“ EVALUASI PELATIHAN ’’
Oleh :
Nurhamidah siregar ( 180502023 )
Dosen : Dra. Komariah Pandia , M.Si
Pentingnya Evaluasi
Pelatihan
Tingkatan
Evaluasi
Evaluasi
Pelatihan
Pelatihan
Desain Evaluasi
Pelatihan
EVALUASI PELATIHAN
A.PENGERTIAN
Pada tahun 1959, Donald Kirkpatrick mempublikasikan model evaluasi training yang
digunakan untuk mengukur keefektifan Training. Model ini telah mengalami perkembangan
sebanyak dua kali, masing-masing tahun 1975 dan 1994. Donald Kirkpatrick adalah seorang
profesor di Universitas Wisconsin, sekaligus presiden dari American Society for Training and
Development (ASTD). Empat level yang dimaksud dalam model evaluasi training
adalah Reaction (Reaksi), Learning (Pembelajaran), Behavior (Tingkahlaku),dan Results (Hasil).
Level 1: Reaction (Reaksi)
Level ini merupakan level paling mudah terlihat dalam mengukur keefektifan suatu
program training. Penilaian pada level Reaction atau Reaksi berdasarkan pada bagaimana
para peserta pelatihan bereaksi kepada training tersebut. Level ini dapat dikatakan berhasil
ketika para peserta merasa training tersebut berguna dan membantu perkembangan mereka,
juga dengan merasa nyaman dengan para instruktur, topik yang diberikan, materi-materi,
presentasi, serta lokasi training. Reaksi peserta terhadap training perlu diukur untuk menjadi
referensi ke depan agar program training menjadi lebih efektif dan berkembang. Evaluasi ini
juga berguna untuk mendeteksi apakah ada materi yang tertinggal dan tidak disampaikan.
Tips praktis untuk level ini adalah memberikan kuesioner kepada peserta. Form
Evaluasi berupa kuesioner ini digunakan agar peserta dapat memberikan rating atas:
instruktur, topik, materi-materi, presentasi yang telah diberikan, serta lokasi training.
Level 2: Learning (Pembelajaran)
Level selanjutnya dinilai berdasarkan apa saja yang telah dipelajari oleh peserta
training. Lalu bagaimana mengetahui seberapa jauh mereka belajar, atau menangkap
pengetahuan dan wawasan baru dalam training. Hal yang harus dilakukan sebelum memulai
training ialah dengan menyiapkan daftar tujuan pembelajaran. Daftar tujuan pembelajaran ini
yang juga akan menjadi titik awal analisis setelahnya. Perlu diketahui bahwa hasil
pembelajaran dapat diukur dengan berbagai cara, melalui perubahan pengetahuan, skill, atau
sikap dan perilaku peserta. Level Learning ini juga sangatlah penting dikarenakan
berkembang atau tidaknya peserta dapat dilihat pada hasil pembelajaran. Hasil evaluasi
training pada tahap pembelajaran ini juga dapat membantu evaluasi materi training di
kemudian hari.
Tips praktis untuk level ini adalah memberikan pra dan post-test kepada karyawan.
Level 3: Behavior (Perilaku)
Setelah itu, pada level ini hal yang dapat di evaluasi adalah seberapa jauh perilaku
atau sikap para peserta berkembang setelah menerima training. Hal tersebut lebih mudah
terlihat dalam bagaimana mereka mengaplikasikan informasi dan materi yang mereka
dapatkan. Suatu perilaku ataupun sikap dapat berubah senada dengan perubahan kondisi
lingkungan sekitar. Perubahan perilaku atau sikap mungkin tidak terlihat apabila, dua level
sebelumnya tidak diaplikasikan dan diukur dengan benar. Maka, perusahaan akan berasumsi
training gagal. Namun, tidak adanya perubahan perilaku ataupun sikap tidak selalu berarti
para peserta tidak mempelajari apa-apa, lingkungan juga atasan sangatlah mungkin dapat
menghalangi mereka dalam mengaplikasikan apa yang sudah mereka pelajari, atau bahkan
terjadi dari diri mereka sendiri memang tidak memiliki niatan untuk menerapkannya.
Tips praktis untuk level ini adalah melakukan pencatatan dan evaluasi terhadap perubahan
perilaku yang diharapkan dari peserta, sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Contoh:
kemampuan bernegosiasi, kemampuan menjual, dan sebagainya.
Level 4: Result (Hasil)
Pada Level Result penilaian dilakukan berdasarkan adanya suatu pencapaian dari
training. Pengukuran ini merupakan hasil akhir yang menurut perusahaan adalah baik bagi
kelangsungan bisnis, para pegawai, dan segala hal yang berhubungan dengan perusahaan itu
sendiri.
Tips praktis untuk level ini adalah melihat apakah ada peningkatan terhadap aspek bisnis
atau proses bisnis perusahaan. Contoh: peningkatan penjualan, efisiensi waktu kerja, dan
sebagainya.
Model evaluasi pelatihan Kirkpatrick ini diperkenalkan pertama kali pada 1959,
namun telah mengalami banyak perkembangan setelah itu. Merujuk pada model ini, evaluasi
training yang efektif haruslah memenuhi beberapa kriteria. Kriteria evaluasi pelatihan dan
pengembangan, yang dapat kita jadikan pegangan sukses atau tidaknya kegiatan tersebut,
masing-masing adalah kriteria pendapat, kriteria belajar, kriteria pelaku, dan kriteria hasil.
Evaluasi pelatihan adalah tahapan yang sudah selayaknya menjadi bagian integral dari
program pelatihan. Melewatkan tahapan yang satu ini sama saja dengan melakukan program
pelatihan setengah jalan karena tidak pernah terukur tingkat keberhasilannya. Pun ketika
hendak menyelenggarakan program yang sama pada periode waktu berikutnya,
penyelenggara tidak memiliki tolok ukur yang baik dalam membuat pelatihan yang lebih
tepat sasaran.
DESAIN EVALUASI
Pengertian desain evaluasi adalah suatu kondisi dan prosedur yang diciptakan oleh
evaluator untuk mengumpulkan data. Kebanyakan pendidik ketika mendengar istilah
“evaluasi” akan langsung mengarah kepada desain penelitian yang sudah umum seperti
desain pre test dan desain post test. Padahal istilah evaluasi harusnya dimaknai dalam konteks
yang lebih besar.
Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat
dipakai dalam mengevaluasi program pelatihan. Kirkpatrick, salah seorang ahli evaluasi
program training dalam bidang pengembangan SDM selain menawarkan model evaluasi yang
diberi nama Kirkpatrick’s training evaluation model juga menunjuk model-model lain
yang dapat dijadikan sebagai pilihan dalam mengadakan evaluasi terhadap sebuah
program training. Berikut ini akan diuraikan secara singkat beberapa model. Model yang
diungkapkan Djuju Sudjana (2006: 225), yaitu:
1. Evaluasi model CIPP
Konsep evaluasi model CIPP ( Context, Input, Prosess and Product) pertama
kali ditawarkan oleh Stufflebeam pada tahun 1965 sebagai hasil usahanya mengevaluasi
ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). Konsep tersebut ditawarkan
oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan
membuktikan tetapi untuk memperbaiki.
The CIPP approach is based on the view that the most important purpose of
evaluation is not to prove but to improve (Mad aus, Scriven, Stufflebeam, 1993: 118).
Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan,
manajemen, perusahaan sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek,
program maupun institusi. Dalam bidang pendidikan Stufflebeam menggolongkan sistem
pendidikan atas 4 dimensi, yaitu context, input, process dan product, sehingga model
evaluasi yang ditawarkan diberi nama CIPP model yang merupakan singkatan ke
empat dimensi tersebut. Nana Sudjana & Ibrahim (2004: 246) menterjemahkan masing-
masing dimensi tersebut dengan makna sebagai berikut:
1. Context : situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan
strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan,
seperti misalnya masalah pendidikan yang dirasakan, keadaan ekonomi negara,
pandangan hidup masyarakat .
2. Input: sarana/modal/bahan dan rencana strategi yang ditetapkan untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan.
3. Process: pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/ bahan di dalam
kegiatan nyata di lapangan.
4. Product : hasil yan g dicapai baik selama maupun pada akhir pengembangan
sistem pendidikan yang bersangkutan.
2. Evaluasi model Brinkerhoff
Setiap desain evaluasi pada umumnya terdiri dari elemen-elemen yang sama, ada
banyak cara untuk menggabungkan elemen tersebut, masing-masing ahli evaluasi atau
evaluator mempunyai konsep yang berbeda dalam hal ini. Brinkerhoff & CS
(1993:111) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang disusun berdasarkan
penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti evaluator -evaluator yang lain, namun
dalam komposisi dan versi mereka sendiri sebagai berikut :
1. Fixed vs Emergent Evaluation Design
Desain evaluasi yang tetap (fixed) ditentukan dan direncanakan secara
sistematik sebelum implementasi dikerjakan. Desain dikembangkan berdasarkan tujuan
program disertai seperangkat pertanyaan yang akan dijawab dengan informasi yang akan
diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Rencana analisis dibuat sebelumnya dimana
sipemakai akan menerima informasi seperti yang telah ditentukan dalam tujuan.
Walaupun desain fixed ini lebih terstuktur daripada desain emergent, desain fixed
juga dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang mungkin berubah. Kebanyakan evaluasi
formal yang dibuat secara individu dibuat berdasarkan desain fixed, karena tujuan
program telah ditentukan dengan jelas sebelumnya, dibiayai dan melalui usulan atau
proposal evaluasi. (Brinkerhoff & CS, 1993:111)
2. Formative vs Sumative Evaluation
Evaluasi formatif digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat
membantu memperbaiki program. Evaluasi formatif dilaksanakan pada saat
implementasi program sedang berjalan. Fokus evaluasi berkisar pada kebutuhan yang
dirumuskan oleh karyawan atau orang-orang program. Evaluator sering merupakan bagian
dari pada program dan kerjasama dengan orang-orang program. Strategi pengumpulan
informasi mungkin juga dipakai tetapi penekanan pada usaha memberikan informasi
yang berguna secepatnya bagi perbaikan program. Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk
menilai manfaat suatu program sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan
suatu program tertentu akan diteruskan atau dihentikan.
Pada evaluasi sumatif difokuskan pada variable-variabel yang dianggap penting bagi
sponsor program maupun pihak pembuat keputusan. Evaluator luar atau tim reviu sering
dipakai karena evaluator internal dapat mempunyai kepentingan yang berbeda. Waktu
pelaksanaan evaluasi sumatif terletak pada akhir implementasi program. Strategi
pengumpulan informasi akan memaksimalkan validitas eksternal dan internal yang mungkin
dikumpulkan dalam waktu yang cukup lama. (Nana Sudjana & Ibrahim, 2004: 246)
3. Experimental and Quasi experimental Design vs Naural/Unotrusive
Beberapa evaluasi memakai metodologi penelitian klasik. Dalam hal seperti ini
subyek penelitian diacak, perlakuan diberikan dan pengukuran dampak dilakukan.
Tujuan dari penelitian untuk menilai manfaat suatu program yang dicobakan. Apabila
siswa atau program dipilih secara acak, maka generalisasi dibuat pada populasi yang
agak lebih luas. Dalam beberapa hal intervensi tidak mungkin dilakukan atau tidak
dikehendaki.
Apabila proses sudah diperbaiki, evaluator harus melihat dokumen-dokumen,
seperti mempelajari nilai tes atau menganalisis penelitian yang dilakukan dan
sebagainya. strategi pengumpulan data terutama menggunakan instrument formal seperti
tes, suvey, kuesioner serta memakai metode penelitian yang terstandar. (Nana Sudjana
& Ibrahim, 2004: 246)
3. Evaluasi model Kirkpatrick
Menurut Kirkpatrick (Djuju Sudjana 2006:246) evaluasi terh adap efektivitas program
training mencakup empat level evaluasi, yaitu: level 1 – Reaction, level 2 – Learning, level
3– Behavior, level 4 – Result
1. Evaluating Reaction
Mengevaluasi terhadap reaksi peserta training berarti mengukur kepuasan peserta
(customer satisfaction). Program training dianggap efektif apabila proses training
dirasa menyenangkan dan memuaskan bagi peserta training sehingga mereka tertarik
termotivasi untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta training akan termotivasi
apabila proses training berjalan secara memuaskan bagi peserta yang pada akhirnya akan
memunculkan reaksi dari peserta yang menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak
merasa puas terhadap proses training yang diikutin ya maka mereka tidak akan
termotivasi untuk mengikuti training lebih lanjut. Dengan demikian dapat dimaknai
bahwa keberhasilan proses kegiatan training tidak terlepas dari minat, perhatian dan
motivasi peserta training dalam mengikuti jalannya kegiatan training. Orang akan
belajar lebih baik manakala mereka memberi reaksi positif terhadap lingkungan
belajar. (Djuju Sudjana 2006:247)
2. Evaluating Learning
Menurut Kirkpatrick (1988: 20) learning can be defined as the extend to which
participans change attitudes, improving knowledge, and/or increase skill as a result of
attending the program. Ada tiga hal yang dapat instruktur ajarkan dalam program training,
yaitu pengetahuan, sikap maupun ketrampilan. Peserta training dikatakan telah belajar
apabila pada dirinya telah mengalamai perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun
peningkatan ketrampilan. Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas program training
maka ketiga aspek tersebut perlu untuk diukur.
Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun perbaikan
ketrampilan pada peserta training maka program dapat dikatakan gagal. Penilaian
evaluating learning ini ada yang menyebut dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh
karena itu dalam pengukuran hasil belajar (learning measurement) berarti penentuan
satu atau lebih hal berikut: a). Pengetahuan apa yang telah dipelajari ?, b). Sikap apa yang
telah berubah ?, c). Ketrampilan apa yang telah dikembangkan atau diperbaiki ?. (Djuju
Sudjana 2006:249)
3. Evaluating Behavior
Evaluasi pada level ke 3 (evaluasi tingkah laku) ini berbeda dengan evaluasi
terhadap sikap pada level ke 2. Penilaian sikap pada evaluasi level 2 difokuskan pada
perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan training dilakukan sehingga lebih
bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku difokuskan pada perubahan tingkah
laku setelah peserta kembali ke tempat kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi
setelah mengikuti training juga akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke
tempat kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.
Perubahan perilaku apa yang terjadi di tempat kerja setelah peserta mengikuti
program training. Dengan kata lain yang perlu dinilai adalah apak ah peserta merasa
senang setelah mengikuti training dan kembali ke tempat kerja?. Bagaimana peserta
dapat mentrasfer pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperoleh selama training
untuk diimplementasikan di tempat kerjanya. Karena yang dinilai adalah perubahan
perilaku setelah kembali ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai
evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan training. (Djuju Sudjana 2006:249)
4. Evaluating Result
Evaluasi hasil dalam level ke 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result)
yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori
hasil akhir dari suatu program training di antaranya adalah kenaikan produksi,
peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kuantitas terjadinya kecelakaan kerja,
penurunan turnover dan kenaikan keuntungan. Beberapa program mempunyai tujuan
meningkatkan moral kerja maupun membangun teamwork yang lebih baik. Dengan kata
lain adalah evaluasi terhadap impact program. (Djuju Sudjana 2006:250)
http://istihanijawa.blogspot.com/2018/07/model-evaluasi-program-pelatihan.html
http://dillanazaly.blogspot.com/2015/05/evaluasi-kegiatan-diklat-makalah.html
https://presenta.co.id/evaluasi-pelatihan/
http://sentralsistem.com/news/detail/4-level-evaluasi-efektifitas-training#:~:text=Empat
%20level%20yang%20dimaksud%20dalam,%2C%20dan%20Results%20(Hasil).
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/desain-desain-evaluasi.html
http://anapriyangga.blogspot.com/2010/12/evaluasi-program-pelatihan-dan.html