Anda di halaman 1dari 4

Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa

Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan Kepribadian Bangsa adalah
keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia yang membedakan Bangsa Indonesia dari bangsa
lain. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan daripada garis
pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa. Garis pertemuan dan
perkembangan bangsa Indonesia itu ditentukan oleh kehidupan bangsa Indonesia dan
dipengaruhi oleh tempat, lingkungan dan suasana waktu sepanjang masa.

            Walaupun bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai peradaban dan
kebudayaan bangsa lain (Hindu, Cina, Portugis, Spanyol, Belanda dan lain-lain), namun
kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan berkembang. Mungkin disana-sini, misalnya di
daerah-daerah tertentu atau masyarakat kota, kepribadian itu dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur
asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hidup dalam kepribadian sendiri. Bangsa
Indonesia secara jelas dapat dibedakan dari bangsa-bangsa lain.

            Bangsa Indonesia menetapkan pancasila sebagai azas. Maka, seluruh prilaku, sikap dan
kepribadian adalah pelaksanaan dari nilai-nilai Pancasila. Prilaku, sikap dan kepribadian yang
tidak sesuai dengan Pancasila berarti bukan bukan prilaku, sikap dan kepribadian masyarakat
Indonesia. Penetapan Pancasila sebagai azas selayaknya didukung oleh masyarakat Indonesia
dengan menampilkan jatidirinya yang khas, yaitu identitas bangsa. Manakala masyarakat tidak
menampilkan identitas ini sesungguhnya berarti pancasila tidak dilaksanakan dalam
berkehidupan di masyarakat.

Sila-Sila Yang Menjelaskan Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa  Indonesia  

           Apabila kita perhatikan tiap sila dari pancasila, maka akan tampak jelas bahwa tiap sila
tersebut adalah pencerminan daripada kepribadian bangsa Indonesia.

a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

            “Sejak jaman purbakala orang Indonesia mengetahui dan percaya tentang ADA yang
mutlak sebagai maha pencipta, yang disebut: Tuhan. Setelah ajaran agama-agama Hindu, Islam
dan Kristen masuk di Indonesia, maka makin nyatalah garis-garis kepercayaan bangsa Indonesia
kepada Tuhan dan secara ikhlas berbakti kepada Nya, mentaati hukum Nya”. Apabila kita
memperhatikan perikehidupan bangsa kita seluruh tanah air, maka tampaklah hal-hal yang
berikut:

1.) Adalah suatu kebiasaan bangsa indonesia untuk menyelanggarakan suatu pekerjaan/usaha
bersama-sama, bentu-membantu dengan rela ikhlastanpa menuntut upah. Setiap orang membantu
sesamanya, berkat hikmat kebaktian kepada Tuhan.
2.) Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah-tamah dilingkungan keluarga,
terhadap tamu, teristimewa terhadap bangsa asing. Sifat ramah-tamah, menghargai sesama
manusia, adalah sesuai dengan ajaran agama.

3.) Tindakan sosial seperti menolong fakir miskin, memberi makan dan tempat tinggal kepada
musafir akan dijumpai dimana-mana di Indonesia.

4.) Suatu hal yang menarik perhatian adalah sifat toleransi bangsa Indonesia. Ajaran agama,
bahwa semua manusia adalah makhluk Tuhan dan harus saling harga mengahargai, telah
membawa ketentraman dalam hubungan antara agama-agama yang hidup di Indonesia.

            Tiap agama yang berkembang dengan leluasa di Indonesia, para penganutnya hidup
berdampingan sebagai anggota-anggota yang sama dalam masyarakat dan sebagai warga yang
sama pula dari bangsa Indonesia. Oleh sebab itu antara umat beragama harus saling menghormati
antara satu dengan yang lainnya agar tidak terjadi perpecahan satu dengan yang lainnya, dan
karena toleransi adalah sifat dari bangsa Indonesia maka sifat saling menghormati adalah yang
wajib ada dalam diri bangsa Indonesia.

b. Sial Prikemanusiaan (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab)

            “Kemanusiaan yang adil dan beradab atau dasar prikamanusiaan disebut juga
Internasionalisme. Menurut Depernas prikemanusiaan itu adalah: “daya serta karya budi dan hati
nurani untuk membangun dan membentuk kesatuan diantara sesamanya, tidak terbatas pada
manusia sesamanya yang terdekat saja, melainkan juga meliputi seluruh umat manusia”. Sifat,
sikap dan perbuatan bangsa indonesia senantiasa memperlihatkan unsur-unsur prikemanusiaan”.

            Prikemanusiaan atau Internasionalisme itu adalah dasar hidup bagi bangsa Indonesia
untuk turut membantu memajukan umat manusia dan mencapai cita-cita kebahagiaan bagi
seluruh dunia. Sikap menolong terhadap sesama adalah yang terkandung dalam sila
prikemanusiaan ini, sebab itulah bangsa Indonesia di kenal dengan sikap saling tolong
menolongnya terhadap sesama dan tanpa pamrih.

c. Sila Persatuan (Kebangsaan) Indonesia

            “Adalah suatu sifat bangsa Indonesia untuk bekerja bersama-sama secara gotong royong.
Kalau di Jawa ada gugur gunung, maka di Palembang ada sikoruban, di Minahasa ada mapalus
dan di Bali ada suatu sistem kerjasama yang sangat maju, yakni subak yang mengurus perairan
sawah untuk keperluan bersama”.

            Dari contoh-contoh diatas jelaslah bahwa bangsa Indonesia menginsyafi pentingnya
persatuan untuk menghadapi pekerjaan yang sehebat-hebatnya guna kepentingan bersama.
Semangat persatuan itu diwujudkan dalam bentuk kerja sama yang meliputi pula keagamaan
yakni dalam bentuk gotong royong.

            Toleransi bangsa Indonesia telah memungkinkan berbagai agama dengan leluasa tanpa
mengganggu kehidupan bersama dalam masyarakat. Di kepulauan nusantara hidup rakyat
Indonesia dalam berbagai suku, yang pada umumnya dalam masyarakat hidup menurut adat
istiadatnya sendiri-sendiri. Akan tetapi dalam berbagai ragam cara hidup itu tampak peradaban
yang mempunyai taraf tertentu dan bercorak ke Indonesiaan.

d.  Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Pemusyawaratan
Perwakilan

                        “Sifat kerakyatan yang hidup dalam masyarakat Indonesia sejak dahulu kala
berbeda dari pengertian demokrasi modern. Demokrasi modern dengan cara-caranya yang lazim
dipraktekkan di negara-negara barat kerapkali menimbulkan pertentangan dan ketegangangan.
Perdebatan yang dilakukan keras dan tajam, siasat-siasat untuk menarik, mengumpulkan suara,
menampakkan usaha-usaha untuk mengadu kekuatan guna mencapai kemenangan. Pada
hakekatnya yang mwnjadi tujuan adalah: merebut kekuasaan. Sistim stem-steman yang
menentukan suara yang terbanyak mutlak, yakni separoh dari jumlah suara ditambah 1,
membuka kemungkinan untuk menjalankan siasat guna mempengaruhi hasil steman itu. Disini
bukanlah keyakinan akan kebenaran dan kepentingan umum yang menjadi pegangan, tetapi
kepentingan golongan atau perorangan yang dapat mempengaruhi jalan perundingan”.

                        Sifat kerakyatan Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan


dalam arti yang luas. Pembicaraan senantiasa diliputi oleh suasana persaudaraan, hormat
menghormati dan memberikan perhatian sepenuhnya kepada kepentingan umum. Kerakyatan
Indonesia adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Unsur pokok dari pada kerakyatan Indonesia adalah: perwakilan, permusyawaratan
dan mufakat.

e. Sila Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia

                        “Dalam kenyataan tata kehidupan dan penghidupan manusia keadilan sekurang-
kurangnya tampak dalam 3 macam perwujudan yakni: Keadilan Sosial, keadilan Tukar-menukar
dan Keadilan Membagi. Keadilan sosial adalah cipta, rasa, karsa dan karya manusia untuk
memberikan dan melaksanakan sesuatu yang memajukan kemakmuran serta kesejahteraan
bersama”.[7]

                        Sejak dahulu kala bangsa Indonesia suka memperhatikan penderitaan dan
ketidakadilan yang timbul di sekitarnya. Pada umumnya dalam keadaan demikian orang
Indonesia tidak segan-segan untuk mengulurkan tangan dan memberikan pertolongan
sekedarnya. Pada dasarnya jiwa bangsa Indonesia menghendaki kehidupan yang layak, maka
dari itu suatu kepribadian Indonesia yakni keadilan sosial yang menuju kepada cita-cita: sama
rata sama rasa.    

                                   

Sumber:

https://www.padamu.net/hakikat-pancasila-sebagai-jiwa-dan-kepribadian-bangsa-indonesia.

Kansil ST, (1977). Pendidikan Moral Pancasila. Jakarta : Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai