Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“KAIDAH ISIM DAN FI’IL”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah “Kaidah-Kaidah Tafsir”

Dosen Pengampuh :

Dr. Evra Willya, M.Ag

Disusun Oleh :

Siti Nurmasitha Bilingseke ( 19.3.1.005 )


Sitty Nur Annisa ( 19.3.1.006 )

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (SEMESTER III)

USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI ( IAIN ) MANADO

2020
Daftar Isi.............................................................................................................................2
Kata Pengantar...................................................................................................................3
Bab I ..................................................................................................................................4
A. Latar Belakang............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................5
C. Tujuan........................................................................................................................5
Bab II..................................................................................................................................6
A. Pengertian Isim dan Fi’il.............................................................................................6
B. Fungsi Kaidah Isim dan Fi’il dalam Penafsiran Al-Qur’an............................................7
C. Contoh Penerapan Kaidah isim dan Fi’il...................................................................11
Bab III...............................................................................................................................16
Kesimpulan.......................................................................................................................16
Daftar Pustaka..................................................................................................................17
Kata Pengantar

Puji Syukur penulis panjajtkan kehadirat Allah SWT, yang telah


memberikan kami kemudahan dalam menyelesaikan Makalah ini guna memenuhi
Tugas dari Dosen Pembimbing Mata Kuliah “Kaidah-kaidah Tafsir” yang
berjudul “Kaidah Isim dan Fi;il” ini dengan Tepat waktu. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi besar Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa’atnya di akhiran nanti.
Penulis menyadari dalam penulisan Makalah kami, masih jauh dari kata
Sempurna. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan serta
wawasan kita. Oleh sebab itu penting bagi kami adanya kritik, saran, dan usulan
untuk memperbaiki makalah yang kami buat diwaktu yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat dipahami dengan mudah bagi siapapun yang
membacanya dan juga dapat berguna bagi kami pribadi. Demikian yang dapat
kami sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata.

Manado, 2 Oktober 2020


Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab sumber dasar hukum islam, bukanlah kitab
hukum dasar Islam. Oleh karena itu, untuk menemukan hukum yang
terkandung di dalamnya, diperlukan adanya suatu penafsiran. Dalam
menafsirkan al-Qur’an terdapat beberapa kaidah penafsiran agar isi atau
kandungan serta pesan-pesan Al-Qur’an dapat dipahami secara baik sesuai
dengan tingkat kemampuan manusia.
Dalam dikursus ‘ulum Qur’an ini, para ulama tafsir berbeda
pendapat mengenai ada atau tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan
pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebagian ulama ada yang
berpendapat bahwa, menafsirkan al-Qur’an bukan berdasarkan kepada
kaidah-kaidah teretntu, tetapi harus digali langsung dari al-Qur’an atas
petunjuk Nabi dan para sahabatnya. Sedangkat pendapat lain mengatakan
bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an diperlukan kaidah-kaidah tertentu,
teruma kaidah bahasa. 1
Dari dua pendapat diatas, mayoritas ulama cenderung mendukung
pendapat kedua. Alasannya, dengan menguasai kaidah-kaidah penafsiran
dapat memudahkan seseorang dalam menafsirkan al-Qur’an. Sebaliknya
pendapat pertama cenderung mempersulit seseorang yang ingin
memperdalam al-Qur’an. 2
Kaidah-kaidah penafsiran itu ada tiga macam yaitu kaidah dasar,
kaidah syar’I dan kaidah kebahasaan. Kaidah dasar ialah menafsirkan al-
Qur’an dengan al-Qur’an, dengan hadits Nabi, pendapat sahabat dan
dengan pendapat tabi’in. sedangkan kaidah syar’i ialah menafsirkan al-
Qur’an dengan ijtihad, diantaranya ialah : mantuq dan mafhum, mutlaq dan
muqayyad, mujmal dan mufhassal dan lain-lain.

1
Usman, Ilmu tafsir, (Yogyakarta : TERAS 2009) hal. 240
2
Usman, Ilmu Tafsir, hal. 240
Sedangkan kaidah kebahasan ialah kaidah yang menjadi alternatif
dalam menafsirkan al-Qur’an. Kaidah kebahasaan ini mencakup kaidah
isim dan fi’il, amr dan nahy, istifham dan muanats, taqdim dan ta’khir dan
lain-lain. Namun yang akan dibahas dalam Makalah ini hanya Kaidah isim
dan fi’il.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan isim dan fi’il dalam al-Qur’an ?
2. Apa fungsi dari Kaidah isim dan fi’il terhadap penafsiran al-Qur’an ?
3. Apa Contoh atau bentuk isim dan fi’il dalam al-Qur’an ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari kaidah isim dan fi’il dalam Kaidah
kebahasaan.
2. Untuk mengetahui tujuan dari kaidah isim dan fi’il dalam kaidah
kebahasaan.
3. Dapat menyebutkan beberapa contoh dari isim dan fi’il dalam beberapa
ayat al-Qur’an.
Bab II
Pembahasan

A. Pengertian Isim dan Fi’il


Diantara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah
kaidah isim dan fi’il. Sering kita jumpai kalimat-kalimat dalam al-Qur’an
yang diungkapkan dalam bentuk kalimat isim (nominal) dan kalimat fi’il
3
(verbal). perlu diketahui bahwa dalam beberapa sumber isim disebut
jumlah ismiyah dan fi’il disebut jumlah fi’liyah.
Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukan arti tsubut
(tetap) dan istimraar (terus menerus), sedangkan jumlah fi’liyah atau
kalimat verbal menunjukan arti tajadud (timbulnya sesuatu) dan huduts
(temporal). Masing-masing kalimat memiliki tempat tersendiri yang tidak
bisa ditempati oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan
dengan kalimat verbal, seperti dalam Q.S Ali-‘Imran : 134

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang


maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.”
Di sini tidak digunakan kalimat nominal. Namun dalam masalah
keimanan, digunakan kalimat nominal. Seperti dalam Q.S Al-Hujurat : 15

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang


percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-

3
Muhammad Chirzin , Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta :PT Dana Bhakti Prima
Yasa 1998) hal. 157
ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.”
Hal ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat
temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan
keimanan. Ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal
yang menghendakinya masih ada. 4
Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa yang dimaksud
isim ialah keadaan suatu yang tetap dan berlangsung. Sedangkan yang
dimaksud fi’il ialah timbulnya suatu yang sebelumnya tidak ada dan
didalamnya terdapat suatu pekerjaan atau perbuatan.

B. Fungsi Kaidah Isim dan Fi’il dalam Penafsiran Al-Qur’an


Semua kata yang disebutkan dalam al-Qur’an memiliki makna dan
tujuan masing-masing (kecuali fawathus suwar yang maknanya tidak
diketahui oleh manusia), begitu pula penggunaan kata isim dan fi’il
memiliki tujuan tertentu. Adapun tujuan pengunaan isim dan fi’il dalam al-
Qur’an 5:
1. Penggunaan kata isim bertujuan untuk menunjukan sesuatu yang tetap
dan tidak berubah-ubah,
contoh Q.S. Al-Kahfi : 18

Artinya :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan
kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing
mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika

4
Mana Khalil al-Qatan, studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an ter. Mudzakir AS (Bogor : PT Litera
Antar Nusa, 2011), hal. 291-292
5
Lihat Nasiruddin Bidan, wawasan baru ilmu tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011)
hal. 322-326
kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka
dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh
ketakutan terhadap mereka.”

2. Penggunaan kata isim untuk menunjukan janji surga atau balasan yang
amat tinggi.
Contoh Q.S. Al Hijr : 45

Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga
(taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir)”

3. Penggunaan kata fi’il untuk menunjukan pekerjaan yang berulang-


ulang dan berkesinambungan ( fi’il mudhari’ )
Contoh Q.S Faatir : 3

Artinya :
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta
selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kamu dari langit dan
bumi, tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling
(dari ketauhidan) ?”

4. Penggunaan fi’il untuk menunjukan peristiwa yang terjadi dimasa


lampau ( fi’il madhi )
Contoh : Q.S An Nisa : 162
Artinya :
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya diantara mereka dan
orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah
diturunkan kepadamu (Al-Qur’an), dan apa yang diturunkan
sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-
orang itulah yang akan kami berikan kepada mereka pahala yang
besar”

5. Penggunaan fi’il untuk memberitakan peristiwa yang akan terjadi


dimasa depan dan peristiwa tersebut pasti akan datang, cepat atau
lambat dan tak dapat ditolak oleh siapa pun.
Contoh : Q.S Yasin : 51

Artinya :
“Dan ditiuplah sangkakalah, maka tiba-tiba mereka keluar dengan
segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.”

6. Penggunaan fi’il untuk menunjukan sifat-sifat yang harus diperbarui


secara terus menerus dan berkesinambungan.
Contoh : Q.S An Nisa : 162
Artinya :
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya diantara mereka dan
orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah
diturunkan kepadamu (Al-Qur’an), dan apa yang diturunkan
sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-
orang itulah yang akan kami berikan kepada mereka pahala yang
besar.”

7. Penggunaan fi’il untuk menunjukan keberadaan tindakan yang


mungkin ada dan mungkin tidak ada, sebagai sesuatu yang temporal, 6
Contoh Q.S Al Baqarah : 274

Artinya :
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari
secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.”

8. Penggunaan fi’il (mudhari’) untuk menggambarkan salah satu dari dua


hal yaitu keindahan atau kejelekan peristiwa itu. 7
6
Lihat Usman, Ilmu tafsir (ypgyakarta : TERAS, 2009 ), hal. 256
7
Usman, Ilmu tafsir, hal. 256 - 257
Contoh Q.S Ali Imron : 21

Artinya “
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan
membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh
orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka
gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang
pedih.”

C. Contoh Penerapan Kaidah isim dan Fi’il


Berikut ini beberapa contoh firman Allah yang menggunakan isim : 8
1. Q.S Al-Kahfi : 18

Artinya :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan
kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing
mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. dan jika
kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka
dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh
ketakutan terhadap mereka.”

8
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima
Yasa, 1998), hal. 158-163
Ayat tersebut menggambarkan tentang keadaan anjing Ashhabul
Kahfi ketika mereka tertidur dalam gua. Anjing itu dalam keadaan kaki
terentang selama mereka tidur. Keadaan demikian diungkapkan
dengan menggunakan isim, tidak dengan fi’il. Penggunaan isim
tersebut lebih megambarkan tepatnya keadaan anjing sepanjang waktu
itu.

2. Q.S Al-Hujurat 15

Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang
yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta
dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang
benar.”

Iman adalah hakikat yang harus tetap berlangsung atau ada, selama
keadaan menghendaki, seperti halnya ketaqwaan, kesabaran dan sikap
syukur. Penggunaan isim mu’minum menggambarkan keadaan
pelakunya yang terus berlangsung dan berkesinambungan. Ia tidak
terjadi secara temporer. Mukmin adalah sebutan bagi orang yang
keberadaannya senantiasa diliputi iman.

3. Q.S Al-Baqarah : 177


Artinya :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-
nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”

Di dalam ayat di atas, pemenuhan janji, sabar, dan takwa


diungkapkan dalam bentuk isim yang menunjukkan kelangsungan sifat
tersebut pada pelakunya.
Berikut beberapa contoh redaksi ayat yang menggunakan fi’il ialah
sebagai berikut :
1. Q.S Al-Baqarah : 274

Artinya :
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari
secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Kata yunfiqun pada ayat di atas menunjukkan keberadaannya sebagai


suatu tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak, sebagai sesuatu yang
temporal.

2. Q.S Asy-syu’ara : 78-82

Artinya :
78. (yaitu Tuhan) yang Telah menciptakan aku, Maka dialah yang
menunjuki aku,
79. Dan Tuhanku, yang dia memberi makan dan minum kepadaku,
80. Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku,
81. Dan yang akan mematikan aku, Kemudian akan menghidupkan
Aku (kembali),
82. Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada
hari kiamat".

Kata kerja khalaqa dalam ayat tersebut, menunjukkan telah terjadi,


dan selesainya penciptaan pada waktu yang lampau. Sedang kata kerja
yahdi dan lain-lain dalam rangkaian ayat di atas menunjukkan
berlangsungnya perbuatan itu waktu demi waktu berangsur-angsur
hingga sekarang.

3. Q.S Fatir : 3

Artinya :
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta
selain Allah yang dapat memberikan rizki kepada kamu dari langit dan
bumi, tidak ada Tuhan selain Dia; Maka mengapakah kamu berpaling
(dari ketauhidan) ?”

Isim khaliq dalam ayat tersebut menunjukkan sifat yang melekat


secara permanen pada pelakunya. Sedangkan yarzuqukum
menunjukkan pemberian rizki itu secara bertahap.
Bab III
Kesimpulan

Diantara kaidah-kaidah tafsir yang menyangkut kebahasaan ialah kaidah


isim menyangkut kebahasaan ialah kaidah isim dan fi’il. Jumlah ismiyah atau
kalimat nominal menunjukan arti tsubut (tetap) dan istimraar (terus-menerus),
sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukan arti tajadud (timbulnya
sesuatu) dan huduts (temporal). Masing-masing kalimat memiliki tempat
tersendiri yang tidak bisa ditempati oleh yang lain. Kegunaan jumlah ismiyah dan
jumlah fi’liyah dalam al-Qur’an mempunyai fungsi yang berbeda-beda seperti
yang telah dijelaskan secara spesifik dalam pembahasan di atas.
Daftar Pustaka

Al-Qattaan, Manna’ Khalil. Study Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Pustaka Litera Antar Nusa. Bogor:
2009.

Baidan, Nashirudin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2011.

Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Yogyakarta: 1998.

Usman. Ilmu Tafsir. Teras. Yogyakarta: 2009.

Anda mungkin juga menyukai