Anda di halaman 1dari 38

OLAHRAGA DALAM PEMBENTUKAN WATAK MANUSIA DAN

KELOMPOK OLAHRAGA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

NIKOLAUS ADI SAPUTRA


DWI LUSIANA MANIK
NIKOLAUS ADRIAN GALANG

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN JASMANI
JURUSAN ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2020
Kata pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “Olahraga Dalam Pembentukan Watak
Manusia Dan Kelompok Olahraga” tepat waktu. Makalah olahraga dalam pembentukan
watak manusia dan kelompok olahraga disusun guna memenuhi tugas sosiologi
olahraga .Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan
bagi pembaca.. Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis
terima demi kesempurnaan makalah ini.
Daftar isi

Kata pengantar...................................................................................................................2
Daftar isi............................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A.    Latar Belakang Masalah........................................................................................4
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................5
C.    Tujuan....................................................................................................................6
D.    Manfaat..................................................................................................................6
BAB II...............................................................................................................................7
PEMBAHASAN................................................................................................................7
A. Pengertian Karakter atau Watak...............................................................................7
B. Karakter dalam Olahraga..........................................................................................8
C. Semangat olahraga sejati.........................................................................................10
A. Pengertian Kelompok Olahraga..............................................................................13
b. syarat-syarat kelompok............................................................................................22
C. Tujuan kelompok olahraga......................................................................................27
BAB III PENUTUP........................................................................................................37
kesimpulan...................................................................................................................37
Daftar pustaka..................................................................................................................38
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Pembinaan karakter bangsa merupakan salah satu permasalahan yang saat ini
perlu mendapat perhatian khusus. Pembinaan ini bersifat multidimensional karena
mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang hingga saat ini masih dalam kondisi yang
memprihatinkan.
Dalam kasus di Indonesia, krisis karakter, mengakibatkan bangsa Indonesia
kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai cita-cita
bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit yang secara terus-menerus melemahkan
jiwa kebangsaan, sehingga bangsa ini kehilangan kemampuan untuk tumbuh dan
berkembang menjadi bangsa yang maju. Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam
banyak fenomena sosial, ekonomi, moral yang secara umum dampaknya menurunkan
kualitas kehidupan masyarakat luas. Korupsi, mentalitas, konflik horizontal dengan
kekerasan adalah beberapa ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter. Semua itu
terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali moral,
kejujuran, pengendalian diri, dan tanggung jawab sosial.
Keprihatinan terhadap degradasi moral dan karakter bangsa akan terus
meningkat sejalan dengan mewabahnya patologi sosial dan penyalahgunaan kebebasan
tanpa aturan. Selain itu juga ada perkembangan sentimen kedaerahan dan
kesukubangsaan yang semakin melunturkan semangat nasionalisme, maraknya
kekerasan dan pelanggaran HAM, terjadinya degradasi lingkungan, radikalisme, dan
otensitas agama.
Untuk mengatasi krisis moral dan karakter bangsa ini, banyak kalangan
berpandangan bahwa problem multidimensional ini dapat teratasi salah satunya melalui
proses pendidikan. Pendidikan adalah investasi masa depan. Melalui pendidikan maka
mental dan karakter dapat terbangun.
Seiring dengan falsafah dunia olahraga “ Men Sana in Corpora Sanno”, yaitu di
dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat, maka pendidikan melalui olahraga
dapat dijadikan sebagai salah satu media pendidikan dalam upaya mengatasi krisis
karakter bangsa. Olahraga merupakan pilar penting karena jiwa fairplay, sportivitas,
teamwork, dan nasionalisme dapat dibangun melalui olahraga. Melalui aktivitas
olahraga kita banyak mendapatkan hal-hal yang positif. Olahraga tidak hanya kegiatan
yang berorientasi pada faktor fisik belaka, tetapi juga melatih sikap dan mental kita.
Dengan olahraga kita bisa kembangkan karakter bangsa, sportivitas, sekaligus
merekatkan persatuan bangsa.
Sayangnya, meski secara konseptual pokok pikiran ini relatif mudah
dirumuskan, tetapi praktiknya sungguh rumit. Selain karena banyaknya praktek
menyimpang dilapangan yang tidak sesuai dengan prinsip pembinaan karakter dan
olahraga itu sendiri, anatominya meliputi horizon yang amat luas seperti perilaku moral,
nilai moral, karakter, emosi, logika moral, dan penggalian identitas.
Atas dasar permasalahan di atas, maka tulisan ini dibuat dengan harapan dapat
dijadikan deskripsi dalam melakukan pembinaan karakter dan lebih menyadarkan
kepada mpaasyarakat secara umum bahwa melalui olahraga khususnya olahraga
pendidikan, yang selama ini banyak dipandang sebelah mata, ternyata memiliki nilai
perilaku yang secara riil dapat diwujudkan apabila direncanakan secara sistematis.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam penulisan makalah
ini adalah:
1.      Apa pengertian karakter atau watak?
2.      Apa yang dimaksud kelompok Olahraga?
3.  Bagaimana hubungan antara olahraga dan pembinaan karakter atau watak manusia ?
C.    Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk menjelaskan bahwa olahraga
ternyata memiliki peranan dan manfaat yang sangat besar dalam hubungannya dengan
pembinaan karakter dan watak serta untuk memenuhi tugas Mata kuliah Sepupu.
D.    Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu :
1.      Bagi Mahasiswa
Dapat memberikan wawasan/pengetahuan tambahan tentang hubungan olahraga
dan pembinaan karakter atau watak, sehingga diharapkan para mahasiswa dapat lebih
berperan aktif dalam mengembangkan olahraga di Indonesia khususnya terkait tujuan
untuk pembinaan karakter atau watak.
2.      Bagi Masyarakat/pembaca
Dapat dijadikan masukan dan motivasi agar masyarakat lebih aktif berpartisipasi
dalam membentuk karakter generasi muda yang lebih baik melalui kegiatan olahraga
yang positif.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Karakter atau Watak


Karakter atau watak merupakan perpaduan dari segala tabiat manusia yang
bersifat tetap sehingga menjadi “tanda” khusus untuk membedakan antara satu orang
dengan orang lainnya (Sumaryanto, 2012). Dalam bahasa Yunani, Charasein (karakter)
berarti mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan. Sedangkan Barnadib (1988)
mengartikan watak dalam arti psikologis dan etis, yaitu menunjukkan sifat pendirian
yang teguh, baik, terpuji, dan dapat dipercaya.

Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli
psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan
tindakan seorang individu, oleh karena itu apabila pengetahuan mengenai karakter
seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut
akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.
Karakter didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi
pemikiran lagi karena sudah tertanam dalam pikiran, dandapat disebut dengan
kebiasaan. Unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pikiran, karena di
dalamnya terdapat seluruh program yang terbentuk dari pengalaman hidupnya dan
merupakan pelopor segalanya. Program ini kemudian membentuk sistem kepercayaan
yang akhirnya dapat membentuk pola berpikirnya yang bisa mempengaruhi perilakunya.
Program yang tertanam tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran universal,
maka perilakunya berjalan selaras dengan hukum alam dan hasil dari perilaku tersebut
membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, apabila program tersebut tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum universal, maka perilakunya membawa kerusakan
dan menghasilkan penderitaan.
Dari hal di atas dapat di kaji bahwa pikiran harus mendapatkan perhatian serius,
dengan memahami cara kerja pikiran, seseorang akan memahami bahwa pengendalian
pikiran menjadi sangat penting. Kemampuan seseorang dalam mengendalikan pikiran
ke arah kebaikan, maka seseorang juga akan mudah mendapatkan apa yang
diinginkannya, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran seseorang lepas kendali
sehingga terfokus kepada keburukan dan kejahatan, maka akan terus mendapatkan
penderitaan-penderitaan yang disadari maupun tidak. Semakin banyak informasi yang
diterima dan semakin matang sistem kepercayaan dan pola pikir yang terbentuk, maka
semakin jelas tindakan, kebiasan, dan karakter unik dari masing-masing individu. Setiap
individu akhirnya memiliki sistem kepercayaan (belief system), citra diri (self-image),
dan kebiasaan (habit) yang unik. Apabila sistem kepercayaannya benar dan selaras,
karakternya baik, dan konsep dirinya bagus, maka kehidupannya akan terus baik dan
semakin membahagiakan. Sebaliknya, apabila sistem kepercayaannya tidak selaras,
karakternya tidak baik, dan konsep dirinya buruk, maka kehidupannya akan dipenuhi
banyak permasalahan dan penderitaan.

B. Karakter dalam Olahraga


Karakter dalam olahraga merujuk pada sebuah kesatuan karakteristik yang dapat
dikembangkan dalam olahraga (pada umumnya mengandung nilai-nilai moral bahwa
kita semua menginginkan para atlet untuk mengembangkan karakter yang baik dalam
olahraga). Karakter dapat dilihat sebagai sebuah konsep menyeluruh yang memadukan
antara fair play dan perilaku positif dalam olahraga dengan dua nilai penting lain yaitu
perasaan dan integritas, oleh karena itu karakter dalam olahraga menggabungkan empat
nilai yang saling terkait: perasaan, keadilan, perilaku sportif dalam olahraga, dan
integritas. Perasaan dalam hal ini berkaitan dengan empati, yaitu sebuah kemampuan
untuk memahami dan menghargai perasaan orang lain. Pada saat seseorang
menggunakan perasaan kepada orang lain, maka akan berusaha untuk memahami sudut
pandang atau pendapat-pendapat orang lain. Integritas adalah kemampuan untuk
mempertahankan moral dan keadilan seseorang berdampingan dengan keyakinan bahwa
seseorang akan bisa memenuhi tujuan moral seseorang. Pada intinya, hal tersebut
merupakan kesadaran moral seorang atlet atau pelatih dan merupakan sebuah keyakinan
bahwa seseorang akan melakukan hal yang benar dan baik saat dihadapkan dengan
sebuah dilema moral.
Pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan
kepada manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan
yang benar. Pembinaan watak merupakan tugas utama pendidikan, menyusun harga diri
yang kukuh-kuat, pandai, terampil, jujur, tahu kemampuan dan batas kemampuannya,
mempunyai kehormatan diri. Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 3 mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ada beberapa
karakter manusia menurut motivasinya:
 Achievement Motivation
 Popularity Motivation
 Power Motivation
 Strategi Membentuk Karakter

Menumbuhkan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka


mencerdaskan kehidupan bangsa perlu menggunakan strategi sehingga terbentuk
karakter yang idealis. Karakter dapat dibangun melalui atlet sendiri dan pelatih.
Adapaun strategi membentuk karakter untuk atlet (Adopted from Mango, 2011; Heart
of Illinois Conference, 2007). Penekanan yang tinggi pada karakter, Harapan yang
tinggi dari perilakuMemberikan contoh yang baik
 Sportif merupakan suatu keharusan
 Akuntabilitas
 Pendekatan yang menyeluruh
 Menghormati sebuah permainan
 Menghormati official
 Membuat aktif dalam berbuat dan berkomunikasi
 Praktek mengontrol diri
Strategies for Coaches (adopted from Clifford & Feezell, 2009; Lumpkin & Stokowski,
2011)
 Menjadi contoh yang baik
 Selalu membicarakan tentang masalah apapun
 Teratur dalam menggunakan bahasa
 Menjunjung sportivitas dalam praktek dan permaianan
 Memperkuat sportivitas
 Selalu menekankan atlet untuk berpartisipasi dalam latihan dan membuat senang
 Menekankah bahwa tujuan latihan menguasai keterampilan olahraga yang digunakan
sebagai pelajaran hidup
 Membantu setiap atlet mengembangkan dan mencapai semua potensi yang dimiliki.
 Mengikuti aturan terbaru dan memperkuat perilaku fairplay dan sportif setiap waktu
 Mengajarkan bagaimana belajar dari sebuah kegagalan dan kesuksesan
Sedangkan menurut Stefan Sikone (2006), dalam melaksanakan pembentukan karakter,
generasi muda memiliki 3 peran penting yaitu:
 Sebagai pembangun kembali karakter bangsa (charater builder)
 Sebagai pemberdaya karakter (character enabler)
 Sebagai perekayasa karakter (character engineer)

C. Semangat olahraga sejati


Dalam dunia olahraga, fair play dapat diartikan sebagai semangat olahragawan
sejati atau semangat olahragawan ksatria yang dapat pula dimaknai dengan istilah
the finest sportmanship.Seorang olahragawan dapat dikatakan bertindak secara
fair play apabila dia melakukan sesuatu perbuatan terpuji yang mencakup lebih dari
pada sekedar tunduk 100% pada peraturan tertulis. Perilaku yang menunjukkan fair
play akan diawali dengan kemampuan untuk sepenuhnya 100%, tunduk
kepada peraturan-peraturan yang tertulis. Ini berarti, setiap pihak yang
berurusan dengan olahraga, utamanya para siswa dan siswi, harus paham akan
peraturan, dan setelah itu, harus siap mematuhi peraturan yang berlaku. Siswa
diharapkan dapat bersikap fair play dengan teman sejawatnya ketika melakukan
aktivitas jasmani baik disekolah ataupun diluar sekolah.Fair play yang
dihasilkan dari kecenderungan ini untuk perilaku moral tertentu, bermain
sikap adil adalah komponen olahraga moralitas sosial, (Ziółkowski, Sakłak, dan
Włodarczyk, 2009: p. 136). Menurut Davidson (2005, p. 34) evolution fair play
sport istilah dari fair playdalam olahraga memiliki beberapa arti. Pusat Etika di
Kanada dalam olahraga (2005) percaya bahwa mempromosikan penghormatan
untuk olahraga, menghormati orang lain dan tidak menggunakan doping berupa
obat ketika sedang berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan lebih dari kompetisi
tersebut, berikut definisi dari fair play(bermain adil). Kegiatan ini dirancang
untuk fokus pada pengembangan sikap dan perilaku yang memberikan

contoh cita-cita fair play diidentifikasi oleh Komisi: (a) menghormati aturan, (b)
menghormati pejabat dan keputusan mereka, (c) menghormati lawan , (d)
menyediakan semua individu dengan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi,
dan (e) mempertahankan kontrol diri setiap saat, (Gibbons, dkk, 1995: p. 247).
Sebagai konsep moral, suatu gagasan, fair play berisi penghargaan terhadap lawan
serta harga diri.Dalam kaitan inilah, antara kedua belah pihak harus
memandang lawannya sebagai mitra.Lawan adalah kawan bermain.Keseluruhan
upaya dan perjuangan itu dilaksanakan dengan bertumpu pada standart moral
yang dihayati masing-masing kedua belah pihak. Definisi Kepercayaan Doyle, dkk
(2012) menyatakan bahwa kepercayaan menggambarkan informasi hubungan yang
simetris antara yang dipercaya dan yang mempercayai. Sehingga dapat diambil
kesimpulan bahwa karakter kepercayaan adalah suatu nilai atau karakter yang
dimiliki oleh seseorang dimana seseorang tersebut dapat diakui dan diyakini
akan melakukan sesuatu yang benar dan nyata
.Pentingnya karakter kepercayaan terhadap kesuksesan dalam segala hal telah
diungkapkan oleh Ko dkk (2014) dalam penentuan keputusan dalam pemberian
dana organisasi olahraga faktor penentuanya adalah kepercayaan dan komitmen.
Seseorang yang memiliki karakter kepercayaan yang baik tentunya akan
melakukan sesuatu seperti yang seharusnya mungkin bukan seperti yang
diharapkan oleh orang lain. Contoh orang yang memiliki karakter
kepercayaan yang baik, ketika dalam suatu pertandingan sepakbola seorang
wasit diminta untuk memenangkan salah satu tim melalui cara yang curang,
maka wasit tersebut menolak untuk melakukannya. Penelitian yang dilakukan oleh
Frogozo (2006) yang meneliti pengaruh olahraga terhadap pembangunan
karakter dalam pendidikan karakter pada sampel kelas 6 sampai 8 dengan
treatmen 13 minggu program olahraga sepakbola menemukan hasil terjadi
perubahan karakter terjadap sifat

dapat dipercaya, saling menghormati, tanggung jawab, saling peduli, merasa


anggota dalam program. Penanaman karakter kepercayaan merupakan salah satu
langkah yang harus dilakukan oleh guru sehingga karakter dapat dipercaya dan
mempercayai melekat pada siswa sedini mungkin.Kebiasaan yang ada dalam
pendidikan di Inddonesia rasa mempercayai dan dipercayai sangat minim,
sehingga pendidik selalu mencurigai siswa.Hal tersebut berdampak buruk kedepannya,
sehingga diluar ranah pendidikan, karakter dapat dipercaya dan mempercayai
sangat kurang hingga muncul hal-hal yang tidak diinginkan.Hal negatif dari rasa
dipercayai yang kurang dapat berdampak pada sikap mempercayai yang kurang juga.
Definisi Pendidikan Jasmani Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari
peroses keseluruhan proses pendidikan. Artinya, pendidikan jasmani menjadi
salah satu media untuk membantu ketercapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan
Husdarta (2010: p. 142). Sedangkan menurut Rahyubi (2012: p. 352) mengatakan
bahwa penjas dan olahraga pada dasarnya merupakan bagian dari sistem
pendidikan. oleh karena itu, pelaksanaan harus diarakan pada pencapaian
tujuan tersebut. Tujuan penjas dan olahraga bukan hanya mengembangkan ranah
jasmani, tetapi juga mengembangkan seluruh potensi peserta didik. Secara lengkap,
penjas dan olahraga aspek kesehatan, kebugaran jasmani, ketrampilan berpikir keritis
stabilitas emosional, ketrampilan sosial, empati sosial, mengasa penalaran, dan
memperbaiki tindakan moral.

A. Pengertian Kelompok Olahraga


Lebih lanjut Rosdiani (2012: p. 66) mengatakan pendidikan jasmani sering pula
diartikan dengan gerak badan, gerak fisik, gerakan jasmani. Yang pada hakikatnya
berarti gerakan jasmani manusia atau dapat disebut pula gerak manusiawi
(human movement).Tidak semata-mata gerak otot tetapi gerak manusia
seutuhnya.Gerak itu merupakan esensi.Esensi pendidikan jasmani adalah yang
mengikuti batasan gerak dan waktu. Abedalhafiz (2013: p.286) mengemukakan
bahwa physical education is an educational field characterized by practical
application and practice. Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang
mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas hubungan timbal balik
yang berlangsung untuk mancapai tujuan tertentu.

Pembelajaran dapat dijadikan sebagai media sosialisasi dan interaksi antara


pendidik dan peserta didik.Interaksi yang terjadi diharapkan mampu mentransfer
nilai-nilai pendidikan. Rusman (2013: p.58) mengemukakan bahwa guru berperan
sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan belajar,
perencana pembelajaran, supervisor, motivator, dan sebagai evaluator. Guru
mempunyai peran penting terhadap

keberhasilan belajar siswa. Guru harus mampu mendidik siswanya secara


profesional dan mampu mengembangkan aspek psikologi siswa terutama melalui
pendidikan jasmani. KDI (2000, p.12) mengemukakan pendidikan jasmani
adalah proses sosialisasi melalui aktivitas jasmani, bermain, dan atau olahraga
yang bersifat selektif untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya.
Himberg, C., Hutchinson, Gayle C., & Roussell, John Mathieu (2003,
p.21) mengemukakan bahwa the purpose of physical education should be to help
students develop the skills and knowledge they need to become physically active for
life. Pendidikan jasmani akan membantu siswa untuk mengembangkan
keterampilan dan pengetahuan yang siswa butuhkan secara jasmani dalam
kehidupan sehari-hari. Hetherington (Metzler, 2005, p.4) mengemukakan bahwa ada
empat tujuan utama dari pendidikan jasmani: (1) organic education-the
development of muscular and skeletal vigor, (2) psychomotor education-the
development of skill in neuromuscular activities, (3) character education-the
development of moral, social, and personal characteristics, dan (4) intellectual
education-the development of cognitive, expressive knowledge. Tujuan pendidikan
jasmani di atas meliputi pendidikan organ, pendidikan gerak, pendidikan karakter,
dan pendidikan kecerdasan.Pendidikan organ mengembangan otot dan tulang melalui
aktivitas jasmani.

Pendidikan gerak mengembangkan keterampilan dalam melakukan aktivitas


jasmani.Pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan moral, sosial, dan
karakter pribadi.Pendidikan kecerdasan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
kognitif siswa. Penanaman Karakter Fair Play dan Kepercayaan dalam
Pembelajaran Pendidikan Jasmani Kita telah menyadari bahwa pendidikan jasmani
dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, oleh sebab itu guru
pendidikan jasmani harus mencoba mengajarkan nilai fair play dalam proses
belajar mengajar, yang mengarah pada kesempatan untuk membentuk karakter anak.
Karakter anak didik yang dimaksud tentunya tidak lepas dari karakter bangsa
Indonesia serta kepribadian utuh anak, selain harus dilakukan oleh setiap
orangtua dalam keluarga, juga dapat diupayakan melainkan pendidikan nilai di
sekolah.Saran yang bisa diangkat yaitu seluruh suasana dan iklim di sekolah
sendiri sebagai lingkungan sosial terdekat yang setiap hari dihadapi, selain di
keluarga dan masyarakat luas, perlu mencerminkan penghargaan nyata terhadap
nilai-nilai kemanusiaan yang mau diperkenalkan dan ditumbuh kembangkan
penghayatannya dalam diri siswa. Misalnya, kalau sekolah ingin menanamkan nilai
fair play kepada siswa, tetapi di lingkungan sekolah itu mereka terang-terangan

menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan tentang fair play, maka di sekolah


itu tidak tercipta iklim dan suasana yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai.
Tindakan nyata dan penghayatan hidup dari para pendidik atau sikap
keteladanan mereka dalam menghayati nilai-nilai yang mereka ajarkan akan dapat
secara instingtif mengimbas dan efektif berpengaruh pada peserta didik. Sebagai
contoh, kalau guru sendiri memberi kesaksikan hidup sebagai pribadi yang
selalu berdisiplin, maka kalau ia mengajarkan sikap dan nilai disiplin pada peserta
didiknya, ia akan lebih disegani. Semua pendidik di sekolah, terutama para guru
pendidikan jasmani perlu jeli melihat peluang-peluang yang ada, baik secara
kurikuler maupun non/ekstrakurikuler, untukmenyadarkan pentingnya sikap dan
perilaku positif dalam hidup bersama dengan orang lain, baik dalam keluarga,
sekolah, maupun dalam masyarakat.

Misalnya sebelum pelajaran dimulai, guru menegaskan bila anak tidak mengikuti
pelajaran karena membolos, maka nilai pelajaran akan dikurangi. Karakter
kepercayaan juga harus mengimbangi fair play, kepercayaan guru terhadap
siswanya dalam suatu tugas untuk siswa mengerjakannya maka akan menimbulkan
rasa tanggung jawab yang besar pada diri siswa tersebut. Siswa yang
bertanggung jawab serta sportif maka akan mendapatkan kepercayaan penuh
ketika melakukan suatu hal. Hubungan fair play dan kepercayaan sangat erat
hubungannya, seorang pendidik hendaknya lebih menekankan sifat fair play dan
kepercayaan kepada siswanya mulai sedini mungkin.

Kesimpulan Membentuk karaktek fair play dan kerpecayaan memang sangatlah


baik, fair play lebih menekankan pada sikap sportifitas dalam berbagai hal,
dengan sikap sportif maka tidak akan merugikan orang lain dan akan
menguntungkan untuk diri sendiri serta kepercayaan akan menjadi suatu amanat yang
besar bagi siswa yang sportif, siswa yang memiliki jiwa sportif akan lebih
bisa diandalkan ketika mendapatkan suatu kepercayaan. Siswa yang memiliki sifat
fair play dan keperayaan pasti akan lebih berprestasi daripada siswa yang
tidak mmeiliki sifat tersebut. Pendidikan fair play dan kepercayaan konsepnya
bersifat abstrak, sehingga pemberiannya harus lebih banyak pada perilaku dan
contoh-contoh yang konstruktif, dan sebagai alat pendidikan mempercepat anak
dalam mengembangkan konsep tentang moral.
Melalui pendidikan jasmani, diharapkan dalam waktu jarak pendek agar para
siswa memiliki kebugaran jasmani, kesenangan melakukan aktifitas fisik dari
olahraga (gaya hidup yang aktif dan sehat), memiliki prestasi olahraga yang
sesuai dengan tahapannya, dan memperoleh nilai- nilai pendidikan karakter yang
diperlukan bagi anak itu untuk bekal kehidupan sekarang maupun dimasa yang akan
datang salah satunya ialah nilai fair play dan nilai kepercayaan. Peran guru
penjas dalam proses pengembangan nilai pada anak adalah sebagai pendidik, sebagai
panutan, sebagai perancang pengembangan, sebagai konsultan dan mediator

Amatirisme Dan Profesionalisme

Secara universal dunia olahraga mengenal dua jalur pencapaian prestasi, yaitu
amatir dan profesional. Keduanya bagai dua sisi mata uang, berbeda namun saling
melekat. Apa yang membedakan keduanya? Secara harfiah istilah keduanya mempenyai
arti yang sangat berbeda. Arti kata amatir berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah kegiatan yang dilakukan atas dasar kesenangan dan bukan untuk memperoleh
nafkah. Sementara, profesional adalah suatu hal yang bersangkutan dengan profesi dan
mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.

Definisi tersebut sejalan dengan batasan yang diatur oleh UU No 3 tahun Tahun
2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Pada pasal 1 UU itu dijelaskan
olahraga amatir adalah olahraga yang dilakukan atas dasar kecintaan atau kegemaran
berolahraga. Sementara, olahraga profesional adalah olahraga yang dilakukan untuk
memperoleh pendapatan dalam bentuk uang atau bentuk lain.

Ditinjau dari aspek tujuannya, olahraga amatir bertujuan membimbing atlet


mencapai prestasi tertinggi. Menjadi juara adalah tujuan utama olahraga amatir. Peserta
olahraga amatir di bawah bimbingan pelatih selalu mengutamakan pencapaian prestasi
maksimal. Olahraga amatir mendapat dukungan dari pemerintah dan memperoleh
bantuan keuangan negara.
Sementara, olahraga profesional adalah olahraga bertujuan komersial yang
menekankan pada unsur hiburan dan menyediakan hadiah uang bagi sang juara. Peserta
boleh didukung perusahaan-perusahaan swasta. Berolahraga adalah pekerjaan utama
atlet profesional. Penonton adalah faktor penting dalam olahraga profesional sebab
penjualan tiket pertandingan amat mempengaruhi bisnis ini. Bahkan, pada prakteknya
beberapa cabang olahraga profesional sebagai subsistem telah tumbuh menjadi industri
yang menggiurkan. Dewasa ini, pada beberapa cabang olahraga, jalur profesional telah
menjadi suatu bisnis yang menghasilkan uang jutaan dolar. Sebut saja sepak bola, tenis,
golf, basket, tinju dan bulutangkis telah menjelma menjadi suatu industri yang
menjanjikan penghasilan spektakuler. Profesi olah raga bisa menjadi pintu masuk untuk
menjadi milyuner. Siapa yang tak kenal dengan sosok Christiano Ronaldo yang
berpenghasilan 10 juta Euro (124 milyar) per tahun. Atau, petinju asal Filipina, Manny
Pacquiao yang berpenghasilan US$ 85 juta atau Rp 799 miliar untuk dua pertarungan
pada tahun lalu.

Di Indonesia, geliat olahraga profesional pun tak ketinggalan. Publik sempat


terpesona dengan atlet sepakbola Bambang Pamungkas, yang penghasilannya sempat
menembus angka Rp 1,1 milyar per tahun. Sehingga, sangat wajar bila akhirnya bila
jalur profesional menjadi tujuan akhir para atlet beberapa cabang olahraga.

Batasan Kualifikasi

Dalam dunia olah raga, batasan amatir dan profesional sempat menjadi batu
ganjalan, khususnya dalam pelaksanaan olimpiade. Awalnya, olimpiade hanya
diperuntukan untuk atlet amatir yang tidak mencari nafkah melalui kemahiran olahraga.
Akibat friksi pandangan mengenai batasan amatir dan profesional ini, cabang olahraga
tenis sempat didepak dari olimpiade mulai tahun 1928. Namun, akhirnya diterima
kembali menjadi cabang olimpiade secara resmi pada Olimpiade Seoul 1988.

Seiring dengan perkembangan zaman, batasan antara olahraga amatir dan


profesional menjadi semakin tipis. Meskipun demikian, batasan itu tetap ada. Misalnya,
pemain sepakbola profesional boleh bertanding di kejuaraan amatir. Namun, jumlah
pemain setiap tim yang berusia di atas 23 tahun dibatasi hingga hanya menjadi tiga
orang saja untuk setiap tim. Memang, tidak semua cabang olahraga memberikan batasan
yang rigid mengenai kualifikasi pemain profesional dan amatir yang akan ikut dalam
suatu pertandingan. Tapi, ada juga cabang olahraga yang telah memberikan batasan
yang pasti. Seperti pada cabang tinju, organisasi dunia yang menaungi olah raga itu
sudah menetapkan batasan yang jelas dan praktis. Seorang petinju yang telah naik kelas
di ring profesional, tidak boleh lagi bertanding pada event amatir.

Hal yang sama juga terjadi pada olahraga golf. R&A Rules Limited dan The
United States Golf Association menetapkan aturan status atlet amatir dan profesional
dengan sangat ketat. Atlet golf amatir tidak diperkenankan menerima hadiah dalam
bentuk keuntungan finansial.

Pengaturan Pelaku Olahraga Profesional

Batasan pelaku olahraga kedua jenjang ini juga telah diatur secara jelas dan tegas. Pasal
55 UU SKN menegaskan, setiap orang dapat menjadi olahragawan profesional setelah
memenuhi persyaratan:

1. Pernah menjadi olahragawan amatir yang mengikuti kompetisi secara periodik;


2. Memenuhi ketentuan ketenagakerjaan yang dipersyaratkan;
3. Memenuhi ketentuan medis yang dipersyaratkan; dan
4. Memperoleh pernyataan tertulis tentang pelepasan status dari olahragawan
amatir
5. Menjadi olahragawan profesional yang diketahui oleh induk organisasi cabang
olahraga yang bersangkutan.

Pengaturan ini dilakukan secara jelas untuk melindungi setiap olahragawan profesional.
Sehingga, dalam melaksanakan profesinya, olahragawan profesional harus membuat
perjanjian berupa kontrak kerja. Tujuannya agar haknya terkait masalah pendapatan,
kesehatan, manajemen, pelatihan dan hukum yang layak dapat dilindungi. Sementara
itu, Alih status olahragawan amatir menjadi olahragawan profesional secara lebih rinci
diatur dalam Pasal 57 PP Penyelenggaraan Keolahragaan. Yaitu wajib memenuhi
persyaratan:
1. Memenuhi batasan usia sesuai ketentuan induk organisasi cabang olahraga atau
federasi olahraga internasional;
2. Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan keterangan dokter yang
ditunjuk oleh Badan Olahraga Profesional;
3. Pernah menjadi anggota perkumpulan olahraga amatir;
4. Pernah mewakili Indonesia dalam Olimpiade, Pekan Olahraga Internasional
Tingkat Asia (Asian Games), Pekan Olahraga Internasional Tingkat Asia
Tenggara (South East Asian Games), kejuaraan olahraga tingkat
dunia/internasional, menjadi juara nasional, atau menjadi juara tingkat provinsi;
dan
5. Mendapat rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga.
Visualisasi Olahraga dan Rasisme Secara umum pengertian olahraga adalah
sebagai salah satu aktivitas fisik maupun psikis seseorang yang berguna untuk
menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan seseorang. “Olahraga” datang
dari bahasa Perancis Kuno “de sport” yang bermakna “kesenangan”, serta
pengertian berbahasa Inggris tertua ditemukan seputar tahun 1300 yakni “segala
hal yang mengasyikkan serta menghibur untuk manusia”. Olahraga adalah satu
diantara sumber utama dari hiburan karenanya ada pendukung olahraga yang
umumnya terbagi dalam beberapa besar orang dan bisa disiarkan lebih luas lagi
lewat tayangan olahraga. Menurut Cholik Mutohir, olahraga adalah proses
sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang dapat mendorong
mengembangkan, dan membina potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah
seseorang sebagai perorangan atau anggota masyarakat dalam bentuk
permainan, perlombaan/pertandingan, dan prestasi puncak dalam pembentukan

manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas berdasarkan Pancasila. Rasisme


adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa
perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian
budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak
untuk mengatur yang lainnya. Beberapa penulis menggunakan istilah rasisme
untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri
(etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap
hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok
orang tertentu (stereotipe)
Rasisme dalam Olahraga Sepakbola Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia
rasisme diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan
atau pembedaan ciriciri fisik (seperti warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme
juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras (SARA),
golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu
jelas bermakna sangat merugikan bagi si korban. Sangat disayangkan itulah
yang terjadi dalam dunia sepakbola Indonesia dan mancanegara. 1. Rasisme
Persepakbolaan Mancanegara Cabang olahraga paling populer di muka bumi ini
pernah dinominasikan menjadi salah satu kandidat penerima Hadiah Nobel
Perdamaian 2001 oleh Akademi Swedia. Menurut International Herald Tribune,
sepak bola dipilih karena dinilai bisa menjembatani saling pengertian
antarbudaya.Pilihan Akademi Swedia itu sebenarnya tak keliru. Anggaran Dasar
Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pun telah mengasaskan hal yang
sama. Menurut anggaran dasar itu, sepak bola bertekad menjadi sarana
melunturkan semua prasangka.
2. “Ku Klux Klan” Masuk Stadion Tak hanya masyarakat sepak bola Norwegia
yang mengambil

langkah. Dua pekan lalu, pada 16 Maret 2015, England's Member Club, sebuah
kelompok fans sepak bola, dinyatakan terlarang oleh Pemerintah Inggris.
Kelompok dengan anggota sekitar 30.000 orang ini dinilai selalu
mengampanyekan ''huliganisme'' dan rasisme setiap melawat ke luar negeri
menemani tim nasional (Bonnett, 2000). 3. Monyet Hitam vs Gipsi Sialan
Arrigo Sacchi tahu persis apa yang dialami kedua pemainnya itu. Penggemar
sepak bola mana pun tahu, betapa Rijkaard dan Gullit telah menyuguhkan
permainan sepak bola kelas satu kepada publik Italia. Sacchi tak habis mengerti,
mengapa kedua pemain Belanda berkulit hitam asal Suriname itu masih selalu
mengalami perlakuan rasis yang kasar di stadionstadion sepak bola Italia.''Di
stadionstadion kami, budaya olahraga nyaris tak lagi tersisa,'' kata Sacchi. Tak
hanya Sacchi yang merasakan atmosfer rasisme yang buruk di stadionstadion
Italia. Persatuan Sepak Bola Inggris, FA, malah secara resmi pernah mengajukan
protes keras pada UEFA, atas perlakuan yang diterima salah satu pemainnya di
Stadion Delle Alpi di Turin (Bonnett, 2000). 4. Klub Diktator Mussolini
Pendukung klub Lazio memang sudah lama dikenal sebagai kubu paling rasis di
antara seluruh kubu pendukung klub-klub Seri A di Liga Italia. Maklum saja,
dulu klub ini adalah klub kecintaan diktator Italia, Benito Mussolini. Tak
mengherankan bila pendukung fanatik kesebelasan ini enak saja menghina
pemain Lazio yang menurut mereka tak pantas mewakili klub kesayangannya.
Aron Winter, pemain nasional Belanda, adalah pesepak bola kulit hitam terakhir
yang bermain bagi Lazio. Ketika pada 1992 Aron Winter datang ke Lazio, ia

disambut sebuah spanduk besar yang dengan sangat menghina menyebutnya


''Yahudi Negro''. Para pendukung Lazio ini jelas tak cukup mengenal Winter. Ia sama
sekali bukan Yahudi, sebab nama tengahnya adalah Mohammed. 5. Kebangkitan
Fasisme dan Kaum Ultrakanan Sungguh sayang jika semangat berkompetisi hancur
karena perbuatan tak terpuji,'' kata Paus. Toh, ada yang menganggap kekhawatiran
terhadap kebencian rasial ini terlalu berlebihan. Salah satunya adalah Dino Zoff mantan
kiper legendaris Italia yang kini melatih Lazio. Musim lalu, sebagai Asisten Presiden
Lazio, Zoff terpaksa membayar denda akibat aksi pendukung klubnya.Lazio didenda
US$ 2.250 karena Irrudicibili melakukan pelecehan terhadap Bruno N'Gotty, pemain
belakang berkulit hitam yang bermain untuk Venesia. ''Saya tak tahu, apakah hal seperti
itu bisa disebut rasisme,'' katanya, ''Ini kan cuma cara sekelompok orang membuat
lelucon. Mereka bisa saja memilih orang yang terlalu tinggi, terlalu pendek, atau
berkulit hitam. 6. Kawasan Tanpa Kulit Berwarna Dalam sebuah cerita sampulnya pada
1994, time mencatat betapa bagi kaum neofasis, sepak bola merupakan lahan paling
efektif untuk merekrut anggota baru. Hal ini, menurut Time, paling jelas terjadi di
Inggris. Di Spanyol, para pemuda ultrakanan juga menggabungkan kekerasan jalanan
dan lambang-lambang neo-Nazi dengan dukungan bagi tim kesayangan mereka. Di
Prancis adalah Jean Marie Le Pen, politisi ultrakanan, yang mengucapkan kata-kata
kasar ketika ''Les Bleus'', tim sepak bola nasional Prancis untuk Piala Dunia 1998,
dibentuk dari pemainpemain yang multiras. ''Tim masyarakat pendatang ini tak pantas
mewakili Prancis,'' kata Le Pen. Toh, hasilnya, tim ini merebut Piala Dunia Sepak Bola
1998, dan juga Piala Eropa 2000.

7. Kesepakatan PBB Di Budapest, Hongaria, tatkala Ajax Amsterdam menghadapi klub


Ferencvaros dalam kompetisi sepak bola Eropa, stadion itu penuh teriakan, poster, dan
umpatan rasis, setiap pemain berkulit hitam Ajax memainkan bola. Menurut Tamas
Krausz, sejarawan Hongaria, dalam Soccer and Racism in Hungary, atmosfer rasis di
stadionstadion Hongaria tak punya akar dalam sejarah (Liliweri, 2018). 8. Rasisme
Persepakbolaan di Indonesia Dimulai dari persepakbolaan Indonesia, sikap rasisme bisa
dipastikan terjadi di setiap pertandingan Liga Indonesia yang digelar. Awal dari Liga
Indonesia 2007 saja dinodai dengan aksi rasisme yang diluncurkan terhadap pemain
Persipura. Selain kejadian itu, tindakan rasisme kali ini menimpa mantan pemain Persib
yang kini membela Arema malang yakni Alexander Pulalo yang mengalami dua kali
perlakuan rasisme. Pada tanggal 25 Maret 2007 tepatnya hari Minggu di Stadion Gelora
Delta, Pulalo mendapatkan perlakuan tidak berkenan dari pendukung Deltras dan pada
hari Rabu tanggal 28 Maret 2007 dari para pendukung PSIM di Stadion Mandala Krida
Yogyakarta.

b. syarat-syarat kelompok
Olahraga merupakan pilar penting dalam kehidupan. Olahraga bukan sekedar kegiatan
yang berorientasi kepada faktor fisik belaka, olahraga juga dapat melatih sikap dan
mental seseorang. Pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan salah satunya melalui
olahraga, dengan olahraga dapat mengembangkan karakter bangsa, sportivitas sekaligus
merekatkan persatuan bangsa. Ada banyak nilai-nilai universal olahraga yang dapat
ditransfer dikehidupan, yaitu nilai karakter percaya diri dan nilai karakter kerja keras.
percaya diri adalah penilaian positif terhadap diri sendiri mengenai kemampuan yang
ada dalam dirinya untuk menghadapi berbagai situasi dan tantangan serta kemampuan
mental untuk mengurangi pengaruh negatif dari keragu-raguan yang mendorong
individu untuk meraih keberhasilan atau kesuksesan tanpa tergantung kepada pihak lain
dan bertanggung jawab atas keputusan yang telah ditetapkannya. kerja keras adalah
berusaha dengan sepenuh hati dengan sekuat tenaga untuk berupaya mendapatkan
keingingaPercaya Diri.

1. Pengertian Percaya Diri Menurut Fatimah (2006) kepercayaan diri adalah sikap
positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian
positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang
dihadapinya. Sedangkan menurut Guilford ( dalam Hakim, 2004) bahwa kepercayaan
diri adalah pengharapan umum tentang keberhasilan. Branden (dalam Iswidarmanjaya
dan Agung, 2005) mengemukakan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan seseorang
pada kemampuan yang ada dalam dirinya. Bandura (dalam Iswidarmanjaya dan Agung,
2005) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu perasaan yang berisi kekuatan,
kemampuan, dan keterampilan untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu yang
dilandasi keyakinan untuk sukses. Selanjutnya Radenbach (1998) menyatakan bahwa
percaya diri bukan berarti menjadi keras atau seseorang yang paling sering menghibur
dalam suatu kelompok, percaya diri tidak juga menjadi kebal terhadap ketakutan.
Percaya diri adalah kemampuan mental untuk mengurangi pengaruh negatif dari
keraguraguan, dengan demikian biarkan rasa percaya diri setiap orang digunakan pada
kemampuan dan pengetahuan personal untuk memaksimalkan efek. n pencapaian hasil
yang maksimal pada umumnya

2. Proses Terbentuknya Rasa Percaya Diri

Kepercayaan diri merupakan keyakinan dan harapan dan terbentuk tidak instan, tetapi
ada proses tertentu di dalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya
diri. Terbentuknya rasa percaya diri yang kuat terjadi melalui proses sebagai berikut : a.
Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang
melahirkan kelebihan kelebihan tertentu. b. Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-
kelebihan yang dimilikinya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala
sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihannya tersebut. c. Pemahaman dan
reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar tidak
menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri. d. Pengalaman di dalam
menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada
pada dirinya.

3. Karakteristik Individu yang Percaya Diri Beberapa ciri-ciri atau karakteristik individu
yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional adalah sebagai berikut Fatimah
(2006):

a. Percaya akan kemampuan atau kompetensi diri, hingga tidak membutuhkan pujian,
pengakuan penerimaan ataupun hormat dari orang lain.

b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain
atau kelompok

c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri sendiri

d. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosi stabil)

e. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan,


bergantung pada usaha sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta
tidak bergantung atau mengharapkan bantuan orang lain)

f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di
luar dirinya g. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika
harapan itu terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.
Selain itu penelitian Hartanti dkk (2004) tentang aspek psikologis dan pencapaian
prestasi atlet nasional Indonesia yang membuktikan bahwa kepercayaan diri merupakan
salah satu aspek psikologis yang mempengaruhi prestasi atlet. Setyobroto (2002)
mengungkapkan bahwa tanpa memiliki penuh rasa percaya diri sendiri atlet tidak akan
dapat mencapai prestasi tinggi, karena ada hubungan antara motif berprestasi dan
percaya diri. Percaya diri adalah rasa percaya bahwa ia sanggup dan mampu untuk
mencapai prestasi tertentu; apabila prestasinya sudah tinggi maka individu yang
bersangkutan akan lebih percaya diri. Angelis (2003:58-77), dalam mengembangkan
percaya diri terdapat tiga aspek yaitu:
1) Tingkah laku, yang memiliki tiga indikator; melakukan sesuatu secara maksimal,
mendapat bantuan dari orang lain, dan mampu menghadapi segala kendala,

2)Emosi, terdiri dari empat indikator; memahami perasaan sendiri, mengungkapkan


perasaan sendiri, memperoleh kasih sayang, dan perhatian disaat mengalami kesulitan,
memahami manfaat apa yang dapat disumbangkan kepada orang lain, dan

3) Spiritual, terdiri dari tiga indikator; memahami bahwa alam semesta adalah sebuah
misteri, meyakini takdir Tuhan, dan mengagungkan Tuhan.

4. Manfaat Percaya Diri Berdasarkan penjabaran definisi percaya diri dapat diketahui
bahwa percaya diri mampu meningkatkan performa seseorang khususnya atlet. Percaya
diri seseorang ditandai dengan harapan keberhasilan yang tinggi. Hal ini dapat
membantu individu untuk membangkitkan emosi positif, memfasilitasi konsentrasi,
menetapkan tujuan, meningkatkan usaha, fokus strategi permainan, dan
mempertahankan momentum. Pada intinya, kepercayaan diri dapat mempengaruhi
perilaku dan kognisi. Berikut ini akan di bahas masing-masing secara singkat manfaat
percaya diri dalam olahraga.

Kelompok merupakan suatu unit yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling
berinteraksi. Ciri-ciri dasar dari kelompok yaitu:

1. Terdiri paling sedikit dua orang dan bisa bertambah


2. Terdapat interaksi dan komunikasi
3. Komunikasi dan interaksi bersifat timbal-balik.
4.  Bersifat jangka panjang atau jangka pendek
5. Minat dan kepentingan bersama merupakan warna utama pembentukan
kelompok
6. Kelompok dapat dipahami dari struktur yang ada didalamnya sebagai suatu unit
yang utuh.

Sejarah Kelompok

Sejak dilahirkan, manusia telah mempunyai keinginan pokok (basic human


needs) yaitu: (1) Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain atau masyarakat di
sekelilingnya, dan (2) Keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekelilingnya. Untuk
dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut, manusia
menggunakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Landasan dari adanya hasrat untuk
selalu berada dalam kesatuan dengan orang lain adalah untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Adanya dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi)
dengan orang lain ini, lebih disebabkan naluri manusia sebagai makhluk hidup yang
memiliki sifat gregariousness. Dalam hal ini, manusia sebagai social animal (hewan
sosial) mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama dengan manusia lain
(Soekanto, 2009) di sekelilingnya, yaitu masyarakat. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa manusia pada jaman dahulu telah terikat dalam suatu kelompok untuk
memperoleh keuntungan dalam survival atau bertahan hidup (Baumeister & Leary,
1995 dalam Aronson et al., 2005).

Kehidupan Kelompok berdasarkan Pandangan Modern Kehidupan modern


maupun kehidupan tradisional pada hakikatnya adalah kehidupan kelompok. Secara
tradisional manusia dipandang sebagai individu atau sebagai unit yang terpisah, dan
hanya secara insidental sebagai anggota dari suatu kelompok masyarakat, baik berupa:
keluarga, serikat pekerja, kelompok masyarakat (pokmas), golongan tertentu dan
sebagainya. Dalam teori kehidupan kelompok secara tradisional hanya ada dua peubah,
yaitu orang dan masyarakat. Ini didasarkan dengan asumsi dari sifat manusia dan terikat
dengan struktur masyarakat (Saleh, 2012). Sifat-sifat naluriah manusia tersebut menurut
Bormann (1990) dan Homans (1950) dalam Yusuf (2009) bisa berupa:

a. rasa harga diri, yang tampak sebagai keinginan untuk dihargai dan untuk kelihatan
berharga.

b. hasrat untuk patuh, yang pada asasnya berkaitan dengan keinsyafan keagamaan.

c. hasrat meniru, yang mempunyai peranan penting dalam mempertahankan kebudayaan


dan adat-istiadat serta dalam penghematan tenaga, sehingga untuk setiap tindakan tidak
lagi diperlukan pertimbangan dan pandangan pribadi.

d. hasrat bergaul, yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan orang lain
dalam menyatakan perasaannya secara bersama-sama.
e. hasrat tolong-menolong dan bersimpati, yang mendorong terjadinya pembentukan
perasaan bersatu padu.

f. hasrat berjuang, yang secara sepintas nampak sikap menantang sesamanya, tetapi
pada hakikatnya memperkuat ikatan kemasyarakatan.

g. hasrat memberitahukan dan sikap untuk menerima kesan, yang mendorong individu
untuk mengadakan hubungan dan mempererat ikatan hubungan itu, yang pada akhirnya
akan memantapkan kehidupan berkelompok atau bermasyarakat.

C. Tujuan kelompok olahraga


Fungsi dari dinamika kelompok itu antara lain:

1. Membentuk kerjasama saling menguntungkan dalam mengatasi persoalan hidup.

2. Memudahkan pekerjaan.

3. Mengatasi pekerjaan yang membutuhkan pemecahan masalah dan mengurangi


beban pekerjaan yang terlalu besar sehingga selesai lebih
cepat, efektif dan efisien. Salah satunya dengan membagi pekerjaan besar sesuai
bagian kelompoknya masing-masing atau sesuai keahlian.

4. Menciptakan iklim demokratis dalam kehidupan masyarakat dengan


memungkinkan setiap individu memberikan masukan, berinteraksi, dan
memiliki peran yang sama dalam masyarakat.

Kelompok sosial adalah kesatuan sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang
mengadakan interaksi sosial serta ada pembagian tugas, struktur dan norma yang ada.[1]

Kelompok Primer

Merupakan kelompok yang didalamnya terjadi interaksi sosial yang anggotanya saling


mengenal dekat dan berhubungan erat dalam kehidupan.[1] Sedangkan menurut Goerge
Homans kelompok primer merupakan sejumlah orang yang terdiri dari beberapa orang
yang sering berkomunikasi dengan lainnya sehingga setiap orang mampu
berkomunikasi secara langsung (bertatap muka) tanpa melalui perantara[4]. Misalnya:
keluarga, RT, kawan sepermainan, kelompok agama, dan lain-lain.

Kelompok Sekunder

Jika interaksi sosial terjadi secara tidak langsung, berjauhan, dan sifatnya kurang


kekeluargaan. Hubungan yang terjadi biasanya bersifat lebih objektif. Misalnya: partai
politik, perhimpunan serikat kerja dan lain-lain.

Kelompok Formal

Pada kelompok ini ditandai dengan adanya peraturan atau Anggaran Dasar (AD),


Anggaran Rumah Tangga (ART) yang ada. Anggotanya diangkat oleh organisasi.
Contoh dari kelompok ini adalah semua perkumpulan yang memiliki AD/ART.

Kelompok Informal

Merupakan suatu kelompok yang tumbuh dari proses interaksi, daya tarik,


dan kebutuhan-kebutuhan seseorang. Keanggotan kelompok biasanya tidak teratur dan
keanggotaan ditentukan oleh daya tarik bersama dari individu dan kelompok Kelompok
ini terjadi pembagian tugas yang jelas tapi bersifat informal dan hanya berdasarkan
kekeluargaan dan simpati. Misalnya: kelompok arisan.

Suatu kelompok dapat dinamakan kelompok sosial, apabila memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:

1. Memiliki motif yang sama antara individu satu dengan yang lain. (menyebabkan


interkasi/kerjasama untuk mencapai tujuan yang sama).

2. Terdapat akibat-akibat interaksi yang berlainan antara individu satu dengan yang


lain (akibat yang ditimbulkan tergantung rasa dan kecakapan individu yang
terlibat)

3. Adanya penugasan dan pembentukan struktur atau organisasi kelompok yang


jelas dan terdiri dari peranan serta kedudukan masing-masing.
4. Adanya peneguhan norma pedoman tingkah laku anggota kelompok yang
mengatur interaksi dalam kegiatan anggota kelompok untuk
mencapai tujuan bersama.

Pembentukan Kelompok

Pembentukan kelompok diawali dengan adanya perasaan atau persepsi yang sama


dalam memenuhi kebutuhan. Setelah itu akan timbul motivasi untuk memenuhinya,
sehingga ditentukanlah tujuan yang sama dan akhirnya interaksi yang terjadi akan
membentuk sebuah kelompok.

Pembentukan kelompok dilakukan dengan menentukan kedudukan masing-


masing anggota (siapa yang menjadi ketua atau anggota). Interaksi yang terjadi suatu
saat akan memunculkan perbedaan antara individu satu dengan lainnya sehingga timbul
perpecahan (konflik)  Perpecahan yang terjadi bisanya bersifat sementara karena
kesadaran arti pentingnya kelompok tersebut, sehingga anggota kelompok berusaha
menyesuaikan diri demi kepentingan bersama. Akhirnya setelah terjadi
penyesuaian, perubahan dalam kelompok mudah terjadi.

Langkah proses pembentukan Tim diawali dengan pembentukan kelompok, dalam


proses selanjutnya didasarkan adanya hal-hal berikut :

 Persepsi

Pembagian kelompok didasarkan pada tingkat kemampuan intelegensi yang dilihat dari


pencapaian akademis.[1] Misalnya terdapat satu atau lebih punya
kemampuan intelektual, atau yang lain memiliki kemampuan bahasa yang lebih baik.
[1]
 Dengan demikian diharapkan anggota yang memiliki kelebihan tertentu bisa
menginduksi anggota lainnya.

 Motivasi
Pembagian kekuatan yang berimbang akan memotivasi anggota kelompok untuk
berkompetisi secara sehat dalam mencapai tujuan kelompok. Perbedaan kemampuan
yang ada pada setiap kelompok juga akan memicu kompetisi internal secara sehat.
[1]
 Dengan demikian dapat memicu anggota lain melalui transfer ilmu pengetahuan agar
bisa memotivasi diri untuk maju.

 Tujuan

Terbentuknya kelompok karena memiliki tujuan untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas


kelompok atau individu.[1]

 Organisasi

Pengorganisasian dilakukan untuk mempermudah koordinasi dan


proses kegiatan kelompok. Dengan demikian masalah kelompok dapat diselesaikan
secara lebih efisien dan efektif.

 Independensi

Kebebasan merupakan hal penting dalam dinamika kelompok. Kebebasan disini


merupakan kebebasan setiap anggota untuk menyampaikan ide, pendapat, serta ekspresi
selama kegiatan.]Namun kebebasan tetap berada dalam tata aturan yang disepakati
kelompok.

 Interaksi

Interaksi merupakan syarat utama dalam dinamika kelompok, karena dengan interaksi


akan ada proses transfer ilmu dapat berjalan secara horizontal yang didasarkan atas
kebutuhan akan informasi tentang pengetahuan tersebut.

Pertumbuhan dan Perkembangan Kelompok

Indikator yang dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat perkembangan kelompok


adalah sebagai berikut:
1. Adaptasi Proses adaptasi berjalan dengan baik bila: a) Setiap individu terbuka untuk
memberi dan menerima informasi yang baru]b) Setiap kelompok selalu terbuka untuk
menerima peran baru sesuai dengan dinamika kelompok tersebut. c) Setiap anggota
memiliki kelenturan untuk menerima ide, pandangan, norma dan kepercayaan anggota
lain tanpa merasa integritasnya terganggu.

2. Pencapaian tujuan Dalam hal ini setiap anggota mampu untuk ]: a) menunda kepuasan
dan melepaskan ikatan dalam rangka mencapai tujuan bersama b) membina dan
memperluas pola  c) terlibat secara emosional untuk mengungkapkan
pengalaman, pengetahuan dan kemampuannya.

Selain hal diatas, perkembangan kelompok dapat ditunjang oleh


bagaimana komunikasi yang terjadi dalam kelompok. Dengan demikian perkembangan
kelompok dapat dibagi menjadi tiga tahap, antara lain :

1. Tahap pra afiliasi Merupakan tahap permulaan, diawali dengan adanya perkenalan


semua individu akan saling mengenal satu sama lain. Kemudian hubungan berkembang
menjadi kelompok yang sangat akrab dengan saling mengenal sifat dan nilai masing-
masing anggota.

2. Tahap fungsional Ditandai dengan adanya perasaan senang antara satu dengan yang


lain, tercipta homogenitas, kecocokan, dan kekompakan dalam kelompok. Pada
akhirnya akan terjadi pembagian dalam menjalankan fungsi kelompok.

3. Tahap disolusi Tahap ini terjadi apabila keanggotaan kelompok sudah mempunyai


rasa tidak membutuhkan lagi dalam kelompok. Tidak ada kekompakan maupun
keharmonisan yang akhirnya diikuti dengan pembubaran kelompok.

Keunggulan dan Kelemahan dalam Kelompok

Dalam proses dinamika kelompok terdapat faktor yang menghambat maupun


memperlancar proses tersebut yang dapat berupa kelebihan maupun kekurangan dalam
kelompok tersebut[9].

1. Kelebihan Kelompok
 Keterbukaan antar anggota kelompok untuk memberi dan menerima informasi
& pendapat anggota yang lain.

 Kemauan anggota kelompok untuk mendahulukan kepentingan kelompoknya


dengan menekan kepentingan pribadi demi

 Kemampuan secara emosional dalam mengungkapkan kaidah dan telah


disepakati kelompok.

2. Kekurangan Kelompok Kelemahan pada kelompok bisa disebabkan karena waktu


penugasan, tempat atau jarak anggota kelompok yang berjauhan yang dapat
memengaruhi kualitas dan kuantitas pertemuan.

Umumnya ketika seseorang memasuki usia lanjut, sering mempunyai gambaran


yang serba buruk atas proses penuaan misalnya kondisi kesehatan yang memburuk,
sering sakit sakitan, tidak berdaya, pikun dan sebagainya. Banyak orang beranggapan
bahwa penyakit yang muncul pada manusia lanjut usia adalah hal yang biasa. Anggapan
ini tidak sepenuhnya benar karena kelompok lanjut usia juga bisa dan punya
kesempatan dan hak untuk tetap hidup sehat. Sebagian besar penyebab kesehatan yang
mengganggu lansia adalah terjadinya proses degenerasi sistem faaliah yang cukup
drastis akibat tidak adanya upaya meminimalisasi proses penuaan dan degenerative
melalui berbagai aktifitas fisik dan kontrol kesehatan yang rutin.

Lanjut usia sendiri dimaknai sebagai pertambahan umur seseorang dengan


disertai penurunan kapasitas fisik yang ditandai dengan penurunan massa otot serta
kekuatannya, laju denyut jantung maksimal, peningkatan lemak tubuh dan penurunan
fungsi otak. Saat lanjut usia tubuh tidak akan mengalami perkembangan lagi sehingga
tidak ada peningkatan kualitas fisik. Menurut ilmu gerontologia (ilmu mengenai usia
lanjut) setiap orang memiliki tiga macam umur. Umur secara kronologis, biologis dan
psikologis.

Ada beberapa negara menetapkan bahwa umur kronologis sebagai pembeda bagi
lansia. Di Indonesia seseorang dianggap lanjut usia ketika ia pensiun dari p e k e r j a a n
n y a p a d a u s i a 5 5 t a h u n (Wirakusuma, 2002). Di Amerika Serikat, seseorang
dikategorikan sebagai lansia pada usia 77 tahun yang didahului masa pra lansia yaitu
usia 69-76 tahun. Bagi orang jepang kesuksesan justru dimulai pada usia 60 tahun.
Banyak wanita jepang yang masih bekerja meski umurnya sudah 60 tahun ke atas.
Sedangkan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menetapkan usia 60 tahun sebagai titik
awal seseorang memasuki masa lansia. (http://anggaway89.wordpress.com) Inovasi
dalam pengembangan sarana dan prasarana khususnya dibidang kesehatan yang berupa
perbaikan dan peningkatan layanan kesehatan masyarakat telah banyak membuahkan
hasil. Diantaranya adalah meningkatnya angka harapan hidup bagi lansia. Pada tahun
1980-1987 usia harapan hidup bangsa Indonesia baru mencapai 52-57.

Tahun, dan pada PJPT I sudah mencapai usia di atas 60 tahun dan pada tahun
2000 sudah mendekati 70 tahun. Jumlah orang lanjut usia akan semakin bertambah,
pada tahun 1990 jumlah orang lanjut usia 6,3% dari jumlah penduduka Indonesia (11,3
Juta orang). Tahun 2015 jumlah orang lanjut usia diperkirakan akan mencapai 24,5 juta
orang dan akan melewati jumlah balita yang lahir pada masa itu yang diperkirakan
mencapai 18.8 juta orang. Pada tahun 2020 jumlah orang lanjut usia di Indonesia
diperkirakan akan menempati urutan keenam terbanyak di dunia (Pidato Presiden RI
tahun 1995 dalam Kartinah, 2000) Angka harapan hidup dari waktu kewaktu terbukti
mengalami peningkatan sehingga memungkinkan lansia berusia 70 tahun masih dapat
menikmati hari tua dengan tetap dapat mengabdikan dirinya untuk kepentingan dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Peningkatan angka harapan hidup merupakan
konsekuensi dari berbagai bentuk akumulasi peningkatan sarana dan fasilitas serta
layanan kesehatan yang memadai bagi lansia.

Terdapat faktor lain yang di yakini memiliki kontribusi yang cukup signifikan
bagi upaya peningkatan harapan hidup lansia dengan tetap menomor satukan kualitas
hidup yaitu aktifitas fisik yang terprogram, terukur dan bertujuan yaitu berolahraga. Bila
kita melihat orang yang sudah lanjut usia sedang sibuk menyapu, bersihbersih halaman
atau menata taman bahkan mengerjakan pekerjaan rumah tagga biasanya ada yang
menyuruhnya untuk beristirahat dan diminta agar jangan terlalu banyak bergerak.
Tubuh yang mulai lamban bergerak sering membuat kita yang lebih muda berfikir
bahwa yang terbaik bagi beliau adalah duduk-duduk santai sambil menonton televisi.
Pemikiran yang demikian tentu salah kaprah, karena justru lansia sangat membutuhkan
aktivitas agar dapat mengisi waktu luang dengan baik sesuai dengan kemampuananya.
Tujuannya agar secara fisik ia bisa tetap eksis dan memiliki kebugaran yg baik. Selain
itu juga perlu dipahami bahwa gaya hidup santai justru menjadi faktor resiko relative
untuk penyakit jantung.

Latihan olahraga untuk lansia bertujuan untuk meningkatkan kebugaran jasmani.


Kebugaran jasmani pada lansia adalah kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan,
yaitu kebugaran jantung-paru, peredaran darah, kekuatan otot, dan kelenturan sendi.
Untuk memperoleh kesegaran jasmani yang baik, harus melatih semua komponen dasar
kesegaran jasmani yang terdiri atas: ketahanan jantung, peredaran darah dan pernafasan,
ketahanan otot, kekuatan otot serta kelenturan tubuh. Intensitas latihan yang dilakukan
dipantau melalui perhitungan denyut nadi dengan cara meraba pergelangan tangan
menggunakan tiga jari tengah tangan yang lain.

Untuk mengetahui intensitas latihan dapat dilihat pada daftar berikut ini. Usia 55
tahun berlatih dalam denyut nadi 115- 140/menit, usia 56 tahun berlatih dalam denyut
nadi 115-139/menit, usia 57 tahun berlatih dalam denyut nadi 114-138/menit, 58 tahun
berlatih dalam denyut nadi 113- 138/menit, Usia 59 tahun berlatih dalam denyut nadi
113-137/menit, Usia 60 tahun berlatih dalam denyut nadi 112-136/menit. S e m e n t a r
a i t u a d a p e n d a p a t y a n g mengemukakan bahwa latihan dengan intensitas
rendah yaitu antara 60% - 75% dengan rincian usia 50 tahun berlatih dalam denyut nadi
102-127/menit, usia 55 tahun berlatih dalam denyut nadi 99-123/menit, sedangkan 60
tahun berlatih dalam denyut nadi 96-120/menit juga memiliki efek yang signifikan bagi
pengembangan kebugaran lansia. (Satriyo, 2010).

Peneliti membagi dua kelompok aktivitas olahraga berdasarkan derajat sindrom


premenstruasi, yaitu responden dengan aktivitas olahraga cukup dan responden dengan
aktivitas olahraga kurang. Sedangkan derajat sindrom premenstruasi dibagi menjadi tiga
yaitu sindrom premenstruasi ringan, sedang, dan berat. Hubungan antara aktivitas
olahraga dengan sindrom premenstruasi pada anggota perempuan UKM INKAI UNS,
dapat dideskripsikan pada tabel 4. Tabel 4. menunjukkan perbedaan yang bermakna
antara kelompok yang berolahraga cukup dengan kelompok yang berolahraga kurang.
Perbedaan yang bermakna tersebut terlihat pada

kelompok yang berolahraga cukup sebanyak 41,7% responden hanya mengalami


sindrom premenstruasi ringan, sedangkan pada kelompok olahraga kurang sebanyak
44,4% responden mengalami sindrom premenstruasi sedang. Selain itu sindrom
premenstruasi berat dialami 5,6% responden dari kelompok olahraga kurang.

Tabel 4. Hubungan antara aktivitas olahraga dengan sindrom premenstruasi pada


anggota perempuan UKM INKAI UNS Sindrom premenstruasi Olahraga Ringan
Sedang Berat Olahraga kurang 1 (2,8%) 16 (44,4%) 2 (5,6%) Olahraga cukup 15
(41,7%) 2 (5,6%) 0 Sumber: Data Primer (2012) Setelah data tersebut diolah kemudian
dilakukan pengujian data dengan menggunakan uji korelasi Spearman rank dengan
tingkat kepercayaan 95% atau = 0,05 untuk mengetahui hubungan antara aktivitas
olahraga dengan sindrom premenstruasi.

Hal ini sesuai tinjauan teori menurut Saryono dan Sejati (2009) yang
menyatakan bahwa pada sebagian besar wanita, olahraga mampu mengurangi gejala
PMS yaitu mengurangi kelelahan, stress dan meningkatkan kesehatan tubuh. Olahraga
meningkatkan rangsang simpatis, yaitu suatu kondisi yang menurunkan detak jantung
dan mengurangi sensasi cemas. Olahraga teratur juga dapat mengurangi stress,
meningkatkan pola tidur yang teratur, dan meningkatkan produksi endorphin
(pembunuh rasa sakit alami tubuh), dimana hal ini dapat meningkatkan kadar serotonin.
Serotonin merupakan neotransmiter yang diproduksi di otak yang berperan penting
dalam pengaturan mood, kecemasan, gairah seksual, dan perubahan suasana hati

1 . Rasa nyeri karena retensi cairan dan rasa tidak enak pada payudara juga berkurang
karena pengaruh olahraga terhadap neurotransmitter sentral misalnya β-endorphin dan
atau berkurangnya prostaglandin
2 . Selain itu beta endorphin dapat merelaksasikan otot-otot dalam tubuh terutama otot
sekitar bagian perut yang dapat menyebabkan aliran darah menjadi lancar sehingga
nyeri dapat berkurang. Endorphin juga berperan dalam mengendalikan nafsu makan dan
pelepasan hormon seks.

Manfaat olahraga akan dapat lebih dirasakan apabila dilakukan secara cukup.
Olahraga cukup artinya dilakukan sesuai takarannya, yaitu dilakukan 3-5 kali dalam
satu minggu selama 20-60 menit dan mencapai denyut nadi sasaran. Jika olahraga
dilakukan kurang dari takarannya maka manfaat olahraga yang dirasakan juga kurang
maksimal. Hal ini yang menyebabkan responden yang berolahraga cukup mayoritas
hanya mengalami PMS ringan. Responden yang berolahraga cukup, mendapatkan
manfaat olahraga lebih maksimal, sehingga gejala PMS yang dirasakan lebih sedikit
atau lebih ringan. Sedangkan responden yang berolahraga kurang, mayoritas mengalami
PMS sedang hingga berat karena manfaat dari olahraga kurang dapat dirasakan oleh
responden kelompok olahraga kurang.
BAB III
PENUTUP

kesimpulan
Daftar pustaka

https://yuki24.wordpress.com/2010/03/30/kelompok-dalam-olahraga/.

Junaidi, S. (2011). Pembinaan fisik lansia melalui aktivitas olahraga jalan kaki. Media
Ilmu Keolahragaan Indonesia, 1(1).

Kuntjoro, B. F. T. (2020). Rasisme Dalam Olahraga. JURNAL PENJAKORA, 7(1), 69-

Mirhan, J. B. K. J. (2016). Hubungan Antara Percaya Diri Dan Kerja Keras Dalam

Olhttps://id.wikipedia.org/wiki/Dinamika_kelompokahraga Dan Keterampilan


Hidup. Jorpres (Jurnal Olahraga Prestasi), 12(1).77.

Pratiwi, A. M. (2016). Aktivitas olahraga dengan kejadian sindrom premenstruasi pada


anggota perempuan UKM INKAI UNS. Jurnal ners dan kebidanan
indonesia, 2(2), 76-80.

Anda mungkin juga menyukai