NIM : 201015200108
TUGAS MSDM
TUGAS 1 - DISKUSI
1. Program Insentif dampak positif dan negative bagi karyawan dan perusahaan?
Dampak Positif
Meningkatkan gairah karyawan sehingga menjaga motivasi tetap tinggi
Insentif yang terikat akan memudahkan untuk mencapai tujuan perusahaan
Perusahaan mendapat karyawan yang berkualitas baik.
Memudahkan proses administrasi dan aspek hukum dalam perusahaan.
Kompensasi dapat menjadi daya pikat bagi para pencari kerja yang berkualitas.
Perusahaan memiliki kelebihan tersendiri dibanding perusahaan lain atau kompetitor
Dampak Negatif
Standar kompensasi yang sulit untuk ditakar memungkinkan rasa ketidakadilan bagi para
karyawan.
Adanya kemungkinan pemberian kompensasi mungkin tidak berjalan optimal karena
faktor internal atau eksternal perusahaan.
perusahaan dengan sistem insentif biasanya mengesampingkan segi jasa, kualitas,
hingga tujuan jangka panjangnya karena lebih terfokus pada produktivitas atau output
jangka pendek.
3. Bentuk kompensasi yang paling ideal oleh karyawan berikan contoh fakta
Kompensasi yang ideal hendaknya memiliki prinsip-prinsip;
(1) terdapatnya rasa keadilan dan pemerataan pendapatan dalam perusahaan;
(2) setiap pekerjaan karyawan dinilai melalui proses evaluasi pekerjaan dan kinerja;
(3) mempertimbangkan kondisi kesehatan keuangan perusahaan; dan
(4) sistem kompensasi yang baru harus dapat membedakan karyawan yang berprestasi baik dan
tidak dalam golongan gaji yang sama.
Agar tujuan perusahaan dan harapan serta aspirasi individual terujud sesuai harapan maka
dalam sistem penghargaan atau kompensasi, yang idealnya merupakan kesepakatan pihak
manajemen dan karyawan, perusahaan perlu menyediakan kebijakan yang meliputi:
(1) tingkat kompensasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak karyawan;
(2) keadilan dengan pasar kerja eksternal;
(3) keadilan internal sesuai dengan kondisi perusahaan;
(4) perlakuan pada individu karyawan dan perusahaan berada dalam keseimbangan atau win-
win result; dan
(5) sosialisasi dan internalisasi manajemen kompensasi ke seluruh karyawan (manajemen dan
non-manajemen) untuk memperkecil konflik.
Bentuk Imbalan
1. Imbalan Ekstrinsik
Imbalan di luar pekerjaan : Upah, promosi, dan tunjangan
2. Imbalan Intrinsik
Imbalan yang merupakan bagian dari pekerjaan itu sendiri : Tanggung jawab, tantangan,
otonomi, dan umpan balik
2. Tahap kedua, melakukan penetapan gaji dan upah untuk menetapkan hak eksternal yang
adil berdasarkan tarif yang dibayarkan di pasar kerja. Hal ini bisa dilakukan dengan
melakukan survei upah yang didasarkan pada upah pekerjaan serupa di pasar kerja. Telah
dikemukakan pula di atas bahwa keadilan eksternal berbicara tentang jaminan bahwa
pekerjaan diberi imbalan yang wajar, sebanding dengan pekerjaan semacamnya di pasar
kerja.
3. Tahap ketiga, memberikan nilai atau memberikan harga setiap pekerjaan untuk menentukan
tarif pembayaran berdasarkan hak internal dan eksternal yang adil.
10. Contoh fakta pemberian insentif dari masing-masing peserta yang pernah diterima atau
mengetahui dg fakta
Pemberian insentif yang saya ketahui berdasarkan FAKTA tenaga kesehatan (bidan) PNS
golongan IIID di PUSKESMAS SERPONG 2
Gaji pokok dan tunjangan keluarga dinilai dari golongan dan masa kerja
Tunjangan dari pemerintah daerah di lihat dari golongan dan masa kerja
Insentif Jasa pelayanan per bulan dinilai dari absensi kehadiran
Tunjangan non kapitasi (tidak rutin bergantung pada pelayanan pada pasien BPJS)
THR rutin 1 tahun sekali
Tunjangan biaya sekolah anak dilihat dari pangkat golongan dan masa kerja
11. Menurut anda; bentuk insentif seperti apkah yang akan memberi kepuasan bagi pekerja yang
bersangkutan dan dampak positip seprerti apa
Menurut saya bentuk insentif yang akan memberikan kepuasan bagi pekerja adalah berupa Gain
Sharing, jaminan sosial dan program pelayanan karyawan.
Gain sharing merupakan rencana pembagian perolehan yang dirancang untuk memberi
imbalan kepada karyawan atas perbaikan dalam produktivitas perusahaan. Tipe insentif
jenis ini melibatkan karyawan dalam suatu usaha bersama untuk mencapai sasaran
produktivitas. Sasaran yang dapat diukur merupakan dasar untuk menentukan rencana
insentif dalam bentuk gain sharing ini. Tentunya, standar kerja ditentukan sesuai porsi
karena, bila standar terlalu tinggi, maka justru akan memberikan efek kurang baik.
Insentif dalam bentuk jaminan sosial secara umum sifatnya diberikan secara kolektif.
Pegawai dapat memperolehnya secara otomatis tanpa ada unsur kompetitif. Insentif
jaminan sosial biasanya berkaitan dengan kesejahteraan karyawan. Misalnya, dapat
berbentuk pengobatan secara cuma-cuma, pemberian rumah dinas, hingga
kemungkinan pembayaran secara angsuran atas barang-barang yang dibeli. Bisa juga
hadir dalam bentuk pemeliharaan jaminan tunjangan hari tua, jaminan kesehatan,
rekreasi, dan lainnya.
Program pelayanan karyawan adalah salah satu insentif non-finansial yang juga dapat
memicu karyawan memberikan kontribusi yang baik untuk perusahaan. Misalnya,
memberikan beasiswa pendidikan bagi karyawan berprestasi, pelatihan atau upgrading,
konseling finansial, konseling legal, serta kursus-kursus pengembangan diri. Contohnya,
seperti kursus tambahan Bahasa Inggris untuk meningkatkan skill dan kemampuan
karyawan agar mereka bisa bekerja lebih baik lagi.
12. Berikan Contoh fakta yang pernah dan masih berlangsung dalam memberikan insentif dan apa
perubahannya
Karyawan kontrak (tenaga custumer service) di perusahaan Start-up pada bidang e-commerce
yaitu GRAB KIOS (tenaga outsourcing)
Insentif performa setiap bulan dinilai berdasarkan performa karyawan dalam memberikan
pelayan kepada pelanggan. Penilaian dilakukan oleh Quality Assurance.
Insentif yang diberikan apabila bekerja pada hari libur nasional (Rp. 500.000 per hari libur
nasinal)
Terjadi perubahan pemberian insentif akibat pandemi covid-19 dimana insentif kehadiran saat
hari libur nasional ditiadakan.
13. Sebab –sebab pemutusan hubungan kerja /PHK , bagaimana proses dan dan konsekwensi dari
Phk tersebut, pensiun dan macam-macam pension serta persaratannya
Menurut UU Cipta Kerja Pasal 154A Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena :
a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan
perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha
tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti
dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun;
d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur) .
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. perusahaan pailit;
g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan
alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/ buruh;
2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu
sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan
pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap
permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk
melakukan pemutusan hubungan kerja;
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
4. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil
oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk
paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
k. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak
yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
n. pekerja/buruh meninggal dunia.
Berdasarkan UU Cipta Kerja pasal 156 konsekuensi dari dilakukannya pemutusan hubungan kerja
adalah sebagai beriku:
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan
upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan
upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan
upah;
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan
upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima)
bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6
(enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun,
7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh
diterima bekerja;
c. hal-haI lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (21, ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Pemerintah
Pensiun
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatur mengenai jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja
dan Kompensasinya, salah satunya adalah PHK karena pekerja pensiun. Dalam undang-undang
ketenagakerjaan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan usia pensiun adalah usia yang ditetapkan
oleh pengusaha/perusahaan (sesuai dengan jabatannya) dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Undang-undang tidak membedakan antara usia pensiun
normal, usia pensiun wajib, dan usia pensiun dipercepat sebagaimana diatur dalam undang-undang
dana pensiun.
Dalam konteks kepesertaan Pekerja/Buruh dalam program pensiun, batas usia pensiun normal yakni
55 tahun dan batas usia pensiun wajib adalah 60 tahun sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor PER 02/MEN/1995 tentang Usia Pensiun Normal dan Batas Usia
Pensiun Maksimum bagi Peserta Peraturan Dana Pensiun.
Jenis-jenis pensiun:
1. Pensiun Normal – Pensiun yang diberikan untuk karyawan yang usianya sudah mencapai masa
pensiun yang ditetapkan perusahaan. Di Indonesia, usia pensiun normal biasanya 55 tahun.
2. Pensiun Dipercepat – Pensiun yang diberikan karena kondisi tertentu, seperti pengurangan
pegawai di perusahaan. Pensiun ini memungkinkan karyawan untuk pensiun lebih awal sebelum
mencapai usia pensiun yang sudah ditentukan. Biasanya wajib ada alasan yang jelas untuk
mengajukan permohonan agar pensiunnya dipercepat.
3. Pensiun Ditunda – Pensiun ditunda adalah karyawan yang berhenti bekerja sebelum mencapai
usia pensiun normal, sehingga pembayaran dana pensiunnya ditunda sampai karyawan tersebut
mencapai usia pensiun normal.
4. Pensiun Cacat – Pensiun yang diberikan karena adanya sebuah kecelakaan, sehingga pekerja
dianggap tidak mampu lagi untuk dipekerjakan pada perusahaan. Pensiun cacat tidak berhubungan
dengan usia, dan akan diberikan jika tidak lagi cakap atau tidak mampu melakukan pekerjaannya.
14. Serikat pekerja , peran dan fungsinya bagi karyawan dan perusahaan
Pengertian Serikat Pekerja menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
Pasal 1 Ayat 1 adalah sebagai berikut:
Serikat Pekerja atau Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk
pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membele serta melinungi hak
dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh dan keluarganya.
Menurut Siswanto Sastro Hadiwiryo (2003: 81), fungsi utama Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah
sebagai berikut:
Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh
baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
fungsi :
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan
industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai
dengan tingkatannya;
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan;
Kebijakan pengupahan pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari kewajiban negara untuk
penghidupan yang layak bagi rakyatnya.
Janji penghidupan yang layak ini dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan diejawantahkan dalam
Pasal 89 tentang upah minimum yang dalam ayat (2) menyebutkan bahwa: “Upah minimum
diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.” Sayangnya, Pasal 89 dihapuskan dalam
ketentuan UU Cipta Kerja. Sebagai gantinya, disisipkanlah Pasal 88D yang mengatur bahwa: “(1)
Upah minimum dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum. (2) Formula
perhitungan upah minimum memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.”
2. UU Cipta Kerja hanya memberikan kewajiban penetapan upah minimum di tingkat provinsi,
sedangkan di tingkat kabupaten/kota sifatnya adalah opsional atau pilihan.
Hal ini tercermin pada bunyi Pasal 88C ayat (1) UU Cipta Kerja menyatakan bahwa “Gubernur wajib
menetapkan upah minimum provinsi.” Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan bahwa “Gubernur
dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.”
Padahal, upah minimum provinsi adalah upah minimum terendah diantara keseluruhan upah
minimum kabupaten/kota yang ada dalam provinsi tersebut. Hal ini dikarenakan ketentuan bahwa
upah minimum kabupaten/kota wajib ditetapkan lebih tinggi dari upah minimum provinsi. Artinya,
upah minimum provinsi bisa jadi tidak representatif terhadap kebutuhan hidup layak di suatu
kabupaten/kota, karena adanya kemungkinan disparitas kondisi sosial-ekonomi antara
kabupaten/kota di suatu provinsi.
3. UU Cipta Kerja mengubah ruang lingkup kebijakan pengupahan di Pasal 88 ayat (3).
1) Upah minimum;
2) Upah lembur;
3) Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4) Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
5) Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6) Bentuk dan cara pembayaran upah;
7) Denda dan potongan upah;
8) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
9) Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
10) Upah untuk pembayaran pesangonl dan
11) Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Dalam UU Cipta Kerja, jenis-jenis kebijakan pengupahan ini dipangkas sehingga hanya melingkupi:
1) Upah minimum;
2) Struktur dan skala upah;
3) Upah kerja lembur;
4) Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu;
5) Bentuk dan cara pembayaran upah;
6) Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan
7) Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lain. Tidak terdapat
penjelasan yang memadai mengenai alasan pemangkasan kebijakan pengupahan di UU Cipta
Kerja.
UU Cipta Kerja mengubah Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sebelumnya
berbunyi: “Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan,
masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.” Perubahan menjadi sebagai berikut: “Pengusaha wajib
menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan
dan produktivitas.”
Perubahan ini perlu dikritisi karena menghilangkan pertimbangan golongan, jabatan, masa kerja,
pendidikan, dan kompetensi dalam struktur dan skala upah. Padahal, struktur dan skala upah bisa
dijadikan sebagai salah satu upaya untuk memacu upgrading kompetensi pekerja, dengan
pemberian reward berupa kenaikan upah. Dengan ketentuan yang baru, reward ini hilang dan hal ini
bisa menjadi kontraproduktif dengan cita-cita perbaikan kualitas SDM pekerja Indonesia.
B. ANALISA PENGATURAN PEMUTUSAN KERJA/PHK DALAM UU KETENAGAKERJAAN DAN UU
CIPTA KERJA
Menurut pemahaman saya ada perubahan konsepsi pada pasal 151 UU CIPTA KERJA tentang
pengaturan PHK. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dibuat sangat kaku atau saklek agar
semaksimal mungkin dapat mencegah terjadinya PHK. Salah satu “ke-saklek-an” aturan PHK ini
tergambarkan pada bunyi pasal UU Ketenagakerjaan berikut :
Pasal 151 ayat (2) : “Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak
dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan
serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. “
Pasal 151 ayat (3): “Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.”
Konsep dalam pasal-pasal tersebut diatas berubah dalam UU Cipta Kerja. Bunyi Pasal 151 ayat (2)
berubah menjadi: “Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan
pemutusan hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat
pekerja/serikat buruh”. Ayat ini menurut saya dapat menimbulkan kekhawatiran kemungkinan
terjadinyaua PHK sepihak karena PHK cukup disampaikan melalui pemberitahuan dari pengusaha
tanpa dilakukan perundingan.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan mengenai besaran pesangon dan penghargaan
masa kerja yang bisa didapatkan oleh pekerja saat terjadi PHK. Pada Undang-Undang
Ketenagakerjaan, besaran pesangon dan penghargaan masa kerja yang didapatkan saat terjadi PHK
dipengaruhi tidak hanya oleh lama waktu kerja, namun juga alasan terjadinya PHK. Pada UU Cipta
Kerja, korelasi antara alasan PHK dengan besaran pesangon dan/atau penghargaan masa kerja
dihilangkan, sehingga multiplier pesangon dan/atau penghargaan masa kerja yang semula dapat
mencapai 32 kali upah juga tidak lagi ada. Pada UU Cipta Kerja, batas maksimal pesangon dan/atau
penghargaan masa kerja yang diwajibkan kepada pengusaha adalah 19 kali upah.
Secara umum, terdapat beberapa masalah krusial pada Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja.
1. hilangnya ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
2. dihapuskannya frasa “kebutuhan hidup layak” sebagai rujukan penghitungan upah minimum
yang berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas.
3. dihapuskannya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan alih daya
(outsourcing).
4. pergeseran paradigma pemutusan hubungan kerja menjadi lebih mudah karena dibuka
kemungkinan PHK hanya melalui pemberitahuan pengusaha ke pekerja tanpa didahului
dengan perundingan.
5. RUU Cipta Kerja juga sangat mengurangi kontrol 7 negara terhadap hubungan kerja, karena
banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal
batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja.
Secara sosiologis-empiris, pengaturan seperti ini sangat merugikan pekerja karena
ketimpangan antara pekerja dan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar
yang cukup dalam melakukan perundingan dua arah secara berkeadilan.
6. UU Cipta Kerja tidak ramah dengan penyandang disabilitas yang berposisi sebagai pekerja.
UU ini memberikan ketidakadilan bagi pekerja yang menjadi penyandang disabilitas karena
kecelakaan kerja yang kemudian dengan mudah diPHK. Pengaturan ini kontraproduktif
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.