Tafsir Tahlili 6-10 (Kel. 7)
Tafsir Tahlili 6-10 (Kel. 7)
“Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Tafsir
Tahlili Juz 6-10.”
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Masrur Hamim
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan segala sesuatu yang ada
dan yang akan ada, yang mengetahui tentang inti dari segala sesuatu yang
diciptakan-NYA. Shalawat dan Salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
Insan Kamil, yakni baginda Nabi Muhammad SAW. Yang telah mencerahkan
alam dengan kedatangan membawa Al-Qur’an yang menjadi sumber Ilmu
Pengetahuan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tahlili Juz
6-10 yang di ampu oleh DR. Abdul Rauf, M.A. Adapun tema yang akan dibahas
didalamnya ialah tentang “Akhlak sosial dan sikap orang bertakwa terhadap
gangguan setan”. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, sehingga bagi pembaca khususnya dan bagi semua kawan yang
mendapatinya, dimohon untuk memberi kritik dan saran kepada pemakalah. Kami
mengucapkan terima kasih banyak kepada ayahanda DR. Abdul Rauf, M.A. Yang
telah membimbing pemakalah, juga kepada seluruh teman-teman kelas A
semester 5 Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta.
Kelompok 7
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………...…………….i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................2
A. Mufradat Lughawiyah............................................................................................2
B. Munasabah al-Ayat................................................................................................3
C. Tafsir Ijmali.............................................................................................................4
D. Tafsir Tahlili............................................................................................................4
E. Kontekstualisasi Ayat.............................................................................................9
A. Mufradat Lughawiyah..........................................................................................10
B. Munasabah al-Ayat..............................................................................................11
C. Tafsir Ijmali...........................................................................................................11
D. Tafsir Tahlili..........................................................................................................12
E. Kontekstualisasi Ayat...........................................................................................14
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
.1 Latar belakang.
Manusia sosok makhluk terbaik yang diciptakan Allah SWT.
digariskan-Nya menjadi makhluk sosial, artinya ia membutuhkan manusia
lain sebagai teman perjalanan hidupnya. Hubungan interpersonal merupakan
konsekuensi dari status makhluk sosial.
1
Tujuan makalah ini adalah menjawab pertanyaan pada rumusan
masalah dan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Tafsir Tahlili Juz 6-10”.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Akhlak Sosial dan Perintah isti’adzah.
A. Mufradat Lughawiyah.
))الْ َع ْف َو: memafkaan orang lain, ketika engkau hendak menghukum atau
ِ ))بِالْعر: Kata ini asalnya mengetahui. Memiliki makna lain, yaitu rambut yang
ف ُْ
tumbuh pada kuda betina, dikatakan demikian karena ia tumbuh saling
bersambungan. Ada yang mengatakan maknanya adalah datang secara
bergiliran.3 Mengkombinasikan makna diatas maka ‘urf memiliki
makna pengetahuan dan perilaku masyakarat yang selalu diikuti
sehingga hal itu menjadi sebuah kebiasaan yang diakui. Makna ‘urf
pada ayat ini adalah sesuatu yang baik dari perbuatan manusia.4
1
Ahmad bin Haris, Maqayis lughah (Dar al-Fikr, 1979), hlm. 57 jilid 4.
2
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj (Damaskus: Dar
al-Fikr al-Mu’ashirah, 1418 H), hlm. 216 jilid 9.
3
Ahmad bin Haris, Maqayis lughah, 281 jilid 4
4
Muhamad al-Syirazi al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (Beirut: Dar Ihya al-
Turats, 1418 H), hlm 46 jilid 3
2
(نيِِ
َ )اجْلَاهل: orang yang tidak memiliki pengetahuan, yaitu orang yang perbuatannya
tidak sesuai dengan aturan.5 Maksud kata ini adalah orang yang
perbuatannya buruk dan perkataannya tidak menyenangkan.
َّك
َ ))يْنَز َغن
َ : Asal kata ini adalah ( )النزغyaitu memasukkan jarum ke dalam sesuatu
misalnya kulit. Kata ini kiasan (isti’arah) untuk menunjukkan bahwa
rasa was-was atau godaan setan kepada manusia disamakan seperti
masuknya jarum ke dalam kulit.6 Namun yang dimaksud di sini adalah
godaan setan.7
(استَعِ ْذ
ْ َ ) ف: Meminta Perlindungan. Isti’adzah selaras maknanya dengan ilja’.
Dengan kata lain meminta perlindungan dari godaan atau gangguan
setan.8
B. Munasabah al-Ayat.
Allah SWT. menjelaskan pada ayat-ayat sebelumnya bahwa ialah yang
menciptakan manusia dari satu jenis dan kemudian mereka ada yang salih dan
ada pula yang tidak mengakui-Nya sebagai tuhan. Orang-orang kafir pada ayat
sebelumnya di jelaskan bahwa mereka menyebah patung-patung atau berhala-
berhala dan tidak ada satu pun dari berhala yang mereka sembah dapat
menolong mereka.
Allah SWT. melindungi orang-orang yang shalih, dan pada ayat ini
Allah SWT. kemudian menjelaskan tentang cara berprilaku atau berinteraksi
sesama manusia. Ayat ini merupakan dasar-dasar sikap mulia yang harus
dimiliki oleh orang-orang yang shalih. Pada ayat selanjutnya Allah
memberikan pesan agar orang shalih melakukan preventif atau mencegah diri
dari perilaku was-was dan godaan setan dengan meminta perlindungan hanya
5
Al-Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat Fi Gharib Alquran (Beirut: Dar al-Qalam, 1412 H),
hlm. 209.
6
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, hlm 216
jilid 9.
7
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, hlm. 229.
Jilid 5
8
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (Riyadh: Dar Thaybah, 1999), hlm. 143 Jilid 4.
3
kepada Allah serta berpaling dari orang-orang yang perkataan dan perilakunya
suka menyakiti agar selamat dari keburukan dan kejahatan kelompok tersebut.
Ayat ini memiliki munasabah dengan ayat-ayat sebelumnya bahwa
Allah lah yang memelihara Nabi-Nya dan orang-orang beriman yang shaleh.
Karena apapun yang dianggap Tuhan selain Allah tidak akan bisa memberikan
manfaat sedikitpun kepada manusia seperti halnya berhala-berhala yang
disembah oleh kaum pagan.9 Sedangkan pada ayat 199 Allah menjelaskan
bagaimana seseorang bisa bersosialisasi dengan baik antar sesama manusia.
Baru kemudian ayat ini hadir seakan melengkapi ayat-ayat sebelumnya.
C. Tafsir Ijmali.
Allah SWT. menjelaskan pada ayat ini dengan khitab yang
ditunjukkan untuk Nabi Muhammad SAW. dan umatnya agar mereka dapat
berprilaku baik kepada semua manusia baik mereka beriman ataupun tidak
beriman. Ayat seakan menggambarkan dialog Allah SWT. dengan Nabi
Muhammad SAW. “Wahai Rasulullah ! terimalah sesuatu yang baik dari
akhlak manusia dan perbuatan mereka. dan janganlah engaku memaksa
mereka untuk melakukan sesuatu yang memberatkan mereka sehingga mereka
menghindar darimu. Perintahkanlah agar mereka menjaga perkataan yang
baik dan perkerti yang indah dan perintahkan mereka agar menghindari
perdebatan dengan orang-orang yang bodoh.”10
Adapun dengan godaan setan yang membuat seseorang takut, was-
was, berat melalukan kebaikan, dan condong kepada keburukan maka
mohonkanlah perlindungan kepada Allah SWT. yang maha mendengar atas
semua perkataan dan maha mengetahui niat dan kelemahan mu.
D. Tafsir Tahlili.
Ayat 199 pada surat al-A’raf menghimpun sifat-sifat mulia atau tiga
akhlak utama yang harus terealisasi dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu
9
Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, hlm. 239
jilid 5
10
Nukhbah min Asatidz al-Tafsir, Tafsir Muyassar (Saudi Arabia: Mujamma’ Malik Fahd,
2009), hlm. 176
4
menjadi pemaaf, mengajak orang lain kepada sesuatu yang baik, dan
meninggalkan orang-orang jahil.
Taujihat Rabbani yang Allah sampaikan dalam ayat ini berkenaan
dengan perilaku orang-orang jahiliyah yang kerap kali berbuat keji. Allah
memberikan pesan kepada Rasulullah tatkala bertemu dengan mereka agar ia
berlapang dada, tidak menyulitkan mereka, dan menyeru mereka kepada
kebaikan sesuai dengan fitrah kemanusiaan mereka dengan ajakan yang jelas
nan tegas, tidak memaksa dan tidak juga bersikap kasar. Tatkala mereka
melakukan perbuatan buruk yang melampaui batas janganlah engkau seketika
menghukum mereka, dan jangan pula engkau perangi mereka, mohonkanlah
perlindungan kepada Allah dari perbuatan buruk mereka dan bisikan-bisikan
setan yang membuat engkau marah.11
Memaafkan merupakan perilaku yang menunjukkan kelembutan dan
kelapangaan hati seseorang, bahkan Allah memberikan keutamaan yang sangat
besar (surga) kepada mereka yang mudah memaafkan orang lain, sebagaimana
tertulis dalam surat Ali Imran ayat 133-134 :
ين ِ َّت لِل ِ ات واأْل َر ُ َو َسا ِرعُوا إِلَى َمغْ ِف َر ٍة ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َجن ٍَّة َع ْر
َ ْمتَّق
ُ ْ ض أُعد
ُ ْ َ ُ الس َم َاو
َّ ض َها
ِ ِِ ِ َّ الس َّر ِاء والض ِ ِ ) الَّ ِذ133(
َُّاس َواللَّه
ِ ين َع ِن الن
َ ظ َوال َْعاف
َ ين الْغَْي
َ َّراء َوالْ َكاظم َ َّ ين ُي ْنف ُقو َن في
َ
)134( ينِِ ُّ يُ ِح
َ ب ال ُْم ْحسن
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang mengalahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."
Allah SWT. memerintahkan Rasulullah SAW. agar ia memperingan
dan memudahkan urusan orang lain, sebab tatkala ia menyulitkan orang lain
maka orang tersebut akan merasa terbebani. Allah mewajibkan agar Rasulullah
dan umatnya menegakkan hubungan baik kepada sesama tanpa menyusahkan
11
Sayyid Quthb, Fi zhilal Alquran (Beirut: Dar al-Syuruq, 1412 H), hlm. 1418 jilid 3
5
satu dengan lainnya, karena sesungguhnya orang mukmin murah hati ketika
berdagang, begtu pula ketika ia membeli, dan mereka dermawan ketika diminta
sesuatu. Semua perkara bagi orang beriman adalah murah hati.12
Ibnu Mujahid menjelaskan kata ))خ ِذ ا ْل َع ْف َو
ُ berlapang dada terhadap
perilaku seluruh manusia dan perbuatan mereka tanpa mencurigai orang lain.13
Sikap saling mencurigai satu dengan lainnya hanya akan membuat seseorang
tidak merasa nyaman dalam berinteraksi sosial, karenanya sikap yang paling
utama ketika ada seseorang yang melakukan hal yang tidak menyenangkan
adalah memaafkannya karena itu lebih menenangkan dan juga nyaman untuk
orang lain.
Sebuah syair menerangkan bahwa semua orang bahkan yang menurut
seseorang perangainya baik tetap saja memiliki kekurangan, seorang penyair
berkata14 :
ظمئت وأي الناس تصفو مشاربه... وإن أنت لم تشرب مرارا على القذى
“Jika engkau enggan minum (bergantian gelas) karena melihat
kotornya kumis seseorang, maka engkau hanya akan mendapatkan kehausan,
karena dimanakah manusia yang kumisnya tidak kotor sama sekali ?”
Syair diatas mengumpamakan orang yang haus dalam sebuah
komunitas dan hanya ada sebuah gelas yang dipakai minum secara bergantian,
ketika ia mengantri untuk mengambil air minum ternyata ia melihat banyak
yang minum dari gelas tersebut dan memiliki kumis yang cukup berdebu,
seketika ia enggan dan akhirnya ia tetap merasakan kehausan, sebab tidak ada
kumis yang tidak berdebu.
Interaksi sosial dengan orang lain atau dengan suatu kelompok
mencerminkan pernyataan syair diatas, sebab berkumpulnya orang banyak
tentu masing-masing memiliki isi kepala yang berbeda, perangai yang
12
Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi (Kairo: al-Akhbar al-Yaum 1418 H), hlm. 4532
jilid 8.
13
Mujahid bin Jabr, Tafsir Mujahid (Mesir: Dar al-Fikr al-Islami al-Haditsah, 1918), hlm.
349.
14
Abdul Qadir Alu Ghazi al-‘Ani, Bayan Ma’ani, (Damaskus: Mathba’ah al-Turqiyyi, 1965),
hlm. 231 Jilid 3.
6
bervariasi, serta memiliki kelebihan dan kekurangan, maka Allah pada ayat ini
memberikan sebuah informasi hendaklah manusia dapat saling memaafkan dan
menerima kekurangan satu sama lain, sebab tidak ada orang yang sempurna
tanpa kekurangan.
Akhlak kedua yang disebut dalam ayat ini, yaitu berbuat ma’ruf, yaitu
sesuatu yang dikenal secara syariat, akal, dan kebiasaan baik dan mulia.15
Perbuatan ma’ruf ini meliputi seluruh perkataan baik dan pekerti yang indah
baik dengan orang yang dekat maupun yang jauh, maka usahakanlah bahwa
perbuatan baik yang dikerjakan orang lain berasal dari ajakan engkau, seperti
mengajarkan ilmu, mengajak ke dalam kebaikan, membantu kedua orang tua,
mendamaikan situasi masyrakat,dan memberi nasihat yang bermanfaat.16
Kemudian taujih rabbani yang disampaikan Allah adalah berpaling
dari orang-orang bodoh yang tidak menggunakan akal sehat mereka atau
mereka hanya mengikuti kehendak nafsu saja. Tatkala keberadaan mereka
mulai mengganggu atau bahkan membahayakan keselamatan maka Allah
memerintahkan untuk berpaling dari mereka dan tidak menemui mereka. jika
ada salah seorang dari orang-orang bodoh itu menyakiti dengan perkataan
ataupun perbuatan janganlah membalasnya, jika mereka menyangkal engkau
maka janganlah engkau menyangkal balik mereka, jika mereka memutus
hubungan kerabat denganmu maka sambunglah kembali hubungan tersebut,
dan jika mereka menzalimimu maka berlaku adilah.17
Sikap orang beriman untuk berpaling dari orang-orang bodoh yang
mengganggu baik dengan perkataan maupun perbuatannya, tidak lain hanyalah
untuk menyelamatkan dirinya tatkala menghadapi bahaya dari mereka, tidak
membalas mereka merupakan sebuah sikap mulia. Maka arti berpaling disini
adalah berhati-hati dari perilaku mereka dan bahaya yang mungkin mereka
timbulkan.
15
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, hlm. 221
jilid 9.
16
Abdurrahman al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan
(Muassasah Risalah, 2000), hlm. 313
17
Abdurrahman al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, hlm. 313
7
Pada ayat selanjutnya Allah SWT. menggambarkan mengenai
gangguan setan setelah memerintahkan untuk berpaling dari orang-orang
bodoh, hal ini terlihat sangat cocok sebab perilaku orang-orang bodoh kerap
kali menimbulkan emosi yang tentu saja itu dapat terluapkan kapan pun apalagi
ketika setan datang menyuntikkan bisikannya ke dalam hati.
Rasulullah SAW. pernah bertanya kepada Allah “Ya Allah bagaimana
cara untuk menghindari kemarahan ?”. kemudian Allah menurunkan ayat ini
“Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia maha mendengar lagi maha mengetahui.
”18
Derivat kata dari al-nazgh yaitu: al-naghz (hasutan), al-waswasah
(bujukan), al-hamz (godaan). Sedangkan makna asal dari al-nazgh adalah
afsada (merusak).19 Bisikan setan ini tentunya memerlukan sebuah penangkal
yang cukup kuat, dalam hal ini Allah menyebut penangkal dari bisikan setan
adalah Isti’adzah.
Isti’adzah ini merupakan solusi yang tawarkan oleh Allah SWT.
ketika seseorang menghadapi sebuah godaan baik dari setan yang tidak terlihat
maupun yang terlihat dari kalangan manusia. Maka sebutlah nama Allah
niscaya ia akan menghilangkan waswas setan dari diri seseorang. Makna dari
isti’adzah adalah memohon pertolongan, jalan keluar, dan perlindungan kepada
Allah. sebab tidak mungkin untuk meminta pertolongan kecuali kepada Dia
yang maha kuat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setan memiliki pergerakan yang
amat halus, pergerakan yang cepat, dan langkah-langkah yang terstuktur oleh
karena itu tidak pantas untuk meminta pertolongan kepada selain Allah SWT.
Dialah yang mampu melumpuhkan perbuatan setan.20
Rasulullah SAW. yang diajak berbicara pada ayat ini tidak lain
memiliki maksud untuk pengajaran umum kepada seluruh mukallaf karena
18
Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, hlm. 4356 jilid 6.
19
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, hlm. 423 Jilid 9
20
Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, hlm. 4537 jilid 8.
8
sesungguhnya isti’adzah kepada Allah merupakan cara halus untuk menangkal
waswas setan. Allah SWT. berfirman :
ِ ِ ِ َّ طان
َ الرجيم إنَّهُ ل َْي
س لَهُ ُسلْطا ٌن َعلَى َّ استَ ِع ْذ بِاللَّ ِه ِم َن
ِ الش ْي َ ْفَِإذا َق َرأ
ْ َت الْ ُق ْرآ َن ف
الر ِج ِيم
َّ ان َّ استَ ِع ْذ بِاللَّ ِه ِم َن
ِ َالش ْيط َ ْفَِإ َذا َق َرأ
ْ َت الْ ُق ْرآ َن ف
“Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan
kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. Al-Nahl: 98).
“Sesungguhnya ia maha mendengar lagi maha mengetahui”
menunjukkan bahwa isti’adzah yang hanya terucap di lisan tidak akan
bermanfaat kecuali menghadirkan makna darinya di dalam hati. seakan-akan
Allah SWT. berkata : “Ucapkanlah isti’adzah dengan lisanmu karena
sesungguhnya Aku maha mendengar dan hadirkanlah makna-makna yang
terkandung di dalam hatimu sebab Aku mengetahui, suara hatimu”. Pada
hakikatnya perkataan lisan tanpa pemahaman dalam hati tidak memberikan
pengaruh positif.22
E.Kontekstualisasi Ayat.
21
Abu Abdullah Fakhrudidin al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-
Arabi, 1420 H), hlm. 436 jilid 15.
22
Abu Abdullah Fakhrudidin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, hlm.436 jilid 15.
9
Manusia yang digariskan oleh Allah SWT. sebagai makhluk sosial
tentu saja tidak akan lepas dari interaksi dengan manusia lainnya. Dalam
perjalanan interaksi manusia akan terlihat secara jelas keunikan masing-
masing dan tentu saja setiap orang memiliki watak yang berbeda-beda. Hal
ini menjadi sangat indah sebab kita dapat belajar banyak tentang
karakterisktik manusia.
Alquran memberikan tuntunan perilaku dan pekerti agar tercipta hubungan
sosial yang harmonis dan membentuk kepribadian yang arif dan bijaksana.
Perbedaan adat istiadat, latar belakang pendidikan, suku, dan lain sebagainya
sangat mempengaruhi sifat dan karakter yang dimiliki seseorang.
Melalui surat ini ada tiga pokok dasar akhlak : bersikap pemaaf, artinya
berinteraksi dengan toleran, tidak saling menyalahkan bahkan mengkafirkan,
menjelaskan sesuatu dengan sabar dan lembut, dan tidak menyusahkan orang
lain ketika menerima, memberi, dan membebankan sesuatu.23
Dewasa ini ada sekelompok orang yang begitu mudah menyalahkan
satu dengan lainnya hanya karena terjadi perbedaan sudut pandang tentang
sesuatu, hal ini terkadang menimbulkan suasana tegang nan memanas antar
golongan. Hendaknya kita memperhatikan akhlak dalam ayat ini, yaitu mudah
memberikan maaf, tidak bersikap kasar kepada orang lain terlebih kepada
saudara seiman yang masih sama-sama menyembah tuhan yang satu,
menghadap kiblat yang satu, berpedoman dengan kitab yang sama.
Hubungan interpersonal tentunya tidak lepas dari berbagai persoalan.
Pada suatu momen tentunya setiap orang pernah dalam posisi dilecehkan,
dihinakan, bahkan dipermalukan di hadapan umum. Pada kondisi seperti ini
secara alamiah seseorang akan merespon hal tersebut, respon yang
diajarkan oleh ayat ini ketika dalam kondisi semacam itu adalah membaca
isti’adzah, kemudian berpaling dari orang yang mengganggu, sebab jika tetap
berada di tempat itu akan banyak bisikan yang dapat mengganggu
ketenangan.
23
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, hlm. 221
jilid 9.
10
Setan memiliki bala bantuan yang banyak, ia dapat menyokong manusia
untuk melakukan keburukan, kesesatan, dan kemaksiatan. Karenanya, jauh
lebih baik menenangkan diri dari situasi yang tidak menyenangkan, salah satu
caranya adalah berpaling dari situasi tersebut agar tidak menimbulkan emosi
yang berujung pada kekacauan dan kerusakan hubungan sosial.
( )تَ َذ َّك ُروا: Mengingat (ulang). Mengingat tentang kekuasaan Allah SWT,
agar terbebas dan terhindar dari maksiat. Dan agar apabila
hendak bermaksiat bisa kembali (bertaubat) setelah mengingat nikmat-
nikmat yang Allah berikan.24
( )مَيُدُّو َن ُه ْم: Membantu / menyokong. Bantuan atau kontribusi di sini
berasal dari manusia yang secara tidak langsung turut andil dalam
melakoni peran setan untuk bermaksiat dan mempermudah
siapapun yang ingin melewati jalur tersebut.25
B. Munasabah al-Ayat.
24
Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Beirut: Ar-Risalah Publisher, 2006), hlm.
426 , Jilid 9.
25
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (Dar al-Thayyibah, 1999), hlm. 534, Jilid 3.
11
Orang-orang yang tidak taat kepada Allah akan sangat mudah menuruti
bisikan setan yang terkutuk. Melalui ayat 201 pada surat ini Allah SWT.
menyebutkan karakter yang berbeda dari orang-orang bertakwa tatkala
mereka diganggu oleh setan seketika akan ingat keapada Allah.
Karakter yang disebutkan ini membedakan antara respon orang yang
tidak bertakwa dan respon orang-orang bertakwa terhadap bisikan setan.
Setan sangat menyukai orang-orang yang membantunya dalam menjalankan
misi menggoda manusia sebagaimana disebutkan pada ayat selanjutnya.
C. Tafsir Ijmali.
D. Tafsir Tahlili.
Kandungan ayat 199-202 merupakan dasar akhlak karimah sebagaimana
dijelaskan, jadilah pemaaf, terimalah dengan tulus apa yang mudah mereka
lakukan agar tidak memberatkan mereka. Yang menganugerahi setan
mempunyai kemampuan merayu adalah Allah, karena itu ingatlah kepada
26
Nukhbah min Asatidz al-Tafsir, Tafsir Muyassar, hlm. 176.
12
Allah dan mohon perlindungan kepada Allah supaya terhindar dari rayun
setan.
Dalam artian tatkala seseorang tertimpa godaan atau bujukan (yang bisa
merusak dari setan) ketika marah, hendaknya ia meminta keselamatan dari itu
semua kepada Allah SWT. Ayat ini merupakan perintah untuk menghindari
godaan dengan meminta perlindungan Allah SWT.
Pada ayat berikutnya Allah menjelaskan respon orang-orang yang beriman
terhadap godaan dan biskin setan. Allah SWT. membuka ayat ini dengan harf
taukid untuk mempertegas perintah isti’adzah ketika seseorang merasa digoda
oleh setan, oleh karenanya harf taukid disini digunakan untuk memberi
perhatian khusus, bukan karena ada keraguan ataupun pengingkaran. 27
Allah memberikan rahmat kepada umat Nabi Muhammad SAW. bahwa pada
13
mengetahui bahwa apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah itu sudah jelas.
29
Terdapat perbedaan tafsir pada kata « »إ ْخ َوا ُن ُه ْمpertama, secara zahir makna
kata ini yaitu, teman-teman setan yang terus membantu dalam menyesatkan,
hal ini dikarenakan setan-setan dari kalangan manusia berteman dengan
setan-setan dari kalangan jin dimana mereka terus bekerjasama untuk
menyesatkan manusia. Kedua, teman-teman setan disini sesungguhnya adalah
manusia yang tidak bertakwa sebab setan akan terus menyokong perbuatan
buruk mereka. dua pendapat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir
adalah saudaranya setan.31
Melalui ayat ini pula Allah menyebut perbedaan sifat orang mukmin dengan
orang kafir ketika mereka diganggu oleh setan. Orang yang beriman akan
segera ingat dan sadar, namun orang-orang kafir yang semula sudah sesat
akan semakin sesat oleh bujuk rayu setan, sebab setan sudah menjadi sahabat
mereka, karena tidak memiliki keimanan maka mereka akan semakin hanyut
dan tenggelam dalam kesesatan.
Setan-setan tidak akan pernah berhenti untuk mengajak melakukan
kemaksiatan sehungga mereka selalu melakukan kerusakan dan berbagai
tindakan buruk, karena mereka tidak pernah ingat kepada Allah. ketika setan-
29
Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, hlm. 4538 jilid 8.
30
Mutawwali Al-Sya’rawi, Tafsir Al-Sya’rawi, hlm. 4538 jilid 8.
31
Abu Abdullah Fakhrudidin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, hlm. 438 jilid 15.
14
setan menggoda orang kafir mereka tidak pernah mengingat Allah dan
berlindung dari godaan setan, sebab hati mereka kosong dari keimanan.32
E. Kontekstualisasi Ayat.
Alhasil dari ayat 200-202 manusia terbagi menjadi 2 bagian yakni
pertama,kelompok al-mukminin al-muttaqin yang apabila terindikasi godaan
setan mereka meminta perlindungan kepada Allah (isti’adzah) dan mencoba
kembali (bertaubat) dengan tadzakkur sehingga tampak kesalahan-
kesalahannya dan tampak pula kebesaran Allah SWT. Sedang yang kedua,
adalah ikhwan al-syayatin yakni setan dari golongan manusia. Mereka adalah
golongan yang menyokong atau berkontribusi terhadap peran setan di dunia
yaitu menggoda manusia.
Ayat 200-202 sebagai kelanjutan dari ayat 199 adalah cara
membentengi diri dari godaan setan dan para penyokongnya dari kalangan
manusia. Kaitainnya dengan anjuran berpaling di atas adalah agar tidak jatuh
dalam kubangan kerusakan yang mereka perbuat sehingga dianjurkan
meminta perlindungan (isti’adzah) kepada Allah SWT dan memohon agar
diselamatkan dari mereka. Sedangkan apabila memang telah dihinggapi
godaan setan dan akan melakukan maksiat maka anjurannya adalah tadzakkur
(ingat) bahwa Allah Maha Kuasa sedangkan manusia hanyalah makhluk-Nya.
Dan ingat juga bahwa kesalahan-kesalahannya telah banyak di masa lalu.
Serta mengetahui cara-cara menghidarinya dengan jalan baik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akhlak merupakan hal utama dalam kehidupan sehari-hari dan tiga
akhlak utama yang diajarkan Allah SWT. pada surat al-A’raf ayat 199 ini
32
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, hlm. 220 jilid 9.
15
adalah menjadi pemaaf, mengajak ke dalam kebaikan, dan meninggalkan
perdebatan atau konfrontasi dengan orang-orang bodoh.
16
DAFTAR PUSTAKA
al-Ashfahani, A.-R. (1412 H). Al-Mufradat fi Gharib Alquran. Beirut: Dar al-Qalam.
17
al-Baidhawi, M. a.-S. (1418 H). Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil. Damaskus: Dar al-Fikr
al-Mu'ashirah.
al-Razi, A. A. (1420 H). Mafatih al-Ghaib. Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi.
Katsir, A. F. (1419 H). Tafsir Alquran al-Adzim. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
18