sepenuhnya sehingga berpotensi menghambat proses pembangunan mapun pengolahan air
limbah. Kemampuan penyisihan BOD dan COD berkisar antara 56,1%-80% serta TSS berkisar
antara 64,1%-85%. Energi yang diperlukan untuk proses pengoperasian sekitar 11,5-14,7 kWh
dan produksi lumpur berada pada rentang yang direncanakan yaitu 1 m3/bulan–3 m3/bulan.
3. baik, alternatif solusi dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan dan tidak menghambat proses
pembangunan maupun pengolahan air limbah. Selain itu, kemampuan penyisihan BOD dan COD
dapat melebihi >80,1% serta TSS >85,1%. Membutuhkan energi untuk pengoperasian paling
kecil yaitu <11,5 kWh nilai dan produksi lumpur kecil <1 m3/bulan.

1. Kemampuan penyisihan polutan


Kemampuan penyisihan polutan merupakan kriteria yang penting dengan nilai weight 3 karena
berkaitan dengan tujuan dilakukannya perancangan IPAL yaitu memenuhi baku mutu. Setiap
parameter pencemar memiliki persen penyisihan yang berbeda tergantung konsentrasi awal dan nilai
baku mutunya. Namun pada kriteria ini, dilakukan penilaian lebih lanjut terhadap kemampuan
alternatif dalam melampaui persentase penyisihan minimum tiap parameter. Hal ini dilakukan karena
pada penilaian pemenuhan baku mutu kategori wants sebelumnya, seluruh alternatif mampu
memenuhi baku mutu. Untuk membantu proses evaluasi pemilihan alternatif solusi, dilakukanlah
penilaian dengan mempertimbangkan kemampuan efisiensi penyisihan. Dengan demikian, nilai
persentase penyisihan minimum setiap parameter dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Persentase Minimum Penyisihan Polutan
Parameter Satuan Air Limbah Baku Mutu % Penyisihan Minimum
BOD mg/L 66,9 30 55,16
COD mg/L 223 100 55,16
TSS mg/L 81 30 62,96
Tabel di atas menunjukkan nilai persentase minimum yang diperlukan agar efluen dapat memenuhi
baku mutu. Penyisihan minimum yang diperlukan agar parameter BOD dan COD dapat memenuhi
baku mutu adalah sebesar 55,16%, sedangkan parameter TSS sebesar 62,963%. Semakin tinggi
kemampuan penyisihan suatu alternatif solusi maka semakin baik pula nilainya karena mampu

Universitas Pertamina - 29
memenuhi bahkan melewati nilai minimum baku mutu. Dengan demikian nilai terkecil pada rentang
penilaian efisiensi penyisihan mengacu pada efisiesni penyisihan minimum tiap parameter.
Perhitungan penilaian pada kriteria efisiensi penyisihan dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Penilaian Kemampuan Penyisihan Tiap Parameter
RBC Biofilter Anaerob-Aerob
No Parameter
Penyisihan Penilaian Penyisihan Penilaian
1 TSS 63,20% 1 94,10% 3
2 BOD 85,80% 3 88,90% 3
3 COD 82,30% 3 85,50% 3
Rata-rata 2,3 = 2 3

Berdasarkan hasil penilaian pada Tabel 4.9, dapat dilihat bahwa kedua alternatif mampu memenuhi
persentase penyisihan minimum. Namun biofilter anaerob-aerob memiliki nilai lebih unggul karena
memiliki kemampuan penyisihan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan RBC untuk setiap
parameternya. Dengan demikian biofilter anaerob-aerob unggul dengan nilai rating 3 dan RBC
dengan nilai 2.

2. Produksi lumpur
Produksi lumpur dari pengolahan unit biologis biasanya disebut lumpur sekunder yang mengandung
padatan atau lumpur biologis serta padatan yang dapat mengendap (Riffat, 2013). Kriteria produksi
lumpur dikategorikan kedalam penilaian yang cukup penting dengan nilai weight 2 karena dapat
mempengaruhi biaya operasional dari IPAL yang berkaitan dengan biaya pengolahan lumpur. Pada
perancangan ini tidak dilakukan pengolahan lumpur dengan asumsi lumpur yang dihasilkan akan
dikelola olah pihak ketiga. Direncanakan penyedotan lumpur dilakukan 1 bulan sekali. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisir penumpukan di unit pengolahan yang dapat mempengaruhi efisiensi
penyisihan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Retribusi
Jasa Umum, biaya yang dikeluarkan untuk penyedotan tinja kawasan industri adalah sebesar
Rp75.000/m3. Namun jika penyedotan lebih dari 3 m3, dikenakan retribusi tambahan sebesar
Rp2.500/m3. Dengan demikian penilaian untuk kriteria produksi lumpur dilakukan dengan
mempertimbangkan debit lumpur yang dihasilkan perbulan tidak melebihi 3 m3. Perhitungan
produksi lumpur terlampir pada Lampiran 2, sedangkan untuk hasil rekapitulasi perhitungan
produksi lumpur dapat dilihat pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10. Hasil Rekapitulasi Perhitungan Lumpur
Alternatif Produksi lumpur (m3/bulan)
Alternatif 1: RBC 4,66
Alternatif 3: Biofilter Anaerob-Aerob 1,03

Pada Tabel 4.10 dapat dilihat bahwa alternatif 1 dengan RBC menghasilkan total lumpur yang lebih
banyak yaitu sebesar 4,66 m3/bulan dan melebihi kapasitas penyedotan yaitu 3 m3, sedangkan
biofilter anaerob-aerob menghasilkan total lumpur perhari sebesar 1,03 m3/bulan. Dengan demikian
biofilter memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 2 untuk kriteria produksi lumpur.

3. Kebutuhan Energi
Penilaian terhadap kebutuhan energi akan mempengaruhi segi ekonomi terkait biaya operasional dari
unit yang terpilih. Kriteria ini cukup penting dengan nilai weight 2 karena berkaitan dengan
pengeluaran biaya untuk listrik. Menurut Gandiglio et al. (2017), kebutuhan energi untuk proses

Universitas Pertamina - 30
pengolahan pada suatu sistem instalasi pengolahan air limbah dapat diestimasi sekitar 0,3-2,1
kWh/m3 air yang akan diolah. Dari total penggunaan energi listrik tersebut, biasanya sekitar 55-70%
dialokasikan untuk proses aerasi pada unit sekunder secara konvensional seperti lumpur aktif. Maka
dari itu, pada penilaian ini dapat diperkirakan penggunaan energi total untuk mengolah air limbah
sebanyak 70 m3 dengan asumsi kebutuhan energi sebesar 0,3 kWh/m3 adalah sebesar 21 kWh. Jika
sekitar 55% dari energi total digunakan untuk unit sekunder, maka energi yang biasanya digunakan
pada unit sekunder adalah sekitar 11,5 kWh. Sehingga pada kriteria ini, penilaian dilakukan dengan
melihat kebutuhan daya tiap alternatif. Semakin kecil nilainya atau bahkan kurang dari kebutuhan
daya pada umumnya, maka semakin baik juga nilainya. Menandakan bahwa alternatif tersebut dapat
mendukung penghematan penggunaan listrik. Beberapa komponen yang berkaitan dengan
penggunaan daya diantaranya adalah penggunaan blower untuk biofilter aerob maupun alat
penggerak seperti motor pada RBC untuk memutar shaft. Hasil perhitungan kebutuhan daya pada
masing-masing alternatif dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11. Hasil Rekapitulasi Kebutuhan Daya


Alternatif kWh
Alternatif 1: RBC 1,3
Alternatif 3: Biofilter anaerob-aerob 2,9
Penggunaan daya pada RBC dikeluarkan untuk menggerakan motor shaft. Sesuai perhitungan
preliminary sizing dan kebutuhan daya yang dapat dilihat pada lampiran, untuk mengolah air limbah
dengan RBC pada perancangan ini dibutuhkan 2 buah shaft dengan kebutuhan daya sebesar 0,18
kW/shaft . Sehingga total kebutuhan daya pada RBC adalah sebesar 1,3 kWh. Pada biofilter anaerob-
aerob, energi diperlukan untuk proses aerasi pada biofilter aerob. Konsumsi energi pada biofilter
aerob dihitung secara teoritis yang mengacu pada jumlah COD yang tersisihkan pada unit biofilter
aerob. Menurut Sperling (2007), kebutuhan energi pada biofilter aerob yaitu sebesar 0,94 kWh/kg
CODremoved. Total kebutuhan energi pada biofilter aerob untuk penyisihan COD sebanyak 3,122
kg/hari adalah sebesar 2,9 kWh. Dengan demikian, kedua alternatif membutuhkan energi kurang dari
11,5 kWh sehingga kedua alternatif memiliki nilai yang sama yaitu 3.

Berdasarkan penilaian berbagai kriteria pada kedua kategori baik yang wajib terpenuhi (musts) dan
yang dikehendaki (wants), maka hasil rekapitulasi perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Hasil Rekapitulasi Evaluasi Alternatif dengan KTDA
Constructed Biofilter Anaerob-
No Alternatif Solusi RBC
Wetlands Aerob
A. Musts
1. Memenuhi baku mutu GO GO GO
2. Penggunaan lahan sedikit GO NO GO GO
B. Wants Bobot Rating Nilai Rating Nilai Rating Nilai
1. Kemampuan Tidak dilakukan
3 2 6 3 9
penyisihan polutan evaluasi karena
2. Produksi lumpur 2 1 2 terdapat No Go 2 4
3. Kebutuhan daya 2 3 6 pada kategori 3 6
Total 14 wants Total 19

Universitas Pertamina - 31
Tabel di atas menunjukkan bahwa biofilter anaerob-aerob memiliki nilai total yang paling besar yaitu
19 karena kemampuannya yang lebih unggul dalam memenuhi berbagai aspek penilaian
dibandingkan dengan RBC. Setelah dilakukan evaluasi dengan metode KTDA, selanjutnya
dilakukan evaluasi dengan Adverse Consequences untuk mengidentifikasi kegagalan yang mungkin
terjadi di setiap alternatif sehingga dapat membantu dalam menentukan alternatif. Keterangan
mengenai penilaian pada metode ini dapat dilihat pada Tabel 4.13.
Tabel 4.13. Penilaian pada Metode Adverse Consequences
1 2 3
Kemungkinan Terjadi Tidak Mungkin Terkadang Sering
Tingkat Keseriusan Kegagalan Tidak Merusak Cukup Kerusakan Berat

Sesuai keterangan pada Tabel 4.13 diatas, maka selanjutnya evaluasi dilakukan dengan
mengidentifikasi kemungkinan kegagalan di tiap alternatif dan dampak yang ditimbulkan.
Konsekuensi yang mungkin terjadi di tiap alternatif serta penilainnya dapat dilihat pada Tabel 4.14.
Tabel 4.14. Hasil Rekapitulasi Penilaian pada Metode Adverse Consequences
Tingkat
Kemungkinan Penilaian
Adverse Consequences Keseriusan
Terjadi Ancaman
Kegagalan
Alternatif 1: RBC
Pertumbuhan biofilm tidak normal 2 3 6
Oksigen terlarut rendah 3 3 9
Total Ancaman 15
Alternatif 3: Biofilter Anaerob-Aerob
Pertumbuhan biofilm tidak normal 2 2 4
Oksigen terlarut rendah 2 2 4
Total Ancaman 8
Berdasarkan Tabel 4.14 diatas terdapat dua konsekuensi kegagalan yang dapat terjadi pada kedua
alternatif solusi. Pertama adalah terkait pertumbuhan biofilm tidak normal. Kemungkinan terjadinya
kegagalan ini pada kedua alternatif memiliki nilai yang sama yaitu 2 karena hal ini merupakan
permasalahan yang terkadang dapat terjadi pada unit pengolahan dengan sistem biakan melekat. Hal
ini dapat terjadi akibat beban organik yang tinggi pada air limbah. Hal yang membedakan penilaian
pada kedua alternatif ini adalah tingkat keseriusannya. Alternatif 1 dengan RBC memiliki tingkat
keseriusan yang lebih tinggi dengan nilai 3 karena selain mempengaruhi efisiensi penyisihan polutan,
hal ini juga dapat mempengaruhi kinerja dari komponen lainnya seperti penambahan beban pada
shaft yang dapat mempengaruhi kecepatan rotasi serta perbaikan media. Penilaian pada alternatif 2
dengan biofilter lebih kecil yaitu 2 karena kerusakan dapat terjadi pada media namun dampaknya
tidak terlalu berat dan dapat diatasi dengan pencucian.

Konsekuensi kedua adalah oksigen terlarut rendah yang dapat menciptakan kondisi anaerob. Hal ini
mungkin terjadi pada kedua alternatif namun alternatif 1 memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 3
karena kemungkinan terjadinya lebih sering. Hal ini dikarenakan RBC biasanya memanfaatkan
proses memutar piringan untuk menangkap oksigen sehingga kadarnya lebih tidak terkontrol. Selain
memiliki nilai pada tingkat kemungkinan terjadi yang lebih tinggi, alternatif solusi 1 juga memiliki
tingkat keseriusan yang lebih tinggi karena selain mempengaruhi efisiensi penyisihan, unit RBC
yang terbuka memiliki potensi untuk menimbulkan bau akibat kondisi anaerobik tersebut. Pada

Universitas Pertamina - 32
biofilter, kemungkinan terjadi kegagalan ini diberi nilai 2 karena digunakannya diffuser untuk
memasok ketersediaan oksigen pada biofilter aerob sehingga kemungkinan terjadinya lebih kecil
karena dapat dilakukan pengontrolan, sedangkan untuk tingkat keseriusan diberi nilai 2 karena
biofilter memiliki sistem pengolahan yang tertutup sehingga bau lebih dapat diminimalisir.

Dengan mempertimbangkan hasil evaluasi mengenai kemungkinan kegagalan yang dapat terjadi
pada tiap alternatif, dapat dilihat pada Tabel 4.14 bahwa alternatif 1 (RBC) memiliki nilai ancaman
yang lebih tinggi yaitu sebesar 15 jika dibandingkan dengan alternatif 3 (biofilter anaerob-aerob)
dengan nilai 8. Dengan demikian alternatif solusi terkait unit pengolahan sekunder yang terpilih pada
perancangan IPAL ini adalah biofilter anaerob-aerob. Maka dari itu untuk perancangan selanjutnya
rangkaian IPAL yang dilakukan perhitungan secara detail adalah bak pengumpul, biofilter anaerob-
aerob, bak pengendap akhir serta bak desinfeksi. Tabel 4.15 merupakan mass balance yang
menunjukkan perbandingan kualitas air influen dengan efluen dari alternatif rangkaian IPAL yang
terpilih.
Tabel 4.15. Mass Balance Alternatif 3 (Biofilter Anaerob-Aerob)
Bak
Sumur Biofilter
Pengendap Desinfeksi
Pengumpul Anaerob-Aerob
No Parameter Influen Akhir
% % % %
Efluen Efluen Efluen Efluen
rem rem rem rem
TSS
1 81 0% 66,9 94,1 4,78 70% 1,43 - -
(mg/L)
BOD
2 66,9 0% 223 88,9 7,43 40% 4,46 - -
(mg/L)
COD
3 223 0% 81 85,5 32,34 40% 19,40 - -
(mg/L)
Total
Koliform
4 7900 0% 7900 - - - - 98% 158
(Jumlah/
100mL)
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4.15 di atas, maka gambar rangkaian pengolahan pada
IPAL yang terpilih beserta neraca massa yang dapat menunjukkan konsentrasi efluen setelah air
diolah dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut.

Gambar 4.1. Rencana Rangkaian IPAL dan Mass Balance

Universitas Pertamina - 33
Perancangan dan Perhitungan DED

Pada sub-bab ini pembahasan berkaitan dengan perhitungan dimensi yang lebih detail mengenai
dimensi dan juga kebutuhan aksesoris tambahan seperti pompa, blower udara dan aksesoris
penunjang lainnya. Hasil dari perhitungan ini dapat menjadi referensi dalam proses pembangunan
dan juga penrhitungan biaya konstruksi dan penyediaan alat dan juga aksesoris terkait rangkaian
IPAL ini.

4.4.1 Perancangan Sumur Pengumpul

Berdasarkan perancangan rangkaian IPAL yang telah ditentukan, unit pertama pada konfigurasi
IPAL ini dimulai dengan sumur pengumpul. Debit perencanaan yang digunakan untuk debit desain
sebesar 70 m3/hari. Waktu detensi yang direncanakan sesuai dengan kriteria desain yaitu 10 menit
(Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2018). Hal ini untuk menghindari kemungkinan terjadinya
pengendapan sehingga dapat menghambat kinerja dari pompa. Data perencanaan sumur pengumpul
dapat dilihat pada Tabel 4.16 berikut ini.
Tabel 4.16. Data Perencanaan Sumur Pengumpul
Parameter Simbol Nilai Satuan
70 m3/hari
Debit perencanaan Q
0,049 m3/menit
Jumlah n 1 unit
Waktu detensi td 10 menit
Rasio Panjang : Lebar P:L 2:1 -
Kedalaman tangki H 1 m
Freeboard fb 0,5 m

Perhitungan desain dimulai dengan menentukan volume dan dimensi sumur pengumpul. Jumlah
sumur pengumpul yang direncanakan sebanyak 1 buah dengan peralatan mekanikal seperti pompa
direncanakan memiliki cadangan ketika pompa yang beroperasi sedang mengalami perbaikan.
Perhitungan volume dan dimensi dapat menggunakan persamaan berikut:
Vol
Debit (Q) = td (4.1)

Volume (m3)
Luas Area (A) = (4.2)
Kedalaman, H (m)

Sesuai dengan data perencanaan pada Tabel 4.16, maka volume sumur pengumpul dapat dihitung
dengan Persamaan 4.1.

Volume (Vol) = Q x td = 0,049 m3/menit x 10 menit = 0,5 m3


Dikarenakan rasio P:L adalah 1:1 maka perhitungan panjang dapat langsung dihitung menjadi:
0,5 m3
Panjang (P) = √ = 0,7 m , L = 0,7 m
1m
Kedalaman + freeboard = 1,5 m

Selanjutnya dilakukan perhitungan pompa untuk mengalirkan air dengan debit 70 m3/hari (8,1x104
m3/s) pada sumur pengumpul dan perencanaan kecepatan air dalam pipa sebesar 0,6 m/s sesuai

Universitas Pertamina - 34
dengan kriteria desain untuk aliran air dalam pipa yaitu 0,6–3 m/s (Direktorat Jenderal Cipta Karya,
2018). Perhitungan diameter pipa adalah sebagai berikut:
Debit perencanaan (m3/s)
Luas penampang pipa (A) = (4.3)
v

4A
Diameter pipa (D) = √ (4.4)
π

Keterangan:

A: Luas penampang pipa (m2)


v : Kecepatan air dalam pipa (m/s)
D: Diameter pipa (m)
8,1x104 m3/s
A = = 0,00135 m2
0,6 m/s

4 x 0,00135 m2
D =√ = 0,029 m = 29 mm
π

Berdasarkan perhitungan di atas, maka diameter pipa yang digunakan selanjutnya disesuaikan
dengan diameter pipa pasaran yaitu sebesar 40 mm. Pompa direncanakan berjumlah 2 buah yaitu 1
untuk cadangan dengan kapasitas yang sama dengan satu pompa ketika beroperasi. Jenis pompa
adalah pompa submersible merek dagang Grundfos Unilift KP 150 M 1 sesuai perhitungan yang
dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.4.2 Perancangan Biofilter Anaerob-Aerob

Air yang dipompakan dari sumur pengumpul selanjutnya dialirkan ke biofilter anaerob-aerob.
Pengolahan terlebih dahulu dimulai dengan biofilter anaerob kemudian air limpasannya dialirkan ke
biofilter aerob. Arah aliran direncanakan dari bawah ke atas untuk meminimalisir penyumbatan. Di
dalam bak biofilter tersebut diisi dengan media berbahan plastik tipe sarang tawon dengan spesifikasi
sebagai berikut:
Material = PVC sheet
Ketebalan = 0,15-0,23 mm
Luas Kontak Spesifik = 150-226 m2/m3
Diameter Lubang = 2 cm x 2 cm
Berat Spesifik = 30-35 kg/m3
Porositas Rongga = 0,98

Gambar 4.2. Media Biofilter Tipe Sarang Tawon (Said & Ruliasih, 2005)

Universitas Pertamina - 35
Sebelum dilakukan proses pengolahan air limbah, bakteri perlu ditumbuhkan terlebih dahulu hingga
membentuk biofilm untuk dapat mendegradasi senyawa polutan pada air limbah. Berdasarkan
pedoman teknis Pd T-02-2004-C mengenai pengoperasian dan pemeliharaan biofilter, cara yang
dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembibitan. Untuk bak biofilter anaerob, pembibitan
dilakukan dengan memasukkan air dan lumpur aktif dari tangki pengolahan tinja (septic tank) yang
masih beroperasi, sedangkan untuk bak aerob dapat menggunakan bibit yang bersumber dari benih
komersial. Pada proses perencanaan unit biofilter anaerob, dilakukan sesuai dengan kriteria desain
biofilter anaerob-aerob. Data perencanaan biofilter anaerob adalah sebagai berikut:
Tabel 4.17. Data Perencanaan Biofilter Anaerob
Parameter Nilai Satuan
Debit perencanaan 70 m3/hari
BOD influen 66,90 mg/l
Volume media (Volmedia) 40 % Vol reaktor
Penyisihan BOD 60 %
BOD efluen 26,76 mg/l
Beban BOD per media 0,7 kg BOD/m3.hari
Tinggi freeboard 0,5 m
Tinggi bed media 1,2 m
P:L 2:1

Perancangan dimulai dengan menghitung volume media dan volume reaktor biofilter anaerob. Untuk
menghitung kedua hal tersebut, maka sebelumnya dihitung BOD influen dalam satuan kg/hari.
Perhitungan adalah sebagai berikut:
1
BOD influen (kg/hari) = Debit (m3/hari) x BODinfluen (mg/l) x (4.5)
1000
1
BOD influen = 70 m3/hari x 66,9 mg/l x = 4,683 kg/hari
1000
Selanjutnya dihitung volume media yang diperlukan berdasarkan BODinfluen dengan beban BOD per
satuan volume media. Persamaannya adalah sebagai berikut:
BODinfluen (kg/hari)
Volmedia (m3) = (4.6)
Beban BOD per media (kg BOD/m3.hari)

Pengolahan air dengan biofilter memiliki standar beban BOD per media sebesar 0,4–4,7 kg
BOD/m3.hari (Said & Widayat, 2019). Mengacu pada kriteria desain tersebut, maka direncanakan
Beban BOD per media sebesar 0,7 kg BOD/m3.hari. Perhitungan volume media yang diperlukan
adalah:
4,683 kg/hari
Volmedia = = 6,690 m3
0,7 kg BOD/m3.hari

Setelah didapatkan volume media yang dibutuhkan, maka total volume reaktor dapat diperkirakan
dengan asumsi bahwa volume media direncanakan sebesar 40% dari volume reaktor agar waktu
detensi (td) sesuai dengan kriteria desain yaitu 6-8 jam. Perhitungan waktu detensi dapat
menggunakan Persamaan 4.1, sedangkan volume reaktor yang direncanakan yaitu:

Universitas Pertamina - 36
6,690 m3
Volreaktor = = 16,725 m3
40%
16,725 m3
td = = 0,239 hari ≈ 6 jam (memenuhi kriteria desain)
70 m3/hari
Berdasarkan perencanaan volume reaktor, maka luas area dapat ditetapkan sesuai dengan ketinggian
efektif (Hefektif). Hefektif didapatkan dari penjumlahan tinggi bed media, tinggi ruang lumpur, dan tinggi
air di atas bed media. Perhitungan Hefektif adalah sebagai berikut:
Hefektif = Hbed media + Hair diatas media + Hlumpur (4.7)

Dimana direncanakan ketinggian ruang lumpur dan air di atas media dengan nilai:
Hair diatas media = 0,2 m
Hruang lumpur = 0,5 m
Hefektif = 1,2 m + 0,2 m + 0,5 m = 1,9 m
Dengan demikian, sesuai rencana rasio P:L yaitu 2:1 dan Persamaan 4.2, maka nilai area, panjang,
serta lebar dapat dihitung seperti perhitungan berikut ini.

16,725 m3
Luas Area (A) = = 8,8 m2
1,9 m

Panjang (P) = √2 x 8,8 m2 = 4,2 m

Lebar (L) = P/2 = 2,1 m

Perhitungan di atas merupakan dimensi reaktor biofilter anaerob. Direncanakan media yang
digunakan memiliki panjang (P) sebesar 4 m, sedangkan 0,2 m disediakan untuk ruang jatuhan air
dari sumur pengumpul. Sehingga dimensi PxLxH untuk bed media adalah 4 m x 2,2 m x 1,1m.
Setelah ditentukan dimensi perancangan perlu diperhatikan kriteria desain perancangan biofilter
yang harus terpenuhi salah satunya menurut Said & Widayat (2019) adalah beban BOD per volume
media sebesar 0,4–4,7 kg BOD/m3.hari. Beban BOD per volume media dapat dihitung sesuai
Persamaan 4.6. Perhitungannya adalah sebagai berikut.
4,683 kg/hari
Beban BOD per volume media = = 0,5 kgBOD/m3.hari (memenuhi kriteria desain)
(4 x 2,1 x 1,2)m3

Tahapan selanjutnya adalah perhitungan reaktor biofilter aerob. Tahapan dan persamaan yang
digunakan untuk perancangan biofilter aerob tidak berbeda jauh dengan perhitungan biofilter
anaerob. Namun pada biofilter aerob dilakukan perhitungan kebutuhan udara untuk proses aerasi.
Data perancanaan reaktor biofilter aerob dapat dilihat pada Tabel 4.18.

Tabel 4.18. Data Perencanaan Biofilter Aerob

Patameter Nilai Satuan


Debit Perencanaan 70 m3/hari
Beban BOD influen 26,76 mg/l
Vol media 40 % Vol reaktor
Penyisihan BOD 50 %
BOD efluen 13,38 mg/l
Beban BOD per media 0,5 kgBOD/m3.hari
Tinggi freeboard 0,5 m

Universitas Pertamina - 37
Patameter Nilai Satuan
Tinggi bed media 1,2 m
Berdasarkan Persamaan 4.5 maka BOD influen dapat dikonversi menjadi satuan kg/hari dengan nilai,
1
BOD influen = 70 m3/hari x 26,76mg/l x = 1,873 kg/hari
1000

Berbeda dengan biofilter aerob, perencanaan beban BOD per volume media pada biofilter aerob
memiliki nilai sebesar 0,5 kgBOD/m3.hari dengan asumsi bahwa BOD sudah mengalami proses
pengolahan di biofilter anaerob sehingga pada biofilter aerob dapat memiliki nilai lebih kecil. Sesuai
Persamaan 4.6 maka dapat dihitung volume media yang diperlukan.
1,873 kg/hari
Volmedia = = 3,746 m3
0,5 kgBOD/m3.hari

Sama halnya dengan biofilter anaerob, kriteria desain waktu detensi (td) untuk biofilter aerob sebesar
6-8 jam. Agar memenuhi kriteria desain, maka direncanakan volume media sebesar 40% dari volume
reaktor. Dengan demikian volume reaktor dapat dihitung seperti berikut.
3,746 m3
Volreaktor = = 9,366 m3
40%

Pada perancangan biofilter aerob, diperlukan udara untuk proses aerasi. Proses aerasi direncanakan
dengan sistem aerasi samping. Sehingga pada perancangannya terdapat dua ruang pada biofilter
aerob, yaitu ruang aerasi dan ruang bed media. Pemilihan sistem aerasi ini untuk meminimalisir
terjadinya pelepasan mikroorganisme yang melekat pada permukaan media yang dapat
mempengaruhi kestabilan proses pengolahan. Perancangan dimensi untuk biofilter aerob adalah
kedalaman (H) dan lebar (L) untuk kedua ruang sama, begitupun dengan panjang (P) ruang aerasi
dan ruang bed media dengan rasio Pbed media:Pruang aerasi adalah 1:1. Perencanaan dimensi untuk
biofilter aerob adalah sebagai berikut:

Lebar (L) = 2,2 m


Hair diatas media = 0,2 m
Hruang lumpur = 0,5 m
Hefektif = 1,2 m + 0,2 m + 0,5 m = 1,9 m
Ptotal =4m
Pruang bed media = 2 m
Pruang aerasi =2m
Volume total reaktor = Ptotal x L x Hefektif = 4 m x 2,2 m x 1,9 m = 16,72 m3
Volume total media = Pbed media x L x Hmedia = 2 m x 2,2 m x 1,2 m = 5,28 m3

Setelah direncanakan desain untuk dimensi ruang bed media dan ruang aerasi, maka tahap
selanjutnya adalah melihat kesesuaian dengan kriteria desain yaitu waktu detensi (td) dan beban BOD
per volume media. Dengan menggunakan Persamaan 4.1 didapatkan td sebesar 6 jam dan
menggunakan Persamaan 4.6 didapatkan nilai beban BOD per volume media (LA) sebesar 0,4 kg
BOD/m3.hari.
Vol total reaktor (m3) 16,72 m3
td = = = 0,24 hari ≈ 6 jam (memenuhi kriteria desain)
Debit (m3/hari) 70 m3/hari

Universitas Pertamina - 38
1,873 kg/hari
LA =
5,28 m3
= 0,4 kg BOD/m3.hari (memenuhi kriteria desain)

Dengan terpenuhinya kriteria desain, maka perancangan dapat dilanjutkan dengan menghitung
kebutuhan oksigen dan blower udara. Menurut Said & Widayat (2019), kebutuhan oksigen di dalam
reaktor biofilter aerob sebanding dengan jumlah BOD yang dihilangkan.

Kebutuhan oksigen teoritis = Faktor keamanan x BODremoved (kg/hari) (4.8)

Dengan faktor keamanan ± 2 (Said & Widayat, 2019), maka kebutuhan oksigen teoritis dapat
dihitung dengan mempertimbangkan BOD yang tersisihkan pada biofilter aerob.
1
BODremoved = 70 m3/hari x 13,38 mg/l x = 0,937 kg/hari
1000

Kebutuhan oksigen teoritis = 2 x 0,937 kg/hari = 1,873 kg/hari

Untuk menghitung jumlah kebutuhan udara teoritis, perlu diperhatikan beberapa hal yang
mempengaruhi perhitungan diantaranya temperatur udara rata-rata, berat udara, serta jumlah oksigen
dalam udara. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kebutuhan udara teoritis adalah sebagai
berikut.
Kebutuhan Oksigen Teoritis
Jumlah Kebutuhan Udara Teoritis = (4.9)
ρudara x %udara

Dimana,
ρ udara = berat udara (kg/m3)
%udara = jumlah oksigen dalam udara (gr O2/ gr udara)
Udara teoritis = m3/hari

Berat udara pada temperatur rata-rata 28oC adalah 1,1725 kg/m3. Direncanakan jumlah oksigen di
dalam udara sebesar 23,2 % (Tchobanoglous, Burton, & Stensel, 2003). Dengan demikian jumlah
udara yang dibutuhkan pada biofilter aerob sesuai Persamaan 4.9 adalah:
1,873 kg/hari
Jumlah Kebutuhan Udara Teoritis = = 6,883 m3/hari
1,1725 kg/m3 x 0,232 gr O2/ gr udara

Jika efisiensi diffuser diasumsikan sebesar 2,5%, maka kebutuhan udara aktual dapat dihitung dengan
membagi jumlah kebutuhan udara teoritis dengan efisiensi diffuser. Perhitungan kebutuhan udara
aktual yaitu:
6,883 m3/hari
Kebutuhan Udara Aktual = = 275,3 liter/menit ≈ 0,275 m3/menit
0,025

Berdasarkan kebutuhan udara aktual, maka dapat ditentukan kebutuhan blower dan juga air diffuser.
Direncanakan jumlah blower sebanyak 2 unit , 1 beroperasi dan 1 sebagai cadangan, dengan tipe root
blower dengan merek Root Blower Anlet BSS seri BSS25 dengan kapasitas 0,24 m3/min–0,52
m3/min. Perancangan untuk diffuser, direncanakan menggunakan jenis fine bubble diffuser dengan
merek BWS yang memiliki spesifikasi laju aliran udara berkisar 16 liter/menit–100 liter/menit per
unitnya. Kebutuhan jumlah diffuser dapat ditentukan dengan membagi kebutuhan udara dengan laju
diffuser seperti pada Persamaan 4.10.
Kebutuhan Udara (liter/menit)
Jumlah diffuser = (4.10)
laju diffuser (liter/menit)

Universitas Pertamina - 39
Jika laju diffuser direncanakan sebesar 28 liter/menit, maka jumlah diffuser yang dibutuhkan sesuai
dengan perhitungan berikut.
275,3 liter/menit
Jumlah diffuser = = 10 buah diffuser
28 liter/menit

4.4.3 Perancangan Bak Pengendap Akhir

Air limpasan dari biofilter aerob selanjutnya dialirkan menuju bak pengendap akhir. Jenis bak
pengendap akhir yang ditujukan untuk menampung efluen dari unit biologis dengan tipe biakan
melekat bertujuan untuk proses penjernihan (Riffat, 2013). Padatan yang tersuspensi seperti lapisan
biofilm yang terlepas akan terendapkan pada unit ini. Data perencanaan bak pengendap akhir dapat
dilihat pada Tabel 4.19.
Tabel 4.19. Data Perencanaan Bak Pengendap Akhir
Parameter Nilai Satuan
70 m3/hari
Debit Perencanaan
2,917 m3/jam
Jumlah 1 unit
Waktu detensi 2 jam
Rasio Panjang : Lebar 2:1 -
Kedalaman tangki 1,9 m
Freeboard 0,5 m

Tahapan pertama untuk menentukan dimensi adalah dengan menghitung volume bangunan yang
dapat dihitung berdasarkan pembagian nilai debit dengan waktu detensi yang telah direncanakan.
Sesuai dengan menggunakan Persamaan 4.1 maka nilai volume adalah,

Volume (Vol) = Q x td = 2,917 m3/jam x 2 jam = 5,83 m3


Dengan total volume (V) yang dibutuhkan sebesar 5,83 m3 dan kedalaman tangki (H) yang
direncanakan sebesar 1,9 m dengan rasio P:L adalah 2:1, maka nilai panjang (P) dan lebar (L) bak
sebagai berikut:
V 5,83 m3
Panjang (P) = √2x = √2x = 2,478 m ≈ 2,5 m
H 1,9 m

Lebar (L) = 2,5 m / 2 = 1,2 m

Hasil perencanaan dimensi dilihat kesesuaiannya dengan kriteria desain. Pada bak pengendap akhir,
kriteria yang harus diperhatikan adalah beban permukaan rata-rata yang dapat dihitung dengan
persamaan berikut:
Debit ( m3/hari )
Beban permukaan rata-rata = (4.11)
Area (m2)

Berdasarkan perhitungan dimensi bak pengendap akhir sebelumnya, didapatkan nilai panjang (P) bak
2,5 m dan lebar (L) 1,2 m. Perkalian panjang dan lebar menghasilkan luas area (A) bak pengendap
akhir sebesar 3,07 m2. Dimensi rencana dibandingkan dengan kriteria desain beban permukaan rata-
rata untuk bak pengendap akhir adalah sebesar 20-50 m3/m2.hari (JWWA dalam Said & Widayat,
2019).

Universitas Pertamina - 40
70 m3/hari
Beban permukaan rata-rata = = 22,8 m3/m2.hari (memenuhi kriteria desain)
3,07 m2

Pada bak pengendap akhir dilengkapi pompa sirkulasi lumpur untuk mengembalikan lumpur yang
terendapkan ke bak biofilter aerob. Rasio resirkulasi lumpur yaitu sebesar 50% sesuai dengan kriteria
desain bak pengendap akhir. Jenis pompa yang digunakan adalah jenis pompa submersible dengan
merek dagang wasser. Perencanaan komponen selanjutnya adalah penggunaan saluran pelimpah
pada sisi outlet air dengan panjang direncanakan memiliki ukuran yang sama dengan lebar bak yaitu
sebesar 2,5 m. Kedalaman dan lebar saluran memiliki dimensi yang sama yaitu sebesar 0,5 m. Untuk
memastikan hasil perancangan, maka dapat dibandingkan dengan kriteria weir loading yaitu sebesar
≤150 m3/m.hari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Dengan menggunakan
Persaman 4.12, didapatkan nilai maka weir loading sebesar 56,50 m3/m.hari yang memenuhi kriteria
desain.
Q (m3/hari)
Weir loading (m3/m2.hari) = (4.12)
Jumlah weir x panjang (m)
70 m3/hari
Weir loading = = 56,50 m3/m.hari
1 x 2,5 m2

4.4.4 Perancangan Bak Desinfeksi

Unit pengolahan terakhir yang bertujuan untuk menyisihkan patogen adalah bak desinfeksi. Proses
desinfeksi yang direncanakan adalah proses secara kimia dengan klorinasi. Klorinasi biasa digunakan
karena ekonomis dan merupakan disinfektan yang efektif (Mines, 2014). Jenis disinfektan yang
direncanakan yaitu klorin cair sodium hypochlorite (NaOCl) 12%. Tahapan pertama dalam
merancang unit desinfeksi adalah menentukan kebutuhan klor dan laju pembubuhannya. Data
perencanaan perhitungan kebutuhan klor sesuai pada Tabel 4.20 berikut
Tabel 4.20. Data Perencanaan Klorinasi
Parameter Nilai Satuan
70 m3/hari
Debit (Q)
0,81 l/s
Chlorine decay 1 mg/l
E.coli influen (N) 7900 MPN/100ml
E.coli efluen (No) 4000 MPN/100ml
Waktu detensi (td) 30 menit
Kemurnian klor (% klor) 12 %
Massa jenis klorin 3,124 g/cm3

Berdasarkan perencanaan pada Tabel 4.20 di atas selanjutnya dihitung dosis klorin. Penentuan dosis
klorin dapat diperkirakan dari estimasi residual klorin yang dibutuhkan (Cr), chlorine decay, dan
chlorine demand. Persamaan yang digunakan pada untuk menghitung total dosis klorin adalah
sebagai berikut:

Dosis klorin = chlorine decay + initial chlorine demand + Cr (4.13)

Menurut Qasim & Zhu (2018), konsentrasi chlorine decay yang diperlukan dapat ditentukan
sebanyak 1-4 mg/l untuk waktu kontak 30-60 menit dan konsentrasi initial chlorine demand dapat

Universitas Pertamina - 41
menggunakan hasil eksperimen terdahulu, sedangkan nilai Cr dapat menggunakan persamaan berikut
ini:

N Cr × td -n
=( ) (4.14)
N0 b

Dimana:
N = Total koliform influen
N0 = Total koliform keluar
Cr = estimasi residual klorin (mg/l)
td = waktu detensi (menit)
b, n = koefisien dengan nilai tipikal untuk total koliform adalah b=4 dan n=2,8

Dengan merencanakan waktu detensi selama 30 menit, maka nilai Cr yang didapatkan sesuai
perhitungan dengan Persamaan 4.14 adalah:
1
7900 −2,8 4
Cr = (4000) x
30 menit
= 0,105 mg/l

Chlorine decay direncanakan sebesar 1 mg/l dan chlorine demand untuk air limbah dengan waktu
detensi 30 menit adalah sebesar 11 mg/l mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Yu & Cheng
(2003). Sesuai perencanaan tersebut, maka dosis klorin dapat ditentukan menggunakan
Persamaan 4.13.

Dosis klorin = 11 mg/l + 1 mg/l + 0,105 mg/l = 12,105 mg/l

Setelah didapatkan dosis klorin, maka kebutuhan dan debit pembubuhan klorin dapat diperkirakan
dengan menggunakan persamaan berikut:

Kebutuhan klorin (gr/hari) = (1/%klor) x dosis klorin (mg/l) x Q (m3/hari) (4.15)

Kebutuhan klorin (gr/hari)


Debit pembubuhan (ml/hari) = (4.16)
Massa jenis klorin (g/cm3)

Setelah didapatkan hasil perhitungan dosis klorin dan perencanaan jenis disinfektan berupa klorin
cair 12% dengan massa jenis klorin sebesar 3,124 g/cm3, maka kebutuhan klorin hingga debit
pembubuhan dapat ditentukan sesuai Persamaan 4.15 dan 4.16.

Kebutuhan klorin = (1/12%) x 12,105 mg/l x 70 m3/hari = 7060,995 gr/hari

7060,995 gr/hari
Debit pembubuhan = = 542,359 ml/hari
3,124 gr/cm3

Untuk dapat mengakomodir proses pembubuhan klorin, direncanakan penggunaan pompa dosing
klorin dengan merek dagang Prominent tipe CNPA 1000 PPE 200A 01 dengan kapasitas 0,7 ltr/jam.
Untuk proses mixing dilakukan dengan menginjeksikan klorin ke air dalam pipa sebelum memasuki
bak kontak klorin. Untuk menghitung panjang pipa, dapat digunakan persamaan berikut:

Universitas Pertamina - 42
g ×Hf
G=√ (4.17)
v ×t

Dimana,
G = gradien kecepatan (/s)
g = percepatan gravitasi (9,81 m/s2)
Hf = headloss (m)
v = viskositas kinematik (m2/s)
t = waktu tinggal hidrolik (s)

Menurut Qasim & Zhu (2018), nilai gredien kecepatan agar memenuhi persayaratan pengadukan
pada proses desinfeksi adalah <500/s. Dengan merencanakan G sebesar 150/s, waktu tinggal hidrolik
(t) 15 detik, dan viskositas kinematik (v) pada suhu 28 oC adalah 0,838x10-6 m2/s maka dapat dihitung
headloss seperti berikut.

(150 s-1 )2 × 0,838x10-6 m2/s × 15s


Hf = = 0,0288 m
9,81 m/s2

Dengan merencanakan diameter pipa sama dengan pipa pada unit sebelumnya yaitu sebesar 4 cm,
maka panjang pipa dapat dihitung menggunakan persamaan berikut.

Q (l/s) 1,85
Headloss (Hf) =( 2,63 ) ×L (4.18)
0,00155×C×D (cm)

0,0288 m
Panjang pipa (L) = 1,85 = 2,43 m
0,81 l/s
( 2,63)
0,00155×150×(4 cm)

Setelah ditentukan debit pembubuhan dan proses injeksi awal, maka selanjutnya diperkirakan bak
penampung untuk kontak air yang telah diinjeksi. Bak yang digunakan untuk proses kontak air
dengan disinfektan biasa disebut chlorine contact basin (CCB) dengan menggunakan baffle. Tujuan
perencanaan bak ini adalah untuk menyediakan waktu yang cukup agar terjadi reaksi antar klorin
dengan patogen. Selain itu, pemilihan bak ini dilakukan untuk memaksimalkan waktu kontak dan
meminimasi terjadinya penumpukan padatan pada dasar bak (Qasim & Zhu, 2018). Menurut Mines
(2014), penentuan dimensi bak CCB dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria desain terkait
rasio P:L yaitu sebesar 10:1-40:1, sedangkan rasio kedalaman (H):lebar (L) menurut Qasim & Zhu
(2018) sebesar <1. Dengan direncanakan waktu detensi (td) selama 30 menit maka volume bak dapat
ditentukan dengan Persamaan 4.1.

Volume (Vol) = Q x td = 0,049 m3/menit x 30 menit = 1,459 m3 ≈ 1,5 m3


Direncanakan kedalaman bak (H) sebesar 0,5 m sehingga luas area dapat ditentukan beserta dimensi
panjang bak (P), lebar saluran (Lsal), lebar total bak (L) dan freeboard.

Luas Area (A) = 1,5 m3/0,5 = 2,9 m2 ≈ 3 m2

Perencanaan dimensi diatur agar sesuai dengan kriteria desain. Direncanakan desain CCB dengan
jumlah 3 putaran. Perancangan dimensi bak pengendap akhir adalah sebagai berikut:

Lsal = 0,5 m

Universitas Pertamina - 43
P = A/Hsal = 3 m2/0,5 m = 5,8 m
Pbasin = P/n saluran = 5,8 m/3 = 1,9 m
Lbak = 3 saluran x 0,5 = 1,5 m

Setelah menentukan dimensi bak, maka dapat diperiksa hasil perancangan dengan kesesuaian kriteria
desain. Perbandingan hasil perhitungan dengan kriteria desain sebagai berikut:
H 0,5
= =1 (memenuhi kriteria desain)
L 0,5
P 5,8
= = 11,68 (memenuhi kriteria desain)
L 0,5

Hasil perhitungan dimensi tiap unit pengolahan selanjutnya akan dijadikan acuan dalam gambar
detailed engineering design yang terdapat pada lampiran.

Profil Hidrolis

Profil hidrolis menggambarkan perbedaan tinggi muka air pada setiap unit pengolahan. Hal ini
bertujuan untuk melihat proses pengaliran air yang dapat tejadi pada rangkaian pengolahan.
Perhitungan profil hidrolis mengacu pada headloss akibat gesekan yang terjadi pada bangunan unit
pengolahan maupun saluran seperti pipa beserta aksesorisnya. Hasil perhitungan profil hidrolis dapat
dilihat pada Tabel 4.21.
Tabel 4.21. Profil Hidrolis
Unit Bangunan Keterangan Nilai Satuan
Bak Pengumpul
Elevasi awal 22 m
Hf unit 0,000000000251 m
Elevasi akhir 22 m
Beda elevasi 2 m
Biofilter Anaerob
Elevasi awal 24 m
Hf inlet 0,075403 m
Hf unit 0,000000000042 m
Hf filter 0,00000145848 m
elevasi akhir 23,924596 m
Biofilter Aerob
Elevasi awal 23,9245956 m
Hf inlet 0,0412066 m
Hf unit 0,0000000000350 m
Hf filter 0,0000029797 m
elevasi akhir 23,883386 m
Bak Pengendap Akhir
Elevasi awal 23,8833859 m
Hfinlet 0,0412066 m
Hf unit 0,000000000117 m
Hf outlet 0,000000000172 m
Elevasi akhir 23,8421793 m

Universitas Pertamina - 44
Unit Bangunan Keterangan Nilai Satuan
Desinfeksi
Elevasi awal 23,8421793 m
Hf injeksi 0,0636927 m
Hf unit 0,000000096184 m
Elevasi akhir 23,7784866 m
PT FH yang berlokasi di Kota Tangerang Selatan terletak pada elevasi tanah yaitu +23 m.
Pembangunan sumur pengumpul direncanakan terletak pada elevasi 22 m. Selanjutnya setelah air
dikumpulkan pada pada sumur pengumpul, air akan dinaikkan setinggi 2 meter ke bak biofilter
anaerob dengan bantuan pompa. Dengan menghitung headloss tiap bangunan yang dapat dilihat pada
Lampiran 4, maka didapatkan elevasi akhir pada bak desinfeksi adalah 23,77849 m.

Rencana Anggaran Biaya

Berdasarkan perancangan dan perhitungan yang telah dilakukan, maka tahapan selanjutnya adalah
perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk kebutuhan konstruksi rangkaian IPAL yang telah
direncanakan. Perhitungan RAB dilakukan pada setiap unit dan mengacu pada Standar Nasional
Indonesia (SNI) Analisa Harga Satuan Pekerjaan Data Pembaharuan & Penyesuaian 2017-2018.
Total biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan rangkaian IPAL adalah sebesar Rp210.975.297,41
dengan perhitungan rincian RAB dapat dilihat pada Tabel 4.22.
Tabel 4.22. Rancangan Anggaran Biaya (RAB) IPAL

Harga Satuan
No Uraian Pekerjaan Volume Satuan Harga (Rp)
(Rp)
RAB Unit Sumur Pengumpul
1 Pembersihan Lapangan 0,7 m2 18.450,00 12.915,00
Ringan dan Perataan
2 Penggalian Tanah Biasa 0,7 m3 69.075,00 45.330,47
untuk Konstruksi
3 Pekerjaan Beton K300 1,0 m3 1.021.595,92 1.053.372,12

4 Pekerjaan Pembesian 154,7 kg 13.245,04 2.048.552,99


dengan Besi Ulir 39
5 Bekisting Lantai 0,5 m2 255.847,30 124.370,22
6 Bekisting Dinding 0,8 m2 225.442,60 188.618,81
Pengadaan Pompa
7 2 unit 3.787.435,08 7.574.870,16
Submersible
Pemasangan Pipa PVC 1
8 3,5 m 25.740,00 90.090,00
1/2”
Sub Total 11.138.119,77
RAB Unit Biofilter Anaerob-Aerob

1 Pembersihan Lapangan 9,3 m2 18.450,00 171.585,00


Ringan dan Perataan
2 Penggalian Tanah Biasa 23,2 m3 69.075,00 1.603.395,27
untuk Konstruksi
3 Pekerjaan Beton K300 16,8 m3 1.021.595,92 17.121.727,88

Universitas Pertamina - 45
Harga Satuan
No Uraian Pekerjaan Volume Satuan Harga (Rp)
(Rp)
4 Pekerjaan Pembesian 2514,0 kg 13.245,04 33.297.603,23
dengan Besi Ulir 39
5 Bekisting Lantai 17,2 m2 255.847,30 4.399.129,77
2
6 Bekisting Dinding 9,9 m 225.442,60 2.227.833,28
Pengadaan Media Sarang
7 17,2 m2 1.800.000,00 30.949.842,29
Tawon
Pemasangan Pipa PVC 1
8 1,5 m 25.740,00 38.610,00
1/2”
9 Pengadaan Blower 2 unit 38.000.000,00 76.000.000,00
10 Pengadaan Diffuser 10 unit 130.000,00 1.300.000,00
Sub Total 167.109.726,72
RAB Bak Pengendap Akhir

1 Pembersihan Lapangan 5,8 m2 18.450,00 107.625,00


Ringan dan Perataan
2 Penggalian Tanah Biasa 0,5 m3 69.075,00 33.578,13
untuk Konstruksi
3 Pekerjaan Beton K300 4,1 m3 1.021.595,92 4.140.486,94

4 Pekerjaan Pembesian 607,9 kg 13.245,04 8.052.241,71


dengan Besi Ulir 39
5 Bekisting Lantai 3,1 m2 255.847,30 785.496,10
2
6 Bekisting Dinding 2,8 m 225.442,60 636.850,41
7 Pompa sirkulasi 2,0 unit 660.000,00 1.320.000,00
Sub Total 15.076.278,28
RAB Unit Desinfeksi

1 Pembersihan Lapangan 5,3 m2 18.450,00 97.785,00


Ringan dan Perataan
2 Penggalian Tanah Biasa 1,0 m3 69.075,00 70.514,06
untuk Konstruksi
3 Pekerjaan Beton K300 2,3 m3 1.021.595,92 2.317.887,63

4 Pekerjaan Pembesian 340,3 kg 13.245,04 4.507.728,61


dengan Besi Ulir 39
5 Bekisting Lantai 2,9 m2 255.847,30 746.221,29
6 Bekisting Dinding 1,1 m2 225.442,60 248.487,84
Pemasangan Pipa PVC 1
7 2,4 m 25.740,00 62.548,20
1/2”
Pengadaan Pompa
8 2 unit 4.800.000,00 9.600.000,00
Dosing
Sub Total 17.651.172,64
Total 210.975.297,41

Universitas Pertamina - 46
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan

Tangki septik yang terdapat pada PT FH belum memiliki pengolahan lanjutan, sedangkan kualitas
efluennya dengan parameter BOD, COD, TSS, dan total coliform masih belum memenuhi standar
baku mutu sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016
tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan
perancangan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) agar efluen dapat memenuhi baku mutu.
Dilakukan perancangan IPAL dengan mempertimbangkan tiga alternatif solusi pada unit biologis
yaitu RBC, constructed wetlands, dan biofilter anaerob-aerob. Hasil evaluasi menghasilkan
rangkaian IPAL yang terdiri dari unit sumur pengumpul, biofilter anaerob-aerob, bak pengendap
akhir, dan desinfeksi. Dengan konfigurasi rangkaian ini, diperkirakan dapat menghasilkan efluen
dengan konsentrasi parameter BOD sebesar 4,46 mg/L, COD sebesar 19,40 mg/L, TSS sebesar 1,43
mg/L, dan total koliform sebesar 158 jumlah/100mL. Nilai setiap parameter yang terkandung pada
efluen tersebut telah memenuhi baku mutu acuan yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Nomor 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik. Perhitungan dimensi
dilakukan di setiap unit pengolahan terpilih dengan ukuran panjang x lebar x kedalaman yang
berbeda. Dimensi sumur pengumpul adalah 0,7 m x 0,7 m x 1,5 m, biofilter anaerob adalah 4,2 m x
2,1 m x 2,4 m, biofilter aerob adalah 4 m x 2,2 m x 2,4 m, bak pengendap akhir adalah 2,5 m x 1,2
m x 2,4 m, dan bak desinfeksi adalah 1,9 m x 1,5 m x 0,8 m. Hasil perhitungan dimensi dapat menjadi
acuan untuk penggambaran DED. Selain DED, dimensi tersebut juga dapat digunakan untuk
memperkirakan rencana anggaran biaya yang diperlukan untuk membangun rangkaian IPAL. Total
biaya untuk proses pembangunan adalah sebesar Rp210.975.297,41.

5.2 Saran

Diperlukan pencarian literatur mengenai media selain sarang tawon yang dapat digunakan pada
teknologi biofilter. Hal ini dikarenakan sarang tawon merupakan media yang umumnya banyak
digunakan di Indonesia, sehingga pencarian literatur yang besumber dari wilayah lain mengenai
penerapan teknologi ini khususnya dengan media sarang tawon masih sedikit. Selain itu ada baiknya
jika dilakukan pengumpulan data primer mengenai kualitas efluen air yang akan diolah untuk
pengujian seluruh parameter pencemar sesuai dengan peraturan baku mutu yang menjadi acuan untuk
proses perancangan.

Universitas Pertamina - 47
Universitas Pertamina - 47
Daftar Pustaka
Agustin, E. S. (2014). Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah RSUD Dr. M. Soewandhie
Surabaya. Surabaya.

Badan Standardisasi Nasional. (2017). SNI 2398:2017 Tata Cara Perencanaan Tangki Septik dengan
Pengolahan Lanjutan (Sumur Resapan, Bidang Resapan, Up Flow Filter, Kolam Sanita).
Jakarta.

Balaiiklan. (2019). Alat Teknik/Mesin. Retrieved 9 August, 2020, from Root Blower Anlet BSS
Japan: http://www.balaiiklan.com/detail/root-blower-anlet-bss-japan-187054

Bintang, Y. K., Chandrasasi, D., & Haribowo, R. (2019). Studi Efektivitas dan Kinerja Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada Peternakan Sapi Skala Rumah Tangga. Jurnal Teknik
Pengairan, 51-58.

Chernicharo, C. (2007). Anaerobic Reactors. London: IWA Publishing.

Cool Tech Pumps. (2020). Cool Tech Pumps. Retrieved 8 August, 2020, from Grundfos Unilift
KP150 M-1 Manual Submersible Drainage Pump:
https://www.cooltechpumps.com.au/pumps/brand/grundfos/submersible-pumps/grundfos-
unilift-kp150-m-1-manual-submersible-drainage-pump/

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. (2004). Pd T-02-2004-C tentang Pengoperasian


dan Pemeliharaan Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Tangga dengan Tangki
BIofilter.

Direktorat Jenderal Cipta Karya. (2018). Pedoman Perencanaan Teknik Terinci Sistem Pengelolaan
Air Limbah Domestik Terpusat SPALD-T. Jakarta.

Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman. (2017). Buku A Panduan


Perhitungan Bangunan Pengolahan Lumpur Tinja. Jakarta: Kementrian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat.

Dotro, G., Langergraber, G., Molle, P., Nivala, J., Puigagut, J., Stein, O., & Sperling, M. V. (2017).
Biological Wastewater Treatment Series Volume Seven Traetment Wetlands. London: IWA
Publishing.

Fauzi, L. A. (2018). Analisis Penggunaan Air untuk Industri di Tangerang (Water Use Analysis for
Industry in Tangerang). Prosiding Seminar Nasional Hari Air Dunia 2018, 58-64.

Fildzah, A., Suryani, R., Dian, A., Fitriana, G., Nisa, A. C., & Samudro, G. (2016). Pengolahan
Limbah Domestik Kawasan Pesisir dengan Subsurface Constructed Wetland Menggunakan
Tanaman Jatropha Curcas L. Sains dan Teknologi Lingkungan, 80-88.

Gandiglio, M., Lanzini, A., Soto, A., Leone, P., & Santarelli, M. (2017). Enhancing The Energy of
Wastewater Treatment Plants Through Co-digestion and Fuel Cell System. Frontiers in
Environmental Science.

Gubernur Provinsi Banten. (2019). Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 3 Tahun 2019 tentang
Pengembangan Pengelolaan dan Pengendalian Pencemaran Air Limbah Domestik
Regional. Banten.

Universitas Pertamina - 48
Haik, Y., & Shahin, T. (2011). Engineering Design Process Second Edition. Stamford: Cengange
Learning.

Hartaja, D. R. (2017). Desain Instalasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit Kapasitas 40 m3/hari.
Jurnal Rekayasa Lingkungan, 99-113.

Henze, M., & Comeau, Y. (2008). Biological Wastewater Traetment: Principles Modelling and
Design. London: IWA Publishing.

Herlambang, A. (2001). Pengaruh Pemakaian Biofilter Struktur Sarang Tawon pada Pengolah
Limbah Organik Sistem Kombinasi Anaerob-Aerob (Studi Kasus: Limbah Tahu dan
Tempe). Jurnal Teknologi Lingkungan, 28-36.

Hiras, D. N., Manariotis, I. D., & Grigoropoulos, S. G. (2003). Organic and Nitrogen Removal in a
Two-Stage Rotating Biological Contactor Treating Municipal Wastewater. Bioresource
Technology, 91-98.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Teknis Instalasi Pengolahan Air
Limbah dengan Sistem Biofilter Anaerob Aerob pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Jakarta.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Rpublik


Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Jakarta,
Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.68/Menlhk-Setjen/2016.
Jakarta, Indonesia.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (2017). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Nomor 04/PRT/M/2017 tentang Penyelenggaraan Sistem
Pengelolaan Air Limbah Domestik. Jakarta.

Kepner, C., & Tregoe, B. (1997). The New Rational Manager: An Updated Edition for a New World.
Princeton Research Press.

Khandani, S. (2005). Engineering Design Process. Saylor.org.

Levit, S. M. (2010). A Literature Review of Effects of Ammonia on Fish. Center for Science in
Public Participation Bozeman, Montana.

Mangkoedihardjo, S., & Samudro, G. (2010). Review on BOD, COD, and BOD/COD Ratio: A
Triangle Zone for Toxic, Biodegradable and Stable Levels. International Journal of
Academic Research, 235-239.

Mara, D. (2003). Domestic Wastewater Treatment in Developing Countries. London: Earthscan.

Mines, R. O. (2014). Environmental Engineering: Principles and Practice. Chicestered: John Wiley
& Sons, Ltd.

Universitas Pertamina - 49
Musarofa, Radityaningrum, A. D., & Kusuma, M. N. (2018). Penurunan TSS, BOD, Ecoli pada
Limbah Tangki Septik Menggunakan Tanaman Cyperus Papyrus pada Pengolahan
Constructed Wetland. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan, 419-424.

Paulo, P. L., Azevedo, C., Begosso, L., Galbiati, A. F., & Boncz, M. A. (2012). Natural Systems
Treating Greywater and Blackwater On-Site: Integrating Treatment, Reuse and
Landscaping. Ecological Engineering, 95-100.

Pipa Air. (2019). Pipa Air. Retrieved 8 August, 2020, from Harga Pipa PVC SNI Rucika 2019:
https://www.pipaair.co.id/pipa-pvc/harga-pipa-pvc-sni-rucika-2019/

Priyanka, A. (2012). Perancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah Pertamina Maritime Training
Center (Studi Perbandingan dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah Gedung Pertamina
Learning Center). Jakarta: Universitas Indonesia.

PT Bumi Wirastraya Sejahtera. (2020). Pusat Pump Blower. Retrieved 3 August, 2020, from Air
Disc Diffuser Fine Bubble BWS 8: http://www.pusatpumpblower.com/product/air-disc-
diffuser-fine-bubble-bws-8-p682912.aspx

PT Indo Lotte Makmur. (2020). iLotte. Retrieved 10 August, 2020, from Submersible Drainage
Pumpp WD-101EA-100W: https://www.ilotte.com/SUBMERSIBLE-DRAINAGE-PUMP-
WD-101EA-100W-000000748827.do?gclid=CjwKCAjwydP5BRBREiwA-
qrCGkSpqHu6UXaFAHyGP20A0Qn6ApT4euPgtVy7AdyOJkZErB1vbI8FJxoCeeIQAvD
_BwE

PT Sandai Indah Jaya. (2020). PT Sandai Indah Jaya. Retrieved 3 August, 2020, from Prominent
Pump (Pompa Prominent): http://www.sandaipump.com/PROMINENT%20product.html

Purnama, I. G., & Purnama, S. G. (2015). Pengolahan Air Limbah Binatu (Laundry) dengan
Menggunakan Metode Lahan Basah Buatan (Horizontal Sub Surface Flow Constructed
Wetlands). Bali: Universitas Udayana.

Putri, A. R., Samudro, G., & Handayani, D. S. (2013). Penentuan Rasio BOD/COD Optimal pada
Reaktor Aerob, Fakultatif, dan Anaerob . Jurnal Teknik Lingkungan, 1-5.

Qasim, S. R., & Zhu, G. (2018). Wastewater Treatment and Reuse Theory and Design Examples
Volume 1: Principle and Basic Treatment. Boca Raton: CRC Press.

Qasim, S. R., & Zhu, G. (2018). Wastewater Treatment and Reuse Theory and Design Examples
Volume 2: Post-Treatment, Reuse, and Disposal. Boca Raton: CRC Press.

Rahadi, B., Wirosoedarmo, R., & Harera, A. (2018). Sistem Anaerobik-Aerobik pada Pengolahan
Limbah Industri Tahu untuk Menurunkan Kadar BOD, COD dan TSS. Sumberdaya Alam
dan Lingkungan, 17-26.

Riffat, R. (2013). Fundamentals of Wastewater Treatment and Engineering. London: Taylor &
Francis Group.

Said, N. I. (2000). Teknologi Pengolahan Air Limbah dengan Proses Biofilm Tercelup. Jurnal
Teknologi Lingkungan, 101-113.

Universitas Pertamina - 50
Said, N. I. (2008). Pengolahan Air Limbah Domestik di DKI Jakarta. Jakarta: Pusat Teknologi
Lingkungan.

Said, N. I., & Ruliasih. (2005). Tinjauan Aspek Teknis Pemilihan Media Biofilter Untuk Pengolahan
Air Limbah. Jurnal Air Indonesia, 272-281.

Said, N. I., & Widayat, W. (2019). Perencanaan dan Pembangunan Instalasi Pengolahan Air
Limbah Domestik dengan Proses Biofilter Anaerob-Aerob. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Santoso, A. (2015). Domestic Wastewater Treatment Planning With Alternative Biofilter Media
(Case Study: Kejawan Gebang Kelurahan Keputih Surabaya). Surabaya: Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.

Sasse, L. (1998). DEWATS: Decentralised Wastewater Treatment in Developing Countries. Bremen:


BORDA.

Soedjono, E. S., Wibowo, T., Saraswati, S. S., & Keetalar, C. (2010). Buku Referensi Opsi Sistem
dan Teknologi Sanitasi. Jakarta: Tim Teknis Pembangunan Sanitasi (TTPS).

Sperling, M. V. (2007). Biological Wastewater Treatment Series. IWA Publishing.

Sperling, M. V. (2007a). Wastewater Characteristics, Treatment and Disposal. IWA Publishing.

Sperling, M. V. (2007b). Activated Sludge and Aerobic Biofilm Reactors. London: IWA Publishing.

Standar Nasional Indonesia. (2018). Analisa Harga Satuan Pekerjaan Data Pembaharuan dan
Penyesuaian 2017-2018.

Stefanakis, A. I. (2015). Constructed Wetlands: Description and Benefits of an Eco-Tech Water


Treatment System. In A. E. McKeown, & G. Bugyi, Impact of Water Pollution on Human
Health and Environmental Sustainability (pp. 281-303). IGI Global.

Sulistia, S., & Septisya, A. C. (2019). Analisis Kualitas Air Limbah Domestik Perkantoran. Jurnal
Rekayasa Lingkungan, 41-57.

Suyasa, W. B. (2015). Pencemaran Air & Pengolahan Air Limbah. Denpasar: Udayana University
Press.

Tchobanoglous, G., Burton, F. L., & Stensel, H. D. (2003). Wastewater Engineering Treatment and
Use (Fourth Edition). New York: McGraw Hill Companies, Inc.

Tchobanoglous, G., Stensel, H. D., Tsuchihashi, F., Burton, F., Abu-Orf, M., Bowden, G., & Pfrang,
W. (2014). Wastewater Engineering: Treatment and Resource Recovery, Fifth Edition. New
York: McGraw-Hill Education.

The Pennsylvania Department of Environmental Protection. (2016). Module 5: Disinfection and


Chlorination.

Tilley, E., Ulrich, L., Lüthi, C., Reymond, P., & Zurbrügg, C. (2014). Compendium of Sanitation
Systems and Technologies. Dübendorf: Swiss Federal Institute of Aquatic Science and
Technology (Eawag).

Universitas Pertamina - 51
UN-HABITAT. (2008). Constructed Wetland Manual. Kathmandu: UN-HABITAT Water for Asian
Cities Programme.

Walikota Tangerang. (2011). Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Umum. Tangerang.

Walikota Tangerang. (2013). Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Tangerang.

Yu, R. F., & Cheng, W. P. (2003). Determination of Chlorine Demand in Water and Wastewater
Chlorination by Oxidation-Reduction Potential. Water Science and Technology: Water
Supply, 313-320.

Universitas Pertamina - 52
Universitas Pertamina - 47
Universitas Pertamina - 53
Universitas Pertamina - 54
Universitas Pertamina - 55
Universitas Pertamina - 56
Universitas Pertamina - 57
Universitas Pertamina - 58
Universitas Pertamina - 59
Universitas Pertamina - 60
Universitas Pertamina - 61
Lampiran 1: Perhitungan Preliminary Sizing
Debit desain (Q) = 70 m3/hari = 0,049 m3/menit
TSS influen = 81 mg/l
BOD influen = 66,9 mg/l
COD influen = 223 mg/l
TSS influen = 5,670 kg/hari
BOD influen = 4,683 kg/hari
COD influen = 15,610 kg/hari

1. Alternatif 1: RBC
Data Perencanaan:
Merek modul RBC = PlanetDISK
Laju beban organik = 10 gr/m2.hari (10-15 gr/m2.hari)
Luas permukaan media = 236 m2/modul
Waktu detensi (td) = 3,5 jam = 0,146 hari (2-4 jam)
Diameter (d) = 1,35 m
Panjang modul (P) =3m
Jarak tiap cakram = 0,03 m

Perhitungan:
1
Beban BOD = BOD influen (mg/l) x Q (m3/hari) x 1000 = gr/hari
1
= 66,9 mg/l x 70 m3/hari x 1000 = 4,683 kg/hari ≈ 4683 gr/hari
Beban BOD (g/hari) 4683 gr/hari
Luas Cakram (Acakram) = 2
= = 468,3 m2
Laju beban organik (gr/m .hari) 10 gr/m2.hari

Acakram (m2) 468,3 m2


Jumlah modul = = = 2 modul
Luas permukaan media (m2/modul) 236 m2/modul

Kedalaman (H) = 40% x Diameter cakram (m) = 40% x 1,35 m = 0,5 m


Q (m3/hari) × td (hari) 70 m3/hari × 0,146 hari
Lebar bak (L) = = = 6,3 m
P (m) × H (m) 3 m × 0,5 m

Total luas (A) = P (m) x L (m) = 3 m x 6,3 m = 18,9 m2

2. Alternatif 2: Constructed Wetland


Data Perencanaan:
Kedalaman = 0,4 m
Porositas media = 40%
KBOD = 0,2 m/hari
Rasio P:L = 6:1
Kemiringan dasar = 1%
BOD efluen (Ce) = 30 mg/l
Perhitungan:
LnCi = Ln(BODin) = Ln(66,9) = 4,248
LnCe = Ln(BODeff) = Ln(30) = 3,401
Q (m3/hari )×(LnCi-LnCe) 70 m3/hari ×(4,248-3,401)
Luas area (Ah) = = = 280,7 m2
KBOD (m/hari) 0,2 m/hari

Universitas Pertamina - 62
3. Alternatif 3: Biofilter anaerob-aerob
Data Perencanaan Biofilter Anaerob:
BOD influen = 66,9 mg/l
Volume media (Volmedia) = 40% volume reaktor
Penyisihan BOD = 60%
BOD efluen = 26,76 mg/l
Beban BOD per media = 0,7 kg BOD/m3.hari
Kedalaman (H) = 1,9 m
Rasio P:L = 2:1

Perhitungan Biofilter Anaerob:


1
BOD influen = 70 m3/hari x 66,9 mg/l x = 4,683 kg/hari
1000
BODinfluen (kg/hari) 4,683 kg/hari
Volmedia (m3) = 3
= = 6,690 m3
Beban BOD per media (kgBOD/m .hari) 0,7 kgBOD/m3.hari
6,690 m3 3
Volreaktor = = 16,725 m
40%
16,725 m3
td = = 0,239 hari ≈ 6 jam (memenuhi kriteria desain 6-8 jam)
70 m3/hari

16,725 m3
Luas Area (A) = = 8,8 m2
1,9 m

Panjang (P) = √2 x 8,8 m2 = 4,2 m

Lebar (L) = P/2 = 2,1 m

Data Perencanaan Biofilter Aerob:


BOD influen = 26,76 mg/l
Volume media (Volmedia) = 40% volume reaktor
Beban BOD per media = 0,5 kg BOD/m3.hari
Kedalaman (H) = 1,9 m
Lebar (L) = 2,2 m
Perhitungan Biofilter Anaerob:
1
BOD influen = 70 m3/hari x 26,76 mg/l x = 1,873 kg/hari
1000
BODinfluen (kg/hari) 4,683 kg/hari
Volmedia (m3) = 3
= = 3,746 m3
Beban BOD per media (kgBOD/m .hari) 0,5 kgBOD/m3.hari
3,746 m3 3
Volreaktor = = 9,366 m
40%
9,366 m3
Td = = 0,134 hari ≈ 3 jam (tidak memenuhi kriteria desain 6-8 jam)
70 m3/hari
Direncanakan:
Pmedia =2m
Paerasi =2m
Luas (A) = 4 m x 2,2 m = 8,8 m2
(2 x 2 x 1,9) m3
td = = 0,24 hari ≈ 6 jam (memenuhi kriteria desain 6-8 jam)
70 m3/hari
Total Area Biofilter = 8,8 m2 + 8,8 m2 = 17,8 m2 = 18 m2

Universitas Pertamina - 63
Lampiran 2: Perhitungan Produksi Lumpur
Menurut Sperling (2007a), estimasi produksi lumpur untuk RBC maupun biofilter dapat
menggunakan persamaan berikut:

Psludge = Y x BODremoved

Dimana:
Psludge = produksi lumpur (kg TSS/hari)
Y = koefisien yield (kg TSS/kg BODrem)
BODrem = laju BOD tersisihkan (kg BOD/hari)
Kemudian persamaan untuk menghitung debit lumpur yang dihasilkan perhari adalah sebagai
berikut:

Psludge
Vsludge =
γ × Csludge

Dimana:
Vsludge = debit produksi lumpur (m3/hari)
Psludge = produksi lumpur (kg TSS/hari)
γ = massa jenis lumpur (tipikal= 1000 – 1040 kg/m3)
BODrem = konsentrasi lumpur (tipikal= 1-2%)

1. Alternatif 1: RBC
Data Perencanaan:
BODinf = 4,683 kg/hari
Penyisihan BOD = 85%
Y = 0,8 kg TSS/kgBODrem

Perhitungan:
BODrem = 85% x 4,683 kg/hari = 3,98 kg BOD/hari

Psludge = 0,8 kgTSS/kgBODrem x 3,98 kg BOD/hari = 3,184 kg TSS/hari

3,184 kg TSS/hari
Vsludge = = 0,155 m3/hari
1025 kg/m3 × 0,02

Produksi lumpur per bulan = Vsludge (m3/hari) x 30 hari = 0,155 m3/hari x 30 hari/bulan
= 4,660 m3/bulan

2. Alternatif 3: Biofilter Anaerob-Aerob


Data Perencanaan Biofilter Anaerob:
BODinf = 4,683 kg/hari
Penyisihan BOD = 60%
Y = 0,08 kg VSS/kg BOD (Riffat, 2013)
VSS/TSS = 0,85 (Qasim & Zhu, 2018)

Perhitungan:
BODrem = 60% x 4,683 kg/hari = 2,81 kg BOD/hari

Universitas Pertamina - 64
Psludge = 0,08 kg VSS/kg BODrem x 2,81 kg BOD/hari = 0,225 kg VSS/hari

Psludge = 0,225/0,85 = 0,264 kg TSS/hari


0,264 kg TSS/hari
Vsludge = = 0,013 m3/hari
1025 kg/m3 × 0,02

Produksi lumpur per bulan = Vsludge (m3/hari) x 30 hari = 0,013 m3/hari x 30 hari/bulan
= 0,387 m3/bulan

Data Perencanaan Biofilter Aerob:


BODinf = 1,873 kg/hari
Penyisihan BOD = 50%
Y = 0,4 kg VSS/kg BOD (Riffat, 2013)
VSS/TSS = 0,85 (Sperling, 2007)

Perhitungan:
BODrem = 50% x 1,873 kg/hari = 0,937 kg BOD/hari

Psludge = 0,4 kg VSS/kg BODrem x 0,937 kg BOD/hari = 0,375 kg VSS/hari

Psludge = 0,375/0,85 = 0,441 kg TSS/hari


0,441 kg TSS/hari
Vsludge = = 0,022 m3/hari
1025 kg/m3 × 0,02
Produksi lumpur per bulan = Vsludge (m3/hari) x 30 hari = 0,022 m3/hari x 30 hari/bulan
= 0,645 m3/bulan

3. Bak Pengendap Akhir


Data Perencanaan:
TSSinfluen = 4,779 mg/l
Penyisihan TSS = 40%
Konsentrasi solid = 2% (Sperling, 2007a)
ρsolid = 1000 kg/m3 (Sperling, 2007a)

Perhitungan:
TSSinf = 4,779 mg/l x 70 m3/hari x (1/1000) = 0,335 kg/hari

Psludge = 40% x 0,335 kg/hari = 0,134 kg TSS/hari


0,134 kg TSS/hari
Vsludge = = 6,7x10-4 m3/hari
1000 kg/m3 × 0,02

Universitas Pertamina - 65
Lampiran 3: Perhitungan Pompa Sumur Pengumpul

Data Perencanaan:

Kecepatan pipa (v) = 0,6 m/s


Debit (Q) = 0,00081 m3/s ≈ 0,81 l/s
Koefisien Hazen-William € = 150
Lsuction =0
Ldischarge =2m
K 90o bend = 0,3

Perhitungan:
Luas penampang basah (A) = Q (m3/s) / v (m/s) = (0,00081 m3/s) / (0,6 m/s) = 0,00135 m2

2A 2 x 0,00135 m2
Diameter pipa (D) =√ =√ = 0,029 m = 29 mm
π π

Diameter pipa pasaran = 40 mm ≈ 4 cm

Hstatik =2m

Q (l/s) 1,85
Headloss suction (Hfsuction) =( 2,63 ) ×L
0,00155×C×D (cm)

Q (l/s) 1,85
=( 2,63 ) × 0m=0m
0,00155×C×D (cm)

Q (l/s) 1,85
Headloss discharge (Hfdischarge) = ( 2,63 ) ×L
0,00155×C×D (cm)

0, 81 l/s 1,85
=( 2,63 ) × 3,5 m = 0,0415 m
0,00155×120×4 cm)

Headloss mayor (Hfmayor) = Hfsuction + Hfdischarge = 0,0415 m

(v (m/s))
2 (0,6 m/s)2
Headloss minor (Hfminor) = k 2g (m/s2 ) = 2 x 0,3 = 0,0127 m
2 x 9,81 m/s2

(v (m/s))
2 (0,6 m/s)2
Headloss kecepatan (Hfkec) = 2g (m/s2 ) = = 0,0212 m
2 x 9,81 m/s2

Head pompa = Hstatik + Hfmayor + Hfminor + Hfkec

= 2 m + 0,0415 m + 0,0127 m + 0,0212 m = 2,0754 m

Universitas Pertamina - 66
Lampiran 4: Perhitungan Profil Hidrolis
Perhitungan pada profil hidrolis dilakukan dengan mengacu pada headloss yang terjadi pada
bangunan maupun saluran atau pipa. Dengan demikian, perhitungan headloss tiap unit adalah sebagai
berikut:

1. Sumur Pengumpul
- Headloss sumur pengumpul
Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s
Panjang (P) = 0,7 m
Lebar (L) = 0,7 m
Kedalaman (H) =1m
Koefisien beton (n) = 0,012

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = = = 0,001162 m/s
L (m) × H (m) 0,7 m × 1 m
A (m) L (m) x H (m) 0,7 m x 1 m
Jari-jari hidrolis (R) = = = = 0,629 m
P (m) L (m) + 2H (m) 0,7 m + (2 × 1 m)

v(m/s)×n 2 0,001162 m/s × 0,012 2


Headloss (Hf) =( ) x P(m) = ( ) x 0,7 m = 2,514 × 10-10 m
R(m)3/2 (0,629 m)3/2

2. Biofilter Anaerob
- Headloss pipa influen
Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s = 0,8102 l/s
Panjang pipa (l) = 3,5 m
Diameter (d) = 0,04 m = 40 mm = 4 cm
Koefisien PVC (C) = 150
K (elbow, flanged) = 0,3
Percepatan gravitasi = 9,81 m/s2

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = = π = 0,6 m/s
A (m2) (0,04 m2)
4

Q (l/s) 1,85
Headloss mayor (Hfmayor) =( 2,63 ) × 3,5 (m)
0,00155×C×D (cm)

0,8102 l/s 1,85


=( 2,63 ) × 3,5 m = 0,0415 m
0,00155×150×4 cm

(v (m/s))
2 (0,6 m/s)2
Headloss minor (Hfminor) = k 2g (m/s2 ) = ((2 x 0,3) + 1) = 0,0339 m
2 x 9,81 m/s2

Headloss total influen (Hf) = Hfmayor + Hfminor = 0,0415 m + 0,0339 m = 0,0754 m

Universitas Pertamina - 67
- Headloss biofilter anaerob
Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s
Panjang (P) = 4,2 m
Lebar (L) = 2,1 m
Kedalaman (H) = 1,9 m
Koefisien beton (n) = 0,012

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = = = 0,000203 m/s
L (m) × H (m) 2,1 m × 1,9 m
A (m) L (m) x H (m) 2,1 m x 1,9 m
Jari-jari hidrolis (R) = = = = 0,676 m
P (m) L (m) + 2H (m) 2,1 m + (2 × 1,9 m)

v(m/s)×n 2 0,000203 m/s × 0,012 2


Headloss (Hf) =( ) x P(m) = ( ) x 4,2 m = 4,2086 × 10-11 m
R(m)3/2 (0,676 m)3/2

- Headloss media
Perencanaan:
Panjang media (P) =4m
Kedalaman media (H) = 1,2 m
Ukuran rongga (d) = 0,02 m
Faktor bentuk (ψ) = 0,78 m
Porositas media (ɛ) = 0,98
Temperatur (T) = 25 oC
Viskositas dinamis (µ) = 0,89 x 10-3 kg/m.s
Massa jenis air (ρ) = 997 kg/m3
Percepatan gravitasi (g) = 9,81 m/s2

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan filtrasi (v) = = = 0,0001 m/s
P (m) × L (m) x ɛ 4 m × 2,1 m × 0,98
ψ × ρ ×d × v 0,78 × 997 𝑘𝑔/m3×0,02 𝑚×0,0001 𝑚/𝑠
Bilangan reynold (Nre) = = = 1,722
μ 0,89 x 10-3 kg/m.s
24 3 24 3
Koefisien drag (CD) = + + 0,34 = + + 0,34 = 16,567
Nre √Nre 0,861 √0,861
CD × H × v2 16,567 × 1,2 m × (0,0001 m/s)2
Headloss (Hfmedia) = 1,067 = 1,067 = 1,46×10-6 m
ψ ×d × ɛ4 ×g 0,78 × 0,02 m × (0,984) × 9,81 m/s2

3. Biofilter Aerob
- Headloss pipa influen
Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s = 0,8102 l/s
Panjang pipa (l) =1m
Diameter (d) = 0,04 m = 40 mm = 4 cm
Koefisien PVC (C) = 150

Universitas Pertamina - 68
K (elbow, flanged) = 0,3
Percepatan gravitasi = 9,81 m/s2

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = = π = 0,6 m/s
A (m2) (0,04 m2)
4

Q (l/s) 1,85
Headloss mayor (Hfmayor) =( 2,63 ) × l (m)
0,00155×C×D (cm)

0,8102 l/s 1,85


=( 2,63 ) × 1 m = 0,01184 m
0,00155×150×4 cm

(v (m/s))
2 (0,6 m/s)2
Headloss minor (Hfminor) = k 2g (m/s2 ) = ((2 x 0,3) + 1) = 0,02936 m
2 x 9,81 m/s2

Headloss total influen (Hf) = Hfmayor + Hfminor = 0,0415 m + 0,0594 m = 0,04121 m

- Headloss biofilter aerob


Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s
Panjang (P) =4m
Lebar (L) = 2,2 m
Kedalaman (H) = 1,9 m
Koefisien beton (n) = 0,012

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = = = 0,000194 m/s
L (m) × H (m) 2,2 m × 1,9 m
A (m) L (m) x H (m) 2,2 m x 1,9 m
Jari-jari hidrolis (R) = = = = 0,697 m
P (m) L (m) + 2H (m) 2,2 m + (2 × 1,9 m)

v(m/s)×n 2 0,000194 m/s × 0,012 2


Headloss (Hf) =( ) x P(m) = ( ) x 4 m = 3,5038 × 10-11 m
R(m)3/2 (0,697 m)3/2

- Headloss media
Perencanaan:
Panjang media (P) =2m
Kedalaman media (H) = 1,2 m
Ukuran rongga (d) = 0,02 m
Faktor bentuk (ψ) = 0,78 m
Porositas media (ɛ) = 0,98
Temperatur (T) = 25 oC
Viskositas dinamis (µ) = 0,89 x 10-3 kg/m.s
Massa jenis air (ρ) = 997 kg/m3
Percepatan gravitasi (g) = 9,81 m/s2

Universitas Pertamina - 69
Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan filtrasi (v) = = = 0,00019 m/s
P (m) × L (m) x ɛ 2 m × 2,2 m × 0,98
ψ × ρ ×d × v 0,78 × 997 kg/m3 × 0,02 m × 0,00019 m/s
Bilangan reynold (Nre) = = = 3,283
μ 0,89 x 10-3 kg/m.s
24 3 24 3
Koefisien drag (CD) = + + 0,34 = + + 0,34 = 9,305
Nre √Nre 3,283 √3,283
CD × H × v2 9,305 × 1,2 m × (0,00019 m/s)2
Headloss (Hfmedia) = 1,067 = 1,067 = 2,98×10-6 m
ψ ×d × ɛ4 ×g 0,78 × 0,02 m × (0,984) × 9,81 m/s2

4. Bak Pengendap Akhir


- Headloss pipa influen
Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s = 0,8102 l/s
Panjang pipa (l) =1m
Diameter (d) = 0,04 m = 40 mm = 4 cm
Koefisien PVC (C) = 150
K (elbow, flanged) = 0,3
Percepatan gravitasi = 9,81 m/s2

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = 2
= π = 0,6 m/s
A (m ) (0,04 m2)
4

Q (l/s) 1,85
Headloss mayor (Hfmayor) =( 2,63 ) × l (m)
0,00155×C×D (cm)

0,8102 l/s 1,85


=( ) × 1 m = 0,01184 m
0,00155×150×4 cm2,63

(v (m/s))
2 (0,6 m/s)2
Headloss minor (Hfminor) = k 2g (m/s2 ) = ((2 x 0,3) + 1) = 0,02936 m
2 x 9,81 m/s2

Headloss total influen (Hf) = Hfmayor + Hfminor = 0,0415 m + 0,0594 m = 0,04121 m

- Headloss bak pengendap akhir


Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s
Panjang (P) = 2,5 m
Lebar (L) = 1,2 m
Kedalaman (H) = 1,9 m
Koefisien beton (n) = 0,012

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = = = 0,000344 m/s
L (m) × H (m) 1,2 m × 1,9 m
A (m) L (m) x H (m) 1,2 m x 1,9 m
Jari-jari hidrolis (R) = = = = 0,467 m
P (m) L (m) + 2H (m) 1,2 m + (2 × 1,9 m)

Universitas Pertamina - 70
v(m/s)×n 2 0,000344 m/s × 0,012 2
Headloss (Hf) =( ) x P(m) = ( ) x 2,5 m = 1,166 × 10-10 m
R(m)3/2 (0,467 m)3/2

- Headloss outlet
Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s
Panjang (P) = 0,5 m
Lebar (L) = 1,2 m
Kedalaman (H) = 0,5 m
Koefisien beton (n) = 0,012

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = = = 0,00131 m/s
L (m) × H (m) 1,2 m × 0,5 m
A (m) L (m) x H (m) 1,2 m x 0,5 m
Jari-jari hidrolis (R) = = = = 0,777 m
P (m) L (m) + 2H (m) 1,2 m + (2 × 0,5 m)

v(m/s)×n 2 0,00131 m/s × 0,012 2


Headloss (Hf) =( ) x P(m) = ( ) x 0,5 m = 1,725 × 10-10 m
R(m)3/2 (0,777 m)3/2

5. Bak Desinfeksi
- Headloss pipa influen
Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s = 0,8102 l/s
Panjang pipa (l) = 2,43 m
Diameter (d) = 0,04 m = 40 mm = 4 cm
Koefisien PVC (C) = 150
K (elbow, flanged) = 0,3
Percepatan gravitasi = 9,81 m/s2

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = = π = 0,6 m/s
A (m2) (0,04 m2)
4

Q (l/s) 1,85
Headloss mayor (Hfmayor) =( ) × l (m)
0,00155×C×D (cm)2,63

0,8102 l/s 1,85


=( 2,63 ) × 2,43 m = 0,02883 m
0,00155×150×4 cm

(v (m/s))
2 (0,6 m/s)2
Headloss minor (Hfminor) = k 2g (m/s2 ) = ((3 x 0,3) + 1) = 0,03486 m
2 x 9,81 m/s2

Headloss total influen (Hf) = Hfmayor + Hfminor = 0,0288 m + 0,0349 m = 0,06369 m

- Headloss bak desinfeksi


Perencanaan:
Debit (Q) = 70 m3/ hari = 0,0008 m3/s

Universitas Pertamina - 71
Panjang (P) = 1,9 m
Lebar (L) = 0,5 m
Kedalaman (H) = 0,5 m
Koefisien beton (n) = 0,012

Perhitungan:
Q (m3/s) 0,0008 m3/s
Kecepatan (v) = = = 0,00324 m/s
L (m) × H (m) 0,5 m × 0,5 m
A (m) L (m) x H (m) 0,5 m x 0,5 m
Jari-jari hidrolis (R) = = = = 0,167 m
P (m) L (m) + 2H (m) 0,5 m + (2 × 0,5 m)

v(m/s)×n 2 0,00324 m/s × 0,012 2


Headloss (Hf) =( ) x P(m) = ( ) x 1,9 m = 3,206×10-8 m/jalur
R(m)3/2 (0,167 m)3/2

= 3 jalur x 3,206 × 10-8 m/jalur = 9,618×10-8 m

Universitas Pertamina - 72
Lampiran 5: Rencana Anggaran Biaya
Harga
No Uraian Pekerjaan Satuan Koefisien Jumlah (Rp)
Satuan (Rp)
1(a) Pembersihan Lokasi m2 1,000
Pekerja OH 0,100 85.500,00 8.550,00
Mandor OH 0,050 198.000,00 9.900,00
Jumlah 18.450,00
2(a) Galian Tanah Biasa m3 1,000
Pekerja OH 0,750 85.500,00 64.125,00
Mandor OH 0,025 198.000,00 4.950,00
Jumlah 69.075,00
3(a) Beton K-300 m3 1,000
Semen Portland 40 kg zak 10,325 56.700,00 585.427,50
3
Pasir Beton m 0,426 182.400,00 77.629,44
Batu pecah mesin 1/2 m3 0,537 271.200,00 145.742,88
Air (biaya air tawar) It 215,000 100,00 21.500,00
Pekerja OH 1,650 85.500,00 141.075,00
Tukang Batu OH 0,275 109.300,00 30.057,50
Kepala Tukang Batu OH 0,028 133.200,00 3.729,60
Mandor OH 0,083 198.000,00 16.434,00
Jumlah 1.021.595,92
4(a) Pembesian Dengan Besi Ulir 39 kg 1,000
Besi beton ulir kg 1,050 10.900,00 11.445,00
Kawat beton (bendrat) kg 0,015 17.600,00 264,00
Pekerja OH 0,007 85.500,00 598,50
Tukang Besi OH 0,007 109.300,00 765,10
Kepala Tukang Besi OH 0,001 133.200,00 93,24
Mandor OH 0,000 198.000,00 79,20
Jumlah 13.245,04
5(a) Bekisting Balok Struktur m3 1,000
Kayu meranti usuk m3 0,020 3.498.000,00 69.960,00
Paku Biasa 2”-5” kg 0,400 15.900,00 6.360,00
Minyak Begesting ltr 0,200 7.100,00 1.420,00
Balok Kayu Meranti m3 0,018 4.161.000,00 74.898,00
Multiplek tebal 12 mm lbr 0,350 175.400,00 61.390,00
Dolken Kayu Gelam 8-10/400
btg 2,000 15.000,00 30.000,00
cm
Jumlah bahan 244.028,00
Pekerja OH 0,660 85.500,00 56.430,00
Tukang Kayu OH 0,330 109.300,00 36.069,00
Kepala Tukang Kayu OH 0,033 133.200,00 4.395,60
Mandor OH 0,033 198.000,00 6.534,00
Jumlah upah 103.428,60

Universitas Pertamina - 73
Harga
No Uraian Pekerjaan Satuan Koefisien Jumlah (Rp)
Satuan (Rp)
Bahan Begesting 2x pakai 0,500 244.028,00 122.014,00
Upah Begesting 2x pakai 1,000 103.428,60 103.428,60
Jumlah begesting 2x pakai 225.442,60
6(a) Bekisting Plat Lantai m3 1,000
3
Kayu meranti usuk m 0,0238 3.498.000,00 83.252,40
Paku Biasa 2”-5” kg 0,4000 15.900,00 6.360,00
Minyak Begesting ltr 0,2000 7.100,00 1.420,00
Balok Kayu Meranti m3 0,0150 4.161.000,00 62.415,00
Multiplek tebal 12 mm lbr 0,3500 175.400,00 61.390,00
Dolken Kayu Gelam 8-10/400
btg 6,0000 15.000,00 90.000,00
cm
Jumlah bahan 304.837,40
Pekerja OH 0,660 85.500,00 56.430,00
Tukang Kayu OH 0,330 109.300,00 36.069,00
Kepala Tukang Kayu OH 0,033 133.200,00 4.395,60
Mandor OH 0,033 198.000,00 6.534,00
Jumlah upah 103.428,60
Bahan Begesting 2x pakai 0,500 304.837,40 152.418,70
Upah Begesting 2x pakai 1,000 103.428,60 103.428,60
Jumlah begesting 2x pakai 255.847,30
7) Media sarang tawon m2 1,000 1.800.000,00 1.800.000,00
8(b) Pipa PVC 1 ½” m 1,000 25.740,00 25.740,00
9(c) Pompa submersible m 1,000 3.787.435,08 3.787.435,08
10(d) Blower unit 1,000 38.000.000,00 38.000.000,00
11(e) Diffuser unit 1,000 130.000,00 130.000,00
11(f) Pompa sirkulasi unit 1,000 660.000,00 660.000,00
13(g) Pompa dosing unit 1,000 4.800.000,00 4.800.000,00

Sumber: a. Standar Nasional Indonesia (2018), b. Pipa Air (2019), c. Cool Tech Pumps (2020), d.
Balaiiklan (2019), e. PT Bumi Wirastraya Sejahtera (2020), f. PT Indo Lotte Makmur
(2020), g. PT Sandai Indah Jaya (2020)

Universitas Pertamina - 74
Lampiran 6: Layout PT FH Tangerang

Universitas Pertamina - 75
Lampiran 7: Gambar DED Sumur Pengumpul PT FH

Universitas Pertamina - 76

Anda mungkin juga menyukai