Anda di halaman 1dari 13

MANAJEMEN PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

“ EVALUASI PELATIHAN ’’

Oleh :
Nurhamidah siregar ( 180502023 )
Dosen : Dra. Komariah Pandia , M.Si

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2021
SKEMA EVALUASI PELATIHAN

Pentingnya Evaluasi
Pelatihan

Tingkatan
Evaluasi
Evaluasi
Pelatihan
Pelatihan

Desain Evaluasi
Pelatihan
EVALUASI PELATIHAN
A.PENGERTIAN

Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Kata tersebut diserap ke dalam


perbendaharaan istilah bahasa Indonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan
sedikit penyesuaian pelafalan Indonesia menjadi “evaluasi”.
Menurut Lincoln seperti dikuitp Zainal Arifin, mengemukakan bahwa evaluasi adalah “ a
process for describing an evaluand and judging its merit and worth”. Jadi evaluasi adalah
suatu proses untuk mengegambarkan peserta didik dan menimbangnya dari segi nilai dan arti.

Evaluasi pelatihan memiliki fungsi sebagai pengendali proses dan hasil program


pelatihan sehingga akan dapat dijamin suatu program pelatihan yang sistematis, efektif dan
efisien. Evaluasi pelatihan merupakan suatu proses untuk mengumpulkan data dan informasi
yang diperlukan dalam program pelatihan. Evaluasi pelatihan lebih difokuskan pada
peninjauan kembali proses pelatihan dan menilai hasil pelatihan serta dampak pelatihan yang
dikaitkan dengan kinerja SDM.
Evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari program pelatihan, mengingat
telah banyak menghabiskan waktu, energi, serta biaya untuk pelaksanaannya. Agar pelatihan
tidak sia-sia, suatu langkah evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara teratur. Evaluasi suatu
program pelatihan diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh peningkatan pengetahuan,
keterampilan dan sikap staf terjadi dan seberapa besar penerapannya dalam memberikan arti 
atau pengaruh pada dirinya, kelompok dan organisasinya.

B. TUJUAN EVALUASI PELATIHAN


Tujuan dari evaluasi pelatihan adalah :
1. Menemukan dan menganalisa informasi mengenai pencapaian tujuan dalam jangka
pendek dan jangka panjang.
2. Mengetahui pengaruh program pelatihan terhadap kinerja hasil implementasinya.
3. Mengetahui dengan cepat kemungkinan utnuk perbaikan dan sinkronisasi program
pelatihan sesuai dengan perkembangan situasi dalam organisasi.
4. Mengetahui reaksi peserta terhadap sebagian atau keseluruhan program pelatihan;
5. Mengetahui hasil pembelajaran peserta;
6. Mengantisipasi tindakan tertentu ketika diperlukan untuk mengambil langkah-
langkah perbaikan
7. Mengetahui hasil pelaksanaan pelatihan dan pengaruhnya terhadap kinerja serta
masalah-masalahnya;
8. Mengetahui opini pemimpin dan bawahan peserta mengenai hasil pelatihan;
9. Mengetahui hubungan hasil pelatihan serta dampaknya bagi organisasi di tempat
peserta bekerja.

PENTINGNYA EVALUASI PELATIHAN


Ketika suatu perusahaan menjalankan kegiatan pelatihan, sangat penting bagi
perusahaan untuk dapat mendesain program evaluasi pelatihan secara tepat.  Bagaimanakah
langkah-langkah yang tepat untuk menyusun program evaluasi pelatihan yang efektif?
1. Langkah pertama: Memahami tujuan dari pelatihan
Ketika kita menyusun suatu program evaluasi, hal yang terpenting adalah memahami
terlebih dahulu tujuan dari program pelatihan itu dilakukan. Khususnya apabila
pelatihan tersebut berbasiskan kompetensi, tentu evaluasi ini akan menjadi point
kritikal yang menjadi suatu pengembang strategi dari peningkatan personnel grade
karyawan.
2. Langkah kedua: memahami teknik pengujian
Memahami suatu proses dari penyusunan teknik pengujian.  Tidak semua evaluasi
dapat dilakukan dengan paper examination, banyak kegiatan pelatihan dilakukan
dengan menggunakan sistem penerapan dan pengembangan dari uji praktek bahkan
penilaian 360 derajat khususnya apabila penilaian tersebut meliputi proses dari
evaluasi soft competency.
3. Langkah ketiga: melakukan penetapan tindak lanjut program evaluasi
Tindak lanjut dari penerapan program evaluasi menjadi suatu proses yang penting
untuk melihat bagaimana suatu tahapan proses menjadi penting untuk
menindaklanjuti masalahan individu karyawan ketika pelatihan tersebut tidak sesuai
dengan target dan tujuan yang diharapkan.  Pelatihan ulang ataupun bentuk on the job
training yang tepat dapat menjadi alternatif dari tindakan lanjutan.
Evaluasi pelatihan menurut Kirkpatrick, seorang pakar evaluasi pelatihan dan
pengembangan SDM, haruslah melewati empat tahapan, yakni:
1. Tahapan reaksi(reaction), di mana evaluator mengukur reaksi atau respons peserta
pelatihan. Pengukuran dilakukan dengan melihat minat dan antusiasme peserta,
serta aktif atau tidaknya mereka selama pelatihan berlangsung.
2. Tahapan evaluasi belajar(learning), di mana evaluator mengukur perubahan
pengetahuan, keterampilan, atau perilaku dalam bekerja karyawan.
3. Tahapan perilaku(behavior). Pada tahapan ini, perilaku yang diukur lebih pada
perilaku karyawan dalam bekerja yang berdampak pada kinerjanya.
4. Tahapan hasil(result). Hasil yang dimaksud bisa berbeda-beda, tergantung sasaran
yang ingin dicapai melalui pelatihan. Misalnya meningkatnya produktivitas,
membaiknya komunikasi antarbagian, dan sebagainya.

TINGKATAN EVALUASI PELATIHAN

Pada tahun 1959, Donald Kirkpatrick mempublikasikan model evaluasi training yang
digunakan untuk mengukur keefektifan Training. Model ini telah mengalami perkembangan
sebanyak dua kali, masing-masing tahun 1975 dan 1994. Donald Kirkpatrick adalah seorang
profesor di Universitas Wisconsin, sekaligus presiden dari American Society for Training and
Development (ASTD). Empat level yang dimaksud dalam model evaluasi training
adalah Reaction (Reaksi), Learning (Pembelajaran), Behavior (Tingkahlaku),dan Results (Hasil).
Level 1: Reaction (Reaksi)
Level ini merupakan level paling mudah terlihat dalam mengukur keefektifan suatu
program training. Penilaian pada level Reaction atau Reaksi berdasarkan pada bagaimana
para peserta pelatihan bereaksi kepada training tersebut. Level ini dapat dikatakan berhasil
ketika para peserta merasa training tersebut berguna dan membantu perkembangan mereka,
juga dengan merasa nyaman dengan para instruktur, topik yang diberikan, materi-materi,
presentasi, serta lokasi training. Reaksi peserta terhadap training perlu diukur untuk menjadi
referensi ke depan agar program training menjadi lebih efektif dan berkembang. Evaluasi ini
juga berguna untuk mendeteksi apakah ada materi yang tertinggal dan tidak disampaikan.
Tips praktis untuk level ini adalah memberikan kuesioner kepada peserta. Form
Evaluasi berupa kuesioner ini digunakan agar peserta dapat memberikan rating atas:
instruktur, topik, materi-materi, presentasi yang telah diberikan, serta lokasi training.

Level 2: Learning (Pembelajaran)
Level selanjutnya dinilai berdasarkan apa saja yang telah dipelajari oleh peserta
training. Lalu bagaimana mengetahui seberapa jauh mereka belajar, atau menangkap
pengetahuan dan wawasan baru dalam training. Hal yang harus dilakukan sebelum memulai
training ialah dengan menyiapkan daftar tujuan pembelajaran. Daftar tujuan pembelajaran ini
yang juga akan menjadi titik awal analisis setelahnya. Perlu diketahui bahwa hasil
pembelajaran dapat diukur dengan berbagai cara, melalui perubahan pengetahuan, skill, atau
sikap dan perilaku peserta. Level Learning ini juga sangatlah penting dikarenakan
berkembang atau tidaknya peserta dapat dilihat pada hasil pembelajaran. Hasil evaluasi
training pada tahap pembelajaran ini juga dapat membantu evaluasi materi training di
kemudian hari.      
Tips praktis untuk level ini adalah memberikan pra dan post-test kepada karyawan.
 
Level 3: Behavior (Perilaku)
Setelah itu, pada level ini hal yang dapat di evaluasi adalah seberapa jauh perilaku
atau sikap para peserta berkembang setelah menerima training. Hal tersebut lebih mudah
terlihat dalam bagaimana mereka mengaplikasikan informasi dan materi yang mereka
dapatkan. Suatu perilaku ataupun sikap dapat berubah senada dengan perubahan kondisi
lingkungan sekitar. Perubahan perilaku atau sikap mungkin tidak terlihat apabila, dua level
sebelumnya tidak diaplikasikan dan diukur dengan benar. Maka, perusahaan akan berasumsi
training gagal. Namun, tidak adanya perubahan perilaku ataupun sikap tidak selalu berarti
para peserta tidak mempelajari apa-apa, lingkungan juga atasan sangatlah mungkin dapat
menghalangi mereka dalam mengaplikasikan apa yang sudah mereka pelajari, atau bahkan
terjadi dari diri mereka sendiri memang tidak memiliki niatan untuk menerapkannya.
Tips praktis untuk level ini adalah melakukan pencatatan dan evaluasi terhadap perubahan
perilaku yang diharapkan dari peserta, sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Contoh:
kemampuan bernegosiasi, kemampuan menjual, dan sebagainya.
 
Level 4: Result (Hasil)
Pada Level Result penilaian dilakukan berdasarkan adanya suatu pencapaian dari
training. Pengukuran ini merupakan hasil akhir yang menurut perusahaan adalah baik bagi
kelangsungan bisnis, para pegawai, dan segala hal yang berhubungan dengan perusahaan itu
sendiri.
Tips praktis untuk level ini adalah melihat apakah ada peningkatan terhadap aspek bisnis
atau proses bisnis perusahaan. Contoh: peningkatan penjualan, efisiensi waktu kerja, dan
sebagainya.
Model evaluasi pelatihan Kirkpatrick ini diperkenalkan pertama kali pada 1959,
namun telah mengalami banyak perkembangan setelah itu. Merujuk pada model ini, evaluasi
training yang efektif haruslah memenuhi beberapa kriteria. Kriteria evaluasi pelatihan dan
pengembangan, yang dapat kita jadikan pegangan sukses atau tidaknya kegiatan tersebut,
masing-masing adalah kriteria pendapat, kriteria belajar, kriteria pelaku, dan kriteria hasil.
Evaluasi pelatihan adalah tahapan yang sudah selayaknya menjadi bagian integral dari
program pelatihan. Melewatkan tahapan yang satu ini sama saja dengan melakukan program
pelatihan setengah jalan karena tidak pernah terukur tingkat keberhasilannya. Pun ketika
hendak menyelenggarakan program yang sama pada periode waktu berikutnya,
penyelenggara tidak memiliki tolok ukur yang baik dalam membuat pelatihan yang lebih
tepat sasaran.

DESAIN EVALUASI

Pengertian desain evaluasi adalah suatu kondisi dan prosedur yang diciptakan oleh
evaluator untuk mengumpulkan data. Kebanyakan pendidik ketika mendengar istilah
“evaluasi” akan langsung mengarah kepada desain penelitian yang sudah umum seperti
desain pre test dan desain post test. Padahal istilah evaluasi harusnya dimaknai dalam konteks
yang lebih besar.
Ada  banyak  model  evaluasi  yang  dikembangkan  oleh  para  ahli  yang  dapat
dipakai dalam mengevaluasi  program pelatihan. Kirkpatrick, salah  seorang ahli evaluasi
program training dalam bidang pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi yang
diberi  nama Kirkpatrick’s  training  evaluation model juga menunjuk  model-model lain 
yang  dapat  dijadikan  sebagai  pilihan  dalam mengadakan  evaluasi  terhadap  sebuah
program training. Berikut ini akan  diuraikan secara singkat beberapa model. Model yang
diungkapkan Djuju Sudjana (2006: 225), yaitu:
1. Evaluasi model CIPP
Konsep  evaluasi  model  CIPP  ( Context,  Input,  Prosess  and  Product) pertama 
kali  ditawarkan  oleh  Stufflebeam  pada  tahun  1965  sebagai  hasil  usahanya mengevaluasi
ESEA  (the  Elementary  and  Secondary  Education  Act).  Konsep tersebut  ditawarkan 
oleh  Stufflebeam  dengan  pandangan  bahwa    tujuan  penting evaluasi adalah  bukan
membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
The  CIPP  approach is based  on  the  view  that  the  most  important  purpose  of 
evaluation  is  not  to  prove but  to  improve (Mad aus,  Scriven,  Stufflebeam,  1993:  118). 
Evaluasi  model  CIPP dapat  diterapkan  dalam  berbagai  bidang,  seperti  pendidikan, 
manajemen, perusahaan  sebagainya  serta  dalam  berbagai  jenjang  baik  itu  proyek, 
program maupun  institusi.  Dalam  bidang  pendidikan  Stufflebeam  menggolongkan  sistem
pendidikan  atas  4  dimensi,  yaitu context,  input,  process  dan  product, sehingga model 
evaluasi  yang  ditawarkan  diberi  nama  CIPP  model  yang  merupakan singkatan  ke 
empat  dimensi  tersebut.  Nana  Sudjana  &  Ibrahim  (2004:  246) menterjemahkan masing-
masing dimensi tersebut dengan makna sebagai berikut:
1. Context : situasi  atau  latar  belakang  yang  mempengaruhi  jenis-jenis  tujuan dan 
strategi  pendidikan  yang  akan  dikembangkan  dalam  sistem yang  bersangkutan, 
seperti  misalnya  masalah  pendidikan  yang dirasakan, keadaan ekonomi negara,
pandangan hidup masyarakat .
2. Input: sarana/modal/bahan  dan  rencana  strategi  yang  ditetapkan  untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan.
3. Process:  pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/ bahan di dalam
kegiatan nyata di lapangan.
4. Product : hasil  yan g  dicapai  baik  selama  maupun  pada  akhir  pengembangan
sistem pendidikan  yang bersangkutan.
2. Evaluasi model Brinkerhoff
Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari elemen-elemen yang sama, ada 
banyak  cara  untuk  menggabungkan  elemen  tersebut,  masing-masing  ahli evaluasi atau
evaluator  mempunyai  konsep yang  berbeda dalam  hal ini. Brinkerhoff &  CS
(1993:111) mengemukakan  tiga  golongan  evaluasi  yang  disusun  berdasarkan
penggabungan  elemen-elemen  yang  sama,  seperti  evaluator -evaluator  yang  lain, namun
dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut :
1.  Fixed vs Emergent Evaluation Design
                   Desain  evaluasi  yang  tetap  (fixed)  ditentukan  dan  direncanakan  secara
sistematik sebelum  implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan  berdasarkan tujuan 
program disertai  seperangkat  pertanyaan  yang  akan  dijawab  dengan informasi  yang  akan
diperoleh  dari  sumber-sumber  tertentu.  Rencana  analisis dibuat  sebelumnya  dimana
sipemakai  akan  menerima  informasi  seperti  yang telah  ditentukan  dalam  tujuan.
Walaupun  desain fixed ini  lebih  terstuktur daripada desain emergent, desain fixed
juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang  mungkin  berubah.  Kebanyakan  evaluasi 
formal  yang dibuat  secara individu dibuat berdasarkan desain fixed,  karena  tujuan 
program  telah ditentukan  dengan  jelas  sebelumnya, dibiayai  dan  melalui  usulan  atau 
proposal evaluasi. (Brinkerhoff &  CS, 1993:111)
2.  Formative vs Sumative Evaluation
                   Evaluasi  formatif  digunakan  untuk  memperoleh  informasi  yang  dapat
membantu memperbaiki  program.  Evaluasi  formatif  dilaksanakan  pada  saat
implementasi  program sedang  berjalan.  Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang
dirumuskan oleh karyawan atau orang-orang program.  Evaluator  sering merupakan  bagian 
dari  pada  program  dan kerjasama  dengan  orang-orang program.  Strategi  pengumpulan 
informasi  mungkin  juga dipakai  tetapi penekanan  pada  usaha  memberikan  informasi 
yang  berguna  secepatnya bagi perbaikan program. Evaluasi  sumatif  dilaksanakan  untuk 
menilai  manfaat  suatu program sehingga  dari  hasil  evaluasi  akan  dapat  ditentukan 
suatu  program  tertentu  akan diteruskan  atau  dihentikan.
Pada evaluasi sumatif difokuskan pada variable-variabel yang dianggap penting bagi
sponsor program maupun pihak pembuat keputusan. Evaluator luar atau tim reviu sering
dipakai karena evaluator internal dapat mempunyai kepentingan yang berbeda. Waktu 
pelaksanaan evaluasi sumatif terletak pada akhir implementasi program.  Strategi
pengumpulan informasi akan memaksimalkan validitas eksternal  dan internal  yang mungkin
dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama. (Nana  Sudjana  &  Ibrahim, 2004:  246)
3.  Experimental and Quasi experimental Design vs Naural/Unotrusive
Beberapa  evaluasi  memakai  metodologi  penelitian  klasik.  Dalam  hal seperti  ini 
subyek penelitian  diacak,  perlakuan  diberikan  dan  pengukuran dampak  dilakukan. 
Tujuan dari penelitian  untuk menilai  manfaat suatu  program yang  dicobakan.  Apabila 
siswa  atau program  dipilih  secara  acak,  maka generalisasi  dibuat  pada  populasi  yang 
agak  lebih luas.  Dalam  beberapa  hal intervensi  tidak  mungkin  dilakukan  atau  tidak 
dikehendaki.
Apabila  proses sudah  diperbaiki,  evaluator  harus  melihat  dokumen-dokumen, 
seperti mempelajari  nilai  tes  atau  menganalisis  penelitian  yang  dilakukan  dan
sebagainya. strategi  pengumpulan  data  terutama  menggunakan  instrument formal  seperti 
tes,   suvey, kuesioner  serta  memakai  metode  penelitian  yang terstandar. (Nana  Sudjana 
&  Ibrahim, 2004:  246)
3. Evaluasi model Kirkpatrick
Menurut  Kirkpatrick  (Djuju Sudjana 2006:246) evaluasi  terh adap  efektivitas  program
training mencakup empat level evaluasi, yaitu: level 1 – Reaction, level 2 – Learning, level
3– Behavior,  level 4 – Result
1.  Evaluating Reaction
Mengevaluasi  terhadap  reaksi  peserta  training  berarti  mengukur kepuasan  peserta
(customer  satisfaction).    Program  training  dianggap  efektif apabila  proses  training 
dirasa menyenangkan  dan memuaskan  bagi  peserta training sehingga mereka  tertarik 
termotivasi untuk  belajar  dan berlatih. Dengan kata  lain peserta training akan termotivasi
apabila  proses training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan
memunculkan reaksi  dari peserta  yang  menyenangkan.  Sebaliknya  apabila  peserta  tidak 
merasa  puas terhadap  proses  training  yang  diikutin ya  maka  mereka  tidak  akan
termotivasi untuk  mengikuti  training  lebih  lanjut.  Dengan  demikian  dapat  dimaknai 
bahwa keberhasilan  proses  kegiatan  training  tidak  terlepas  dari  minat,  perhatian  dan
motivasi peserta  training  dalam  mengikuti  jalannya  kegiatan  training.  Orang akan 
belajar  lebih  baik  manakala  mereka  memberi  reaksi  positif  terhadap lingkungan
belajar. (Djuju Sudjana 2006:247)
2. Evaluating Learning
Menurut Kirkpatrick  (1988:  20) learning can be  defined as  the  extend to which 
participans change  attitudes,  improving  knowledge,  and/or increase  skill as  a result  of 
attending  the program. Ada tiga hal yang dapat instruktur ajarkan dalam program training,
yaitu pengetahuan,  sikap  maupun  ketrampilan.  Peserta training  dikatakan  telah  belajar 
apabila pada dirinya telah mengalamai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun
peningkatan ketrampilan. Oleh karena  itu  untuk  mengukur  efektivitas  program  training
maka  ketiga  aspek tersebut  perlu  untuk  diukur.
Tanpa adanya  perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun  perbaikan 
ketrampilan pada  peserta  training  maka program  dapat  dikatakan  gagal.  Penilaian
evaluating  learning ini  ada  yang menyebut  dengan  penilaian  hasil  (output)  belajar.  Oleh 
karena  itu  dalam pengukuran  hasil  belajar  (learning   measurement)  berarti  penentuan 
satu  atau lebih  hal berikut: a).  Pengetahuan apa yang telah dipelajari ?, b). Sikap  apa  yang
telah berubah ?, c). Ketrampilan apa yang telah dikembangkan atau diperbaiki ?. (Djuju
Sudjana 2006:249)
3.  Evaluating Behavior
Evaluasi  pada  level  ke  3  (evaluasi  tingkah  laku)  ini  berbeda  dengan evaluasi 
terhadap sikap  pada  level  ke  2.  Penilaian  sikap  pada  evaluasi  level  2 difokuskan  pada
perubahan sikap  yang  terjadi  pada  saat  kegiatan  training dilakukan  sehingga  lebih 
bersifat  internal, sedangkan  penilaian  tingkah  laku difokuskan  pada  perubahan  tingkah 
laku  setelah peserta  kembali  ke  tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi
setelah mengikuti  training juga akan  diimplementasikan  setelah  peserta  kembali  ke 
tempat  kerja, sehingga penilaian  tingkah  laku  ini  lebih  bersifat  eksternal.
Perubahan  perilaku  apa  yang terjadi  di  tempat kerja  setelah  peserta  mengikuti 
program training.  Dengan  kata lain  yang  perlu  dinilai  adalah  apak ah  peserta  merasa 
senang setelah  mengikuti training  dan  kembali  ke  tempat  kerja?.  Bagaimana  peserta 
dapat mentrasfer pengetahuan,  sikap  dan  ketrampilan  yang  diperoleh  selama  training 
untuk diimplementasikan  di  tempat  kerjanya.  Karena  yang  dinilai  adalah  perubahan
perilaku setelah  kembali ke  tempat  kerja maka  evaluasi level 3  ini  dapat disebut sebagai
evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan training. (Djuju Sudjana 2006:249)
4. Evaluating Result
Evaluasi  hasil  dalam  level  ke  4  ini  difokuskan  pada  hasil  akhir  (final result) 
yang  terjadi karena  peserta  telah  mengikuti  suatu  program.  Termasuk dalam  kategori 
hasil  akhir  dari suatu  program  training  di  antaranya  adalah kenaikan  produksi, 
peningkatan  kualitas, penurunan  biaya,  penurunan  kuantitas terjadinya  kecelakaan  kerja, 
penurunan turnover dan  kenaikan  keuntungan. Beberapa  program  mempunyai  tujuan 
meningkatkan moral  kerja  maupun membangun  teamwork  yang  lebih  baik.  Dengan  kata 
lain  adalah evaluasi terhadap impact program. (Djuju Sudjana 2006:250)

4. Evaluasi model Stake (Model Countenance)


Stake menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi,
yaitu description dan judgement dan membedakan  adanya  tiga  tahap dalam program
pelatihan,  yaitu antecedent  (context), transaction  (process)  dan outcomes.  Stake
mengatakan  bahwa  apabila  kita  menilai  suatu   progr am  pelatihan,  kita  melakukan
perbandingan  yang  relatif  antara  program  dengan  program  yang  lain,  atau
perbandingan  yan g  absolut  yaitu  membandingkan  suatu  program  dengan  standar
tertentu.  Penekan an  yang  umum  atau  hal  yang  penting  dalam  model  ini  adalah bahwa 
evaluator  yang  membuat  penilaian  tentang  program  yang  dievaluasi.  Stake mengatakan 
bahwa description di  satu  pihak  berbeda  dengan judgement di  lain fihak.  Dalam  model 
ini antecendent (masukan) transaction (proses)  dan outcomes (hasil)  data  di  bandingk an 
tidak  han ya  untuk  menentukan  apakah  ada  perbedaan antara  tujuan  dengan  k eadaan 
yang  sebenarnya,  tetapi  juga  dibandingkan  dengan standar  yang  absolut  untuk  menilai 
manfaat  program  (Farida  Yusuf  Tayibnapis, 2000: 22).
DAFTAR PUSTAKA

http://istihanijawa.blogspot.com/2018/07/model-evaluasi-program-pelatihan.html
http://dillanazaly.blogspot.com/2015/05/evaluasi-kegiatan-diklat-makalah.html
https://presenta.co.id/evaluasi-pelatihan/
http://sentralsistem.com/news/detail/4-level-evaluasi-efektifitas-training#:~:text=Empat
%20level%20yang%20dimaksud%20dalam,%2C%20dan%20Results%20(Hasil).
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/desain-desain-evaluasi.html
http://anapriyangga.blogspot.com/2010/12/evaluasi-program-pelatihan-dan.html

Anda mungkin juga menyukai