Anda di halaman 1dari 134

KINETIKA

ABSORPSI
REAKTIF

ALI ALTWAY
SUSIANTO
LILY PUDJIASTUTI
SITI NURKHAMIDAH

1
KATA PENGANTAR
Absorpsi Reaktif merupakan aspek penting didalam industry kimia pada
proses pemisahan atau pemurnian gas, merupakan salah satu tema penelitian
laboratorium perpindahan panas dan massa dan merupakan salah satu pokok bahasan
dari mata kuliah Teknologi Pemisahan di departemen teknik kimia Institut Teknologi
Sepuluh Nopember(ITS) Surbaya. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah LBE (Lab
based education) di laboratorium Perpindahan Panas dan Massa pada departemen teknik
kimia ITS. Banyak penelitian penelitian yang telah dilakukan baik secara teoritis
maupun eksperimental dalam aspek absorpsi reaktif ini yang berkaitan dengan studi
kinetika absorpsi reaktif dan simulasi dan desain alat absorber reaktif. Buku Kinetika
Absorpsi Reaktif ini membahas bagaimana memprediksi laju absorpsi reaktif. Informasi
ini penting untuk mendesain alat absorber. Didalam buku ini terdapat kumpulan data
kajian kinetika absorpsi reaktif berbagai sistim dari banyak peneliti termasuk penelitian
penelitian yang dilakukan di laboratorium perpindahan panas dan massa ITS. Buku ini
akan dilanjutkan dengan buku kedua “Desain Absorber Reaktif” yang membahas
mengenai metoda perancangan beberapa alat absorber reaktif
Sebagai sebuah karya ilmiah, buku ini diharapkan memperkaya khasanah pustaka
Kimia dan Keteknikkimiaan di negeri kita. Saya membuka diri pada semua pihak untuk
memberikan kritik dan saran yang diperlukan untuk memperbaiki dan mengembangkan
buku ini. Perkembangan itu diharapkan memberikan kontribusi kuat bagi terbentuknya
tenaga ahli Teknik Kimia yang mumpuni di Indonesia.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan ITS, rekan-rekan Dosen ITS
Surabaya dan Para mahasiswa yang memberikan dinamika kehidupan pada kami sebagai
tenaga pendidik. Kepada mereka buku ini saya dedikasikan.
Akhirnya tapi bukan yang terakhir ucapan terima kasih dan selamat membaca untuk
para pembaca yang budiman dimana pun berada. Semoga anda memetik manfaat atas
terbacanya buku ini. Terima kasih.
Surabaya, Pertengahan 2019

Ali Altway

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Persamaan Difusi
2.1 Absorpsi Fisik
2.2 Absorpsi Disertai Reaksi Kimia
2.2.1 Reaksi Berkesudahan (Reaksi irreversible)
2.2.1.1 Reaksi order satu
2.2.1.2 Reaksi spontan
2.2.1.3 Reaksi Order dua
2,2.2 Reaksi Reversible
Bab 3 Model Perpindahan Massa pada Permukaan Antar fasa Gas-Cair
3.1 Absorpsi Fisik
3.1.1 Teori Film
3.1.2 Teori Surface Renewal
3.1.3 Teori Film-Penetrasi
3.1.4 Eddy Difusivity Model (Model King)
3.2 Absorpsi Disertai Reaksi Kimia
3.2.1 Reaksi irreversible order satu
3.2.2 Reaksi Spontan
3.2.3 Reaksi irreversible order dua
3.2.4 Reaksi irreversible umum
3.2.5 Reaksi Reversible
3.3 Regim regim Reaksi
3.4 Tahanan Film Gas
3.5 Pengaruh Volatilitas Reaktan Terlarut
3.6 Absorpsi Nonisotermal

3
DAFTAR ISI
Bab 4 Metoda Eksperimen Untuk Mengukur Kinetika Reaksi
4.1 Rotating Drum
4.2 Wetted Wall Column
4.3 Moving Band Absorber
4.4 Laminer Jet
4.5 Wetted Sphere Apparatus
4.6 Stop Flow Apparatus
4.6 Stirred Cell
Bab 5 Metoda Eksperimen untuk Mengukur Koefisien Perpindahan Massa Gas-Cair
dan Luas Antar Fasa
5.1 Koefisien Perpindahan Massa Volumetrik Sisi Cair
5.1.1 Metoda Fisika
5.1.2 Metoda Kimia
5.1.2.1 Penentuan Koefisien Volumetrik 𝒌𝒌𝑳𝑳 𝒂𝒂′ Menggunakan
Reaksi Irreversible Lambat
5.1.2.2 Penentuan Koefisien Volumetrik 𝒌𝒌𝑳𝑳 𝒂𝒂′ Menggunakan
Reaksi Spontan
5.2 Penentuan Koefisien Volumetrik Sisi Gas,𝒌𝒌𝑮𝑮 𝒂𝒂′
5.3 Penentuan Area Interfacial Gas-Cair
5.4 Pengukuran Simultan Koefisien Perpindahan Massa Volumetrik dan
Area Interfacial
Bab 6 Pelarut Kimia Beserta Properti Fisika dan Kimia
6.1 Pelarut Kimia
6.1.1 Pelarut Alkanolamine dan Asam Amino
6.1.1.1 Mono Ethanol Amine (MEA)
6.1.1.2 Di Ethanol Amine (DEA)
6.1.1.3 Methyl Di Ethanol Amine (MDEA)
6.1.1.4 Diso Propanol Amine (DIPA)
6.1.1.5 Di Glycolamine (DGA)

4
DAFTAR ISI
6.1.1.6 Tri Ethanol Amine (TEA)
6.1.2 Pelarut Kalium Karbonat
6.2 Kinetika Reaksi
6.2.1 Kinetika Reaksi Absorpsi CO2 kedalam Larutan Kalium Karbonat
6.2.2 Kinetika Reaksi Absorpsi CO2 kedalam Larutan Alkanolamine
6.2.2.1 Mekanisme Reaksi Zwiterion
6.2.2.2 Mekanisme Reaksi Termolekuler
6.2.2.3 Mekanisme Hidrasi dengan Katalis Basa
6.3 Data Kesetimbangan dan Kinetika Reaksi
6.4 Kelarutan gas-gas dalam Larutan Elektrolit
6.5 Parameter Perpindahan Massa

5
BAB 1
PENDAHULUAN

Absorpsi adalah proses perpindahan massa antara campuran gas yang


dikontakkan dengan suatu larutan (absorben atau pelarut) untuk melarutkan satu atau
lebih komponen dari campuran gas kedalam liquida. Komponen yang berpindah kedalam
liquida disebut sebagai yang terlarut atau absorbat. Pemisahan komponen-komponen dari
campuran gas dengan cara absorpsi didasarkan pada perbedaan kelarutan komponen
tersebut dalam absorben.
Pada proses absorpsi gas dalam liquida, gas terlebih dahulu diserap ke dalam
liquida melalui interface. Ada dua macam absorpsi, yaitu :
1. Absorpsi fisik
Pada absorpsi fisik hanya terjadi difusi (perpindahan massa) gas ke dalam liquida,
tanpa disertai reaksi kimia.
2. Absorpsi reaktif
Pada proses absorpsi reaktif terjadi difusi gas ke dalam liquida yang disertai reaksi
antara gas dengan cairan yang menyerap. Reaksi kimia yang terjadi dapat secara
irreversibel atau reversibel dengan orde reaksi satu, dua dan seterusnya. Orde reaksi
merupakan jumlah molekul yang bereaksi yang konsentrasinya berubah sebagai hasil
dari reaksi kimia. Apabila dua molekul mengalami perubahan kimia dalam suatu
reaksi maka dikatakan bahwa reaksi tersebut berorde dua.
Fenomena absorpsi disertai reaksi kimia (absorpsi reaktif) sering kali dijumpai
di dalam industri. Dalam hal ini suatu gas diserap oleh pelarut dengan mana gas yang
terlarut ini bereaksi. Fenomena perpindahan massa disertai reaksi kimia terjadi bila dua
fasa tak berada dalam kesetimbangan kimia berkontak satu sama lain. Fenomena ini
meliputi sejumlah langkah-langkah dasar berikut:
1. Difusi satu atau lebih reaktan dari badan fasa gas ke permukaan batas antara dua
fasa (interface). Dianggap terjadi kesetimbangan fisik pada interface.
2. Difusi reaktan dari interface ke badan fasa liquida
3. Terjadi reaksi didalam fasa liquida

6
4. Difusi reaktan yang semula ada didalam fasa liquida, dan/atau produk reaksi
didalam fasa liquida itu sendiri, akibat gradien konsentrasi yang ditimbulkan oleh
rekasi kimia.
Langkah (2), (3) dan (4) terjadi secara bersamaan, dan saling mempengaruhi.
Sedangkan phenomena overall dari langkah (2), (3) dan (4) terjadi secara seri terhadap
langkah (1). Bila langkah (1) merupakan langkah yang mengendali, maka laju overall tak
dipengaruhi oleh reaksi kimia, dan proses bisa dianggap sebagai fenomena perpindahan
massa sederhana. Apabila laju overall dipengaruhi oleh reaksi kimia, maka langkah (2),
(3) dan (4) merupakan langkah yang mengendali.
Sudah barang tentu, reaksi kimia itu sendiri adalah penyebab dari laju
perpindahan massa overall yang tinggi didalam fasa 2 dan sehingga yang menyebabkan
langkah 1 menjadi langkah yang mengendali. Analisis perpindahan massa disertai reaksi
kimia menjadi menarik bilamana fenomena overall dari langkah (ii), (iii), dan (iv) adalah
yang mengendali. Inilah yang terutama dibahas dalam buku ini
Fenomena absorpsi disertai reaksi kimia sering kali dijumpai didalam industri.
Dalam hal ini suatu gas diserap oleh larutan suatu zat tertentu dengan mana gas yang
terlarut ini bereaksi. Tujuan dari penerapan fenomena ini di industri adalah untuk
menghilangkan suatu komponen dari campuran gas-gas atau untuk menghasilkan suatu
produksi reaksi.
Tujuan dari buku ini adalah untuk mempelajari mekanisme proses absorpsi ini dan
untuk menunjukkan bagaimana laju absorpsi bergantung pada sifat-sifat kimia dan sifat-
sifat fisika sistim yang relevan. Buku ini juga membahas metoda untuk merancang
peralatan untuk absorpsi disertai reaksi kimia.
Proses absorpsi bisa dipengaruhi oleh diffusi dan konveksi dalam fasa gas, juga
diffusi, konveksi dan reaksi pada sisi liquida. Sering kali, proses absorpsi diikuti dengan
kenaikan suhu yang bisa besar pengaruhnya terhadap laju absorpsi.
Berikut ini diberikan contoh-contoh proses dalam industri yang berkaitan dengan
absorpsi gas disertai reaksi kimia.
1. Absorpsi CO2 dan Cl2 dalam larutan BaS untuk pembuatan BaCO3 dan BaCl2.
2. absorpsi CO2 dalam suspensi kapur untuk pembuatan CaCO3.

7
3. Absorpsi CO2 dalam larutan Potassium Carbonate atau amines untuk menghilangkan
CO 2 dari synthesis gas.
4. Oxidasi cyclohexane untuk menghasilkan cyclohexanol atau cuclohexanon atau asam
adipat.
5. Oksidasi toluene untuk menghasilkan asam benzoate.
6. Chlorinasi Benzene, toluene, phenol dsb.
7. Chlorinasi larutan NaOH untuk menghasilkan Sodium Hypochlorite.
Dan banyak lagi proses-proses industri dimana proses absorpsi disertai reaksi kimia
terjadi.

.
.

8
BAB 2
PERSAMAAN DIFUSI
Fenomena diffusi merupakan “jantung” dari mekanisme proses absorpsi dengan
reaksi kimia. Berikut ini kita bahas persamaan yang berkenaan dengan fenomena diffusi.
Persamaan dasar untuk difusi disertai reaksi kimia, merupakan persamaan satu dimensi.
Konsentrasi solute seragam pada setiap bidang tegak lurus terhadap sumbu x, dan
transport solute hanya terjadi pada arah sumbu x. Fluks difusi F melalui satu luasan
permukaan tegak lurus terhadap sumbu x adalah:
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐹𝐹 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 (2.1)
𝜕𝜕𝜕𝜕

Pada umumnya kosentrasi akan berubah terhadap waktu dan posisi. Persamaan
differensial yang menghubungkan antara kosentrasi A, waktu, dan posisi pada difusi yang
disertai reaksi kimia adalah :

𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴


𝐷𝐷𝐴𝐴 = + 𝑟𝑟𝐴𝐴 (2.2)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

Pers. (2.2) disebut persamaan difusi yang merupakan persamaan dasar untuk
menganalisa fenomena absorpsi reaktif. Pada persamaan ini fenomena yang
diperhitungkan adalah difusi dan reaksi yang terjadi didalam fasa liquid. Mekanisme
difusi dan difusi terjadi bila liquida dalam kondisi tenang. Pada bab ini dibahas fenomena
diffusi gas-gas kedalam liquida tenang dimana tak ada gerakan-gerakan konveksi yang
mempengaruhi perpindahan gas. Mempelajari diffusi dalam liquida tenang adalah
penting, karena banyak informasi tentang reaksi-reaksi gas liquid yang dapat diperoleh
dengan percobaan-percobaan dalam mana liquidanya tenang. Asumsi-asumsi untuk
fenomena ini adalah :
1. Liquida mempunyai permukaan bebas yang berkontak dengan gas.
2. Permukaan liquida ini datar.
3. Liquida dianggap mempunyai kedalaman tak berhingga, artinya selama waktu proses,
fenomena diffusi ini tak akan menyebabkan perubahan konsentrasi yang nyata
didalam badan liquida.
4. Diffusi gas kedalam liquid tak mempengaruhi suhu liquida

9
5. Gradien konsentrasi semua komponen ( kecuali gas yang diserap ) akan sama dengan
nol pada permukaan batas antara gas dan liquida, kecuali bila komponen-komponen
ini menguap atau mengalami reaksi spontan pada permukaan batas ini.
Ditinjau absorpsi fisik, kemudian dilanjutkan dengan absorpsi kimia.

2.1. Absorpsi Fisik


Pada keadaan tak mantap Persamaan Differensial yang menggambarkan fenomena
absorpsi fisik adalah :
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = (2.3)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

dengan kondisi awal dan batas berikut :


𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 ≥ 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (2.4a)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (2.4b)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = ∞, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (2.4c)
Penyelesaian Persamaan Differensial yang ditunjukkan pada Persamaan (2.3) dengan
kondisi awal dan batas pada Persamaan (2.4a) samapi dengan Persamaan (2.4c) adalah :
𝑥𝑥
𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 + (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) �1 − 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �2�𝐷𝐷 𝑡𝑡�� (2.5)
𝐴𝐴

dimana,
𝑥𝑥
𝑥𝑥 2 2�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 2
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �2�𝐷𝐷 𝑡𝑡� = ∫0 𝑒𝑒 −𝑧𝑧 𝑑𝑑𝑑𝑑 (2.6)
𝐴𝐴 √𝜋𝜋

yang disebut “error function”. Beikut ini adalah program M-File untuk menentukan nilai
error function,

Program M-File untuk menentukan nilai Error Function


clc
clear
% Program untuk menghitung nilai eror fuction
x=input('x = ');
n=10000;
phi=3.14159265358979323846;
h=x/n;
for i=1:n+1
xx(i)=h*(i-1);
u=xx(i);
y(i)=(2/(phi)^0.5)*exp(-u^2);
end
sigma=0;

10
for i=1:n/2
B(i)=(h/3)*(y(2*i-1)+4*y(2*i)+y(2*i+1));
sigma=sigma+B(i);
end
erf=sigma;
disp(['erf = ', num2str(erf)]);

Fluksi absorpsi bisa diperoleh dari :


𝜕𝜕𝐶𝐶 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑅𝑅 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � 𝜕𝜕𝜕𝜕𝐴𝐴� = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )� (2.7)
𝑥𝑥=0 𝜋𝜋

Jumlah gas yang diserap per satu satuan luas permukaan dalam waktu t diperoleh dari :
𝑡𝑡′ 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡′
𝑄𝑄(𝑡𝑡′) = ∫0 𝑅𝑅(𝑡𝑡) 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 2(𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )� 𝜋𝜋
(2.8)

Persamaan (2.8) merupakan dasar dari beberapa metode untuk mengukur koefisien
diffusi. Bentuk dari profil konsentrasi yang ditunjukkan oleh Persamaan (2-5) adalah :

t1 < t2 < t3
CA

t3

t2

t1

Gambar 2.1. : Profil konsentrasi A dalam fasa liquida

11
2.2. Absorpsi Disertai Reaksi Kimia
Untuk absorpsi disertai reaksi kimia, persamaan differensial yang
menggambarkannya adalah :
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = + 𝑟𝑟 (2.9)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

Ditinjau beberapa kasus berikut ini.

2.2.1. Reaksi-reaksi Berkesudahan :


2.2.1.1. Reaksi Orde Satu
Dalam hal ini didalam liquid, gas A mengalami reaksi irreversible order satu berikut,
𝑘𝑘1
𝐴𝐴 → 𝑃𝑃
dengan persamaan kecepatan reaksi,
r = −rA = 𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴 (2.10)
Dalam keadaan ini, penyelesaian Persamaan (2.9) dengan kondisi batas (2.4) dan dengan
CA0 = 0 adalah :
𝑘𝑘 𝑘𝑘
𝐶𝐶𝐴𝐴 1 −𝑥𝑥� 1 𝑥𝑥 1 𝑥𝑥� 1 𝑥𝑥
= 2 𝑒𝑒 𝐷𝐷𝐴𝐴
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �2�𝐷𝐷 − �𝑘𝑘1 𝑡𝑡� + 2 𝑒𝑒 𝐷𝐷𝐴𝐴
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �2�𝐷𝐷 + �𝑘𝑘1 𝑡𝑡� (2.11)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴 𝑡𝑡 𝐴𝐴 𝑡𝑡

Fluksi absorpsi R adalah :

𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴 𝑒𝑒 −𝑘𝑘1 𝑡𝑡
𝑅𝑅 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 �𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒��𝑘𝑘1 𝑡𝑡� + � (2.12)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑥𝑥=0 �𝜋𝜋𝑘𝑘1 𝑡𝑡

dan jumlah yang diserap dalam waktu t adalah :


𝐷𝐷 1 𝑘𝑘1 𝑡𝑡
𝑄𝑄 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝑘𝑘𝐴𝐴 ��𝑘𝑘1 𝑡𝑡 + 2� 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒��𝑘𝑘1 𝑡𝑡� + � 𝜋𝜋
𝑒𝑒 −𝑘𝑘1𝑡𝑡 � (2.13)
1

Persamaan (2.13) bisa disederhanakan untuk beberapa keadaan khusus berikut:


Keadaan khusus 1 (𝑘𝑘1 𝑡𝑡 > 2), dengan kesalahan kurang dari 3 %, persamaan (2.13) bisa
disederhanakan menjadi,
1
𝑄𝑄 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 �𝑡𝑡 + 2𝑘𝑘 � (2.14)
1

Keadaan khusus 2 (𝑘𝑘1 𝑡𝑡 > 10), dengan kesalahan kurang dari 5 %, persamaan (2.13)
bisa disederhanakan menjadi,

12
𝑄𝑄 = 𝑡𝑡𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 (2.15)
Keadaan khusus 3 (𝑘𝑘1 𝑡𝑡 < 0.5), dengan kesalahan kurang dari 5 %, persamaan (2.13)
bisa disederhanakan menjadi,
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 𝑘𝑘1 𝑡𝑡
𝑄𝑄 = 2𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
�1 + 3
� (2.16)

Persamaan-persamaan diatas merupakan dasar dari metoda-metoda penentuan k1 dan DA


secara eksperimen ( percobaan ).

Contoh soal 2-1 :


CO2 pada satu (1) atm diserap kedalam larutan Buffer alkali yang berisi suatu katalis. CO2 yang terlarut
mengalami reaksi orde satu. Koefisien diffusinya adalah 1.5 x 10-5 cm2/detik dan kelarutannya 1/He = 3 x
10-5 gmole/cm3 atm. Bila permukaan liquida dikontakkan dengan gas selama 0.01 detik, liquida ini akan
menyerap 1.5 x 10-8 gmole CO2 per cm2. Tentukan harga konstanta kecepatan reaksi orde satu k1.

Penyelesaian :
Untuk tekanan parsial CO2 sebesar 1 atm, konsentrasai CO2 pada interface fasa liquida adalah,
1
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = (1) = 3 × 10−5 gmole/cm3
𝐻𝐻𝐻𝐻

Dari persamaan (2-13), semua besaran diketahui, hanya k1 yang tak diketahui. Maka k1 dapat dihitung
dengan cara trial and error, yaitu diperoleh k1 = 48 detik-1.

2.2.1.2. Reaksi Spontan


Dalam hal ini, terdapat suatu bidang dalam fasa liquida dimana konsentrasi kedua
reaktan ( gas dan reaktan terlarut dalam liquida ) nol, dan laju reaksi sama dengan laju
diffusi kedua zat ke bidang reaksi ini. Kinetika reaksi yang sesungguhnya tak penting
untuk diketahui. Profil konsentrasi untuk A, B, dan P (Produk reaksi) ditunjukkan pada
Gambar 2.2.
Reaksi yang terjadi : A + zB → yP.

13
𝐶𝐶𝐵𝐵0

𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴

𝟐𝟐𝟐𝟐√𝒕𝒕 x

Gambar 2.2. : Profil konsentrasi untuk absorpsi dengan reaksi spontan.


Persamaan difusi yang berlaku untuk proses ini adalah,
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
= , 0 < 𝑥𝑥 < 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.17)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐵𝐵 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵
= , 𝑥𝑥 > 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.18)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

Kondisi awal:
𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 > 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 0 , 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (2.19)
Kondisi Batas:
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (2.20)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 , 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 0 , 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 0 (2.21)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = ∞ , 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (2.22)
Penyelesaian Persamaan Diferensial ini adalah :
𝑥𝑥 𝛽𝛽
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
𝐶𝐶𝐴𝐴 2�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 �𝐷𝐷𝐴𝐴
= 𝛽𝛽
, 0 < 𝑥𝑥 < 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.23)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
�𝐷𝐷𝐴𝐴

𝐶𝐶𝐴𝐴
= 0, 𝑥𝑥 > 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.24)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴

14
𝑥𝑥 𝛽𝛽
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �−𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
𝐶𝐶𝐵𝐵 2�𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑡𝑡 �𝐷𝐷𝐵𝐵
= 𝛽𝛽
, 𝑥𝑥 > 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.25)
𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
�𝐷𝐷𝐵𝐵

𝐶𝐶𝐵𝐵
= 0, 0 < 𝑥𝑥 < 2𝛽𝛽 √𝑡𝑡 (2.26)
𝐶𝐶𝐵𝐵0

Laju absorpsi R dan jumlah absorpsi dalam waktu t,yaituQ, dapat dihitung dari :
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐷𝐷
𝑅𝑅 = 𝛽𝛽
� = 𝐸𝐸𝑖𝑖 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋𝜋𝜋𝐴𝐴 (2.27)
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� � 𝜋𝜋𝜋𝜋
�𝐷𝐷𝐴𝐴

2𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡


𝑄𝑄 = 𝛽𝛽

𝜋𝜋
= 2𝐸𝐸𝑖𝑖 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
(2.28)
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
�𝐷𝐷𝐴𝐴

dimana,
1
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 𝛽𝛽
(2.29)
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒� �
�𝐷𝐷𝐴𝐴

dan β diperoleh dari hubungan stoichiometri yaitu, 𝑅𝑅𝐵𝐵 = −𝑧𝑧 𝑅𝑅𝐴𝐴 atau,
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
−𝐷𝐷𝐵𝐵 � = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � (−𝑧𝑧) (2.30)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑥𝑥=2𝛽𝛽√𝑡𝑡 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑥𝑥=2𝛽𝛽√𝑡𝑡

Atau,
𝛽𝛽2 𝛽𝛽2
𝛽𝛽 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵 𝛽𝛽
𝑒𝑒 𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �= �𝐷𝐷 𝑒𝑒 𝐷𝐷𝐴𝐴
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � (2.31)
�𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴

Ei adalah enhancement factor untuk reaksi spontan. Berarti untuk penentuan Ei , pertama
tentukan β secara numerik (iterasi) dari persamaan (2.31), kemudian harga β ini
disubstitusi ke persamaan (2.29). Berikut ini adalah Program M-file untuk penentuan
harga Ei.

Program M-File untuk menghitung Ei


clc
clear
% Program untuk menghitung nilai enhancement faktor reaksi spontan
DA=input('DA = ');
DB=input('DB = ');
CB0=input('CB0 = ');
CAi=input('CAi = ');
z = input('z = ');
Tol=0.00001;
Beta1=0.1*DA^0.5;
Beta2=4*DA^0.5;
eror=1;
x1=Beta1^2/DB;
x2=Beta2^2/DB;

15
x3=x1;
while eror>Tol
x3s=x3;
x=x1^0.5;
F_Eror_Function;
Yx1=erf;
x=x1^0.5*(DB/DA)^0.5;
F_Eror_Function;
Yxx1=erf;
F1=(CB0/(z*CAi))*(DB/DA)^0.5*exp(x1*(DB/DA))*Yxx1-exp(x1)*(1-Yx1);
x=x2^0.5;
F_Eror_Function;
Yx2=erf;
x=x2^0.5*(DB/DA)^0.5;
F_Eror_Function;
Yxx2=erf;
F2=(CB0/(z*CAi))*(DB/DA)^0.5*exp(x2*(DB/DA))*Yxx2-exp(x2)*(1-Yx2);
x3=x2-(x2-x1)*F2/(F2-F1);
x=x3^0.5;
F_Eror_Function;
Yx3=erf;
x=x3^0.5*(DB/DA)^0.5;
F_Eror_Function;
Yxx3=erf;
F3=(CB0/(z*CAi))*(DB/DA)^0.5*exp(x3*(DB/DA))*Yxx3-exp(x3)*(1-Yx3);
eror=abs((x3-x3s)/x3s);
x1=x2;
x2=x3;
end
Beta=(x3*DB)^0.5;
x=Beta/DA^0.5;
F_Eror_Function;
Yeror=erf;
Ei=1/Yeror;
disp(['Ei = ', num2str(Ei)]);

% Subprogram untuk menghitung nilai eror fuction


n=10000;
phi=3.14159265358979323846;
h=x/n;
for i=1:n+1
xx(i)=h*(i-1);
u=xx(i);
y(i)=(2/(phi)^0.5)*exp(-u^2);
end
sigma=0;
for i=1:n/2
B(i)=(h/3)*(y(2*i-1)+4*y(2*i)+y(2*i+1));
sigma=sigma+B(i);
end
erf=sigma;

Bila Ei jauh lebih besar dari satu,

16
𝐷𝐷 𝐶𝐶 𝐷𝐷
𝐸𝐸𝑖𝑖 = � 𝐴𝐴 + 𝐵𝐵0 � 𝐵𝐵
𝐷𝐷 𝑧𝑧 𝐶𝐶 𝐷𝐷
(2.32)
𝐵𝐵 𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴

Bila DA = DB,
𝐶𝐶
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 1 + 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (2.33)
𝐴𝐴𝐴𝐴

Pada umumnya, suatu reaksi berkesudahan umum bisa dianggap spontan bila ketidak
samaan berikut dipenuhi,
𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10 𝐸𝐸𝑖𝑖 (2.34)
.dimana 𝐻𝐻𝐻𝐻 adalah bilangan Hatta yang didefinisikan sebagai berikut: 𝐻𝐻𝐻𝐻 =
𝜋𝜋 𝑛𝑛−1
�4 𝑘𝑘𝑚𝑚,𝑛𝑛 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡, dimana 𝑘𝑘𝑚𝑚,𝑛𝑛 adalah konstanta kecepatan reaksi berkesudahan umum

(order m terhadap A dan order m terhadap B). Untuk reaksi berkesudahan order dua
𝜋𝜋
(order satu terhadap A dan order satu terhadap B, 𝐻𝐻𝐻𝐻 = �4 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡

Contoh soal 2-2 :


H2S pada 1 atm diserap kedalam air dan kedalam larutan 0,1 M MEA pada 250 C. Reaksi yang terjadi
didalam larutan MEA adalah :
+
H2S + RNH2 → HS− + RNH 3

Reaksi ini bisa dianggap berkesudahan dan spontan. Hitung jumlah H2S yang diserap per cm2 permukaan
dalam waktu 0.1 detik didalam air dan didalam larutan MEA. Koefisien diffusi H2S dan MEA didalam air

berturut-turut adalah 1.4 x 10-5 dan 0.95 x 10-5 cm2/det. Kelarutan H2S dalam air adalah 0.1 gmole
(lt )( atm )

Penyelesaian :
a. Air :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 1.48×10−5 ×0.1 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑄𝑄 = 2𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � = 2 × 0.1 × 10−3 � = 1.4 × 10−7
𝜋𝜋 𝜋𝜋 𝑐𝑐𝑐𝑐2

b. Larutan MEA :

𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄 = 2𝐸𝐸𝑖𝑖 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋

Dengan menggunakan M-File diperoleh Ei = 1.89


∴ Q = 1.89 x 1.4 x 10-7 = 2.7 x 10-7 gmole/cm2

17
2.2.1.3. Reaksi-reaksi orde dua
Ditinjau reaksi berikut yang mempunyak kinetika reaksi irreversible order dua,
𝐴𝐴 + 𝑧𝑧 𝐵𝐵 → 𝑦𝑦 𝑃𝑃
𝑟𝑟 = −𝑟𝑟𝐴𝐴 = 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵
Profil konsentrasi A dan B pada umumnya adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2-4.

CB0

CB

CAi

CA

CA0

Gambar 2-4 : Profil konsentrasi untuk absorpsi yang disertai reaksi orde dua.

Dalam hal ini, persamaan differensial yang berlaku :


𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = + 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵 (2.35)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐵𝐵 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵


𝐷𝐷𝐵𝐵 = + 𝑧𝑧𝑧𝑧2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵 (2.36)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

dengan kondisi batas


CB = CB0 , 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 , x > 0, t=0 (2.37a)
CB = CB0 , 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 , x = ∞, t > 0 (2.37b)
∂CB
= 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 , x = 0, t>0 (2.37c)
∂x

18
Persamaan-persamaan ini telah diselesaikan secara numerik oleh Brian et. al (1961). Dari
penyelesaian numerik ini dapat diperoleh fluks absorpsi R, jumlah mole gas A yang
terabsorpsi persatuan luas antar fasa dalam waktu t , yaitu Q, dan enhancement factor E,
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝑅𝑅 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � (2.38)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝑥𝑥=0
𝑡𝑡
𝑄𝑄 = ∫0 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅 (2.39)
𝑄𝑄 𝜋𝜋
𝐸𝐸 = 2𝐶𝐶 �𝐷𝐷 (2.40)
𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴 𝑡𝑡

Berdasarkan pengamatan Brian et al (1961), penyelesaian ini dapat didekati dengan


persamaan berikut,

𝐸𝐸 = tanh ∅ (2.41)

Dimana 𝐸𝐸𝑖𝑖 adalah enhancement factor untuk reaksi spontan, sedang ∅ didefinisikan
sebagai berikut,
𝐸𝐸 −𝐸𝐸
∅ = 𝐻𝐻𝐻𝐻� 𝐸𝐸𝑖𝑖 −1 (2.42)
𝑖𝑖

𝜋𝜋
𝐻𝐻𝐻𝐻 = �4 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡 (2.43)

𝐷𝐷𝐵𝐵
Kesalahan penaksiran E dari Persamaan (2.41) ini tak melebihi 10 % bila > 1, dan
𝐷𝐷𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐵𝐵
12% bila > 0.1. Berikut ini program M-File untuk penentuan nilai E dari Persamaan
𝐷𝐷𝐴𝐴

(2.41)

Program M-File untuk penentuan harga E


clc
clear
% Program untuk menghitung enhancement factor menggunakan persamaan van Krevelen
Ei=input('Ei =');
Ha=input('Ha =');
Tol=0.00001;
E=Ha; % trial awal enhancement factor
Eror=1;
while Eror>Tol
E0=E;
Phi=Ha*((Ei-E)/(Ei-1))^0.5;
E=Phi/tanh(Phi);
Eror=abs((E-E0)/E0);
end
disp(['E = ', num2str(E)]);

19
Ada beberapa keadaan khusus :
1) Bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 1 (𝐻𝐻𝐻𝐻 < 0.5) → 𝐸𝐸 ≅ 1
Dalam hal ini, waktu kontak antara gas dan liquida sangat cepat, atau reaksi sangat
lambat. Sehingga absorpsi fisik yang dominan, reaksi tak banyak berpengaruh.
1
2) Bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 �𝐻𝐻𝐻𝐻 < 2 𝐸𝐸𝑖𝑖 �

Pada keadaan ini, reaksi adalah orde satu semu dengan konstanta kecepatan reaksi
orde satu 𝑘𝑘1 = 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 . Keadaan ini menyatakan bahwa reaktan B sangat berlebih,

sehingga konsentrasi reaktan B disemua tempat dalam fasa liquida konstan yaitu C B0 .
1
Bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 2 𝐸𝐸𝑖𝑖 , asumsi reaksi orde satu semu memberikan kesalahan tak lebih dari

10%
1
3) Bila 1 ≪ 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 �3 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 2 𝐸𝐸𝑖𝑖 �

Pada keadaan ini, waktu kontak sangat lama dan reaktan B sangat berlebih atau reaksi
bisa didekati dengan reaksi order satu semu cepat. Maka :
𝐸𝐸 = 𝐻𝐻𝐻𝐻 (2.44)
4) Bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≫ 𝐸𝐸𝑖𝑖 (𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10 𝐸𝐸𝑖𝑖 ) → 𝐸𝐸 = 𝐸𝐸𝑖𝑖
Dalam hal ini reaksi order dua bisa dianggap sebagai reaksi spontan. Bila𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10𝐸𝐸𝑖𝑖
, maka E dan Ei bedanya hanya beberapa persen saja.
Hikita dan Asai (1964) menunjukkan bahwa penyelesaian pendekatan untuk
enhancement factor bila reaksi berkesudahan orde dua terjadi adalah :
𝜋𝜋 2∅ 1 −4∅2
𝐸𝐸 = �∅ + 8∅� 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � + 2 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � (2.45)
√𝜋𝜋 𝜋𝜋

Contoh soal 2-3 :


Pandanglah sistim reaksi :

CO2 + 2 NH3 → H2 NCOO− + NH4

Reaksi ini orde dua dan pada 200 C konstanta kecepatan reaksinya 300 lt/(gmole det.). Fasa liquida
mengandung 1 M NH3. Fasa gas merupakan gas CO2 murni pada 1 atm, sehingga CAi= 4 x 10-5 gmole/cm3.
Anggap diffusivity CO2 dan NH3 sama. Tentukan harga E dan Ha untuk berbagai range waktu kontak
berikut:
a. t < 10-3 detik

20
b. 10-3 < t < 2.6 x 10-2
c. 2.6 x 10-2 < t < 0.085
d. 0.085 < t < 42
e. t > 42
Penyelesaian :
Untuk reaksi ini → z = 2
𝐶𝐶𝐵𝐵0 10−3
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 1 + =1+ = 13.5
𝑧𝑧𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 2×4×10−5

𝜋𝜋 𝜋𝜋
𝐻𝐻𝐻𝐻 = � 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡 = � × 300 × 1 × 𝑡𝑡 = 15.4 × √𝑡𝑡
4 4

a) t < 10-3 detik → 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 0.6 → 𝐸𝐸 = 1 (Reaksi tak mempercepat absorpsi fisik).
b) 10−3 < 𝑡𝑡 < 2.6 × 10−2 → 0.6 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 2.5 → berarti reaksi adalah orde satu semu. Harga Q dapat

dihitung dari Persamaan (2-10) dengan k1 = k 2 C B 0 .


c) 2.6 × 10−2 < 𝑡𝑡 < 0.085 → 2.5 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 4.5 : Letak E adalah pada bagian lurus dengan kurva orde
satu : Reaksi yang tejadi adalah “ orde satu dan cepat “. Harga Q dapat dihitung dari Persamaan (2-
13).
d) 0.085 < 𝑡𝑡 < 42 → 4.5 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 100 : E terleteak pada kurva dengan Ei = 13.5 ; Reaksi tidak ada
lagi orde satu semu tapi belum dapat dikatakan sebagai diffusi mengendali.
e) 𝑡𝑡 > 42 → 𝐻𝐻𝐻𝐻 > 100 : E terletak pada bagian horizontal dari pada kurva untuk Ei = 13.5 : E = Ei →
Reaksi dikendalikan oleh diffusi, dan harga Q mengikuti persamaan untuk “ Reaksi spontan “.

2.2.2. Reaksi-reaksi Reversible :


Ditinjau reaksi reversible orde satu
Pandanglah reaksi berikut ,
𝑘𝑘1 , 𝑘𝑘−1
𝐴𝐴 ������ 𝑃𝑃
Pada keadaan seimbang ,
𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝑘𝑘−1 𝐶𝐶𝑃𝑃𝑃𝑃 (2.46)
dan konstanta seimbang dinyatakan dengan :
𝐶𝐶 𝑘𝑘
𝐾𝐾 = �𝐶𝐶𝑃𝑃 � = 𝑘𝑘 1 (2.47)
𝐴𝐴 𝑒𝑒 −1

Sehingga laju reaksi, r dapat ditulis


CP
r = k1 CA − k −1 CP = k1 �CA − � (2.48)
K

Persamaan differensial yang menggambarkan proses absorpsi dengan reaksi reversibel ini
adalah :

21
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝑃𝑃
𝐷𝐷𝐴𝐴 = + 𝑘𝑘1 �𝐶𝐶𝐴𝐴 − � (2.49)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝐾𝐾
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝑃𝑃 𝜕𝜕𝐶𝐶𝑃𝑃 𝐶𝐶𝑃𝑃
𝐷𝐷𝑃𝑃 = − 𝑘𝑘1 �𝐶𝐶𝐴𝐴 − � (2.50)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕 𝐾𝐾

dengan kondisi awal dan batas sebagai berikut :


𝜕𝜕𝐶𝐶𝑃𝑃
𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 , = 0, 𝑥𝑥 = 0, 𝑡𝑡 > 0 (2.51)
𝜕𝜕𝜕𝜕

𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 , 𝐶𝐶𝑃𝑃 = 𝐾𝐾𝐶𝐶𝐴𝐴0 , 𝑥𝑥 > 0, 𝑡𝑡 = 0 (2.52)


𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 , 𝐶𝐶𝑃𝑃 = 𝐾𝐾𝐶𝐶𝐴𝐴0 , 𝑥𝑥 = ∞, 𝑡𝑡 > 0 (2.53)
Dalam hal ini, dianggap liquid mula-mula mengandung P dengan konsentrasi
kesetimbangan KCA0 dan dianggap P tidak volatile.
Sherwood & Pigford (1952) dalam Danckwertz (1970) memberikan harga
enhancement faktor untuk reaksi ini dalam hal K > 1.
𝛽𝛽1 √𝜋𝜋 �𝛽𝛽1 𝜋𝜋
𝐸𝐸 = 1 + 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝛼𝛼12 ){𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝐾𝐾𝛼𝛼1 ) − 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝛼𝛼1 )} − 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒�𝛼𝛼1 √𝐾𝐾 2 − 1� (2.54)
2𝛼𝛼1 2𝛼𝛼1

𝑘𝑘 𝑡𝑡 𝐾𝐾2
1
𝛼𝛼1 = �𝐾𝐾(𝐾𝐾−1) , 𝛽𝛽1 = 𝐾𝐾2−1 (2.55)

dan untuk K < 1, maka,


𝛽𝛽 �𝜋𝜋𝛽𝛽2
𝐸𝐸 = 1 − 𝛼𝛼2 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(−𝛼𝛼22 ){𝑓𝑓𝑓𝑓(𝐾𝐾𝛼𝛼2 ) − 𝑓𝑓𝑓𝑓(𝛼𝛼2 )} + 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒�𝛼𝛼2 √1 − 𝐾𝐾 2 � (2.56)
2 2𝛼𝛼2

𝑘𝑘 𝑡𝑡 𝐾𝐾2
1
𝛼𝛼2 = �𝐾𝐾(1−𝐾𝐾) , 𝛽𝛽1 = 1−𝐾𝐾2 (2.57)
𝑦𝑦 2
𝑓𝑓𝑓𝑓(𝑦𝑦) = ∫0 𝑒𝑒 𝑧𝑧 𝑑𝑑𝑑𝑑 (2.58)

Dalam praktek, reaksi-reaksi reversibel yang benar-benar orde satu untuk kedua arah
tidak umum. Tapi, sering kita jumpai reaksi-reaksi yang orde satu terhadap konsentrasi
gas terlarut dan konsentrasi reaktan adalah seragam, sehingga reaksi kekanan merupakan
reaksi orde satu semu. Konsentrasi produk seragam, sehingga reaksi kekiri hampir sama
pada semua titik. Dalam keadaan ini persamaan differensial yang menggambarkannya
adalah :
𝜕𝜕2 (𝐶𝐶𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ) 𝜕𝜕(𝐶𝐶𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 )
𝐷𝐷𝐴𝐴 = + 𝑘𝑘1 (𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ) (2.59)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

dengan kondisi awal dan batas :


𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = 0, 𝑥𝑥 > 0, 𝑡𝑡 = 0 (2.60a)

22
𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 , 𝑥𝑥 = 0, 𝑡𝑡 > 0 (2.60b)
𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = 0, 𝑥𝑥 = ∞, 𝑡𝑡 > 0 (2.60c)
Persamaan differensial dan kondisi batas diatas adalah sama dengan keadaan untuk reaksi
irreversibel orde satu, hanya saja 𝐶𝐶𝐴𝐴 diganti dengan (𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ).

Contoh soal 2-4 :


CO2 diserap kedalam larutan yang mengandung alkali karbonat dan bikarbonat dan ion arsenit sebagai
katalis. Pada kondisi yang cocok, konsentrasi ion-ion ini tak terpengaruh oleh absorpsi CO2, dan metoda
diatas dapat digunakan. Kita akan menentukan jumlah CO2 yang terabsorpsi per satuan luas dalam waktu
satu detik.
Data :
k1 = kC [cat] = 30 sec -1 pada 250C

[ HCO − ] = 1 ; [CO = ] = 0.5 gmole / liter.


3 3
K1 = 4.5 x 10 -7 , K2 = 4.7 x 10 -11 gmole/liter
DA = 1.5 x 10 -5 cm2/det, CAi = 3 x 10 -6 gmole/cm3.
K 2 ( HCO3− )
C Ae =
K1 (CO3= )

Penyelesaian:
Dari data diatas, diperoleh :

4.7 x10 −11


C Ae = = 2.1x10 − 4 gmole / lt = 2.1x10 −7 gmole / cm 3
4.5 x10 −7.0.5
∴ Jumlah CO2 yang terserap persatuan luas dalam waktu satu detik (k1 t = 30) adalah :

Q = (C Ai − C Ae )t ( D A k1 ) = (3 − 0.21) x10 −6 x 1.5 x10 −5 x30 = 6.4 x 10 -8 gmole/cm2

23
BAB 3
MODEL PERPINDAHAN MASSA PADA PERMUKAAN
ANTAR FASA GAS-CAIR

Fenomena absorpsi reaktif sering dilakukan dengan adanya pengadukan atau golakan
dalam fasa liquid atau gas. Golakan ini dimaksudkan untuk mempercepat laju absorpsi..
Pengadukan bisa terjadi dalam banyak hal, antara lain,
a. Liquida mengalir sebagai lapisan pada permukaan vertikal atau miring, dan alirannya
turbulen. Diskontinuitas permukaan bisa menyebabkan pencampuran lapisan liquida.
( Contoh : packed Column ).
b. Gas ditiup melalui liquida ( sparged Vessel, bubble-plate )
c. Liquida diaduk dengan pengaduk yang juga mendistribusikan gelembung-gelembung
gas kedalam liquida.
d. Liquida di spray melalui gas sebagai tetesan-tetesan atau jet.
Dalam hal ini gas berpindah selain karena diffusi juga karena konveksi dan turbulen.
Sehingga dibutuhkan model penyederhanaan untuk menganalisa fenomena absorpsi
reaktif.
Ditinjau : − Absorpsi fisik
− Absorpsi dengan reaksi kimia
3.1 Absorpsi Fisik
Laju absorpsi per satuan luas interface bisa dinyatakan dengan 𝑅𝑅 = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ),
dimana R adalah fluksi absorpsi , 𝑘𝑘𝐿𝐿 adalah koefisien perpindahan massa 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 adalah
konsentrasi gas berkesetimbangan yang sesuai dengan tekanan parsial gas pada interface
dan 𝐶𝐶𝐴𝐴0 adalah konsentrasi gas didalam badan ( bulk ) liquida.

Model-model numerik perpindahan massa antar fasa gas-cair telah banyak


disajikan di literatur. Model-model ini didasarkan pada hipotesa bahwa gradient
kecepatan didalam cairan adalah nol. Pada kenyataannya, dapat ditunjukkan bahwa dalam
sebagaian besar kasus, perbandingan laju perpindahan massa di dalam fasa cair dengan
dan tanpa reaksi kimia tak bergantung pada kondisi hidrodinamik tertentu didalam fasa

24
cair. Berikut beberapa model secara teoritis yang telah dikembangkan untuk
menggambarkan perpindahan massa dari suatu interface.

3.1.1 Teori film (Whitman, 1923)


Model film dikembangkan pertama kali pada tahuan 1923 oleh Whitman dan
pada tahun 1928 pertama kali digunakan oleh Hatta untuk absorpsi disertai reaksi kimia.
Model film perpindahan massa untuk kasus absorpsi gas ke liquida, dengan asumsi film
liquida dalam keadaan stagnan sehingga proses perpindahan massa hanya karena difusi
saja, sedangkan badan liquida berada dalam keadaan tercampur sempurna. Tidak ada
konveksi dalam film dan gas terlarut melewati film tersebut hanya oleh difusi molekuler.
Tekanan parsial ΡA dalam bulk fasa gas konstan menunjukkan tidak ada tahanan
perpindahan massa dalam gas.
Bila diterapkan pada suatu proses absorpsi yang dikendalikan oleh sisi liquida,
model teori film mengevaluasi laju absorpsi per satu satuan luas permukaan R:
𝜕𝜕𝐶𝐶
𝑅𝑅 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � 𝜕𝜕𝜕𝜕𝐴𝐴 � (3.1)
𝑥𝑥=0

Secara skematis model film Whitman diberikan dalam Gb 3.1. Gradient


konsentrasi A antara x =0 dan x= δ konstan didalam film stagnan, bila tak ada generasi
(generasi ada bila ada reaksi kimia):
𝜕𝜕𝐶𝐶 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴0
� 𝜕𝜕𝜕𝜕𝐴𝐴 � = (3.2)
𝑥𝑥=0 𝛿𝛿

Koefisien perpindahan massa sisi liquida, 𝑘𝑘𝐿𝐿 , untuk absorpsi fisik didefinisikan sebagai
𝑅𝑅
berikut: 𝑘𝑘𝐿𝐿 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
(3.3)

Substitusi Pers. (3.3) ke Pers. (3.2) menghasilkan,


𝜕𝜕𝐶𝐶 𝑅𝑅
− � 𝜕𝜕𝜕𝜕𝐴𝐴� = 𝑘𝑘 (3.4)
𝑥𝑥=0 𝐿𝐿 𝛿𝛿

𝐷𝐷𝐴𝐴
Substitusi Pers. (3.4 ) ke Pers. (3.1) menghasilakan 𝑘𝑘𝐿𝐿 = (3.5)
𝛿𝛿

25
Permukaan batas
gas-liquid Film Liquid
Badan Liquid

Gambar 3.1. Model film Whitman

Sifat-sifat hidodinamik sistim diperhitungkan dengan parameter δ yang bergantung pada


geometri, agitasi liquida, sifat-sifat fisik, dan sebagainya. Model ini tidak realistik, tapi
prediksi dengan film model mendekati prediksi dengan model-model yang lebih canggih.
Oleh karena itu model ini sering digunakan.

3.1.2 Teori surface renewal (Danckwartz, 1970)


Absorpsi gas digambarkan sebagai penggantian pada interval waktu tertentu
elemen-elemen liquida pada permukaan dengan liquida dari dalam yang mempunyai
komposisi bulk rata-rata. Elemen liquida pada permukaan tersebut berkontak dengan gas,
sehingga elemen ini menyerap gas seolah-olah dalam keadaan stagnan dan mempunyai
kedalaman yang tak berhingga. Gb. 3.2 menunjukkan mekanisme model ini. Laju
absorpsi R adalah fungsi waktu kontak elemen dengan gas.
Pada umumnya laju absorpsi cepat pada keadaan awal dan kemungkinan
menurun dengan waktu. Penggantian elemen liquida pada permukaan oleh liquida dari
dalam dengan komposisi bulk bisa dilaksanakan karena adanya gerakan turbulen daripada
liquida.

26
liquida

Gambar 3.2. Surface renewal model

Model surface renewal pertama kali disarankan oleh Higbie. Model Higbie ini,
menganggap waktu kontak elemen-elemen liquida dipermukaan dengan gas dianggap
sama dan dinyatakan dengan parameter waktu penetrasi θ. Waktu penetrasi ini
ditentukan oleh sifat sifat hidrodinamika sistim. Makin turbulen liquidanya, pergantian
elemen-elemen liquida makin sering, berarti harga ϴ makin kecil.
Proses difusi molekuler tidak steady didalam masing-masing elemen liquida
dinyatakan dengan persamaan diferensial,
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = (3.6)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

Kondisi-kondisi batas yang bersesuaian dengan Pers. (3.8) adalah:


𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 > 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.7a)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.7b)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = ∞, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.7c)
Penyelesaian Pers.(3.6) dengan kondisi batas di atas adalah,
𝐶𝐶𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴0 𝑥𝑥
= 1 − 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �2�𝐷𝐷 𝑡𝑡� (3.8)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴0 𝐴𝐴

dari Pers. (3.8)


𝜕𝜕𝐶𝐶 1 𝐷𝐷
𝑅𝑅 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � 𝜕𝜕𝜕𝜕𝐴𝐴 � = 𝐷𝐷𝐴𝐴 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) �2�𝐷𝐷 𝑡𝑡� = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )� 𝜋𝜋𝜋𝜋𝐴𝐴 (3.9)
𝑥𝑥=0 𝐴𝐴

𝑡𝑡 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = ∫0 𝑅𝑅 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 2(𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )� 𝜋𝜋
(3.10)

Dan laju absorpsi rata-rata dengan model Higbie bisa diperoleh dari,
𝑄𝑄(𝜃𝜃) 𝐷𝐷
𝑅𝑅� = = 2(𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )�𝜋𝜋𝜋𝜋𝐴𝐴 (3.11)
𝜃𝜃

27
Sedangkan definisi koefisien perpindahan massa dinytakan dengan Persamaan
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝑖𝑖 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ) (3.12)
Sehingga koefisien perpindahan massa dengan model Higbie dinyatakan sebagai berikut,
𝐷𝐷
𝑘𝑘𝐿𝐿 = 2�𝜋𝜋𝜋𝜋𝐴𝐴 (3.13)

Danckwertz (1970), tidak mengasumsikan bahwa waktu kontak elemen-elemen


liquida dengan gas sama. Dia menyarankan bahwa terdapat waktu tinggal elemen-elemen
liquida dipermukaan, fraksi permukaan yang pada saat tertentu telah berkontak dengan
gas untuk waktu antara t dan (t + dt) adalah s e-st dt. Disini s adalah fraksi luas permukaan
yang diganti dengan liquida dari dalam per satu satuan waktu. Maka laju absorpsi rata-
rata ke dalam liquida adalah:

𝑅𝑅� = 𝑠𝑠 ∫0 𝑅𝑅(𝑡𝑡)𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.14)

Substitusi nilai R dari Pers. (3.9) ke Pers. (3.14) menghasilkan


𝐷𝐷 ∞ 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠
𝑅𝑅� = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )𝑠𝑠� 𝜋𝜋𝐴𝐴 ∫0 𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.15)
√𝑡𝑡

Integral pada Persamaan (3.15) bisa dinyatakan dengan fungsi Gamma yaitu,
∞ 1
∫0 𝑡𝑡 𝑛𝑛 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑠𝑠𝑛𝑛+1 𝛤𝛤(𝑛𝑛 + 1) (3.16)

Berarti Persamaan (3.15) menjadi,


𝐷𝐷 1
𝑅𝑅� = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )𝑠𝑠� 𝜋𝜋𝐴𝐴 𝑠𝑠 −0.5+1
𝛤𝛤(−0.5 + 1) = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑠𝑠 (3.17)

(catatan: 𝛤𝛤(0.5) = √𝜋𝜋)


atau
𝑘𝑘𝐿𝐿 = �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑠𝑠 (3.18)

3.1.3 Teori film penetrasi (Toor dan Marchello, 1958).


Teori film-penetrasi ini adalah merupakan kombinasi dari fitur teori film, teori
penetrasi dan teori surface renewal. Model ini telah dilakukan oleh Toor dan Marchello
(1958) untuk memprediksi kebergantungan koefisien perpindahan massa 𝑘𝑘𝐿𝐿 pada
difusivity yang bervariasi dari �𝐷𝐷𝐴𝐴 sampai 𝐷𝐷𝐴𝐴 . Teori ini menganggap bahwa

28
keseluruhan tahanan perpindahan berada didalam suatu film dengan ketebalan tertentu δ .
Arus Eddy bergerak ke dan dari badan fluida dan film ini. Distribusi waktu tinggal di
dalam film adalah sebagaimana tipe Higbie atau Danckwerts . Hukum Fick kedua
berlaku, (Pers. 3.6), tapi kondisi batasnya seperti pada Pers. (3.19)
𝑡𝑡 = 0, 0 ≤ 𝑥𝑥 ≤ 𝛿𝛿 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.19a)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.19b)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 𝛿𝛿 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.19c)

Penyelesaian deret tak berhingga diperoleh dengan metoda Transformasi


Laplace. Laju perpindahan massa diperoleh seperti biasa dengan menggunakan hukum
Fick pertama,
𝜕𝜕𝐶𝐶
𝑅𝑅 = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � 𝜕𝜕𝜕𝜕𝐴𝐴� (3.20)
𝑥𝑥=0

pada bidang antar fasa gas-liquida. Pada waktu yang singkat, penyelesaiannya adalah,
𝐷𝐷 0.5 𝑛𝑛2 𝛿𝛿 2
𝑅𝑅 = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) � 𝜋𝜋𝜋𝜋𝐴𝐴� �1 + 2 ∑∞
𝑛𝑛=1 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �� (3.21)
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡

dan untuk waktu yang lama,


𝐷𝐷 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑅𝑅 = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) � 𝛿𝛿𝐴𝐴� �1 + 2 ∑∞ 2 2
𝑛𝑛=1 exp �−𝑛𝑛 𝜋𝜋 𝛿𝛿 2
�� (3.22)

Laju absorpsi rata-rata diberikan oleh,



𝑅𝑅� = 𝑠𝑠 ∫0 𝑅𝑅 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.23)
Substitusi nilai R dari Pers.(3-21) dan (3.22) untuk waktu singkat dan lama diperoleh
sebagai berikut:
• waktu singkat, penyelesaiannya adalah,

1
𝑠𝑠
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )(𝑠𝑠𝐷𝐷𝐴𝐴 )2 �1 + 2 ∑∞
𝑛𝑛=1 exp �−2𝑛𝑛𝑛𝑛 �𝐷𝐷 �� (3.24)
𝐴𝐴

Atau,
1
𝑠𝑠
𝑘𝑘𝐿𝐿 = (𝑠𝑠𝐷𝐷𝐴𝐴 )2 �1 + 2 ∑∞
𝑛𝑛=1 exp �−2𝑛𝑛𝑛𝑛 �𝐷𝐷 �� (3.25)
𝐴𝐴

• waktu lama, penyelesaiannya adalah,


𝐷𝐷 1
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) � 𝛿𝛿𝐴𝐴 � �1 + 2 ∑∞
𝑛𝑛=1 exp � 𝐷𝐷 �� (3.26)
1+𝑛𝑛2 𝜋𝜋2 𝐴𝐴2
𝑠𝑠 𝛿𝛿

29
Atau,
𝐷𝐷 1
𝑘𝑘𝐿𝐿 = � 𝛿𝛿𝐴𝐴� �1 + 2 ∑∞
𝑛𝑛=1 exp � 𝐷𝐷 �� (3.27)
1+𝑛𝑛2 𝜋𝜋 2 𝐴𝐴2
𝑠𝑠 𝛿𝛿

Pers (3.24) dan (3.26) mengandung parameter s bukan waktu kontak. Untuk laju
pergantian permukaan, (sδ2/DA) yang tinggi, Pers. (3.24) menjadi
𝑅𝑅� = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 )�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑠𝑠 (3.28)
sama dengan persamaan Danckwerts. Untuk laju pergantian permukaan yang rendah,
pers. (3-26) berubah menjadi persamaan film.
𝐷𝐷
𝑅𝑅� = (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) � 𝛿𝛿𝐴𝐴� (3.29)

Pada kondisi diantara kedua nya, 𝑘𝑘𝐿𝐿 berbanding lurus dengan 𝐷𝐷𝐴𝐴𝑛𝑛
𝑘𝑘𝐿𝐿 ∝ 𝐷𝐷𝐴𝐴𝑛𝑛 (3.30)

dimana nilai n =1 untuk model film dan n = 0.5 untuk model penetrasi maupun model
Danckwertz. Model film-penetrasi nilai n berkisar 0.5 < n < 1. Penerapan teori model
film-penetrasi susah karena tidak adanya data mengenai δ dan s.

3.1.4 Eddy difusivity model /model King (King, 1966)


Pada teori ini, perpindahan massa terjadi pada absorpsi gas dalam aliran liquida
turbulen. Absorpsi gas dalam aliran turbulen memerlukan model Eddy difusivity. Eddy
difusivity merupakan koefisien difusivitas yang terjadi dalam liquida turbulen. Eddy
sendiri adalah fluida yang tidak stagnan dan reverse current yang terbentuk ketika fluida
mengalami gangguan. Pada tahun 1966, Kozinski-King mengusulkan teori steady state
yang menganggap adanya kontribusi konveksi pada difusi species didalam lapisan batas
di dekat interface, proses difusi yang dominan.
Model Eddy difusivity pada fase liquida untuk absorpsi fisik dapat dinyatakan
dengan,
𝑑𝑑 𝑑𝑑𝐶𝐶𝐴𝐴
𝑑𝑑𝑑𝑑
�{𝐷𝐷𝐴𝐴 + 𝜀𝜀(𝑥𝑥)} �=0 (3.31)
𝑑𝑑𝑑𝑑

Dimana,

30
𝜀𝜀(𝑥𝑥) = 𝑎𝑎𝑥𝑥 2 (3.32)
𝑎𝑎 = 7.9 × 10−5 𝑅𝑅𝑅𝑅 1.678 (𝑅𝑅𝑅𝑅 = 1700 − 8500) (3.33)
Model ini cukup realistis namun sederhana. Persamaan differensial dalam aliran
turbulen untuk orde 1 absorpsi CO2 dengan carbonate-bicarbonate oleh Mendez-Sandall,
adalah sebagai berikut :
𝑑𝑑 𝑑𝑑𝐶𝐶𝐴𝐴
𝑑𝑑𝑑𝑑
�{𝐷𝐷𝐴𝐴 + 𝜀𝜀(𝑥𝑥)} � − 𝑘𝑘(𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ) = 0 (3.34)
𝑑𝑑𝑑𝑑

3.2. Absorpsi dengan Reaksi Kimia


Berikut ini diuraikan pemakaian beberapa model perpindahan massa yang telah
dibahas sebelumnya untuk memprediksi laju absorpsi gas disertai reaksi kimia.
Umumnya persoalannya adalah menentukan faktor peningkatan laju absorpsi dengan
adanya reaksi kimia. Kasus yang dibahas secara detail adalah absorpsi dengan reaksi
kimia irreversible orde satu, reaksi spontan, reaksi irreversible order dua dan reaksi
reversible orde satu dengan menggunakan model film, Model Higbie dan model
Danckwertz.

3.2.1 Reaksi orde satu irreversible

Model Film
Persamaan diffusi yang berlaku,
𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴 (3.35)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2

dengan kondisi batas,


𝑥𝑥 = 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.36a)
𝑥𝑥 = 𝛿𝛿, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.36b)
𝐷𝐷𝐴𝐴
dimana 𝛿𝛿 = 𝑘𝑘𝐿𝐿

Hasil penyelesaian Persamaan Differensial diatas adalah :


1 𝑘𝑘 𝐷𝐷 𝑘𝑘
𝐶𝐶𝐴𝐴 = sinh 𝐻𝐻𝐻𝐻 �𝐶𝐶𝐴𝐴0 sinh �𝑥𝑥 �𝐷𝐷1 � + 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 sinh � 𝑘𝑘𝐴𝐴 − 𝑥𝑥� �𝐷𝐷1 � (3.37)
𝐴𝐴 𝐿𝐿 𝐴𝐴

�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1
dimana 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 𝑘𝑘𝐿𝐿

Laju absorpsinya adalah,

31
𝑑𝑑𝐶𝐶 𝐶𝐶 𝐻𝐻𝐻𝐻
𝑅𝑅� = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � 𝑑𝑑𝑑𝑑𝐴𝐴 � = 𝑘𝑘𝐿𝐿 �𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − cosh𝐴𝐴0 � tanh 𝐻𝐻𝐻𝐻
(3.38)
𝑥𝑥=0 √𝑀𝑀

Bila Ha ≫ 1 dan 𝐶𝐶𝐴𝐴0 dapat diabaikan maka Persamaan (3-38) menjadi


𝑅𝑅� = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 (3.39)
Atau
�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1
𝐸𝐸 = = 𝐻𝐻𝐻𝐻 (3.40)
𝑘𝑘𝐿𝐿

Model Higbie
Dalam hal ini persamaan difusi yang berlaku adalah,
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
= + 𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴 (3.41)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

Dengan kondisi awal dan batas,


𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 > 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.42a)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.42b)
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = ∞, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.42c)
Persamaan (3.41) dengan kondisi awal dan batas dari persamaan (3.42) telah diselesaikan
pada Bab 2, dan juga telah dijabarkan persamaan untuk menentukan jumlah mole gas A
yang terserap dalam waktu t per satuan luas antar fasa yaitu,
𝐷𝐷 1 𝑘𝑘1 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝑘𝑘𝐴𝐴 ��𝑘𝑘1 𝑡𝑡 + 2� 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒��𝑘𝑘1 𝑡𝑡� + � 𝜋𝜋
𝑒𝑒 −𝑘𝑘1𝑡𝑡 � (3.43)
1

Dengan model Higbie laju absorpsi rata-rata dinyatakan dengan :


𝑄𝑄(𝜃𝜃) 𝐶𝐶 𝐷𝐷 1 𝑘𝑘 𝜃𝜃
𝑅𝑅� = = 𝜃𝜃𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝑘𝑘𝐴𝐴 ��𝑘𝑘1 𝜃𝜃 + 2� 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒��𝑘𝑘1 𝜃𝜃� + � 𝜋𝜋1 𝑒𝑒 −𝑘𝑘1𝜃𝜃 � (3.44)
𝜃𝜃 1

dimana,
4𝐷𝐷𝐴𝐴 4𝐻𝐻𝐻𝐻2
𝜃𝜃 = = (3.45)
𝜋𝜋𝑘𝑘𝐿𝐿2 𝜋𝜋𝑘𝑘1

sehingga,
2 𝐻𝐻𝐻𝐻2
𝜋𝜋 4𝐻𝐻𝐻𝐻 1 𝐻𝐻𝐻𝐻 2𝐻𝐻𝐻𝐻
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �4𝐻𝐻𝐻𝐻� �� 𝜋𝜋 + 2� 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �2 � + 𝜋𝜋 𝑒𝑒 −4 𝜋𝜋 � (3.46)
√𝜋𝜋

Untuk √𝑀𝑀 ≫ 1, maka Persamaan (3-46) menjadi,


𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 (3.47)
dan,
𝐸𝐸 = 𝐻𝐻𝐻𝐻 (3.48)

32
Model Danckwertz
Untuk model persamaan diffusi yang ditunjukkan pada persamaan (3.41) dengan
kondisi awal dan batas pada persamaan (3.42) diselesaikan dengan metoda transformasi
Laplace. Dalam hal ini persamaan (3.41) dan (3.42) dioperasikan dengan transformasi
Laplace dan diperoleh,
𝑑𝑑2 ����
𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = ���
𝐶𝐶𝐴𝐴 (𝑘𝑘1 + 𝑠𝑠) (3.49)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2

dan,
𝑥𝑥 = 0, ���
𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.50a)
𝑥𝑥 = ∞, ���
𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.50b)
dimana,

���
𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝑠𝑠 ∫0 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.51)
Penyelesaian Persmaan Differensial diatas adalah:
𝐶𝐶𝐴𝐴0 −𝑥𝑥𝑘𝑘 𝐷𝐷 𝑘𝑘
���
𝐶𝐶𝐴𝐴 = �𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 1+𝑀𝑀 � 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � 𝐷𝐷 𝐿𝐿 �1 + 𝑘𝑘𝐴𝐴2 1� (3.52)
𝐴𝐴 𝐿𝐿

Laju absorpsi rata-rata dapat dicari sebagai berikut :


∞ ∞ 𝜕𝜕𝐶𝐶
𝑅𝑅� = 𝑠𝑠 ∫0 𝑅𝑅 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑 = 𝑠𝑠 ∫0 −𝐷𝐷𝐴𝐴 � 𝜕𝜕𝜕𝜕𝐴𝐴 � 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑥𝑥=0

Atau,
𝑑𝑑 ∞ ����
𝑑𝑑𝐶𝐶
𝑅𝑅� = −𝐷𝐷𝐴𝐴 �𝑑𝑑𝑑𝑑 �𝑠𝑠 ∫0 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑�� = −𝐷𝐷𝐴𝐴 � 𝑑𝑑𝑑𝑑𝐴𝐴 � (3.53)
𝑥𝑥=0 𝑥𝑥=0

Dari persamaan (3.52) dan (3.53) diperoleh,


𝐶𝐶𝐴𝐴0 𝐷𝐷 𝑘𝑘 𝐶𝐶𝐴𝐴0
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 �𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 1+𝑀𝑀 � �1 + 𝑘𝑘𝐴𝐴2 1 = 𝑘𝑘𝐿𝐿 �𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 1+𝑀𝑀 � √1 + 𝐻𝐻𝐻𝐻2 (3.54)
𝐿𝐿

Bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≫ 1 , maka


𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐻𝐻𝐻𝐻 (3.55)

dan
𝐸𝐸 = 𝐻𝐻𝐻𝐻 (3.56)

33
3.2.2 Reaksi-reaksi Spontan

Model Film
Pandanglah reaksi : A + z B → yP
Profil konsentrasi A dan B dalam fasa liquid untuk type reaksi ini adalah :

CB0

CAi

δ’ δ x
Gambar 3.3 Profil konsentrasi didalam film liquid untuk reaksi spontan

Reaktan A dan B berdiffusi ke bidang reaksi pada jarak δ dari permukaan. B harus
berdiffusi z kali lebih cepat dari pada A, yaitu :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝑧𝑧 = (3.57)
𝛿𝛿′ 𝛿𝛿−𝛿𝛿′

dan demikian pula P harus berdiffusi menjauhi bidang reaksi y kali lebih cepat dari pada
kecepatan diffusi A mendekatinya, sehingga :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝑃𝑃 𝐶𝐶𝑃𝑃0
y = (3.58)
𝛿𝛿′ 𝛿𝛿−𝛿𝛿′

Dari persamaan (3-57) diperoleh :


𝑧𝑧 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
𝛿𝛿 ′ = 𝑧𝑧 𝐷𝐷 (3.59)
𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 +𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0

Kecepatan absorpsi diperoleh dari :


𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷 𝐶𝐶
𝑅𝑅 = = �1 + 𝑧𝑧𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0 � (3.60)
𝛿𝛿′ 𝛿𝛿 𝐴𝐴 𝐴𝐴𝐴𝐴

Atau,

34
𝐷𝐷 𝐶𝐶
𝑅𝑅 = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �1 + 𝑧𝑧𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0 � (3.61)
𝐴𝐴 𝐴𝐴𝑖𝑖

Atau,
𝑅𝑅 = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐸𝐸𝑖𝑖 (3.62)

Dan 𝐶𝐶𝑃𝑃0 diperoleh dari Pers. (3-57) dan (3-58) :


𝑦𝑦𝐷𝐷
𝐶𝐶𝑃𝑃0 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑧𝑧𝑧𝑧 𝐵𝐵 (3.63)
𝑃𝑃

Bila 𝑧𝑧 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ≪ 𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (yakni bila 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ≪ 𝐶𝐶𝐵𝐵0 ), maka laju absorpsi diperoleh dari
𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝑅𝑅 ≈ 𝑘𝑘𝐿𝐿 (3.64)
𝑧𝑧𝐷𝐷𝐴𝐴

Model Danckwert & Higbie :


Untuk model Danckwertz dan Higbie, fluksi absorpsi dg reaksi spontan bisa diperoleh
dari persamaan bewrikut,
𝑅𝑅� = 𝐸𝐸𝑖𝑖 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.65)
dimana,
1
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 𝛽𝛽
(3.66)
erf� �
�𝐷𝐷𝐴𝐴

dimana β didefinisikan pada Bab II dan Ei adalah Enhancement factor untuk reaksi
spontan. Sebagaimana pada bab II, untuk 𝐸𝐸𝑖𝑖 ≫ 1 (yaitu bila 𝐸𝐸𝑖𝑖 > 10), persamaan berikut
bisa digunakan untuk menentukan 𝐸𝐸𝑖𝑖
𝐷𝐷 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵
𝐸𝐸𝑖𝑖 = �𝐷𝐷𝐴𝐴 + �𝐷𝐷 (3.67)
𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴

Dan untuk 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝐷𝐷𝐴𝐴 ,


𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 1 + (3.68)
𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴

3.2.3 Reaksi Irreversible Orde Dua


Film Model :
𝑘𝑘2
Reaksi yang ditinjau : 𝐴𝐴(𝑔𝑔) + 𝑧𝑧 𝐵𝐵(𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙) → 𝑦𝑦 𝑃𝑃
Persamaan diffusi yang digunakan :
𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 − 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 0 (3.69)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2
𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐵𝐵 − 𝑧𝑧𝑧𝑧2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 0 (3.70)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2

35
dengan kondisi batas
𝑑𝑑𝐶𝐶𝐵𝐵
𝑥𝑥 = 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 , =0 (3.71a)
𝑑𝑑𝑑𝑑

𝑥𝑥 = 𝛿𝛿, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 , 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.71b)

Profil konsentrasi A dan B dalam film liquid untuk type reaksi ini adalah :

CB0
CB

CAi

CA

CA0

x
Gambar. 3-4 : Profil konsentrasi A dan B dalam film liquid.

Persamaan (3.69) dan (3.70) merupakan sistim dua persamaan diferensial order dua
nonlinear. Umumnya sistim persamaan ini diselesaikan secara numerik. Van Krevelen &
Hoftijzer menghitung penyelesaian pendekatan untuk keadaan 𝐶𝐶𝐴𝐴0 = 0 dan ia
menunjukkan penyelesaian pendekatannya ( dengan kesalahan dibawah 10% ) dinyatakan
dengan persamaan :
𝑅𝑅 ∅
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
= 𝐸𝐸 = tanh ∅ (3.72)

Dimana,
𝐸𝐸 −𝐸𝐸
∅ = 𝐻𝐻𝐻𝐻� 𝐸𝐸𝑖𝑖 −1 (3.73)
𝑖𝑖

�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0


𝐻𝐻𝐻𝐻 = (3.74)
𝑘𝑘𝐿𝐿
𝐷𝐷 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 1 + 𝑧𝑧 𝐷𝐷𝐵𝐵 (3.75)
𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴

36
Keadaan-keadaan khusus:
1. 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 1 (yaitu bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 0.5)
Berarti regim reaksi lambat, reaksi tak berpengaruh terhadap fluksi absorpsi, atau E=1
2. 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≫ 𝐸𝐸𝑖𝑖 (yaitu bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10 𝐸𝐸𝑖𝑖 )
Berarti reaksi order dua bisa dianggap sebagai reaksi spontan, atau 𝐸𝐸 = 𝐸𝐸𝑖𝑖
1
3. 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 (yaitu bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 𝐸𝐸𝑖𝑖 )
2

Berarti reaksi order dua bisa dianggap sebagai reaksi order satu semu. Dalam hal ini
konsentrasi reaktan B sangat berlebih dengan yang dibutuhkan untuk reaksi.
1
4. 1 ≪ 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 (yaitu bila 3 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 𝐸𝐸𝑖𝑖 )
2

Berarti reaksi order dua bisa dianggap sebgai reaksi order satu semu cepat, yaitu 𝐸𝐸 = 𝐻𝐻𝐻𝐻

Model Higbie :
Dengan menggunakan model Higbie, fluks absorpsi disertai reaksi irreversible order dua
dapat dinyatakan dengan,
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐸𝐸 (3.76)
Dimana, E diperoleh dari Persamaan (3.72), ϕ diperoleh dari Persamaan (3.73), dan 𝐻𝐻𝐻𝐻2
diperoleh dari Persamaan (3.74). Sedangkan 𝐸𝐸𝑖𝑖 didapat dari Persamaan (3.66) dengan β
didefinisikan pada Bab 2.

Contoh soal : 3-1


CO2 diserap kedalam larutan NaOH didalam suatu packed Column pada 200 C. Tentukan laju absorpsi per
satuan volume packing pada tempat dimana tekanan parsial CO2 adalah 1 atm dan konsentrasi NaOH
adalah 0,5 M. Tahanan film gas dapat diabaikan
Data :
𝑘𝑘𝐿𝐿 = 10−2 𝑐𝑐𝑐𝑐. 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝑎𝑎 = 1 𝑐𝑐𝑐𝑐−1 , 𝑘𝑘2 = 104 𝑙𝑙𝑙𝑙. 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 −1 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
𝐷𝐷𝐵𝐵
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = 0.04 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔. 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 −1 = 4 × 10−5 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔. 𝑐𝑐𝑐𝑐 −3 , 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.8 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , = 1.7
𝐷𝐷𝐴𝐴

Penyelesaian :
Karena DB / DA ≠ 1 maka Model Higbie lebih akurat dari pada film model.
Reaksi yang terjadi :
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 2 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 → 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂
z =2
Bila 𝐸𝐸𝑖𝑖 ≫ 1 ,
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵
𝐸𝐸𝑖𝑖 = � + �𝐷𝐷
𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴

37
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷
𝐵𝐵 1 0.5
𝐸𝐸𝑖𝑖 = � + �𝐷𝐷 = �1.7 + 2×0.04 √1.7 = 8.9
𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴

Harga Ei ini cukup besar.


Bilangan Hatta:
�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 �1.8×10−5 ×104 ×0.5
𝐻𝐻𝐻𝐻 = = = 30
𝑘𝑘𝐿𝐿 10−2

𝐸𝐸 −𝐸𝐸
𝐻𝐻𝐻𝐻� 𝑖𝑖
𝐸𝐸𝑖𝑖 −1
Dari Persamaan 𝐸𝐸 = 𝐸𝐸 −𝐸𝐸
tanh�𝐻𝐻𝐻𝐻� 𝑖𝑖 �
𝐸𝐸𝑖𝑖 −1

Dimana 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 30 dan 𝐸𝐸𝑖𝑖 = 8.9, maka dengan iterasi (menggunakan program Matlab) diperoleh
E=8(mendekati 𝐸𝐸𝑖𝑖 ). Berarti proses diffusi dikendalikan oleh proses diffusi.
Sehingga,
𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐸𝐸 = 10−2 × 4 × 10−5 × 8 = 3.2 × 10−6
𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 1 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑅𝑅�𝑎𝑎 = 3.2 × 10−6 ×1 = 3.2 × 10−6
𝑐𝑐𝑐𝑐3 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑

Contoh soal 3-2 :


CO2 diserap kedalam larutan NaOH didalam packed Column pada kondisi sedemikian sehingga CO2
dengan NaOH adalah orde satu semu. Bila digunakan 0.5 M NaOH berapakah tekanan maximum CO2
diatas mana reaksi tak lagi dapat dikatakan sebagai reaksi orde satu semu.
Data : seperti contoh soal 3-1.

Penyelesaian :
Dari contoh soal 3-1 : 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 30
Syarat order satu semu:
1 1 1 0.5 8.2
𝐻𝐻𝐻𝐻 ≤ 𝐸𝐸𝑖𝑖 → 30 ≤ �� + √1.7� → 60 ≤ 0.77 + 𝑃𝑃 → 𝑃𝑃𝐶𝐶𝑂𝑂2 ≤ 0.13844 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
2 2 1.7 2×0.04×𝑃𝑃𝐶𝐶𝑂𝑂2 𝐶𝐶𝑂𝑂2

Jadi bila 𝑃𝑃𝐶𝐶𝑂𝑂2 ≤ 0.13844 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 , reaksi dapat dianggap ber order satu semu

Danckwerts Model :
Reaksi-reaksi orde dua ( atau reaksi-reaksi lain yang menimbulkan Pers. Diff non-
linier ) pada umumnya tidak mudah untuk diselesaikan dengan model Danckwertz. Tapi
model ini kadang-kadang dapat digunakan untuk mencari kriteria kondisi-kondisi khusus.
Misalnya bila kita ingin untuk menentukan kondisi pada mana reaksi orde dua antara
A dan B dapat dianggap sebagai reaksi orde satu semu dalam A, caranya sebagai berikut :

38
i. Perlakukan reaksi sebagai orde satu semu, sehingga laju reaksi lokal dari A adalah
𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑎𝑎 = 𝑘𝑘1 𝑎𝑎
i) Hitung konsentrasi B rata-rata ���
𝐶𝐶𝐵𝐵 dan bandingkan dengan 𝐶𝐶𝐵𝐵0
ii) Simpulkan suatu kondisi pada mana penyimpangan maksimum ���
𝐶𝐶𝐵𝐵 dari CB0 dapat
diabaikan. Reaksi adalah orde satu semu asal kondisi ini dipenuhi. ( Dalam
pembahasan berikut, koef-diffusi A dan B dianggap sama ).
Bila reaksi adalah orde satu semu, maka profil konsentrasi B dapat diperoleh dari
persamaan :
𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐵𝐵 𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐵𝐵 = + 𝑧𝑧𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴 (3.77)
𝜕𝜕𝑥𝑥 2 𝜕𝜕𝜕𝜕

Dengan
𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 > 0, 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.78a)
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, =0 (3.78b)
𝜕𝜕𝜕𝜕

𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = ∞, 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.78c)

Operasikan Persamaan (3-77) dengan Transformasi Laplace :


𝑑𝑑2 ����
𝐶𝐶𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐵𝐵 ���
= 𝑠𝑠{𝐶𝐶 ���
𝐵𝐵 − 𝐶𝐶𝐵𝐵0 } + 𝑧𝑧𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴 (3.79)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2

atau, dengan substitusi C A dari Persamaan (3-52) untuk 𝐶𝐶𝐴𝐴0 = 0, Persamaan (3-79)
menjadi,
𝑑𝑑2 ����
𝐶𝐶𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐵𝐵 ���
= 𝑠𝑠{𝐶𝐶𝐵𝐵 − 𝐶𝐶𝐵𝐵0 } + 𝑧𝑧𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴𝑖𝑖 𝑒𝑒
𝛾𝛾𝛾𝛾
(3.80)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2

Dimana
𝑘𝑘 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1
𝛾𝛾 = 𝐷𝐷𝐿𝐿 �1 + (3.81)
𝐴𝐴 𝑘𝑘𝐿𝐿2

Kondisi batas untuk persamaan differensial (3-80) adalah


����
𝑑𝑑𝐶𝐶
𝑥𝑥 = 0, 𝐵𝐵
= 0; 𝑥𝑥 = ∞, ���
𝐶𝐶𝐵𝐵 = 0
𝑑𝑑𝑑𝑑

Penyelesaiannya adalah :
𝑧𝑧𝑘𝑘 𝐶𝐶 𝐷𝐷 𝑠𝑠 𝑧𝑧𝑘𝑘 𝐶𝐶
���
𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 − 𝛾𝛾21𝐷𝐷 𝐴𝐴𝐴𝐴𝑠𝑠 � 𝑠𝑠𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−𝑥𝑥�𝐷𝐷 � + 𝛾𝛾21𝐷𝐷 𝐴𝐴𝐴𝐴𝑠𝑠 exp(−𝛾𝛾𝛾𝛾) (3.82)
𝐴𝐴 𝐴𝐴 𝐴𝐴

𝐷𝐷
𝑧𝑧𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �1−𝛾𝛾� 𝐴𝐴 �
𝑠𝑠
���
[𝐶𝐶𝐵𝐵 ]𝑥𝑥=0 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 + (3.83)
𝛾𝛾2 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑠𝑠

39
dan karena 𝑘𝑘𝐿𝐿 = �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑠𝑠 , maka
𝐶𝐶𝐵𝐵0 −[𝐶𝐶̅𝐵𝐵 ]𝑥𝑥=0 𝑧𝑧𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1
= ��1 + − 1� (3.84)
𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑘𝑘𝐿𝐿2

Penyimpangan antara 𝐶𝐶𝐵𝐵0 dan 𝐶𝐶𝐵𝐵̅ adalah terbesar pada x = 0. Jadi bila penyimpangan
pada titik ini cukup kecil, maka anggapan reaksi orde satu semu dapat diterima. Jadi
syarat agar dapat digunakan anggapan reaksi orde satu semu adalah :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 𝐶𝐶
�1 + − 1 ≪ 𝑧𝑧𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.85)
𝑘𝑘𝐿𝐿2 𝐴𝐴𝐴𝐴

Catatan :
Dengan menggunakan model film, kondisi agar reaksi orde satu semu dapat diterima
adalah :
�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 𝐶𝐶
≪ 1 + 𝑧𝑧𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.86)
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐴𝐴𝐴𝐴

3.2.4 Reaksi irreversible umum


Dalam hal ini laju reaksi dinyatakan dengan, 𝑟𝑟 = 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵𝑛𝑛 . Tipe reaksi ini telah
dibahas oleh Brian (1964) dan Hikita dan Asai (1964). Untuk tipe reaksi ini bilangan
Hatta didefinisikan,
1 2
𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
𝐻𝐻𝐻𝐻 = 𝑘𝑘 �𝑚𝑚+1 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.87)
𝐿𝐿

Model Film
Hikita dan Asai (1964) menunjukkan bahwa persamaan pendekatan untuk E adalah,
𝐸𝐸 = 𝛾𝛾′𝐻𝐻𝐻𝐻/ tanh(𝛾𝛾′𝐻𝐻𝐻𝐻) (3.88)
𝐸𝐸 −𝐸𝐸 𝑛𝑛/2
𝛾𝛾 ′ = � 𝐸𝐸𝑖𝑖 −1 � (3.89)
𝑖𝑖

Model Higbie
Juga dari Hikita dan Asai (1064) persamaan pendekaan untuk E dengan model
Higbie adalah,
𝜋𝜋 2𝛾𝛾′ 1 4(𝛾𝛾′)2
𝐸𝐸 = �𝛾𝛾 ′ + 8𝛾𝛾′� 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � + 2 exp �− � (3.90)
√𝜋𝜋 𝜋𝜋

40
3.2.5 Reaksi Reversible
Pertama ditinjau reaksi reversible order satu.
Film Model :
Reaksi yang ditinjau :
𝑘𝑘1 ,𝑘𝑘−1
𝐴𝐴 �⎯⎯� 𝑃𝑃
𝐶𝐶 𝑘𝑘
Pada kesetimbangan : �𝐶𝐶𝑃𝑃 � = 𝑘𝑘 1 = 𝐾𝐾 (3.91)
𝐴𝐴 𝑒𝑒 −1

Laju reaksi A dinyatakan dengan :


𝐶𝐶𝑃𝑃
𝑟𝑟 = 𝑘𝑘1 �𝐶𝐶𝐴𝐴 − �
𝐾𝐾

Berarti persamaan diffusi yang digunakan :


𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝑃𝑃
𝐷𝐷𝐴𝐴 − 𝑘𝑘1 �𝐶𝐶𝐴𝐴 − �=0 (3.92)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2 𝐾𝐾
𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝑃𝑃 𝐶𝐶𝑃𝑃
𝐷𝐷𝑃𝑃 + 𝑘𝑘1 �𝐶𝐶𝐴𝐴 − �=0 (3.93)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2 𝐾𝐾

Dengan kondisi batas,


𝑥𝑥 = 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.94a)
𝑑𝑑𝐶𝐶𝑃𝑃
𝑥𝑥 = 0, =0 (3.94b)
𝑑𝑑𝑑𝑑

𝑥𝑥 = 𝛿𝛿, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.94c)


𝑥𝑥 = 𝛿𝛿, 𝐶𝐶𝑃𝑃 = 𝐾𝐾𝐶𝐶𝐴𝐴0 (3.94d)
Bila 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝐷𝐷𝑃𝑃 , maka laju absorpsi rata-rata dapat dinyatakan dengan
𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴0 )(1+𝐾𝐾)
𝑅𝑅� = (3.95)
⎧𝐾𝐾 tanh �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘12(1+𝐾𝐾)⎫
⎪ 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐾𝐾 ⎪
1+
⎨ 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 (1+𝐾𝐾) ⎬
⎪ �
𝑘𝑘2

⎩ 𝐿𝐿 𝐾𝐾 ⎭

Bila 𝐾𝐾 → ∞ maka 𝐶𝐶𝐴𝐴0 → 0, Persamaan (3-95) menjadi


�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1

𝑅𝑅� = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
𝑘𝑘𝐿𝐿
�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1
(3.96)
tanh
𝑘𝑘𝐿𝐿

Higbie Model :
Pembahasan pada Bab II mengenai type reaksi ini berlaku untuk Higbie model :

Danckwertz Model :

41
Reaksi yang ditinjau adalah reaksi reversible order satu seperti pada model film
Dalam bulk fasa liquid dianggap terjadi kesetimbangan sehingga
𝐶𝐶𝑃𝑃0 = 𝐾𝐾𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.97)
Bila 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝐷𝐷𝑃𝑃 maka,

1+𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 (𝐾𝐾+1)


(𝐾𝐾+1)�
𝐾𝐾𝑘𝑘2𝐿𝐿
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ) (3.98)
1+𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 (𝐾𝐾+1)
𝐾𝐾+�
𝐾𝐾𝑘𝑘2𝐿𝐿

Reaksi reversible yang banyak dijumpai dalam sistim absorpsi reaktif adalah reaksi
reversible order dua. Untuk reaksi A + B ⇔ P pada keadaan dimana konsentrasi B
relatif konstan,sehingga reaksi dianggap ber-orde satu semu terhadap A, dan laju reaksi
balik hampir seragam pada semua tempat, maka laju reaksi lokal adalah 𝑘𝑘1 (𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ).
Dalam hal ini, keadaannya sama dengan reaksi orde satu irreversible hanya 𝐶𝐶𝐴𝐴 diganti
dengan (𝐶𝐶𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 ). Maka laju absorpsi adalah :
𝐷𝐷 𝑘𝑘
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 )�1 + 𝑘𝑘𝐴𝐴2 1 (3.99)
𝐿𝐿

Syarat yang harus dipenuhi agar anggapan konsentrasi B seragam dapat digunakan adalah
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐵𝐵0
(𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 )�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘1 ≪ (3.100)
𝑧𝑧

3.3 Regim-regim reaksi


Misal kita tinjau absorpsi gas disertai reaksi kimia irreversible umum didalam
fasa liquid: 𝐴𝐴 + 𝑧𝑧𝑧𝑧 → 𝑃𝑃 dengan persamaan kecepatan reaksi,
𝑟𝑟 = 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵𝑛𝑛
Didalam film atau lapisan batas liquid terjadi kompetisi antara reaksi dan diffusi.
Berdasarkan kecepatan relative antara reaksi dan diffusi, maka dapat diklasifikasikan
beberapa regim-regim reaksi yaitu: reaksi sangat lambat, reaksi lambat, reaksi cepat,
reaksi sangat cepat, dan reaksi spontan. Untuk klasifikasi regim-regim reaksi ini
digunakan bilangan Hatta yang pada dasanya merupakan perbandingan antara laju reaksi
terhadap laju reaksi. Jadi harga bilangan Hatta yang besar menunjukkan reaksi yang
cepat, sangat cepat atau spontan. Harga bilangan Hatta yang kecil menunjukkan reaksi
yang lambat atau sangat lambat. Bilangan Hatta untuk reaksi irreversible umum
didefinisikan sebagai berikut,

42
𝑛𝑛−1 𝑚𝑚
(𝑛𝑛+1)𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝐻𝐻𝐻𝐻 = � (3.101)
2 𝑘𝑘𝐿𝐿2

Regim reaksi sangat lambat:


Dalam hal ini reaksi sangat lambat dibanding kecepatan diffusi. Regim inidipenuhi
bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 0.02. Bila target proses adalah untuk absorpsi gas, maka dapat dianggap
bahwa tak terjadi reaksi didalam film maupun didalam badan liquid. Reaksi sama sekali
tak mempengaruhi laju absorpsi. Jadi laju absorpsi gas dengan reaksi sangat lambat sama
dengan laju absorpsi fisik (tampa reaksi). Bila target proses adalah untuk terjadinya
reaksi maka proses ini dikendalikan dengan reaksi kimia, dan laju proses sama dengan
laju reaksi.
Regim reaksi lambat:
Pada regim ini, tak terjadi reaksi didalam film, berarti enhancement factor sama
dengan satu. Tapi ada reaksi didalam badan liquid. Sehingga laju absorpsi masih
dipercepat dengan adanya reaksi ini karena konsentrasi gas terlarut didalam badan liquid
menurun dengan adanya reaksi sehingga concentration driving force meningkat dan laju
absorpsi juga meningkat. Regim ini dipenuhi bila 0.02 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 0.5.
Reaksi Cepat:
Pada regim ini terjadi reaksi didalam film tapi tak terjadi reaksi didalam badan liquid.
Regim ini dipenuhi bila 𝐻𝐻𝐻𝐻 > 2. Untuk reaksi irreversible, konsentrasi gas terlarut
didalam badan liquid bisa dianggap nol.

3.4 Tahanan sisi gas


Pada pembahasan sebelumnya, perhatian dititik beratkan pada fenomena
perpindahan massa yang terjadi dalam fasa liquid. Bila gas yang akan diserap bercampur
dengan gas yang tak dapat larut (inert atau carrier) maka ada tahanan perpindahan massa
pada sisi gas. Dalam hal ini tekanan parsial A pada interface akan lebih kecil dari pada
tekanan parsial A dalam badan gas (lihat Gambar 3-6).

43
Film Film
Gas Liquid

PA

PAi

CAi

Interface
CA0

Gambar 3-6 Profil Konsentrasi dalam film gas dan film liquid.
Model Dua film.

Gas yang akan diserap berpindah melalui kedua film secara steady state, yaitu
𝑅𝑅� = 𝑘𝑘𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐴𝐴 − 𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 ) = 𝐸𝐸 𝑘𝑘𝐿𝐿 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) (3.102)
Bila pada interface terjadi kesetimbangan gas-liquid, maka
𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝐻𝐻𝑒𝑒 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (3.103)
Sehingga dari pers. (3.102) dan (3.103),
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑃𝑃𝐴𝐴 +𝐸𝐸𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐶𝐶𝐴𝐴0
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = (3.104)
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝐻𝐻𝑒𝑒 +𝐸𝐸𝑘𝑘𝐿𝐿

dan,
𝑃𝑃𝐴𝐴
𝑃𝑃 −𝐻𝐻 𝐶𝐶 −𝐶𝐶𝐴𝐴0 𝑃𝑃
𝑅𝑅� = 𝐴𝐴1 𝑒𝑒𝐻𝐻𝑒𝑒𝐴𝐴0 =
𝐻𝐻𝑒𝑒
1 1 = 𝐾𝐾𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐴𝐴 − 𝐻𝐻𝑒𝑒 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) = 𝐾𝐾𝐿𝐿 �𝐻𝐻 − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 � (3.105)
+ + 𝑒𝑒
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝐸𝐸𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐸𝐸𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐻𝐻𝑒𝑒 𝑘𝑘𝐺𝐺

Dimana,
1 1 𝐻𝐻
𝐾𝐾𝐺𝐺
= 𝑘𝑘 + 𝐸𝐸𝑘𝑘𝑒𝑒 (3.106)
𝐺𝐺 𝐿𝐿

44
1 1 1
𝐾𝐾𝐿𝐿
= 𝐸𝐸𝐸𝐸 + 𝐻𝐻 (3.107)
𝐿𝐿 𝑒𝑒 𝑘𝑘𝐺𝐺

𝐾𝐾𝐿𝐿 dan 𝐾𝐾𝐺𝐺 dalam persamaan (3.106) dan (3.107) adalah koefisien perpindahan massa
overall berturut-turut berdasar fasa liquid dan gas. Kebalikan dari koefisien perpindahan
massa overall merupakan tahanan perpindahan massa overall (total). Jadi persamaan
(3.106) dan (3.107) menyatakan bahwa tahanan perpindahan massa total merupakan
penjumlahan tahanan perpindahan massa sisi gas dan liquid.

3.5 Pengaruh volatilitas Reaktan Terlarut


Pada uraian sebelumnya, nilai enhancement factor diestimasi dengan asumsi
bahwa reaktan terlarut, dengan mana gas berdiffusi dalam fasa cair bereaksi, adalah non
volatile. Asumsi ini sesuai misal untuk kasus absorpsi gas CO2 atau H2S kedalam larutan
K2CO3, atau larutan Amine. Dalam kasus lain misal untuk absorpsi gas CO2 atau H2S
kedalam lautan amoniak, absorpsi gas H2S menggunakan larutan SO2 dalam polyglycol
ether, reaktan terlarut cukup volatile sehingga asumsi tersebut tak dapat digunakan lagi.
Pengaruh volatilitas reaktan terlarut terhadap harga enhancement factor telah dinalisa
oleh Marshall Hix dan Scott Lyn (1991) untuk kasus reaksi irreversible order dua dan
oleh Altway (1995) untuk kinetika reaksi irreversible umum. Dalam analisisnya
digunakan model Film dan model Penetrasi yang akan diuraikan berikut ini.

Model Film
Dengan menggunakan model film, proses absorpsi gas disertai reaksi irreversible
umum dapat dinyatakan dengan persamaan differensial berikut,
𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝐴𝐴
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵𝑛𝑛 (3.108)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2
𝑑𝑑2 𝐶𝐶𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝑧𝑧𝑧𝑧𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵𝑛𝑛 (3.109)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2

dengan kondisi batas,


𝑑𝑑𝐶𝐶𝐴𝐴
𝑥𝑥 = 0, − 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 ) (3.110)
𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑑𝑑𝐶𝐶𝐵𝐵
𝑥𝑥 = 0, − 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐵𝐵𝐵𝐵 − 𝑃𝑃𝐵𝐵𝐵𝐵 ) (3.111)
𝑑𝑑𝑑𝑑

x = δ, CA = 0, CB = CB0 (3.112)

45
dimana 𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝐻𝐻𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 dan 𝑃𝑃𝐵𝐵𝐵𝐵 = 𝐻𝐻𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵𝐵𝐵 . Perhatikan bahwa dalam analisis ini, tahanan film
gas dan volatilitas reaktan terlarut diperhitungkan. Hal ini ditujukkaan dari kondisi batas
untuk x = 0 . Dalam bentuk tak berdimensi, persamaan-persamaan ini bisa dituliskan
sebagai berikut,
𝑑𝑑2 𝑎𝑎
𝑑𝑑𝜁𝜁 2
− 𝑎𝑎𝛼𝛼 𝑏𝑏 𝛽𝛽 = 0 (3-113)
𝑑𝑑2 𝑏𝑏
𝑟𝑟𝑟𝑟 𝑑𝑑𝜁𝜁 2 − 𝑧𝑧𝑎𝑎𝛼𝛼 𝑏𝑏 𝛽𝛽 = 0 (3.114)

dengan kondisi batas,


𝑑𝑑𝑑𝑑
𝜁𝜁 = 0, 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝛤𝛤𝐴𝐴 (𝑎𝑎𝑖𝑖 − 1) (3.115)
𝑑𝑑𝑑𝑑
𝜁𝜁 = 0, 𝑑𝑑𝜁𝜁
= 𝛤𝛤𝐵𝐵 (𝑏𝑏𝑖𝑖 − 𝑏𝑏 ∗ ) (3.116)

𝜁𝜁 = √𝑀𝑀, 𝑎𝑎 = 0, 𝑏𝑏 = 1 (3.117)
Dengan definisi variabel dan parameter tak berdimensi berikut,
𝐶𝐶
𝑎𝑎 = 𝐶𝐶 𝐴𝐴 (3.118)
𝐴𝐴𝐴𝐴

𝐶𝐶
𝑏𝑏 = 𝐶𝐶 𝐵𝐵 (3.119)
𝐵𝐵0

𝛼𝛼−1 𝛽𝛽
𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑥𝑥
𝜁𝜁 = � (3.120)
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝛿𝛿

𝐷𝐷
𝑟𝑟 = 𝐷𝐷𝐵𝐵 (3.121)
𝐴𝐴

𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝑞𝑞 = (3.122)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴
𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 𝐻𝐻𝐴𝐴
𝛤𝛤𝐴𝐴 = (3.123)
𝛼𝛼−1 𝛽𝛽
𝐷𝐷𝐴𝐴 �𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0

𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 𝐻𝐻𝐵𝐵
𝛤𝛤𝐵𝐵 = (3.124)
𝛼𝛼−1 𝛽𝛽
𝐷𝐷𝐵𝐵 �𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0

𝛼𝛼−1 𝛽𝛽
𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝐻𝐻𝐻𝐻 = � (3.125)
𝐷𝐷𝐴𝐴

Sistim persaman ini telah diselesaikan dengan metoda Kolokasi orthogonal untuk
mendapatkan nilai a dan b sebagai fungsi ζ . Fluksi penyerapan dapat diperoleh dari,

46
𝑑𝑑𝑑𝑑
𝑅𝑅𝑟𝑟𝑟𝑟 = −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 √𝑀𝑀𝑘𝑘𝐿𝐿𝐿𝐿 𝑑𝑑𝑑𝑑 � (3.126)
𝜁𝜁=0

Faktor peningkatan E dapat diperoleh dari membagi Fluksi penyerapan dengan reaksi dan
fluksi penyerapan fisik, yaitu,
𝑅𝑅
𝐸𝐸 = 𝑅𝑅 𝑟𝑟𝑟𝑟 (3-127)
𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓

Flusi penyerapan fisik 𝑅𝑅𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan differensial
yang menggambarkan model film untuk absorpsi fisik,
𝑑𝑑2 𝑎𝑎
𝑑𝑑𝜁𝜁 2
=0 (3.128)

dengan kondisi batas,


𝑑𝑑𝑑𝑑
𝜁𝜁 = 0, 𝑑𝑑𝑑𝑑
= 𝛤𝛤𝐴𝐴 (𝑎𝑎𝑖𝑖 − 1) (3.129)

𝜁𝜁 = √𝑀𝑀, 𝑎𝑎 = 0 (3.130)
Penyelesaian analitik persamaan differensial ini adalah,
𝛤𝛤 𝛤𝛤 √𝑀𝑀
𝑎𝑎 = − 1+𝛤𝛤 𝐴𝐴 𝜁𝜁 + 1+𝛤𝛤𝐴𝐴 (3.131)
𝐴𝐴 √𝑀𝑀 𝐴𝐴 √𝑀𝑀

Dan dari profil konsentrasi ini, fluksi penyerapan fisik dapat dipeoleh yaitu,
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝛤𝛤
𝑅𝑅𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 = −𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 √𝑀𝑀𝑘𝑘𝐿𝐿𝐿𝐿 𝑑𝑑𝑑𝑑 � = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 √𝑀𝑀𝑘𝑘𝐿𝐿𝐿𝐿 1+𝛤𝛤 𝐴𝐴 (3.132)
𝜁𝜁=0 𝐴𝐴 √𝑀𝑀

Dari persamaan (3.126), (3.127) dan (3.132), faktor peningkatan E dapat diperoleh yaitu,
1+𝛤𝛤𝐴𝐴 √𝑀𝑀 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝐸𝐸 = − � (3.133)
𝛤𝛤𝐴𝐴 𝑑𝑑𝑑𝑑 𝜁𝜁=0

Model Penetrasi
Dengan menggunakan model film, proses absorpsi gas disertai reaksi irreversible
umum dapat dinyatakan dengan persamaan differensial berikut,
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴 𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝛽𝛽
= 𝐷𝐷𝐴𝐴 − 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝛼𝛼 𝐶𝐶𝐵𝐵 (3.134)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕𝑥𝑥 2

𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵 𝜕𝜕2 𝐶𝐶𝐵𝐵 𝛽𝛽


= 𝐷𝐷𝐵𝐵 − 𝑧𝑧𝑧𝑧𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝛼𝛼 𝐶𝐶𝐵𝐵 (3.135)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕𝑥𝑥 2

47
𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 > 0, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 0, 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.136)
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐴𝐴
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, − 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 ) (3.137)
𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜕𝜕𝐶𝐶𝐵𝐵
𝑡𝑡 > 0, 𝑥𝑥 = 0, − 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 (𝑃𝑃𝐵𝐵𝐵𝐵 − 𝑃𝑃𝐵𝐵𝐵𝐵 ) (3.138)
𝜕𝜕𝜕𝜕

𝑡𝑡 = 0, 𝑥𝑥 = ∞, 𝐶𝐶𝐴𝐴 = 0, 𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (3.139)

Dalam bentuk tak berdimensi, persamaan-persamaan ini bisa dituliskan sebagai berikut,
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕2 𝑎𝑎
𝜕𝜕𝜕𝜕
= 𝜕𝜕𝜁𝜁 2 − 𝑎𝑎𝛼𝛼 𝑏𝑏 𝛽𝛽 (3.140)
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜕𝜕2 𝑏𝑏
𝜕𝜕𝜕𝜕
= 𝜕𝜕𝜁𝜁 2 − 𝑧𝑧𝑎𝑎𝛼𝛼 𝑏𝑏 𝛽𝛽 (3.141)

dengan kondisi batas,


𝜏𝜏 = 0, 𝜁𝜁 > 0, 𝑎𝑎 = 0, 𝑏𝑏 = 1 (3.142)
𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜏𝜏 > 0, 𝜁𝜁 = 0, 𝜕𝜕𝜕𝜕
= 𝛤𝛤𝐴𝐴 (𝑎𝑎𝑖𝑖 − 1) (3.143)
𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜏𝜏 > 0, 𝜁𝜁 = 0, 𝜕𝜕𝜕𝜕
= 𝛤𝛤𝐵𝐵 �𝑏𝑏𝑖𝑖 − 𝑏𝑏𝑝𝑝 � (3.144)

𝜏𝜏 > 0, 𝜁𝜁 = ∞, 𝑎𝑎 = 0, 𝑏𝑏 = 1 (3.145)
dimana,
𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
𝜏𝜏 = 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡 (3.146)
Sistim persamaan differensial parsial ini telah diselesaikan dengan metoda
kolokasi ortogonal dua dimensi (Altway, 1995) untuk memperoleh harga konsentrasi a
dan b pada titik titik kolokasi dalam domain ruang, ζ , dan waktu, τ . Dari penyelesaian
ini faktor peningkatan, E, diperoleh sebagai berikut,
𝑄𝑄
𝐸𝐸 = 𝑄𝑄 𝑟𝑟𝑟𝑟 (3.147)
𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓

dimana,
𝑡𝑡 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝜏𝜏𝑝𝑝 𝜕𝜕𝜕𝜕
𝑄𝑄𝑟𝑟𝑟𝑟 = ∫0 𝑝𝑝 𝑅𝑅𝑟𝑟𝑟𝑟 𝑑𝑑𝑑𝑑 = ∫0 �
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜁𝜁=0
𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.148)
𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
�𝑘𝑘𝑚𝑚,𝑛𝑛 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0

Sedangkan t P adalah waktu penetrasi dan τ P adalah waktu penetrasi tak berdimensi
yang dinyatakan dengan,
4𝐷𝐷𝐴𝐴
𝑡𝑡𝑝𝑝 = (3.149)
𝜋𝜋𝑘𝑘𝐿𝐿2

48
𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
4 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 4𝑀𝑀
𝜏𝜏𝑝𝑝 = = (3.150)
𝜋𝜋𝑘𝑘𝐿𝐿 2 𝜋𝜋

𝑄𝑄𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 diperoleh dengan menyelesaikan persamaan differensial yang menggambarkan


absorpsi fisik untuk model penetrasi. Dalam bentuk tak berdimensi persamaan
differensial ini adalah,
𝜕𝜕2 𝑎𝑎 𝜕𝜕𝜕𝜕
𝜕𝜕𝜁𝜁 2
− 𝜕𝜕𝜕𝜕 = 0 (3.151)

Kondisi awal dan kondisi batas yang ditunjukkan pada persamaan (3-122) sampai dengan
(3-125) berlaku disini. Persamaan differensial ini sudah diselesaikan secara analitik oleh
Carslaw and Jaeger (1959). Penyelesaian ini dapat digunakan unuk menentukan gradien
konsentrasi pada interface yaitu,
𝜕𝜕𝜕𝜕

𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜁𝜁=0
= −𝛤𝛤𝐴𝐴 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝛤𝛤𝐴𝐴2 𝜏𝜏)𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝛤𝛤𝐴𝐴 𝜏𝜏)0.5 (3.152)

Akhirnya 𝑄𝑄𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 bisa diperoleh sebagai berikut,


𝑡𝑡 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝜏𝜏𝑝𝑝 𝜕𝜕𝜕𝜕
𝑄𝑄𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 = ∫0 𝑝𝑝 𝑅𝑅𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 𝑑𝑑𝑑𝑑 = ∫0 �
𝜕𝜕𝜕𝜕 𝜁𝜁=0
𝑑𝑑𝑑𝑑 (3.153).
𝑘𝑘 𝐶𝐶𝑚𝑚−1 𝐶𝐶𝑛𝑛
� 𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐵𝐵0
𝐷𝐷𝐴𝐴

Sebagian hasil perhitungan harga faktor peningkatan dengan model Penetrasi


ditunjukkan pada Tabel 3.1 sampai dengan Tabel 3.5 Pada perhitungan ini dianggap
tahanan film gas untuk transfer massa komponen A diabaikan ( ΓA = ∞ ). Tabel 3.1
menunjukkan pengaruh volatilitas reaktan terlarut (komponen B) terhadap nilai E.
ΓB = 0 menunjukkan komponen B non-volatile. Terlihat bahwa volatilitas reaktan
terlarut dapat menurunkan nilai faktor peningkatan. Volatilitas reaktan B dapat
menurunkan konsentrasi B didalam lapisan batas liquid, sehingga faktor peningkatan E
juga turun. Untuk bilangan Hatta yang kecil (regim kinetika reaksi lambat) volatilitas
reaktan terlarut tak banyak berpengaruh terhadap harga E.. Adanya uap B didalam badan
gas dapat menaikkan harga faktor peningkatan E. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 3.2
yang mana nilai be=0 menyatakan tidak adanya uap B didalam badan gas. Nampaknya
adanya uap reaktan B didalam badan gas dapat menghambat perpindahan B ke fasa gas
dan hal ini mempunyai pengaruh yang baik terhadap harga E. Tabel 3.3 menunjukkan
pengaruh konsentrasi B dalam badan liquid terhadap harga E. Makin tinggi konsentrasi B
dalam badan liquid, harga faktor peningkatan E makin besar. Hal ini wajar karena
konsentrasi B dalam badan liquid yang lebih tinggi akan menaikkan konsentrasi B

49
didalam lapisan batas liquid. Pengaruh perbandingan diffusivitas B dengan A (nilai r)
terhadap harga E ditunjukkan pada Tabel 3.4. Terlihat bahwa harga r yang lebih tinggi
(atau mobilitas B yang lebih tinggi) akan menaikkan harga E. Tabel 3.5 menunjukkan
perbandingan hasil perhitungan dengan model Penetrasi dan model Film. Model
Penetrasi memprediksi nilai E yang lebih besar dibanding dengan model Film. Bila data
pada Tabel 3.1 sampai dengan Tabel 3.5 diperoleh dengan anggapan tahanan film gas
diabaikan, Tabel 3.6 menunjukkan pengaruh adanya tahanan film gas terhadap taksiran
nilai enhancement factor. Terlihat bahwa adanya tahanan film gas akan sedikit
menurunkan nilai E.

Tabel 3.1 Pengaruh volatilitas reaktan terlarut


terhadap Enhancement Factor.
m=1,n=0.5,z=1,q=10,r=2,𝛤𝛤𝐴𝐴 = ∞

Ha Enhancement Factor
𝛤𝛤𝐴𝐴 = 0 𝛤𝛤𝐴𝐴 = 100, 𝑏𝑏𝑒𝑒 = 0
0.5 1.1026 1.0805
1.0 1.3743 1.2369
1.5 1.7442 1.5175
2.0 2.1611 1.8369
2.5 2.5872 2.1474
3.0 3.0202 2.4162

Tabel 3.2 Pengaruh adanya B dalam fasa gas terhadap


Enhancement Factor. m=1,n=0.5,𝛤𝛤𝐵𝐵 = 100,
z=1,q=10,r=2,𝛤𝛤𝐴𝐴 = ∞

Ha Enhancement Factor
𝑏𝑏𝑒𝑒 = 0 𝑏𝑏𝑒𝑒 = 2
0.5 1.0805 1.1026
1.0 1.2369 1.3751
1.5 1.5175 1.7521
2.0 1.8369 2.2134
2.5 2.1474 2.7841
3.0 2.4162 3.4113

50
Tabel 3.3 Pengaruh harga q terhadap Enhancement
Factor. r=2,m=1,n=1,σ=1, 𝛤𝛤𝐵𝐵 = 100, 𝑏𝑏𝑒𝑒 =
2,𝛤𝛤𝐴𝐴 = ∞

Ha Enhancement Factor
𝑞𝑞 = 5 𝑞𝑞 = 10
0.5 1.1014 1.1022
1.0 1.3615 1.3706
1.5 1.7040 1.7361
2.0 2.1100 2.1786
2.5 2.6003 2.7221
3.0 3.1297 3.3159

Tabel 3.4 Pengaruh harga r terhadap Enhancement


Factor. q=10,m=1,n=0.5,σ=1, 𝛤𝛤𝐵𝐵 = 0, q=10,
m=1,n=1.0, σ=1, 𝛤𝛤𝐵𝐵 = 100, 𝛤𝛤𝐴𝐴 = ∞, be=2

Ha Enhancement Factor
r = 0.5 r = 1.0 r= 2.0
0.5 1.1016 1.1019 1.1022
1.0 1.3631 1.3672 1.3706
1.5 1.7098 1.7240 1.7361
2.0 2.1222 2.1525 2.1786
2.5 2.6217 2.6753 2.7221
3.0 3.1621 3.2439 3.3159

51
Tabel 3.5 Perbandingan hasil taksiran harga E dg
model Penetrasi dan model film
q=10, r=2, m=1,n=1.0, σ=1, 𝛤𝛤𝐵𝐵 = 100, 𝛤𝛤𝐴𝐴 =
∞, be=2

Ha Enhancement Factor
Model Penetrasi Model Film
0.5 1.1022 1.1058
1.0 1.3706 1.2735
1.5 1.7361 1.5956
2.0 2.1786 1.9803
2.5 2.7221 2.4470
3.0 3.3159 2.9472

Tabel 3.6 Pengaruh tahanan film gas terhadap


Enhancement Factor.
q=10,r=2,m=1,n=0.5,σ=1, 𝛤𝛤𝐵𝐵 = 0

Ha Enhancement Factor
𝛤𝛤𝐴𝐴 = 10 𝛤𝛤𝐴𝐴 = ∞
0.5 1.1026 1.1026
1.0 1.3739 1.3743
1.5 1.7312 1.7442
2.0 2.1214 2.1611
2.5 2.5118 2.5872
3.0 2.9314 3.0202

3.6 Absorpsi Nonisotermal


Yang telah dipelajari sebelumnya adalah proses absorpsi dalam kondisi isotermal,
yaitu suhu cairan dalam lapisan batas adalah seragam, atau suhu pada inrerface sama
dengan suhu didalam badan cairan. Namun didalam beberapa contoh praktis, seperti
chlorinasi senyawa-senyawa organik (Ding et al, 1974, Mann and Clegg, 1975), reaksi
sulfur trioksida dengan dodecylbenzene (Mann and Moyes, 1977), dan oksidasi katalitik
fasa cair dari pada hidrokarbon (Carra and Santacesaria, 1980), proses absorpsi disertai
oleh pelepasan panas yang diusebabkan oleh reksi kimia eksotermik dan proses pelarutan,
sehingga proses absorpsi terjadi dalam kondisi nonisotermal. Pada kondisi ini suhu

52
interface lebih tinggi dari pada suhu badan cairan. Kenaikan suhu interface ini bisa
diperoleh sebagai berikut,
𝑅𝑅� 𝐷𝐷𝐴𝐴 [(−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )+(−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 )] 𝛾𝛾
∆𝑇𝑇 ∗ = 𝑇𝑇𝑠𝑠 −𝑇𝑇𝑏𝑏 = �𝐷𝐷 (3.154)
𝑘𝑘 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝐴𝐴

dimana ∆H S dan ∆H RX berturut-turut adalah panas pelarutan dan panas reaksi. R

adalah fluksi absorpsi yang dapat diperoleh sesuai kinetika reaksinya.γ adalah diffusivitas
termal liquid yang didefinisikan γ = k / ρ σ dengan ρ dan σ adalah densitas dan
kapasitas panas liquid.
Untuk absorpsi fisik, kenaikan suhu interface hanya disebabkan oleh proses
pelarutan dan dapat diperoleh sebagai berikut,
𝐻𝐻𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 −𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) 𝛾𝛾
∆𝑇𝑇 ∗ = �𝐷𝐷 (3.155)
𝑘𝑘 𝐴𝐴

Sedang untuk absorpsi disertai reaksi kimia, kenaikan suhu interface disebabkan oleh
proses pelarutan dan proses reaksi. Misal untuk absorpsi disertsai reaksi irreversible order
satu, kenaikan suhu interface oleh reaksi diperoleh dengan menyelesaikan persamaan
differensial berikut untuk model film,
𝑑𝑑2 ∆𝑇𝑇 ∗
𝑘𝑘 + 𝑘𝑘1 (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 )𝑎𝑎 = 0 (3.156)
𝑑𝑑𝑥𝑥 2

dengan kondisi batas,


𝑑𝑑∆𝑇𝑇 ∗
𝑥𝑥 = 0, =0 (3.157)
𝑑𝑑𝑑𝑑
𝐷𝐷𝐴𝐴
𝑥𝑥 = 𝛿𝛿 = , ∆𝑇𝑇 ∗ = 0 (3.158)
𝑘𝑘𝐿𝐿

Dengan substitusi a dari Persamaan (3-16) dengan C A0 = 0 dan dengan catatan


a=CA/CAi, diperoleh,

𝑘𝑘 ∆𝑇𝑇𝑅𝑅∗
= 𝐻𝐻𝐻𝐻 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶ℎ(𝐻𝐻𝐻𝐻) − 1 (3.159)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 )𝐷𝐷𝐴𝐴

Sedang kenaikan suhu oleh proses pelarutan adalah

53
𝑘𝑘 ∆𝑇𝑇𝑆𝑆∗
= 𝐻𝐻𝐻𝐻 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶ℎ(𝐻𝐻𝐻𝐻) (3.160)
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )𝐷𝐷𝐴𝐴

Dan jadi kenaikan suhu interface adalah,


[𝐻𝐻𝐻𝐻 coth(𝐻𝐻𝐻𝐻)−1](−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 )+(−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )𝐻𝐻𝐻𝐻 coth(𝐻𝐻𝐻𝐻)
∆𝑇𝑇 ∗ = ∆𝑇𝑇𝑆𝑆∗ + ∆𝑇𝑇𝑅𝑅∗ = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 (3.161)
𝑘𝑘

Untuk model Danckwertz, kenaikan suhu interface bisa diperoleh sebagai berikut,
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐻𝐻𝐻𝐻2 𝛾𝛾 𝛾𝛾
∆𝑇𝑇 ∗ = �(−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) 1+𝐻𝐻𝐻𝐻2 �𝐷𝐷 (1 + 𝐻𝐻𝐻𝐻2 ) − 1 + (−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )�𝐷𝐷 (1 + 𝐻𝐻𝐻𝐻2 )� (3.162)
𝑘𝑘 𝐴𝐴 𝐴𝐴

Untuk absorpsi disertai reaksi spontan, kenaikan suhu interface bisa diperoleh
sebagai berikut bila menggunakan model film,
(−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 ) 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵 (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 )𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵
∆𝑇𝑇 = �𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 + �+ (3.163)
𝑘𝑘 𝑧𝑧 𝑧𝑧 𝑘𝑘

Sedang bila menggunakan model Danckwertz,


𝛽𝛽 2
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 ) 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) erfc� �𝑒𝑒 −𝛽𝛽 /𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐷𝐷
√𝛾𝛾
∆𝑇𝑇 = ∆𝑇𝑇𝑆𝑆 + ∆𝑇𝑇𝑅𝑅 = 𝛽𝛽 � 𝛾𝛾 + 𝛽𝛽 � 𝛾𝛾𝐴𝐴 (3.164)
𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌 erf� � 𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌 erf� �𝑒𝑒 −𝛽𝛽2 /𝛾𝛾
�𝐷𝐷𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴

Bila 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 𝐷𝐷𝐵𝐵 dan 𝐶𝐶𝐵𝐵0 ≫ 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 , maka kenaikan suhu interface bila digunakan model
film adalah,
𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐴𝐴
∆𝑇𝑇 = 𝑧𝑧 𝑘𝑘
[(−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) + (−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )] (3.165)

Dan bila digunakan model Danckwertz,


𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝛾𝛾
∆𝑇𝑇 = �𝐷𝐷 [(−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) + (−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 )] (3.166)
𝑧𝑧 𝑘𝑘 𝐴𝐴

Contoh Soal 3-3


Hitung kenaikan suhu interface pada absorpsi gas CO2 kedalam larutan NaOH pada 200C didalam suatu
tempat didalam packed column dimana tekanan parsial CO2 1 atm dan konsentrasi NaOH dalam badan cair
adalah 0.5 M. Tahanan film gas diabaikan. Anggap reaksi spontan.
Data: 𝑘𝑘𝐿𝐿 = 0.01 𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑠𝑠 −1 , 𝑎𝑎 = 1 𝑐𝑐𝑐𝑐−1 , 𝑘𝑘2 = 104 𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 𝑠𝑠 −1
𝐷𝐷𝐵𝐵
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = 0.04 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑙𝑙𝑙𝑙 −1 = 4 × 10−5 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑐𝑐𝑐𝑐−3 , 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.8 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑠𝑠 −1 , = 1.7
𝐷𝐷𝐴𝐴

Penyelesaian:
Untuk air pada 200C: 𝛾𝛾 = 1.46 × 10−3 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑠𝑠 −1 , 𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌 = 1 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑐𝑐𝑐𝑐−3 𝐾𝐾 −1
𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐
(−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 ) = 4760 , (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) = 1500 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐/𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 ( Bichowsky and Rossini, 1936 dalam Danckwertz,
𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚

1970).

54
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐷𝐷𝐵𝐵 1 0.5
𝐸𝐸𝑖𝑖 = � + �𝐷𝐷 = �1.7 + 2×0.04 √1.7 = 8.9
𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐴𝐴

1 𝛽𝛽
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 8.9 = → = 0.1
𝛽𝛽 �𝐷𝐷𝐴𝐴
erf� �
�𝐷𝐷𝐴𝐴

Sehingga,
𝛽𝛽 2 𝛽𝛽 1.8×10−5
exp �− � = 0.99, = 0.1 × � = 0.011
𝐷𝐷𝐴𝐴 √𝛾𝛾 1.46×10−3

𝛽𝛽 𝛽𝛽 2
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � = 0.98, exp �− � = 1.0
√𝛾𝛾 𝛾𝛾

𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 ) 𝐷𝐷 4×10−5 ×4760 1.8×10−5


∆𝑇𝑇𝑆𝑆 = 𝐴𝐴
� 𝛾𝛾 = × 8.9 × � = 0.1880 𝐶𝐶
𝛽𝛽 1 1.46×10−3
𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌 erf� �
�𝐷𝐷𝐴𝐴

𝛽𝛽 2
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 ) 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �𝑒𝑒 −𝛽𝛽 /𝐷𝐷𝐴𝐴 𝐷𝐷𝐴𝐴 4×10−5 ×1500 1.8×10−5 0.98×0.99
√𝛾𝛾
∆𝑇𝑇𝑅𝑅 = × ×� = × × × 8.9 = 0.0570 𝐶𝐶
𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌𝜌 𝛽𝛽 2 𝛾𝛾 1 1.46×10−3 1
erf� �𝑒𝑒 −𝛽𝛽 /𝛾𝛾
�𝐷𝐷𝐴𝐴

∆𝑇𝑇 = 0.188 + 0.057 = 0.2450 𝐶𝐶

Kenaikan suhu pada interface berpengaruh terhadap laju penyerapan atau nilai
factor peningkatan. Suhu yang makin tinggi akan menurunkan kelarutan gas, namun akan
menaikkan diffusivitas dan konstanta kecepatan reaksi. Penurunan kelarutan gas
berakibat pada penurunan laju penyerapan, kenaikan diffusivitas dan konstanta kecepatan
reaksi berakibat pada kenaikan laju penyerapan. Namun pada umunya kenaikan suhu ini
menaikkan nilai faktor peningkatan. Beberapa peneliti telah mempelajari pengaruh ini
untuk berbagai kinetika reaksi, antara lain Al-Ubaidi dkk (1990), Bhattacharya dkk
(1987), Savitri dan Sepfitri (2001), dan Effendi dan Ikhlas (2001) untuk kinetika reaksi
irreversible order dua, dan vas Bhat dkk (1997) untuk kinetika reaksi reversible order
dua. Yunita dkk (2008) memprediksi faktor peningkatan absorpsi disertai reaksi
reversible order dua pada kondisi non-isotermal menggunakan model eddy diffusivity.

55
BAB 4
METODA EKSPERIMEN UNTUK MENGUKUR
KINETIKA REAKSI
Laju perpindahan massa pada proses absorpsi reaktif ditentukan oleh beberapa sifat-
sifat fisika kimia sistim proses. Sifat-sifat fisika kimia ini meliputi kinetika reaksi dan
parameter perpindahan massa. Bab ini menguraikan metoda metoda eksperimen untuk
mengukur parameter kinetik.Untuk pengukuran kinetika reaksi diperlukan peralatan
eksperimen yang dikondisikan agar fenomena absorpsi terjadi kedalam liquid yang tidak
bergolak. Hal ini dilakukan agar pengukuran luas perpindahan massa dan waktu kontak
menjadi akurat. Pawlak, H.K. (2012) memberikan overview mengenai metoda
eksperimen untuk menentukan kinetika reaksi pada proses absorpsi reaktif.
Peralatan-peralatan yang digunakan adalah :
1 Drum berputar (Rotating Drum)
2 Wetted - wall Column.
3 Moving - band absorber.
4 Laminar jet.
5 Wetted - sphere apparatus
6 Stop Flow Apparatus
7 Stirred Cell
Selain untuk mengukur kinetika reaksi, peralatan-peralatan ini dapat juga digunakan
untuk mengukur difusivias gas didalam liquid, dan kelarutan gas kedalam larutan
elektrolit. Berikut ini dibahas masing-masing peralatan diatas.

56
4.1. Rotating Drum :
Gambar dari peralatan ini ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4-1 : Rotating Drum ( diambil dari Danckwertz, 1970)


Diameter drum adalah sekitar 10 cm. Waktu kontak antara gas dan liquid adalah
dalam range 0.01 - 0.25 detik. Asumsi yang digunakan disini adalah : film liquid adalah
cukup dalam (tebal) agar perubahan konsentrasi pada permukaan drum dapat diabaikan;
juga film bergerak bersama-sama dengan permukaan drum. Kejelekan alat ini adalah
karena adanya end effect pada jalan keluar film.
4.2. Wetted - Wall Column
Alat ini ditunjukkan secara skematis pada gambar 4.2.
Air pemanas
Gas keluar

Liquid keluar Air pemanas

57
Liquid masuk
Gas masuk
Gambar 4.2, Wetted Wall Column

Didalam alat ini, liquida mengalir dalam bentuk film karena pengaruh gravitasi, pada
permukaan pipa vertikal. Distribusi kecepatan liquida dengan mengabaikan efek ujung
adalah :
3 𝜐𝜐 2/3 𝑔𝑔𝑔𝑔 1/3 𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 2/3
𝑈𝑈(𝑥𝑥) = 2 �𝜋𝜋𝜋𝜋� �3𝜇𝜇 � �1 − 𝑥𝑥 2 � 3𝜇𝜇𝜇𝜇 � � (4.1)

dimana v adalah laju alir volumetrik liquid,d adalah diameter pipa, ρ adalah densitas
liquid dan µ adalah viskositas liquid. Kecepatan U adalah 0 pada permukaan dinding pipa
dimana x = δ ( δ = tebal film), maka :
3𝜇𝜇𝜇𝜇 1/3
𝛿𝛿 = �𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋� (4.2)

dan persamaan (4-1) dapat ditulis :


𝑋𝑋 2
𝑈𝑈 = 𝑈𝑈𝑆𝑆 �1 − �𝛿𝛿 � � (4.3)

Kecepatan Us pada permukaan ( x = 0 ) adalah :


3 𝜐𝜐 2/3 𝑔𝑔𝑔𝑔 1/3
𝑈𝑈𝑆𝑆 = 2 �𝜋𝜋𝜋𝜋� �3𝜇𝜇 � (4.4)

dan bila tinggi kolom adalah h, waktu kontak elemen permukaan dengan gas adalah :
ℎ 2ℎ 3𝜇𝜇 1/3 𝜋𝜋𝜋𝜋 2/3
𝑡𝑡 = 𝑈𝑈 = 3
�𝑔𝑔𝑔𝑔� � 𝜐𝜐 � (4.5)
𝑆𝑆

Bila Q(t) adalah jumlah gas yang terserap per satuan luas permukaan selama waktu
kontak t, maka laju absorpsi rata-rata selama waktu t adalah Q(t). Karena luas total
permukaan yang berkontak adalah π dh, maka laju absorpsi total q ke dalam film dapat
dinyatakan dalam Q(t) oleh persamaan :
𝑄𝑄(𝑡𝑡) 𝑞𝑞
= 𝜋𝜋𝜋𝜋ℎ (4.6)
𝑡𝑡

Laju absorpsi q dapat dihitung secara eksperimen, dan Q (t) dihitung dari persamaan (2-
52), t dihitung dari persamaan (2-51) dan dapat diubah-ubah dengan merubah laju alir v

58
atau tinggi kolom h. Jadi Q(t) dapat ditentukan sebagai fungsi t. Pada khususnya untuk
absorpsi fisis (tanpa reaksi):
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 2𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
(4.7)

maka diperoleh pernyataan untuk q dengan substitusi persamaan (4.7) ke persamaan (4.6)
dimana t diperoleh dari persamaan (4.5) yaitu,
𝜋𝜋𝜋𝜋ℎ𝑄𝑄(𝑡𝑡) 𝜐𝜐 1/3 𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 1/6
𝑞𝑞 = = 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑑𝑑 (6ℎ𝐷𝐷𝐴𝐴 )1/2 �𝐷𝐷� � 3𝜇𝜇 � (4.8)
𝑡𝑡

Pernyataan diatas berlaku bila, aliran tidak turbulan dan bebas dari ripples (riak).
𝜐𝜐𝜐𝜐
Turbulansi terjadi bila Reynold number,𝑅𝑅𝑅𝑅 = 𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 > 250 − 400.

Dalam pemakaian alat ini perlu diperhatikan kesalahan-kesalahan yang timbul akibat
dari hal-hal berikut :
1. Entrance effect
2. Adanya riak (ripples)
3. Timbulnya film yang kokoh (rigid)
4. Penyimpangan dari keadaan stagnan dan tebal film liquida yang semi infinite.
Untuk absorpsi disertai reaksi kimia irreversible pseudo order satu cepat,persamaan untuk
menentukan Q(t) adalah,
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 2𝐻𝐻𝐻𝐻 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
(4.9)

Dan untukabsorpsi disertai reaksi kimia reversible order dua dengan anggapan reaksi ke
kanan berorder satu semu cepat dan reaksi kekiri mempunyai kecepatan konstan,
persamaan untuk Q(t) adalah,
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 2𝐻𝐻𝐻𝐻 (𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 )� 𝜋𝜋
(4.10)

Dimana Ha adalah bilangan Hatta yang dinyatakan dengan,


�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝐻𝐻𝐻𝐻 = (4.11)
𝑘𝑘𝐿𝐿

Persamaan persamaan (4.5), (4.6), (4.10) dan (4.11) adalah sebagai dasar untuk
menentukan data kinetik (konsttanta kecepatan reaksi gas-liquid) dari data percobaan
menggunakan wetted wall column (laju absorpsi q bisa diperoleh dari data eksperimen).

59
Contoh soal 2-4 :
Air pada 200C mengalir kebawah pada permukaan suatu batang vertikal dengan diameter luar (O.D) 2.5 cm
dan tinggi 15 cm dengan laju 4 cm3/detik. Bila pengaruh ripples (riak) diabaikan maka :
a. Hitung tebal film
b. Hitung waktu kontak t
c. Hitung laju absorpsi (CO2 tek. 1 atm)
d. Ceck apakah aliran film liquida laminar
e. Hitung jarak dari permukaan liquida (pada bagian bawah batang) pada mana konsentrasi CO2 adalah
1% CAi ; dan hitung kecepatan pada titik ini sebagai fraksi kecepatan permukaan.
f. Bila CO2 diserap kedalam 0.5 molal NaOH pada kondisi yang serupa, sampai tekanan berapakah CO2
harus diturunkan untuk mencegah pengurangan reaktan pada permukaan, dan berapakah laju absorpsi
CO2 dalam hal ini.
𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 𝑙𝑙𝑙𝑙
Data : 𝜇𝜇 = 1 𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐, 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.8 × 10−5 , = 4 × 10−2 , 𝑘𝑘2 = 104
𝑠𝑠 𝑃𝑃𝐴𝐴 𝑙𝑙𝑙𝑙.𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔.𝑠𝑠

Penyelesaian :
1/3 1/3
3𝜇𝜇𝜇𝜇 3×10−2 ×4
a. 𝛿𝛿 = � � =� � = 0.025 𝑐𝑐𝑐𝑐
𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 𝜋𝜋×981×2.5×1
1/3
2ℎ 3𝜇𝜇 1/3 𝜋𝜋𝜋𝜋 2/3 2×15 3×10−2 𝜋𝜋×2.5 2/3
b. 𝑡𝑡 = � � � � = � � � � = 0.49 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
3 𝑔𝑔𝑔𝑔 𝜈𝜈 3 981×1 4

𝜋𝜋𝜋𝜋ℎ𝑄𝑄(𝑡𝑡)
c. 𝑞𝑞 =
𝑡𝑡

𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡 1.8×10−5 ×0.49 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔


𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 2𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � = 2 × 4 × 10−5 � = 1.32 × 10−7
𝜋𝜋 3.14 𝑐𝑐𝑐𝑐2

3.14×2.5×15×1.32×10−7 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑞𝑞 = = 3.2 × 10−5
0.49 𝑠𝑠
𝜈𝜈𝜈𝜈 4×1
d. 𝑅𝑅𝑅𝑅 = = = 51
𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋𝜋 3.14×2.5×10−2

Karena Re < 250 → Aliran laminar


e. Dengan mengabaikan perbedaan kecepatan didalam film :
𝐶𝐶𝐴𝐴 𝑥𝑥
= 0.01 = 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 2�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑥𝑥
Dari table fungsi matematik: 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 (1.82) = 0.01 → = 1.82 → 𝑥𝑥 = 2 ×
2�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡

1.82√1.8 × 10−5 × 0.49 = 0.011 𝑐𝑐𝑐𝑐


𝑥𝑥 2
f. 𝑈𝑈 = 𝑈𝑈𝑠𝑠 �1 − � � �
𝛿𝛿

𝑈𝑈 0.011 2
=1−� � = 0.81
𝑈𝑈𝑠𝑠 0.025

g. Anggap koefisien difusi CO2 dan NaOH sama


Reaksi: 𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 2 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 → 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂

60
𝑧𝑧 = 2
𝐶𝐶𝐵𝐵0 0.5 6.25
𝐸𝐸𝑖𝑖 = 1 + = 1+ = 1+
2 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 2×4×10−2 𝑃𝑃𝐴𝐴 𝑃𝑃𝐴𝐴

𝜋𝜋 𝜋𝜋
𝐻𝐻𝐻𝐻 = � 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡 = � × 104 × 0.5 × 0.49 = 44.
4 4

1 6.25
Syarat order satu semu: 𝐻𝐻𝐻𝐻 < 𝐸𝐸𝑖𝑖 → 1 + > 88 → 𝑃𝑃𝐴𝐴 < 0.072 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎. Karena yang diserap adalah CO2
2 𝑃𝑃𝐴𝐴

murni, maka 𝑃𝑃𝐴𝐴 = 𝑃𝑃. Berarti, untuk memcegah pengurangan konsentrasi reaktan pada permukaan antar
fasa (atau reaksi berorder satu semu), tekanan harus dturunkan sampai 0.072 atm.
Dalam keadaan ini, 𝐸𝐸 = 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 44. Sehingga laju absorpsi CO2 adalah,
𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔
𝑞𝑞 = 3.2 × 10−5 × 0.072 × 44 = 1.014 × 10−4
𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑

4.3 Moving band Absorber :


Dalam alat ini , suatu ban yang pada permukaannya terdapat film air dilakukan pada
suatu gas. Ban memasuki dan meninggalkan kamar gas melalui suatu celah. Panjang ban
yang berkontak dengan gas bervariasi antara 1 dan 10 cm, waktu kontak tersingkat adalah
sekitar 0.001 detik. Alat ini sulit dibuat dan dioperasikan.

4.4. Laminar Jet


Suatu jet cairan memasuki ruangan gas melalui suatu lubang lingkaran dan keluar
melalui lubang yang sedikit lebih besar (lihat Gambar 4.4). Bila jet ini dapat dipandang
sebagai batang silindris, waktu kontak masing-masing elemen cairan dengan gas adalah
panjang jet, h, dibagi kecepatan, 4 v/ π d2 ( dimana v adalah laju alir volumetrik liquida
dan d diameter jet). Jadi bila laju absorpsi gas kedalam jet, q, diukur, maka jumlah gas
yang terabsorpsi persatuan luas selama waktu kontak t (yaitu Q(t) ) dapat dihitung.
Berarti :
ℎ 𝜋𝜋𝑑𝑑2 ℎ
𝑡𝑡 = 𝑈𝑈 = 4 𝑣𝑣
(4.11)

Laju absorpsi rata-rata persatuan luas = Q ( t ) / t


Laju absorpsi total,
𝜋𝜋 𝑑𝑑 ℎ 𝑄𝑄(𝑡𝑡)
𝑞𝑞 = (4.12)
𝑡𝑡

Maka,
𝑞𝑞 𝑑𝑑
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 4 𝑣𝑣
(4.13)

61
Waktu kontak t dapat diuabah-ubah dengan merubah h dan sehingga Q(t) dapat
ditentukan sebagai fungsi t. Jumlah gas yang terabsorpsi Q(t), untuk absorpsi tanpa reaksi
kimia dapat dihitung dari :
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑡𝑡
𝑄𝑄(𝑡𝑡) = 2 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 � 𝜋𝜋
(4.14)

Menggabungkan persamaan (4-11) dan (4-13), (4-14) diperoleh :


𝑞𝑞 = 4𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑣𝑣ℎ (4.15)
Dengan menggunakan persamaan (4-15) DA dapat diukur. Untuk absorpsi reaktif
irreversible order dua yang dikondisikan menajdi order satu semu cepat, persamaan untuk
laju absorpsi menjadi,
𝑞𝑞 = 4𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐴𝐴𝐴𝐴 �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑣𝑣ℎ (4.16)
Bilangan Hatta, sehingga juga konstanta kecepatan reaksi order dua dapat diperoleh
secara eksperimen menggunakan persamaan (4.16). Untuk absorpsi reaktif reversible
order dua yang dikondisikan agar reaksi kekanan berorder satu semu cepat dan reaksi
kekiri mempunyai keceptan konstan, konstanta kecepatan reaksi order dua bisa diperoleh
dari persamaan (4.17)
𝑞𝑞 = 4𝐻𝐻𝐻𝐻(𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 )�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑣𝑣ℎ (4.17)

Liquid masuk

Gas keluar
Gas masuk

62
Liquid keluar

Gambar 4.4 : Laminar Jet

4.5. The Wetted - Sphere Apparatus :


Alat ini pertama kali digunakan oleh Lyn et-al (1955). Didalam alat ini liquida
absorben mengalir pada permukaan sebuah bola. Bola ( diameter = 38 mm ) ditahan pada
sebuah batang vertikal.
Liquida mengalir melalui ruang anulus antara batang dan sebuah distributor dan
mengalir kebawah pada batang. Hasil terbaik diperoleh bila bagian atas bola berada 3 mm
dibawah distributor. Liquida mengalir secara merata pada permukaan bola, dan kemudian
kembali pada permukaan batang dan akhirnya keluar lewat pipa pengeluaran. Hanyalah
permukaan bola saja yang diperhitungkan dalam penentuan laju absorpsi. Waktu kontak
berkisar 0.1 - 0.5 detik. Laju alir yang typical adalah 0 - 3 cm3 / detik. Analisa data
percobaan dengan menggunakan alat ini sangat sederhana bila gas yang terlarut tak
bereaksi atau mengalami reaksi cepat order satu semu atau orde - n semu, sehingga laju
absorpsi sama pada semua tempat dipermukaan bola.

Gas keluar
Gas masuk

Liquid keluar

Liquid masuk

63
Gambar 4.5 : Wetted Sphere Apparatus

4.6 Stop Flow Apparatus


Alat ini digunakan untuk menentukan kinetika reaksi homogen yang sangat cepat.
Alat ini bisa juga digunakan untuk menentukan kinetika reaksi gas-liquid dengan
mengkondisikan reaksi homogen didalam fasa liquid. Skema peralatan ini ditunjukkan
pada Gambar 4.5.

Komputer

Stop valve
Thermocouple
T

Deteksi

Kuvet Pengamatan

Pencampur

Syringes

Sistim Penggerak
Gambar 4.5, Stop Flow Apparatus

64
Misal untuk menentukan kinetika reaksi absorpsi gas CO2 kedalam larutan
Amine, salah satu syringes diisi dengan larutan gas CO2 dalam air dengan tekanan
tertentu, sedang syrunges lain diisi dengan larutan Amine. Kedua larutan ini diinjeksikan
kedalam Pencampur dengan perbandingan tertentu. Perbandingan ini ditentukan
sedimikan agar amine sangat berlebih untuk reaksi dengan gas CO2 agar kondisi reaksi
adalah order satu semu. Selama proses berlangsung konduktivitas campuran naik karena
terbentuknya produk ion ion. Konduktivitas yang diukur sebagai fungsi waktu di fitting
ke persamaan eksponensial menurut persamaan kinetika order satu yang ditunjukkan
pada persamaan (4.18).
𝜅𝜅 = 𝐴𝐴𝑆𝑆 . 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(−𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 𝑡𝑡) + 𝜅𝜅∞ (4.18)
dimana κ adalah konduktansi spesifik campuran reaksi pada saat t, 𝜅𝜅∞ adalah nilai
konstan signal pada akhir reaksi yang dinyatakan sebagai baseline, 𝐴𝐴𝑆𝑆 menyatakan
amplitudo dari signal. Konduktansi yang diukur ini berbanding lurus dengan konsentrasi
ion ion produk. Namun perlu diingat bahwa ini berlaku untuk larutan elektrolit yang
encer. Konstanta kecepatan reaksi overal 𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 diperoleh dari fitting menggunakan cara
regressi least square tak linear persamaan(4.18) terhadap data eksperimen.
4.7 Stirred cell
Alat ini bisa digunakan untuk menentukan kelarutan gas dalam larutan elektrolit dan
juga untuk menentukan kinetika absorpsi reaktif. Gambar skematis stirred cell
ditunjukkan pada Gambar 4.6.

Ke vakum

P1 Gas
ns Komputer
masuk

P T

Mass flow meter

65
Gas

Gambar 4.6, Gambar skematis Stirred cell


Stirred cell bisa dioperasikan secara batch ataupun secara semi batch terhadap fasa gas.
Bila dioperasikan secara batch, penentuan kinetika absorpsi reaktif dilaksanakan dengan
mengukur tekanan gas didalam stirred cell setiap saat. Dari pengukuran ini bisa
ditentukan fluks absorpsi dari persamaan (4.19).
𝑉𝑉 𝑑𝑑𝑝𝑝𝐴𝐴
𝐺𝐺
− 𝑅𝑅 .𝑇𝑇.𝐴𝐴 = 𝑅𝑅𝐴𝐴 (4.19)
𝑑𝑑𝑑𝑑

Dimana 𝑅𝑅𝐴𝐴 adalah fluks absorpsi yang diperoleh dari persamaan (4.20) untuk reaksi
order satu atau pseudo order satu cepat,
�𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 𝐷𝐷𝐴𝐴𝐴𝐴
𝑅𝑅𝐴𝐴 = 𝑝𝑝𝐴𝐴 (4.20)
𝐻𝐻𝐻𝐻

Bila dioperasikan secara semi batch, gas dialirkan terus kedalam stirred cell dari storage
gas yang dikalibrasi dengan menjaga tekanan didalam stirred cell konstan menggunakan
back pressure regulator. Dalam hal ini tekanan didalam storage gas menurun dengan
waktu. Laju absorpsi bisa ditentukan dari penurunan tekanan atau bisa langsung diukur
menggunakan mass flow meter yang dipasang pada perpipaan antara storage gas dan
stirred cell. Tipe operasi ini lebih akurat dalam menentukan kinetika reaksi dari pada
operasi secara batch. Jiru dan Eimer (2013) menggunakan stirred cell yang dioperasikan
secara batch untuk menentukan kinetika reaksi absorpsi gas CO2 kedalam larutan MEA.

66
BAB 5
METODA EKSPERIMEN UNTUK MENGUKUR
KOEFISIEN PERPINDAHAN MASSA GAS CAIR DAN
LUAS ANTAR-FASA

Selain parameter kinetika reaksi, laju perpindahan massa pada proses absorpsi reaktif
ditentukan oleh parameter perpindahan massa. Bab ini menguraikan metoda eksperimen
untuk parameter perpindahan massa yaitu koefisien perpindahan gas-cair dan luas antar
fasa.
5.1 Koefisien Perpindahan Massa Volumetrik Sisi Cair, 𝒌𝒌𝑳𝑳 𝒂𝒂
Koefisien perpindahan massa volumetric adalah koefisien perpindahan massa
berdasar volume sistim, ini lebih mudah diukur dari pada koefisien perpindahan massa
berdasat luas antar fasa. Terdapat dua koefisien perpindahan massa yaitu koefisien
perpindahan massa sisi cair dan sisi gas. Pertama kita bahas koefisien perpindahan massa
sisi cair. Pada umumnya koefisien perpindahan massa volumetric sisi cair ditentukan
secara eksperimen menggunakan oksigen sebagai solute yang berpindah. Terdapat
beberapa metoda pengukuran yang digunakan yaitu: metoda dinamik standar, metoda
“oxygen-enriched, metoda dinamik start-up, dan metoda tekanan dinamik (Zednikova
dkk, 2018). Metoda pengukuran yang digunakan dibedakan dari cara perubahan
konsentrasi oksigen yang diberikan pada sistim. Pada metoda dinamik standar, perubahan
konsentrasi oksigen ditimbulkan dengan tiba tiba menukar gas masuk dengan konsentrasi
oksigen berbeda (aliran nitrogen ditukar dengan aliran udara) sedang laju alir gas tetap
(Shah dkk, 1982; Deckwer dkk, 1974; Dechwer dkk, 1983; Vasconcelos dkk, 2003;
Vandu dan Krishna, 2004). Pada metod “oxygen-enriched”, aliran udara diganti dengan
aliran “oxygen enriched air” (konsentrasi oksigen nya dinaikkan 3%) (Manjrekar dkk,
2017; Han dan Al-Dahhan, 2007). Metoda dinamik start-up didasarkan pada
penghilangan oksigen dari liquid dengan cara menjenuhkan liquid dengan nitrogen.
Sesudah penghilangan oksigen dari liquid, bubbling dihentikan dan selurih gelembung
gelembung gas dibiarkan keluar dari kontaktor. Kemudian gas baru dengan konsentrasi
oksigen tertentudialirkan kedalam sistim (Akita dan Yoshida, 1973; Lau dkk,2004;
Vandu dan Krishna, 2004). Pada metoda tekanan dinamik perubahan konsentrasi oksigen
diberikan dengan kenaikan step tekanan total didalam kontaktor( sekitar 15 kPa)
sedangkan laju alir gas volumetric melalui bejana dibuat konstan(Linek dkk, 1993; Linek
dkk, 1989). Ditinjau dari sisi sistim cairan yang digunakan terdapat dua metoda dasar
dalam menentukan koefisien perpindahan massa yaitu metoda fisik dan metoda kimia.

5.1.1 Metoda Fisik


Jika tahanan perpindahan massa berada dalam fasa cair (𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 ≪ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎) maka
laju absorpsi persatuan volume sistem gas-cair adalah

67
𝑅𝑅𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′(𝐶𝐶𝐴𝐴∗ − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) (5.1)
*
Dimana C A dan 𝐶𝐶𝐴𝐴0 adalah konsentrasi gas A berturut-turut pada interface dan bulk
cairan.Jadi, nilai 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dapat ditentukan dalam keadaan tertentu dengan eksperimen fisik
murni dari pengukuran laju penyerapan per satuan volume. Nilai 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ bergantung pada
geometri alat kontak gas-liquid. Untuk kontak gas liquid secara counter current didalam
packed column C A* adalah fungsi yang diketahui dari C Ab , dan persamaan (5.1)
diaplikasikan dalam bentuk integral atau driving force (𝐶𝐶𝐴𝐴∗ − 𝐶𝐶𝐴𝐴0 ) dievaluasi sebagai nilai
rata-rata logaritmik antara kondisi masuk dan keluar bila pola alir gas dan liquid
dianggap plugflow dan variasi C A* dan C Ab didalam alat dianggap linear. Untuk alat kontak
gas-liquid berbentuk tangki teraduk yang beroperasi kontinyu, C A* dan C Ab adalah sama
pada semua titik.Sehingga persamaan (5.1) dapat langsung digunakan untuk
penentuan𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′. Untuk alat kontak gas-liquid tangki teraduk yang dioperasikan secara
batch, nilai 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dapat ditentukan dari persamaan (5.2) atau persamaan (5.3).
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ −𝐶𝐶𝐴𝐴0 (𝑡𝑡)
− ln � � = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝑡𝑡 (5.2)
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ −𝐶𝐶𝐴𝐴0 (𝑡𝑡)
𝑑𝑑 ln 𝑅𝑅� 𝑎𝑎′
𝑑𝑑𝑑𝑑
= −𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ (5.3)
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ −𝐶𝐶𝐴𝐴0 (𝑡𝑡)
Bila digunakan persamaan (5.2), 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ diperoleh dari gradient plot − ln � � versus
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ −𝐶𝐶𝐴𝐴0 (0)
t. Sedang bila digunakan persamaan(5.3), 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ diperoleh dari gradient plot ln 𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ versus
t. Namun, ada dua kemungkinan kesulitan pada pemakaian metode fisik. Pertama
adalah, pola aliran kedua fasa tidak bisa dianggap plug flow atau mixed flow dan tidak
b *
diketahui ( C A Bukan fungsi yang diketahui dari C A ) dan karenanya nilai k  a tidak dapat
disimpulkan dari 𝑅𝑅� 𝑎𝑎′. Disamping itu, penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dengan metoda fisik memerlukan
pengukuran konsentrasi bulk dan konsentrasi ekulibria yang akurat. Metoda ini mungkin
tidak praktis dalam beberapa situasi.

5.1.2 Metoda Kimia

Untuk memperbaiki kelemahan metoda fisik dalam penentuan koefisien perpindahan


massa, maka digunakan metoda kimia. Dalam hal ini kedalam fasa cair diberikan reagen
kimia sehingga gas yang terserap bereaksi. Proses kimia untuk menentukan area
interfacial gas ke cair dan koefisien perpindahan massa telah dikembangkan secara
intensif selama 15 tahun terakhir. Proses bergantung pada pengukuran tingkat penyerapan
dimana absorbat mengalami reaksi kimia dengan kinetika yang diketahui secara tepat.
Gas A diserap ke dalam cairan dan di sana mengalami reaksi dengan larutan reaktan B
dengan stoikiometri:

68
k
A + zB → products

Dengan memilih kelarutan dengan tepat, konsentrasi reaktan dan laju reaksi, baik
koefisien perpindahan massa, atau area interfacial atau kedua kelompok parameter dapat
disimpulkan dari tingkat penyerapan keseluruhan (Sharma dan Dancwerts, 1970). Ada
dua metoda kimia yang dibahas, yaitu metoda kimia dengan regim reaksi lambat dan
metoda kimia regim reaksi spontan

5.1.2.1 Penentuan Koefisien Volumetrik, 𝒌𝒌𝑳𝑳 𝒂𝒂′ Menggunakan Reaksi Ireversibel


Lambat.
Regim reksi lambat didefinisikan sebagai regim reaksi dimana reaksi terlalu
lambat untuk mempengaruhi tingkat penyerapan secara langsung (Enhancement factor=1)
atau tidak terjadi reaksi didalam film, namun, di sisi lain, reaksi cukup cepat untuk
mengurangi konsentrasi gas terlarut dalam bulk liquid secara efektif menjadi nol. Jika
reaksinya irreversible orde kedua (order pertama untuk masing masing komponen A dan
B), laju rabsorpsi sama dengan laju reaksi didalam bulk, maka berlaku persamaan (5.4)
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ = 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐴𝐴0 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝛽𝛽 (5.4)
Laju reaksi didalam bulk bisa diukur dari pengukuran laju komponen B yang bereaksi
didalam fasa liquid. Untuk alat kontak tangka teraduk kontinyu, konsentrasi ditiap titik
sama. Sedang untuk alat kontak packed column, 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ bervariasi disepanjang kolom. Dalam
hal ini digunakan harga rata rata nya. Kondisi yang harus dipenuhi untuk menggunakan
persamaan (5.4) adalah
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ ≪ 𝛽𝛽𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (5.5)
Dan
0
𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵
= 𝐻𝐻𝐻𝐻2 ≪ 1 (5.6)
𝑘𝑘𝐿𝐿2
Dengan cara sama untuk reaksi irreversible umum dengan persamaan kinetika reaksi
𝑟𝑟 = 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵𝑛𝑛 , kondisi untuk 𝐶𝐶𝐴𝐴0 menjadi nol (atau semua yang terserap bereaksi)
adalah,
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ ≪ 𝛽𝛽𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝐶𝐶𝐴𝐴∗ )𝑚𝑚−1 (𝐶𝐶𝐵𝐵0 )𝑛𝑛 (5.7)
Dan kondisi reaksi tak terjadi di film, tapi hanya terjadi didalam bulk liquid adalah,
𝑛𝑛
2 2 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝐶𝐶𝐴𝐴∗ )𝑚𝑚−1 �𝐶𝐶𝐵𝐵
0

𝐻𝐻𝐻𝐻 = 𝑚𝑚+1 ≪1 (5.8)
𝑘𝑘𝐿𝐿2
Tidak selalu mudah untuk memenuhi kedua kondisi [persamaan (5.5) dan (5.6)]
untuk reaksi irreversible order dua atau persamaan (5.7) dan (5.8) untuk reaksi
irreversible umum secara bersamaan. Jika k mn (C Bb ) dibuat cukup besar untuk memenuhi
n

kondisi persamaan (5.7) (yaitu, C Ab = 0 ), itu mungkin menjadi terlalu besar untuk kondisi
persamaan (5.8) untuk dipenuhi (tidak ada reaksi dalam film). Ketika kondisi persamaan
(5.8) terpenuhi, tapi kondisi persamaan (5.7) tidak terpenuhi, persamaan (5.4) bisa ditulis,

69
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝑅𝑅 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ (5.9)
Dengan
1 1 1
= 𝑘𝑘 + 𝑚𝑚−1 0 𝑛𝑛 (5.10)
𝑘𝑘𝑅𝑅 𝑎𝑎′ 𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 �𝐶𝐶𝐴𝐴0 � �𝐶𝐶𝐵𝐵 � 𝛽𝛽

1 1
Jika 𝑘𝑘𝑅𝑅 𝑎𝑎′
diplot versus 0� 𝑛𝑛 maka akan berbentuk garis lurus dengan kemiringan
𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 �𝐶𝐶𝐵𝐵
1 1
0 �𝑚𝑚−1
dan intersep 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′
. Prosedur ini menawarkan metode penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ ketika tidak
�𝐶𝐶𝐵𝐵
mungkin untuk memenuhi kondisi persamaan (5.7).
Beberapa sistem kimia yang diidentifikasi oleh Charpentier (1981) sesuai untuk
penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dalam regim reaksi lambat disajikan dalam tabel 5-1.

Tabel 5.1. Sistem kimia yang digunakan untuk penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dalam regim reaksi
lambat.
Gas A Reaktan B Katalis dalam
penyerap
𝐶𝐶𝑂𝑂2 𝐾𝐾2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝑂𝑂3 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁
𝑂𝑂2 bercampur dengan udara 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶
𝑂𝑂2bercampur dengan udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆𝑂𝑂3 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂4
𝑂𝑂2 Glukosa
Butadiena Anhidrida maleat cair

5.1.2.2 Penentuan Koefisien Volumetrik, 𝒌𝒌𝑳𝑳 𝒂𝒂′ Menggunakan Reaksi Kimia Spontan
Ada metode lain dimana sistem reaksi kimia dapat digunakan untuk menentukan
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ menggunakan regim reaksi spontan dimana laju penyerapan dinyatakan dengan,
0
𝐷𝐷 𝐶𝐶
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ 𝐸𝐸𝑖𝑖 = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ �1 + 𝑧𝑧𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵∗ � (5.11)
𝐴𝐴 𝐴𝐴

Untuk menggunakan metode ini, kondisi yang harus dipenuhi adalah 𝐻𝐻𝐻𝐻 > 10 𝐸𝐸𝑖𝑖 .Jika,
selain itu, 𝐶𝐶𝐵𝐵0 ≫ 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ maka laju penyerapannya adalah,
0
𝐶𝐶 𝐷𝐷
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝑧𝑧𝐵𝐵𝐷𝐷 𝐵𝐵 (5.12)
𝐴𝐴
Laju penyerapan tidak bergantung pada konsentrasi komponen A dan juga
distribusi waktu kontak dalam fase gas. Dalam prakteknya, ditemukan bahwa
penggunaan persamaan (5.12) berguna bila 𝐸𝐸𝑖𝑖 > 4. Beberapa sistem kimia yang sesuai
untuk penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ dalam proses reaksi spontan disajikan pada tabel 5.2

70
Tabel 5.2. Sistem Kimia yang Digunakan Untuk Penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ Proses Reaksi Spontan.
Gas A Reaktan B

𝑁𝑁𝐻𝐻3 𝐻𝐻2 𝑆𝑆𝑂𝑂4


𝑆𝑆𝑂𝑂2 , 𝐶𝐶𝐶𝐶2 , 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁
𝐻𝐻2 𝑆𝑆, 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻, 𝐶𝐶𝑂𝑂2 Amina
O2 bercampur dengan udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆2 𝑂𝑂4

5.2 Penentuan Koefisien Volumetrik Pada Sisi Gas, 𝒌𝒌𝑮𝑮 𝒂𝒂′.


Jika resistansi terhadap perpindahan massa komponen A seluruhnya berada dalam
fase gas (𝐻𝐻𝐻𝐻 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′ ≪ 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′), tingkat penyerapan per satuan volume dari sistem cairan gas
tanpa reaksi kimia adalah
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′(𝑃𝑃𝐴𝐴 − 𝑃𝑃𝐴𝐴∗ ) (5.13)

Dimana 𝑃𝑃𝐴𝐴 dan 𝑃𝑃𝐴𝐴 berturut adalah tekanan parsial gas A di bulk gas dan pada
permukaan antar fasa gas-cair. Dalam hal ini nilai 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′ dapat ditentukan dengan metoda
fisik. Namun biasanya ada resistensi cukup besar pada sisi cairan yang harus
dipertimbangkan.
Resistansi sisi cair dapat dihilangkan dan laju absorbsi dibuat tak bergantung pada
RTD sisi cairan dengan menggunakan larutan yang bereaksi irreversible spontan dengan
gas terlarut sehingga diperoleh persamaan (5.14).
0
𝐷𝐷 𝐶𝐶
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′(𝑃𝑃𝐴𝐴 − 𝑃𝑃𝐴𝐴∗ ) = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ �1 + 𝑧𝑧𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵∗ � = 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ 𝐸𝐸𝑖𝑖 (5.14)
𝐴𝐴 𝐴𝐴

Kondisi yang harus dipersyaratkan untuk persamaan (5.14) berlaku yaitu


Ha > 10 Ei . Ketika itu terjadi, gas terlarut A bereaksi spontan dengan komponen B pada
sebuah bidang di bawah permukaan dimana konsentrasi kedua komponen adalah nol. Jika
bidang reaksi sekarang berada di permukaan (𝑃𝑃𝐴𝐴∗ = 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ = 0) maka,
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′𝑃𝑃𝐴𝐴 (5.15)
Ini adalah situasi di mana komponen terlarut B mencapai permukaan dengan
difusi melalui cairan secepat komponen gas A yang mencapainya melalui difusi melalui
gas. Bentuk ini menjadi dasar metode untuk mengukur 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′. Persyaratan agar persamaan
(5.15) berlaku adalah,
𝐷𝐷
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′𝑃𝑃𝐴𝐴 < 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝑧𝑧𝐷𝐷𝐵𝐵 𝐶𝐶𝐵𝐵0 (5.16)
𝐴𝐴
Bila alat kontak gas-liquid adalah packed column dengan ketinggian Z, dimana 𝑃𝑃𝐴𝐴,𝐼𝐼𝐼𝐼
adalah tekanan parsial A pada aliran masuk dan 𝑃𝑃𝐴𝐴,𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂 adalah tekanan parsial A pada
aliran keluar maka 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′ diperoleh dari persamaan (5.17) berikut,
𝐺𝐺 𝑃𝑃
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′ = 𝑃𝑃𝑃𝑃 ln 𝑃𝑃 𝐴𝐴,𝐼𝐼𝐼𝐼 (5.17)
𝐴𝐴,𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂

71
Dimana G adalah laju alir massa molar gas yang tidak larut (dalam gmole cm 2 s ) dan P
adalah tekanan total (pada atm).
Dalam semua kasus, perhitungan 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′ harus didasarkan pada analisis aliran gas,
karena kesalahan kecil dalam analisis aliran cairan dapat menyebabkan kesalahan besar
dalam nilai 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′. Contoh proses reaksi spontan disajikan pada tabel 5-3.
Tabel 5-3. Sistem Kimia yang Digunakan Untuk Menentukan k g a Dalam Proses Reaksi
Permukaan spontan
Gas A terlarut Gas pengencer yang tidak Reaktan B
larut (inert)
𝑆𝑆𝑂𝑂2 atau 𝐶𝐶𝐶𝐶2 Udara, Freon 12, Freon 22, NaOH
Freon 114
𝑁𝑁𝐻𝐻3 Udara, Freon 12, Freon 22, 𝐻𝐻2 𝑆𝑆𝑂𝑂4
Freon 114
Trietilamina Udara, Freon 12, Freon 22, 𝐻𝐻2 𝑆𝑆𝑂𝑂4
Freon 114
𝐼𝐼2 Udara NaOH
𝑆𝑆𝑆𝑆2 Udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆𝑂𝑂3
Propilena, CO Udara Larutan Coprous Amina
Komplek
𝑆𝑆𝑆𝑆2 Udara N , N Dimethylaniline

5.3 Penentuan luas permukaan antar fasa gas-cair, 𝒂𝒂′


Ketika reaksi antara komponen A dan B dalam fasa cair adalah orde m pada A
dan orde n pada B, dan konsentrasi komponen B sama di seluruh bejana (𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 (𝐶𝐶𝐵𝐵0 )𝑛𝑛
adalah konstant), reaksi tersebut dikatakan pseudo order m cepat untuk A. Kondisi untuk
situasi ini adalah 3 < 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 laju penyerapan dinyatakan dengan,
1
2
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝐸𝐸 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ = 𝐻𝐻𝐻𝐻 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ = 𝑎𝑎′ �𝑚𝑚+1 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐷𝐷𝐴𝐴 (𝐶𝐶𝐴𝐴∗ )𝑚𝑚+1 (𝐶𝐶𝐵𝐵0 )𝑛𝑛 �
2
(5.18)

Dengan demikian, laju penyerapan tidak tergantung pada 𝑘𝑘𝐿𝐿 , yaitu luas permukaan antar
fasa a’ dapat ditentukan dari pengukuran laju penyerapan menggnakan persamaan (5.18)
asalkan 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ dan 𝐶𝐶𝐵𝐵0 secara efektif sama disemua bagian sistim. Tabel 5.4 menunjukkan
sistim kimia yang digunakan untuk reaksi pseudo order m

72
Tabel 5-4. Sistem Kimia yang Digunakan Untuk Penentuan luas permukaan antar fasa
gas-cair bedasar regim reaksi cepat order m semu
Gas Terlarut Reaktan B Katalis
𝐶𝐶𝑂𝑂2 bercampur dengan Na2 CO3 + NaHCO3 As(OH)3 O− , ClO−
udara 𝐾𝐾2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝑂𝑂3
𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿 − 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁
𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 − 𝐵𝐵𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)2
Na 2 S
COS bercampur dengan Larutan amina encer
udara
𝑂𝑂2 di dalam udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆2 𝑂𝑂3
𝑂𝑂2 di dalam udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆𝑂𝑂3 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂4 , 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂4
𝐶𝐶𝑂𝑂2 bercampur dengan Sikloheksilamina dalam
udara sikloheksanol
Monoetanol amina atau
dietanol amina dalam etanol
Monoetanolamina dalam di
atau polietilen glicol encer
𝐶𝐶𝑂𝑂2 dan 𝑂𝑂2 bercampur di Larutan cuprous amina
udara komplek encer
𝑂𝑂2 dalam udara atau Propionaldehyde Mangan propionate
𝑂𝑂2 − 𝑁𝑁2
𝐶𝐶𝐶𝐶2 p-cresol dilarutkan dalam
klorobenzena
𝐻𝐻2 Minyak nabati Ziegler-Natta

5.4 Pengukuran Simultan Koefisien Perpindahan Massa Volumetrik dan Area


Interfacial.
Dalam situasi tertentu, resistensi perpindahan massa pada kedua fase akan cukup
besar sehingga keduanya 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎′ dan 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′ harus ditentukan. Selain itu, untuk tujuan
menghitung efek reaksi kimiawi pada laju penyerapan gas, parameternya 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′
masing-masing harus diketahui. Parameter perpindahan massa terpisah ini dapat
ditentukan dengan metode kimia dengan pseudo orde-1 atau proses reaksi spontan
menggunakan tidak hanya model two-film tetapi juga model pembaharuan permukaan.

Sesuai Charpentier (1981), kondisi yang dibutuhkan untuk memenuhi pseudo


orede-1 pada komponen A menggunakan model Danckwerts adalah

73
𝐷𝐷 𝐷𝐷 0
𝐶𝐶𝐵𝐵 𝐷𝐷
√1 + 𝐻𝐻𝐻𝐻2 ≪ �𝐷𝐷𝐴𝐴 + �𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝐸𝐸𝑖𝑖 �𝐷𝐷𝐴𝐴 (5.19)
𝐵𝐵 𝐴𝐴 𝑧𝑧 𝐶𝐶𝐴𝐴∗ 𝐵𝐵

Dimana, jika ada resistensi perpindahan massa pada setiap fase,


1 𝐻𝐻𝐻𝐻 −1
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑃𝑃𝐴𝐴 �𝑘𝑘 𝑎𝑎′ + 2
� (5.20)
𝐺𝐺 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′√1+𝐻𝐻𝐻𝐻
Dua kasus penting muncul tergantung pada kepada 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′ , atau 𝑘𝑘𝐺𝐺 dan 𝑎𝑎′ yang
dibutuhkan.

5.4.1 Penentuan 𝒌𝒌𝑳𝑳 dan 𝒂𝒂′ secara simultan


Ketika resistansi fasa gas diabaikan, tingkat penyerapan diberikan oleh persamaan
1
sebelumnya dengan 𝑘𝑘 = 0 yaitu,
𝐺𝐺 𝑎𝑎′
𝑃𝑃
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐴𝐴 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′√1 + 𝐻𝐻𝐻𝐻2 = 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 + 𝑘𝑘𝐿𝐿2 (5.21)

Jika tingkat penyerapan diukur untuk nilai yang berbeda dari 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 dan konstanta
hidrodinamik tetap, di plot (𝑅𝑅� 𝑎𝑎′)2 versus terhadap 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 membentuk garis lurus dengan
kemiringan 𝐷𝐷𝐴𝐴 (𝑎𝑎′)2 (𝐶𝐶𝐴𝐴∗ )2 dan intercept (𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ )2 . Plot ini disebut plot Danckwerts . Jika
𝐶𝐶𝐴𝐴∗ dan 𝐷𝐷𝐴𝐴 diketahui, keduanya 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′ bisa ditentukan.
Perhatikan bahwa hasil yang sama diperoleh dengan menggunakan model double-
film untuk menggambarkan reaksi order m, n ketika kondisi 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≪ 𝐸𝐸𝑖𝑖 terpenuhi, namun
kondisi 𝐻𝐻𝐻𝐻 > 3 tidak dapat terpenuhi (Charpertier, 1981).
Untuk menggunakan plot Danckwert, adalah penting untuk memastikan bahwa
sifat fisik sistem tidak berubah dengan perubahan 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 . Untuk alasan ini, akan lebih
mudah untuk menggunakan reaksi katalis dan untuk mengubah k 2 dengan menambahkan
sejumlah kecil katalis. Jika katalis cukup aktif, laju reaksi dapat bervariasi dalam rentang
yang luas tanpa mengubah konsentrasi larutan secara substansial. Laju penyerapan
menjadi demikian
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑎𝑎′𝐶𝐶𝐴𝐴∗ �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑐𝑐 𝐶𝐶𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 + 𝑘𝑘𝐿𝐿2 (5.22)

Konsentrasi katalis 𝐶𝐶𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 dapat bervariasi dan 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′ ditentukan dengan plot
(𝑅𝑅� 𝑎𝑎′)
2
versus 𝐶𝐶𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 . Sistem kimia yang sesuai untuk penentuan 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′dengan
menggunakan plot Danckwertz adalah disajikan pada tabel 5-5.

74
Tabel 5-5 Reaksi Kimia Untuk Detrminasi 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′ Dengan Menggunakan diagram
Danckwertz.
Gas A Terlarut Reaktan B Katalis
𝐶𝐶𝑂𝑂2 bercampur dengan 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 − 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂3 Arsenit
udara
𝐶𝐶𝑂𝑂2bercampur dengan 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 − 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂3 Hypoklorit
udara
𝑂𝑂2di dalam udara 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶
𝑂𝑂2 di dalam udara 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝑆𝑆𝑂𝑂3 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂4

Hati-hati dalam menggunakan metode ini karena hidrodinamik (yaitu, 𝑘𝑘𝐿𝐿 ) dapat
dipengaruhi oleh reaksi kimia, menyebabkan perubahan pada 𝑘𝑘𝐿𝐿 dan 𝑎𝑎′ dengan
perubahan laju reaksi. Kemungkinan ini dapat diperiksa dengan mengikuti secara
bersamaan tingkat penyerapan suatu gas yang diawali sebagai reaksi pseudo orde-m,
menghasilkan 𝑎𝑎′, dan penyerapan fisik (atau desorpsi) gas lain (memberi 𝑘𝑘𝐿𝐿 atau 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎′)
(Linek, 1972; Robinson dan Wilke, 1974; Beenackers dan Van Swaaij, 1976; Prasher,
1975; Mathenson dan Sandall, 1979.

5.4.2 Penentuan 𝒌𝒌𝑮𝑮 dan 𝒂𝒂′ secara simultan


Jika tidak memungkinkan untuk menjaga agar resistansi sisi gas diabaikan, masih
mungkin untuk menentukan 𝒌𝒌𝑮𝑮 dan 𝑎𝑎′ dengan menggunakan reaksi pseudo orde-m yang
cepat ( 𝐻𝐻𝐻𝐻 ≫ 1 sehingga √1 + 𝐻𝐻𝐻𝐻2 = 𝐻𝐻𝐻𝐻). Dengan demikian, laju penyerapan menjadi ,
1 𝐻𝐻𝐻𝐻 −1
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ = 𝑃𝑃𝐴𝐴 �𝑘𝑘 𝑎𝑎′ + 𝑘𝑘 � (5.23)
𝐺𝐺 𝐿𝐿 𝑎𝑎′𝐻𝐻𝐻𝐻
Dimana,
𝑃𝑃𝐴𝐴 1 1 𝐻𝐻𝐻𝐻 1 1 𝐻𝐻𝐻𝐻
= 𝑎𝑎′ �𝑘𝑘 + 𝑘𝑘 � = 𝑎𝑎′ �𝑘𝑘 + 𝑚𝑚−1 0 𝑛𝑛 1/2
� (5.24)
𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ 𝐿𝐿 𝐻𝐻𝐻𝐻 2 𝑘𝑘
𝐺𝐺 𝐺𝐺 � 𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐷𝐷𝐴𝐴 �𝐶𝐶𝐴𝐴∗ � �𝐶𝐶𝐵𝐵 � �
𝑚𝑚+1

Jadi, jika 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 atau 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵0 divariasi, plot 𝑃𝑃𝐴𝐴 /𝑅𝑅� 𝑎𝑎′ versus 𝐻𝐻𝐻𝐻/�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 atau versus
𝐻𝐻𝐻𝐻 1
akan memberikan garis lurus dengan intercept 𝑘𝑘 dan kemiringan
2 𝑘𝑘
� 𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐷𝐷𝐴𝐴 �𝐶𝐶𝐴𝐴∗ �
𝑚𝑚−1 0 𝑛𝑛
�𝐶𝐶𝐵𝐵 � 𝐺𝐺 𝑎𝑎′
𝑚𝑚+1
1
𝑎𝑎′
. Jadi, 𝑎𝑎′ dan 𝑘𝑘𝐺𝐺 bisa dihitung secara simultan. Sistem yang aman untuk metode ini
adalah penyerapan gas CO2 kedalam larutan NaOH atau amina.

75
BAB 6
PELARUT KIMIA BESERTA
PROPERTI FISIKA DAN KIMIA
Pada bab ini diuraikan pelarut-pelarut kimia beserta property fisika dan kimianya
untuk penyerapan gas asam. Properti fisika dan kimia yang dibahas ini meliputi property
kinetika reaksi, property kelarutan, dan property perpindahan massa. Pertama diuraikan
pelarut kimia yang umum digunakan beserta keuntungan dan kerugiannya.

6.1 Pelarut Kimia


Pelarut kimia yang umum digunakan untuk pemisahan gas-gas asam seperti CO2
dan H2S dari indusri petrochemical, gas alam dan gasbio adalah larutan senyawa-2 amin
dan K2CO3 . Pelarut kimia yang digunakan untuk memisahkan gas CO2 dan H2S harus
murah, laju reaksi besar, memiliki stabilitas kimia yang tinggi terutama pada suhu di atas
100oC, energi regenerasi yang rendah serta sifat korosif nya rendah. Performance pelarut
senyawa alkanolamine dan senyawa kalium karbonat serta beberapa keuntungan dan
kerugian diuraikan di bawah ini (Pudjiastuti, 2011)

6.1.1 Pelarut alkanolamine dan Asam Amino


Senyawa amine dibagi menjadi tiga golongan yaitu amine primer, amine sekunder dan amine
tersier. Larutan senyawa amine primer paling efektif dalam menyerap gas CO2 berikutnya amine
sekunder dan tersier. Berikut diuraikan karakteristik pelarut amine dalam menyerap gas asam.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk meningkatkan performance senyawa
alkanolamine dengan cara menambahkan promotor dan/atau mencampur senyawa
alkanolamine lainnya. (Boch dkk.,1989, Xiao,2000; Bishnoi, 2000; Dang,2001; Xu, dkk.2003; Paul
dkk.,2009].

6.1.1.1 Mono Ethanol Amine (MEA)


Merupakan Amine primer. Larutan ini bersifat korosif sehingga penggunaannya secara
umum dibatasi pada konsentrasi 10 -20% berat dalam air. Acid gas loading terbatas 0,3 –
0,4 mol acid gas per mol amine. Keunggulan senyawa alkanolamine dalam menyerap CO2
adalah laju absorbsi cepat dan biaya pelarut murah. Terdapat beberapa kelemahan senyawa
amine seperti panas absorbsi tinggi, tidak dapat memisahkan senyawa-senyawa mercaptan,

76
hilangnya uap yang besar disebabkan oleh tekanan uap yang tinggi. Basa kuat, lebih reaktif
terhadap acid gas dan kapasitas loading tinggi Laju sirkulasi rendah untuk rasio loading
yang sama dan lebih stabil secara kimia. Tidak cocok untuk tekanan parsial acid gas
yang tinggi.

6.1.1.2 Di Ethanol Amine (DEA)


Secara umum digunakan pada konsentrasi 25 – 35% berat dalam air. Acid gas
loading juga terbatas pada 0,3 – 0,4 mol acid gas per mol amine. Konsentrasi lebih tinggi
15% dari MEA dan panas reaksi lebih rendah ± 25% dari MEA. Loss akibat penguapan
kecil, dan panas untuk regenerasi rendah. Dapat menghilangkan mercaptan, karbonil
(COS) dan karbonil (CS2). Lebih tidak korosif dibanding larutan MEA. Reaktivitasnya
lebih rendah dari MEA dan lebih selektif terhadap H2S. Foaming larutan sering terjadi
pada konsentrasi DEA yang tinggi.

6.1.1.3 Methyl DiEthanol Amine (MDEA)


Secara umum digunakan pada konsentrasi 30 -50% berat. Acid gas loading tinggi
0,7 – 0,8 mol acid gas per mol amine. Konsentrasi tinggi (30–50% berat).Tekanan uap
paling rendah, sehingga terhindar dari loss akibat penguapan.Panas yang dibutuhkan
untuk regenerasi rendah.Tahan degradasi produk, tahan korosi, fouling, dan
foaming.Proses dapat dilakukan pada cuaca yang sangat dingin.Lebih selektif terhadap
H2S dan reaktivitas terhadap CO2 lebih rendah.Biaya per unit beratnya tinggi. Agak sulit
untuk absorpsi gas tekanan rendah.

6.1.1.4 Diiso Propanol Amine (DIPA)


Tekanan uap rendah dan tahan korosi. Dapat digunakan pada tekanan rendah
untuk penghilangan H2S dan CO2, dan lebih selektif ke H2S.Dapat menghilangkan
senyawa sulfur organic seperti COS. Lebih selektif ke H2S dan tidak digunakan untuk
penghilangan CO2.

6.1.1.5 Diglycolamine (DGA)


Secara umum digunakan pada konsentrasi 40 – 60 % berat dalam air. Acid gas
loading terbatas 0,3 – 0,4 mol acid gas per mol amine Reaktivitas terhadap acid gas

77
bagus.Konsentrasi paling tinggi di antara alknolamine lainnya.Tekanan uap rendahLaju
sirkulasi lebih rendah dari MEA, sehingga mengurangi ukuran peralatan yang
digunakan.Dapat menghilangkan COS dan CS2 serta metil dan etil mercaptan (CH3SH
dan C2H5SH). Afinitas tinggi terhadap hidrokarbon liquid menyebabkan hydrocarbon
loss (tambahan biaya untuk recovery).Sering terjadi foaming larutan dan panas reaksi
sangat tinggi.

6.1.1.6 Tri Ethanol Amine (TEA)


Larutan amine yang pertama kali dikomersialkan untuk gas sweetening. TEA
tidak bisa menghasilkan produk gas dengan spesifikasi H2S rendah Tekanan uap rendah
Kapasitasnya rendah (berat molekul rendah). Reaktivitas terhadap acid gas rendah
Kestabilannya relatif rendah.

6.1.2 Pelarut kalium karbonat


Proses menggunakan kalium karbonat pada mulanya dikembangkan untuk
penghilangan CO2 dari aliran gas alam. Proses ini juga dapat digunakan untuk
penghilangan H2S dari campuran gas yang berlaku pada aliran gas dengan tekanan parsial
CO2 tinggi dan tidak berlaku untuk aliran gas yang hanya mengandung kontaminan H2S.
Proses ini kadang-kadang juga tidak mampu membersihkan gas alam hingga
level kandungan acid gas rendah yang diinginkan, apalagi hingga spesifikasi pipeline.
Konfigurasi dari aliran proses yang terjadi pada proses carbonate hampir sama dengan
proses amine, yaitu dengan menggunakan kolom absorber sebagai contactor dan stripper
sebagai regenerator. Proses ini dinamakan ‘hot’ karena kolom absorber dan regenerator
dioperasikan pada suhu tinggi, umumnya pada range 110–115oC. Konsentrasi kalium
karbonat yang digunakan adalah 20–40% berat.
Senyawa kalium karbonat (K2CO3) dengan promotor senyawa amina
menunjukkan cara yang efektif untuk meningkatkan keseluruhan performance bahan
pelarut. Panas absorpsi larutan K2CO3 sebesar 10-15 kcal/mol CO2 adalah secara
signifikan lebih rendah daripada sistim amina yang memiliki panas absorpsi sebesar 20-
25 kkcal/mol CO2. Energi regenerasi yang dibutuhkan dalam stripper rendah (Cullinane,
2005), tetapi senyawa alkanolamine kelompok primary dan secondary seperti MEA

78
memiliki kekekurangan seperti enthalpy reaksi dengan CO2 besar sehingga konsumsi
energi untuk desorpsi CO2 tinggi.
Larutan panas K2CO3 sebagai absorben efektif digunakan dalam beberapa
industri amonia, hidrogen, ethylen oksida dan pemurnian gas alam. Laju perpindahan
massa absorpsi CO2 dapat ditingkatkan dengan menambahkan activator yang dikenal
dengan istilah sistim ‘Activated hot potassium carbonate (AHPC)’. Benfield (1971)
menggunakan DEA sebagai activator dalam larutan K2CO3, teknologi ini telah
diimplementasikan dalam produksi amonia. Proses ini tidak dapat digunakan jika tidak
ada kandungan CO2 dalam campuran gas. Laju absorpsi relatif antara CO2 dan H2S
berbeda dalam solvent, sehingga dapat didesain selektivitas absorpsinya. Ada beberapa
macam skema proses yang ditawarkan oleh proses benfield. Konfigurasi proses yang
menggunakan nama benfield umumnya memakai packed tower atau trayed tower untuk
tempat mengontakkan liquida dengan gas secara berlawanan arah dan dapat diatur untuk
mendapatkan derajat pemurnian gas yang berbeda-beda.
Di samping senyawa alkanolamine sebagai promotor pada larutan K2CO3, Gosh
dkk. (2009), menambahkan asam borat ke dalam larutan kalium karbonat. Hasil
penambahan promotor asam borat dapat meningkatkan laju absorpsi CO2, tetapi masih
berada dibawah kemampuan menggunakan promotor senyawa alkanolamine. Bartoo
(1991) menemukan promotor organik yang baru, karena pada tekanan uap yang rendah,
laju absorpsi lebih baik dibandingkan dengan penggunaan DEA dan stabilitas kimianya
baik. Aktivator tersebut dikenal ACT-1.
Beberapa keuntungan dan kelemahan penggunaan larutan kalium karbonat untuk
penyerapan gas asam sebagai berikut (Polasek dan Bullin, 1994) :
Keuntungan:
 Range temperature tinggi, dapat meningkatkan kapasitas loading gas asam dan
dapat mencegah terjadinya kristalisasi garam bikarbonat.
 Dapat menghilangkan karbonil sulfida dan karbon disulfida yang ada di aliran
gas dengan cara hidrolisis menjadi CO2 dan H2S, kemudian dilanjutkan dengan
reaksi dengan kalium karbonat.
 Biaya solvent lebih murah.
 Kebutuhan steam lebih sedikit dibandingkan dengan proses amine.

79
 Pilihan skema proses relatif banyak, tergantung dari residu acid gas yang
diperbolehkan dalam produk.
 Penggunaan promotor alkanolamine dapat meningkatkan laju reaksi absorpsi
 Kemungkinan terjadi korosi dan foaming sangat kecil.
 Sebagian besar CS2, COS, mercaptan, HCN, dan SO2 dapat terserap.
Kelemahan:
 Penggunaan promotor dan aditif akan menambah biaya.
 Kadang timbul masalah ketidakstabilan kolom.
 Cenderung agak selektif ke H2S.
 Tidak mampu menghilangkan CO2 hingga level yang sangat rendah.
 Adanya SO2 dalam gas dapat mendegradasi solvent.

6.2 Kinetika Reaksi


Berikut diuraikan kinetika reaksi untuk absorpsi gas asam kedalam larutan K2CO3
dan larutan Alkanolamine
6.2.1 Kinetika reaksi absorpsi CO2 dalam larutan K2CO3
Reaksi kimia reversible larutan K2CO3 dan CO2 diberikan sebagai berikut,
[Astarita, 1981]:
CO2 + K2CO3 + H2O ↔ 2KHCO3 (6.1)
Karena kalium karbonat dan kalium bicarbonat adalah elektrolit kuat, maka dianggap
terionisasi sempurna, sehingga reaksi diatas dapat dituliskan dalam bentuk ion sebagai
berikut :
CO2 + CO3− 2 + H2O ↔ 2HCO3−1 (6.2)
Pertama ion karbonat bereaksi dengan air menghasilkan ion hydroxyl, kemudian
bereaksi dengan CO2 sebagai berikut, [Astarita, 1981]:
CO3− 2 + H2O ↔ HCO3−1 + OH− (6.3)
CO2 + OH− ↔ HCO3−1 (6.4)
Reaksi (6.3) adalah reaksi instan , tahapan reaksi yang mengendalikan laju reaksi adalah
reaksi (6.4), karenanya persamaan laju reaksi CO2 dengan K2CO3 tanpa promotor adalah
[Astarita, 1981, Danckwerts, 1970]:
𝑟𝑟𝑂𝑂𝑂𝑂 = 𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝑘𝑘−𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.5)

80
dimana kOH dan k−OH adalah konstanta laju reaksi bolak balik (6.4). Pada kondisi
kesetimbangan persamaan (6.5) diberikan :
𝑘𝑘−𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− = 𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2,𝑒𝑒 (6.6)
dimana 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 adalah konsentrasi CO2 dalam keadaan setimbang . Kebalikan reaksi (6.4)
dalam persamaan (6.6) dievaluasi pada kondisi setimbang. Substitusi persamaan (6.6)
kedalam persamaan (6.5) memberikan :
𝑟𝑟𝑂𝑂𝑂𝑂 = 𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂− �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � (6.7)
Sistim karbonat–bikarbonat adalah larutan buffer, jadi konsentrasi ion OH-
dalam larutan dekat liquida interface adalah tidak signifikan menurun dengan absorpsi
CO2. Dalam kasus ini, reaksi CO2 adalah pseudo-first order dan Pers. (6.7) dapat
dituliskan (Astarita, (1981), Danckwerts, 1970]:
𝑟𝑟𝑂𝑂𝑂𝑂 = 𝑘𝑘1 �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � (6.8)
dimana k1 adalah konstante laju reaksi pseudo-first order.
Di dalam larutan terjadi reaksi-reaksi berkesetimbangan berikut :
𝐾𝐾1
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− + 𝐻𝐻 +
𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂− 𝐶𝐶𝐻𝐻+
𝐾𝐾1 = 3
(6.9)
𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 ,𝑒𝑒

𝐾𝐾2
𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− ↔ 𝐻𝐻 + + 𝐶𝐶𝐶𝐶3=
𝐶𝐶𝐻𝐻+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶=
𝐾𝐾2 = 3
(6.10)
𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻−
3

𝐾𝐾𝑤𝑤
� 𝐻𝐻 + + 𝑂𝑂𝑂𝑂 −
𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �
𝐾𝐾𝑤𝑤 = 𝐶𝐶𝐻𝐻 + 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 − (6.11)
Kesetimbangan reaksi digunakan untuk menentukan konsentrasi [H+] , [OH-] dan
𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 Sehingga, diperoleh :
2
𝐾𝐾2 �𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻− �
𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 = 3
(6.12)
𝐾𝐾1 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶=
3

𝐾𝐾𝑤𝑤 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶=
𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 − = 𝐾𝐾 3
(6.13)
2 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻− 3

𝐾𝐾𝑤𝑤
𝐶𝐶𝐻𝐻 + = 𝐶𝐶 (6.14)
𝑂𝑂𝑂𝑂−

81
Didalam praktek di industri penambahan promotor ke dalam larutan
karbonat-bikarbonat akan menaikkan laju reaksi. Beberapa peneliti telah mempelajari
kinetika reaksi absorpsi CO2 dengan absorben K2CO3 menggunakan promotor untuk
meningkatkan daya absorpsi. Xiong dkk. (2003) menggunakan promotor Lithium
Zirkonia dan Cullinane (2004) menggunakan promotor PZ serta Ghosh dkk. (2009)
menggunakan promotor H3BO3. Yi dkk. (2009) menggunakan promotor DEA, Qian
dkk. (2011) menggunakan promotor MDEA, Thee dkk. (2012) menggunakan promotor
MEA, Thee dkk. (2012) menggunakan promotor asam borat, Shen dkk. (2013)
menggunakan promotor arginine dan Amalia dkk. (2013) menggunakan promotor
DEA+MDEA.
Reaksi antara beberapa jenis promotor dengan CO2 akan dijelaskan berikut ini.
Penambahan promotor senyawa alkanolamine dalam hal ini senyawa MDEA,
reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut Cents dkk. (2005):
CO2 + MDEA + H2O ↔ MDEAH+ + HCO3- (6.15)
MDEAH+ + OH− ↔ MDEA + H2O (6.16)
MDEA berfungsi sebagai katalis homogen. Mekanisme katalis basa ditunjukkan sebagai
berikut:
𝑅𝑅3 𝑁𝑁 𝐻𝐻 − 𝑂𝑂 − 𝐻𝐻 𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖𝑖 𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝑁𝑁 + (6.17)
𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐
𝐶𝐶𝐶𝐶2 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3−
MDEA tidak dapat bereaksi secara langsung dengan CO2 tanpa keberadaan H2O
(Bishnoi, 2000).
Penambahan promotor asam borat, mekanisme absorpsinya asam borat terlebih
dahulu bereaksi dengan K2CO3 membentuk garam KBO2, yang merupakan katalis untuk
absorpsi gas CO2 (Ahmadi, 2008).

K 2 CO3 + 2H3 BO3 → 2KBO2 + CO2 + 3H2 O (6.18)

Menurut Thee et al,(2012), reaksi antara CO2 dengan asam borat adalah sebagai berikut
𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)3 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)−
4 + 𝐻𝐻
+
(6.19)
𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)− −
4 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 ↔ 𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)4 𝐶𝐶𝑂𝑂2 (6.20)

82
𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)4 𝐶𝐶𝑂𝑂2− + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐵𝐵(𝑂𝑂𝑂𝑂)2 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.21)
Reaksi antara CO2 dengan arginine adalah sebagai berikut (Shen et al, 2013) :
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝐻𝐻2 𝑁𝑁 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− 𝐾𝐾 + ↔ 𝐶𝐶 − 𝑂𝑂𝑂𝑂𝐻𝐻 + 𝐻𝐻𝐻𝐻 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− 𝐾𝐾 + (6.22)
𝐶𝐶 − 𝑂𝑂𝑂𝑂𝐻𝐻 + 𝐻𝐻𝐻𝐻 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− 𝐾𝐾 + + 𝐵𝐵 ↔ 𝐶𝐶 − 𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− 𝐾𝐾 + + 𝐵𝐵𝐻𝐻 + (6.23)

Reaksi (6.15), (6.20), dan (6.22) adalah langkah yang mengontrol untuk masing-masing
reaksi antara CO2 dengan promotor MDEA, asam borat dan arginine.
Menggunakan pendekatan yang sama seperti Pers. (3.9), persamaan laju reaksi
pseudo-first order untuk rAm (Danckwerts, 1970):
𝑟𝑟𝑝𝑝 = 𝑘𝑘𝑝𝑝 𝐶𝐶𝑝𝑝 �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � = 𝑘𝑘1𝑝𝑝 �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � (6.28)
dimana k2 adalah konstante laju rekasi pseudo- first-order. Pers. (6.7) dan (6.13)
menghasilkan laju reaksi overall pseudo-first order dari CO2 dengan hot potassium
carbonate dengan promotor dalam fasa liquida :
𝑟𝑟 = �𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 − + 𝑘𝑘𝑝𝑝 𝐶𝐶𝑝𝑝 ��𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � = 𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 �𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶2,𝑒𝑒 � (6.29)
dimana 𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 adalah konstante laju reaksi over-all first-order dan didefinisikan sebagai:
𝑘𝑘𝑜𝑜𝑜𝑜 = �𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝑘𝑘𝑝𝑝 𝐶𝐶𝑝𝑝 � (6.30)

6.2.2 Kinetika reaksi absorpsi CO2 kedalam larutan Alkanolamine


Peneliti terdahulu yang mengkaji kinetika absorpsi reaktif CO2 kedalam larutan
Amine diantaranya adalah Pacheco (1998) menggunakan pelarut MDEA; Xiao dkk.
(2000), menggunakan pelarut AMP + MEA; Lin dkk. (2008) sebagai absorben
MDEA+MEA; Paul dkk. ( 2009) sebagai absorben PZ+MDEA.
Terdapat beberapa mekanisme reaksi yang terjadi pada absorpsi 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dengan
larutan alkanolamines yaitu mekanisme zwitterion, mekanisme termolekular, dan
mekanisme hidrasi dengan katalis basa.

83
6.2.2.1 Mekanisme Reaksi Zwitterion
Mekanisme zwitterion pertama kali diusulkan oleh Caplow (1968) dan
diperkenalkan kembali oleh Danckwerts (1979). Dan zwitterion adalah suatu partikel
ionic yang netral yang terbentuk dari reaksi 𝐶𝐶𝑂𝑂2 dengan amine.
Mekanisme zwitterion untuk pembentukan carbamate adalah proses 2 step
(Dugas, Ross Edward, 2009):
o Pertama 𝐶𝐶𝐶𝐶2 bereaksi dengan amine membentuk zwitterion,
o Kedua: pengambilan proton oleh basa.
Pada contoh berikut air (H2O) bertindak sebagai basa. Secara sederhana,
mekanisme zwitterion ditunjukkan dengan pengambilan proton secara irreversible
berikut,

Mekanisme zwitterion dua tahap menghasilkan persamaan laju absorpsi 𝐶𝐶𝐶𝐶2 yang
ditunjukkan pada persamaan (3.31) berikut.
[𝐴𝐴𝐴𝐴][𝐶𝐶𝐶𝐶2 ]
𝑟𝑟𝐶𝐶𝐶𝐶2 = − 1 𝑘𝑘𝑟𝑟 (6.31)
+
𝑘𝑘𝑓𝑓 𝑘𝑘𝑓𝑓 ∑ 𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐵𝐵]

Basa bisa meliputi amine, 𝐻𝐻2 𝑂𝑂, dan OH–. Dalam beberapa sistim, 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 dan OH– dapat
memberikan efek yang nyata terhadap laju reaksi (Blauwhoff, Versteeg et al. 1983).
Laju reaksi pada persamaan (6.31) menunjukkan tingkat antara satu dan dua
terhadap konsentrasi amine.
Bila deprotonasi hampir spontan dibanding reaksi balik (𝑘𝑘𝑟𝑟 << 𝑘𝑘𝑏𝑏 [B]), dan
pembentukan zwitterion adalah merupakan yang mengendali reaksi, Pers (3.31) menjadi:

𝑟𝑟 = −𝑘𝑘𝑓𝑓 [𝐴𝐴𝐴𝐴][𝐶𝐶𝐶𝐶2 ] (6.32)

Bila deprotonasi zwitterion adalah merupakan laju yang mengendali (kr >> kb(B)), Pers
(6.31) menjadi,

84
𝑘𝑘𝑓𝑓
𝑟𝑟𝐶𝐶𝐶𝐶2 = − [𝐴𝐴𝐴𝐴] [𝐶𝐶𝐶𝐶2 ] ∑ 𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐵𝐵] (6.33)
𝑘𝑘𝑟𝑟

Mekanisme zwitterion dapat juga diselesaikan dengan tahap protonasi basa reversible
berikut,

Ini akan mengarah pada bentuk persamaan laju reaksi berikut yang meliputi driving
force untuk reaksi balik carbamate menjadi amine dan𝐶𝐶𝐶𝐶2 .
𝑘𝑘𝑏𝑏
∑ [𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝑂𝑂 − ][𝐵𝐵𝐵𝐵 + ]
[𝐴𝐴𝐴𝐴] 𝐾𝐾𝑒𝑒𝑒𝑒.𝑏𝑏
𝑟𝑟𝐶𝐶𝐶𝐶2 = − 1 𝑘𝑘𝑟𝑟 �[𝐶𝐶𝐶𝐶2 ] − ∑ 𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐴𝐴𝐴𝐴][𝐵𝐵]
� (6.34)
+
𝑘𝑘𝑓𝑓 𝑘𝑘𝑓𝑓 ∑ 𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐵𝐵]

Konstanta 𝐾𝐾𝑒𝑒𝑒𝑒,𝑏𝑏 pada Pers (3.34) adalah konstanta kesetimbangan overall yang spesifik
untuk pathway basa.
Reaksi antara CO2 dengan primary dan secondary amine mengikuti mekanisme
zwitterion dengan bentuk zwitterion intermediate yang bereaksi dengan basa, B menjadi
bentuk carbamate dan atau bikarbonat.
Sebagai contoh, reaksi antara CO2 dengan MEA adalah sebagai berikut (Versteeg et al,
1996) :
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 ↔ 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− (6.35)
𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− + 𝐵𝐵 ↔ 𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑂𝑂− + 𝐵𝐵𝐻𝐻 + (6.36)
𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑅𝑂𝑂− + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.37)
Reaksi antara CO2 dengan DEA adalah sebagai berikut (Fei Yi et al, 2009) :
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝑅𝑅2 𝑁𝑁𝑁𝑁 ↔ 𝑅𝑅2 𝑁𝑁 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂 − (6.38)
𝑅𝑅2 𝑁𝑁 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂− + 𝑂𝑂𝐻𝐻 − ↔ 𝑅𝑅2 𝑁𝑁𝑁𝑁 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.39)
Reaksi antara gas CO2 dan larutan garam asam amino juga melalui mekanisme
pembentukan zwitterion (Portugal et al, 2007) karena garam asam amino memiliki gugus
amine primer atau sekunder.

85
6.2.2.2 Mekanisme reaksi Termolekular
Kebalikan dengan mekanisme zwitterion, Crooks dan Donnellan (1989) menyajikan
mekanisme Termolekular, yang menganggap reaksi berlangsung melalui kompleks
dengam ikatan lemah. Komplek tersebut dan mekanisme reaksi nya ditunjukkan berikut
ini,

Mekanisme ini sama dengan kasus batas dari mekanisme zwitterion dimana kr jauh lebih
besar dari pada 𝑘𝑘𝑓𝑓 Σ𝑘𝑘𝑏𝑏 [𝐵𝐵]. Laju absorpsi 𝐶𝐶𝐶𝐶2 identik dengan laju menggunakan
mekanisme zwitterion yang ditunjukkan pada Pers (6.33).
Sebagian besar kompleks dengan ikatan lemah ini pecah menghasilkan molekul-
molekul reagen kembali sedang sebagian kecil bereaksi dengan molekul kedua dari
amine atau air menghasilkan produk ion (Crooks and Donnellan 1989). Pembentukan
ikatan dan pemisahan muatan terjadi pada tahap kedua.
Karena mekanisme reaksi zwitterion dan termolecular memungkinkan adanya
pangkat konsentrasi Amine yang bervariasi, keduanya dapat difiting dengan data
eksperimen. Sehingga suatu persamaan laju reaksi yang efektif dapat dikembangkan
dengan menggunakan kedua mekanisme ini.
6.2.2.3 Mekanisme Hidrasi dengan katalis Basa
Pada reaksi amine tersier dengan 𝐶𝐶𝐶𝐶2, ion-ion amine terprotonasi dan bicarbonate
terbentuk. Reaksi ini konsisten dengan mekanisme satu tahap dan air harus ada agar
reaksi ini berlangsung. Menurut Donaldson dan Nguyen (Donaldson and Nguyen, 1980),
reaksi ini bisa dinyatakan dengan hidrasi 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dengan katalis basa,
𝑘𝑘2,𝑅𝑅3 𝑁𝑁 ,𝐾𝐾3
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝑅𝑅3 𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯⎯⎯� 𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝑁𝑁 + + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− (6.41)
Mekanisme yang paling banyak diterima ini berjalan melalui pembentukan ikatan
hydrogen antara amine tersier dan air, sehingga melemahkan ikatan O-H dalam air dan
menaikkan reaktivitas terhadap 𝐶𝐶𝐶𝐶2. Reaksi ini meliputi dua basa yaitu: air,

86
mengkatalisakan hidrolisa 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dan amine. Selain itu terjadi juga reaksi-reaksi berikut
dalam larutan,
𝑘𝑘2,𝑂𝑂𝑂𝑂 ,𝐾𝐾4
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝑂𝑂𝑂𝑂 − �⎯⎯⎯⎯� 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.42)
𝐾𝐾5
𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ↔ 𝐶𝐶𝑂𝑂3= + 𝐻𝐻 + (6.43)
𝐾𝐾6
𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝐻𝐻 + ↔ 𝑅𝑅3 𝑁𝑁 + 𝐻𝐻 + (6.44)
𝐾𝐾𝑤𝑤
� 𝐻𝐻 + + 𝑂𝑂𝐻𝐻 −
𝐻𝐻2 𝑂𝑂 � (6.45)

Reaksi-reaksi (6.41)-(6.42) terjadi secara parallel dengan laju tertentu yang


dinyatakn dengan konstanta kecepatan reaksi order dua kekanan 𝑘𝑘2,𝑅𝑅3𝑁𝑁 dan 𝑘𝑘2,𝑂𝑂𝑂𝑂 dan
konstanta kesetimbangan 𝐾𝐾3 dan 𝐾𝐾4 . Reaksi (6.43)-(6.45) adalah spontan karena hanya
meliputi perpindahan proton. Kinetika reaksi langsung 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dengan OH– sangat cepat
datanya telah terdapat diliteratur(Pinsent and Roughton, 1956; Pohorecki and Moniuk,
1988) dan pengaruhnya pada laju reaksi harus diperhitungkan dengan hati-hati karena
bisa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap laju reaksi yang teramati terutama
pada tekanan parsial 𝐶𝐶𝐶𝐶2 yang sangat rendah atau waktu kontak yang singkat
(Kierzkowska-Pawlak and Chacuk, 2010). Berdasar simulasi numerik yang dilakukan
oleh Rinker et al(1995) dan Glasscock and Rochelle (1989) hanya pada konsentrasi 𝐶𝐶𝐶𝐶2
yang rendah yang berkaitan dengan tekanan parsial 𝐶𝐶𝐶𝐶2 yang rendah reaksi hidroksida
mempunyai pengaruh yang besar dan harus diperhitungkan dalam penentuan konstanta
kecepatan reaksi order dua 𝑘𝑘2 . Bila tekanan parsial naik, ion hidroksida mengecil didalam
lapisan batas sehingga reaksi dengan Amine memberikan kontribusi utama pada laju
absorpsi.
Bila digunakan model kinetic yang disederhanakan yang menganggap bahwa
reaksi utama (6.41) 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dengan Amine Tersier adalah reversible dan kondisi absorpsi
dipilih sedemikian sehingga absorpsi terjadi pada regim reaksi order satu semu. Berdasar
anggapan ini laju total reaksi 𝐶𝐶𝐶𝐶2 kedalam larutan Amine Tersier bisa dinyatakan
dengan,

𝑘𝑘2,𝑅𝑅3 𝑁𝑁
𝑟𝑟𝑅𝑅3𝑁𝑁 = 𝑘𝑘2,𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁𝐻𝐻 + 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.46)
𝐾𝐾1

87
Pada keadaan setimbang laju reaksi kekanan sama dengan laju reaksi kekiri sehingga,
𝑘𝑘2,𝑅𝑅3 𝑁𝑁
𝑘𝑘2,𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2,𝑒𝑒 = 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁𝐻𝐻 + 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (6.47)
𝐾𝐾1
Bila kecepatan reaksi kekiri dianggap konstan maka laju reaksi bisa dinyatakan dengan,

𝑟𝑟𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 𝑘𝑘2,𝑅𝑅3𝑁𝑁 [𝑅𝑅3 𝑁𝑁]𝐵𝐵 ([𝐶𝐶𝐶𝐶2 ] − [𝐶𝐶𝐶𝐶2 ]𝑒𝑒 ) (6.48)

Bila reaksi dengan ion hidroksida diperhitungkan dan dilakukan anggapan yang sama,
maka kecepatan reaksi total dapat dinyatakan dengan,
𝑟𝑟𝑜𝑜𝑜𝑜 = �𝑘𝑘2,𝑅𝑅3𝑁𝑁 𝐶𝐶𝑅𝑅3𝑁𝑁 + 𝑘𝑘2,𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 ��𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2,𝑒𝑒 � (6.49)

Reaksi Amine tersier dengan katalis basa dapat juga dijelaskan dengan
mekanisme zwitterion seperti yang lalu,
𝑅𝑅3 𝑁𝑁 + 𝐶𝐶𝐶𝐶2 ↔ 𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂𝑂𝑂− (6.50)
− + −
𝑅𝑅3 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝑅𝑅3 𝑁𝑁 𝐻𝐻 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3 (6.51)

Pada prinsipnya, seperti dilaporkan oleh Jorgensen dan Faurholt (1954), reaksi langsung
antara 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dan amine tersier bisa terjadi pada pH sangat tinggi. Tapi pada pH lebih
rendah dari 12, laju reaksi ini dapat dibaikan. Pers (6.50) menyatakan reaksi amine
dengan 𝐶𝐶𝐶𝐶2 membentuk kompleks tak stabil. Pers (6.51 ) menyatakan reaksi hidrolisa
homogen dalam mana air bereaksi dengan kompleks tipe zwitterion mengahsilkan
bicarbonate
Amine tersier memiliki kapasitas pemuatan 𝐶𝐶𝐶𝐶2 (𝐶𝐶𝑂𝑂2 loading capacity) yang besar
yaitu 1 mol 𝐶𝐶𝐶𝐶2 /mol amine. Panas reaksi yang dilepas pada pembentukan bikarbonat
lebih rendah dari pada pembentukan carbamate, sehingga menghasilkan beaya regenerasi
pelarut yang rendah. Tapi pembentukan ion bicarbonate relative lebih lambat dari pada
pembenbtkan ion carbamate, sehingga kinetika penghilangan 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dengan amine tersier
umumnya lebih lambat dari pada amine primer dan sekunder (Vaidya and Kenig, 2007).
6.3 Data Kesetimbangan dan Kinetika Reaksi
Data kesetimbangan dan kinetika untuk reaksi gas CO2 dengan larutan Amine dan
potassium karbonat untuk beberapa sistim reaksi telah tersedia di literature (Haimour et
al.,1987; Jamal et al., 2006; Kierzkowska-Pawlak and Chacuk, 2010; Ko and Li, 2000;
Littel et al., 1990; Moniuk and Pohorecki, 2000; Pani et al., 1997; Rinker et al., 1995).
Tabel 6.1 memberikan rangkuman data konstanta kesetimbangan reaksi yang diperoleh
dari literature.

88
Table 6.1: Konstanta kesetimbangan reaksi
No Reaksi Kesetimbangan Persamaan Konstanta kesetimbangan , Pustaka
(Konstanta kesetimbangan dinyatakan
dalam kmol/m3, suhu dalam Kelvin)
1 𝐾𝐾1 3404.7 Fe Yi, 2009
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− log 𝐾𝐾1 = − + 14.843 − 0.03279 𝑇𝑇
𝑇𝑇
+ 𝐻𝐻 +
[𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ][𝐻𝐻 + ]
𝐾𝐾1 =
[𝐶𝐶𝑂𝑂2 ]
2 𝐾𝐾1 −12092.1 Edwards et
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾1 = − 36.7816 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 + 235.482
𝑇𝑇
+ 𝐻𝐻 + al,1978
[𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ][𝐻𝐻 + ]
𝐾𝐾1 =
[𝐶𝐶𝑂𝑂2 ]
3 𝐾𝐾2 −12431.7 Edwards et
𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ↔ 𝐶𝐶𝑂𝑂3= + 𝐻𝐻 + 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾2 = − 35.4819 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 + 220.067
𝑇𝑇
[CO−2 +
3 ][H ] al,1978
K3 =
[HCO3− ]

4 𝐾𝐾3,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷
𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐻𝐻 + �⎯⎯⎯� 𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 + 𝐻𝐻 + Perrin, 1965
[𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷][𝐻𝐻 + ] −3071.15
𝐾𝐾3,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾3,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = + 6.776904 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙
[𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐻𝐻 + ] 𝑇𝑇
− 48.7594
5 𝐾𝐾3,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝐻𝐻 + �⎯⎯⎯⎯� 𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾3,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 =
−8483.95
− 13.8328 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 Little et al,
𝑇𝑇
+ 𝐻𝐻 + 1990
+ 87.39717
[𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀][𝐻𝐻 + ]
𝐾𝐾3,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 =
[𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝐻𝐻 + ]
6 𝑅𝑅𝑅𝑅′ 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂− + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 1884.8 Kent and
𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾4,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 4.8255 −
𝐾𝐾4,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 𝑇𝑇
�⎯⎯⎯� 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− + 𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁 Eisenberg,
𝐶𝐶𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁 𝐶𝐶 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 1976
𝐾𝐾4,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 =
𝐶𝐶𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂𝑂𝑂 −
7 𝑅𝑅𝑅𝑅′ 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂 − + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 3090.83 Kent and
𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾4,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 6.69425 −
𝐾𝐾4,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 𝑇𝑇
�⎯⎯⎯� 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− + 𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁 Eisenberg,
𝐶𝐶𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 1976
𝐾𝐾4,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 =
𝐶𝐶𝑅𝑅𝑅𝑅′𝑁𝑁𝑁𝑁𝑂𝑂𝑂𝑂 −
8 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �
𝐾𝐾𝑤𝑤
� 𝐻𝐻 + + 𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝑙𝑙𝑙𝑙𝐾𝐾𝑤𝑤 =
−13445.9
− 22.4773 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 + 140.932 Edwards et
𝑇𝑇
[𝐻𝐻 + ][𝑂𝑂𝑂𝑂 − ] al,1978
𝐾𝐾𝑤𝑤 =
[𝐻𝐻2 𝑂𝑂]

89
Data kinetika reaksi antara 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dan larutan MDEA yang tersedia di literature
dirangkum pada Tabel (2.1). Umumnya disepakati bahwa amine tersier berkelakuan
sebagai katalis untuk reaksi hidrolisa 𝐶𝐶𝐶𝐶2. Tapi ada perbedaan pendapat didalam
literature mengenai interpretasi data kinetik. Hal ini menyebabkan perbedaan yang
relative tinggi dari nilai konstanta kecepatan reaksi kekanan untuk reaksi katalisa tersebut
yang berkisar dari 1.44 m3 kmol-1s–1 (Haimour et al., 1987) sampai 5.15 m3 kmol-1s–1
(Jamal et al., 2006) pada 293 K. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan
metoda eksperimen yang digunakan, asumsi yang digunakan, juga karena ketidak
konsistenan dari data fisik seperti kelarutan 𝐶𝐶𝐶𝐶2 dan data difusivitas yang digunakan
untuk interpretasi data laju absorpsi.

Table 6.2: Konstanta kecepatan reaksi


No Reaksi Persamaan kecepatan reaksi Pustaka
1 𝑘𝑘2,𝑂𝑂𝑂𝑂
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝑂𝑂𝑂𝑂 − �⎯⎯� 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 𝑘𝑘2,𝑂𝑂𝑂𝑂 = 4.31519 × 1013 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
6665.984
� Pincent,1956
𝑇𝑇
2 𝑘𝑘2,𝑂𝑂𝑂𝑂
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝑂𝑂𝑂𝑂 − �⎯⎯� 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 𝑘𝑘2,𝑂𝑂𝑂𝑂 = 4.33 × 1013 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
6874.5
� Fe Yi, 2009
𝑇𝑇
3 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 �⎯⎯⎯� 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− k 2,MEA = 9.77 × 1010 exp �−
4955.3
� Hikita et al,
T
1977
4 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀
𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 �⎯⎯⎯� 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂 − 5400 Versteeg dkk
k 2,MEA = 4.4 × 1011 exp �− �
T (1988)
5 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 3802.4 Aboudheir,
𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 �⎯⎯⎯� 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂 − k 2,MEA = 9.56 × 108 exp �− �
T
2006
6 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 3042.9 Thee et al,
𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 �⎯⎯⎯� 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂 − k 2,MEA = 2.62 × 108 exp �− �
T
2012
7 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 2808.1 Sema, 2012
𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 �⎯⎯⎯� 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂 − 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 9.15 × 107 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �
𝑇𝑇
8 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 3373.8 Edali et al,
𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 �⎯⎯⎯� 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂 − 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 5.127 × 108 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �
𝑇𝑇
2009
9 k2,DEA 1810.13 Lin et al,
R1 R 2 NH + CO2 �⎯⎯� R1 R 2 NH + COO− 𝑘𝑘2,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 1.8358 × 106 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �
𝑇𝑇
2009

90
10 k2,DEA
R1 R 2 NH + CO2 �⎯⎯� R1 R 2 NH + COO− 𝑘𝑘2,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 2.5715 × 106 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
1665.8
� Rinker et al,
𝑇𝑇
1996
11 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 8.741 × 1012 exp (−
8625
) Haimour et
T
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− al,1987
12 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 1.2919 × 109 exp (−
5760.56
) Little et al
T
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ,1990
13 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = .91 × 107 exp (−
4579
) Rinker et al
T
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ,1995
14 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 2.07 Pani et al
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 5912 ,1997
× 109 exp (− )
T
15 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 4.01 Ko and Li
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− 5400 ,2000
× 105 exp (− )
𝑇𝑇

Table 6.2: Konstanta kecepatan reaksi (lanjutan)


No Reaksi Persamaan kecepatan reaksi Pustaka
16 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 2.07 × 109 exp (−
5912.7
)
Kierzkowska-
T Pawlak and
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3−
Chacuk ,2010
17 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 1.78 × 1010 exp (−
6441.9
T
) Kierzkowska-
Pawlak et al ,2011
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3−
18 k2MDEA 6441.9 Rinker et al, 1995
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 1.78 × 1010 exp (− )
T
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3−
19 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 2.0 × 109 exp (−
5797.8
)
Jamal et al,2006
T
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3−
20 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 1.24 × 1016 exp (−
9567
)
Haikal dan
T Ayustiningrum,
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3−
2017
21 k2MDEA 14784 Setiawan, G.H.
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 = 7.13 × 1022 exp (− )
T dan Albar, A.A.,
+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3−
2018

91
22 k2MDEA
R 3 N + CO2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 �⎯⎯⎯� R 3 NH + 𝑘𝑘2,𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 = 8.741 × 1012 exp (−
8625
T
) Javier et al, 1990

+ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3−
23 (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁𝐻𝐻2 )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 = 4.408 × 1012 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
6250

Yu-Ming et al
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑇𝑇 (2011)
�⎯⎯⎯� (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂
24 (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁𝐻𝐻2 )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 = 1.943 × 107 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
5176

Gabrielsen et
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑇𝑇 al(2006)
�⎯⎯⎯� (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂
25 (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁𝐻𝐻2 )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 Xiao et al,2000
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 2438.898
�⎯⎯⎯� (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 = 3.9355 × 106 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �
𝑇𝑇
26 (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁𝐻𝐻2 )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 = 1.63 × 1011 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
5801.7

Mandal and
𝑘𝑘2,𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 𝑇𝑇 Bandyopadhyay
�⎯⎯⎯� (𝐶𝐶𝐻𝐻3 )2 𝐶𝐶(𝑁𝑁 + 𝐻𝐻2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂− )𝐶𝐶𝐻𝐻2 𝑂𝑂𝑂𝑂
2005
27 HNC4 H8 NH + CO2 5712 Sun,et al,2005
𝑘𝑘2,𝑃𝑃𝑃𝑃 = 4.49 × 1012 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �
k2,PZ
�⎯� H2 N + C4 H8 NCOO− 𝑇𝑇

28 HNC4 H8 NH + CO2 5712 Edali et al, 2010


𝑘𝑘2,𝑃𝑃𝑃𝑃 = 4.49 × 1012 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �
k2,PZ
�⎯� H2 N + C4 H8 NCOO− 𝑇𝑇

29 (𝐶𝐶2 𝐻𝐻5 )2 𝑁𝑁𝐶𝐶4 𝐻𝐻8 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂


𝑘𝑘2,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 4.01 × 1013 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−
7527

Sema (2012)
𝑘𝑘2,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 𝑇𝑇
�⎯⎯⎯� (𝐶𝐶2 𝐻𝐻5 )2 𝑁𝑁𝐻𝐻 + 𝐶𝐶4 𝐻𝐻8 𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3−
30 CO2 + NH2 C2 H4 NHC2 H4 NH2
𝑘𝑘2,𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 2.6883 × 1015 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �
−2614.5

Hartono et al,
k2,DETA 𝑇𝑇 2009
�⎯⎯⎯� NH2 C2 H4 NHC2 H4 N + H2 COO−
31 𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝑁𝑁𝑁𝑁𝐶𝐶4 𝐻𝐻8 𝑁𝑁𝐶𝐶2 𝐻𝐻4 𝑁𝑁𝐻𝐻2 47308 Paul et al, 2009
𝑘𝑘2,𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 = 4.5 × 1012 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �− �
𝑘𝑘2,𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃𝑃 𝑇𝑇
�⎯⎯⎯� 𝑁𝑁𝑁𝑁𝐶𝐶4 𝐻𝐻8 𝑁𝑁𝐶𝐶2 𝐻𝐻4 𝑁𝑁𝐻𝐻2+ 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂−

Table 6.3: Konstanta kecepatan reaksi CO2 dengan Garam Asam Amino

No Amino acid Metoda Konstanta kec reaksi Referensi

1 GlysineK Stirred cell −5800 Portugal et


𝑘𝑘2 = 2.81 × 1013 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
𝐶𝐶2 𝐻𝐻5 𝑁𝑁𝑂𝑂2 reactor 𝑇𝑇 al(2007)
𝑝𝑝𝑝𝑝𝑎𝑎
= 9.58
2 GlysineK Wetted wall −5434 Thee et al (2014)
𝑘𝑘2 = 1.22 × 1012 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
column 𝑇𝑇
3 GlysineK Stopped flow −5459 Guo et al(2013)
𝑘𝑘2 = 1.24 × 1012 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
𝑇𝑇
4 GlysineK Stopped flow −5508 Penny and Ritter
𝑘𝑘2 = 8.51 × 1011 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
𝑇𝑇

92
(1983)

5 GlysineK Wetted wall 3634 Pudjiastuti et al


𝑘𝑘2 = 1.419 × 1012 exp �− �
column 𝑇𝑇 (2015)

6 GlysineK Wetted wall 5137.6 Elhosane et al,


𝑘𝑘2 = 8.113 × 1018 exp �− �
column 𝑇𝑇 (2016)

7 GlysineK Wetted wall 10443.7 Setiawan, G.H. dan


𝑘𝑘2 = 4.68 × 1019 exp �− �
column 𝑇𝑇 Albar, A.A., 2018

8 TaurineNa Stopped flow −5780 Sodiq et al (2014)


𝑘𝑘2 = 5.44 × 1011 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
𝐶𝐶2 𝐻𝐻7 𝑁𝑁𝑂𝑂3 𝑆𝑆 𝑇𝑇
𝑝𝑝𝑝𝑝𝑎𝑎
= 9.06
9 TaurineK Wetted wall −6074 Wei et al (2014)
𝑘𝑘2 = 2.7 × 1012 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
column 𝑇𝑇
10 ThreonineK Stirred cell −4883 Hwang et al
𝑘𝑘2 = 3.95 × 109 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
𝐶𝐶4 𝐻𝐻9 𝑁𝑁𝑂𝑂3 reactor 𝑇𝑇 (2010)
𝑝𝑝𝑝𝑝𝑎𝑎
= 8.96
11 ArginineK Wetted wall −8645 Shen et al (2013)
𝑘𝑘2 = 2.58 × 1016 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
𝐶𝐶6 𝐻𝐻14 𝑁𝑁4 𝑂𝑂2 column 𝑇𝑇
𝑝𝑝𝑝𝑝𝑎𝑎
= 12.10
12 ArginineK Wetted wall Haikal dan
𝐶𝐶6 𝐻𝐻14 𝑁𝑁4 𝑂𝑂2 column −7752.8 Ayustiningrum,
𝑘𝑘2 = 5.86 × 1015 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � � 2017
𝑝𝑝𝑝𝑝𝑎𝑎 𝑇𝑇
= 12.10
13 ArginineK Wetted wall Sitorus et al
𝐶𝐶6 𝐻𝐻14 𝑁𝑁4 𝑂𝑂2 column −12296 (2017)
𝑘𝑘2 = 1.91 × 1025 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
𝑝𝑝𝑝𝑝𝑎𝑎 𝑇𝑇
= 12.10
14 L-Glutamic Wetted −5857.5 Haikal dan
𝑘𝑘2 = 1.09 × 1013 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
AcidK Column 𝑇𝑇 Ayustiningrum,
2017

15 L-Glutamic Wetted −8020 Setiawan, G.H. dan


𝑘𝑘2 = 3.82 × 1016 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � �
AcidK Column 𝑇𝑇 Albar, A.A., 2018

6.4 Kelarutan gas-gas dalam larutan elektrolit

93
Pada proses absorpsi dengan reaksi dianggap terjadi kesetimbangan uap-liquida
untuk gas yang terserap pada bidang batas gas-liquida. Dalam hal ini, konsentrasi suatu
gas pada bidang batas ini sama dengan kelarutannya pada tekanan yang ada pada
permukaan liquida. Hukum Henry sudah cukup baik dalam menentukan kelarutan ini.
Hukum Henry dapat ditulis sebagai berikut:
𝑝𝑝𝐴𝐴𝐴𝐴 = 𝐻𝐻𝐻𝐻 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 (6.52)
Atau,
𝑝𝑝𝐴𝐴𝐴𝐴
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 = = 𝑘𝑘𝐻𝐻 𝑝𝑝𝐴𝐴𝐴𝐴 (6.53)
𝐻𝐻𝐻𝐻

dimana He adalah konstanta Henry, 𝑘𝑘𝐻𝐻 adalah kebalikan konstanta Henry, 𝑝𝑝𝐴𝐴𝐴𝐴 adalah
tekanan partial gas dan CAi adalah konsentrasi A yang terlarut dalam gas pada keadaan
setimbang. Nilai 𝑘𝑘𝐻𝐻 untuk berbagai gas bergantung pada suhu dan dinyatakan dengan
persamaan berikut,
−∆𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝐻𝐻 1 1
𝑘𝑘𝐻𝐻 = 𝑘𝑘𝐻𝐻𝑟𝑟 × 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 � 𝑅𝑅
�𝑇𝑇 − 𝑇𝑇 �� (6.54)
𝑟𝑟

Atau,
−∆𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝐻𝐻 1 1
ln 𝑘𝑘𝐻𝐻 = ln 𝑘𝑘𝐻𝐻𝑟𝑟 + � 𝑅𝑅
� �𝑇𝑇 − 𝑇𝑇 � (6.55)
𝑟𝑟

−∆𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝐻𝐻
Dengan 𝑇𝑇𝑟𝑟 = 298 𝐾𝐾. Nilai 𝑘𝑘𝐻𝐻𝑟𝑟 dan � 𝑅𝑅
� untuk berbagai gas ditunjukkan pada Tabel

6.4
Untuk gas yang terlarut dalam suatu larutan elektrolit, harga konstanta Henry
didapatkan dari persamaan:
𝐻𝐻𝐻𝐻
log �𝐻𝐻𝐻𝐻 0 � = ℎ 𝐼𝐼 (6.56)

dimana He0 adalah konstanta Henry untuk sistim gas-air dan I adalah kekuatan ionik dari
larutan yang diperoleh dari:
1
𝐼𝐼 = 2 ∑𝑖𝑖 𝐶𝐶𝑖𝑖 𝑧𝑧𝑖𝑖2 (6.57)

Ci merupakan konsentrasi ion-ion yang valensinya zi. Besaran h meliputi spesies ion
positif, ion negatif dan spesies gas:
ℎ = ℎ+ + ℎ− + ℎ𝐺𝐺 (6.58)

Dalam campuran elektrolit, harga He dapat diperoleh dari (Danckwerts,1970):

94
𝐻𝐻𝐻𝐻
log �𝐻𝐻𝐻𝐻 0 � = ℎ1 𝐼𝐼1 + ℎ2 𝐼𝐼2 + ⋯ (6.59)

Pengaruh suhu terhadap parameter spesifik gas ℎ𝐺𝐺 dinyatakan dengan persamaan berikut
yang diperoleh oleh Weisenberger dkk. (1996).
ℎ𝐺𝐺 = ℎ𝐺𝐺,0 + ℎ𝑇𝑇 (𝑇𝑇 − 298.15) (6.60)
Dimana hT adalah koreksi temperatur. Nilai dari h+, h-, hG,0 dan hT dapat dilihat pada
Tabel 6.5 dan Tabel 6.6

Tabel 6.4, Konstanta Henry gas gas dengan air sebagai pelarut
No Gas 𝑀𝑀 −∆𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 𝐻𝐻 Pustaka
𝑘𝑘𝐻𝐻𝑟𝑟 � � � � , [𝐾𝐾]
𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑅𝑅
1 CO2 3.34 × 10−2 2400 Sander et al, 2011
2 𝐶𝐶𝐶𝐶 9.83 × 10−4 1300 Sander et al, 2011
3 N2 6.1 × 10−4 1300 Kavanaugh dan Trussell, 1980
4 N2O 2.5 × 10−2 2600 Lide dan Frederikse,1995
5 NO 1.9 × 10−3 1400 Lide dan Frederikse, 1995
6 NO2 1.2 × 10−2 2500 Chamcides, 1984
7 𝑂𝑂2 1.32 × 10−3 1700 Sander et al, 2011
8 𝑂𝑂3 1.013 × 10−2 2800 Sander et al, 2011
9 𝐻𝐻2 7.903 × 10−4 530 Fernandez-Prini et al, 2003
10 𝐶𝐶𝐶𝐶2 9.32 × 10−2 2000 Sander et al, 2011
11 𝐵𝐵𝐵𝐵2 7.3 × 10−1 4400 Sander et al, 2011
12 𝐼𝐼2 2.837 3900 Fogg and Sangster, 2003
13 𝐻𝐻2 𝑆𝑆 1.013 × 10−1 2100 Sander et al, 2011
14 𝑆𝑆𝑆𝑆2 1.317 2900 Sander et al, 2011
15 𝑆𝑆𝑆𝑆6 2.43 × 10−4 3100 Warneck and William 2012
16 𝐻𝐻𝐻𝐻 3.95 × 10−4 15 Fernandez-Prini et al, 2003
17 𝑁𝑁𝑁𝑁 4.56 × 10−4 430 Fernandez-Prini et al, 2003
18 𝐴𝐴𝐴𝐴 1.42 × 10−3 1700 Warneck and William 2012
19 𝐶𝐶𝐻𝐻4 1.42 × 10−3 1600 Sander et al, 2011
20 𝐶𝐶2 𝐻𝐻6 1.93 × 10−3 2400 Sander et al, 2011

95
21 𝐶𝐶3 𝐻𝐻8 1.52 × 10−3 2700 Sander et al, 2011
22 𝐶𝐶4 𝐻𝐻10 1.22 × 10−3 3100 Sander et al, 2011

Tabel 6.5 Harga Ion Positif dan Ion Negatif Masing-Masing Ion
(Weisenberger dkk., 1996; Hatcher dkk., 2013)

Kation ℎ𝑖𝑖 , 𝑚𝑚3 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 −1 Anion ℎ𝑖𝑖 , 𝑚𝑚3 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 −1


𝐻𝐻 + 0 𝑂𝑂𝑂𝑂 − 0.0839
𝐿𝐿𝐿𝐿 + 0.0754 𝐻𝐻𝐻𝐻 − 0.0851
𝑁𝑁𝑁𝑁+ 0.1143 𝐹𝐹 − 0.092
𝐾𝐾 + 0.0922 𝐶𝐶𝐶𝐶 − 0.0318
𝑁𝑁𝑁𝑁4+ 0.0556 𝐵𝐵𝐵𝐵 − 0.0269
𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 + 0.0550 𝐼𝐼 − 0.0039
𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 + 0.0470 𝑁𝑁𝑁𝑁2− 0.0795
𝑀𝑀𝑀𝑀2+ 0.1694 𝑁𝑁𝑁𝑁3− 0.0128
𝐶𝐶𝐶𝐶2+ 0.1762 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶3− 0.1348
𝑆𝑆𝑆𝑆 2+ 0.1881 𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵3− 0.1116
𝐵𝐵𝐵𝐵2+ 0..2168 𝐼𝐼𝐼𝐼3− 0.0913
𝑀𝑀𝑀𝑀2+ 0.1463 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶4− 0.0492
𝐹𝐹𝐹𝐹 2+ 0.1523 𝐼𝐼𝐼𝐼4− 0.1464
𝐶𝐶𝐶𝐶2+ 0.1680 𝐶𝐶𝐶𝐶 − 0.0679
𝑁𝑁𝑁𝑁 2+ 0.1654 𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆𝑆 − 0.0627
𝐶𝐶𝐶𝐶2+ 0.1675 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− 0.0967
𝑍𝑍𝑍𝑍2+ 0.1537 𝐻𝐻2 𝑃𝑃𝑂𝑂4− 0.0906
𝐶𝐶𝐶𝐶2+ 0.1869 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻3− 0.0549
𝐴𝐴𝐴𝐴 3+ 0.2174 𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑂𝑂− 0.0540
𝐹𝐹𝐹𝐹 3+ 0.1161 𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝑂𝑂− 0.0430
𝐶𝐶𝐶𝐶 3+ 0.0648 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴− 0.1452
𝐶𝐶𝑂𝑂32− 0.1423
𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂42− 0.1499
𝑆𝑆𝑂𝑂32− 0.1270
𝑆𝑆𝑂𝑂42− 0.1117
𝑃𝑃𝑂𝑂43− 0.2119

96
Tabel 6.6 Nilai dari Parameter Gas (Weisenberger dkk., 1996)

Gas ℎ𝐺𝐺,0 𝑚𝑚3 . 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 −1 ℎ𝑇𝑇 , 10−3 𝑚𝑚3 . 𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘𝑘 −1 𝐾𝐾 −1


𝐻𝐻2 -0.0218 -0.299
𝐻𝐻𝐻𝐻 -0.0353 +0.464
𝑁𝑁𝑁𝑁 -0.0080 -0.913
Ar 0.0057 -0.485
Kr -0.0071 -
Xe 0.0133 -0.329
Rn 0.0447 -0.138
𝑁𝑁2 -0.0010 -0.605
𝑂𝑂2 0.0000 -0.334
NO 0.0060 -
𝑁𝑁2 𝑂𝑂 -0.0085 -0.479
𝑁𝑁𝐻𝐻3 -0.0481 -
𝐶𝐶𝑂𝑂2 -0.0172 -0.338
𝐶𝐶𝐻𝐻4 0.0022 -0.524
𝐶𝐶2 𝐻𝐻2 -0.0159 -
𝐶𝐶2 𝐻𝐻4 0.0037 -
𝐶𝐶2 𝐻𝐻6 0.0120 -0.601
𝐶𝐶3 𝐻𝐻8 0.0240 -0.702
𝑛𝑛 − 𝐶𝐶4 𝐻𝐻10 0.0297 -0.726
𝑆𝑆𝑂𝑂2 -0.0817 +0.275
𝐻𝐻2 𝑆𝑆 -0.0333 -

Perbadingan antara konstanta Henry sistim gas-air, 𝐻𝐻𝐻𝐻 0 , dan konstanta Henry sistim
gas-larutan elektrolit, 𝐻𝐻𝐻𝐻, disebut salting coefficient Setscenow (1892), 𝑆𝑆𝑖𝑖 . Untuk larutan
amine terdapat dua efek salting yaitu pengaruh keberadaan molekul amine (salting in,
menaikkan kelarutan gas) dan pengaruh keberadaan ion ion (salting out, menurunkan
kelarutan gas) yang dinyatakan dengan persamaan (6.61)

97
ln(𝑆𝑆𝑖𝑖 ) = 𝑘𝑘𝐶𝐶𝑎𝑎 − 2.302585 ℎ 𝐼𝐼 (6.61)
Suku kedua sisi kanan pada persamaan (6.61) menyatakan efek salting out dengan
keberadaan ion ion dalam larutan dan sudah diraikan sebelumnya sebagaimana
dinyatakan pada persamaan (6.56). Suku pertama sisi kanan pada persamaan (6.61)
menyatakan efek salting in dengan keberadaan molekul amine. Beberapa peneliti
terdahulu telah mengkorelasikan parameter salting in, 𝑘𝑘, sebagai fungsi suhu untuk
beberapa pasang amine dan gas hydrocarbon (Carrol dan Mather,1997; Jou, Critchfield
dan Mather,2002; Jou dan Mather, 2004) dimana 𝑘𝑘 = 𝑎𝑎 + 𝑏𝑏 𝑡𝑡 ( 0𝐶𝐶 ) dengan nilai
parameter a dan b ditunjukkan pada Tabel 6.7 dengan 𝑘𝑘 dinyatakan dalam liter/mole.

Tabel 6.7 Nilai dari parameter 𝑎𝑎 dan 𝑏𝑏 untuk 4 hidrocarbon

Methane Ethane Popane Propylene


Amine 𝑎𝑎 𝑏𝑏 𝑎𝑎 𝑏𝑏 𝑎𝑎 𝑏𝑏 𝑎𝑎 𝑏𝑏
MEA 0.0346 0.00053 0.0509 0.00141 0.153 0 0.0845 0.00084
DEA 0.038 0.000899 0.1260 0.00148 0.183 0.00169 0.0942 0.00176
DGA 0.0252 0.00233 0.219 0.00228 0.0412 0.00339
MDEA 0.221 0.00344 0.0100 0.00600
DIPA 0.127 0.00850 0.22 0

6.4 Paramater Perpindahan Massa


Untuk dapat menganalisa dan memperkirakan tahanan perpindahan massa pada
fenomena absorpsi reaktif diperlukan parameter perpindahan massa. Parameter
perpindahan massa meliputi koefisien difusi dan koefisien perpindahan massa. Koefisien
difusi menunjukkan ukuran mobilitas perpindahan massa secara difusi suatu komponen
didalam campuran. Sedangkan koefisien perpindahan massa adalah suatu parameter yang
digunakan untuk memperkirakan laju perpindahan massa antar fasa dengan mekanisme
difusi, konveksi dan turbulen. Koefisien perpindahan massa juga betrgantung pada
koefisien dufusi komponen yang berpindah. Selain itu juga bergantung pada geometri
sistim atau tipe alat.

Koefisien difusi dalam fasa gas untuk berbagai sistim biner ditunjukkan pada
Tabel 6.8

98
Tabel 6.8 Koefisien difusi dalam fasa gas
No Pasangan gas Temperatur, K Koefisien difusi,
𝑚𝑚2 . 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
1 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝑁𝑁2 𝑂𝑂 273.2 9.6 × 10−6
2 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶 273.2 1.39 × 10−5
3 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶 273.2 1.44 × 10−5
4 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶 288.2 1.58 × 10−5
5 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐶𝐶𝐶𝐶 298.2 1.65 × 10−5
6 𝐴𝐴𝐴𝐴 − 𝑂𝑂2 293.2 2.00 × 10−5
7 𝐻𝐻2 − 𝑆𝑆𝐹𝐹6 298.2 4.2 × 10−5
8 𝐻𝐻2 − 𝐶𝐶𝐻𝐻4 298.2 7.26 × 10−5
9 Aceton − udara 273.2 8.16 × 10−6
10 𝑁𝑁𝐻𝐻3 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 2.13 × 10−5
11 𝐶𝐶6 𝐻𝐻6 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 7.65 × 10−6
12 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶4 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 1.36 × 10−5
13 𝐻𝐻2 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 6.05 × 10−5
14 𝐶𝐶𝐻𝐻4 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 1.55 × 10−5
15 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 1.31 × 10−5
16 𝑛𝑛𝐶𝐶8 𝐻𝐻18 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 5.00 × 10−6
17 𝑆𝑆𝑂𝑂2 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 1.02 × 10−5
18 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 − 𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢𝑢 273.2 2.17 × 10−5

Koefisien difusi dalam fasa gas dapat diestimasi menggunaan persamaan Fuller,
Sxhettler, Giddings yang dinyatakan pada persamaan (6-62)

1/2
1 1
1.013×10−7 𝑇𝑇 1.75 � + �
𝑀𝑀𝐴𝐴 𝑀𝑀𝐵𝐵
𝐷𝐷𝐴𝐴𝐴𝐴 = 2 (6.62)
𝑃𝑃�(∑ 𝜃𝜃𝐴𝐴 )1/3 +(∑ 𝜃𝜃𝐵𝐵 )1/3 �

Tabel 6.9, Volume difusi atomic, struktural dan molekul

99
Koefisien volume difusi atom dan structural
C 16.5 (Cl) 19.5
H 1.98 (S) 17.0
O 5.48 Lingkar aromatik/heterocyclic -20.2
(N) 5.69

Volume difusi molekul-molekul sederhana


H2 7.07 CO 18.9
D2 6.7 CO2 26.9
He 2.88 N2O 35.9
N2 17.9 NH3 14.9
O2 16.6 H2O 12.7
Udara 20.1 (CCl2F2) 114.8
Ar 16.1 (SF6) 69.7
Kr 22.8 (Cl2) 37.7
(Xe) 37.9 (Br2) 67.2
Ne 5.59 (SO2) 41.1

Koefisien difusi dalam fasa cair untuk berbagai pasang komponen dapat dilihat pada
Tabel 6.10. Koefisien difusi dalam fasa cair dapat diestimasi dari persamaan Wilke and
Chang (1955),

(∅𝑀𝑀𝐵𝐵 )1/2 𝑇𝑇
𝐷𝐷𝐴𝐴𝐴𝐴 = 7.4 × 10−12 𝜇𝜇𝑉𝑉𝐴𝐴0.6
(6.63)

Dimana 𝐷𝐷𝐴𝐴𝐴𝐴 dinyatakan dalam m2/detik, μ dinyatakan dalam centipoise, 𝑉𝑉𝐴𝐴 dinyatakan
dalam cm3/gmole dan T dinyatakan dalam Kelvin.

100
Tabel 6.10 Koefisien difusi dala fasa cair
No Pasangan gas Temperatur, K Koefisien difusi,
𝑚𝑚2 . 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
1 𝑂𝑂2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.8 × 10−9
2 𝐶𝐶𝑂𝑂2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.77 × 10−9
3 𝐻𝐻2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 5.13 × 10−9
4 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝑂𝑂𝑂𝑂 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.28 × 10−9
5 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.35 × 10−9
6 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.51 × 10−9
7 𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.44 × 10−9
8 𝑁𝑁𝑁𝑁3 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.76 × 10−9
9 HN𝑂𝑂3 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 2.98 × 10−9
10 𝑆𝑆𝑂𝑂2 − 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 293.2 1.75 × 10−9
11 𝐶𝐶𝐶𝐶2 − 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝑂𝑂𝑂𝑂 298.2 5.13 × 10−9
12 𝑁𝑁𝐻𝐻4 − 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝑂𝑂𝑂𝑂 293.2 2.12 × 10−9
13 𝐶𝐶𝐻𝐻3 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶3 𝐻𝐻6 𝑂𝑂 313.2 4.04 × 10−9
14 𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻 − 𝐶𝐶3 𝐻𝐻6 𝑂𝑂 298.2 3.77 × 10−9

Tabel 6.11, Volume molar atom dan senyawa

101
Volume
Volume molar
Atom atomic Struktur/Senyawa
3 (cm3/gmol)
(cm /gmol)
C 14,8 Lingkar, 3 atom -6,0
H 3,7 4 atom -8,5
O (kecuali berikut ) 7,4 5 atom -11,5
Bergabung dengan 6 atom -15,0
dua unsur lain Lingkar Naphthalene -30,0
dalam methyl ester 9,1 Lingkar Anthracene -47,5
dalam methyl ether 9,9
dalam ethyl ester 9,9 Udara 29,9
dalam ethyl ether 9,9 O2 25,6
dalam ester lain 11,0 N2 31,2
dalam ether lain 11,0 Br2 53,2
dalam asam (-OH) 12,0 Cl2 48,4
Bergabung dengan CO 30,7
S,P,N 8,3 CO2 34,0
N H2 14,3
Ikatan rangkap 15,6 H2O 18,8
Dalam amin primer 10,5 H2S 32,9
Dalam amin sekunder 12,0 NH3 25,8
Br 27,0 NO 23,6
Cl dalam RCHClR’ 24,6 N2O 36,4
Cl dalam RCl 21,6 SO2 44,8
F 8,7
I 37,0
S 25,6
P 27,0

Parameter perpindahan massa yang umum digunakan engineer untuk memprediksi


laju perpindahan massa antar fasa adalah koefisien perpindahan massa. Koefisien

102
perpindahan massa selain bergantung pada sifat fisika kimia bahan yang berpindah dan
medium dimana bahan berpindah, juga bergantung pada geometri sistim peralatan dan
karakteristik hidrodinamik nya. Selain parameter koefisien perpindahan massa laju
perpindahan massa ditentukan juga oleh luas perpindahan massa antar fasa yang
umumnya bergantung pada diameter gelembung. Pada pembahasan berikut diuraikan
parameter koefisien perpindahan massa sisi cair dan gas, dan luas perpindahan massa
antar fasa.
Koefisien perpindahan massa sisi cair dan gas dan juga luas perpindahan massa
antar fasa gas-cair untuk packed column dapat diperkirakan menggunakan korelasi yang
diperoleh Onda et al (1968)
𝐺𝐺0 0.7 𝜇𝜇𝐺𝐺 0.33 −2
𝑘𝑘𝐺𝐺 = 5.23(𝑎𝑎 𝑇𝑇 𝐷𝐷𝐺𝐺 ) �𝑎𝑎 � �𝜌𝜌 � �𝑎𝑎 𝑇𝑇 𝑑𝑑𝑝𝑝 � (6.64)
𝑤𝑤 𝜇𝜇𝐺𝐺 𝐺𝐺 𝐷𝐷𝐺𝐺

0.4 𝐿𝐿0 0.667 𝜇𝜇𝐿𝐿 −0.5 𝜌𝜌 −0.333


𝑘𝑘𝐿𝐿 = 0.0051�𝑎𝑎 𝑇𝑇 𝑑𝑑𝑝𝑝 � �𝑎𝑎 � �𝜌𝜌 � �𝜇𝜇 𝐿𝐿𝑔𝑔� (6.65)
𝑤𝑤 𝜇𝜇𝐿𝐿 𝐿𝐿 𝐷𝐷𝐿𝐿 𝐿𝐿

𝜎𝜎 0.75 𝐿𝐿0 0.1 𝑎𝑎 𝐿𝐿2 −0.05 𝐿𝐿20


0.2
𝑎𝑎𝑤𝑤 = 𝑎𝑎 𝑇𝑇 �1 − 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒 �−1.45 �𝜎𝜎𝑐𝑐 � �𝑎𝑎 � 𝑇𝑇 0
� 𝜌𝜌2 𝑔𝑔 � �𝑎𝑎 � �� (6.66)
𝐿𝐿 𝑇𝑇 𝜇𝜇𝐿𝐿 𝐿𝐿 𝑇𝑇 𝜌𝜌𝐿𝐿 𝜎𝜎𝐿𝐿

Pada penentuan luas perpindahan antar fasa menggunakan Pers(6.65) diperlukan data
luas permukaan spesifik packing dalam keadaan kering yang dapat diperoleh dari Tabel
6.12.
Tabel 6.12 Luas permukaan spesifik berbagai tipe packing
No Type packing Dry packing area, 𝑐𝑐𝑐𝑐2 /𝑐𝑐𝑐𝑐3
1 ½ in ceramic intalox saddles 4.8
2 ½ in ceramic Pall rings 4.2
3 5/8 in steel Pall rings 3.5
4 ½ in ceramic Raschig rings 3.7
5 1 in ceramic Pall rings 2.2
6 1 in ceramic Raschig rings 1.9
7 1 ½ in ceramic Raschig rings 1.3
8 1 in Intalox saddles 2.5

Nilai 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 untuk packed column juga bisa diestimasi dari korelasi oleh Sherwood dan
Holloway (1940),

103
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 𝐿𝐿 1−𝑛𝑛 𝜇𝜇 0.5
𝐷𝐷𝐴𝐴
= 𝛼𝛼 �𝜇𝜇� �𝜌𝜌𝐷𝐷 � (6.70)
𝐿𝐿

Konstanta α dan n pada Pers (6.69) untuk berbagai jenis packing diperoleh dari Tabel
6.13

Tabel 6.13 Nilai konstant α dan n pada pers (3.69) untuk bergai jenis packing
No Jenis Packing α n
1 2 in Raschig rings 80 0.22
2 1 ¼ in Raschig rings 90 0.22
3 1 in Raschig rings 100 0.22
4 ½ in Raschig rings 280 0.35
5 3/8 in Raschig rings 550 0.46
6 1 ½ in Berl saddles 160 0.28
7 1 in Berl saddles 170 0.28
8 ½ in Berl saddles 150 0.28
9 3 in spiral tile 110 0.28

Liquid hold-up didalam packed column diperoleh dari Buchanan (1967),


𝐿𝐿𝐿𝐿 𝐿𝐿2
∅𝐿𝐿 = 2.2 𝑔𝑔 𝑑𝑑2 𝜌𝜌
+ 1.8 𝑔𝑔 𝑑𝑑 (6.71)

Beberapa peneliti juga telah mempelajari karakteristik perpindahan massa untuk


peralatan absorber tipe plate (Scheffe dan Weiland, 1967, Andrew, 1961, dan
Calderbank, 1959 dan Calderbank dan Mooyoung, 1961). Type tray yang menjadi
perhatian khusus adalah valve tray, bubble-cap tray dan sieve tray.
Korelasi koefisien perpindahan massa sisi gas dan liquid dan juga luas permukaan
antar fasa gas-liquid untuk valve tray dapat diestimasi dari persamaan-persamaan berikut
yang didapat oleh Scheffe dan Weiland (1987).
𝑆𝑆ℎ𝐺𝐺 = 9.93 × 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐺𝐺0.865 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐿𝐿0.13 𝑊𝑊′0.389 𝑆𝑆𝑆𝑆𝐺𝐺0.5 (6.72)

𝑆𝑆ℎ𝐿𝐿 = 125 × 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐺𝐺0.684 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐿𝐿0.087 𝑊𝑊′0.051 𝑆𝑆𝑐𝑐𝐿𝐿0.5 (6.73)

104
𝑎𝑎 = 0.27 × 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐺𝐺0.375 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐿𝐿0.247 𝑊𝑊′0.515 (6.74)

Untuk plate absorber jenis bubble-cap plate, karakteristik perpindahan massanya


dipelajari oleh Andrew (1961) yang dinyatakan dengan persamaan-persamaan berikut,

1/2
k G = 7 u1/4 S −1/2 DG (6.75)
1/2
k L = 11 u1/4 S −1/2 DL (6.76)
a′′′ = 0.7 u1/2 S 5/6 (6.77)
Calderbank (1959) dan Calderbank dan Mooyoung (1961) mempelajari
karakteristik perpindahan massa untuk tipe absorber jenis sieve plates. Persamaan (6.77)
diperoleh oleh Calderbank (1959) untuk mengestimasi luas permukaan antar fasa
persatuan volume busa (froth)
u 0.775 uρ 0.125 gρ 1/3
a′′ = 0.38 �u � �ndμ� �dσ� (6.78)
t

Calderbank and Moo-Young (1961) memperoleh korelasi berikut untuk menaksir


koefisien perpindahan massa sisi liquid.
𝐷𝐷 2/3
𝑘𝑘𝐿𝐿 = 0.31(𝑔𝑔𝑔𝑔)1/3 � 𝜈𝜈𝐿𝐿� (6.79)

𝐷𝐷 1/2
𝑘𝑘𝐿𝐿 = 0.42(𝑔𝑔𝑔𝑔)1/3 � 𝜈𝜈𝐿𝐿� (6.80)

Pers(6.79) berlaku untuk gelembung gelembung kecil yang sifatnya sebagai bola-bola
rigid. Sedangkan Pers (6.80) berlaku untuk gelembung gelembung yang lebih besar yang
mempunyai permukaan yang mobile. Pada perancangan sieve tray, pers (6.79) yang lebih
direkomendasikan untuk mendapatkan perancangan yang aman karena memberikan nilai
𝑘𝑘𝐿𝐿 yang lebih kecil dibanding menggunakan pers (6.80)
Persamaan (6.79) dan (6.80) bisa digunakan untuk menaksir koefisien perpindahan
massa sisi liquid didalam agitated bubble-absorber. Bila diameter gelembung lebih besar
dari 2.5 mm, 𝑘𝑘𝐿𝐿 diperoleh dari pers (6.80), bila diameter gelembung lebih kecil dari 2.5
mm 𝑘𝑘𝐿𝐿 diperoleh dari pers (6.79). Calderbank (1958) membuat korelasi untuk menaksir
luas permukaan antar fasa pada agitated bubble absorber. Pada kecepatan pengadukan

105
0.7
𝑑𝑑2 𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑁𝑁𝑁𝑁 0.3
sedang yaitu bila � 𝜇𝜇
� � 𝑢𝑢 � < 20000, luas permukaan antar fasa diperoleh dari
0.7
𝑑𝑑2 𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑁𝑁𝑁𝑁 0.3
Pers (6.81), sedang pada kecepatan pengadukan cepat yaitu bila � 𝜇𝜇
� � 𝑢𝑢 � >

20000 , luas permukaan antare fasa diperoleh dari Pers (6.82)


1
′′ P0.4
V ρ
0.2 u 2
𝑎𝑎0 = 1.44 �u � (6.81)
σ0.6 t

0.7
2.3 𝑎𝑎′′ 𝑑𝑑2 𝑁𝑁𝑁𝑁 𝑁𝑁𝑁𝑁 0.3
log � 𝑎𝑎0 ′′
� = 1.95 × 10−5 � 𝜇𝜇
� � 𝑢𝑢 � (6.82)

𝑎𝑎′′ adalah luas permukaan antar fasa per satuan volume busa (froth). Hold up gas bisa
diperoleh dari Calderbank (1958) yang ditunjukkan pada Pers. (6.83).
𝑎𝑎′′ 𝑢𝑢 0.5
∅𝐺𝐺 = 𝑎𝑎 � � ∅0.5
𝐺𝐺 + 0.015𝑎𝑎′′ (6.83)
0 ′′ 𝑢𝑢 𝑡𝑡
𝑎𝑎′′
𝑎𝑎′ = 1−∅ (6.84)
𝐺𝐺

𝑎𝑎′ adalah luas permukaan antar fasa per satuan volume liquid
Kolom gelembung (bubble column) sering juga digunakan sebagai absorber, reaktor
kimia, bioreaktor, maupun peralatan untuk pengolahan air limbah. Pada kolom
gelembung, gas dialirkan masuk kebagian bawah kolom liquid, tidak ada pengadukan
selain yang diakibatkan oleh aliran gas. Parameter perancangan penting untuk kolom
gelembung adalah gas holdup, luas permukaan antar fasa gas-liquid, koefisien
perpindahan massa sisi liquid dan gas. Banyak peneliti peneliti mempelajari karakteristik
perpindahan massa dan karakteristik hidrodinamik bubble co0lumn antara lain
Calderbank dan Lochiel (1964), Calderbank dan Patra (1966), Calderbank dkk (1970),
Hughmark (1967), Grund dkk(1992), Akita dan Yoshida (1973), Akita dan Yoshida
(1974), Akita (1987). Hughmark (1967) memberikan korelasi untuk gas holdup didalam
bubble column yang dinyatakan dengan persamaan,
0.665164
1 72 1/3
∅𝐺𝐺 = 0.031915 × �𝑢𝑢 �𝜌𝜌 × 𝜎𝜎
� � (6.85)

106
DAFTAR NOTASI

𝑎𝑎 Luas permukaan antar-fasa per satu satuan volume packing, cm-1


𝑎𝑎′ Luas permukaan antar - fasa per satu satuan volume liquida, cm-1
A Luas permukaan total antar-fasa, cm2
𝐶𝐶𝑘𝑘 Konsentrasi komponen k dalam larutan, 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚. 𝑐𝑐𝑐𝑐−3
𝐶𝐶𝐴𝐴 Konsentrasi gas terlarut A dalam lapisan batas, gmole/cm3
𝐶𝐶𝐴𝐴0 Konsentrasi gas terlarut A dalam badan liquid, gmole/cm3
��� ∞
𝐶𝐶𝐴𝐴 Transformasi Laplace dari pada CA yaitu ���
𝐶𝐶𝐴𝐴 = 𝑠𝑠 ∫0 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 Konsentrasi gas terlarut A pada antar-fasa yang berkesetimbangan
dengan gas pada antar-fasa, gmole/ cm3
𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 Konsentrasi A berkesetimbangan dengan badan liquid, gmole/ cm3
𝐶𝐶𝐵𝐵 Konsentrasi reaktan B dalam lapisan batas, gmole/cm3
𝐶𝐶𝐵𝐵0 Konsentrasi reaktan B dalam badan liquid, gmole/cm3
��� ∞
𝐶𝐶𝐵𝐵 Transformasi Laplace dari pada CB, yaitu ���
𝐶𝐶𝐵𝐵 = 𝑠𝑠 ∫0 𝐶𝐶𝐵𝐵 𝑒𝑒 −𝑠𝑠𝑠𝑠 𝑑𝑑𝑑𝑑
𝐶𝐶𝑃𝑃 Konsentrasi produk P dalam lapisan batas, gmole/cm3
𝐶𝐶𝑃𝑃0 Konsentrasi produk P dalam badan liquid, gmole/cm3
𝐷𝐷𝐴𝐴 Koefisien diffusi gas A, cm2/ det
𝐷𝐷𝐵𝐵 Koefisien diffusi reaktan B, cm2/ det
𝐷𝐷𝑃𝑃 Koefisien diffusi produk P, cm2/ det
E Enhancement factor
𝐸𝐸𝑖𝑖 Enhancement factor untuk reaksi spontan
2 𝑦𝑦 −𝑧𝑧 2
𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝑦𝑦) Fungsi kesalahan, didefinisikan 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝑦𝑦) = ∫ 𝑒𝑒 𝑑𝑑𝑑𝑑
√𝜋𝜋 0

𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝑦𝑦) Fungsi kesalahan komplemen, 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝑦𝑦) = 1 − 𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒(𝑦𝑦)


F Fluksi zat melalui bidang, gmole/ cm2.det.

107
G Kecepatan gas superfisial, gmole/ cm2 det.
h Tinggi wetted-wall Column

DAFTAR NOTASI

ℎ+ , ℎ− , ℎ𝐺𝐺 Kontribusi ion positif, ion negaif, dan gas terhadap faktor kelarutan, lt/
gmole
Ha �𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0
Bilangan Hatta didefinisikan dengan 𝐻𝐻𝐻𝐻 =
𝑘𝑘𝐿𝐿

𝐻𝐻𝐻𝐻′ 𝜋𝜋
Didefinisikan 𝐻𝐻𝑎𝑎′ = �4 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝑡𝑡

He Konstanta Henry, PA/ CAi, atm cm3/ gmole


I Kekuatan ionik, g ion/ lt
k Konduktivitas termal liquid, cal/(cm 0C det)
𝑘𝑘1 Konstanta kecepatan reaksi orde satu untuk reaksi kekanan, det-1
𝑘𝑘−1 Konstanta kecepatan reaksi orde satu untuk reaksi kekiri, det-1.
𝑘𝑘2 Konstanta kecepatan reaksi orde 2, lt/ (gmole det) atau cm3/ (gmole det)
𝑘𝑘𝑐𝑐 Konstanta kecepatan reaksi katalitik, lb/ (gmole det) atau cm3/ (gmole
det
𝑘𝑘𝐺𝐺 Koefisien perpindahan massa sisi gas, gmole/ (cm3 det atm)
𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 Koefisien perpindahan massa sisi gas untuk komponen A, gmole/ (cm3
det atm)
𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 Koefisien perpindahan massa sisi gas untuk komponen B, gmole/ (cm3
det atm)
𝑘𝑘𝐺𝐺 ′ Koefisien perpindhan massa sisi gas, cm/det
𝑘𝑘𝐿𝐿 Koefisien perpindahan massa sisi liquid, cm/ det.
𝑘𝑘𝐿𝐿𝐿𝐿 Koefisien perpindahan massa sisi liquid untuk komponen A, cm/ det.
K Konstanta kesetimbangan gmole/liter

108
𝐾𝐾1 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂− 𝐶𝐶 +
3 𝐻𝐻
Konstanta Kesetimbangan 𝐾𝐾1 = 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2

𝐾𝐾2 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂= 𝐶𝐶
3 𝐻𝐻+
Konstanta Kesetimbangan 𝐾𝐾2 = 𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂−
3

𝐾𝐾𝑊𝑊 Konstanta air yaitu 𝐾𝐾𝑊𝑊 = 𝐶𝐶𝐻𝐻 + 𝐶𝐶𝑂𝑂𝐻𝐻 − (gmole / lt) 2

DAFTAR NOTASI

𝑙𝑙 Liquid hold -up, volume liquid per satuan volume packing


M Berat molekul
𝑃𝑃𝐴𝐴 Tekanan parsial A didalam badan gas, atm.
𝑃𝑃𝐵𝐵 Tekanan parsial B didalam badan gas, atm.
𝑃𝑃𝐴𝐴𝐴𝐴 Tekanan parsial A pada antar-fasa gas-liquid, atm.
q Laju absorpsi total, gmoles/detik atau perbandingan konsentrasi
yaitu CB0/CAe
Q Jumlah gas yang diserap per satu satuan luas dalam waktu kontak t,
gmoles/ cm2.
𝑄𝑄0 Jumlah gas yang akan diserap seandainya tak ada pengurangan reaktan
dalam fasa liquid.
𝑄𝑄𝑝𝑝ℎ𝑦𝑦𝑦𝑦 Jumlah mole gas yang terserap per satuan luas permukaan antar fasa
untuk absorpsi fisik (tampa reaksi kimia)
𝑄𝑄𝑟𝑟𝑟𝑟 Jumlah mole gas yang terserap per satuan luas permukaan antar fasa
untuk absorpsi dengan reaksi kimia
r Kecepatan reaksi A per satuan volume, gmole/(cm3. detik) atau
perbandingan koefisien diffusi yaitu DB/DA
𝑟𝑟𝑓𝑓 Kecepatan reaksi kekanan, gmole/ (cm2 det)
𝑟𝑟𝑠𝑠 Kecepatan reaksi kekiri, gmole/(cm3 detik)
R Laju absorpsi per satuan luas pada waktu kontak t, gmole/(cm2 det)
atau konstanta gas
𝑅𝑅� Laju absorpsi rata-rata dalam waktu kontak t atau laju absorpsi ke dalam

109
liquida yang bergolak, gmole/(cm2 det)
𝑅𝑅𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓𝑓 Fluksi penyerapan gas persatuan luas permukaan antar fasa untuk
absorpsi fisik, gmole/(cm2 det)
𝑅𝑅𝑟𝑟𝑟𝑟 Fluksi penyerapan gas persatuan luas permukaan antar fasa untuk
absorpsi dengan reaksi kimia, gmole/(cm2 det)

DAFTAR NOTASI

s Fraksi kecepatan pembaharuan permukaan, det−1


t Waktu, detik
4 𝐷𝐷𝐴𝐴
𝑡𝑡𝑝𝑝 Waktu penetrasi yaitu 𝑡𝑡𝑝𝑝 = 𝜋𝜋𝑘𝑘𝐿𝐿2

T Suhu absolut, K
U Kecepatan seperfisial gas, cm/det.
𝑈𝑈𝑆𝑆 Kecepatan permukaan, cm/det
v Laju alir liquid, cm3/det.
x Jarak dibawah permukaan liquid, cm
y Jumlah moles produk P yang dibentuk karena reaksi satu mole A
z Jumlah moles reaktan B yang bereaksi dengan satu mole A.
Huruf Latin
γ Diffusivitas termal liquid yaitu 𝛾𝛾 = 𝜌𝜌𝜌𝜌
𝑘𝑘

𝛤𝛤𝐴𝐴 Perbandingan tahanan perpindahan massa dalam fasa liquid terhadap


tahanan dalam fasa gas untuk komponen A dan didefinisikan dengan
𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 𝐻𝐻𝐴𝐴
𝛤𝛤𝐴𝐴 =
𝑛𝑛 𝐶𝐶 𝑚𝑚−1
�𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐴𝐴𝐴𝐴

𝛤𝛤𝐵𝐵 Perbandingan tahanan perpindahan massa dalam fasa liquid terhadap


tahanan dalam fasa gas untuk komponen A dan didefinisikan dengan
𝑘𝑘𝐺𝐺𝐺𝐺 𝐻𝐻𝐵𝐵
𝛤𝛤𝐵𝐵 =
𝑛𝑛 𝐶𝐶 𝑚𝑚−1
�𝐷𝐷𝐵𝐵 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐵𝐵0 𝐴𝐴𝐴𝐴

δ Tebal film diffusi, cm

110
𝛿𝛿′ Jarak dari interface ke bidang reaksi, cm
−∆𝐻𝐻𝑆𝑆 Panas pelarutan, cal/gmole
−∆𝐻𝐻𝑅𝑅𝑅𝑅 Panas reaksi, cal/gmole
θ Waktu berkontaknya liquid dengan gas, detik
μ Viskositas liquid, g/ (cm. det)

DAFTAR NOTASI

Huruf Latin
𝜇𝜇𝐺𝐺 Viskositas gas, g/ (cm. det)
𝜌𝜌𝐿𝐿 , 𝜌𝜌 Densitas liquid, g/ cm3
𝜌𝜌𝐺𝐺 Densitas gas, g/ cm3
σ Kapasitas panas liquid, cal/g.0C
τ 𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
Waktu tak berdimensi yang didefinisikan dengan 𝜏𝜏 = 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝜏𝜏𝑃𝑃 Waktu penetrasi tak bedimensi yang didefinisikan dengan
𝑚𝑚−1 𝑛𝑛
4 𝐷𝐷𝐴𝐴 𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
𝜏𝜏𝑃𝑃 = 𝜋𝜋𝑘𝑘𝐿𝐿2

ζ Jarak dibawah permukaan liquid tak berdimensi yang didefinisikan


𝑚𝑚−1 𝑛𝑛 0.5
𝑘𝑘𝑚𝑚𝑚𝑚 𝐶𝐶𝐴𝐴𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵0
dengan 𝜁𝜁 = � � 𝑥𝑥
𝐷𝐷𝐴𝐴

111
SOAL - SOAL

1. Tentukan kelarutan gas karbon dioksida (dalam kmole/m3) didalam


a) larutan 2 M KOH
b) larutan yang mengandung 0.8 M KHCO3 dan 1.8 M K2CO3
pada tekanan 1 atm dan suhu 300C.

2. Gas H2S pada 1 atm dan suhu 300C diserap kedalam air. Hitung jumlah mole H2S
yang diserap per 1 cm2 permukaan kontak dalam waktu 0.1 detik.

3. Gas CO2 pada 1 atm dan suhu 300C diserap kedalam larutan buffer alkali yang
mengandung suatu katalis. CO2 yang terlarut mengalami reaksi irreversible order satu
semu dengan persamaan kecepatan reaksi, −𝑟𝑟𝐴𝐴 = (𝑘𝑘𝑂𝑂𝑂𝑂 𝐶𝐶𝑂𝑂𝑂𝑂 + 𝑘𝑘𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 𝐶𝐶𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐𝑐 )𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2 =
𝑘𝑘1 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂2 . Bila permukaan liquida dikontakkan dengan gas selama 0.01 detik, liquida ini
akan menyerap 1.5 x 10-8 gmole CO2 per cm2. Tentukan harga konstanta kecepatan
reaksi k1.

4. Gas H2S pada 1 atm diserap kedalam lasrutan 0.1 M MEA pada 250C. Reaksi yang
terjadi didalam larutan adalah H2S + RNH2 → HS- + RNH3+. Reaksi ini bisa dianggap
berkesudahan dan spontan. Hitung jumlah mole H2S yang diserap per cm2 permukaan
antar fasa dalam waktu 0.1 detik didalam air dan didalam larutan MEA.

112
5. Gas A diserap kedalam suatu cairan absorben didalam mana A mengalami reaksi
isomerisasi berikut: A ⇔ R . Reaksi ini reversible order satu. Diketahui data berikut:
𝑘𝑘1 = 40 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝑃𝑃𝐴𝐴 = 0.3 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎, 𝐾𝐾 = 4, 𝐷𝐷𝑅𝑅 = 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.8 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
1
𝐻𝐻𝐴𝐴
= 0.05 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔. 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 −1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1. Waktu kontak = 0.1 detik

Tentukan: a) Laju penyerapan A persatuan luas interface


b) Mole A yang terserap persatuan luas interface
c) Harga enhancement factor

6. Gas A diserap kedalam larutan yang mengandung B dengan mana A bereaksi menurut
reaksi berikut: 𝐴𝐴 + 2 𝐵𝐵 → 𝐶𝐶. Reaksi ini berordrer satu terhadap A dan berorder dua
terhadap B. Diketahui data berikut:
𝑘𝑘1,2 = 9500 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 2 𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔𝑔 −2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
DA = 2 x 10-5 cm2/detik
DB = 1.5 DA , CB0 = 0.5 gmol/liter , PA = 0.2 atm
1/HA = 3 x 10-5 gmol/(cm3 detik)
Tentukan: a) Flux penyerapan A pada waktu kontak 0.5 detik
b) Jumlah gmol A yang terserap per cm2 luas permukaan antar fasa dalam
waktu kontak 0.5 detik
c) Harga enhancement factor pada waktu kontak 0.5 detik

7. Gas CO2 diserap kedalam larutan yang mengandung alkali karbonat dan bikarbonat
dan ion arsenit sebagai katalis. Reaksi yang menentukan kecepatan reaksi adalah,
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 𝑂𝑂𝑂𝑂 − ↔ 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (1)
Reaksi-reaksi kesetimbangan yang terjadi didalam larutan adalah,
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂 ↔ 𝐻𝐻 + + 𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− (2)
𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− ↔ 𝐶𝐶𝑂𝑂32− + 𝐻𝐻 + (3)
Diketahui data berikut:
k2 [konstanta kecepatan reaksi kekanan untuk reaksi (1)]=10000 liter/(mole detik)
𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚
𝐶𝐶𝐻𝐻𝐻𝐻𝑂𝑂3− = 1 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 , 𝐶𝐶𝐶𝐶𝑂𝑂32− = 0.5 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙

K1 [Konstanta kesetimbangan untuk reaksi (2)] = 4.5 x 10-7 mole/liter

113
K2 [Konstanta kesetimbangan untuk reaksi (3)] = 4.7 x 10-11 mole/liter
DA = 1.5 x 10-5 cm2/detik
CAi = 3 x 10-6 mole/cm3.
Anggap untuk reaksi (1), reaksi kekanan berorder satu semu dan reaksi kekiri
mempunyai kecepatan konstan. Tentukan mole CO2 yang terserap per cm2 luas
antarfasa dalam waktu kontak 0.5 detik.

8. Gas CO2 diserap kedalam larutan absorben yang mengandung NH3, NH2COO- dan
NH4+ berturut-turut dengan konsentrasi 0.08 M, 0.5 M, dan 0.5 M. Cairan dalam
kondisi tak teraduk.
Data: 1/HA=0.05 gmol/(liter atm),K=0.0015 mol/liter, DA=0.000018 cm2/det,
k2=500 lit/(mol detik). Reaksi yang terjadi:
CO2+ 2 NH3 → NH2COO- + NH4+
Anggapan: Reaksi kekanan order satu semu dan kekiri kecepatannya konstan.
Tentukan gmol CO2 yang terserap per cm2 luas antar fasa dalam waktu 2 detik

12. Gas H2S dengan tekanan parsial 0,2 atm diserap kedalam larutan 0,5 M MEA yang
dalam kondisi tak teraduk pada 250C. Reaksi yang terjadi didalam larutan adala H2S +
RNH2 →HS- + RNH3+.
Data: k2= 104 liter/(gmol.det), DA=0.000015 cm2/det, DB = 0.7 DA
1/HA=0.05 gmol/(liter atm).
a) Hitung harga enhancement factor E dan bilangan Hatta untuk waktu
kontak 1 detik
b) Untuk waktu kontak 1 detik tersebut, daptkah reaksi tersebut dianggap
sebagai:i)reaksi spontan; ii)reaksi order satu semu; iii)reaksi order satu
semu cepat
c) Hitung jumlah gmole H2S yang diserap per cm2 permukaan antar fasa
dalam waktu 1 detik.

13. Suatu gas A diserap kedalam liquida yang mengandung komponen reaktif B dengan
konsentrasi 0,1 M. Dianggap reaksi antara komponen A dan komponen B spontan.

114
Absorpsi dilakukan pada kondisi sedemikian sehingga CAi = 0,1 M. Koefisien diffusi
A dalam liquida DA adalah 10−5 cm2/ det.
a. Tentukan enhancement factor bila :
( i ) DB = DA
( ii ) DB = 2 DA
b. Bilamana k2 = 104 lt/ (gmole. det), waktu kontak t = 0,1 detik, dan stoichiometri
reaksi :
A + 2B → Produk
maka check apakah anggapan reaksi spontan benar ?
c. Bila tidak dianggap reaksi spontan tentukan enhancement factor dan laju penyerapan
per cm2 luas permukaan antar fasa untuk waktu kontak 0.1 detik.

14. Gas CO2 dengan tekanan 1 atm diserap kedalam larutan NaOH 1M. Diketahui data
berikut :
𝐻𝐻𝐴𝐴 = 3 × 104 𝑐𝑐𝑐𝑐3 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 , 𝑘𝑘2 = 104 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.5 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
a. Tentukan harga maksimum waktu kontak t diatas mana reaksi tak bisa lagi
dianggap sebagai orde satu semu.
b. Bila waktu yang digunakan adalah separo dari waktu yang diperoleh pada a).
tentukan Fluksi absorbsinya.

15. Air pada 300C mengalir kebawah pada permukaan wetted wall column dengan
diameter luar (OD) tabung 2.5 cm dan tinggi 25 cm dengan laju 3.4 cm3/detik. Dari
bawah dialirkan gas karbon dioksida pada tekanan 1 atm. Kelarutan gas karbon
dioksida adalah 1/HA = 0.04 gmol/(liter atm). Bila pengaruh ripples (riak) diabaikan
maka:
a) Hitung tebal film liquid
b) Hitung waktu kontak
c) Bila dari percobaan ternyata diperoleh laju penyerapan 3.2 x 10-5 gmol/detik tentukan
harga koefisien diffusi CO2 didalam air.
d) Chek apakah aliran film liquida laminar?

115
e) Hitung jarak dari permukaan liquida (pada bagian bawah batang) pada mana
konsentrasi CO2 adalah 0.01 CAi dan hitung kecepatan pada titik ini sebagai fraksi
kecepatan permukaan.
f) Bila CO2 diserap kedalam larutan 0.45 M NaOH pada suhu 300C dan tekanan parsial CO2
0.02 atm ternyata laju penyerapan CO2 adalah 2.82 x 10-5 gmol/detik. Tentukan harga
konstanta kecepatan reaksi k2 . Apakah pada kondisi ini reaksi bisa dianggap sebagai
reaksi order satu semu?

16. Gas CO2 akan diserap kedalam larutan NaOH. Terjadi reaksi berikut didalam larutan
𝐶𝐶𝑂𝑂2 + 2 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 → 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂
Kelarutan CO2 dalam liquid dianggap tak bergantung pada konsentrasi NaOH.
Diketahui data berikut :
𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝐷𝐷𝐴𝐴 , 𝑘𝑘2 = 107 𝑐𝑐𝑐𝑐3 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 25000 𝑐𝑐𝑐𝑐3 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
a. Dapatkah reaksi ini dipandang sebagai reaksi orde satu semu bila waktu kontak
0.01 detik dan bila :
(i) tekanan parsial CO2 1 atm dan konsentrasi NaOH = 1 gmole/ lt.
(ii) tekanan parsial CO2 1 atm dan konsentrasi NaOH = 3 gmole/ lt.
b. Bila waktu kontak gas - liquid 0.1 detik dan konsentrasi NaOH 3 gmole/ liter
berapakah tekanan parsial CO2 dimana reaksi tak bisa lagi dipandang sebagai
reaksi orde satu semu.
Abaikan tahan film gas.

17. Gas CO2 dengan tekanan parsial 0.1 atm diserap kedalam larutan MEA dengan
konsentrasi 2.5 moles/ liter didalam wetted wall Column. Waktu kontak gas-liquid
adalah 0.2 detik. Laju penyerapan CO2 kedalam liquid adalah 3.26 x 10-4 mol/ detik.
Luas kontak antara gas-iquid adalah 180.5 cm2.
Absorpsi terjadi pada suhu 25OC.
Diketahui data berikut :
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.4 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 0.77 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 29800 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎. 𝑐𝑐𝑐𝑐3 . 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
Reaksi yang terjadi antara CO dan MEA dianggap berorder satu semu.
a Tentukan harga konstanta kecepatan reaksi
b Tentukan harga enhancement factornya.

116
Abaikan tahan film gas, dan anggap tekanan parsial CO2 dan konsentrasi MEA
diseluruh bagian kolom seragam.

18. Gas H2S yang berada diudara dengan kadar 0,1%, tekanan 20 atm, suhu 20OC, diserap
kedalam larutan MEA dengan kadar 0,25 mole/ liter.
Diketahui data berikut :
𝑘𝑘𝐴𝐴𝐴𝐴 = 6 × 10−5 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑐𝑐𝑐𝑐−2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1
𝑘𝑘𝐴𝐴𝐴𝐴 = 0.05 𝑐𝑐𝑐𝑐 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐻𝐻𝐴𝐴 = 0.0115 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.5 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
Anggap reaksi spontan. Waktu kontak = 0,1 detik.
a. Tentukan konsentrasi A dalam fasa liquida pada interface, A*
b. Tentukan tekanan parsial A pada interface, PAi
c. Tentukan laju absorpsi rata-rata A kedalam liquida per satuan luas.
d. Tentukan enhancement factor.

19. Gas CO2 dalam udara pada 2 atm (mengandung 20% mol CO2) akan diserap kedalam
larutan 1 M NaOH pada 300C didalam suatu absorber tangki teraduk. Reaksi yang
terjadi adalah:
CO2 + 2 NaOH → Na2CO3 + H2O
Data: 1/HA=0.05 gmol/(liter atm), kL=0.03 cm det-1
DA=0.000015 cm2/det,DB=0.000025 cm2/det, k2=9000 lit/(mol detik).
Tentukan bilangan Hatta, enhancement factor, dan fluks penyerapan dengan
menggunakan: a) model film

b) model Higbie

20. Gas H2S diserap oleh larutan MEA didalam packed Column yang beroperasi pada
tekanan 20 atm dan suhu 20OC. Pada puncak kolom, gas mengandung 0,5% H2S,
sedang cairan absorben mengandung 0.5 M MEA.
Kelarutan H2S dalam larutan MEA adalah 0.1 gmole/(lt)(atm)
Reaksi yang terjadi :
𝐻𝐻2 𝑆𝑆 + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 → 𝐻𝐻𝑆𝑆 − + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻3+

117
Anggap reaksi ini irreversible spontan.
Diketahui data berikut :
𝐷𝐷𝐵𝐵 = 0.6 𝐷𝐷𝐴𝐴 , 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 = 0.03 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 6 × 10−5 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑐𝑐𝑐𝑐−3 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1
a. Dengan menggunakan Model Higbie, tentukan :
(i) Tekanan parsial H2S dan konsentrasi H2S dalam fasa liquida pada interface.
(ii) Laju absorpsi H2S per satuan volume packing
(iii) Enhancement factor
b. Jawab pertanyaan-pertanyaan pada a). bila digunakan model film, bandingkan
jawaban ini.

21. Gas CO2 diserap kedalam suatu larutan NaOH didalam packed Column yang
beroperasi pada tekanan 10 atm dan suhu 20OC. Dibagian bawah kolom, fasa gas
mengandung 10% CO2.
Reaksi yang terjadi :
𝐶𝐶𝐶𝐶2 + 2 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 → 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂
Diketahui data berikut :
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 = 0.01 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 5 × 10−5 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑐𝑐𝑐𝑐−3 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1
𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.5 × 10−5 𝑐𝑐𝑐𝑐2 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 1.7 𝐷𝐷𝐴𝐴
1
𝑘𝑘2 = 104 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑 −1 , 𝐻𝐻 = 0.04 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙 −1 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1
𝐴𝐴

a..Tentukan konsentrasi NaOH (dalam fasa liquid pada bagian bawah kolom) yang
terkecil dibawah mana reaksi bisa dianggap sebagai psendo first order.
b. Bila konsentrasi NaOH dibagian bawah kolom adalah ½ dari konsentrasi yang
diperoleh pada a). tentukan laju absorpsi CO2 per satuan volume packing
ditempat tersebut.
c. Bila konsentrasi NaOH dibagian bawah kolom adalah 2 kali konsentrasi yang
diperoleh pada : a). tentukan laju absorpsi CO2 per satuan volume packing
ditempat tersebut.
( Gunakan model Higbie ).

22. Gas A diserap dan bereaksi dengan liquida B menurut reaksi,


𝐴𝐴 + 𝐵𝐵 → 𝑅𝑅, − 𝑟𝑟𝐴𝐴 = 𝑘𝑘 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵

118
didalam packed column pada kondisi dimana,
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 0.1 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚. 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗−1 𝑚𝑚−3 𝑃𝑃𝑃𝑃−1 , 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 = 100 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗−1 , 𝑙𝑙 = 0.01
𝐷𝐷𝐵𝐵 = 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 10−6 𝑚𝑚2 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗−1 , 𝑘𝑘2 = 10 𝑚𝑚3 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗−1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 105 𝑃𝑃𝑃𝑃. 𝑚𝑚3 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
Pada suatu tempat didalam kolom dimana PA = 100 Pa (Pascal) dan CB0= 100 mol/m3
a) Hitung laju absorpsi dalam mole/(jam. m3 packed colum)
b) Tahanan mana yang paling besar?
c) Tentukan apakah proses yang tejadi didalam liquid dapat dinyatakan sebagai reaksi
order satu semu atau reaksi spontan, atau reaksi order dua, atau perpindahan massa
fisik (tampa ada pengaruh reaksi kimia).

23. Gas CO2 diserap kedalam larutan NaOH pada packed column. Reaksi yang terjadi
adalah sebagai berikut,
𝐶𝐶𝑂𝑂2 (𝐴𝐴) + 2 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁 (𝐵𝐵) → 𝑁𝑁𝑁𝑁2 𝐶𝐶𝑂𝑂3 + 𝐻𝐻2 𝑂𝑂, − 𝑟𝑟𝐴𝐴 = 𝑘𝑘2 𝐶𝐶𝐴𝐴 𝐶𝐶𝐵𝐵
Diketahui data berikut,
𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 10−4 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚. 𝑚𝑚−2 𝑠𝑠 −1 𝑃𝑃𝑃𝑃−1 , 𝑘𝑘𝐿𝐿 = 10−4 𝑚𝑚. 𝑠𝑠 −1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 2500 𝑃𝑃𝑃𝑃. 𝑚𝑚3 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1
𝑎𝑎 = 100 𝑚𝑚−1 , 𝐷𝐷𝐴𝐴 = 1.8 × 10−9 𝑚𝑚2 . 𝑠𝑠 −1 , 𝐷𝐷𝐵𝐵 = 3.06 × 10−9 𝑚𝑚2 . 𝑠𝑠 −1
𝑘𝑘2 = 10 𝑚𝑚3 . 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1 𝑠𝑠 −1 , 𝑙𝑙 = 0.1
Pada suatu tempat didalam kolom dimana PA = 105 Pa (Pascal) dan CB0= 500 mol/m3
a) Hitung laju absorpsi dalam mole/(jam. m3 packed colum)
b) Tahanan mana yang paling besar?
c) Tentukan apakah proses yang tejadi didalam liquid dapat dinyatakan sebagai
reaksi order satu semu atau reaksi spontan, atau reaksi order dua, atau
perpindahan massa fisik (tampa ada pengaruh reaksi kimia).

24. Gas H2S diserap oleh larutan MEA didalam packed column. Dibagian atas kolom
tekanan gas adalah 20 atm dan mengandung 0.1% H2S, sementara absorben
mengandung 250 mol MEA /m3. Diffusivitas MEA didalam larutan adalah 0.64 kali
diffusivitas H2S. Terjadi reaksi berikut,
𝐻𝐻2 𝑆𝑆 + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻2 → 𝐻𝐻𝑆𝑆 − + 𝑅𝑅𝑅𝑅𝐻𝐻3+
Yang dianggap irreversible dan spontan. Diketahui data berikut,
𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 = 0.03 𝑠𝑠 −1 , 𝑘𝑘𝐺𝐺 𝑎𝑎 = 60 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚. 𝑚𝑚3 . 𝑠𝑠 −1 . 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎−1 , 𝐻𝐻𝐻𝐻 = 104 𝑚𝑚3 . 𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎. 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 −1

119
a) Tentukan laju absorpsi H2S kedalam lautan MEA
b) Tentukan harga enhancement factor. Apakah ada manfaatnya pemakaian
absorben larutan MEA ini.

Soal Program Komputer


1. Buat suatu program komputer untuk menghitung harga enhancement fator untuk
proses absorpsi disertai reaksi kimia irreversible order dua kedalam liquida tenang. Uji
coba program tersebut untuk data masukan: DA= 1.5 x 10-5 cm2/detik, DB= 1.8 x 10-5
cm2/detik. 1/He=0.04 liter/gmole atm, k2 = 9000 litere/gmole detik, dan t = 0.1 detik
2. Buat program komputer untuk menentukan harga enhancement factor dan laju
penyerapan persatuan luas antarfasa untuk peristiwa absorpsi gas disertai reaksi
reversible order dua berikut: A + z B → y P. Uji coba program tersebut untuk data
masukan berikut: DA= 1.5 x 10-5 cm2/detik, DB=1.2 DA, DP = (4/3) DA, HA=350 liter
atm/mole, K = 4, kf = 5000 liter/(mole detik), z=1, y=2, t=0.1 detik

3. Buat program komputer untuk menentukan harga enhancement factor dan laju
penyerapan persatuan luas antar fasa untuk peristiwa absorpsi gas disertai reaksi
reversible order dua berikut: A + z B ⇔ y P
Uji coba program tersebut untuk data masukan berikut:
DA = 1.5x10-5 cm2/det DB = 1.2 DA DP = (4/3) DA
HA = 350 liter atm/ gmole K=4 CB0 = 0.7 gmol/liter
kf = 5000 liter/(gmol detik) t = 0.1 detik PA = 0.2 atm z=1 y=2

120
DAFTAR PUSTAKA

1. Aboudheir, “Kinetics, modeling, and simulation of carbon dioxide absorption into


highly concentrated and loaded monoethanolamine solution, Desertation, University
of Regina, Canada, Regina, 2002
2. Aboudheir,A., Tontiwachwuthikul,P., Chakma,A.,Idem, R., “Kinetics of reactive
absorption of carbon dioxide in high CO2-loaded, concentrated aqueous
monoethanolamine solutions”, Che. Eng. Sci., 58, 5195-5210, 2003
3. Akita,K.;Yoshida,F.”Gasholdup and volumetric mass transfer coefficient in bubble
column-Effect of liquid properties”,Ind.Eng.Chem.Process Des. Dev. 1973,12,76-80
4. Al-Ubaidi, B.S, M.S.Salim, and A.A.Shaikh,”Non Isothermal Gas Absorpsion
Accompanied by a Second Order Irreversible Reaction”, AIChE J., Vol.36, 141-146,
1990
5. Altway,A.,”Pengaruh Volatilitas Reaktan Terlarut Terhadap Harga Faktor
Peningkatan Absorpsi Disertai Reaksi Kimia Irreversible Umum”, IPTEK, Vol.6,No.
2, 130-137,1995
6. Altway,A.,Yuyun,L.W. “Simulation of Carbon Dioxide Absorption into
Diethanolamine Solution in Packed Column Using Combination of Orthogonal
Collocation and Finite Difference Method”, Proceeding ITB, Vol.31, No.2, 1999
7. Altway, A., Suwarno, N., Andhini, P. dan Astuti, Y.,”Penyelesaian Numerik Model
Penetrasi untuk Absorpsi Gas disertai Reaksi Kimia Irreversible Umum”, IPTEK,
Vol.6,No.2, 1995
8. Astarita, Giovanni, “ Mass Transfer With Chemical Reaction “, Elsevien Publishing
Company, Amsterdam, 1967.
9. Astarita,G.,”Absorption of Carbon Dioxide into Alkaline Solutions in Packed
Tower”,I&EC Fundamentals,Vol.2,No.4,1963
10. Benitez-Garcia, J.;Ruiz-Ibanez,G.;Alghawas, H.A., and Sndall,O.C.,”On the effect of
basicity on the kinetics of CO2absorption in tertiary amines”, Chem. Eng.
Sci.,46,11,2927-2934,1991
11. Bhattacharya,A, R.V. Gholap and R.V. Chaudari,”Gas Absorption with Exothermic
Bimolecular (1,1 Order) Reacton”,AIChE J., Vol.33, 1507-1513, 1997

121
12. Brian, P.L.T., J.F. Hurley and E.H.Hasseltine,”Penetration Theory for Gas
Absorption Accompanied by a Second Order Chemical Reaction”, AIChE J,
vol.7,226, 1961
13. Carroll, J.J.,Maddocks J., Mather, A.E.,“The solubility of Hydrocarbons in Amine
Solutions”, Laurence Reid Gas Conditioning Conference, Norman, Oklahoma,
March, 1998
14. Carroll, J.J.,and Mather, A.E.,“ A Model for the solubility of Hydrocarbons in Water
and Aqueous Solutions of Alkanolamine”, Chem. Eng. Sci, 52, 545-552, 1997
15. Carslaw,H.S. and J.C. Jaeger,”Coduction of Heat in Solids”, 2nd ed., Oxford Univ.
Press, Oxford, UK, 1959
16. Danckwerts, P, V, F. R. S., “ Gas - Liquid Reactions “, Mc. Graw - Hill Book
Company, New York, 1970.
17. Deckwer, W.D.; Burclhart,R.;Zoll,G.”Mixing and mass transfer in tall bubble
column”,Chem.Eng.Sci. 1974,29,2177-2188
18. Deckwer, W.D., Nguyentien,K.;Kelkar, B.G.;Shah,Y.T.,Applicability of axial-
dospersion model to analyze mass-transfer measurements in bubble-column. AIChE
J. 1983,29,915-922
19. Ding, J.S., S.Sharma, and D.Luss,” Steady State Multiplicity and Control of the
Chlorination of Liquid n-Decane in an Adiabatic Continuously Stirred Tank
Reactor”, Ind. Eng.Chem. Fundam., Vol.13, 76, 1974
20. Edali, M.;Idem,R.,Aboudheir, A., “ 1D and 2D absorption-rate/kinetic modeling and
simulation of carbon dioxide into aqueous solution of MDEA and PZ in a laminar jet
apparatus”, Int. J. Green Gas Cont., 4, 143-151, 2010
21. Effendi,M dan M.Ikhlas,”Simulasi Absorpsi Gas Disertai Reaksi Kimia Irreversible
Order Dua Pada Kondisi NonIsothermal”, Skripsi, Jurusan Teknik Kimia, FTI, ITS,
2001
22. Elhosane, Y., Altway,A., Susianto, “Kinetic Study of Carbon Dioxide Absorption
into Glycine Promoted MDEA”, Innternational Journal of Technology and
Enginnering Studies, Vol.2, No.2, pp.46-51, 2016
23. Froment, G. F, and K. B. Bischoff, “ Chemical Reactor Analysis and Design “, John
Wiley & Sons, New York, 1979.

122
24. Glasscock,D.A. and G.T.Rochelle,”Approximate Simulation of CO2 and H2S
Absorption into Aqueous Alkalinolamine “, AIChE Journal,Vol.39,No.8,1993
25. Guo,D.;Thee,H.;Tan,C.Y.;Chen,J.;Fei,W.Kentish,S.E.;Steven,G.W.;da Silva,
G.,”Amino Acids as carbon dioxide capture solvents:chemical kinetics and
mechanism of the glycine + CO2reaction”, Energy Fuels, 27,7,3898-3904,2013
26. Haikal, M., dan Ayustiningrum,S., “Studi Kinetika Absorpsi CO2kedalam larutan
MDEA berpromotor Argini dan L-Glutamic Acid menggunakan Wetted Wall
Column”, Skripsi, Deoartemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya, 2017
27. Haimour, N., and Sandall, O.C., “Absorption of CO2 into aqueous MDEA”,
Chemical Engineering Science, 39(12),1791-1796, 1987
28. Han, L.; Al-Dahhan,M.H. Gas Liquid mass transfer in a high-pressure bubble
column reactor with different sparger designs. ChemEng.Sci2007, 62,131-139
29. Hartono, A.;da Silva,E.F.;Svendsen,H.F.,”Kinetics of carbon ddioxide absorption in
aqueous solution of diethylenetriamine (DETA)”,Chem. Eng. Sci, 64, 3205-3213,
2009
30. Hatcher N.A., Jones, C.E., Weiland R.H.,”Hydrocarbon and Fixed Gas Solubility in
Amine Treating Solvents: A Generalized Model”,Laurence Reid Gas Conditioning
Conference, Norman, Oklahoma, Fewbruary, 2013
31. Higbie,R.,”The rate of absorption of a pure gas into a still liquid during a short time
of exposure”, Transactions of the American Institte of Chemical Engineers, 31, 365-
389, 1935
32. Hikita, H. and S.Asai,” Gas Absorption with (m,n)-th Order Irreversible Chemical
Reaction”, Int. Chem. Eng., Vol.4, 332, 1964
33. Hikita,H.,Asai,S.,Ishikawa,H.,Honda,M.,The kinetics of reactions of carbon dioxide
with monoethanolamine, diethanolamine and triethanolamine by rapid mixing
method”, Chem.Eng.J.,An International Jpurnal of Research and Development 13, 7-
12, 1977
34. Hix, R.M. and S. Lynn,”Reactive Absorption of SO2 in Poly Glycol Ether: The
Effect of Volatile Dissolved Reactant on Mass Transfer Enhancement”, IEC, Res,
Vol.30, 930, 1991

123
35. Hwang, K.-S.;Park,D.-W.;Oh,K.-J.; Kim, S.,-S;Park,S.,-W., Chemical absorption of
carbon dioxide into aqueous solution of potassium threonate”, Sep. Sci.
Technol.,45,497-507, 2010
36. Jamal A., Meisen A., Jim Lim C., (2006). “Kinetics Of Carbon Dioxide Absorption
And Desorption In Aqueous Alkanolamine Solutions Using A Novel Hemispherical
Contactor – I. Experimental Apparatus And Mathematical Modeling ". Chem. Eng.
Sci., 61, 6571-6589.
37. Jiru, Y., and Eimer, D.A.,” A Study of Mass transfer Kinetics of Carbon Dioxide in
(Monoethanolamine+Water) by Stirred Cell”, Energy Procedia, 37, 2180-2187,2013
38. Joosten, G.E.H. and P.V. Danckwertz,”Solubility and Diffusivity of Nitrous Oxide in
Equimolar Potassium Carbonate-Potassium Bicarbonate Solution at 250C and 1
atm”,J.Chem.Data, Vol.17, No.4, 452-454, 1972
39. Jou, F.-Y;Ng,H.-J.;Critchfield,J.E.;Mather,A.E.,”Solubility of Propane in Aqueous
Alkanolamine Solutions”, Fluid Phase Equilibria, [217],201-204, 2004
40. Jou, F.-Y;Mather,A.E.,”Solubility of Propylene in Aqueous Alkanolamine
Solutions”, Fluid Phase Equilibria, [194-197],825-830, 2002
41. Kamps, A.P.,S.J.Xia, and G.Maurer, “ Solubility of CO2 in (H2O+Piperazine) and in
(H2O+MDEA+Piperazine)”, AICHE J., Vol.49, No.10, 2662-2670, 2003
42. King, C.J.,”Turbulent Liquid-Phase Mass Transfer at a Free Gas-Liquid Interface”,
Ind.Eng.Chem.Fund., Vol.5, No.1, 1-8, 1966
43. Ko, J.J., and Li,M.H.,”Kinetics of absorption of CO2 into solutions of
MDEA+water”, Chemical Engineering Science, 55(19), 161-175, 2000
44. Littel R.J., Versteeg G.F., Van Swaaij W.P.M., (1991). "Kinetics Of Carbon Dioxide
With Tertiary Amines In Aqueous Solution ". Aiche J., 36, 1633-1640
45. Little, R.J., G.F. Versteeg and W.P.M. Van Swaaij,” Solubility and Diffusivity data
for the Absorption of COS, CO2 and N2O in Amine Solution”, J. Chem. Data,
Vol.37, 49-55, 1992
46. Mandal,B.P.;Bandyopadhyay,S.S.,”Simulation of absorption of carbon dioxide and
hydrogen sulphgide into aqueous blends of 2-amino-2-methyl-1-propanol and
diethanolamine, Chem.Eng. Sci, 60, 6438-6451, 2005

124
47. Mock, B., L.B. Evans, and C.C.Chen,”Thermodynamic Representation of Phase
Equilibria of Mixed Solvent Electrolyte System”, AICHE J., Vol.32, No.10, 1655-
1664, 1986.
48. Lau, R.;Peng,W.,Velazquez-Vargas,L.G.;Yang, G.Q.;Fan,L.S. Gas-liquid mass
transfer in high-pressure bubble columns. Ind. Eng. Chem. Res. 2004, 43,1302-1311
49. Lin, C.Y., Sariono, A.N. dan Li, M.H., (2008), “Kinetics study of carbon dioxide
absorption into aqueous solutions containing methyldiethanolamine +
diethanolamine”, Journal of The Taiwan Institute of Chemical Engineers 39, 1-9.
50. Linek and Vaclav,”Verification of The Design Methods for Industrial Carbon
Dioxide-Triethanolamine Absorbers:Laboratory Differential Simulation and
Computational Methods”,Ind.Eng.Res.,Vol.29,No.9,1990
51. Linek,V.;Benes,P.;Sinkule,J.;Moucha,T. Non-ideal pressure step method for 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎
measurement. Chem.Eng.Sci.1993,48,1593-1599
52. Linek,V.;Benes,P.;Vacek,V. Dynamic pressure method for 𝑘𝑘𝐿𝐿 𝑎𝑎 measurement in
large-scale biorectors. Biotechnol. Bioeng.1989,33,1406-1412
53. Manjrekar, O.N.;Sun,Y.J.;He,L.;Tang,Y.J.;Dudukovic,M.P.,”Hydrodynamics and
mass transfer coefficients in a bubble column photo-bioreactor”, Chem. Eng. Sci.,
2017, 168, 55-66
54. Mann,R. and G.T.Clegg,”Gas Absorptin with an unusual chemical reaction: the
chlorination of toluene”, Chem Eng. Sci, Vol.30, 97-101, 1975
55. Mann, R. and H.Moyes,”Exothermic Gas Absorption with Chemical Reaction”,
AIChE J., Vol.23, 17, 1977
56. Neelakantan, K. and Gehlawat,K.,”New Chemical Systems for the Determination of
Liquid-Side Mass Transfer Coefficient and Effective Interfacial Area in Gas-Liquid
Contactors”, The Chemical Engineering Journal, 24, 1-6, 1982
57. Newman, D.W., and Lynn, S.,”Kinetics of Reaction of H2S and SO2 in Organic
Solvent”, Ind. Eng. Chem. Process. Des. Dev., Vol.25, 248, 1986
58. Pani F., Gaunand A., Cadours R., Bouallou C., Richon D., (1997). "Kinetics Of
Absorption Of CO2 In Concentrated Aqueous Methyldiethanolamine Solutions In
The Range 296 K To 343 K ". J. Chem. Eng. Data, 1997, 42, 353-359.

125
59. Paul S., Ghosal A.K. dan Mandal B., (2009), ”Kinetics of absorption of carbón
dioxide into aqueous blends of piperazine and methyldiethanolamine”, Chem. Eng.
Sci. 64, 1618-1622
60. Pawlak,H.K., Siemeniec,M.,Chacuc,A., “Reaction Kinetics of CO2 in aqueous
MDEA solution using the stopped-flow technique”,Chemical and Process
Engineering, 33(1),7-19,2011
61. Pawlak,H.K.,”Determination of Kinetics in Gas-Liquid Reaction System. An
Overview”, Ecological Chemistry and Engineering S, 2012
62. Penny, D.E.;Ritter, T.J.,”Kinetic study of the reaction between carbon dioxide and
primary amines”, J. Chem. Soc.,Farady Trans. I, 79, 2103-2109, 1983
63. Pincent, B.R.W., Pearson L.,Roughton, F.J.W.,1956,”The Kinetics pf Combination
of CO2 with hydrxide ion”, Transaction of Farady Society, 52(11),1512-1520
64. Portugal A.F., P.W.J. Derks, G.F. Versteeg, F.D. Magalhães, A. Mendes(2007)
"Characterization Of Potassium Glycinate For Carbon Dioxide Absorption Purposes
." Chemical Engineering Science, 2007: 62 , 6534 – 6547.
65. Pudjiastuti, L., Susianto, Altway,A., Hestia, M., Arsi, K., “Kinetic Study of Carbon
Dioxide Absorption into Glycine Promoted Diethanolamine”, AIP Conference
Proceeding, 1699, 2015
66. Pudjiastuti,L.,” Model Rate-Based Dua-Film untuk desain absorpsi multikomponen
gas asam dalam larutan kalium karbonat dengan promotor”, disertasi, departemen
teknik kimia, institute teknologi sepuluh nopember, Surabaya, 2011
67. Qian,W.,Yi-gui Li and A.E.Mather,”Correlation and Prediction of Solubility of CO2
and H2S in an Aqueous Solution of Methyldiethanolamine and
Sulfone”,Ind.Eng.Chem.Res.,Vol.34,No.7, 1995
68. Rinker E.B., Ashour S.S. And Sandall O.C. (1995). " Kinetics And Modeling Of
Carbon Dioxide Absorption Into Aqueous Solutions Of N-Methylodiethanolamine ".
Chem. Eng. Sci., 50 (5), 755-768
69. Sada, E., H.Kumarawa, and M.A. Butt,” Solubility and Diffusivity of Gases in
Aquous Solution of Amines”, J. Chem. Data, Vol.23, No.2, 161-163, 1978
70. Sanyal,D.,N.Vasishtha, and D.N.Saraf,”Modeling of Carbon Dioxide Absorber
Using Hot Carbonate Process”,Ind.Eng.Chem.Res.,Vol.27,No.11,1988

126
71. Savitri,Y. dan E. Sepfitri,”Simulasi Absorpsi Disertai Reaksi Irreversible Order Dua
pada Packed Column dalam Kondisi Non-Isothermal”, Skripsi, Jurusan Teknik
Kimia, FTI, ITS, 2001
72. Sema, T., “Kinetics of Carbon Dioxide Absorption into Aqueous Solution of 4-
(Diethylamino)-2-Butanol and Blended Monoethanolamine and 4-(Diethylamino)-2-
Butanol” , Desertation, University of Regina, Regina, Saskatchewan,2012
73. Setiawan, G.H., Albar, A.A.,”Studi Kinetika Absorpsi CO2 kedalam Larutan MDEA
berpromotor Glycine dan L-Glutamic Acid menggunakan Wetted Wall Column”,
Skripsi, Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya,
2018
74. Shah, Y.T.,”Gas-Liquid Interface Temperature rise in the case of Temperature-
Dependent Physical, Transport, and Reaction Properties”, Che. Eng. Sci., Vol.27,
1469, 1972.
75. Shah, Y.T; Kelkar, B.G.; Godbole,S.P.;Deckwer,W.D., “Design parameters
estimations for bubble column reactors”, AIChE J, 1982, 28, 353-379
76. Shen, S, Feng, X., Zhao R., Ghosh U.K., and Chen A, (2013), “A Kinetic study of
carbon dioxide absorption with aqueous potssium carbonate promoted by arginine”,
Chem. Eng. J., 222, 478-487
77. Sitorus, Y.T.S., Taurina, H.S., Altway, A.,Rahmawati, Y., Nurkhamidah, S.,
“Kinetic Study of Carbon Dioxide Absorption Reaction into the Promoted MDEA
Solution”, AIP Conference Proceeding, 1840, 2017
78. Sodiq, A.;Rayer, A.V.;Olanrewaju,A.A.;Abu Zahra,M.R.M., “Reaction kinetics of
carbon dioxide absorption in sodium salts of taurine and proline using a stopped-flow
technique”, Int. J. Chem.Kinet., 46, 730-745, 2014
79. Tepe,J.B. and B.F.Dodge,”Absorption of Carbon Dioxide by Sodium Hydroxide
Solutions in Packed Column”,AIChE Journal,Vol.39,1943
80. Thee,H.,Smith,K.H., daSilva,G., Kentish, S.E., “Carbon Dioxide Absorption into
Unpromoted and Borate-Catalyzed Potassium Carbonate Solution”, Chemical
Engineering Journal, vol.181-182, 694-701, 2012

127
81. Thee, H., Suryaputradinata, Y.A., Mumford K.A., Smith, K.H., da Silva, G., Kentish,
S.E., and Stevens, G.W., “A kinetic and process modeling study of CO2 capture with
MEA-promoted potassium carbonate solutions”, Chem. Eng. J.,210, 271-279, 2012
82. Thee,H.;Nicolas,N.J.;Smith,K.H.;DaSilva,G.;Kentish,S.E.; Stevens, G.W.,”A Kinetic
study of CO2 capture with potassium carbonate solutions promoted with various
amino acids: glycine, sarcosine and proline”, Int. J. Greenhouse Gas Control, 20,212-
222, 2014
83. Toor, H.L., and J.M.Maechello,”Film-Penetration Model for Mass and Heat
Transfer”, A.I.Ch.E. Journal, Vol.4, No. 1, 97-101, 1958
84. Treybal,R.E., ”Mass Transfer Operations”, third edition,McGraw-
Hill,Newyork,1980
85. Vandu, C.O.; Krishna,R. Volumetric mass transfer coefficients in slurry bubble
columns operating in churn-turbulent flow regime. ChemEng. Process. 2004, 43,
987-995
86. Vandu, C.O.; Krishna,R. Influence of scale on the volumetric mass transfer
coefficients in bubble columns. Chem. Eng. Process. 2004, 43, 575-579
87. Vas Bhat,R.D., W.P. van Swaaij, N.E. Benes, J.A.M.Kuipers and G.F.
Versteeg,”Non-isothermal gas Absorption with reversible chemical reaction”,
Chemical Engineering Science, Vol.52, 4079-4094, 1997
88. Vasconcelos, J.M.T.;Rodrigues, J.M.L.; Orvalho, S.C.P.; Alves, S.S.; Mendes, R.L.;
Reis,A. Effect of contaminants on mass transfer coefficients in bubble column and
airlift contactor Chem.Eng.Sci.2003,58,1431-1440
89. Versteeg, G.F. dan van Swaaij, W.P.M., (1988), ”Solubility and diffusivity of acid
gases (CO2;N2O) in aqueous alkanolamine solutions”, J. Chem. Eng. Data 33 (1),
29–34.
90. Versteeg.G.F And W. P. M. Van Swaaij (1987)"On The Kinetics Between Co2 And
Alkanolamines Both In Aqueous And Non-Aqueous Solutions-Ii. Tertiary Amines."
Chemical Engineering Source. Vol. 43. No. 3. Pp. 587-591.
91. Versteeg, G.F., Van Dijck, L.A.J., Van Swaaij, W.P.M., (1996), “On the kinetics
between CO2 and alkanolamines both in aqueous and non-aqueous solutions. An
overview, Chem. Eng. Commun., 144; 113-158.

128
92. Wei,C.-C.; Puxty, G.; Feron,P.,”Amino salts for CO2capture at flue gas temperature”,
Chem. Eng. Sci., 107, 218-226, 2014
93. Xiao, J., Li, C.W. dan Li, M.H., (2000), ”Kinetics of absorption of CO2 into aqueous solutions
of 2-AMP + MEA”, Chem. Eng. Sci. 55, 161–175.

94. Xu,S.,Yi-Wei Wang,F.D.Otto and A.E.Mather,”Kinetics of The Reaction of Carbon


Dioxide With Aqueous 2-Piperidineethanol Solutions”,AIChI
Journal,Vol.39,No.10,1993
95. Yi Fei, Z.,Hai-Kui,C., Guang-Wen, and Shao Lei, “Modeling and experimental
studies on absorption of CO2 by Benfield solution in Rotating packed bed”,
Chemical EngineeringJournal, 145, 377-384, 2009
96. Yunita, D.I., K.A.Serpara, A.Altway,”Simulasi Enhancement Factor untuk Absorpsi
Gas disertai Reaksi Kimia Reversible Order Dua Kondisi Isothermal dengan Model
Difusifitas Eddy”,Seminar Nasional “Kejuangan” UPN Yogyakarta, 2008
97. Zednikova,M.;Orvalho, S.; Fialova,M.; Ruzicka,M.C. Measurement of Volumetri
Coefficient in Bubble Columns. ChemEng. 2018, 2,19

~~~o0o~~~

129
INDEX
A
Absorpsi
Alkanolamine
Amine
Asam Amino
Asam adipat

B
Barium sulfide
Barium karbonat
Barium chloride
Benzene
Bilangan Hatta

C
Carbon dioksida
Chlorinasi
Chlorine

130
Cyclo hexane
Cyclo hexanol
Cyclo hexanon

D
Difusi
Danckwertz (Model Danckwertz)
Di Ethanolamine
Diiso Propanol Amine
Diglycolamine

E
Elektrolit
Enhancement factor

F
Faktor Peningkatan
Fungsi Kesalahan
Fisik (Absorpsi fisik)
Fluks difusi

G
Gas
Gas sintesa

H
Higbie (Model Higbie)
Henry

131
I
Irreversible (reaksi Irreversible)

K
Kalium Karbonat
Koefisien Transfer Massa
Konstanta Kesetimbangan reaksi
King (Model King)
Kinetika reaksi
Kesetimbangan reaksi
Kelarutan
Konveksi

L
Laminar
Laminar jet
Liquid
Luas permukaan antar fasa

M
Methyl Diethanolamine
Mono Ethanolamine

N
Non isothermal

132
Oksidasi

P
Penetrasi (Model Penetrasi)
Perpindahan massa
Persamaan difusi
Phenol
Potassium Karbonat

R
Reaksi Irreversible
Reaksi Reversible
Reaktif (Absorpsi reaktif)
Rezim reaksi
Rotating Drum

S
Salting in
Salting out
Stirred Cell
Stop flow apparatus
Surface renewal model
Suspensi kapur

T
Termolekuler
Toluen
Turbulen

133
V
Volatilitas
Volume molar

W
Wetted wall column
Wetted sphere apparatus

X
Xylena

Z
Ziegler-Natta
Zwitterion

134

Anda mungkin juga menyukai