ABSORPSI
REAKTIF
ALI ALTWAY
SUSIANTO
LILY PUDJIASTUTI
SITI NURKHAMIDAH
1
KATA PENGANTAR
Absorpsi Reaktif merupakan aspek penting didalam industry kimia pada
proses pemisahan atau pemurnian gas, merupakan salah satu tema penelitian
laboratorium perpindahan panas dan massa dan merupakan salah satu pokok bahasan
dari mata kuliah Teknologi Pemisahan di departemen teknik kimia Institut Teknologi
Sepuluh Nopember(ITS) Surbaya. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah LBE (Lab
based education) di laboratorium Perpindahan Panas dan Massa pada departemen teknik
kimia ITS. Banyak penelitian penelitian yang telah dilakukan baik secara teoritis
maupun eksperimental dalam aspek absorpsi reaktif ini yang berkaitan dengan studi
kinetika absorpsi reaktif dan simulasi dan desain alat absorber reaktif. Buku Kinetika
Absorpsi Reaktif ini membahas bagaimana memprediksi laju absorpsi reaktif. Informasi
ini penting untuk mendesain alat absorber. Didalam buku ini terdapat kumpulan data
kajian kinetika absorpsi reaktif berbagai sistim dari banyak peneliti termasuk penelitian
penelitian yang dilakukan di laboratorium perpindahan panas dan massa ITS. Buku ini
akan dilanjutkan dengan buku kedua “Desain Absorber Reaktif” yang membahas
mengenai metoda perancangan beberapa alat absorber reaktif
Sebagai sebuah karya ilmiah, buku ini diharapkan memperkaya khasanah pustaka
Kimia dan Keteknikkimiaan di negeri kita. Saya membuka diri pada semua pihak untuk
memberikan kritik dan saran yang diperlukan untuk memperbaiki dan mengembangkan
buku ini. Perkembangan itu diharapkan memberikan kontribusi kuat bagi terbentuknya
tenaga ahli Teknik Kimia yang mumpuni di Indonesia.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan ITS, rekan-rekan Dosen ITS
Surabaya dan Para mahasiswa yang memberikan dinamika kehidupan pada kami sebagai
tenaga pendidik. Kepada mereka buku ini saya dedikasikan.
Akhirnya tapi bukan yang terakhir ucapan terima kasih dan selamat membaca untuk
para pembaca yang budiman dimana pun berada. Semoga anda memetik manfaat atas
terbacanya buku ini. Terima kasih.
Surabaya, Pertengahan 2019
Ali Altway
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Persamaan Difusi
2.1 Absorpsi Fisik
2.2 Absorpsi Disertai Reaksi Kimia
2.2.1 Reaksi Berkesudahan (Reaksi irreversible)
2.2.1.1 Reaksi order satu
2.2.1.2 Reaksi spontan
2.2.1.3 Reaksi Order dua
2,2.2 Reaksi Reversible
Bab 3 Model Perpindahan Massa pada Permukaan Antar fasa Gas-Cair
3.1 Absorpsi Fisik
3.1.1 Teori Film
3.1.2 Teori Surface Renewal
3.1.3 Teori Film-Penetrasi
3.1.4 Eddy Difusivity Model (Model King)
3.2 Absorpsi Disertai Reaksi Kimia
3.2.1 Reaksi irreversible order satu
3.2.2 Reaksi Spontan
3.2.3 Reaksi irreversible order dua
3.2.4 Reaksi irreversible umum
3.2.5 Reaksi Reversible
3.3 Regim regim Reaksi
3.4 Tahanan Film Gas
3.5 Pengaruh Volatilitas Reaktan Terlarut
3.6 Absorpsi Nonisotermal
3
DAFTAR ISI
Bab 4 Metoda Eksperimen Untuk Mengukur Kinetika Reaksi
4.1 Rotating Drum
4.2 Wetted Wall Column
4.3 Moving Band Absorber
4.4 Laminer Jet
4.5 Wetted Sphere Apparatus
4.6 Stop Flow Apparatus
4.6 Stirred Cell
Bab 5 Metoda Eksperimen untuk Mengukur Koefisien Perpindahan Massa Gas-Cair
dan Luas Antar Fasa
5.1 Koefisien Perpindahan Massa Volumetrik Sisi Cair
5.1.1 Metoda Fisika
5.1.2 Metoda Kimia
5.1.2.1 Penentuan Koefisien Volumetrik 𝒌𝒌𝑳𝑳 𝒂𝒂′ Menggunakan
Reaksi Irreversible Lambat
5.1.2.2 Penentuan Koefisien Volumetrik 𝒌𝒌𝑳𝑳 𝒂𝒂′ Menggunakan
Reaksi Spontan
5.2 Penentuan Koefisien Volumetrik Sisi Gas,𝒌𝒌𝑮𝑮 𝒂𝒂′
5.3 Penentuan Area Interfacial Gas-Cair
5.4 Pengukuran Simultan Koefisien Perpindahan Massa Volumetrik dan
Area Interfacial
Bab 6 Pelarut Kimia Beserta Properti Fisika dan Kimia
6.1 Pelarut Kimia
6.1.1 Pelarut Alkanolamine dan Asam Amino
6.1.1.1 Mono Ethanol Amine (MEA)
6.1.1.2 Di Ethanol Amine (DEA)
6.1.1.3 Methyl Di Ethanol Amine (MDEA)
6.1.1.4 Diso Propanol Amine (DIPA)
6.1.1.5 Di Glycolamine (DGA)
4
DAFTAR ISI
6.1.1.6 Tri Ethanol Amine (TEA)
6.1.2 Pelarut Kalium Karbonat
6.2 Kinetika Reaksi
6.2.1 Kinetika Reaksi Absorpsi CO2 kedalam Larutan Kalium Karbonat
6.2.2 Kinetika Reaksi Absorpsi CO2 kedalam Larutan Alkanolamine
6.2.2.1 Mekanisme Reaksi Zwiterion
6.2.2.2 Mekanisme Reaksi Termolekuler
6.2.2.3 Mekanisme Hidrasi dengan Katalis Basa
6.3 Data Kesetimbangan dan Kinetika Reaksi
6.4 Kelarutan gas-gas dalam Larutan Elektrolit
6.5 Parameter Perpindahan Massa
5
BAB 1
PENDAHULUAN
6
4. Difusi reaktan yang semula ada didalam fasa liquida, dan/atau produk reaksi
didalam fasa liquida itu sendiri, akibat gradien konsentrasi yang ditimbulkan oleh
rekasi kimia.
Langkah (2), (3) dan (4) terjadi secara bersamaan, dan saling mempengaruhi.
Sedangkan phenomena overall dari langkah (2), (3) dan (4) terjadi secara seri terhadap
langkah (1). Bila langkah (1) merupakan langkah yang mengendali, maka laju overall tak
dipengaruhi oleh reaksi kimia, dan proses bisa dianggap sebagai fenomena perpindahan
massa sederhana. Apabila laju overall dipengaruhi oleh reaksi kimia, maka langkah (2),
(3) dan (4) merupakan langkah yang mengendali.
Sudah barang tentu, reaksi kimia itu sendiri adalah penyebab dari laju
perpindahan massa overall yang tinggi didalam fasa 2 dan sehingga yang menyebabkan
langkah 1 menjadi langkah yang mengendali. Analisis perpindahan massa disertai reaksi
kimia menjadi menarik bilamana fenomena overall dari langkah (ii), (iii), dan (iv) adalah
yang mengendali. Inilah yang terutama dibahas dalam buku ini
Fenomena absorpsi disertai reaksi kimia sering kali dijumpai didalam industri.
Dalam hal ini suatu gas diserap oleh larutan suatu zat tertentu dengan mana gas yang
terlarut ini bereaksi. Tujuan dari penerapan fenomena ini di industri adalah untuk
menghilangkan suatu komponen dari campuran gas-gas atau untuk menghasilkan suatu
produksi reaksi.
Tujuan dari buku ini adalah untuk mempelajari mekanisme proses absorpsi ini dan
untuk menunjukkan bagaimana laju absorpsi bergantung pada sifat-sifat kimia dan sifat-
sifat fisika sistim yang relevan. Buku ini juga membahas metoda untuk merancang
peralatan untuk absorpsi disertai reaksi kimia.
Proses absorpsi bisa dipengaruhi oleh diffusi dan konveksi dalam fasa gas, juga
diffusi, konveksi dan reaksi pada sisi liquida. Sering kali, proses absorpsi diikuti dengan
kenaikan suhu yang bisa besar pengaruhnya terhadap laju absorpsi.
Berikut ini diberikan contoh-contoh proses dalam industri yang berkaitan dengan
absorpsi gas disertai reaksi kimia.
1. Absorpsi CO2 dan Cl2 dalam larutan BaS untuk pembuatan BaCO3 dan BaCl2.
2. absorpsi CO2 dalam suspensi kapur untuk pembuatan CaCO3.
7
3. Absorpsi CO2 dalam larutan Potassium Carbonate atau amines untuk menghilangkan
CO 2 dari synthesis gas.
4. Oxidasi cyclohexane untuk menghasilkan cyclohexanol atau cuclohexanon atau asam
adipat.
5. Oksidasi toluene untuk menghasilkan asam benzoate.
6. Chlorinasi Benzene, toluene, phenol dsb.
7. Chlorinasi larutan NaOH untuk menghasilkan Sodium Hypochlorite.
Dan banyak lagi proses-proses industri dimana proses absorpsi disertai reaksi kimia
terjadi.
.
.
8
BAB 2
PERSAMAAN DIFUSI
Fenomena diffusi merupakan “jantung” dari mekanisme proses absorpsi dengan
reaksi kimia. Berikut ini kita bahas persamaan yang berkenaan dengan fenomena diffusi.
Persamaan dasar untuk difusi disertai reaksi kimia, merupakan persamaan satu dimensi.
Konsentrasi solute seragam pada setiap bidang tegak lurus terhadap sumbu x, dan
transport solute hanya terjadi pada arah sumbu x. Fluks difusi F melalui satu luasan
permukaan tegak lurus terhadap sumbu x adalah:
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐹𝐹 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 (2.1)
𝜕𝜕𝜕𝜕
Pada umumnya kosentrasi akan berubah terhadap waktu dan posisi. Persamaan
differensial yang menghubungkan antara kosentrasi A, waktu, dan posisi pada difusi yang
disertai reaksi kimia adalah :
Pers. (2.2) disebut persamaan difusi yang merupakan persamaan dasar untuk
menganalisa fenomena absorpsi reaktif. Pada persamaan ini fenomena yang
diperhitungkan adalah difusi dan reaksi yang terjadi didalam fasa liquid. Mekanisme
difusi dan difusi terjadi bila liquida dalam kondisi tenang. Pada bab ini dibahas fenomena
diffusi gas-gas kedalam liquida tenang dimana tak ada gerakan-gerakan konveksi yang
mempengaruhi perpindahan gas. Mempelajari diffusi dalam liquida tenang adalah
penting, karena banyak informasi tentang reaksi-reaksi gas liquid yang dapat diperoleh
dengan percobaan-percobaan dalam mana liquidanya tenang. Asumsi-asumsi untuk
fenomena ini adalah :
1. Liquida mempunyai permukaan bebas yang berkontak dengan gas.
2. Permukaan liquida ini datar.
3. Liquida dianggap mempunyai kedalaman tak berhingga, artinya selama waktu proses,
fenomena diffusi ini tak akan menyebabkan perubahan konsentrasi yang nyata
didalam badan liquida.
4. Diffusi gas kedalam liquid tak mempengaruhi suhu liquida
9
5. Gradien konsentrasi semua komponen ( kecuali gas yang diserap ) akan sama dengan
nol pada permukaan batas antara gas dan liquida, kecuali bila komponen-komponen
ini menguap atau mengalami reaksi spontan pada permukaan batas ini.
Ditinjau absorpsi fisik, kemudian dilanjutkan dengan absorpsi kimia.
dimana,
𝑥𝑥
𝑥𝑥 2 2�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 2
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �2�𝐷𝐷 𝑡𝑡� = ∫0 𝑒𝑒 −𝑧𝑧 𝑑𝑑𝑑𝑑 (2.6)
𝐴𝐴 √𝜋𝜋
yang disebut “error function”. Beikut ini adalah program M-File untuk menentukan nilai
error function,
10
for i=1:n/2
B(i)=(h/3)*(y(2*i-1)+4*y(2*i)+y(2*i+1));
sigma=sigma+B(i);
end
erf=sigma;
disp(['erf = ', num2str(erf)]);
Jumlah gas yang diserap per satu satuan luas permukaan dalam waktu t diperoleh dari :
𝑡𝑡′ 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡′
𝑄𝑄(𝑡𝑡′) = ∫0 𝑅𝑅(𝑡𝑡) 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 2(𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )� 𝜋𝜋
(2.8)
Persamaan (2.8) merupakan dasar dari beberapa metode untuk mengukur koefisien
diffusi. Bentuk dari profil konsentrasi yang ditunjukkan oleh Persamaan (2-5) adalah :
t1 < t2 < t3
CA
t3
t2
t1
11
2.2. Absorpsi Disertai Reaksi Kimia
Untuk absorpsi disertai reaksi kimia, persamaan differensial yang
menggambarkannya adalah :
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = + 𝑟𝑟 (2.9)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴 𝑒𝑒 −𝑘𝑘1 𝑡𝑡
𝑅𝑅 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 �𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒��𝑘𝑘1 𝑡𝑡� + � (2.12)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑥𝑥=0 �𝜋𝜋𝑘𝑘1 𝑡𝑡
Keadaan khusus 2 (𝑘𝑘1 𝑡𝑡 > 10), dengan kesalahan kurang dari 5 %, persamaan (2.13)
bisa disederhanakan menjadi,
12
𝑄𝑄 = 𝑡𝑡𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 (2.15)
Keadaan khusus 3 (𝑘𝑘1 𝑡𝑡 < 0.5), dengan kesalahan kurang dari 5 %, persamaan (2.13)
bisa disederhanakan menjadi,
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 𝑘𝑘1 𝑡𝑡
𝑄𝑄 = 2𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
�1 + 3
� (2.16)
Penyelesaian :
Untuk tekanan parsial CO2 sebesar 1 atm, konsentrasai CO2 pada interface fasa liquida adalah,
1
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = (1) = 3 × 10−5 gmole/cm3
𝐻𝐻𝐻𝐻
Dari persamaan (2-13), semua besaran diketahui, hanya k1 yang tak diketahui. Maka k1 dapat dihitung
dengan cara trial and error, yaitu diperoleh k1 = 48 detik-1.
13
𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
𝟐𝟐𝟐𝟐√𝒕𝒕 x
Kondisi awal:
𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 > 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 0 , 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (2.19)
Kondisi Batas:
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (2.20)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 , 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 0 , 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 0 (2.21)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = ∞ , 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (2.22)
Penyelesaian Persamaan Diferensial ini adalah :
𝑥𝑥 𝛽𝛽
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
𝐶𝐶𝐴𝐴 2�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 �𝐷𝐷𝐴𝐴
= 𝛽𝛽
, 0 < 𝑥𝑥 < 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.23)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
�𝐷𝐷𝐴𝐴
𝐶𝐶𝐴𝐴
= 0, 𝑥𝑥 > 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.24)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
14
𝑥𝑥 𝛽𝛽
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
𝐶𝐶𝐵𝐵 2�𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑡𝑡 �𝐷𝐷𝐵𝐵
= 𝛽𝛽
, 𝑥𝑥 > 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.25)
𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
�𝐷𝐷𝐵𝐵
𝐶𝐶𝐵𝐵
= 0, 0 < 𝑥𝑥 < 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.26)
𝐶𝐶𝐵𝐵0
Laju absorpsi R dan jumlah absorpsi dalam waktu t,yaituQ, dapat dihitung dari :
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐷𝐷
𝑅𝑅 = 𝛽𝛽
� = 𝐸𝐸𝑖𝑖 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋𝜋𝜋𝐴𝐴 (2.27)
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� � 𝜋𝜋𝜋𝜋
�𝐷𝐷𝐴𝐴
dimana,
1
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 𝛽𝛽
(2.29)
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
�𝐷𝐷𝐴𝐴
dan β diperoleh dari hubungan stoichiometri yaitu, 𝑅𝑅𝐵𝐵 = −𝑧𝑧 𝑅𝑅𝐴𝐴 atau,
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
−𝐷𝐷𝐵𝐵 � = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � (−𝑧𝑧) (2.30)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑥𝑥=2𝛽𝛽√𝑡𝑡 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑥𝑥=2𝛽𝛽√𝑡𝑡
Atau,
𝛽𝛽2 𝛽𝛽2
𝛽𝛽 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵 𝛽𝛽
𝑒𝑒 𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �= �𝐷𝐷 𝑒𝑒 𝐷𝐷𝐴𝐴
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � (2.31)
�𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴
Ei adalah enhancement factor untuk reaksi spontan. Berarti untuk penentuan Ei , pertama
tentukan β secara numerik (iterasi) dari persamaan (2.31), kemudian harga β ini
disubstitusi ke persamaan (2.29). Berikut ini adalah Program M-file untuk penentuan
harga Ei.
15
x3=x1;
while eror>Tol
x3s=x3;
x=x1^0.5;
F_Eror_Function;
Yx1=erf;
x=x1^0.5*(DB/DA)^0.5;
F_Eror_Function;
Yxx1=erf;
F1=(CB0/(z*CAi))*(DB/DA)^0.5*exp(x1*(DB/DA))*Yxx1-exp(x1)*(1-Yx1);
x=x2^0.5;
F_Eror_Function;
Yx2=erf;
x=x2^0.5*(DB/DA)^0.5;
F_Eror_Function;
Yxx2=erf;
F2=(CB0/(z*CAi))*(DB/DA)^0.5*exp(x2*(DB/DA))*Yxx2-exp(x2)*(1-Yx2);
x3=x2-(x2-x1)*F2/(F2-F1);
x=x3^0.5;
F_Eror_Function;
Yx3=erf;
x=x3^0.5*(DB/DA)^0.5;
F_Eror_Function;
Yxx3=erf;
F3=(CB0/(z*CAi))*(DB/DA)^0.5*exp(x3*(DB/DA))*Yxx3-exp(x3)*(1-Yx3);
eror=abs((x3-x3s)/x3s);
x1=x2;
x2=x3;
end
Beta=(x3*DB)^0.5;
x=Beta/DA^0.5;
F_Eror_Function;
Yeror=erf;
Ei=1/Yeror;
disp(['Ei = ', num2str(Ei)]);
16
𝐷𝐷 𝐶𝐶 𝐷𝐷
𝐸𝐸𝑖𝑖 = � 𝐴𝐴 + 𝐵𝐵0 � 𝐵𝐵
𝐷𝐷 𝑧𝑧 𝐶𝐶 𝐷𝐷
(2.32)
𝐵𝐵 𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴
Bila DA = DB,
𝐶𝐶
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 1 + 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (2.33)
𝐴𝐴𝐴𝐴
Pada umumnya, suatu reaksi berkesudahan umum bisa dianggap spontan bila ketidak
samaan berikut dipenuhi,
𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10 𝐸𝐸𝑖𝑖 (2.34)
.dimana 𝐻𝐻𝐻𝐻 adalah bilangan Hatta yang didefinisikan sebagai berikut: 𝐻𝐻𝐻𝐻 =
𝜋𝜋 𝑛𝑛−1
�4 𝑘𝑘𝑚𝑚,𝑛𝑛 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡, dimana 𝑘𝑘𝑚𝑚,𝑛𝑛 adalah konstanta kecepatan reaksi berkesudahan umum
(order m terhadap A dan order m terhadap B). Untuk reaksi berkesudahan order dua
𝜋𝜋
(order satu terhadap A dan order satu terhadap B, 𝐻𝐻𝐻𝐻 = �4 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡
Reaksi ini bisa dianggap berkesudahan dan spontan. Hitung jumlah H2S yang diserap per cm2 permukaan
dalam waktu 0.1 detik didalam air dan didalam larutan MEA. Koefisien diffusi H2S dan MEA didalam air
berturut-turut adalah 1.4 x 10-5 dan 0.95 x 10-5 cm2/det. Kelarutan H2S dalam air adalah 0.1 gmole
(lt )( atm )
Penyelesaian :
a. Air :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 1.48×10−5 ×0.1 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑄𝑄 = 2𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � = 2 × 0.1 × 10−3 � = 1.4 × 10−7
𝜋𝜋 𝜋𝜋 𝑐𝑐𝑐𝑐2
b. Larutan MEA :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄 = 2𝐸𝐸𝑖𝑖 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
17
2.2.1.3. Reaksi-reaksi orde dua
Ditinjau reaksi berikut yang mempunyak kinetika reaksi irreversible order dua,
𝐴𝐴 + 𝑧𝑧 𝐵𝐵 → 𝑦𝑦 𝑃𝑃
𝑟𝑟 = −𝑟𝑟𝐴𝐴 = 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵
Profil konsentrasi A dan B pada umumnya adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2-4.
CB0
CB
CAi
CA
CA0
Gambar 2-4 : Profil konsentrasi untuk absorpsi yang disertai reaksi orde dua.
18
Persamaan-persamaan ini telah diselesaikan secara numerik oleh Brian et. al (1961). Dari
penyelesaian numerik ini dapat diperoleh fluks absorpsi R, jumlah mole gas A yang
terabsorpsi persatuan luas antar fasa dalam waktu t , yaitu Q, dan enhancement factor E,
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝑅𝑅 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � (2.38)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑥𝑥=0
𝑡𝑡
𝑄𝑄 = ∫0 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 (2.39)
𝑄𝑄 𝜋𝜋
𝐸𝐸 = 2𝐶𝐶 �𝐷𝐷 (2.40)
𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴 𝑡𝑡
Dimana 𝐸𝐸𝑖𝑖 adalah enhancement factor untuk reaksi spontan, sedang ∅ didefinisikan
sebagai berikut,
𝐸𝐸 −𝐸𝐸
∅ = 𝐻𝐻𝐻𝐻� 𝐸𝐸𝑖𝑖 −1 (2.42)
𝑖𝑖
𝜋𝜋
𝐻𝐻𝐻𝐻 = �4 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡 (2.43)
𝐷𝐷𝐵𝐵
Kesalahan penaksiran E dari Persamaan (2.41) ini tak melebihi 10 % bila > 1, dan
𝐷𝐷𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐵𝐵
12% bila > 0.1. Berikut ini program M-File untuk penentuan nilai E dari Persamaan
𝐷𝐷𝐴𝐴
(2.41)
19
Ada beberapa keadaan khusus :
1) Bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 1 (𝐻𝐻𝐻𝐻 < 0.5) → 𝐸𝐸 ≅ 1
Dalam hal ini, waktu kontak antara gas dan liquida sangat cepat, atau reaksi sangat
lambat. Sehingga absorpsi fisik yang dominan, reaksi tak banyak berpengaruh.
1
2) Bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 �𝐻𝐻𝐻𝐻 < 2 𝐸𝐸𝑖𝑖 �
Pada keadaan ini, reaksi adalah orde satu semu dengan konstanta kecepatan reaksi
orde satu 𝑘𝑘1 = 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 . Keadaan ini menyatakan bahwa reaktan B sangat berlebih,
sehingga konsentrasi reaktan B disemua tempat dalam fasa liquida konstan yaitu C B0 .
1
Bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 2 𝐸𝐸𝑖𝑖 , asumsi reaksi orde satu semu memberikan kesalahan tak lebih dari
10%
1
3) Bila 1 ≪ 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 �3 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 2 𝐸𝐸𝑖𝑖 �
Pada keadaan ini, waktu kontak sangat lama dan reaktan B sangat berlebih atau reaksi
bisa didekati dengan reaksi order satu semu cepat. Maka :
𝐸𝐸 = 𝐻𝐻𝐻𝐻 (2.44)
4) Bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≫ 𝐸𝐸𝑖𝑖 (𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10 𝐸𝐸𝑖𝑖 ) → 𝐸𝐸 = 𝐸𝐸𝑖𝑖
Dalam hal ini reaksi order dua bisa dianggap sebagai reaksi spontan. Bila𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10𝐸𝐸𝑖𝑖
, maka E dan Ei bedanya hanya beberapa persen saja.
Hikita dan Asai (1964) menunjukkan bahwa penyelesaian pendekatan untuk
enhancement factor bila reaksi berkesudahan orde dua terjadi adalah :
𝜋𝜋 2∅ 1 −4∅2
𝐸𝐸 = �∅ + 8∅� 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � + 2 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � (2.45)
√𝜋𝜋 𝜋𝜋
Reaksi ini orde dua dan pada 200 C konstanta kecepatan reaksinya 300 lt/(gmole det.). Fasa liquida
mengandung 1 M NH3. Fasa gas merupakan gas CO2 murni pada 1 atm, sehingga CAi= 4 x 10-5 gmole/cm3.
Anggap diffusivity CO2 dan NH3 sama. Tentukan harga E dan Ha untuk berbagai range waktu kontak
berikut:
a. t < 10-3 detik
20
b. 10-3 < t < 2.6 x 10-2
c. 2.6 x 10-2 < t < 0.085
d. 0.085 < t < 42
e. t > 42
Penyelesaian :
Untuk reaksi ini → z = 2
𝐶𝐶𝐵𝐵0 10−3
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 1 + =1+ = 13.5
𝑧𝑧𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 2×4×10−5
𝜋𝜋 𝜋𝜋
𝐻𝐻𝐻𝐻 = � 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡 = � × 300 × 1 × 𝑡𝑡 = 15.4 × √𝑡𝑡
4 4
a) t < 10-3 detik → 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 0.6 → 𝐸𝐸 = 1 (Reaksi tak mempercepat absorpsi fisik).
b) 10−3 < 𝑡𝑡 < 2.6 × 10−2 → 0.6 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 2.5 → berarti reaksi adalah orde satu semu. Harga Q dapat
Persamaan differensial yang menggambarkan proses absorpsi dengan reaksi reversibel ini
adalah :
21
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝑃𝑃
𝐷𝐷𝐴𝐴 = + 𝑘𝑘1 �𝐶𝐶𝐴𝐴 − � (2.49)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝐾𝐾
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝑃𝑃 𝜕𝜕𝐶𝐶𝑃𝑃 𝐶𝐶𝑃𝑃
𝐷𝐷𝑃𝑃 = − 𝑘𝑘1 �𝐶𝐶𝐴𝐴 − � (2.50)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝐾𝐾
𝑘𝑘 𝑡𝑡 𝐾𝐾2
1
𝛼𝛼1 = �𝐾𝐾(𝐾𝐾−1) , 𝛽𝛽1 = 𝐾𝐾2−1 (2.55)
𝑘𝑘 𝑡𝑡 𝐾𝐾2
1
𝛼𝛼2 = �𝐾𝐾(1−𝐾𝐾) , 𝛽𝛽1 = 1−𝐾𝐾2 (2.57)
𝑦𝑦 2
𝑓𝑓𝑓𝑓(𝑦𝑦) = ∫0 𝑒𝑒 𝑧𝑧 𝑑𝑑𝑑𝑑 (2.58)
Dalam praktek, reaksi-reaksi reversibel yang benar-benar orde satu untuk kedua arah
tidak umum. Tapi, sering kita jumpai reaksi-reaksi yang orde satu terhadap konsentrasi
gas terlarut dan konsentrasi reaktan adalah seragam, sehingga reaksi kekanan merupakan
reaksi orde satu semu. Konsentrasi produk seragam, sehingga reaksi kekiri hampir sama
pada semua titik. Dalam keadaan ini persamaan differensial yang menggambarkannya
adalah :
𝜕𝜕2 (𝐶𝐶𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ) 𝜕𝜕(𝐶𝐶𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 )
𝐷𝐷𝐴𝐴 = + 𝑘𝑘1 (𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ) (2.59)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕
22
𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 , 𝑥𝑥 = 0, 𝑡𝑡 > 0 (2.60b)
𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = 0, 𝑥𝑥 = ∞, 𝑡𝑡 > 0 (2.60c)
Persamaan differensial dan kondisi batas diatas adalah sama dengan keadaan untuk reaksi
irreversibel orde satu, hanya saja 𝐶𝐶𝐴𝐴 diganti dengan (𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ).
Penyelesaian:
Dari data diatas, diperoleh :
23
BAB 3
MODEL PERPINDAHAN MASSA PADA PERMUKAAN
ANTAR FASA GAS-CAIR
Fenomena absorpsi reaktif sering dilakukan dengan adanya pengadukan atau golakan
dalam fasa liquid atau gas. Golakan ini dimaksudkan untuk mempercepat laju absorpsi..
Pengadukan bisa terjadi dalam banyak hal, antara lain,
a. Liquida mengalir sebagai lapisan pada permukaan vertikal atau miring, dan alirannya
turbulen. Diskontinuitas permukaan bisa menyebabkan pencampuran lapisan liquida.
( Contoh : packed Column ).
b. Gas ditiup melalui liquida ( sparged Vessel, bubble-plate )
c. Liquida diaduk dengan pengaduk yang juga mendistribusikan gelembung-gelembung
gas kedalam liquida.
d. Liquida di spray melalui gas sebagai tetesan-tetesan atau jet.
Dalam hal ini gas berpindah selain karena diffusi juga karena konveksi dan turbulen.
Sehingga dibutuhkan model penyederhanaan untuk menganalisa fenomena absorpsi
reaktif.
Ditinjau : − Absorpsi fisik
− Absorpsi dengan reaksi kimia
3.1 Absorpsi Fisik
Laju absorpsi per satuan luas interface bisa dinyatakan dengan 𝑅𝑅 = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ),
dimana R adalah fluksi absorpsi , 𝑘𝑘𝐿𝐿 adalah koefisien perpindahan massa 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 adalah
konsentrasi gas berkesetimbangan yang sesuai dengan tekanan parsial gas pada interface
dan 𝐶𝐶𝐴𝐴0 adalah konsentrasi gas didalam badan ( bulk ) liquida.
24
cair. Berikut beberapa model secara teoritis yang telah dikembangkan untuk
menggambarkan perpindahan massa dari suatu interface.
Koefisien perpindahan massa sisi liquida, 𝑘𝑘𝐿𝐿 , untuk absorpsi fisik didefinisikan sebagai
𝑅𝑅
berikut: 𝑘𝑘𝐿𝐿 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
(3.3)
𝐷𝐷𝐴𝐴
Substitusi Pers. (3.4 ) ke Pers. (3.1) menghasilakan 𝑘𝑘𝐿𝐿 = (3.5)
𝛿𝛿
25
Permukaan batas
gas-liquid Film Liquid
Badan Liquid
26
liquida
Model surface renewal pertama kali disarankan oleh Higbie. Model Higbie ini,
menganggap waktu kontak elemen-elemen liquida dipermukaan dengan gas dianggap
sama dan dinyatakan dengan parameter waktu penetrasi θ. Waktu penetrasi ini
ditentukan oleh sifat sifat hidrodinamika sistim. Makin turbulen liquidanya, pergantian
elemen-elemen liquida makin sering, berarti harga ϴ makin kecil.
Proses difusi molekuler tidak steady didalam masing-masing elemen liquida
dinyatakan dengan persamaan diferensial,
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = (3.6)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕
𝑡𝑡 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = ∫0 𝑅𝑅 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 2(𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )� 𝜋𝜋
(3.10)
Dan laju absorpsi rata-rata dengan model Higbie bisa diperoleh dari,
𝑄𝑄(𝜃𝜃) 𝐷𝐷
𝑅𝑅� = = 2(𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )�𝜋𝜋𝜋𝜋𝐴𝐴 (3.11)
𝜃𝜃
27
Sedangkan definisi koefisien perpindahan massa dinytakan dengan Persamaan
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝑖𝑖 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ) (3.12)
Sehingga koefisien perpindahan massa dengan model Higbie dinyatakan sebagai berikut,
𝐷𝐷
𝑘𝑘𝐿𝐿 = 2�𝜋𝜋𝜋𝜋𝐴𝐴 (3.13)
Integral pada Persamaan (3.15) bisa dinyatakan dengan fungsi Gamma yaitu,
∞ 1
∫0 𝑡𝑡 𝑛𝑛 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑠𝑠𝑛𝑛+1 𝛤𝛤(𝑛𝑛 + 1) (3.16)
28
keseluruhan tahanan perpindahan berada didalam suatu film dengan ketebalan tertentu δ .
Arus Eddy bergerak ke dan dari badan fluida dan film ini. Distribusi waktu tinggal di
dalam film adalah sebagaimana tipe Higbie atau Danckwerts . Hukum Fick kedua
berlaku, (Pers. 3.6), tapi kondisi batasnya seperti pada Pers. (3.19)
𝑡𝑡 = 0, 0 ≤ 𝑥𝑥 ≤ 𝛿𝛿 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.19a)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.19b)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 𝛿𝛿 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.19c)
pada bidang antar fasa gas-liquida. Pada waktu yang singkat, penyelesaiannya adalah,
𝐷𝐷 0.5 𝑛𝑛2 𝛿𝛿 2
𝑅𝑅 = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) � 𝜋𝜋𝜋𝜋𝐴𝐴� �1 + 2 ∑∞
𝑛𝑛=1 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �� (3.21)
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
1
𝑠𝑠
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )(𝑠𝑠𝐷𝐷𝐴𝐴 )2 �1 + 2 ∑∞
𝑛𝑛=1 exp �−2𝑛𝑛𝑛𝑛 �𝐷𝐷 �� (3.24)
𝐴𝐴
Atau,
1
𝑠𝑠
𝑘𝑘𝐿𝐿 = (𝑠𝑠𝐷𝐷𝐴𝐴 )2 �1 + 2 ∑∞
𝑛𝑛=1 exp �−2𝑛𝑛𝑛𝑛 �𝐷𝐷 �� (3.25)
𝐴𝐴
29
Atau,
𝐷𝐷 1
𝑘𝑘𝐿𝐿 = � 𝛿𝛿𝐴𝐴� �1 + 2 ∑∞
𝑛𝑛=1 exp � 𝐷𝐷 �� (3.27)
1+𝑛𝑛2 𝜋𝜋 2 𝐴𝐴2
𝑠𝑠 𝛿𝛿
Pers (3.24) dan (3.26) mengandung parameter s bukan waktu kontak. Untuk laju
pergantian permukaan, (sδ2/DA) yang tinggi, Pers. (3.24) menjadi
𝑅𝑅� = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑠𝑠 (3.28)
sama dengan persamaan Danckwerts. Untuk laju pergantian permukaan yang rendah,
pers. (3-26) berubah menjadi persamaan film.
𝐷𝐷
𝑅𝑅� = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) � 𝛿𝛿𝐴𝐴� (3.29)
Pada kondisi diantara kedua nya, 𝑘𝑘𝐿𝐿 berbanding lurus dengan 𝐷𝐷𝐴𝐴𝑛𝑛
𝑘𝑘𝐿𝐿 ∝ 𝐷𝐷𝐴𝐴𝑛𝑛 (3.30)
dimana nilai n =1 untuk model film dan n = 0.5 untuk model penetrasi maupun model
Danckwertz. Model film-penetrasi nilai n berkisar 0.5 < n < 1. Penerapan teori model
film-penetrasi susah karena tidak adanya data mengenai δ dan s.
Dimana,
30
𝜀𝜀(𝑥𝑥) = 𝑎𝑎𝑥𝑥 2 (3.32)
𝑎𝑎 = 7.9 × 10−5 𝑅𝑅𝑅𝑅 1.678 (𝑅𝑅𝑅𝑅 = 1700 − 8500) (3.33)
Model ini cukup realistis namun sederhana. Persamaan differensial dalam aliran
turbulen untuk orde 1 absorpsi CO2 dengan carbonate-bicarbonate oleh Mendez-Sandall,
adalah sebagai berikut :
𝑑𝑑 𝑑𝑑𝐶𝐶𝐴𝐴
𝑑𝑑𝑑𝑑
�{𝐷𝐷𝐴𝐴 + 𝜀𝜀(𝑥𝑥)} � − 𝑘𝑘(𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ) = 0 (3.34)
𝑑𝑑𝑑𝑑
Model Film
Persamaan diffusi yang berlaku,
𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴 (3.35)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2
�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1
dimana 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 𝑘𝑘𝐿𝐿
31
𝑑𝑑𝐶𝐶 𝐶𝐶 𝐻𝐻𝐻𝐻
𝑅𝑅� = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � 𝑑𝑑𝑑𝑑𝐴𝐴 � = 𝑘𝑘𝐿𝐿 �𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − cosh𝐴𝐴0 � tanh 𝐻𝐻𝐻𝐻
(3.38)
𝑥𝑥=0 √𝑀𝑀
Model Higbie
Dalam hal ini persamaan difusi yang berlaku adalah,
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
= + 𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴 (3.41)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕
dimana,
4𝐷𝐷𝐴𝐴 4𝐻𝐻𝐻𝐻2
𝜃𝜃 = = (3.45)
𝜋𝜋𝑘𝑘𝐿𝐿2 𝜋𝜋𝑘𝑘1
sehingga,
2 𝐻𝐻𝐻𝐻2
𝜋𝜋 4𝐻𝐻𝐻𝐻 1 𝐻𝐻𝐻𝐻 2𝐻𝐻𝐻𝐻
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �4𝐻𝐻𝐻𝐻� �� 𝜋𝜋 + 2� 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �2 � + 𝜋𝜋 𝑒𝑒 −4 𝜋𝜋 � (3.46)
√𝜋𝜋
32
Model Danckwertz
Untuk model persamaan diffusi yang ditunjukkan pada persamaan (3.41) dengan
kondisi awal dan batas pada persamaan (3.42) diselesaikan dengan metoda transformasi
Laplace. Dalam hal ini persamaan (3.41) dan (3.42) dioperasikan dengan transformasi
Laplace dan diperoleh,
𝑑𝑑2 ����
𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = ���
𝐶𝐶𝐴𝐴 (𝑘𝑘1 + 𝑠𝑠) (3.49)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2
dan,
𝑥𝑥 = 0, ���
𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.50a)
𝑥𝑥 = ∞, ���
𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.50b)
dimana,
∞
���
𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝑠𝑠 ∫0 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.51)
Penyelesaian Persmaan Differensial diatas adalah:
𝐶𝐶𝐴𝐴0 −𝑥𝑥𝑘𝑘 𝐷𝐷 𝑘𝑘
���
𝐶𝐶𝐴𝐴 = �𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 1+𝑀𝑀 � 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � 𝐷𝐷 𝐿𝐿 �1 + 𝑘𝑘𝐴𝐴2 1� (3.52)
𝐴𝐴 𝐿𝐿
Atau,
𝑑𝑑 ∞ ����
𝑑𝑑𝐶𝐶
𝑅𝑅� = −𝐷𝐷𝐴𝐴 �𝑑𝑑𝑑𝑑 �𝑠𝑠 ∫0 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑�� = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � 𝑑𝑑𝑑𝑑𝐴𝐴 � (3.53)
𝑥𝑥=0 𝑥𝑥=0
dan
𝐸𝐸 = 𝐻𝐻𝐻𝐻 (3.56)
33
3.2.2 Reaksi-reaksi Spontan
Model Film
Pandanglah reaksi : A + z B → yP
Profil konsentrasi A dan B dalam fasa liquid untuk type reaksi ini adalah :
CB0
CAi
δ’ δ x
Gambar 3.3 Profil konsentrasi didalam film liquid untuk reaksi spontan
Reaktan A dan B berdiffusi ke bidang reaksi pada jarak δ dari permukaan. B harus
berdiffusi z kali lebih cepat dari pada A, yaitu :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝑧𝑧 = (3.57)
𝛿𝛿′ 𝛿𝛿−𝛿𝛿′
dan demikian pula P harus berdiffusi menjauhi bidang reaksi y kali lebih cepat dari pada
kecepatan diffusi A mendekatinya, sehingga :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝑃𝑃 𝐶𝐶𝑃𝑃0
y = (3.58)
𝛿𝛿′ 𝛿𝛿−𝛿𝛿′
Atau,
34
𝐷𝐷 𝐶𝐶
𝑅𝑅 = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �1 + 𝑧𝑧𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0 � (3.61)
𝐴𝐴 𝐴𝐴𝑖𝑖
Atau,
𝑅𝑅 = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐸𝐸𝑖𝑖 (3.62)
Bila 𝑧𝑧 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ≪ 𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (yakni bila 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ≪ 𝐶𝐶𝐵𝐵0 ), maka laju absorpsi diperoleh dari
𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝑅𝑅 ≈ 𝑘𝑘𝐿𝐿 (3.64)
𝑧𝑧𝐷𝐷𝐴𝐴
dimana β didefinisikan pada Bab II dan Ei adalah Enhancement factor untuk reaksi
spontan. Sebagaimana pada bab II, untuk 𝐸𝐸𝑖𝑖 ≫ 1 (yaitu bila 𝐸𝐸𝑖𝑖 > 10), persamaan berikut
bisa digunakan untuk menentukan 𝐸𝐸𝑖𝑖
𝐷𝐷 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵
𝐸𝐸𝑖𝑖 = �𝐷𝐷𝐴𝐴 + �𝐷𝐷 (3.67)
𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴
35
dengan kondisi batas
𝑑𝑑𝐶𝐶𝐵𝐵
𝑥𝑥 = 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 , =0 (3.71a)
𝑑𝑑𝑑𝑑
Profil konsentrasi A dan B dalam film liquid untuk type reaksi ini adalah :
CB0
CB
CAi
CA
CA0
x
Gambar. 3-4 : Profil konsentrasi A dan B dalam film liquid.
Persamaan (3.69) dan (3.70) merupakan sistim dua persamaan diferensial order dua
nonlinear. Umumnya sistim persamaan ini diselesaikan secara numerik. Van Krevelen &
Hoftijzer menghitung penyelesaian pendekatan untuk keadaan 𝐶𝐶𝐴𝐴0 = 0 dan ia
menunjukkan penyelesaian pendekatannya ( dengan kesalahan dibawah 10% ) dinyatakan
dengan persamaan :
𝑅𝑅 ∅
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
= 𝐸𝐸 = tanh ∅ (3.72)
Dimana,
𝐸𝐸 −𝐸𝐸
∅ = 𝐻𝐻𝐻𝐻� 𝐸𝐸𝑖𝑖 −1 (3.73)
𝑖𝑖
36
Keadaan-keadaan khusus:
1. 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 1 (yaitu bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 0.5)
Berarti regim reaksi lambat, reaksi tak berpengaruh terhadap fluksi absorpsi, atau E=1
2. 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≫ 𝐸𝐸𝑖𝑖 (yaitu bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10 𝐸𝐸𝑖𝑖 )
Berarti reaksi order dua bisa dianggap sebagai reaksi spontan, atau 𝐸𝐸 = 𝐸𝐸𝑖𝑖
1
3. 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 (yaitu bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 𝐸𝐸𝑖𝑖 )
2
Berarti reaksi order dua bisa dianggap sebagai reaksi order satu semu. Dalam hal ini
konsentrasi reaktan B sangat berlebih dengan yang dibutuhkan untuk reaksi.
1
4. 1 ≪ 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 (yaitu bila 3 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 𝐸𝐸𝑖𝑖 )
2
Berarti reaksi order dua bisa dianggap sebgai reaksi order satu semu cepat, yaitu 𝐸𝐸 = 𝐻𝐻𝐻𝐻
Model Higbie :
Dengan menggunakan model Higbie, fluks absorpsi disertai reaksi irreversible order dua
dapat dinyatakan dengan,
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐸𝐸 (3.76)
Dimana, E diperoleh dari Persamaan (3.72), ϕ diperoleh dari Persamaan (3.73), dan 𝐻𝐻𝐻𝐻2
diperoleh dari Persamaan (3.74). Sedangkan 𝐸𝐸𝑖𝑖 didapat dari Persamaan (3.66) dengan β
didefinisikan pada Bab 2.
Penyelesaian :
Karena DB / DA ≠ 1 maka Model Higbie lebih akurat dari pada film model.
Reaksi yang terjadi :
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 2 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 → 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂
z =2
Bila 𝐸𝐸𝑖𝑖 ≫ 1 ,
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵
𝐸𝐸𝑖𝑖 = � + �𝐷𝐷
𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴
37
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷
𝐵𝐵 1 0.5
𝐸𝐸𝑖𝑖 = � + �𝐷𝐷 = �1.7 + 2×0.04 √1.7 = 8.9
𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴
𝐸𝐸 −𝐸𝐸
𝐻𝐻𝐻𝐻� 𝑖𝑖
𝐸𝐸𝑖𝑖 −1
Dari Persamaan 𝐸𝐸 = 𝐸𝐸 −𝐸𝐸
tanh�𝐻𝐻𝐻𝐻� 𝑖𝑖 �
𝐸𝐸𝑖𝑖 −1
Dimana 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 30 dan 𝐸𝐸𝑖𝑖 = 8.9, maka dengan iterasi (menggunakan program Matlab) diperoleh
E=8(mendekati 𝐸𝐸𝑖𝑖 ). Berarti proses diffusi dikendalikan oleh proses diffusi.
Sehingga,
𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐸𝐸 = 10−2 × 4 × 10−5 × 8 = 3.2 × 10−6
𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 1 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑅𝑅�𝑎𝑎 = 3.2 × 10−6 ×1 = 3.2 × 10−6
𝑐𝑐𝑐𝑐3 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
Penyelesaian :
Dari contoh soal 3-1 : 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 30
Syarat order satu semu:
1 1 1 0.5 8.2
𝐻𝐻𝐻𝐻 ≤ 𝐸𝐸𝑖𝑖 → 30 ≤ �� + √1.7� → 60 ≤ 0.77 + 𝑃𝑃 → 𝑃𝑃𝐶𝐶𝑂𝑂2 ≤ 0.13844 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
2 2 1.7 2×0.04×𝑃𝑃𝐶𝐶𝑂𝑂2 𝐶𝐶𝑂𝑂2
Jadi bila 𝑃𝑃𝐶𝐶𝑂𝑂2 ≤ 0.13844 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 , reaksi dapat dianggap ber order satu semu
Danckwerts Model :
Reaksi-reaksi orde dua ( atau reaksi-reaksi lain yang menimbulkan Pers. Diff non-
linier ) pada umumnya tidak mudah untuk diselesaikan dengan model Danckwertz. Tapi
model ini kadang-kadang dapat digunakan untuk mencari kriteria kondisi-kondisi khusus.
Misalnya bila kita ingin untuk menentukan kondisi pada mana reaksi orde dua antara
A dan B dapat dianggap sebagai reaksi orde satu semu dalam A, caranya sebagai berikut :
38
i. Perlakukan reaksi sebagai orde satu semu, sehingga laju reaksi lokal dari A adalah
𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑎𝑎 = 𝑘𝑘1 𝑎𝑎
i) Hitung konsentrasi B rata-rata ���
𝐶𝐶𝐵𝐵 dan bandingkan dengan 𝐶𝐶𝐵𝐵0
ii) Simpulkan suatu kondisi pada mana penyimpangan maksimum ���
𝐶𝐶𝐵𝐵 dari CB0 dapat
diabaikan. Reaksi adalah orde satu semu asal kondisi ini dipenuhi. ( Dalam
pembahasan berikut, koef-diffusi A dan B dianggap sama ).
Bila reaksi adalah orde satu semu, maka profil konsentrasi B dapat diperoleh dari
persamaan :
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐵𝐵 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐵𝐵 = + 𝑧𝑧𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴 (3.77)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕
Dengan
𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 > 0, 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.78a)
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, =0 (3.78b)
𝜕𝜕𝜕𝜕
atau, dengan substitusi C A dari Persamaan (3-52) untuk 𝐶𝐶𝐴𝐴0 = 0, Persamaan (3-79)
menjadi,
𝑑𝑑2 ����
𝐶𝐶𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐵𝐵 ���
= 𝑠𝑠{𝐶𝐶𝐵𝐵 − 𝐶𝐶𝐵𝐵0 } + 𝑧𝑧𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴𝑖𝑖 𝑒𝑒
𝛾𝛾𝛾𝛾
(3.80)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2
Dimana
𝑘𝑘 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1
𝛾𝛾 = 𝐷𝐷𝐿𝐿 �1 + (3.81)
𝐴𝐴 𝑘𝑘𝐿𝐿2
Penyelesaiannya adalah :
𝑧𝑧𝑘𝑘 𝐶𝐶 𝐷𝐷 𝑠𝑠 𝑧𝑧𝑘𝑘 𝐶𝐶
���
𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 − 𝛾𝛾21𝐷𝐷 𝐴𝐴𝐴𝐴𝑠𝑠 � 𝑠𝑠𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−𝑥𝑥�𝐷𝐷 � + 𝛾𝛾21𝐷𝐷 𝐴𝐴𝐴𝐴𝑠𝑠 exp(−𝛾𝛾𝛾𝛾) (3.82)
𝐴𝐴 𝐴𝐴 𝐴𝐴
𝐷𝐷
𝑧𝑧𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �1−𝛾𝛾� 𝐴𝐴 �
𝑠𝑠
���
[𝐶𝐶𝐵𝐵 ]𝑥𝑥=0 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 + (3.83)
𝛾𝛾2 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑠𝑠
39
dan karena 𝑘𝑘𝐿𝐿 = �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑠𝑠 , maka
𝐶𝐶𝐵𝐵0 −[𝐶𝐶̅𝐵𝐵 ]𝑥𝑥=0 𝑧𝑧𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1
= ��1 + − 1� (3.84)
𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑘𝑘𝐿𝐿2
Penyimpangan antara 𝐶𝐶𝐵𝐵0 dan 𝐶𝐶𝐵𝐵̅ adalah terbesar pada x = 0. Jadi bila penyimpangan
pada titik ini cukup kecil, maka anggapan reaksi orde satu semu dapat diterima. Jadi
syarat agar dapat digunakan anggapan reaksi orde satu semu adalah :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 𝐶𝐶
�1 + − 1 ≪ 𝑧𝑧𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.85)
𝑘𝑘𝐿𝐿2 𝐴𝐴𝐴𝐴
Catatan :
Dengan menggunakan model film, kondisi agar reaksi orde satu semu dapat diterima
adalah :
�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 𝐶𝐶
≪ 1 + 𝑧𝑧𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.86)
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐴𝐴𝐴𝐴
Model Film
Hikita dan Asai (1964) menunjukkan bahwa persamaan pendekatan untuk E adalah,
𝐸𝐸 = 𝛾𝛾′𝐻𝐻𝐻𝐻/ tanh(𝛾𝛾′𝐻𝐻𝐻𝐻) (3.88)
𝐸𝐸 −𝐸𝐸 𝑛𝑛/2
𝛾𝛾 ′ = � 𝐸𝐸𝑖𝑖 −1 � (3.89)
𝑖𝑖
Model Higbie
Juga dari Hikita dan Asai (1064) persamaan pendekaan untuk E dengan model
Higbie adalah,
𝜋𝜋 2𝛾𝛾′ 1 4(𝛾𝛾′)2
𝐸𝐸 = �𝛾𝛾 ′ + 8𝛾𝛾′� 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � + 2 exp �− � (3.90)
√𝜋𝜋 𝜋𝜋
40
3.2.5 Reaksi Reversible
Pertama ditinjau reaksi reversible order satu.
Film Model :
Reaksi yang ditinjau :
𝑘𝑘1 ,𝑘𝑘−1
𝐴𝐴 �⎯⎯� 𝑃𝑃
𝐶𝐶 𝑘𝑘
Pada kesetimbangan : �𝐶𝐶𝑃𝑃 � = 𝑘𝑘 1 = 𝐾𝐾 (3.91)
𝐴𝐴 𝑒𝑒 −1
𝑅𝑅� = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
𝑘𝑘𝐿𝐿
�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1
(3.96)
tanh
𝑘𝑘𝐿𝐿
Higbie Model :
Pembahasan pada Bab II mengenai type reaksi ini berlaku untuk Higbie model :
Danckwertz Model :
41
Reaksi yang ditinjau adalah reaksi reversible order satu seperti pada model film
Dalam bulk fasa liquid dianggap terjadi kesetimbangan sehingga
𝐶𝐶𝑃𝑃0 = 𝐾𝐾𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.97)
Bila 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝐷𝐷𝑃𝑃 maka,
Reaksi reversible yang banyak dijumpai dalam sistim absorpsi reaktif adalah reaksi
reversible order dua. Untuk reaksi A + B ⇔ P pada keadaan dimana konsentrasi B
relatif konstan,sehingga reaksi dianggap ber-orde satu semu terhadap A, dan laju reaksi
balik hampir seragam pada semua tempat, maka laju reaksi lokal adalah 𝑘𝑘1 (𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ).
Dalam hal ini, keadaannya sama dengan reaksi orde satu irreversible hanya 𝐶𝐶𝐴𝐴 diganti
dengan (𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ). Maka laju absorpsi adalah :
𝐷𝐷 𝑘𝑘
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 )�1 + 𝑘𝑘𝐴𝐴2 1 (3.99)
𝐿𝐿
Syarat yang harus dipenuhi agar anggapan konsentrasi B seragam dapat digunakan adalah
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐵𝐵0
(𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 )�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 ≪ (3.100)
𝑧𝑧
42
𝑛𝑛−1 𝑚𝑚
(𝑛𝑛+1)𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝐻𝐻𝐻𝐻 = � (3.101)
2 𝑘𝑘𝐿𝐿2
43
Film Film
Gas Liquid
PA
PAi
CAi
Interface
CA0
Gambar 3-6 Profil Konsentrasi dalam film gas dan film liquid.
Model Dua film.
Gas yang akan diserap berpindah melalui kedua film secara steady state, yaitu
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐴𝐴 − 𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 ) = 𝐸𝐸 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) (3.102)
Bila pada interface terjadi kesetimbangan gas-liquid, maka
𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝐻𝐻𝑒𝑒 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.103)
Sehingga dari pers. (3.102) dan (3.103),
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑃𝑃𝐴𝐴 +𝐸𝐸𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴0
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = (3.104)
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝐻𝐻𝑒𝑒 +𝐸𝐸𝑘𝑘𝐿𝐿
dan,
𝑃𝑃𝐴𝐴
𝑃𝑃 −𝐻𝐻 𝐶𝐶 −𝐶𝐶𝐴𝐴0 𝑃𝑃
𝑅𝑅� = 𝐴𝐴1 𝑒𝑒𝐻𝐻𝑒𝑒𝐴𝐴0 =
𝐻𝐻𝑒𝑒
1 1 = 𝐾𝐾𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐴𝐴 − 𝐻𝐻𝑒𝑒 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) = 𝐾𝐾𝐿𝐿 �𝐻𝐻 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 � (3.105)
+ + 𝑒𝑒
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝐸𝐸𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐸𝐸𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐻𝐻𝑒𝑒 𝑘𝑘𝐺𝐺
Dimana,
1 1 𝐻𝐻
𝐾𝐾𝐺𝐺
= 𝑘𝑘 + 𝐸𝐸𝑘𝑘𝑒𝑒 (3.106)
𝐺𝐺 𝐿𝐿
44
1 1 1
𝐾𝐾𝐿𝐿
= 𝐸𝐸𝐸𝐸 + 𝐻𝐻 (3.107)
𝐿𝐿 𝑒𝑒 𝑘𝑘𝐺𝐺
𝐾𝐾𝐿𝐿 dan 𝐾𝐾𝐺𝐺 dalam persamaan (3.106) dan (3.107) adalah koefisien perpindahan massa
overall berturut-turut berdasar fasa liquid dan gas. Kebalikan dari koefisien perpindahan
massa overall merupakan tahanan perpindahan massa overall (total). Jadi persamaan
(3.106) dan (3.107) menyatakan bahwa tahanan perpindahan massa total merupakan
penjumlahan tahanan perpindahan massa sisi gas dan liquid.
Model Film
Dengan menggunakan model film, proses absorpsi gas disertai reaksi irreversible
umum dapat dinyatakan dengan persamaan differensial berikut,
𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵𝑛𝑛 (3.108)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2
𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝑧𝑧𝑧𝑧𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵𝑛𝑛 (3.109)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2
x = δ, CA = 0, CB = CB0 (3.112)
45
dimana 𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝐻𝐻𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 dan 𝑃𝑃𝐵𝐵𝐵𝐵 = 𝐻𝐻𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵𝐵𝐵 . Perhatikan bahwa dalam analisis ini, tahanan film
gas dan volatilitas reaktan terlarut diperhitungkan. Hal ini ditujukkaan dari kondisi batas
untuk x = 0 . Dalam bentuk tak berdimensi, persamaan-persamaan ini bisa dituliskan
sebagai berikut,
𝑑𝑑2 𝑎𝑎
𝑑𝑑𝜁𝜁 2
− 𝑎𝑎𝛼𝛼 𝑏𝑏 𝛽𝛽 = 0 (3-113)
𝑑𝑑2 𝑏𝑏
𝑟𝑟𝑟𝑟 𝑑𝑑𝜁𝜁 2 − 𝑧𝑧𝑎𝑎𝛼𝛼 𝑏𝑏 𝛽𝛽 = 0 (3.114)
𝜁𝜁 = √𝑀𝑀, 𝑎𝑎 = 0, 𝑏𝑏 = 1 (3.117)
Dengan definisi variabel dan parameter tak berdimensi berikut,
𝐶𝐶
𝑎𝑎 = 𝐶𝐶 𝐴𝐴 (3.118)
𝐴𝐴𝐴𝐴
𝐶𝐶
𝑏𝑏 = 𝐶𝐶 𝐵𝐵 (3.119)
𝐵𝐵0
𝛼𝛼−1 𝛽𝛽
𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑥𝑥
𝜁𝜁 = � (3.120)
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝛿𝛿
𝐷𝐷
𝑟𝑟 = 𝐷𝐷𝐵𝐵 (3.121)
𝐴𝐴
𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝑞𝑞 = (3.122)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 𝐻𝐻𝐴𝐴
𝛤𝛤𝐴𝐴 = (3.123)
𝛼𝛼−1 𝛽𝛽
𝐷𝐷𝐴𝐴 �𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 𝐻𝐻𝐵𝐵
𝛤𝛤𝐵𝐵 = (3.124)
𝛼𝛼−1 𝛽𝛽
𝐷𝐷𝐵𝐵 �𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝛼𝛼−1 𝛽𝛽
𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝐻𝐻𝐻𝐻 = � (3.125)
𝐷𝐷𝐴𝐴
Sistim persaman ini telah diselesaikan dengan metoda Kolokasi orthogonal untuk
mendapatkan nilai a dan b sebagai fungsi ζ . Fluksi penyerapan dapat diperoleh dari,
46
𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑅𝑅𝑟𝑟𝑟𝑟 = −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 √𝑀𝑀𝑘𝑘𝐿𝐿𝐿𝐿 𝑑𝑑𝑑𝑑 � (3.126)
𝜁𝜁=0
Faktor peningkatan E dapat diperoleh dari membagi Fluksi penyerapan dengan reaksi dan
fluksi penyerapan fisik, yaitu,
𝑅𝑅
𝐸𝐸 = 𝑅𝑅 𝑟𝑟𝑟𝑟 (3-127)
𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓
Flusi penyerapan fisik 𝑅𝑅𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan differensial
yang menggambarkan model film untuk absorpsi fisik,
𝑑𝑑2 𝑎𝑎
𝑑𝑑𝜁𝜁 2
=0 (3.128)
𝜁𝜁 = √𝑀𝑀, 𝑎𝑎 = 0 (3.130)
Penyelesaian analitik persamaan differensial ini adalah,
𝛤𝛤 𝛤𝛤 √𝑀𝑀
𝑎𝑎 = − 1+𝛤𝛤 𝐴𝐴 𝜁𝜁 + 1+𝛤𝛤𝐴𝐴 (3.131)
𝐴𝐴 √𝑀𝑀 𝐴𝐴 √𝑀𝑀
Dan dari profil konsentrasi ini, fluksi penyerapan fisik dapat dipeoleh yaitu,
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝛤𝛤
𝑅𝑅𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 = −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 √𝑀𝑀𝑘𝑘𝐿𝐿𝐿𝐿 𝑑𝑑𝑑𝑑 � = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 √𝑀𝑀𝑘𝑘𝐿𝐿𝐿𝐿 1+𝛤𝛤 𝐴𝐴 (3.132)
𝜁𝜁=0 𝐴𝐴 √𝑀𝑀
Dari persamaan (3.126), (3.127) dan (3.132), faktor peningkatan E dapat diperoleh yaitu,
1+𝛤𝛤𝐴𝐴 √𝑀𝑀 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝐸𝐸 = − � (3.133)
𝛤𝛤𝐴𝐴 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜁𝜁=0
Model Penetrasi
Dengan menggunakan model film, proses absorpsi gas disertai reaksi irreversible
umum dapat dinyatakan dengan persamaan differensial berikut,
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝛽𝛽
= 𝐷𝐷𝐴𝐴 − 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝛼𝛼 𝐶𝐶𝐵𝐵 (3.134)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕𝑥𝑥 2
47
𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 > 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 0, 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.136)
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, − 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 ) (3.137)
𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, − 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐵𝐵𝐵𝐵 − 𝑃𝑃𝐵𝐵𝐵𝐵 ) (3.138)
𝜕𝜕𝜕𝜕
Dalam bentuk tak berdimensi, persamaan-persamaan ini bisa dituliskan sebagai berikut,
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕2 𝑎𝑎
𝜕𝜕𝜕𝜕
= 𝜕𝜕𝜁𝜁 2 − 𝑎𝑎𝛼𝛼 𝑏𝑏 𝛽𝛽 (3.140)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕2 𝑏𝑏
𝜕𝜕𝜕𝜕
= 𝜕𝜕𝜁𝜁 2 − 𝑧𝑧𝑎𝑎𝛼𝛼 𝑏𝑏 𝛽𝛽 (3.141)
𝜏𝜏 > 0, 𝜁𝜁 = ∞, 𝑎𝑎 = 0, 𝑏𝑏 = 1 (3.145)
dimana,
𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
𝜏𝜏 = 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡 (3.146)
Sistim persamaan differensial parsial ini telah diselesaikan dengan metoda
kolokasi ortogonal dua dimensi (Altway, 1995) untuk memperoleh harga konsentrasi a
dan b pada titik titik kolokasi dalam domain ruang, ζ , dan waktu, τ . Dari penyelesaian
ini faktor peningkatan, E, diperoleh sebagai berikut,
𝑄𝑄
𝐸𝐸 = 𝑄𝑄 𝑟𝑟𝑟𝑟 (3.147)
𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓
dimana,
𝑡𝑡 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝜏𝜏𝑝𝑝 𝜕𝜕𝜕𝜕
𝑄𝑄𝑟𝑟𝑟𝑟 = ∫0 𝑝𝑝 𝑅𝑅𝑟𝑟𝑟𝑟 𝑑𝑑𝑑𝑑 = ∫0 �
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜁𝜁=0
𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.148)
𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
�𝑘𝑘𝑚𝑚,𝑛𝑛 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
Sedangkan t P adalah waktu penetrasi dan τ P adalah waktu penetrasi tak berdimensi
yang dinyatakan dengan,
4𝐷𝐷𝐴𝐴
𝑡𝑡𝑝𝑝 = (3.149)
𝜋𝜋𝑘𝑘𝐿𝐿2
48
𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
4 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 4𝑀𝑀
𝜏𝜏𝑝𝑝 = = (3.150)
𝜋𝜋𝑘𝑘𝐿𝐿 2 𝜋𝜋
Kondisi awal dan kondisi batas yang ditunjukkan pada persamaan (3-122) sampai dengan
(3-125) berlaku disini. Persamaan differensial ini sudah diselesaikan secara analitik oleh
Carslaw and Jaeger (1959). Penyelesaian ini dapat digunakan unuk menentukan gradien
konsentrasi pada interface yaitu,
𝜕𝜕𝜕𝜕
�
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜁𝜁=0
= −𝛤𝛤𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝛤𝛤𝐴𝐴2 𝜏𝜏)𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝛤𝛤𝐴𝐴 𝜏𝜏)0.5 (3.152)
49
didalam lapisan batas liquid. Pengaruh perbandingan diffusivitas B dengan A (nilai r)
terhadap harga E ditunjukkan pada Tabel 3.4. Terlihat bahwa harga r yang lebih tinggi
(atau mobilitas B yang lebih tinggi) akan menaikkan harga E. Tabel 3.5 menunjukkan
perbandingan hasil perhitungan dengan model Penetrasi dan model Film. Model
Penetrasi memprediksi nilai E yang lebih besar dibanding dengan model Film. Bila data
pada Tabel 3.1 sampai dengan Tabel 3.5 diperoleh dengan anggapan tahanan film gas
diabaikan, Tabel 3.6 menunjukkan pengaruh adanya tahanan film gas terhadap taksiran
nilai enhancement factor. Terlihat bahwa adanya tahanan film gas akan sedikit
menurunkan nilai E.
Ha Enhancement Factor
𝛤𝛤𝐴𝐴 = 0 𝛤𝛤𝐴𝐴 = 100, 𝑏𝑏𝑒𝑒 = 0
0.5 1.1026 1.0805
1.0 1.3743 1.2369
1.5 1.7442 1.5175
2.0 2.1611 1.8369
2.5 2.5872 2.1474
3.0 3.0202 2.4162
Ha Enhancement Factor
𝑏𝑏𝑒𝑒 = 0 𝑏𝑏𝑒𝑒 = 2
0.5 1.0805 1.1026
1.0 1.2369 1.3751
1.5 1.5175 1.7521
2.0 1.8369 2.2134
2.5 2.1474 2.7841
3.0 2.4162 3.4113
50
Tabel 3.3 Pengaruh harga q terhadap Enhancement
Factor. r=2,m=1,n=1,σ=1, 𝛤𝛤𝐵𝐵 = 100, 𝑏𝑏𝑒𝑒 =
2,𝛤𝛤𝐴𝐴 = ∞
Ha Enhancement Factor
𝑞𝑞 = 5 𝑞𝑞 = 10
0.5 1.1014 1.1022
1.0 1.3615 1.3706
1.5 1.7040 1.7361
2.0 2.1100 2.1786
2.5 2.6003 2.7221
3.0 3.1297 3.3159
Ha Enhancement Factor
r = 0.5 r = 1.0 r= 2.0
0.5 1.1016 1.1019 1.1022
1.0 1.3631 1.3672 1.3706
1.5 1.7098 1.7240 1.7361
2.0 2.1222 2.1525 2.1786
2.5 2.6217 2.6753 2.7221
3.0 3.1621 3.2439 3.3159
51
Tabel 3.5 Perbandingan hasil taksiran harga E dg
model Penetrasi dan model film
q=10, r=2, m=1,n=1.0, σ=1, 𝛤𝛤𝐵𝐵 = 100, 𝛤𝛤𝐴𝐴 =
∞, be=2
Ha Enhancement Factor
Model Penetrasi Model Film
0.5 1.1022 1.1058
1.0 1.3706 1.2735
1.5 1.7361 1.5956
2.0 2.1786 1.9803
2.5 2.7221 2.4470
3.0 3.3159 2.9472
Ha Enhancement Factor
𝛤𝛤𝐴𝐴 = 10 𝛤𝛤𝐴𝐴 = ∞
0.5 1.1026 1.1026
1.0 1.3739 1.3743
1.5 1.7312 1.7442
2.0 2.1214 2.1611
2.5 2.5118 2.5872
3.0 2.9314 3.0202
52
interface lebih tinggi dari pada suhu badan cairan. Kenaikan suhu interface ini bisa
diperoleh sebagai berikut,
𝑅𝑅� 𝐷𝐷𝐴𝐴 [(−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )+(−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 )] 𝛾𝛾
∆𝑇𝑇 ∗ = 𝑇𝑇𝑠𝑠 −𝑇𝑇𝑏𝑏 = �𝐷𝐷 (3.154)
𝑘𝑘 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐴𝐴
adalah fluksi absorpsi yang dapat diperoleh sesuai kinetika reaksinya.γ adalah diffusivitas
termal liquid yang didefinisikan γ = k / ρ σ dengan ρ dan σ adalah densitas dan
kapasitas panas liquid.
Untuk absorpsi fisik, kenaikan suhu interface hanya disebabkan oleh proses
pelarutan dan dapat diperoleh sebagai berikut,
𝐻𝐻𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) 𝛾𝛾
∆𝑇𝑇 ∗ = �𝐷𝐷 (3.155)
𝑘𝑘 𝐴𝐴
Sedang untuk absorpsi disertai reaksi kimia, kenaikan suhu interface disebabkan oleh
proses pelarutan dan proses reaksi. Misal untuk absorpsi disertsai reaksi irreversible order
satu, kenaikan suhu interface oleh reaksi diperoleh dengan menyelesaikan persamaan
differensial berikut untuk model film,
𝑑𝑑2 ∆𝑇𝑇 ∗
𝑘𝑘 + 𝑘𝑘1 (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 )𝑎𝑎 = 0 (3.156)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2
𝑘𝑘 ∆𝑇𝑇𝑅𝑅∗
= 𝐻𝐻𝐻𝐻 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶ℎ(𝐻𝐻𝐻𝐻) − 1 (3.159)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 )𝐷𝐷𝐴𝐴
53
𝑘𝑘 ∆𝑇𝑇𝑆𝑆∗
= 𝐻𝐻𝐻𝐻 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶ℎ(𝐻𝐻𝐻𝐻) (3.160)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )𝐷𝐷𝐴𝐴
Untuk model Danckwertz, kenaikan suhu interface bisa diperoleh sebagai berikut,
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐻𝐻𝐻𝐻2 𝛾𝛾 𝛾𝛾
∆𝑇𝑇 ∗ = �(−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) 1+𝐻𝐻𝐻𝐻2 �𝐷𝐷 (1 + 𝐻𝐻𝐻𝐻2 ) − 1 + (−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )�𝐷𝐷 (1 + 𝐻𝐻𝐻𝐻2 )� (3.162)
𝑘𝑘 𝐴𝐴 𝐴𝐴
Untuk absorpsi disertai reaksi spontan, kenaikan suhu interface bisa diperoleh
sebagai berikut bila menggunakan model film,
(−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 ) 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵 (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 )𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵
∆𝑇𝑇 = �𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 + �+ (3.163)
𝑘𝑘 𝑧𝑧 𝑧𝑧 𝑘𝑘
Bila 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝐷𝐷𝐵𝐵 dan 𝐶𝐶𝐵𝐵0 ≫ 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 , maka kenaikan suhu interface bila digunakan model
film adalah,
𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐴𝐴
∆𝑇𝑇 = 𝑧𝑧 𝑘𝑘
[(−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) + (−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )] (3.165)
Penyelesaian:
Untuk air pada 200C: 𝛾𝛾 = 1.46 × 10−3 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑠𝑠 −1 , 𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌 = 1 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑐𝑐𝑐𝑐−3 𝐾𝐾 −1
𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐
(−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 ) = 4760 , (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) = 1500 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐/𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 ( Bichowsky and Rossini, 1936 dalam Danckwertz,
𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
1970).
54
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵 1 0.5
𝐸𝐸𝑖𝑖 = � + �𝐷𝐷 = �1.7 + 2×0.04 √1.7 = 8.9
𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴
1 𝛽𝛽
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 8.9 = → = 0.1
𝛽𝛽 �𝐷𝐷𝐴𝐴
erf� �
�𝐷𝐷𝐴𝐴
Sehingga,
𝛽𝛽 2 𝛽𝛽 1.8×10−5
exp �− � = 0.99, = 0.1 × � = 0.011
𝐷𝐷𝐴𝐴 √𝛾𝛾 1.46×10−3
𝛽𝛽 𝛽𝛽 2
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � = 0.98, exp �− � = 1.0
√𝛾𝛾 𝛾𝛾
𝛽𝛽 2
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �𝑒𝑒 −𝛽𝛽 /𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 4×10−5 ×1500 1.8×10−5 0.98×0.99
√𝛾𝛾
∆𝑇𝑇𝑅𝑅 = × ×� = × × × 8.9 = 0.0570 𝐶𝐶
𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌 𝛽𝛽 2 𝛾𝛾 1 1.46×10−3 1
erf� �𝑒𝑒 −𝛽𝛽 /𝛾𝛾
�𝐷𝐷𝐴𝐴
Kenaikan suhu pada interface berpengaruh terhadap laju penyerapan atau nilai
factor peningkatan. Suhu yang makin tinggi akan menurunkan kelarutan gas, namun akan
menaikkan diffusivitas dan konstanta kecepatan reaksi. Penurunan kelarutan gas
berakibat pada penurunan laju penyerapan, kenaikan diffusivitas dan konstanta kecepatan
reaksi berakibat pada kenaikan laju penyerapan. Namun pada umunya kenaikan suhu ini
menaikkan nilai faktor peningkatan. Beberapa peneliti telah mempelajari pengaruh ini
untuk berbagai kinetika reaksi, antara lain Al-Ubaidi dkk (1990), Bhattacharya dkk
(1987), Savitri dan Sepfitri (2001), dan Effendi dan Ikhlas (2001) untuk kinetika reaksi
irreversible order dua, dan vas Bhat dkk (1997) untuk kinetika reaksi reversible order
dua. Yunita dkk (2008) memprediksi faktor peningkatan absorpsi disertai reaksi
reversible order dua pada kondisi non-isotermal menggunakan model eddy diffusivity.
55
BAB 4
METODA EKSPERIMEN UNTUK MENGUKUR
KINETIKA REAKSI
Laju perpindahan massa pada proses absorpsi reaktif ditentukan oleh beberapa sifat-
sifat fisika kimia sistim proses. Sifat-sifat fisika kimia ini meliputi kinetika reaksi dan
parameter perpindahan massa. Bab ini menguraikan metoda metoda eksperimen untuk
mengukur parameter kinetik.Untuk pengukuran kinetika reaksi diperlukan peralatan
eksperimen yang dikondisikan agar fenomena absorpsi terjadi kedalam liquid yang tidak
bergolak. Hal ini dilakukan agar pengukuran luas perpindahan massa dan waktu kontak
menjadi akurat. Pawlak, H.K. (2012) memberikan overview mengenai metoda
eksperimen untuk menentukan kinetika reaksi pada proses absorpsi reaktif.
Peralatan-peralatan yang digunakan adalah :
1 Drum berputar (Rotating Drum)
2 Wetted - wall Column.
3 Moving - band absorber.
4 Laminar jet.
5 Wetted - sphere apparatus
6 Stop Flow Apparatus
7 Stirred Cell
Selain untuk mengukur kinetika reaksi, peralatan-peralatan ini dapat juga digunakan
untuk mengukur difusivias gas didalam liquid, dan kelarutan gas kedalam larutan
elektrolit. Berikut ini dibahas masing-masing peralatan diatas.
56
4.1. Rotating Drum :
Gambar dari peralatan ini ditunjukkan pada Gambar 4.1.
57
Liquid masuk
Gas masuk
Gambar 4.2, Wetted Wall Column
Didalam alat ini, liquida mengalir dalam bentuk film karena pengaruh gravitasi, pada
permukaan pipa vertikal. Distribusi kecepatan liquida dengan mengabaikan efek ujung
adalah :
3 𝜐𝜐 2/3 𝑔𝑔𝑔𝑔 1/3 𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 2/3
𝑈𝑈(𝑥𝑥) = 2 �𝜋𝜋𝜋𝜋� �3𝜇𝜇 � �1 − 𝑥𝑥 2 � 3𝜇𝜇𝜇𝜇 � � (4.1)
dimana v adalah laju alir volumetrik liquid,d adalah diameter pipa, ρ adalah densitas
liquid dan µ adalah viskositas liquid. Kecepatan U adalah 0 pada permukaan dinding pipa
dimana x = δ ( δ = tebal film), maka :
3𝜇𝜇𝜇𝜇 1/3
𝛿𝛿 = �𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋� (4.2)
dan bila tinggi kolom adalah h, waktu kontak elemen permukaan dengan gas adalah :
ℎ 2ℎ 3𝜇𝜇 1/3 𝜋𝜋𝜋𝜋 2/3
𝑡𝑡 = 𝑈𝑈 = 3
�𝑔𝑔𝑔𝑔� � 𝜐𝜐 � (4.5)
𝑆𝑆
Bila Q(t) adalah jumlah gas yang terserap per satuan luas permukaan selama waktu
kontak t, maka laju absorpsi rata-rata selama waktu t adalah Q(t). Karena luas total
permukaan yang berkontak adalah π dh, maka laju absorpsi total q ke dalam film dapat
dinyatakan dalam Q(t) oleh persamaan :
𝑄𝑄(𝑡𝑡) 𝑞𝑞
= 𝜋𝜋𝜋𝜋ℎ (4.6)
𝑡𝑡
Laju absorpsi q dapat dihitung secara eksperimen, dan Q (t) dihitung dari persamaan (2-
52), t dihitung dari persamaan (2-51) dan dapat diubah-ubah dengan merubah laju alir v
58
atau tinggi kolom h. Jadi Q(t) dapat ditentukan sebagai fungsi t. Pada khususnya untuk
absorpsi fisis (tanpa reaksi):
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 2𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
(4.7)
maka diperoleh pernyataan untuk q dengan substitusi persamaan (4.7) ke persamaan (4.6)
dimana t diperoleh dari persamaan (4.5) yaitu,
𝜋𝜋𝜋𝜋ℎ𝑄𝑄(𝑡𝑡) 𝜐𝜐 1/3 𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 1/6
𝑞𝑞 = = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑑𝑑 (6ℎ𝐷𝐷𝐴𝐴 )1/2 �𝐷𝐷� � 3𝜇𝜇 � (4.8)
𝑡𝑡
Pernyataan diatas berlaku bila, aliran tidak turbulan dan bebas dari ripples (riak).
𝜐𝜐𝜐𝜐
Turbulansi terjadi bila Reynold number,𝑅𝑅𝑅𝑅 = 𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 > 250 − 400.
Dalam pemakaian alat ini perlu diperhatikan kesalahan-kesalahan yang timbul akibat
dari hal-hal berikut :
1. Entrance effect
2. Adanya riak (ripples)
3. Timbulnya film yang kokoh (rigid)
4. Penyimpangan dari keadaan stagnan dan tebal film liquida yang semi infinite.
Untuk absorpsi disertai reaksi kimia irreversible pseudo order satu cepat,persamaan untuk
menentukan Q(t) adalah,
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 2𝐻𝐻𝐻𝐻 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
(4.9)
Dan untukabsorpsi disertai reaksi kimia reversible order dua dengan anggapan reaksi ke
kanan berorder satu semu cepat dan reaksi kekiri mempunyai kecepatan konstan,
persamaan untuk Q(t) adalah,
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 2𝐻𝐻𝐻𝐻 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 )� 𝜋𝜋
(4.10)
Persamaan persamaan (4.5), (4.6), (4.10) dan (4.11) adalah sebagai dasar untuk
menentukan data kinetik (konsttanta kecepatan reaksi gas-liquid) dari data percobaan
menggunakan wetted wall column (laju absorpsi q bisa diperoleh dari data eksperimen).
59
Contoh soal 2-4 :
Air pada 200C mengalir kebawah pada permukaan suatu batang vertikal dengan diameter luar (O.D) 2.5 cm
dan tinggi 15 cm dengan laju 4 cm3/detik. Bila pengaruh ripples (riak) diabaikan maka :
a. Hitung tebal film
b. Hitung waktu kontak t
c. Hitung laju absorpsi (CO2 tek. 1 atm)
d. Ceck apakah aliran film liquida laminar
e. Hitung jarak dari permukaan liquida (pada bagian bawah batang) pada mana konsentrasi CO2 adalah
1% CAi ; dan hitung kecepatan pada titik ini sebagai fraksi kecepatan permukaan.
f. Bila CO2 diserap kedalam 0.5 molal NaOH pada kondisi yang serupa, sampai tekanan berapakah CO2
harus diturunkan untuk mencegah pengurangan reaktan pada permukaan, dan berapakah laju absorpsi
CO2 dalam hal ini.
𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 𝑙𝑙𝑙𝑙
Data : 𝜇𝜇 = 1 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐, 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.8 × 10−5 , = 4 × 10−2 , 𝑘𝑘2 = 104
𝑠𝑠 𝑃𝑃𝐴𝐴 𝑙𝑙𝑙𝑙.𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔.𝑠𝑠
Penyelesaian :
1/3 1/3
3𝜇𝜇𝜇𝜇 3×10−2 ×4
a. 𝛿𝛿 = � � =� � = 0.025 𝑐𝑐𝑐𝑐
𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 𝜋𝜋×981×2.5×1
1/3
2ℎ 3𝜇𝜇 1/3 𝜋𝜋𝜋𝜋 2/3 2×15 3×10−2 𝜋𝜋×2.5 2/3
b. 𝑡𝑡 = � � � � = � � � � = 0.49 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
3 𝑔𝑔𝑔𝑔 𝜈𝜈 3 981×1 4
𝜋𝜋𝜋𝜋ℎ𝑄𝑄(𝑡𝑡)
c. 𝑞𝑞 =
𝑡𝑡
3.14×2.5×15×1.32×10−7 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑞𝑞 = = 3.2 × 10−5
0.49 𝑠𝑠
𝜈𝜈𝜈𝜈 4×1
d. 𝑅𝑅𝑅𝑅 = = = 51
𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 3.14×2.5×10−2
𝑈𝑈 0.011 2
=1−� � = 0.81
𝑈𝑈𝑠𝑠 0.025
60
𝑧𝑧 = 2
𝐶𝐶𝐵𝐵0 0.5 6.25
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 1 + = 1+ = 1+
2 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 2×4×10−2 𝑃𝑃𝐴𝐴 𝑃𝑃𝐴𝐴
𝜋𝜋 𝜋𝜋
𝐻𝐻𝐻𝐻 = � 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡 = � × 104 × 0.5 × 0.49 = 44.
4 4
1 6.25
Syarat order satu semu: 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 𝐸𝐸𝑖𝑖 → 1 + > 88 → 𝑃𝑃𝐴𝐴 < 0.072 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎. Karena yang diserap adalah CO2
2 𝑃𝑃𝐴𝐴
murni, maka 𝑃𝑃𝐴𝐴 = 𝑃𝑃. Berarti, untuk memcegah pengurangan konsentrasi reaktan pada permukaan antar
fasa (atau reaksi berorder satu semu), tekanan harus dturunkan sampai 0.072 atm.
Dalam keadaan ini, 𝐸𝐸 = 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 44. Sehingga laju absorpsi CO2 adalah,
𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑞𝑞 = 3.2 × 10−5 × 0.072 × 44 = 1.014 × 10−4
𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
Maka,
𝑞𝑞 𝑑𝑑
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 4 𝑣𝑣
(4.13)
61
Waktu kontak t dapat diuabah-ubah dengan merubah h dan sehingga Q(t) dapat
ditentukan sebagai fungsi t. Jumlah gas yang terabsorpsi Q(t), untuk absorpsi tanpa reaksi
kimia dapat dihitung dari :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 2 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
(4.14)
Liquid masuk
Gas keluar
Gas masuk
62
Liquid keluar
Gas keluar
Gas masuk
Liquid keluar
Liquid masuk
63
Gambar 4.5 : Wetted Sphere Apparatus
Komputer
Stop valve
Thermocouple
T
Deteksi
Kuvet Pengamatan
Pencampur
Syringes
Sistim Penggerak
Gambar 4.5, Stop Flow Apparatus
64
Misal untuk menentukan kinetika reaksi absorpsi gas CO2 kedalam larutan
Amine, salah satu syringes diisi dengan larutan gas CO2 dalam air dengan tekanan
tertentu, sedang syrunges lain diisi dengan larutan Amine. Kedua larutan ini diinjeksikan
kedalam Pencampur dengan perbandingan tertentu. Perbandingan ini ditentukan
sedimikan agar amine sangat berlebih untuk reaksi dengan gas CO2 agar kondisi reaksi
adalah order satu semu. Selama proses berlangsung konduktivitas campuran naik karena
terbentuknya produk ion ion. Konduktivitas yang diukur sebagai fungsi waktu di fitting
ke persamaan eksponensial menurut persamaan kinetika order satu yang ditunjukkan
pada persamaan (4.18).
𝜅𝜅 = 𝐴𝐴𝑆𝑆 . 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(−𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑡𝑡) + 𝜅𝜅∞ (4.18)
dimana κ adalah konduktansi spesifik campuran reaksi pada saat t, 𝜅𝜅∞ adalah nilai
konstan signal pada akhir reaksi yang dinyatakan sebagai baseline, 𝐴𝐴𝑆𝑆 menyatakan
amplitudo dari signal. Konduktansi yang diukur ini berbanding lurus dengan konsentrasi
ion ion produk. Namun perlu diingat bahwa ini berlaku untuk larutan elektrolit yang
encer. Konstanta kecepatan reaksi overal 𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 diperoleh dari fitting menggunakan cara
regressi least square tak linear persamaan(4.18) terhadap data eksperimen.
4.7 Stirred cell
Alat ini bisa digunakan untuk menentukan kelarutan gas dalam larutan elektrolit dan
juga untuk menentukan kinetika absorpsi reaktif. Gambar skematis stirred cell
ditunjukkan pada Gambar 4.6.
Ke vakum
P1 Gas
ns Komputer
masuk
P T
65
Gas
Dimana 𝑅𝑅𝐴𝐴 adalah fluks absorpsi yang diperoleh dari persamaan (4.20) untuk reaksi
order satu atau pseudo order satu cepat,
�𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 𝐷𝐷𝐴𝐴𝐴𝐴
𝑅𝑅𝐴𝐴 = 𝑝𝑝𝐴𝐴 (4.20)
𝐻𝐻𝐻𝐻
Bila dioperasikan secara semi batch, gas dialirkan terus kedalam stirred cell dari storage
gas yang dikalibrasi dengan menjaga tekanan didalam stirred cell konstan menggunakan
back pressure regulator. Dalam hal ini tekanan didalam storage gas menurun dengan
waktu. Laju absorpsi bisa ditentukan dari penurunan tekanan atau bisa langsung diukur
menggunakan mass flow meter yang dipasang pada perpipaan antara storage gas dan
stirred cell. Tipe operasi ini lebih akurat dalam menentukan kinetika reaksi dari pada
operasi secara batch. Jiru dan Eimer (2013) menggunakan stirred cell yang dioperasikan
secara batch untuk menentukan kinetika reaksi absorpsi gas CO2 kedalam larutan MEA.
66
BAB 5
METODA EKSPERIMEN UNTUK MENGUKUR
KOEFISIEN PERPINDAHAN MASSA GAS CAIR DAN
LUAS ANTAR-FASA
Selain parameter kinetika reaksi, laju perpindahan massa pada proses absorpsi reaktif
ditentukan oleh parameter perpindahan massa. Bab ini menguraikan metoda eksperimen
untuk parameter perpindahan massa yaitu koefisien perpindahan gas-cair dan luas antar
fasa.
5.1 Koefisien Perpindahan Massa Volumetrik Sisi Cair, 𝒌𝒌𝑳𝑳 𝒂𝒂
Koefisien perpindahan massa volumetric adalah koefisien perpindahan massa
berdasar volume sistim, ini lebih mudah diukur dari pada koefisien perpindahan massa
berdasat luas antar fasa. Terdapat dua koefisien perpindahan massa yaitu koefisien
perpindahan massa sisi cair dan sisi gas. Pertama kita bahas koefisien perpindahan massa
sisi cair. Pada umumnya koefisien perpindahan massa volumetric sisi cair ditentukan
secara eksperimen menggunakan oksigen sebagai solute yang berpindah. Terdapat
beberapa metoda pengukuran yang digunakan yaitu: metoda dinamik standar, metoda
“oxygen-enriched, metoda dinamik start-up, dan metoda tekanan dinamik (Zednikova
dkk, 2018). Metoda pengukuran yang digunakan dibedakan dari cara perubahan
konsentrasi oksigen yang diberikan pada sistim. Pada metoda dinamik standar, perubahan
konsentrasi oksigen ditimbulkan dengan tiba tiba menukar gas masuk dengan konsentrasi
oksigen berbeda (aliran nitrogen ditukar dengan aliran udara) sedang laju alir gas tetap
(Shah dkk, 1982; Deckwer dkk, 1974; Dechwer dkk, 1983; Vasconcelos dkk, 2003;
Vandu dan Krishna, 2004). Pada metod “oxygen-enriched”, aliran udara diganti dengan
aliran “oxygen enriched air” (konsentrasi oksigen nya dinaikkan 3%) (Manjrekar dkk,
2017; Han dan Al-Dahhan, 2007). Metoda dinamik start-up didasarkan pada
penghilangan oksigen dari liquid dengan cara menjenuhkan liquid dengan nitrogen.
Sesudah penghilangan oksigen dari liquid, bubbling dihentikan dan selurih gelembung
gelembung gas dibiarkan keluar dari kontaktor. Kemudian gas baru dengan konsentrasi
oksigen tertentudialirkan kedalam sistim (Akita dan Yoshida, 1973; Lau dkk,2004;
Vandu dan Krishna, 2004). Pada metoda tekanan dinamik perubahan konsentrasi oksigen
diberikan dengan kenaikan step tekanan total didalam kontaktor( sekitar 15 kPa)
sedangkan laju alir gas volumetric melalui bejana dibuat konstan(Linek dkk, 1993; Linek
dkk, 1989). Ditinjau dari sisi sistim cairan yang digunakan terdapat dua metoda dasar
dalam menentukan koefisien perpindahan massa yaitu metoda fisik dan metoda kimia.
67
𝑅𝑅𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′(𝐶𝐶𝐴𝐴∗ − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) (5.1)
*
Dimana C A dan 𝐶𝐶𝐴𝐴0 adalah konsentrasi gas A berturut-turut pada interface dan bulk
cairan.Jadi, nilai 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dapat ditentukan dalam keadaan tertentu dengan eksperimen fisik
murni dari pengukuran laju penyerapan per satuan volume. Nilai 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ bergantung pada
geometri alat kontak gas-liquid. Untuk kontak gas liquid secara counter current didalam
packed column C A* adalah fungsi yang diketahui dari C Ab , dan persamaan (5.1)
diaplikasikan dalam bentuk integral atau driving force (𝐶𝐶𝐴𝐴∗ − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) dievaluasi sebagai nilai
rata-rata logaritmik antara kondisi masuk dan keluar bila pola alir gas dan liquid
dianggap plugflow dan variasi C A* dan C Ab didalam alat dianggap linear. Untuk alat kontak
gas-liquid berbentuk tangki teraduk yang beroperasi kontinyu, C A* dan C Ab adalah sama
pada semua titik.Sehingga persamaan (5.1) dapat langsung digunakan untuk
penentuan𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′. Untuk alat kontak gas-liquid tangki teraduk yang dioperasikan secara
batch, nilai 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dapat ditentukan dari persamaan (5.2) atau persamaan (5.3).
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ −𝐶𝐶𝐴𝐴0 (𝑡𝑡)
− ln � � = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝑡𝑡 (5.2)
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ −𝐶𝐶𝐴𝐴0 (𝑡𝑡)
𝑑𝑑 ln 𝑅𝑅� 𝑎𝑎′
𝑑𝑑𝑑𝑑
= −𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ (5.3)
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ −𝐶𝐶𝐴𝐴0 (𝑡𝑡)
Bila digunakan persamaan (5.2), 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ diperoleh dari gradient plot − ln � � versus
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ −𝐶𝐶𝐴𝐴0 (0)
t. Sedang bila digunakan persamaan(5.3), 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ diperoleh dari gradient plot ln 𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ versus
t. Namun, ada dua kemungkinan kesulitan pada pemakaian metode fisik. Pertama
adalah, pola aliran kedua fasa tidak bisa dianggap plug flow atau mixed flow dan tidak
b *
diketahui ( C A Bukan fungsi yang diketahui dari C A ) dan karenanya nilai k a tidak dapat
disimpulkan dari 𝑅𝑅� 𝑎𝑎′. Disamping itu, penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dengan metoda fisik memerlukan
pengukuran konsentrasi bulk dan konsentrasi ekulibria yang akurat. Metoda ini mungkin
tidak praktis dalam beberapa situasi.
68
k
A + zB → products
Dengan memilih kelarutan dengan tepat, konsentrasi reaktan dan laju reaksi, baik
koefisien perpindahan massa, atau area interfacial atau kedua kelompok parameter dapat
disimpulkan dari tingkat penyerapan keseluruhan (Sharma dan Dancwerts, 1970). Ada
dua metoda kimia yang dibahas, yaitu metoda kimia dengan regim reaksi lambat dan
metoda kimia regim reaksi spontan
kondisi persamaan (5.7) (yaitu, C Ab = 0 ), itu mungkin menjadi terlalu besar untuk kondisi
persamaan (5.8) untuk dipenuhi (tidak ada reaksi dalam film). Ketika kondisi persamaan
(5.8) terpenuhi, tapi kondisi persamaan (5.7) tidak terpenuhi, persamaan (5.4) bisa ditulis,
69
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝑅𝑅 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ (5.9)
Dengan
1 1 1
= 𝑘𝑘 + 𝑚𝑚−1 0 𝑛𝑛 (5.10)
𝑘𝑘𝑅𝑅 𝑎𝑎′ 𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 �𝐶𝐶𝐴𝐴0 � �𝐶𝐶𝐵𝐵 � 𝛽𝛽
1 1
Jika 𝑘𝑘𝑅𝑅 𝑎𝑎′
diplot versus 0� 𝑛𝑛 maka akan berbentuk garis lurus dengan kemiringan
𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 �𝐶𝐶𝐵𝐵
1 1
0 �𝑚𝑚−1
dan intersep 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′
. Prosedur ini menawarkan metode penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ ketika tidak
�𝐶𝐶𝐵𝐵
mungkin untuk memenuhi kondisi persamaan (5.7).
Beberapa sistem kimia yang diidentifikasi oleh Charpentier (1981) sesuai untuk
penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dalam regim reaksi lambat disajikan dalam tabel 5-1.
Tabel 5.1. Sistem kimia yang digunakan untuk penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dalam regim reaksi
lambat.
Gas A Reaktan B Katalis dalam
penyerap
𝐶𝐶𝑂𝑂2 𝐾𝐾2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝑂𝑂3 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁
𝑂𝑂2 bercampur dengan udara 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶
𝑂𝑂2bercampur dengan udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆𝑂𝑂3 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂4
𝑂𝑂2 Glukosa
Butadiena Anhidrida maleat cair
5.1.2.2 Penentuan Koefisien Volumetrik, 𝒌𝒌𝑳𝑳 𝒂𝒂′ Menggunakan Reaksi Kimia Spontan
Ada metode lain dimana sistem reaksi kimia dapat digunakan untuk menentukan
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ menggunakan regim reaksi spontan dimana laju penyerapan dinyatakan dengan,
0
𝐷𝐷 𝐶𝐶
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ 𝐸𝐸𝑖𝑖 = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ �1 + 𝑧𝑧𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵∗ � (5.11)
𝐴𝐴 𝐴𝐴
Untuk menggunakan metode ini, kondisi yang harus dipenuhi adalah 𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10 𝐸𝐸𝑖𝑖 .Jika,
selain itu, 𝐶𝐶𝐵𝐵0 ≫ 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ maka laju penyerapannya adalah,
0
𝐶𝐶 𝐷𝐷
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝑧𝑧𝐵𝐵𝐷𝐷 𝐵𝐵 (5.12)
𝐴𝐴
Laju penyerapan tidak bergantung pada konsentrasi komponen A dan juga
distribusi waktu kontak dalam fase gas. Dalam prakteknya, ditemukan bahwa
penggunaan persamaan (5.12) berguna bila 𝐸𝐸𝑖𝑖 > 4. Beberapa sistem kimia yang sesuai
untuk penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dalam proses reaksi spontan disajikan pada tabel 5.2
70
Tabel 5.2. Sistem Kimia yang Digunakan Untuk Penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ Proses Reaksi Spontan.
Gas A Reaktan B
71
Dimana G adalah laju alir massa molar gas yang tidak larut (dalam gmole cm 2 s ) dan P
adalah tekanan total (pada atm).
Dalam semua kasus, perhitungan 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′ harus didasarkan pada analisis aliran gas,
karena kesalahan kecil dalam analisis aliran cairan dapat menyebabkan kesalahan besar
dalam nilai 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′. Contoh proses reaksi spontan disajikan pada tabel 5-3.
Tabel 5-3. Sistem Kimia yang Digunakan Untuk Menentukan k g a Dalam Proses Reaksi
Permukaan spontan
Gas A terlarut Gas pengencer yang tidak Reaktan B
larut (inert)
𝑆𝑆𝑂𝑂2 atau 𝐶𝐶𝐶𝐶2 Udara, Freon 12, Freon 22, NaOH
Freon 114
𝑁𝑁𝐻𝐻3 Udara, Freon 12, Freon 22, 𝐻𝐻2 𝑆𝑆𝑂𝑂4
Freon 114
Trietilamina Udara, Freon 12, Freon 22, 𝐻𝐻2 𝑆𝑆𝑂𝑂4
Freon 114
𝐼𝐼2 Udara NaOH
𝑆𝑆𝑆𝑆2 Udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆𝑂𝑂3
Propilena, CO Udara Larutan Coprous Amina
Komplek
𝑆𝑆𝑆𝑆2 Udara N , N Dimethylaniline
Dengan demikian, laju penyerapan tidak tergantung pada 𝑘𝑘𝐿𝐿 , yaitu luas permukaan antar
fasa a’ dapat ditentukan dari pengukuran laju penyerapan menggnakan persamaan (5.18)
asalkan 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ dan 𝐶𝐶𝐵𝐵0 secara efektif sama disemua bagian sistim. Tabel 5.4 menunjukkan
sistim kimia yang digunakan untuk reaksi pseudo order m
72
Tabel 5-4. Sistem Kimia yang Digunakan Untuk Penentuan luas permukaan antar fasa
gas-cair bedasar regim reaksi cepat order m semu
Gas Terlarut Reaktan B Katalis
𝐶𝐶𝑂𝑂2 bercampur dengan Na2 CO3 + NaHCO3 As(OH)3 O− , ClO−
udara 𝐾𝐾2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝑂𝑂3
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 − 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁
𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 − 𝐵𝐵𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)2
Na 2 S
COS bercampur dengan Larutan amina encer
udara
𝑂𝑂2 di dalam udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆2 𝑂𝑂3
𝑂𝑂2 di dalam udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆𝑂𝑂3 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂4 , 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂4
𝐶𝐶𝑂𝑂2 bercampur dengan Sikloheksilamina dalam
udara sikloheksanol
Monoetanol amina atau
dietanol amina dalam etanol
Monoetanolamina dalam di
atau polietilen glicol encer
𝐶𝐶𝑂𝑂2 dan 𝑂𝑂2 bercampur di Larutan cuprous amina
udara komplek encer
𝑂𝑂2 dalam udara atau Propionaldehyde Mangan propionate
𝑂𝑂2 − 𝑁𝑁2
𝐶𝐶𝐶𝐶2 p-cresol dilarutkan dalam
klorobenzena
𝐻𝐻2 Minyak nabati Ziegler-Natta
73
𝐷𝐷 𝐷𝐷 0
𝐶𝐶𝐵𝐵 𝐷𝐷
√1 + 𝐻𝐻𝐻𝐻2 ≪ �𝐷𝐷𝐴𝐴 + �𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝐸𝐸𝑖𝑖 �𝐷𝐷𝐴𝐴 (5.19)
𝐵𝐵 𝐴𝐴 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ 𝐵𝐵
Jika tingkat penyerapan diukur untuk nilai yang berbeda dari 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 dan konstanta
hidrodinamik tetap, di plot (𝑅𝑅� 𝑎𝑎′)2 versus terhadap 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 membentuk garis lurus dengan
kemiringan 𝐷𝐷𝐴𝐴 (𝑎𝑎′)2 (𝐶𝐶𝐴𝐴∗ )2 dan intercept (𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ )2 . Plot ini disebut plot Danckwerts . Jika
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ dan 𝐷𝐷𝐴𝐴 diketahui, keduanya 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′ bisa ditentukan.
Perhatikan bahwa hasil yang sama diperoleh dengan menggunakan model double-
film untuk menggambarkan reaksi order m, n ketika kondisi 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 terpenuhi, namun
kondisi 𝐻𝐻𝐻𝐻 > 3 tidak dapat terpenuhi (Charpertier, 1981).
Untuk menggunakan plot Danckwert, adalah penting untuk memastikan bahwa
sifat fisik sistem tidak berubah dengan perubahan 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 . Untuk alasan ini, akan lebih
mudah untuk menggunakan reaksi katalis dan untuk mengubah k 2 dengan menambahkan
sejumlah kecil katalis. Jika katalis cukup aktif, laju reaksi dapat bervariasi dalam rentang
yang luas tanpa mengubah konsentrasi larutan secara substansial. Laju penyerapan
menjadi demikian
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑐𝑐 𝐶𝐶𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 + 𝑘𝑘𝐿𝐿2 (5.22)
Konsentrasi katalis 𝐶𝐶𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 dapat bervariasi dan 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′ ditentukan dengan plot
(𝑅𝑅� 𝑎𝑎′)
2
versus 𝐶𝐶𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 . Sistem kimia yang sesuai untuk penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′dengan
menggunakan plot Danckwertz adalah disajikan pada tabel 5-5.
74
Tabel 5-5 Reaksi Kimia Untuk Detrminasi 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′ Dengan Menggunakan diagram
Danckwertz.
Gas A Terlarut Reaktan B Katalis
𝐶𝐶𝑂𝑂2 bercampur dengan 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 − 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂3 Arsenit
udara
𝐶𝐶𝑂𝑂2bercampur dengan 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 − 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂3 Hypoklorit
udara
𝑂𝑂2di dalam udara 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶
𝑂𝑂2 di dalam udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆𝑂𝑂3 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂4
Hati-hati dalam menggunakan metode ini karena hidrodinamik (yaitu, 𝑘𝑘𝐿𝐿 ) dapat
dipengaruhi oleh reaksi kimia, menyebabkan perubahan pada 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′ dengan
perubahan laju reaksi. Kemungkinan ini dapat diperiksa dengan mengikuti secara
bersamaan tingkat penyerapan suatu gas yang diawali sebagai reaksi pseudo orde-m,
menghasilkan 𝑎𝑎′, dan penyerapan fisik (atau desorpsi) gas lain (memberi 𝑘𝑘𝐿𝐿 atau 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′)
(Linek, 1972; Robinson dan Wilke, 1974; Beenackers dan Van Swaaij, 1976; Prasher,
1975; Mathenson dan Sandall, 1979.
Jadi, jika 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 atau 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵0 divariasi, plot 𝑃𝑃𝐴𝐴 /𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ versus 𝐻𝐻𝐻𝐻/�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 atau versus
𝐻𝐻𝐻𝐻 1
akan memberikan garis lurus dengan intercept 𝑘𝑘 dan kemiringan
2 𝑘𝑘
� 𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐷𝐷𝐴𝐴 �𝐶𝐶𝐴𝐴∗ �
𝑚𝑚−1 0 𝑛𝑛
�𝐶𝐶𝐵𝐵 � 𝐺𝐺 𝑎𝑎′
𝑚𝑚+1
1
𝑎𝑎′
. Jadi, 𝑎𝑎′ dan 𝑘𝑘𝐺𝐺 bisa dihitung secara simultan. Sistem yang aman untuk metode ini
adalah penyerapan gas CO2 kedalam larutan NaOH atau amina.
75
BAB 6
PELARUT KIMIA BESERTA
PROPERTI FISIKA DAN KIMIA
Pada bab ini diuraikan pelarut-pelarut kimia beserta property fisika dan kimianya
untuk penyerapan gas asam. Properti fisika dan kimia yang dibahas ini meliputi property
kinetika reaksi, property kelarutan, dan property perpindahan massa. Pertama diuraikan
pelarut kimia yang umum digunakan beserta keuntungan dan kerugiannya.
76
hilangnya uap yang besar disebabkan oleh tekanan uap yang tinggi. Basa kuat, lebih reaktif
terhadap acid gas dan kapasitas loading tinggi Laju sirkulasi rendah untuk rasio loading
yang sama dan lebih stabil secara kimia. Tidak cocok untuk tekanan parsial acid gas
yang tinggi.
77
bagus.Konsentrasi paling tinggi di antara alknolamine lainnya.Tekanan uap rendahLaju
sirkulasi lebih rendah dari MEA, sehingga mengurangi ukuran peralatan yang
digunakan.Dapat menghilangkan COS dan CS2 serta metil dan etil mercaptan (CH3SH
dan C2H5SH). Afinitas tinggi terhadap hidrokarbon liquid menyebabkan hydrocarbon
loss (tambahan biaya untuk recovery).Sering terjadi foaming larutan dan panas reaksi
sangat tinggi.
78
memiliki kekekurangan seperti enthalpy reaksi dengan CO2 besar sehingga konsumsi
energi untuk desorpsi CO2 tinggi.
Larutan panas K2CO3 sebagai absorben efektif digunakan dalam beberapa
industri amonia, hidrogen, ethylen oksida dan pemurnian gas alam. Laju perpindahan
massa absorpsi CO2 dapat ditingkatkan dengan menambahkan activator yang dikenal
dengan istilah sistim ‘Activated hot potassium carbonate (AHPC)’. Benfield (1971)
menggunakan DEA sebagai activator dalam larutan K2CO3, teknologi ini telah
diimplementasikan dalam produksi amonia. Proses ini tidak dapat digunakan jika tidak
ada kandungan CO2 dalam campuran gas. Laju absorpsi relatif antara CO2 dan H2S
berbeda dalam solvent, sehingga dapat didesain selektivitas absorpsinya. Ada beberapa
macam skema proses yang ditawarkan oleh proses benfield. Konfigurasi proses yang
menggunakan nama benfield umumnya memakai packed tower atau trayed tower untuk
tempat mengontakkan liquida dengan gas secara berlawanan arah dan dapat diatur untuk
mendapatkan derajat pemurnian gas yang berbeda-beda.
Di samping senyawa alkanolamine sebagai promotor pada larutan K2CO3, Gosh
dkk. (2009), menambahkan asam borat ke dalam larutan kalium karbonat. Hasil
penambahan promotor asam borat dapat meningkatkan laju absorpsi CO2, tetapi masih
berada dibawah kemampuan menggunakan promotor senyawa alkanolamine. Bartoo
(1991) menemukan promotor organik yang baru, karena pada tekanan uap yang rendah,
laju absorpsi lebih baik dibandingkan dengan penggunaan DEA dan stabilitas kimianya
baik. Aktivator tersebut dikenal ACT-1.
Beberapa keuntungan dan kelemahan penggunaan larutan kalium karbonat untuk
penyerapan gas asam sebagai berikut (Polasek dan Bullin, 1994) :
Keuntungan:
Range temperature tinggi, dapat meningkatkan kapasitas loading gas asam dan
dapat mencegah terjadinya kristalisasi garam bikarbonat.
Dapat menghilangkan karbonil sulfida dan karbon disulfida yang ada di aliran
gas dengan cara hidrolisis menjadi CO2 dan H2S, kemudian dilanjutkan dengan
reaksi dengan kalium karbonat.
Biaya solvent lebih murah.
Kebutuhan steam lebih sedikit dibandingkan dengan proses amine.
79
Pilihan skema proses relatif banyak, tergantung dari residu acid gas yang
diperbolehkan dalam produk.
Penggunaan promotor alkanolamine dapat meningkatkan laju reaksi absorpsi
Kemungkinan terjadi korosi dan foaming sangat kecil.
Sebagian besar CS2, COS, mercaptan, HCN, dan SO2 dapat terserap.
Kelemahan:
Penggunaan promotor dan aditif akan menambah biaya.
Kadang timbul masalah ketidakstabilan kolom.
Cenderung agak selektif ke H2S.
Tidak mampu menghilangkan CO2 hingga level yang sangat rendah.
Adanya SO2 dalam gas dapat mendegradasi solvent.
80
dimana kOH dan k−OH adalah konstanta laju reaksi bolak balik (6.4). Pada kondisi
kesetimbangan persamaan (6.5) diberikan :
𝑘𝑘−𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− = 𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2,𝑒𝑒 (6.6)
dimana 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 adalah konsentrasi CO2 dalam keadaan setimbang . Kebalikan reaksi (6.4)
dalam persamaan (6.6) dievaluasi pada kondisi setimbang. Substitusi persamaan (6.6)
kedalam persamaan (6.5) memberikan :
𝑟𝑟𝑂𝑂𝑂𝑂 = 𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂− �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � (6.7)
Sistim karbonat–bikarbonat adalah larutan buffer, jadi konsentrasi ion OH-
dalam larutan dekat liquida interface adalah tidak signifikan menurun dengan absorpsi
CO2. Dalam kasus ini, reaksi CO2 adalah pseudo-first order dan Pers. (6.7) dapat
dituliskan (Astarita, (1981), Danckwerts, 1970]:
𝑟𝑟𝑂𝑂𝑂𝑂 = 𝑘𝑘1 �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � (6.8)
dimana k1 adalah konstante laju reaksi pseudo-first order.
Di dalam larutan terjadi reaksi-reaksi berkesetimbangan berikut :
𝐾𝐾1
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− + 𝐻𝐻 +
𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂− 𝐶𝐶𝐻𝐻+
𝐾𝐾1 = 3
(6.9)
𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 ,𝑒𝑒
𝐾𝐾2
𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− ↔ 𝐻𝐻 + + 𝐶𝐶𝐶𝐶3=
𝐶𝐶𝐻𝐻+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶=
𝐾𝐾2 = 3
(6.10)
𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻−
3
𝐾𝐾𝑤𝑤
� 𝐻𝐻 + + 𝑂𝑂𝑂𝑂 −
𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �
𝐾𝐾𝑤𝑤 = 𝐶𝐶𝐻𝐻 + 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 − (6.11)
Kesetimbangan reaksi digunakan untuk menentukan konsentrasi [H+] , [OH-] dan
𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 Sehingga, diperoleh :
2
𝐾𝐾2 �𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻− �
𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 = 3
(6.12)
𝐾𝐾1 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶=
3
𝐾𝐾𝑤𝑤 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶=
𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 − = 𝐾𝐾 3
(6.13)
2 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻− 3
𝐾𝐾𝑤𝑤
𝐶𝐶𝐻𝐻 + = 𝐶𝐶 (6.14)
𝑂𝑂𝑂𝑂−
81
Didalam praktek di industri penambahan promotor ke dalam larutan
karbonat-bikarbonat akan menaikkan laju reaksi. Beberapa peneliti telah mempelajari
kinetika reaksi absorpsi CO2 dengan absorben K2CO3 menggunakan promotor untuk
meningkatkan daya absorpsi. Xiong dkk. (2003) menggunakan promotor Lithium
Zirkonia dan Cullinane (2004) menggunakan promotor PZ serta Ghosh dkk. (2009)
menggunakan promotor H3BO3. Yi dkk. (2009) menggunakan promotor DEA, Qian
dkk. (2011) menggunakan promotor MDEA, Thee dkk. (2012) menggunakan promotor
MEA, Thee dkk. (2012) menggunakan promotor asam borat, Shen dkk. (2013)
menggunakan promotor arginine dan Amalia dkk. (2013) menggunakan promotor
DEA+MDEA.
Reaksi antara beberapa jenis promotor dengan CO2 akan dijelaskan berikut ini.
Penambahan promotor senyawa alkanolamine dalam hal ini senyawa MDEA,
reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut Cents dkk. (2005):
CO2 + MDEA + H2O ↔ MDEAH+ + HCO3- (6.15)
MDEAH+ + OH− ↔ MDEA + H2O (6.16)
MDEA berfungsi sebagai katalis homogen. Mekanisme katalis basa ditunjukkan sebagai
berikut:
𝑅𝑅3 𝑁𝑁 𝐻𝐻 − 𝑂𝑂 − 𝐻𝐻 𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝑁𝑁 + (6.17)
𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐
𝐶𝐶𝐶𝐶2 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3−
MDEA tidak dapat bereaksi secara langsung dengan CO2 tanpa keberadaan H2O
(Bishnoi, 2000).
Penambahan promotor asam borat, mekanisme absorpsinya asam borat terlebih
dahulu bereaksi dengan K2CO3 membentuk garam KBO2, yang merupakan katalis untuk
absorpsi gas CO2 (Ahmadi, 2008).
Menurut Thee et al,(2012), reaksi antara CO2 dengan asam borat adalah sebagai berikut
𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)3 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)−
4 + 𝐻𝐻
+
(6.19)
𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)− −
4 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 ↔ 𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)4 𝐶𝐶𝑂𝑂2 (6.20)
82
𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)4 𝐶𝐶𝑂𝑂2− + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)2 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.21)
Reaksi antara CO2 dengan arginine adalah sebagai berikut (Shen et al, 2013) :
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝐻𝐻2 𝑁𝑁 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− 𝐾𝐾 + ↔ 𝐶𝐶 − 𝑂𝑂𝑂𝑂𝐻𝐻 + 𝐻𝐻𝐻𝐻 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− 𝐾𝐾 + (6.22)
𝐶𝐶 − 𝑂𝑂𝑂𝑂𝐻𝐻 + 𝐻𝐻𝐻𝐻 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− 𝐾𝐾 + + 𝐵𝐵 ↔ 𝐶𝐶 − 𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− 𝐾𝐾 + + 𝐵𝐵𝐻𝐻 + (6.23)
Reaksi (6.15), (6.20), dan (6.22) adalah langkah yang mengontrol untuk masing-masing
reaksi antara CO2 dengan promotor MDEA, asam borat dan arginine.
Menggunakan pendekatan yang sama seperti Pers. (3.9), persamaan laju reaksi
pseudo-first order untuk rAm (Danckwerts, 1970):
𝑟𝑟𝑝𝑝 = 𝑘𝑘𝑝𝑝 𝐶𝐶𝑝𝑝 �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � = 𝑘𝑘1𝑝𝑝 �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � (6.28)
dimana k2 adalah konstante laju rekasi pseudo- first-order. Pers. (6.7) dan (6.13)
menghasilkan laju reaksi overall pseudo-first order dari CO2 dengan hot potassium
carbonate dengan promotor dalam fasa liquida :
𝑟𝑟 = �𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 − + 𝑘𝑘𝑝𝑝 𝐶𝐶𝑝𝑝 ��𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � = 𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � (6.29)
dimana 𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 adalah konstante laju reaksi over-all first-order dan didefinisikan sebagai:
𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 = �𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝑘𝑘𝑝𝑝 𝐶𝐶𝑝𝑝 � (6.30)
83
6.2.2.1 Mekanisme Reaksi Zwitterion
Mekanisme zwitterion pertama kali diusulkan oleh Caplow (1968) dan
diperkenalkan kembali oleh Danckwerts (1979). Dan zwitterion adalah suatu partikel
ionic yang netral yang terbentuk dari reaksi 𝐶𝐶𝑂𝑂2 dengan amine.
Mekanisme zwitterion untuk pembentukan carbamate adalah proses 2 step
(Dugas, Ross Edward, 2009):
o Pertama 𝐶𝐶𝐶𝐶2 bereaksi dengan amine membentuk zwitterion,
o Kedua: pengambilan proton oleh basa.
Pada contoh berikut air (H2O) bertindak sebagai basa. Secara sederhana,
mekanisme zwitterion ditunjukkan dengan pengambilan proton secara irreversible
berikut,
Mekanisme zwitterion dua tahap menghasilkan persamaan laju absorpsi 𝐶𝐶𝐶𝐶2 yang
ditunjukkan pada persamaan (3.31) berikut.
[𝐴𝐴𝐴𝐴][𝐶𝐶𝐶𝐶2 ]
𝑟𝑟𝐶𝐶𝐶𝐶2 = − 1 𝑘𝑘𝑟𝑟 (6.31)
+
𝑘𝑘𝑓𝑓 𝑘𝑘𝑓𝑓 ∑ 𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐵𝐵]
Basa bisa meliputi amine, 𝐻𝐻2 𝑂𝑂, dan OH–. Dalam beberapa sistim, 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 dan OH– dapat
memberikan efek yang nyata terhadap laju reaksi (Blauwhoff, Versteeg et al. 1983).
Laju reaksi pada persamaan (6.31) menunjukkan tingkat antara satu dan dua
terhadap konsentrasi amine.
Bila deprotonasi hampir spontan dibanding reaksi balik (𝑘𝑘𝑟𝑟 << 𝑘𝑘𝑏𝑏 [B]), dan
pembentukan zwitterion adalah merupakan yang mengendali reaksi, Pers (3.31) menjadi:
Bila deprotonasi zwitterion adalah merupakan laju yang mengendali (kr >> kb(B)), Pers
(6.31) menjadi,
84
𝑘𝑘𝑓𝑓
𝑟𝑟𝐶𝐶𝐶𝐶2 = − [𝐴𝐴𝐴𝐴] [𝐶𝐶𝐶𝐶2 ] ∑ 𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐵𝐵] (6.33)
𝑘𝑘𝑟𝑟
Mekanisme zwitterion dapat juga diselesaikan dengan tahap protonasi basa reversible
berikut,
Ini akan mengarah pada bentuk persamaan laju reaksi berikut yang meliputi driving
force untuk reaksi balik carbamate menjadi amine dan𝐶𝐶𝐶𝐶2 .
𝑘𝑘𝑏𝑏
∑ [𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝑂𝑂 − ][𝐵𝐵𝐵𝐵 + ]
[𝐴𝐴𝐴𝐴] 𝐾𝐾𝑒𝑒𝑒𝑒.𝑏𝑏
𝑟𝑟𝐶𝐶𝐶𝐶2 = − 1 𝑘𝑘𝑟𝑟 �[𝐶𝐶𝐶𝐶2 ] − ∑ 𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐴𝐴𝐴𝐴][𝐵𝐵]
� (6.34)
+
𝑘𝑘𝑓𝑓 𝑘𝑘𝑓𝑓 ∑ 𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐵𝐵]
Konstanta 𝐾𝐾𝑒𝑒𝑒𝑒,𝑏𝑏 pada Pers (3.34) adalah konstanta kesetimbangan overall yang spesifik
untuk pathway basa.
Reaksi antara CO2 dengan primary dan secondary amine mengikuti mekanisme
zwitterion dengan bentuk zwitterion intermediate yang bereaksi dengan basa, B menjadi
bentuk carbamate dan atau bikarbonat.
Sebagai contoh, reaksi antara CO2 dengan MEA adalah sebagai berikut (Versteeg et al,
1996) :
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 ↔ 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− (6.35)
𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− + 𝐵𝐵 ↔ 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑂𝑂− + 𝐵𝐵𝐻𝐻 + (6.36)
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑂𝑂− + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.37)
Reaksi antara CO2 dengan DEA adalah sebagai berikut (Fei Yi et al, 2009) :
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝑅𝑅2 𝑁𝑁𝑁𝑁 ↔ 𝑅𝑅2 𝑁𝑁 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂 − (6.38)
𝑅𝑅2 𝑁𝑁 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂− + 𝑂𝑂𝐻𝐻 − ↔ 𝑅𝑅2 𝑁𝑁𝑁𝑁 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.39)
Reaksi antara gas CO2 dan larutan garam asam amino juga melalui mekanisme
pembentukan zwitterion (Portugal et al, 2007) karena garam asam amino memiliki gugus
amine primer atau sekunder.
85
6.2.2.2 Mekanisme reaksi Termolekular
Kebalikan dengan mekanisme zwitterion, Crooks dan Donnellan (1989) menyajikan
mekanisme Termolekular, yang menganggap reaksi berlangsung melalui kompleks
dengam ikatan lemah. Komplek tersebut dan mekanisme reaksi nya ditunjukkan berikut
ini,
Mekanisme ini sama dengan kasus batas dari mekanisme zwitterion dimana kr jauh lebih
besar dari pada 𝑘𝑘𝑓𝑓 Σ𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐵𝐵]. Laju absorpsi 𝐶𝐶𝐶𝐶2 identik dengan laju menggunakan
mekanisme zwitterion yang ditunjukkan pada Pers (6.33).
Sebagian besar kompleks dengan ikatan lemah ini pecah menghasilkan molekul-
molekul reagen kembali sedang sebagian kecil bereaksi dengan molekul kedua dari
amine atau air menghasilkan produk ion (Crooks and Donnellan 1989). Pembentukan
ikatan dan pemisahan muatan terjadi pada tahap kedua.
Karena mekanisme reaksi zwitterion dan termolecular memungkinkan adanya
pangkat konsentrasi Amine yang bervariasi, keduanya dapat difiting dengan data
eksperimen. Sehingga suatu persamaan laju reaksi yang efektif dapat dikembangkan
dengan menggunakan kedua mekanisme ini.
6.2.2.3 Mekanisme Hidrasi dengan katalis Basa
Pada reaksi amine tersier dengan 𝐶𝐶𝐶𝐶2, ion-ion amine terprotonasi dan bicarbonate
terbentuk. Reaksi ini konsisten dengan mekanisme satu tahap dan air harus ada agar
reaksi ini berlangsung. Menurut Donaldson dan Nguyen (Donaldson and Nguyen, 1980),
reaksi ini bisa dinyatakan dengan hidrasi 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dengan katalis basa,
𝑘𝑘2,𝑅𝑅3 𝑁𝑁 ,𝐾𝐾3
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝑅𝑅3 𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯⎯⎯� 𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝑁𝑁 + + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− (6.41)
Mekanisme yang paling banyak diterima ini berjalan melalui pembentukan ikatan
hydrogen antara amine tersier dan air, sehingga melemahkan ikatan O-H dalam air dan
menaikkan reaktivitas terhadap 𝐶𝐶𝐶𝐶2. Reaksi ini meliputi dua basa yaitu: air,
86
mengkatalisakan hidrolisa 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dan amine. Selain itu terjadi juga reaksi-reaksi berikut
dalam larutan,
𝑘𝑘2,𝑂𝑂𝑂𝑂 ,𝐾𝐾4
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝑂𝑂𝑂𝑂 − �⎯⎯⎯⎯� 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.42)
𝐾𝐾5
𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ↔ 𝐶𝐶𝑂𝑂3= + 𝐻𝐻 + (6.43)
𝐾𝐾6
𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝐻𝐻 + ↔ 𝑅𝑅3 𝑁𝑁 + 𝐻𝐻 + (6.44)
𝐾𝐾𝑤𝑤
� 𝐻𝐻 + + 𝑂𝑂𝐻𝐻 −
𝐻𝐻2 𝑂𝑂 � (6.45)
𝑘𝑘2,𝑅𝑅3 𝑁𝑁
𝑟𝑟𝑅𝑅3𝑁𝑁 = 𝑘𝑘2,𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁𝐻𝐻 + 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.46)
𝐾𝐾1
87
Pada keadaan setimbang laju reaksi kekanan sama dengan laju reaksi kekiri sehingga,
𝑘𝑘2,𝑅𝑅3 𝑁𝑁
𝑘𝑘2,𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2,𝑒𝑒 = 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁𝐻𝐻 + 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.47)
𝐾𝐾1
Bila kecepatan reaksi kekiri dianggap konstan maka laju reaksi bisa dinyatakan dengan,
Bila reaksi dengan ion hidroksida diperhitungkan dan dilakukan anggapan yang sama,
maka kecepatan reaksi total dapat dinyatakan dengan,
𝑟𝑟𝑜𝑜𝑜𝑜 = �𝑘𝑘2,𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁 + 𝑘𝑘2,𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 ��𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2,𝑒𝑒 � (6.49)
Reaksi Amine tersier dengan katalis basa dapat juga dijelaskan dengan
mekanisme zwitterion seperti yang lalu,
𝑅𝑅3 𝑁𝑁 + 𝐶𝐶𝐶𝐶2 ↔ 𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂𝑂𝑂− (6.50)
− + −
𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝑅𝑅3 𝑁𝑁 𝐻𝐻 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3 (6.51)
Pada prinsipnya, seperti dilaporkan oleh Jorgensen dan Faurholt (1954), reaksi langsung
antara 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dan amine tersier bisa terjadi pada pH sangat tinggi. Tapi pada pH lebih
rendah dari 12, laju reaksi ini dapat dibaikan. Pers (6.50) menyatakan reaksi amine
dengan 𝐶𝐶𝐶𝐶2 membentuk kompleks tak stabil. Pers (6.51 ) menyatakan reaksi hidrolisa
homogen dalam mana air bereaksi dengan kompleks tipe zwitterion mengahsilkan
bicarbonate
Amine tersier memiliki kapasitas pemuatan 𝐶𝐶𝐶𝐶2 (𝐶𝐶𝑂𝑂2 loading capacity) yang besar
yaitu 1 mol 𝐶𝐶𝐶𝐶2 /mol amine. Panas reaksi yang dilepas pada pembentukan bikarbonat
lebih rendah dari pada pembentukan carbamate, sehingga menghasilkan beaya regenerasi
pelarut yang rendah. Tapi pembentukan ion bicarbonate relative lebih lambat dari pada
pembenbtkan ion carbamate, sehingga kinetika penghilangan 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dengan amine tersier
umumnya lebih lambat dari pada amine primer dan sekunder (Vaidya and Kenig, 2007).
6.3 Data Kesetimbangan dan Kinetika Reaksi
Data kesetimbangan dan kinetika untuk reaksi gas CO2 dengan larutan Amine dan
potassium karbonat untuk beberapa sistim reaksi telah tersedia di literature (Haimour et
al.,1987; Jamal et al., 2006; Kierzkowska-Pawlak and Chacuk, 2010; Ko and Li, 2000;
Littel et al., 1990; Moniuk and Pohorecki, 2000; Pani et al., 1997; Rinker et al., 1995).
Tabel 6.1 memberikan rangkuman data konstanta kesetimbangan reaksi yang diperoleh
dari literature.
88
Table 6.1: Konstanta kesetimbangan reaksi
No Reaksi Kesetimbangan Persamaan Konstanta kesetimbangan , Pustaka
(Konstanta kesetimbangan dinyatakan
dalam kmol/m3, suhu dalam Kelvin)
1 𝐾𝐾1 3404.7 Fe Yi, 2009
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− log 𝐾𝐾1 = − + 14.843 − 0.03279 𝑇𝑇
𝑇𝑇
+ 𝐻𝐻 +
[𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ][𝐻𝐻 + ]
𝐾𝐾1 =
[𝐶𝐶𝑂𝑂2 ]
2 𝐾𝐾1 −12092.1 Edwards et
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾1 = − 36.7816 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 + 235.482
𝑇𝑇
+ 𝐻𝐻 + al,1978
[𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ][𝐻𝐻 + ]
𝐾𝐾1 =
[𝐶𝐶𝑂𝑂2 ]
3 𝐾𝐾2 −12431.7 Edwards et
𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ↔ 𝐶𝐶𝑂𝑂3= + 𝐻𝐻 + 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾2 = − 35.4819 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 + 220.067
𝑇𝑇
[CO−2 +
3 ][H ] al,1978
K3 =
[HCO3− ]
4 𝐾𝐾3,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷
𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐻𝐻 + �⎯⎯⎯� 𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 + 𝐻𝐻 + Perrin, 1965
[𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷][𝐻𝐻 + ] −3071.15
𝐾𝐾3,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾3,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = + 6.776904 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙
[𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐻𝐻 + ] 𝑇𝑇
− 48.7594
5 𝐾𝐾3,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝐻𝐻 + �⎯⎯⎯⎯� 𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾3,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 =
−8483.95
− 13.8328 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 Little et al,
𝑇𝑇
+ 𝐻𝐻 + 1990
+ 87.39717
[𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀][𝐻𝐻 + ]
𝐾𝐾3,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 =
[𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝐻𝐻 + ]
6 𝑅𝑅𝑅𝑅′ 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂− + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 1884.8 Kent and
𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾4,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 4.8255 −
𝐾𝐾4,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 𝑇𝑇
�⎯⎯⎯� 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− + 𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁 Eisenberg,
𝐶𝐶𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁 𝐶𝐶 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 1976
𝐾𝐾4,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 =
𝐶𝐶𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂𝑂𝑂 −
7 𝑅𝑅𝑅𝑅′ 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂 − + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 3090.83 Kent and
𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾4,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 6.69425 −
𝐾𝐾4,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 𝑇𝑇
�⎯⎯⎯� 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− + 𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁 Eisenberg,
𝐶𝐶𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 1976
𝐾𝐾4,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 =
𝐶𝐶𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂𝑂𝑂 −
8 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �
𝐾𝐾𝑤𝑤
� 𝐻𝐻 + + 𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾𝑤𝑤 =
−13445.9
− 22.4773 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 + 140.932 Edwards et
𝑇𝑇
[𝐻𝐻 + ][𝑂𝑂𝑂𝑂 − ] al,1978
𝐾𝐾𝑤𝑤 =
[𝐻𝐻2 𝑂𝑂]
89
Data kinetika reaksi antara 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dan larutan MDEA yang tersedia di literature
dirangkum pada Tabel (2.1). Umumnya disepakati bahwa amine tersier berkelakuan
sebagai katalis untuk reaksi hidrolisa 𝐶𝐶𝐶𝐶2. Tapi ada perbedaan pendapat didalam
literature mengenai interpretasi data kinetik. Hal ini menyebabkan perbedaan yang
relative tinggi dari nilai konstanta kecepatan reaksi kekanan untuk reaksi katalisa tersebut
yang berkisar dari 1.44 m3 kmol-1s–1 (Haimour et al., 1987) sampai 5.15 m3 kmol-1s–1
(Jamal et al., 2006) pada 293 K. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan
metoda eksperimen yang digunakan, asumsi yang digunakan, juga karena ketidak
konsistenan dari data fisik seperti kelarutan 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dan data difusivitas yang digunakan
untuk interpretasi data laju absorpsi.
90
10 k2,DEA
R1 R 2 NH + CO2 �⎯⎯� R1 R 2 NH + COO− 𝑘𝑘2,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 2.5715 × 106 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
1665.8
� Rinker et al,
𝑇𝑇
1996
11 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 8.741 × 1012 exp (−
8625
) Haimour et
T
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− al,1987
12 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 1.2919 × 109 exp (−
5760.56
) Little et al
T
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ,1990
13 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = .91 × 107 exp (−
4579
) Rinker et al
T
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ,1995
14 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 2.07 Pani et al
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 5912 ,1997
× 109 exp (− )
T
15 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 4.01 Ko and Li
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 5400 ,2000
× 105 exp (− )
𝑇𝑇
91
22 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 = 8.741 × 1012 exp (−
8625
T
) Javier et al, 1990
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3−
23 (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁𝐻𝐻2 )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 = 4.408 × 1012 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
6250
�
Yu-Ming et al
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑇𝑇 (2011)
�⎯⎯⎯� (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂
24 (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁𝐻𝐻2 )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 = 1.943 × 107 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
5176
�
Gabrielsen et
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑇𝑇 al(2006)
�⎯⎯⎯� (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂
25 (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁𝐻𝐻2 )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 Xiao et al,2000
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 2438.898
�⎯⎯⎯� (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 = 3.9355 × 106 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �
𝑇𝑇
26 (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁𝐻𝐻2 )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 = 1.63 × 1011 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
5801.7
�
Mandal and
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑇𝑇 Bandyopadhyay
�⎯⎯⎯� (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂
2005
27 HNC4 H8 NH + CO2 5712 Sun,et al,2005
𝑘𝑘2,𝑃𝑃𝑃𝑃 = 4.49 × 1012 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �
k2,PZ
�⎯� H2 N + C4 H8 NCOO− 𝑇𝑇
Table 6.3: Konstanta kecepatan reaksi CO2 dengan Garam Asam Amino
92
(1983)
93
Pada proses absorpsi dengan reaksi dianggap terjadi kesetimbangan uap-liquida
untuk gas yang terserap pada bidang batas gas-liquida. Dalam hal ini, konsentrasi suatu
gas pada bidang batas ini sama dengan kelarutannya pada tekanan yang ada pada
permukaan liquida. Hukum Henry sudah cukup baik dalam menentukan kelarutan ini.
Hukum Henry dapat ditulis sebagai berikut:
𝑝𝑝𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝐻𝐻𝐻𝐻 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (6.52)
Atau,
𝑝𝑝𝐴𝐴𝐴𝐴
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = = 𝑘𝑘𝐻𝐻 𝑝𝑝𝐴𝐴𝐴𝐴 (6.53)
𝐻𝐻𝐻𝐻
dimana He adalah konstanta Henry, 𝑘𝑘𝐻𝐻 adalah kebalikan konstanta Henry, 𝑝𝑝𝐴𝐴𝐴𝐴 adalah
tekanan partial gas dan CAi adalah konsentrasi A yang terlarut dalam gas pada keadaan
setimbang. Nilai 𝑘𝑘𝐻𝐻 untuk berbagai gas bergantung pada suhu dan dinyatakan dengan
persamaan berikut,
−∆𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝐻𝐻 1 1
𝑘𝑘𝐻𝐻 = 𝑘𝑘𝐻𝐻𝑟𝑟 × 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � 𝑅𝑅
�𝑇𝑇 − 𝑇𝑇 �� (6.54)
𝑟𝑟
Atau,
−∆𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝐻𝐻 1 1
ln 𝑘𝑘𝐻𝐻 = ln 𝑘𝑘𝐻𝐻𝑟𝑟 + � 𝑅𝑅
� �𝑇𝑇 − 𝑇𝑇 � (6.55)
𝑟𝑟
−∆𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝐻𝐻
Dengan 𝑇𝑇𝑟𝑟 = 298 𝐾𝐾. Nilai 𝑘𝑘𝐻𝐻𝑟𝑟 dan � 𝑅𝑅
� untuk berbagai gas ditunjukkan pada Tabel
6.4
Untuk gas yang terlarut dalam suatu larutan elektrolit, harga konstanta Henry
didapatkan dari persamaan:
𝐻𝐻𝐻𝐻
log �𝐻𝐻𝐻𝐻 0 � = ℎ 𝐼𝐼 (6.56)
dimana He0 adalah konstanta Henry untuk sistim gas-air dan I adalah kekuatan ionik dari
larutan yang diperoleh dari:
1
𝐼𝐼 = 2 ∑𝑖𝑖 𝐶𝐶𝑖𝑖 𝑧𝑧𝑖𝑖2 (6.57)
Ci merupakan konsentrasi ion-ion yang valensinya zi. Besaran h meliputi spesies ion
positif, ion negatif dan spesies gas:
ℎ = ℎ+ + ℎ− + ℎ𝐺𝐺 (6.58)
94
𝐻𝐻𝐻𝐻
log �𝐻𝐻𝐻𝐻 0 � = ℎ1 𝐼𝐼1 + ℎ2 𝐼𝐼2 + ⋯ (6.59)
Pengaruh suhu terhadap parameter spesifik gas ℎ𝐺𝐺 dinyatakan dengan persamaan berikut
yang diperoleh oleh Weisenberger dkk. (1996).
ℎ𝐺𝐺 = ℎ𝐺𝐺,0 + ℎ𝑇𝑇 (𝑇𝑇 − 298.15) (6.60)
Dimana hT adalah koreksi temperatur. Nilai dari h+, h-, hG,0 dan hT dapat dilihat pada
Tabel 6.5 dan Tabel 6.6
Tabel 6.4, Konstanta Henry gas gas dengan air sebagai pelarut
No Gas 𝑀𝑀 −∆𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝐻𝐻 Pustaka
𝑘𝑘𝐻𝐻𝑟𝑟 � � � � , [𝐾𝐾]
𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑅𝑅
1 CO2 3.34 × 10−2 2400 Sander et al, 2011
2 𝐶𝐶𝐶𝐶 9.83 × 10−4 1300 Sander et al, 2011
3 N2 6.1 × 10−4 1300 Kavanaugh dan Trussell, 1980
4 N2O 2.5 × 10−2 2600 Lide dan Frederikse,1995
5 NO 1.9 × 10−3 1400 Lide dan Frederikse, 1995
6 NO2 1.2 × 10−2 2500 Chamcides, 1984
7 𝑂𝑂2 1.32 × 10−3 1700 Sander et al, 2011
8 𝑂𝑂3 1.013 × 10−2 2800 Sander et al, 2011
9 𝐻𝐻2 7.903 × 10−4 530 Fernandez-Prini et al, 2003
10 𝐶𝐶𝐶𝐶2 9.32 × 10−2 2000 Sander et al, 2011
11 𝐵𝐵𝐵𝐵2 7.3 × 10−1 4400 Sander et al, 2011
12 𝐼𝐼2 2.837 3900 Fogg and Sangster, 2003
13 𝐻𝐻2 𝑆𝑆 1.013 × 10−1 2100 Sander et al, 2011
14 𝑆𝑆𝑆𝑆2 1.317 2900 Sander et al, 2011
15 𝑆𝑆𝑆𝑆6 2.43 × 10−4 3100 Warneck and William 2012
16 𝐻𝐻𝐻𝐻 3.95 × 10−4 15 Fernandez-Prini et al, 2003
17 𝑁𝑁𝑁𝑁 4.56 × 10−4 430 Fernandez-Prini et al, 2003
18 𝐴𝐴𝐴𝐴 1.42 × 10−3 1700 Warneck and William 2012
19 𝐶𝐶𝐻𝐻4 1.42 × 10−3 1600 Sander et al, 2011
20 𝐶𝐶2 𝐻𝐻6 1.93 × 10−3 2400 Sander et al, 2011
95
21 𝐶𝐶3 𝐻𝐻8 1.52 × 10−3 2700 Sander et al, 2011
22 𝐶𝐶4 𝐻𝐻10 1.22 × 10−3 3100 Sander et al, 2011
Tabel 6.5 Harga Ion Positif dan Ion Negatif Masing-Masing Ion
(Weisenberger dkk., 1996; Hatcher dkk., 2013)
96
Tabel 6.6 Nilai dari Parameter Gas (Weisenberger dkk., 1996)
Perbadingan antara konstanta Henry sistim gas-air, 𝐻𝐻𝐻𝐻 0 , dan konstanta Henry sistim
gas-larutan elektrolit, 𝐻𝐻𝐻𝐻, disebut salting coefficient Setscenow (1892), 𝑆𝑆𝑖𝑖 . Untuk larutan
amine terdapat dua efek salting yaitu pengaruh keberadaan molekul amine (salting in,
menaikkan kelarutan gas) dan pengaruh keberadaan ion ion (salting out, menurunkan
kelarutan gas) yang dinyatakan dengan persamaan (6.61)
97
ln(𝑆𝑆𝑖𝑖 ) = 𝑘𝑘𝐶𝐶𝑎𝑎 − 2.302585 ℎ 𝐼𝐼 (6.61)
Suku kedua sisi kanan pada persamaan (6.61) menyatakan efek salting out dengan
keberadaan ion ion dalam larutan dan sudah diraikan sebelumnya sebagaimana
dinyatakan pada persamaan (6.56). Suku pertama sisi kanan pada persamaan (6.61)
menyatakan efek salting in dengan keberadaan molekul amine. Beberapa peneliti
terdahulu telah mengkorelasikan parameter salting in, 𝑘𝑘, sebagai fungsi suhu untuk
beberapa pasang amine dan gas hydrocarbon (Carrol dan Mather,1997; Jou, Critchfield
dan Mather,2002; Jou dan Mather, 2004) dimana 𝑘𝑘 = 𝑎𝑎 + 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ( 0𝐶𝐶 ) dengan nilai
parameter a dan b ditunjukkan pada Tabel 6.7 dengan 𝑘𝑘 dinyatakan dalam liter/mole.
Koefisien difusi dalam fasa gas untuk berbagai sistim biner ditunjukkan pada
Tabel 6.8
98
Tabel 6.8 Koefisien difusi dalam fasa gas
No Pasangan gas Temperatur, K Koefisien difusi,
𝑚𝑚2 . 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
1 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝑁𝑁2 𝑂𝑂 273.2 9.6 × 10−6
2 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶 273.2 1.39 × 10−5
3 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶 273.2 1.44 × 10−5
4 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶 288.2 1.58 × 10−5
5 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶 298.2 1.65 × 10−5
6 𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝑂𝑂2 293.2 2.00 × 10−5
7 𝐻𝐻2 − 𝑆𝑆𝐹𝐹6 298.2 4.2 × 10−5
8 𝐻𝐻2 − 𝐶𝐶𝐻𝐻4 298.2 7.26 × 10−5
9 Aceton − udara 273.2 8.16 × 10−6
10 𝑁𝑁𝐻𝐻3 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 2.13 × 10−5
11 𝐶𝐶6 𝐻𝐻6 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 7.65 × 10−6
12 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶4 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 1.36 × 10−5
13 𝐻𝐻2 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 6.05 × 10−5
14 𝐶𝐶𝐻𝐻4 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 1.55 × 10−5
15 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 1.31 × 10−5
16 𝑛𝑛𝐶𝐶8 𝐻𝐻18 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 5.00 × 10−6
17 𝑆𝑆𝑂𝑂2 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 1.02 × 10−5
18 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 2.17 × 10−5
Koefisien difusi dalam fasa gas dapat diestimasi menggunaan persamaan Fuller,
Sxhettler, Giddings yang dinyatakan pada persamaan (6-62)
1/2
1 1
1.013×10−7 𝑇𝑇 1.75 � + �
𝑀𝑀𝐴𝐴 𝑀𝑀𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐴𝐴𝐴𝐴 = 2 (6.62)
𝑃𝑃�(∑ 𝜃𝜃𝐴𝐴 )1/3 +(∑ 𝜃𝜃𝐵𝐵 )1/3 �
99
Koefisien volume difusi atom dan structural
C 16.5 (Cl) 19.5
H 1.98 (S) 17.0
O 5.48 Lingkar aromatik/heterocyclic -20.2
(N) 5.69
Koefisien difusi dalam fasa cair untuk berbagai pasang komponen dapat dilihat pada
Tabel 6.10. Koefisien difusi dalam fasa cair dapat diestimasi dari persamaan Wilke and
Chang (1955),
(∅𝑀𝑀𝐵𝐵 )1/2 𝑇𝑇
𝐷𝐷𝐴𝐴𝐴𝐴 = 7.4 × 10−12 𝜇𝜇𝑉𝑉𝐴𝐴0.6
(6.63)
Dimana 𝐷𝐷𝐴𝐴𝐴𝐴 dinyatakan dalam m2/detik, μ dinyatakan dalam centipoise, 𝑉𝑉𝐴𝐴 dinyatakan
dalam cm3/gmole dan T dinyatakan dalam Kelvin.
100
Tabel 6.10 Koefisien difusi dala fasa cair
No Pasangan gas Temperatur, K Koefisien difusi,
𝑚𝑚2 . 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
1 𝑂𝑂2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.8 × 10−9
2 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.77 × 10−9
3 𝐻𝐻2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 5.13 × 10−9
4 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.28 × 10−9
5 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.35 × 10−9
6 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.51 × 10−9
7 𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.44 × 10−9
8 𝑁𝑁𝑁𝑁3 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.76 × 10−9
9 HN𝑂𝑂3 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 2.98 × 10−9
10 𝑆𝑆𝑂𝑂2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.75 × 10−9
11 𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝑂𝑂𝑂𝑂 298.2 5.13 × 10−9
12 𝑁𝑁𝐻𝐻4 − 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝑂𝑂𝑂𝑂 293.2 2.12 × 10−9
13 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶3 𝐻𝐻6 𝑂𝑂 313.2 4.04 × 10−9
14 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 − 𝐶𝐶3 𝐻𝐻6 𝑂𝑂 298.2 3.77 × 10−9
101
Volume
Volume molar
Atom atomic Struktur/Senyawa
3 (cm3/gmol)
(cm /gmol)
C 14,8 Lingkar, 3 atom -6,0
H 3,7 4 atom -8,5
O (kecuali berikut ) 7,4 5 atom -11,5
Bergabung dengan 6 atom -15,0
dua unsur lain Lingkar Naphthalene -30,0
dalam methyl ester 9,1 Lingkar Anthracene -47,5
dalam methyl ether 9,9
dalam ethyl ester 9,9 Udara 29,9
dalam ethyl ether 9,9 O2 25,6
dalam ester lain 11,0 N2 31,2
dalam ether lain 11,0 Br2 53,2
dalam asam (-OH) 12,0 Cl2 48,4
Bergabung dengan CO 30,7
S,P,N 8,3 CO2 34,0
N H2 14,3
Ikatan rangkap 15,6 H2O 18,8
Dalam amin primer 10,5 H2S 32,9
Dalam amin sekunder 12,0 NH3 25,8
Br 27,0 NO 23,6
Cl dalam RCHClR’ 24,6 N2O 36,4
Cl dalam RCl 21,6 SO2 44,8
F 8,7
I 37,0
S 25,6
P 27,0
102
perpindahan massa selain bergantung pada sifat fisika kimia bahan yang berpindah dan
medium dimana bahan berpindah, juga bergantung pada geometri sistim peralatan dan
karakteristik hidrodinamik nya. Selain parameter koefisien perpindahan massa laju
perpindahan massa ditentukan juga oleh luas perpindahan massa antar fasa yang
umumnya bergantung pada diameter gelembung. Pada pembahasan berikut diuraikan
parameter koefisien perpindahan massa sisi cair dan gas, dan luas perpindahan massa
antar fasa.
Koefisien perpindahan massa sisi cair dan gas dan juga luas perpindahan massa
antar fasa gas-cair untuk packed column dapat diperkirakan menggunakan korelasi yang
diperoleh Onda et al (1968)
𝐺𝐺0 0.7 𝜇𝜇𝐺𝐺 0.33 −2
𝑘𝑘𝐺𝐺 = 5.23(𝑎𝑎 𝑇𝑇 𝐷𝐷𝐺𝐺 ) �𝑎𝑎 � �𝜌𝜌 � �𝑎𝑎 𝑇𝑇 𝑑𝑑𝑝𝑝 � (6.64)
𝑤𝑤 𝜇𝜇𝐺𝐺 𝐺𝐺 𝐷𝐷𝐺𝐺
Pada penentuan luas perpindahan antar fasa menggunakan Pers(6.65) diperlukan data
luas permukaan spesifik packing dalam keadaan kering yang dapat diperoleh dari Tabel
6.12.
Tabel 6.12 Luas permukaan spesifik berbagai tipe packing
No Type packing Dry packing area, 𝑐𝑐𝑐𝑐2 /𝑐𝑐𝑐𝑐3
1 ½ in ceramic intalox saddles 4.8
2 ½ in ceramic Pall rings 4.2
3 5/8 in steel Pall rings 3.5
4 ½ in ceramic Raschig rings 3.7
5 1 in ceramic Pall rings 2.2
6 1 in ceramic Raschig rings 1.9
7 1 ½ in ceramic Raschig rings 1.3
8 1 in Intalox saddles 2.5
Nilai 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 untuk packed column juga bisa diestimasi dari korelasi oleh Sherwood dan
Holloway (1940),
103
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 𝐿𝐿 1−𝑛𝑛 𝜇𝜇 0.5
𝐷𝐷𝐴𝐴
= 𝛼𝛼 �𝜇𝜇� �𝜌𝜌𝐷𝐷 � (6.70)
𝐿𝐿
Konstanta α dan n pada Pers (6.69) untuk berbagai jenis packing diperoleh dari Tabel
6.13
Tabel 6.13 Nilai konstant α dan n pada pers (3.69) untuk bergai jenis packing
No Jenis Packing α n
1 2 in Raschig rings 80 0.22
2 1 ¼ in Raschig rings 90 0.22
3 1 in Raschig rings 100 0.22
4 ½ in Raschig rings 280 0.35
5 3/8 in Raschig rings 550 0.46
6 1 ½ in Berl saddles 160 0.28
7 1 in Berl saddles 170 0.28
8 ½ in Berl saddles 150 0.28
9 3 in spiral tile 110 0.28
104
𝑎𝑎 = 0.27 × 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐺𝐺0.375 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐿𝐿0.247 𝑊𝑊′0.515 (6.74)
1/2
k G = 7 u1/4 S −1/2 DG (6.75)
1/2
k L = 11 u1/4 S −1/2 DL (6.76)
a′′′ = 0.7 u1/2 S 5/6 (6.77)
Calderbank (1959) dan Calderbank dan Mooyoung (1961) mempelajari
karakteristik perpindahan massa untuk tipe absorber jenis sieve plates. Persamaan (6.77)
diperoleh oleh Calderbank (1959) untuk mengestimasi luas permukaan antar fasa
persatuan volume busa (froth)
u 0.775 uρ 0.125 gρ 1/3
a′′ = 0.38 �u � �ndμ� �dσ� (6.78)
t
𝐷𝐷 1/2
𝑘𝑘𝐿𝐿 = 0.42(𝑔𝑔𝑔𝑔)1/3 � 𝜈𝜈𝐿𝐿� (6.80)
Pers(6.79) berlaku untuk gelembung gelembung kecil yang sifatnya sebagai bola-bola
rigid. Sedangkan Pers (6.80) berlaku untuk gelembung gelembung yang lebih besar yang
mempunyai permukaan yang mobile. Pada perancangan sieve tray, pers (6.79) yang lebih
direkomendasikan untuk mendapatkan perancangan yang aman karena memberikan nilai
𝑘𝑘𝐿𝐿 yang lebih kecil dibanding menggunakan pers (6.80)
Persamaan (6.79) dan (6.80) bisa digunakan untuk menaksir koefisien perpindahan
massa sisi liquid didalam agitated bubble-absorber. Bila diameter gelembung lebih besar
dari 2.5 mm, 𝑘𝑘𝐿𝐿 diperoleh dari pers (6.80), bila diameter gelembung lebih kecil dari 2.5
mm 𝑘𝑘𝐿𝐿 diperoleh dari pers (6.79). Calderbank (1958) membuat korelasi untuk menaksir
luas permukaan antar fasa pada agitated bubble absorber. Pada kecepatan pengadukan
105
0.7
𝑑𝑑2 𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑁𝑁𝑁𝑁 0.3
sedang yaitu bila � 𝜇𝜇
� � 𝑢𝑢 � < 20000, luas permukaan antar fasa diperoleh dari
0.7
𝑑𝑑2 𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑁𝑁𝑁𝑁 0.3
Pers (6.81), sedang pada kecepatan pengadukan cepat yaitu bila � 𝜇𝜇
� � 𝑢𝑢 � >
0.7
2.3 𝑎𝑎′′ 𝑑𝑑2 𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑁𝑁𝑁𝑁 0.3
log � 𝑎𝑎0 ′′
� = 1.95 × 10−5 � 𝜇𝜇
� � 𝑢𝑢 � (6.82)
𝑎𝑎′′ adalah luas permukaan antar fasa per satuan volume busa (froth). Hold up gas bisa
diperoleh dari Calderbank (1958) yang ditunjukkan pada Pers. (6.83).
𝑎𝑎′′ 𝑢𝑢 0.5
∅𝐺𝐺 = 𝑎𝑎 � � ∅0.5
𝐺𝐺 + 0.015𝑎𝑎′′ (6.83)
0 ′′ 𝑢𝑢 𝑡𝑡
𝑎𝑎′′
𝑎𝑎′ = 1−∅ (6.84)
𝐺𝐺
𝑎𝑎′ adalah luas permukaan antar fasa per satuan volume liquid
Kolom gelembung (bubble column) sering juga digunakan sebagai absorber, reaktor
kimia, bioreaktor, maupun peralatan untuk pengolahan air limbah. Pada kolom
gelembung, gas dialirkan masuk kebagian bawah kolom liquid, tidak ada pengadukan
selain yang diakibatkan oleh aliran gas. Parameter perancangan penting untuk kolom
gelembung adalah gas holdup, luas permukaan antar fasa gas-liquid, koefisien
perpindahan massa sisi liquid dan gas. Banyak peneliti peneliti mempelajari karakteristik
perpindahan massa dan karakteristik hidrodinamik bubble co0lumn antara lain
Calderbank dan Lochiel (1964), Calderbank dan Patra (1966), Calderbank dkk (1970),
Hughmark (1967), Grund dkk(1992), Akita dan Yoshida (1973), Akita dan Yoshida
(1974), Akita (1987). Hughmark (1967) memberikan korelasi untuk gas holdup didalam
bubble column yang dinyatakan dengan persamaan,
0.665164
1 72 1/3
∅𝐺𝐺 = 0.031915 × �𝑢𝑢 �𝜌𝜌 × 𝜎𝜎
� � (6.85)
106
DAFTAR NOTASI
107
G Kecepatan gas superfisial, gmole/ cm2 det.
h Tinggi wetted-wall Column
DAFTAR NOTASI
ℎ+ , ℎ− , ℎ𝐺𝐺 Kontribusi ion positif, ion negaif, dan gas terhadap faktor kelarutan, lt/
gmole
Ha �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0
Bilangan Hatta didefinisikan dengan 𝐻𝐻𝐻𝐻 =
𝑘𝑘𝐿𝐿
𝐻𝐻𝐻𝐻′ 𝜋𝜋
Didefinisikan 𝐻𝐻𝑎𝑎′ = �4 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡
108
𝐾𝐾1 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂− 𝐶𝐶 +
3 𝐻𝐻
Konstanta Kesetimbangan 𝐾𝐾1 = 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2
𝐾𝐾2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂= 𝐶𝐶
3 𝐻𝐻+
Konstanta Kesetimbangan 𝐾𝐾2 = 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂−
3
DAFTAR NOTASI
109
liquida yang bergolak, gmole/(cm2 det)
𝑅𝑅𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 Fluksi penyerapan gas persatuan luas permukaan antar fasa untuk
absorpsi fisik, gmole/(cm2 det)
𝑅𝑅𝑟𝑟𝑟𝑟 Fluksi penyerapan gas persatuan luas permukaan antar fasa untuk
absorpsi dengan reaksi kimia, gmole/(cm2 det)
DAFTAR NOTASI
T Suhu absolut, K
U Kecepatan seperfisial gas, cm/det.
𝑈𝑈𝑆𝑆 Kecepatan permukaan, cm/det
v Laju alir liquid, cm3/det.
x Jarak dibawah permukaan liquid, cm
y Jumlah moles produk P yang dibentuk karena reaksi satu mole A
z Jumlah moles reaktan B yang bereaksi dengan satu mole A.
Huruf Latin
γ Diffusivitas termal liquid yaitu 𝛾𝛾 = 𝜌𝜌𝜌𝜌
𝑘𝑘
110
𝛿𝛿′ Jarak dari interface ke bidang reaksi, cm
−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 Panas pelarutan, cal/gmole
−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 Panas reaksi, cal/gmole
θ Waktu berkontaknya liquid dengan gas, detik
μ Viskositas liquid, g/ (cm. det)
DAFTAR NOTASI
Huruf Latin
𝜇𝜇𝐺𝐺 Viskositas gas, g/ (cm. det)
𝜌𝜌𝐿𝐿 , 𝜌𝜌 Densitas liquid, g/ cm3
𝜌𝜌𝐺𝐺 Densitas gas, g/ cm3
σ Kapasitas panas liquid, cal/g.0C
τ 𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
Waktu tak berdimensi yang didefinisikan dengan 𝜏𝜏 = 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝜏𝜏𝑃𝑃 Waktu penetrasi tak bedimensi yang didefinisikan dengan
𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
4 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝜏𝜏𝑃𝑃 = 𝜋𝜋𝑘𝑘𝐿𝐿2
111
SOAL - SOAL
2. Gas H2S pada 1 atm dan suhu 300C diserap kedalam air. Hitung jumlah mole H2S
yang diserap per 1 cm2 permukaan kontak dalam waktu 0.1 detik.
3. Gas CO2 pada 1 atm dan suhu 300C diserap kedalam larutan buffer alkali yang
mengandung suatu katalis. CO2 yang terlarut mengalami reaksi irreversible order satu
semu dengan persamaan kecepatan reaksi, −𝑟𝑟𝐴𝐴 = (𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝑘𝑘𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 𝐶𝐶𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 )𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2 =
𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2 . Bila permukaan liquida dikontakkan dengan gas selama 0.01 detik, liquida ini
akan menyerap 1.5 x 10-8 gmole CO2 per cm2. Tentukan harga konstanta kecepatan
reaksi k1.
4. Gas H2S pada 1 atm diserap kedalam lasrutan 0.1 M MEA pada 250C. Reaksi yang
terjadi didalam larutan adalah H2S + RNH2 → HS- + RNH3+. Reaksi ini bisa dianggap
berkesudahan dan spontan. Hitung jumlah mole H2S yang diserap per cm2 permukaan
antar fasa dalam waktu 0.1 detik didalam air dan didalam larutan MEA.
112
5. Gas A diserap kedalam suatu cairan absorben didalam mana A mengalami reaksi
isomerisasi berikut: A ⇔ R . Reaksi ini reversible order satu. Diketahui data berikut:
𝑘𝑘1 = 40 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝑃𝑃𝐴𝐴 = 0.3 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝐾𝐾 = 4, 𝐷𝐷𝑅𝑅 = 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.8 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
1
𝐻𝐻𝐴𝐴
= 0.05 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔. 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 −1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1. Waktu kontak = 0.1 detik
6. Gas A diserap kedalam larutan yang mengandung B dengan mana A bereaksi menurut
reaksi berikut: 𝐴𝐴 + 2 𝐵𝐵 → 𝐶𝐶. Reaksi ini berordrer satu terhadap A dan berorder dua
terhadap B. Diketahui data berikut:
𝑘𝑘1,2 = 9500 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 2 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 −2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
DA = 2 x 10-5 cm2/detik
DB = 1.5 DA , CB0 = 0.5 gmol/liter , PA = 0.2 atm
1/HA = 3 x 10-5 gmol/(cm3 detik)
Tentukan: a) Flux penyerapan A pada waktu kontak 0.5 detik
b) Jumlah gmol A yang terserap per cm2 luas permukaan antar fasa dalam
waktu kontak 0.5 detik
c) Harga enhancement factor pada waktu kontak 0.5 detik
7. Gas CO2 diserap kedalam larutan yang mengandung alkali karbonat dan bikarbonat
dan ion arsenit sebagai katalis. Reaksi yang menentukan kecepatan reaksi adalah,
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝑂𝑂𝑂𝑂 − ↔ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (1)
Reaksi-reaksi kesetimbangan yang terjadi didalam larutan adalah,
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐻𝐻 + + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (2)
𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ↔ 𝐶𝐶𝑂𝑂32− + 𝐻𝐻 + (3)
Diketahui data berikut:
k2 [konstanta kecepatan reaksi kekanan untuk reaksi (1)]=10000 liter/(mole detik)
𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− = 1 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 , 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂32− = 0.5 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙
113
K2 [Konstanta kesetimbangan untuk reaksi (3)] = 4.7 x 10-11 mole/liter
DA = 1.5 x 10-5 cm2/detik
CAi = 3 x 10-6 mole/cm3.
Anggap untuk reaksi (1), reaksi kekanan berorder satu semu dan reaksi kekiri
mempunyai kecepatan konstan. Tentukan mole CO2 yang terserap per cm2 luas
antarfasa dalam waktu kontak 0.5 detik.
8. Gas CO2 diserap kedalam larutan absorben yang mengandung NH3, NH2COO- dan
NH4+ berturut-turut dengan konsentrasi 0.08 M, 0.5 M, dan 0.5 M. Cairan dalam
kondisi tak teraduk.
Data: 1/HA=0.05 gmol/(liter atm),K=0.0015 mol/liter, DA=0.000018 cm2/det,
k2=500 lit/(mol detik). Reaksi yang terjadi:
CO2+ 2 NH3 → NH2COO- + NH4+
Anggapan: Reaksi kekanan order satu semu dan kekiri kecepatannya konstan.
Tentukan gmol CO2 yang terserap per cm2 luas antar fasa dalam waktu 2 detik
12. Gas H2S dengan tekanan parsial 0,2 atm diserap kedalam larutan 0,5 M MEA yang
dalam kondisi tak teraduk pada 250C. Reaksi yang terjadi didalam larutan adala H2S +
RNH2 →HS- + RNH3+.
Data: k2= 104 liter/(gmol.det), DA=0.000015 cm2/det, DB = 0.7 DA
1/HA=0.05 gmol/(liter atm).
a) Hitung harga enhancement factor E dan bilangan Hatta untuk waktu
kontak 1 detik
b) Untuk waktu kontak 1 detik tersebut, daptkah reaksi tersebut dianggap
sebagai:i)reaksi spontan; ii)reaksi order satu semu; iii)reaksi order satu
semu cepat
c) Hitung jumlah gmole H2S yang diserap per cm2 permukaan antar fasa
dalam waktu 1 detik.
13. Suatu gas A diserap kedalam liquida yang mengandung komponen reaktif B dengan
konsentrasi 0,1 M. Dianggap reaksi antara komponen A dan komponen B spontan.
114
Absorpsi dilakukan pada kondisi sedemikian sehingga CAi = 0,1 M. Koefisien diffusi
A dalam liquida DA adalah 10−5 cm2/ det.
a. Tentukan enhancement factor bila :
( i ) DB = DA
( ii ) DB = 2 DA
b. Bilamana k2 = 104 lt/ (gmole. det), waktu kontak t = 0,1 detik, dan stoichiometri
reaksi :
A + 2B → Produk
maka check apakah anggapan reaksi spontan benar ?
c. Bila tidak dianggap reaksi spontan tentukan enhancement factor dan laju penyerapan
per cm2 luas permukaan antar fasa untuk waktu kontak 0.1 detik.
14. Gas CO2 dengan tekanan 1 atm diserap kedalam larutan NaOH 1M. Diketahui data
berikut :
𝐻𝐻𝐴𝐴 = 3 × 104 𝑐𝑐𝑐𝑐3 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 , 𝑘𝑘2 = 104 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.5 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
a. Tentukan harga maksimum waktu kontak t diatas mana reaksi tak bisa lagi
dianggap sebagai orde satu semu.
b. Bila waktu yang digunakan adalah separo dari waktu yang diperoleh pada a).
tentukan Fluksi absorbsinya.
15. Air pada 300C mengalir kebawah pada permukaan wetted wall column dengan
diameter luar (OD) tabung 2.5 cm dan tinggi 25 cm dengan laju 3.4 cm3/detik. Dari
bawah dialirkan gas karbon dioksida pada tekanan 1 atm. Kelarutan gas karbon
dioksida adalah 1/HA = 0.04 gmol/(liter atm). Bila pengaruh ripples (riak) diabaikan
maka:
a) Hitung tebal film liquid
b) Hitung waktu kontak
c) Bila dari percobaan ternyata diperoleh laju penyerapan 3.2 x 10-5 gmol/detik tentukan
harga koefisien diffusi CO2 didalam air.
d) Chek apakah aliran film liquida laminar?
115
e) Hitung jarak dari permukaan liquida (pada bagian bawah batang) pada mana
konsentrasi CO2 adalah 0.01 CAi dan hitung kecepatan pada titik ini sebagai fraksi
kecepatan permukaan.
f) Bila CO2 diserap kedalam larutan 0.45 M NaOH pada suhu 300C dan tekanan parsial CO2
0.02 atm ternyata laju penyerapan CO2 adalah 2.82 x 10-5 gmol/detik. Tentukan harga
konstanta kecepatan reaksi k2 . Apakah pada kondisi ini reaksi bisa dianggap sebagai
reaksi order satu semu?
16. Gas CO2 akan diserap kedalam larutan NaOH. Terjadi reaksi berikut didalam larutan
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 2 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 → 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂
Kelarutan CO2 dalam liquid dianggap tak bergantung pada konsentrasi NaOH.
Diketahui data berikut :
𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝐷𝐷𝐴𝐴 , 𝑘𝑘2 = 107 𝑐𝑐𝑐𝑐3 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 25000 𝑐𝑐𝑐𝑐3 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
a. Dapatkah reaksi ini dipandang sebagai reaksi orde satu semu bila waktu kontak
0.01 detik dan bila :
(i) tekanan parsial CO2 1 atm dan konsentrasi NaOH = 1 gmole/ lt.
(ii) tekanan parsial CO2 1 atm dan konsentrasi NaOH = 3 gmole/ lt.
b. Bila waktu kontak gas - liquid 0.1 detik dan konsentrasi NaOH 3 gmole/ liter
berapakah tekanan parsial CO2 dimana reaksi tak bisa lagi dipandang sebagai
reaksi orde satu semu.
Abaikan tahan film gas.
17. Gas CO2 dengan tekanan parsial 0.1 atm diserap kedalam larutan MEA dengan
konsentrasi 2.5 moles/ liter didalam wetted wall Column. Waktu kontak gas-liquid
adalah 0.2 detik. Laju penyerapan CO2 kedalam liquid adalah 3.26 x 10-4 mol/ detik.
Luas kontak antara gas-iquid adalah 180.5 cm2.
Absorpsi terjadi pada suhu 25OC.
Diketahui data berikut :
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.4 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 0.77 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 29800 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎. 𝑐𝑐𝑐𝑐3 . 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
Reaksi yang terjadi antara CO dan MEA dianggap berorder satu semu.
a Tentukan harga konstanta kecepatan reaksi
b Tentukan harga enhancement factornya.
116
Abaikan tahan film gas, dan anggap tekanan parsial CO2 dan konsentrasi MEA
diseluruh bagian kolom seragam.
18. Gas H2S yang berada diudara dengan kadar 0,1%, tekanan 20 atm, suhu 20OC, diserap
kedalam larutan MEA dengan kadar 0,25 mole/ liter.
Diketahui data berikut :
𝑘𝑘𝐴𝐴𝐴𝐴 = 6 × 10−5 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑐𝑐𝑐𝑐−2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1
𝑘𝑘𝐴𝐴𝐴𝐴 = 0.05 𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐻𝐻𝐴𝐴 = 0.0115 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.5 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
Anggap reaksi spontan. Waktu kontak = 0,1 detik.
a. Tentukan konsentrasi A dalam fasa liquida pada interface, A*
b. Tentukan tekanan parsial A pada interface, PAi
c. Tentukan laju absorpsi rata-rata A kedalam liquida per satuan luas.
d. Tentukan enhancement factor.
19. Gas CO2 dalam udara pada 2 atm (mengandung 20% mol CO2) akan diserap kedalam
larutan 1 M NaOH pada 300C didalam suatu absorber tangki teraduk. Reaksi yang
terjadi adalah:
CO2 + 2 NaOH → Na2CO3 + H2O
Data: 1/HA=0.05 gmol/(liter atm), kL=0.03 cm det-1
DA=0.000015 cm2/det,DB=0.000025 cm2/det, k2=9000 lit/(mol detik).
Tentukan bilangan Hatta, enhancement factor, dan fluks penyerapan dengan
menggunakan: a) model film
b) model Higbie
20. Gas H2S diserap oleh larutan MEA didalam packed Column yang beroperasi pada
tekanan 20 atm dan suhu 20OC. Pada puncak kolom, gas mengandung 0,5% H2S,
sedang cairan absorben mengandung 0.5 M MEA.
Kelarutan H2S dalam larutan MEA adalah 0.1 gmole/(lt)(atm)
Reaksi yang terjadi :
𝐻𝐻2 𝑆𝑆 + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 → 𝐻𝐻𝑆𝑆 − + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻3+
117
Anggap reaksi ini irreversible spontan.
Diketahui data berikut :
𝐷𝐷𝐵𝐵 = 0.6 𝐷𝐷𝐴𝐴 , 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 = 0.03 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 6 × 10−5 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑐𝑐𝑐𝑐−3 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
a. Dengan menggunakan Model Higbie, tentukan :
(i) Tekanan parsial H2S dan konsentrasi H2S dalam fasa liquida pada interface.
(ii) Laju absorpsi H2S per satuan volume packing
(iii) Enhancement factor
b. Jawab pertanyaan-pertanyaan pada a). bila digunakan model film, bandingkan
jawaban ini.
21. Gas CO2 diserap kedalam suatu larutan NaOH didalam packed Column yang
beroperasi pada tekanan 10 atm dan suhu 20OC. Dibagian bawah kolom, fasa gas
mengandung 10% CO2.
Reaksi yang terjadi :
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 2 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 → 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂
Diketahui data berikut :
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 = 0.01 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 5 × 10−5 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑐𝑐𝑐𝑐−3 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.5 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 1.7 𝐷𝐷𝐴𝐴
1
𝑘𝑘2 = 104 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐻𝐻 = 0.04 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 −1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1
𝐴𝐴
a..Tentukan konsentrasi NaOH (dalam fasa liquid pada bagian bawah kolom) yang
terkecil dibawah mana reaksi bisa dianggap sebagai psendo first order.
b. Bila konsentrasi NaOH dibagian bawah kolom adalah ½ dari konsentrasi yang
diperoleh pada a). tentukan laju absorpsi CO2 per satuan volume packing
ditempat tersebut.
c. Bila konsentrasi NaOH dibagian bawah kolom adalah 2 kali konsentrasi yang
diperoleh pada : a). tentukan laju absorpsi CO2 per satuan volume packing
ditempat tersebut.
( Gunakan model Higbie ).
118
didalam packed column pada kondisi dimana,
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 0.1 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚. 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗−1 𝑚𝑚−3 𝑃𝑃𝑃𝑃−1 , 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 = 100 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗−1 , 𝑙𝑙 = 0.01
𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 10−6 𝑚𝑚2 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗−1 , 𝑘𝑘2 = 10 𝑚𝑚3 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗−1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 105 𝑃𝑃𝑃𝑃. 𝑚𝑚3 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
Pada suatu tempat didalam kolom dimana PA = 100 Pa (Pascal) dan CB0= 100 mol/m3
a) Hitung laju absorpsi dalam mole/(jam. m3 packed colum)
b) Tahanan mana yang paling besar?
c) Tentukan apakah proses yang tejadi didalam liquid dapat dinyatakan sebagai reaksi
order satu semu atau reaksi spontan, atau reaksi order dua, atau perpindahan massa
fisik (tampa ada pengaruh reaksi kimia).
23. Gas CO2 diserap kedalam larutan NaOH pada packed column. Reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut,
𝐶𝐶𝑂𝑂2 (𝐴𝐴) + 2 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 (𝐵𝐵) → 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂, − 𝑟𝑟𝐴𝐴 = 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵
Diketahui data berikut,
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 10−4 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚. 𝑚𝑚−2 𝑠𝑠 −1 𝑃𝑃𝑃𝑃−1 , 𝑘𝑘𝐿𝐿 = 10−4 𝑚𝑚. 𝑠𝑠 −1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 2500 𝑃𝑃𝑃𝑃. 𝑚𝑚3 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
𝑎𝑎 = 100 𝑚𝑚−1 , 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.8 × 10−9 𝑚𝑚2 . 𝑠𝑠 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 3.06 × 10−9 𝑚𝑚2 . 𝑠𝑠 −1
𝑘𝑘2 = 10 𝑚𝑚3 . 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 𝑠𝑠 −1 , 𝑙𝑙 = 0.1
Pada suatu tempat didalam kolom dimana PA = 105 Pa (Pascal) dan CB0= 500 mol/m3
a) Hitung laju absorpsi dalam mole/(jam. m3 packed colum)
b) Tahanan mana yang paling besar?
c) Tentukan apakah proses yang tejadi didalam liquid dapat dinyatakan sebagai
reaksi order satu semu atau reaksi spontan, atau reaksi order dua, atau
perpindahan massa fisik (tampa ada pengaruh reaksi kimia).
24. Gas H2S diserap oleh larutan MEA didalam packed column. Dibagian atas kolom
tekanan gas adalah 20 atm dan mengandung 0.1% H2S, sementara absorben
mengandung 250 mol MEA /m3. Diffusivitas MEA didalam larutan adalah 0.64 kali
diffusivitas H2S. Terjadi reaksi berikut,
𝐻𝐻2 𝑆𝑆 + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 → 𝐻𝐻𝑆𝑆 − + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻3+
Yang dianggap irreversible dan spontan. Diketahui data berikut,
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 = 0.03 𝑠𝑠 −1 , 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 60 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚. 𝑚𝑚3 . 𝑠𝑠 −1 . 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 104 𝑚𝑚3 . 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎. 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
119
a) Tentukan laju absorpsi H2S kedalam lautan MEA
b) Tentukan harga enhancement factor. Apakah ada manfaatnya pemakaian
absorben larutan MEA ini.
3. Buat program komputer untuk menentukan harga enhancement factor dan laju
penyerapan persatuan luas antar fasa untuk peristiwa absorpsi gas disertai reaksi
reversible order dua berikut: A + z B ⇔ y P
Uji coba program tersebut untuk data masukan berikut:
DA = 1.5x10-5 cm2/det DB = 1.2 DA DP = (4/3) DA
HA = 350 liter atm/ gmole K=4 CB0 = 0.7 gmol/liter
kf = 5000 liter/(gmol detik) t = 0.1 detik PA = 0.2 atm z=1 y=2
120
DAFTAR PUSTAKA
121
12. Brian, P.L.T., J.F. Hurley and E.H.Hasseltine,”Penetration Theory for Gas
Absorption Accompanied by a Second Order Chemical Reaction”, AIChE J,
vol.7,226, 1961
13. Carroll, J.J.,Maddocks J., Mather, A.E.,“The solubility of Hydrocarbons in Amine
Solutions”, Laurence Reid Gas Conditioning Conference, Norman, Oklahoma,
March, 1998
14. Carroll, J.J.,and Mather, A.E.,“ A Model for the solubility of Hydrocarbons in Water
and Aqueous Solutions of Alkanolamine”, Chem. Eng. Sci, 52, 545-552, 1997
15. Carslaw,H.S. and J.C. Jaeger,”Coduction of Heat in Solids”, 2nd ed., Oxford Univ.
Press, Oxford, UK, 1959
16. Danckwerts, P, V, F. R. S., “ Gas - Liquid Reactions “, Mc. Graw - Hill Book
Company, New York, 1970.
17. Deckwer, W.D.; Burclhart,R.;Zoll,G.”Mixing and mass transfer in tall bubble
column”,Chem.Eng.Sci. 1974,29,2177-2188
18. Deckwer, W.D., Nguyentien,K.;Kelkar, B.G.;Shah,Y.T.,Applicability of axial-
dospersion model to analyze mass-transfer measurements in bubble-column. AIChE
J. 1983,29,915-922
19. Ding, J.S., S.Sharma, and D.Luss,” Steady State Multiplicity and Control of the
Chlorination of Liquid n-Decane in an Adiabatic Continuously Stirred Tank
Reactor”, Ind. Eng.Chem. Fundam., Vol.13, 76, 1974
20. Edali, M.;Idem,R.,Aboudheir, A., “ 1D and 2D absorption-rate/kinetic modeling and
simulation of carbon dioxide into aqueous solution of MDEA and PZ in a laminar jet
apparatus”, Int. J. Green Gas Cont., 4, 143-151, 2010
21. Effendi,M dan M.Ikhlas,”Simulasi Absorpsi Gas Disertai Reaksi Kimia Irreversible
Order Dua Pada Kondisi NonIsothermal”, Skripsi, Jurusan Teknik Kimia, FTI, ITS,
2001
22. Elhosane, Y., Altway,A., Susianto, “Kinetic Study of Carbon Dioxide Absorption
into Glycine Promoted MDEA”, Innternational Journal of Technology and
Enginnering Studies, Vol.2, No.2, pp.46-51, 2016
23. Froment, G. F, and K. B. Bischoff, “ Chemical Reactor Analysis and Design “, John
Wiley & Sons, New York, 1979.
122
24. Glasscock,D.A. and G.T.Rochelle,”Approximate Simulation of CO2 and H2S
Absorption into Aqueous Alkalinolamine “, AIChE Journal,Vol.39,No.8,1993
25. Guo,D.;Thee,H.;Tan,C.Y.;Chen,J.;Fei,W.Kentish,S.E.;Steven,G.W.;da Silva,
G.,”Amino Acids as carbon dioxide capture solvents:chemical kinetics and
mechanism of the glycine + CO2reaction”, Energy Fuels, 27,7,3898-3904,2013
26. Haikal, M., dan Ayustiningrum,S., “Studi Kinetika Absorpsi CO2kedalam larutan
MDEA berpromotor Argini dan L-Glutamic Acid menggunakan Wetted Wall
Column”, Skripsi, Deoartemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya, 2017
27. Haimour, N., and Sandall, O.C., “Absorption of CO2 into aqueous MDEA”,
Chemical Engineering Science, 39(12),1791-1796, 1987
28. Han, L.; Al-Dahhan,M.H. Gas Liquid mass transfer in a high-pressure bubble
column reactor with different sparger designs. ChemEng.Sci2007, 62,131-139
29. Hartono, A.;da Silva,E.F.;Svendsen,H.F.,”Kinetics of carbon ddioxide absorption in
aqueous solution of diethylenetriamine (DETA)”,Chem. Eng. Sci, 64, 3205-3213,
2009
30. Hatcher N.A., Jones, C.E., Weiland R.H.,”Hydrocarbon and Fixed Gas Solubility in
Amine Treating Solvents: A Generalized Model”,Laurence Reid Gas Conditioning
Conference, Norman, Oklahoma, Fewbruary, 2013
31. Higbie,R.,”The rate of absorption of a pure gas into a still liquid during a short time
of exposure”, Transactions of the American Institte of Chemical Engineers, 31, 365-
389, 1935
32. Hikita, H. and S.Asai,” Gas Absorption with (m,n)-th Order Irreversible Chemical
Reaction”, Int. Chem. Eng., Vol.4, 332, 1964
33. Hikita,H.,Asai,S.,Ishikawa,H.,Honda,M.,The kinetics of reactions of carbon dioxide
with monoethanolamine, diethanolamine and triethanolamine by rapid mixing
method”, Chem.Eng.J.,An International Jpurnal of Research and Development 13, 7-
12, 1977
34. Hix, R.M. and S. Lynn,”Reactive Absorption of SO2 in Poly Glycol Ether: The
Effect of Volatile Dissolved Reactant on Mass Transfer Enhancement”, IEC, Res,
Vol.30, 930, 1991
123
35. Hwang, K.-S.;Park,D.-W.;Oh,K.-J.; Kim, S.,-S;Park,S.,-W., Chemical absorption of
carbon dioxide into aqueous solution of potassium threonate”, Sep. Sci.
Technol.,45,497-507, 2010
36. Jamal A., Meisen A., Jim Lim C., (2006). “Kinetics Of Carbon Dioxide Absorption
And Desorption In Aqueous Alkanolamine Solutions Using A Novel Hemispherical
Contactor – I. Experimental Apparatus And Mathematical Modeling ". Chem. Eng.
Sci., 61, 6571-6589.
37. Jiru, Y., and Eimer, D.A.,” A Study of Mass transfer Kinetics of Carbon Dioxide in
(Monoethanolamine+Water) by Stirred Cell”, Energy Procedia, 37, 2180-2187,2013
38. Joosten, G.E.H. and P.V. Danckwertz,”Solubility and Diffusivity of Nitrous Oxide in
Equimolar Potassium Carbonate-Potassium Bicarbonate Solution at 250C and 1
atm”,J.Chem.Data, Vol.17, No.4, 452-454, 1972
39. Jou, F.-Y;Ng,H.-J.;Critchfield,J.E.;Mather,A.E.,”Solubility of Propane in Aqueous
Alkanolamine Solutions”, Fluid Phase Equilibria, [217],201-204, 2004
40. Jou, F.-Y;Mather,A.E.,”Solubility of Propylene in Aqueous Alkanolamine
Solutions”, Fluid Phase Equilibria, [194-197],825-830, 2002
41. Kamps, A.P.,S.J.Xia, and G.Maurer, “ Solubility of CO2 in (H2O+Piperazine) and in
(H2O+MDEA+Piperazine)”, AICHE J., Vol.49, No.10, 2662-2670, 2003
42. King, C.J.,”Turbulent Liquid-Phase Mass Transfer at a Free Gas-Liquid Interface”,
Ind.Eng.Chem.Fund., Vol.5, No.1, 1-8, 1966
43. Ko, J.J., and Li,M.H.,”Kinetics of absorption of CO2 into solutions of
MDEA+water”, Chemical Engineering Science, 55(19), 161-175, 2000
44. Littel R.J., Versteeg G.F., Van Swaaij W.P.M., (1991). "Kinetics Of Carbon Dioxide
With Tertiary Amines In Aqueous Solution ". Aiche J., 36, 1633-1640
45. Little, R.J., G.F. Versteeg and W.P.M. Van Swaaij,” Solubility and Diffusivity data
for the Absorption of COS, CO2 and N2O in Amine Solution”, J. Chem. Data,
Vol.37, 49-55, 1992
46. Mandal,B.P.;Bandyopadhyay,S.S.,”Simulation of absorption of carbon dioxide and
hydrogen sulphgide into aqueous blends of 2-amino-2-methyl-1-propanol and
diethanolamine, Chem.Eng. Sci, 60, 6438-6451, 2005
124
47. Mock, B., L.B. Evans, and C.C.Chen,”Thermodynamic Representation of Phase
Equilibria of Mixed Solvent Electrolyte System”, AICHE J., Vol.32, No.10, 1655-
1664, 1986.
48. Lau, R.;Peng,W.,Velazquez-Vargas,L.G.;Yang, G.Q.;Fan,L.S. Gas-liquid mass
transfer in high-pressure bubble columns. Ind. Eng. Chem. Res. 2004, 43,1302-1311
49. Lin, C.Y., Sariono, A.N. dan Li, M.H., (2008), “Kinetics study of carbon dioxide
absorption into aqueous solutions containing methyldiethanolamine +
diethanolamine”, Journal of The Taiwan Institute of Chemical Engineers 39, 1-9.
50. Linek and Vaclav,”Verification of The Design Methods for Industrial Carbon
Dioxide-Triethanolamine Absorbers:Laboratory Differential Simulation and
Computational Methods”,Ind.Eng.Res.,Vol.29,No.9,1990
51. Linek,V.;Benes,P.;Sinkule,J.;Moucha,T. Non-ideal pressure step method for 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎
measurement. Chem.Eng.Sci.1993,48,1593-1599
52. Linek,V.;Benes,P.;Vacek,V. Dynamic pressure method for 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 measurement in
large-scale biorectors. Biotechnol. Bioeng.1989,33,1406-1412
53. Manjrekar, O.N.;Sun,Y.J.;He,L.;Tang,Y.J.;Dudukovic,M.P.,”Hydrodynamics and
mass transfer coefficients in a bubble column photo-bioreactor”, Chem. Eng. Sci.,
2017, 168, 55-66
54. Mann,R. and G.T.Clegg,”Gas Absorptin with an unusual chemical reaction: the
chlorination of toluene”, Chem Eng. Sci, Vol.30, 97-101, 1975
55. Mann, R. and H.Moyes,”Exothermic Gas Absorption with Chemical Reaction”,
AIChE J., Vol.23, 17, 1977
56. Neelakantan, K. and Gehlawat,K.,”New Chemical Systems for the Determination of
Liquid-Side Mass Transfer Coefficient and Effective Interfacial Area in Gas-Liquid
Contactors”, The Chemical Engineering Journal, 24, 1-6, 1982
57. Newman, D.W., and Lynn, S.,”Kinetics of Reaction of H2S and SO2 in Organic
Solvent”, Ind. Eng. Chem. Process. Des. Dev., Vol.25, 248, 1986
58. Pani F., Gaunand A., Cadours R., Bouallou C., Richon D., (1997). "Kinetics Of
Absorption Of CO2 In Concentrated Aqueous Methyldiethanolamine Solutions In
The Range 296 K To 343 K ". J. Chem. Eng. Data, 1997, 42, 353-359.
125
59. Paul S., Ghosal A.K. dan Mandal B., (2009), ”Kinetics of absorption of carbón
dioxide into aqueous blends of piperazine and methyldiethanolamine”, Chem. Eng.
Sci. 64, 1618-1622
60. Pawlak,H.K., Siemeniec,M.,Chacuc,A., “Reaction Kinetics of CO2 in aqueous
MDEA solution using the stopped-flow technique”,Chemical and Process
Engineering, 33(1),7-19,2011
61. Pawlak,H.K.,”Determination of Kinetics in Gas-Liquid Reaction System. An
Overview”, Ecological Chemistry and Engineering S, 2012
62. Penny, D.E.;Ritter, T.J.,”Kinetic study of the reaction between carbon dioxide and
primary amines”, J. Chem. Soc.,Farady Trans. I, 79, 2103-2109, 1983
63. Pincent, B.R.W., Pearson L.,Roughton, F.J.W.,1956,”The Kinetics pf Combination
of CO2 with hydrxide ion”, Transaction of Farady Society, 52(11),1512-1520
64. Portugal A.F., P.W.J. Derks, G.F. Versteeg, F.D. Magalhães, A. Mendes(2007)
"Characterization Of Potassium Glycinate For Carbon Dioxide Absorption Purposes
." Chemical Engineering Science, 2007: 62 , 6534 – 6547.
65. Pudjiastuti, L., Susianto, Altway,A., Hestia, M., Arsi, K., “Kinetic Study of Carbon
Dioxide Absorption into Glycine Promoted Diethanolamine”, AIP Conference
Proceeding, 1699, 2015
66. Pudjiastuti,L.,” Model Rate-Based Dua-Film untuk desain absorpsi multikomponen
gas asam dalam larutan kalium karbonat dengan promotor”, disertasi, departemen
teknik kimia, institute teknologi sepuluh nopember, Surabaya, 2011
67. Qian,W.,Yi-gui Li and A.E.Mather,”Correlation and Prediction of Solubility of CO2
and H2S in an Aqueous Solution of Methyldiethanolamine and
Sulfone”,Ind.Eng.Chem.Res.,Vol.34,No.7, 1995
68. Rinker E.B., Ashour S.S. And Sandall O.C. (1995). " Kinetics And Modeling Of
Carbon Dioxide Absorption Into Aqueous Solutions Of N-Methylodiethanolamine ".
Chem. Eng. Sci., 50 (5), 755-768
69. Sada, E., H.Kumarawa, and M.A. Butt,” Solubility and Diffusivity of Gases in
Aquous Solution of Amines”, J. Chem. Data, Vol.23, No.2, 161-163, 1978
70. Sanyal,D.,N.Vasishtha, and D.N.Saraf,”Modeling of Carbon Dioxide Absorber
Using Hot Carbonate Process”,Ind.Eng.Chem.Res.,Vol.27,No.11,1988
126
71. Savitri,Y. dan E. Sepfitri,”Simulasi Absorpsi Disertai Reaksi Irreversible Order Dua
pada Packed Column dalam Kondisi Non-Isothermal”, Skripsi, Jurusan Teknik
Kimia, FTI, ITS, 2001
72. Sema, T., “Kinetics of Carbon Dioxide Absorption into Aqueous Solution of 4-
(Diethylamino)-2-Butanol and Blended Monoethanolamine and 4-(Diethylamino)-2-
Butanol” , Desertation, University of Regina, Regina, Saskatchewan,2012
73. Setiawan, G.H., Albar, A.A.,”Studi Kinetika Absorpsi CO2 kedalam Larutan MDEA
berpromotor Glycine dan L-Glutamic Acid menggunakan Wetted Wall Column”,
Skripsi, Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
2018
74. Shah, Y.T.,”Gas-Liquid Interface Temperature rise in the case of Temperature-
Dependent Physical, Transport, and Reaction Properties”, Che. Eng. Sci., Vol.27,
1469, 1972.
75. Shah, Y.T; Kelkar, B.G.; Godbole,S.P.;Deckwer,W.D., “Design parameters
estimations for bubble column reactors”, AIChE J, 1982, 28, 353-379
76. Shen, S, Feng, X., Zhao R., Ghosh U.K., and Chen A, (2013), “A Kinetic study of
carbon dioxide absorption with aqueous potssium carbonate promoted by arginine”,
Chem. Eng. J., 222, 478-487
77. Sitorus, Y.T.S., Taurina, H.S., Altway, A.,Rahmawati, Y., Nurkhamidah, S.,
“Kinetic Study of Carbon Dioxide Absorption Reaction into the Promoted MDEA
Solution”, AIP Conference Proceeding, 1840, 2017
78. Sodiq, A.;Rayer, A.V.;Olanrewaju,A.A.;Abu Zahra,M.R.M., “Reaction kinetics of
carbon dioxide absorption in sodium salts of taurine and proline using a stopped-flow
technique”, Int. J. Chem.Kinet., 46, 730-745, 2014
79. Tepe,J.B. and B.F.Dodge,”Absorption of Carbon Dioxide by Sodium Hydroxide
Solutions in Packed Column”,AIChE Journal,Vol.39,1943
80. Thee,H.,Smith,K.H., daSilva,G., Kentish, S.E., “Carbon Dioxide Absorption into
Unpromoted and Borate-Catalyzed Potassium Carbonate Solution”, Chemical
Engineering Journal, vol.181-182, 694-701, 2012
127
81. Thee, H., Suryaputradinata, Y.A., Mumford K.A., Smith, K.H., da Silva, G., Kentish,
S.E., and Stevens, G.W., “A kinetic and process modeling study of CO2 capture with
MEA-promoted potassium carbonate solutions”, Chem. Eng. J.,210, 271-279, 2012
82. Thee,H.;Nicolas,N.J.;Smith,K.H.;DaSilva,G.;Kentish,S.E.; Stevens, G.W.,”A Kinetic
study of CO2 capture with potassium carbonate solutions promoted with various
amino acids: glycine, sarcosine and proline”, Int. J. Greenhouse Gas Control, 20,212-
222, 2014
83. Toor, H.L., and J.M.Maechello,”Film-Penetration Model for Mass and Heat
Transfer”, A.I.Ch.E. Journal, Vol.4, No. 1, 97-101, 1958
84. Treybal,R.E., ”Mass Transfer Operations”, third edition,McGraw-
Hill,Newyork,1980
85. Vandu, C.O.; Krishna,R. Volumetric mass transfer coefficients in slurry bubble
columns operating in churn-turbulent flow regime. ChemEng. Process. 2004, 43,
987-995
86. Vandu, C.O.; Krishna,R. Influence of scale on the volumetric mass transfer
coefficients in bubble columns. Chem. Eng. Process. 2004, 43, 575-579
87. Vas Bhat,R.D., W.P. van Swaaij, N.E. Benes, J.A.M.Kuipers and G.F.
Versteeg,”Non-isothermal gas Absorption with reversible chemical reaction”,
Chemical Engineering Science, Vol.52, 4079-4094, 1997
88. Vasconcelos, J.M.T.;Rodrigues, J.M.L.; Orvalho, S.C.P.; Alves, S.S.; Mendes, R.L.;
Reis,A. Effect of contaminants on mass transfer coefficients in bubble column and
airlift contactor Chem.Eng.Sci.2003,58,1431-1440
89. Versteeg, G.F. dan van Swaaij, W.P.M., (1988), ”Solubility and diffusivity of acid
gases (CO2;N2O) in aqueous alkanolamine solutions”, J. Chem. Eng. Data 33 (1),
29–34.
90. Versteeg.G.F And W. P. M. Van Swaaij (1987)"On The Kinetics Between Co2 And
Alkanolamines Both In Aqueous And Non-Aqueous Solutions-Ii. Tertiary Amines."
Chemical Engineering Source. Vol. 43. No. 3. Pp. 587-591.
91. Versteeg, G.F., Van Dijck, L.A.J., Van Swaaij, W.P.M., (1996), “On the kinetics
between CO2 and alkanolamines both in aqueous and non-aqueous solutions. An
overview, Chem. Eng. Commun., 144; 113-158.
128
92. Wei,C.-C.; Puxty, G.; Feron,P.,”Amino salts for CO2capture at flue gas temperature”,
Chem. Eng. Sci., 107, 218-226, 2014
93. Xiao, J., Li, C.W. dan Li, M.H., (2000), ”Kinetics of absorption of CO2 into aqueous solutions
of 2-AMP + MEA”, Chem. Eng. Sci. 55, 161–175.
~~~o0o~~~
129
INDEX
A
Absorpsi
Alkanolamine
Amine
Asam Amino
Asam adipat
B
Barium sulfide
Barium karbonat
Barium chloride
Benzene
Bilangan Hatta
C
Carbon dioksida
Chlorinasi
Chlorine
130
Cyclo hexane
Cyclo hexanol
Cyclo hexanon
D
Difusi
Danckwertz (Model Danckwertz)
Di Ethanolamine
Diiso Propanol Amine
Diglycolamine
E
Elektrolit
Enhancement factor
F
Faktor Peningkatan
Fungsi Kesalahan
Fisik (Absorpsi fisik)
Fluks difusi
G
Gas
Gas sintesa
H
Higbie (Model Higbie)
Henry
131
I
Irreversible (reaksi Irreversible)
K
Kalium Karbonat
Koefisien Transfer Massa
Konstanta Kesetimbangan reaksi
King (Model King)
Kinetika reaksi
Kesetimbangan reaksi
Kelarutan
Konveksi
L
Laminar
Laminar jet
Liquid
Luas permukaan antar fasa
M
Methyl Diethanolamine
Mono Ethanolamine
N
Non isothermal
132
Oksidasi
P
Penetrasi (Model Penetrasi)
Perpindahan massa
Persamaan difusi
Phenol
Potassium Karbonat
R
Reaksi Irreversible
Reaksi Reversible
Reaktif (Absorpsi reaktif)
Rezim reaksi
Rotating Drum
S
Salting in
Salting out
Stirred Cell
Stop flow apparatus
Surface renewal model
Suspensi kapur
T
Termolekuler
Toluen
Turbulen
133
V
Volatilitas
Volume molar
W
Wetted wall column
Wetted sphere apparatus
X
Xylena
Z
Ziegler-Natta
Zwitterion
134