Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

TERAPI DIET PADA PENYAKIT MENULAR (HEPATITIS A)

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gizi dan Diet


Dosen pembimbing: Lenni Saragih, SKM, M.Kes

Disusun Oleh:
Luthfiatus Silvi Alifiya (P17210201008)
Silvia devi (P17210201030)
Nisa Tria Indriani (P17210201041)
Alma Safira Damayanti (P17210201044)
Alifah Nurul Aini (P17210201045)
Anisa Putri Eka Cahyani (P17210203047)
Kelas 1A

Prodi D3 Keperawatan Malang


Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang
Maret 2021
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul
“Makalah Terapi Diet pada Penyakit Menular (Hepatitis A)”.
Keberhasilan penyelesaian tugas makalah ini penulis menghadapi
beberapa kesulitan akan tetapi berkat bimbingan dan arahan serta bantuan dari
semua pihak, tugas makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang tepat. Untuk
itu pada kesempatan ini penulis dengan rendah hati mengucapkan rasa terima
kasih yang sedalamnya kepada:
1. Budi Susatia, S.Kp.,M.Kesselaku direktur Polteknik Kesehatan Kemenkes Riau
yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk menempuh pendidikan
hingga saat ini.
2. Imam Subekti, S.Kp., M.Kep, Sp.Kom selaku Ketua Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang yang telah memberi kesempatan kepada
kami menempuh pendidikan hingga saat ini.
3. Lenni Saragih, SKM, M.Kes selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu
dan tenaga dalam memberikan masukan dan saran dalam menyelesaikan makalah
ini.
4. Seluruh Dosen Mata Kuliah Gizi dan Diet Politeknik Kesehatan Kemenkes
Malang yang telah banyak memberikan ilmu dan mendidik penulis selama
mengikuti perkuliahan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang.
5. Seluruh Dosen Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang
yang telah banyak memberikan ilmu dan mendidik penulis selama mengikuti
perkuliahan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang.
6. Terimakasih kepada kedua orang tua serta keluarga tercinta yang telah
memberikan do’a, dukungan dan semangat demi kelancaran tugas makalah ini.
7. Terimakasih kepada rekan mahasiswa/i Politeknik Kesehatan Kemenkes
Malang Jurusan Keperawatan khususnya 1 A angkatan 2020 yang telah
memberikan dukungan, kritik dan saran kepada penulis serta pihak yang telah
membantu sampai selesainya makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu.
Disamping itu penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas makalah ini
belum sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan saran
kesempurnaan pada tugas makalah ini agar bermanfaat bagi kita semua.

Batu, Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................................5
D. Manfaat..................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................6
A. DEFINISI HEPATITIS.................................................................................................6
B. DEFINISI HEPATITIS A.............................................................................................6
C. ETIOLOGI HEPATITIS A............................................................................................7
D. PATOFISIOLOGI HEPATITIS A..................................................................................7
E. FAKTOR RESIKO HEPATITIS A..................................................................................7
F. MANIFESTASI KLINIK..............................................................................................8
G. DIAGNOSA HEPATITIS A..........................................................................................9
H. PENTINGNYA PAGT UNTUK MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN HEPATITIS.............11
I. PENGKAJIAN GIZI..................................................................................................12
J. DIAGNOSA GIZI.....................................................................................................13
K. MONITORING DAN EVALUASI GIZI.......................................................................14
BAB III..................................................................................................................16
CONTOH KASUS ( FIKTIF )............................................................................16
BAB IV..................................................................................................................23
PEMBAHASAN KASUS.....................................................................................23
BAB V....................................................................................................................36
PENUTUP.............................................................................................................36
A. Kesimpulan...........................................................................................................36
B. Saran....................................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepatitis A adalah penyakit Peradangan Hati yang disebabkan oleh Virus
Hepatitis A (VHA) yang merupakan Ribonucleic Acid (RNA) Virus. VHA
termasuk famili picornaviridae, genus hepatovirus, memiliki 1 serotipe dan 4
genotipe. VHA bersifat termostabil, tahan asam dan tahan terhadap cairan empedu
serta bertahan hidup di dalam suhu ruangan selama lebih dari 1 bulan (Kemenkes,
2012) . Penyakit ini ditetapan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) dikarenakan
masyarakat banyak dan mudah sekali terjankit penyakit Hepatitis A. Walaupun
ditetapkan sebagai KLB, orang yang menderita penyakit Hepatitis A ini
dipastikan bisa sembuh. Hal tersebut diungkapkan Ketua PB Perhimpunan
Peneliti Hati Indonesia, Dr dr Irsan Hasan, Sp PD KGEH. Ia mengatakan, 99
persen penderita Hepatitis A ini dapat sembuh total.

Penyakit Hepatitis A dapat memberikan kerugian ekonomi dan sosial karena


lamanya masa penyembuhan. Penyakit ini juga tidak memiliki pengobatan
spesifik yang dapat mengurangi lama penyakit, sehingga dalam penatalaksanaan
Hepatitis A, tindakan pencegahan adalah yang paling diutamakan. Karena
penularannya melalui fecal oral (melaui makanan atau minuman yang 2
terkontaminasi tinja yang mengandung virus Hepatitis A), salah satu bentuk
pencegahan yang dapat memutuskan rantai penularan Hepatitis A dengan menjaga
personal hygiene (Kemenkes, 2012). Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat
sembuh dengan sendirinya, penderita harus mampu meningkatkan daya tahan
tubuh maupun mencegah penularan kepada orang lain. Dr. Karunia Ramadhan
menyatakan bahwa angka kekambuhan penyakit ini sangatlah kecil, dan dapat
sembuh denan sempurna.

Pencegahan Hepatitis A juga dapat dengan meningkatkan kebutuhan nutrisi


secara bertahap dan menjaga pola makan yang sesuai anjuran diet yang telah
ditetapkan (Kusumowati, 2019). Jika kondisi Hepatitis ini dibiarkan terus menerus
maka akan berisiko terjadinya malnutrisi dan komplikasi lebih lanjut. Oleh karena
itu perlu dilakukannya asuhan gizi untuk mempertahankan maupun memperbaiki
status gizi serta mempercepat proses penyembuhan pasien (Wijayanti & Purhita,
2013).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti mengangkat masalah ini karena bahayanya


dari virus hepatitis A dan penyebarannya yang cepat serta terjadinya penurunan
kebutuhan bagi penderita Hepatitis A, maka peneliti mencoba mengumpulkan
data primer yang bisa dijadikan acuan awal untuk melakukan identifikasi dan
diagnosa serta intervensi terhadap penyakit hepatitis A.

Dengan pemberian asuhan gizi kepada pasien Hepatitis A diharapkan mampu


memperbaiki status gizi serta mempercpat proses penyembuhan pasien. Pelayanan
asuhan gizi pada pasien rawat inap diberikan dengan menggunakan Nutrition Care
Process (NCP) sebagaimana yang direkomendasikan oleh American Dietetics
Association (ADA) untuk memecahkan suatu masalah secara sistematis dalam
menangani masalah gizi sehingga dapat memberikan asuhan gizi yang aman,
efektif dan berkualitas tinggi (Kemenkes RI, 2014). Menurut PGRS (2013),
pasien yang menjadi prioritas asuhan merupakan pasien yang teridentifikasi risiko
gizi dan membutuhkan gizi khusus secara individual salah satu contohnya yaitu
pada pasien hepatitis A (Wahyuningsih, 2013).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti
merumuskan pada penelitian ini, yaitu bagaimana penatalaksanaan diet pada
pasien Hepatitis A.

C. Tujuan
- Tujuan Umum
Mendeskripsikan penatalaksanaan diet pada pasien penyakit Hepatitis A.
- Tujuan Khusus
1. Mampu melakukan assessment gizi yang meliputi pengkajian pada
data antropometri, biokimia, fisik klinis dan riwayat gizi pada
pasien dengan Hepatitis A
2. Mampu menegakkan diagnosis gizi pada pasien dengan Hepatitis
A.
3. Mampu merencanakan intervensi gizi yang tepat berdasarkan data-
data diagnosis pada pasien dengan Hepatitis A.
4. Mampu merencanakan dan melakukan monitoring evaluasi gizi
terhadap intervensi gizi yang diberikan pada pasien dengan
Hepatitis A.

D. Manfaat
- Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan keterampilan
bagi penulis dalam melakukan asuhan gizi pada pasien Hepatitis A.
- Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran
tentang asuhan gizi khususnya bagi pasien Hepatitis A.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI HEPATITIS
Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis
(jaringan parut), sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai
faktor seperti infeksi virus, zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu),
dan penyakit autoimun (Kemenkes, 2017).

Peradangan hati ditandai dengan meningkatnya kadar enzim hati. Peningkatan


ini disebabkan adanya gangguan atau kerusakan membran hati. Ada 2 faktor
penyebabnya yaitu faktor infeksi dan faktor non infeksi. Faktor penyebab infeksi
antara lain virus hepatitis dan bakteri. Selain karena virus Hepatitis A, B, C, D, E
dan G masih banyak virus lain yang berpotensi menyebabkan hepatitis misalnya
adenoviruses, CMV, Herpes simplex, HIV, rubella, varicella dan lain- lain.
Sedangkan bakteri yang menyebabkan hepatitis antara lain misalnya bakteri
Salmonella thypi, Salmonella parathypi, tuberkulosis, leptosvera. Faktor non
infeksi misalnya karena obat. Obat tertentu dapat mengganggu fungsi hati dan
menyebabkan hepatitis (Dalimartha,2008).

B. MACAM MACAM HEPATITIS

Hepatitias A

Hepatitis A adalah penyakit yang menyerang organ Hepar yang disebabkan


oleh VHA. Hepatitis A dapat menyebabkan sakit ringan hingga berat. Pada
umumnya penyebaran terjadi secara fekal-oral ketika seseorang mengkonsumsi
makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja seseorang yang terinfeksi VHA.
VHA bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap cairan empedu
(Kemenkes, 2014).

Hepatitis B

Hepatitis jenis ini ditularkan melalui kontak darah oleh seseorang yang
telah terinfeksi. Biasanya, infeksi ini terjadi melalui transfusi atau produk darah
yang telah terkena virus, alat medis, jarum suntik, air mani, dan cairan tubuh
lainnya. HBV juga dapat menular pada bayi oleh ibu yang mengidap hepatitis B
ketika persalinan, Hepatitis B termasuk dalam jenis yang berbahaya, karena dapat
menyebabkan kematian. Diperkirakan ada jutaan orang di dunia yang mengidap
penyakit hepatitis B. HBV dapat dicega melalui vaksin yang aman dan juga
efektif. ejalanya beragam dan termasuk menguningnya mata, sakit perut, dan urine
keruh. Beberapa orang, terutama anak-anak, tidak mengalami gejala apa pun.
Dalam kasus-kasus kronis, gagal hati, kanker, atau jaringan parut dapat terjadi.

Hepatitis C

Hepatitis ini sebagian besar ditularkan melalui perpindahan darah seperti


pada hepatitis B. Selain itu, hubungan intim juga dapat menyebabkan hepatitis C
walaupun terbilang jarang. Hepatitis C awalnya terlihat ringan, tetapi lama-
kelamaan akan berubah menjadi kronis. Sebagian besar penderita tidak
mengalami gejalanya. Penderita yang mengembangkan gejala ini dapat
mengalami kelelahan, mual, hilang nafsu makan, dan mata atau kulit menguning.
Hepatitis D

Hepatitis D (HDV) atau hepatitis delta adalah penyakit peradangan hati


yang disebabkan oleh infeksi virus delta. Peradangan hati dapat menyebabkan
pembengkakan yang dapat memengaruhi fungsi kerja hati. Dibandingkan
dengan penyakit hepatitis lainnya, HDV termasuk infeksi virus yang paling
berbahaya.gejala yang timbul berupa sakit perut mata berwarna kuning atau
mual

Hepatitias E

Hepatitis ini umumnya disebarkan melalui konsumsi air atau makanan yang
telah terkontaminasi. Hepatitis E adalah penyebab umum dari wabah hepatitis
yang terjadi di kebanyakan negara berkembang. Vaksin untuk penyakit ini sedang
dikembangkan tetapi persediaannya masih sedikit. Gejalanya termasuk sakit
kuning, nafsu makan berkurang, dan mual. Dalam kasus yang jarang terjadi, hal
itu dapat berlanjut pada gagal hati akut.

C. DEFINISI HEPATITIS A
Hepatitis A adalah penyakit yang menyerang organ Hepar yang disebabkan
oleh VHA. Hepatitis A dapat menyebabkan sakit ringan hingga berat. Pada
umumnya penyebaran terjadi secara fekal-oral ketika seseorang mengkonsumsi
makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja seseorang yang terinfeksi VHA.
VHA bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap cairan empedu
(Kemenkes, 2014).

Hepatitis A juga merupakan jenis hepatitis yang paling ringan dan paling
mudah penularannya serta tidak menutup kemungkinan akan berubah atau masuk
ke tingkat yang lebih parah seperti hepatitis B atau hepatitis C. Jika tidak
dilakukan intervensi segera, anak-anak yang sehat agar tetap sehat dan anak-anak
yang rentan dapat terhindar dari faktor-faktor penyebab terjangkitnya hepatitis A
(Mardhiyah, 2019).

D. ETIOLOGI HEPATITIS A
Hepatitis A, yang dahulu dinamakan hepatitis infeksiosa, disebabkan oleh
virus RNA dari family enterovirus. Masa inkubasi virus Hepatitis A diperkirakan
berkisar dari 1 hingga 7 minggu dengan rata-rata 30 hari. Perjalanan penyakit
dapat berlangsung lama, dari 4 minggu hingga 8 minggu. Virus Hepatitis A hanya
terdapat dalam waktu singkat di dalam serum, pada saat timbul ikterik
kemungkinan pasien sudah tidak infeksius lagi (Smeltzer, 2001).

Hepatitis A merupakan penyakit hati serius yang disebabkan oleh virus


Hepatitis A (HAV). HAV ditemukan di tiap tubuh manusia pengidap Hepatitis A.
Terkadang penyakit ini menular melalui kontak personal. Terkadang pula melalui
makanan atau minuman yang terkontaminasi HAV (Sari, 2016).

E. PATOFISIOLOGI HEPATITIS A
VHA memiliki masa inkubasi ± 4 minggu. Replikasi virus dominasi terjadi
pada hepatosit, meski VHA juga ditemukan pada empedu, feses, dan darah. Anti
gen VHA dapat ditemukan pada feses pada 1-2 minggu sebelum dan 1 minggu
setelah awitan penyakit (Arif A., 2014).

Fase akut penyakit ditandai dengan peningkatan kadar aminotransferase serum,


ditemukan antibodi terhadap VAH (IgM anti-VAH), dan munculnya gejala klinis
(jaundice). Selama fase akut, hepatosit yang terinfeksi umumnya hanya
mengalami perubahan morfologi yang minimal, hanya <1% yang menjadi
fulminant. Kadar IgM anti-VAH umumnya bertahan kurang dari 6 bulan, yang
kemudian digantikan oleh IgG anti-VAH yang akan bertahan seumur hidup.
Infeksi VHA akan sembuh secara spontan, dan tidak pernah menjadi kronis atau
karier (Arif A., 2014)

F. FAKTOR RESIKO HEPATITIS A


Perilaku berisiko terhadap Hepatitis A berdasarkan Kemenkes RI (2012):

1. Kebiasaan membeli makanan di sembarang tempat, makan


makananmentah atau setengah matang.
2. Personal hygiene yang rendah antara lain: penerapan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat masih kurang diantaranya cuci tangan
dengan air bersih dan sabun, mengkonsumsi makanan dan
minuman sehat, serta cara mengolah makanan yang tidak
memenuhi persyaratan kesehatan (Kemenkes RI, 2012).
Kelompok risiko tinggi tertular HAV berdasarkan Cahyono, dkk (2010),
diantaranya:

1. Tinggal di daerah dengan kondisi lingkungan yang buruk


(penyediaan air minum dan air bersih, pembuangan air limbah,
pengelolaan sampah, pembuangan tinja yang tidak memenuhi
syarat).
2. Tempat penitipan anak dan asrama (Pesantren).
3. Penyaji makanan.

G. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala awal infeksi virus Hepatitis A sangat bervariasi dan
bersifat tidak spesifik. Demam, kelelahan, anoreksia (tidak nafsu makan) dan
gangguan pencernaan (mual, muntah, kembung) dapat ditemukan pada awal
penyakit. Dalam waktu 1 minggu, beberapa penderita dapat mengalami gejala
kuning disertai gatal (ikterus), buang air kecil berwarna seperti teh, dan tinja
berwarna pucat. Infeksi pada anak berusia di bawah 5 tahun umumnya tidak
memberikan gejala yang jelas dan hanya 10% yang akan memberikan gejala
ikterus. Pada anak yang lebih tua dan dewasa, gejala yang muncul biasanya lebih
berat dan ikterus terjadi pada lebih dari 70% penderita. Masa inkubasi 15-50 hari,
rata-rata 28-30 hari (Kemenkes, 2012). Menurut Wicaksono (2014) gejala
hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu fase inkubasi, fase prodromal (pra
ikterik), fase ikterus, dan fase konvalesen (penyembuhan).

1. Fase Inkubasi

Fase Inkubasi merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya


gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis.
Panjang fase ini tergantung pada dosis inokulum yang ditularkan dan jalur
penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini. Pada
hepatitis A fase inkubasi dapat berlangsung selama 14-50 hari, dengan rata-rata
28-30 hari.
2. Fase Prodromal (Pra-Ikterik)

Pada fase ini akan timbul keluhan-keluhan pertama dan timbulnya gejala
ikterus. Tandanya berupa malaise umum, nyeri otot, nyeri sendi, mudah lelah,
gejala saluran napas atas dan anoreksia.

3. Fase Ikterus

Fase Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul bersamaan
dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah
timbul ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.

4. Fase Konvalesen (Penyembuhan)

Fase penyembuhan diawali dengan proses menghilangnya ikterus dan


keluhan lain, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul
perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya
akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan
laboratorium lengkap terjadi dalam 9 minggu. Pada 5-10% kasus perjalanan
klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminant.

H. DIAGNOSA HEPATITIS A
Salah satu cara dalam menegakkan diagnosis pada penderita hepatitis A
diperlukan beberapa pemeriksaan, antara lain:

1. Pemeriksaan klini
Pemeriksaan klinis dilakukan berdasarkan keluhan penderita
seperti demam, kelelahan, anoreksia, mual, dan rasa tidak nyaman pada
perut. Beberapa orang biasanya mengalami diare, ikterik (kulit dan mata
menguning), urine berwarna gelap dan pada kotoran (feses) terdapat
bercak darah, hal ini dapat ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkatan
berat penyakit ini bermacam–macam, mulai dari asimtomatik (hal ini biasa
terjadi pada anak–anak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan
hendaknya bertahan selama satu minggu sampai satu bulan.
2. Pemeriksaan serologi
Pada pemeriksaan serologi, mencari dua jenis antibodi terhadap virus
yaitu IgM dan IgG. Hal pertama yang dicari adalah antibodi IgM, yang
dibuat oleh sistem kekebalan tubuh lima sampai sepuluh hari, dan antibodi
ini hilang dalam waktu enam bulan. Tes antibodi IgG, yang menggantikan
antibodi IgM dan untuk seterusnya melindungi terhadap infeksi HAV.
a. Apabila dalam tes serologi hasilnya menunjukkan negatif untuk antibodi
IgM dan antibodi IgG, maka seseorang kemungkinan tidak pernah
terinfeksi HAV, dan direkomendasikan untuk melakukan vaksinasi HAV.
b. Apabila tes serologi menunjukkan hasil positif untuk antibodi IgM dan
hasil negatif untuk antibodi IgG, maka seseorang kemungkinan telah
tertular HAV dalam kurun waktu enam bulan terakhir, dan sistem
kekebalan tubuh sedang mengeluarkan virus atau infeksi menjadi semakin
parah.
c. Sebaliknya apabila tes serologi menunjukkan hasil negatif untuk antibodi
IgM dan hasil positif untuk antibodi IgG, maka kemungkinan seseorang
tersebut terinfeksi HAV pada suatu waktu sebelumnya, atau sudah
melakukan vaksinasi terhadap HAV, dan pada saat ini sudah kebal terhadap
HAV.
3. Pemeriksaan penunjang lain
Diagnosis dari penyakit hepatitis dapat berdasarkan hasil pemeriksaan
biokimia terhadap fungsi organ hati (pemeriksaan laboratorium dari:
bilirubin urine dan urobilinogen, total dan direct bilirubin serum, alanine
transaminase (ALT), aspartate transaminase (AST), prothombin time (PT),
total protein, serum albumin, IgG, IgA, IgM, dan hitung sel darah
lengkap). Apabila dengan tes laboratorium tidak memungkinkan, maka
bukti epidemiologis merupakan langkah yang dapat membantu
menegakkan diagnosa. Bukti epidemiologis adalah penemuan dua atau
lebih kasus hepatitis A klinis pada lokasi praduga KLB yang mempunyai
hubungan epidemiologis (Kemenkes, 2012).
I. PENTINGNYA PAGT UNTUK MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN
HEPATITIS
Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) adalah metode pemecahan
masalah yang sistematis, yang mana dietisien profesional menggunakan cara
berfikir kritisnya dalam membuat keputusan-keputusan untuk menangani berbagai
masalah yang berkaitan dengan gizi, sehingga dapat memberikan asuhan gizi yang
efektif dan berkualitas. Proses asuhan gizi hanya dilakukan pada pasien atau klien
yang terindentifikasi resiko gizi atau sudah malnutrisi dan membutuhkan
dukungan gizi individual. Identifikasi resiko gizi dilakukan melalui skrining gizi,
dimana metodenya tergantung dari kondisi dan fasilitas setempat. Misalnya
menggunakan Subjective Global Assement (SGA) (Sumapradja, 2011).

Kegiatan dalam PAGT diawali dengan melakukan pengkajian lebih


mendalam. Bila masalah gizi yang lebih spesifik telah ditemukan maka dari data
objektif dan subjektif pengkajian gizi dapat ditemukan, penyebab, derajat serta
area masalahnya. Berdasarkan fakta tersebut ditegakkanlah diagnosa gizi
kemudian ditentukan rencana intervensi gizi untuk dilaksanakan berdasarkan
diagnosa gizi yang terkait. Kemudian monitoring dan evaluasi gizi dilakukan
setelahnya untuk mengamati perkembangan dan respon pasien terhadap intervensi
yang diberikan. Bila tujuan tercapai maka proses ini dihentikan, namun bila tidak
tercapai atau terdapat masalah gizi baru maka proses berulang kembali mulai dari
pengkajian gizi yang baru (Sumapradja, 2011).

Proses asuhan gizi terstandar merupakan siklus yang terdiri dari langkah
yang berurutan dan saling berkaitan yaitu:

1. Pengkajian gizi (assessment)


2. Diagnosa gizi
3. Intervensi gizi
4. Monitoring dan evaluasi gizi (Sumapradja, 2011).

Gizi dan penyakit hati adalah dua kondisi yang saling berkaitan.
Padapenyakit hati baik akut maupun kronis, perlu diperhatikan pemberian gizi
yang optimal. Pengelolaan gizi yang optimal akan menurunkan komplikasi dan
memperbaiki morbiditas dan mortalitas pada penyakit hati (Sucher and Mattfeldt-
Beman, 2011).Oleh karena itu, pentingnya melakukan Proses Asuhan Gizi
Terstandar (PAGT) pada penyembuhan penyakit hati yaitu untuk memonitoring
dan mengevaluasi masalah yang terjadi sehingga masalah yang terjadi dapat
diatasi dengan meningkatkan atau mempertahakan terkait gizi, seperti pengukuran
antropometri (berat badan, tinggi badan, status gizi), nilai lab terkait gizi, keluhan
yang dirasakan dan riwayat gizi seseorang.

J. PENGKAJIAN GIZI
Terjadinya masalah gizi disebabkan adanya ketidaksesuaian antara asupan
gizi dengan kebutuhan tubuh. Keadaan ini dapat terjadi karena asupan energi dan
zat gizi yang kurang, berlebihan, dan atau kebutuhan yang meningkat yang bila
berlangsung terus-menerus mengakibatkan terjadinya perubahan status gizi.
Kondisi ini erat kaitannya dengan kondisi penyakit, fungsi organ, motorik, sosial
ekonomi, dan lingkungan (PERSAGI, 2013).

Perubahan status dapat terdeteksi dengan menggunakan komponen


pengkajian gizi, meliputi:

1. Pengukuran data antropometri


2. Pemeriksaan dan pengkajian data biokimia
3. Pemeriksaan dan pengkajian klinis dan fisik
4. Riwayat makan
5. Riwayat personal

Pengkajian gizi merupakan dasar untuk menegakkan diagnosis gizi. Data-


data yang dikumpulkan untuk dilakukan pengkajian gizi sampai ditemukannya
permasalahan harus benar-benar tepat. Sumber data dapat diperoleh dari rujukan
tenaga kesehatan, melakukan observasi dan pengukuran, wawancara langsung
dengan klien, hasil rekam medik atau pemeriksaan laboratorium serta data
administrasi lainnya. Data riwayat makan dan riwayat personal diperoleh
langsung melalui wawancara dengan klien (PERSAGI, 2013).

Asuhan gizi bagi penderita penyakit hati akan berhasil dengan baik, jika
dilakukan dengan langkah-langkah pada proses asuhan gizi terstandar. Langkah
pertama adalah assessment gizi untuk mengkaji masalah gizi yang mungkin
terjadi pada penderita penyakit hepatitis. Penderita penyakit hepatitis dengan
manifestasi yang ada dapat memberikan implikasi gizi. Implikasi gizi pada
penderita penyakit Hepatitis adalah sebagai berikut:

1. Asupan oral inadekuat, hal ini dapat terjadi karena adanya gejala-gejala
mual, muntah, hilang nafsu makan, nyeri abdomen, anoreksia, demam, dll.
2. Penurunan berat badan yang tidak diharapkan, dapat terjadi karena asupan
4. oral yang inadekuat.
3. Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena asupan oral yang inadekuat.
4. Interaksi obat dan makanan (treatment HCV).

Untuk mendapatkan data asupan makanan untuk menentukan konsumsi


makanan/cairan dan yang dapat diterima oleh pasien, dilakukan dengan metode
survei konsumsi 24-hour recall, diet history, atau food diary. Selain data asupan,
pada langkah assessment gizi juga dibutuhkan data biokimia dan data fisik klinis
untuk menunjang penetapan diganosa gizi (langkah kedua dari proses asuhan gizi
terstandar) .

K. DIAGNOSA GIZI
Diagnosa gizi adalah kegiatan mengidentifikasi dan memberi nama
masalah gizi yang aktual, dan atau beresiko menyebabkan masalah gizi. Diagnosa
gizi diuraikan berdasarkan komponen masalah gizi (problem), penyebab masalah
gizi (etiology), dan tanda serta gejala adanya masalah gizi (sign and symptom)
(PERSAGI, 2013).

Adapun komponen-komponen diagnosa gizi dapat diuraikan sebagai


berikut (PERSAGI,2013): Problem menunjukkan adanya masalah gizi yang
digambarkan dengan terjadinya perubahan status gizi klien. Masalah dinyatakan
dengan kata sifat yang menggambarkan respon tubuh, seperti adanya perubahan
dari normal menjadi tidak normal, kegagalan fungsi, ketidakefektifan, penurunan
atau peningkatan dari suatu kebutuhan normal, dan resiko munculnya gangguan
gizi tertentu secara akut atau kronis.

1. Etiology
2. Etiology menunjukkan faktor penyebab atau faktor yang berperan dalam
timbulnya masalah gizi. Terdapat beberapa faktor penyebab masalah gizi
antara lain berkaitan dengan patofisiologi, psikososial, perilaku,
lingkungan, dan sebagainya. Etiology merupakan dasar untuk menentukan
masalah gizi.

Setelah dilakukan assessment gizi, akan didapatkan kemungkinan-


kemungkinan masalah gizi pada pasien penyakit hepatitis, yang akan disebut
sebagai diagnosa gizi. Beberapa kemungkinan masalah gizi pada pasien penyakit
hepatitis adalah: inadekuat asupan oral; inadekuat asupan protein dan energi;
interaksi obat dan makanan; gangguan utiliasi zat gizi (perubahan kemampuan
memetabolisme zat gizi dan substansi bioaktif); dan penurunan berat badan yang
tidak diharapkan. Beberapa contoh diagnosa gizi pada pasien dengan hepatitis:

1. Gangguan utilisasi zat gizi (P atau Problem) berkaitan dengan hepatitis (E


atau Etiologi) ditandai/dibuktikan dengan SGOT dan SGPT abnormal,
bilirubin tinggi, tampak kuning (SS atau Signs dan Symtomps).
2. Asupan oral tidak adekuat (P atau Problem) berkaitan dengan mual,
muntah (E atau Etiologi) ditandai/dibuktikan dengan asupan energi kurang
dari kebutuhan, penurunan berat badan, dan tampak kurus (SS atau Signs
dan Symtomps) (Nuraini, dkk, 2017).\

L. MONITORING DAN EVALUASI GIZI


Data hasil monitoring dan evaluasi gizi dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi sistem manajemen pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Kegiatan ini
dilakukan untuk mengetahui respon pasien terhadap intervensi dan tingkat
keberhasilannya. Indikator hasil yang diamati dan dievaluasi harus mengacu pada
kebutuhan pasien, diagnosis gizi, tujuan intervensi dan kondisi penyakit.
Sedangkan waktu pengamatan dari masing-masing indikator sesuai dengan
rujukan yang digunakan (Sumapradja, 2011).

Komponen yang dimonitor dan dievaluasi sesuai dengan tanda dan gejala
(Sign dan Symptom atau SS) dari masalah gizi yang telah ditetapkan, yaitu:
toleransi pasien terhadap makanan yang diberikan, perubahan berat badan pasien,
perubahan nilai laboratorium, serta kenyamanan pasien terutama dalam hal
makan. Contoh monitoring dan evaluasi gizi lanjutan contoh diagnosa gizi nomor
1 di atas (Nuraini, dkk, 2017).

- Problem: Gangguan utilisasi zat gizi.


Tujuan intervensi gizi: Memberikan makanan sesuai kemampuan tubuh
dengan gangguan metabolisme zat gizi.
- Etiologi: Penyakit Hepatitis
Strategi intervensi gizi: Pemberian terapi diet Hepatitis
- Sign/Symptom: SGOT dan SGPT abnormal, bilirubin tinggi, tampak
kuning.
Rencana Monitoring & Evaluasi gizi: Perbaikan nilai SGOT dan SGPT,
bilirubin, hilang penampilan tampak kuning

M. POLA MAKAN PASIEN DENGAN HEPATITIS A


Para penderita hepatitis A juga perlu menerapkan pola makan sehat.
Sebab, pola makan yang tidak sehat dapat menyebabkan kerusakan organ
hati lebih berat.
Penderita hepatitis A harus mengonsumsi makanan:
 Banyak buah dan sayuran
 Biji-bijian utuh seperti gandum, beras merah, gandum, dan quinoa
 Protein tanpa lemak seperti ikan, ayam tanpa kulit, putih telur, dan
kacang-kacangan
 Produk susu rendah lemak atau non-lemak
 Lemak sehat seperti yang ada di kacang, alpukat, dan minyak
zaitun
Menurut Keri Gans, seperempat piring harus mengandung karbohidrat
dengan serat tinggi seperti biji-bijian, seperempatnya harus mengandung
sumber protein tanpa lemak, dan sisanya harus mengandung buah-buahan
dan sayuran.
Sedangkan makanan untuk penderita hepatitis A yang perlu dihindari
adalah:
 Lemak jenuh ditemukan dalam mentega, krim asam, dan makanan
olahan susu berlemak tinggi lainnya, potongan daging berlemak,
dan makanan yang digoreng
 Sugary treats seperti kue, soda, dan makanan panggang yang
dikemas
 Makanan yang penuh dengan garam
 Alkohol
Perlu diingat bahwa diet yang tidak sehat dapat menyebabkan
kerusakan hati. Jika terlalu banyak makan makanan berlemak, atau bergula
tinggi kalori, maka akan menambah berat badan dan lemak akan mulai
menumpuk di hati.
"Hati berlemak" dapat berkontribusi untuk mengembangkan sirosis, atau
jaringan parut, hati. Lemak di hati juga dapat mengganggu efektivitas obat
yang menargetkan virus hepatitis
BAB III

CONTOH KASUS ( FIKTIF )

Kasus Ditinjau dari Diploma thesis, Poltekkes Kemenkes Riau, DEVI MARIYANI
NINGSIH Dengan Judul ASUHAN GIZI PADA PASIEN HEPATITIS A (STUDI KASUS
DI RSUD X JAKARTA TIMUR).

A. Pengkajian Data

1. Identitas Pasien

Penelitian ini dilakukan melalui observasi tentang identitas pasien yang meliputi
nama, jenis kelamin, usia dan diagnosis medis dengan melihat rekam medik
pasien. Berikut data gambaran umum pasien yang disajikan pada Tabel 3.1:

Tabel 3. 1 Identitas Umum Pasien


Tn. R di diagnosis mengalami Hepatitis A pada tanggal 5 Februari 2020.
Sebelumnya, Tn. R tidak pernah dirawat dengan diagnosis Hepatitis A, hanya saja
baru diketahui mengalami Hepatitis A saat masuk rumah sakit pada tanggal 4
Februari 2020. Pada awal masuk RS, Tn. R mengalami keluhan mual, muntah,
BAB cair, nafsu makan menurun, ikterik, jaundice dan air seni berwarna kuning
pekat. Tn. R merupakan mahasiswa Jurusan Teknik IPB.

2. Data Antropometri

Hasil pengukuran antropometri serta status gizi pasien selama pengamatan


disajikan dalam Tabel 3.2.

Tabel 3. 2 Hasil Antropometri

Tabel 3.2 menunjukkan hasil pengukuran antropometri pasien. Pada awal


pengamatan dilakukan pengukuran antropometri pasien yaitu dengan
menggunakan berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan hasil Indeks
Massa Tubuh. Pada pengukuran tinggi badan, pasien tidak mengalami bed rest
(tidak terikat dengan tempat tidur) dikarenakan pasien dapat beraktivitas seperti
biasa namun tidak terdapat alat ukur tinggi badan yaitu microtoise di kamar
pasien. Maka peneliti melakukan pengukuran tinggi badan dengan tinggi lutut
untuk mendapatkan nilai estimasi tinggi badan, sehingga estimasi perhitungan
Indeks Massa Tubuh pasien yaitu 24,06 kg/m2 yang dikategorikan status gizi
normal.

3. Data Riwayat Gizi

1.1 Riwayat Gizi Dahulu

Riwayat gizi dahulu meliputi kebiasaan dan pola makan pasien sebelum
masuk rumah sakit. Dalam kasus ini, pasien tidak mempunyai alergi makanan.
Pasien memiliki kebiasaan makan 3x makan utama 3x selingan. Sarapan pagi
lebih sering mengkonsumsi lontong sayur sekitar jam 8. Makan siang lebih sering
mengkonsumsi nasi rames yang dijual di dekat kampus. Makan malam lebih
sering mengkonsumsi ayam goreng yang dijual di pecel lele. Selingan biasanya
berupa gorengan seperti bakwan goreng atau tahu isi, dalam sehari
mengkonsumsi gorengan sebanyak 5 potong dan kacang pilus. Pasien lebih
sering mengkonsumsi ayam daripada ikan dan daging. Mengkonsumsi buah 3x
seminggu. Sering makan makanan yang digoreng dan makanan pedas contohnya
ayam geprek. Menyukai junkfood contohnya fried chicken, pizza, burger. Suka
makan makanan dan jajanan yang kurang higienis di kosan contohnya tahu gejrot
yang dijual pinggir jalan. Sering mengkonsumsi air putih daripada minuman
bersoda dan minuman manis. Pasien di diagnosis Hepatitis A semenjak masuk
rumah sakit. Pasien sebelumnya belum pernah mendapat konsultasi gizi
semenjak terdiagnosis Hepatitis A.

1.2 Riwayat Gizi Sekarang

Selain data riwayat gizi dahulu, diperlukan juga data riwayat gizi saat ini
untuk mengetahui pola dan asupan responden saat dirawat di rumah sakit.
Berikut hasil recall makan pasien saat berada di Rumah Sakit disajikan dalam
tabel 3.5

Tabel 3. 5 Hasil Recall 1x24 jam Rumah Sakit tanggal 05 Februari 2020

Sumber: WNPG, 2014

Berdasarkan Tabel 3.5 menunjukkan bahwa semua asupan zat gizi pasien berada
dibawah kebutuhan. Hal ini terjadi akibat nafsu makan pasien menurun karena
mengalami mual, muntah, pusing dan badan lemas serta pasien makan makanan
dalam bentuk makanan yang padat. Oleh karena itu pasien diberikan makanan
bentuk lunak untuk menghindari adanya keluhan mual dan muntah
berkelanjutan untuk meningkatkan asupan zat gizi pasien. Hasil yang didapatkan
menunjukkan rata-rata asupan pasien selama 1x24 jam masuk rumah sakit
adalah 34,35% dari total kebutuhan zat gizi.

1.3 Diagnosis Gizi Pasien

Diagnosis gizi merupakan suatu hubungan antara masalah (problem),


penyebab (etiology) dan tanda dan gejala (sign & symptoms). Diagnosis gizi
terdiri dari tiga domain, yaitu domain asupan (intake), domain klinik (clinic) dan
domain perilaku (behaviour). Adapun diagnosa gizi yang dimiliki pasien disajikan
dalam Tabel 3.6.

Tabel 3. 6 Diagnosis Gizi


Diagnosis penyakit pasien pada saat masuk rumah sakit (MRS) adalah Hepatitis A.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan data subyektif dan obyektif pasien, terutama
ditemukan adanya peningkatan kadar SGPT, peningkatan kadar SGOT,
peningkatan kadar hemoglobin, peningkatan eritrosit dan kreatinin yang rendah
serta tekanan darah yang tinggi.

1.4 Intervensi Gizi

1. Rencana Intervensi

a. Jenis Diet: Diet Hati III Rendah Garam III

b. Bentuk Makanan: Makanan Lunak

c. Frekuensi Pemberian: 3x Makanan Utama dan 2x Makanan Selingan


d. Rute Pemberian: Oral

e. Tujuan Diet:

1) Membantu meningkatkan asupan makan pasien hingga mencapai 100%.

2) Membantu menurunkan hasil laboratorium terkait gizi hingga mendekati nilai


normal.

3) Memberikan edukasi gizi terkait pemilihan bahan makanan yang tepat dan
sesuai dengan diet yang diberikan yaitu diet hati dan diet rendah garam.

f. Prinsip dan Syarat Diet Hati:

1) Energi yang diberikan sebesar 2700 kkal.

2) Protein yang diberikan sebesar 12,5% yaitu 83,75 g.

3) Lemak yang diberikan sebesar 20% yaitu 60 g.

4) KH yang diberikan sebesar 67,5% yaitu 455,63 g.

5) Bentuk makanan lunak (mudah dicerna).

6) Batasi atau hindari makanan yang menimbulkan gas seperti kol, sawi, timun,
durian, nangka serta makanan yang tidak merangsang seperti pedas, keras,
terlalu panas/dingin.

7) Tidak dianjurkan mengkonsumsi alkohol, teh, atau kopi kental. Memberikan


diet Hati dikarenakan terdapatnya gangguan fungsi hati. Pada diet hati
ditemukan penyakit Hepatitis dan Sirosis Hati. Hepatitis adalah peradangan yang
disebabkan oleh infeksi virus. Hepatitis ini disertai anoreksia, demam, rasa mual
dan muntah, serta terdapat jaundice dan ikterik. Namun pada kasus ini, pasien
mendapatkan jenis diet Hati III yang diberikan kepada pasien hepatitis akut
(Hepatitis A dan Hepatitis B) serta pasien tidak menunjukkan gejala siroris hati
aktif. Oleh karena itu kebutuhan energi dihitung dengan menggunakan rumus
Diet Hati. Kebutuhan protein dihitung dengan menggunakan rumus 1,25 x BBI
sebesar 83,75 g dan diutamakan sumber protein yang memiliki nilai biologis
tinggi. Kebutuhan karbohidrat dihitung dengan menggunakan nilai 67,5% dari
kebutuhan energi total sebesar 455,63 g dan kebutuhan lemak 20% dari
kebutuhan energi total sebesar 60 g. Pemberian rendah garam III sebesar 4 g
dengan kandungan natrium sebesar 1000 mg, karena pasien mengalami
hipertensi (Almatsier, 2010).

2. Rencana Edukasi Gizi

1) Tujuan edukasi gizi:

Memberikan informasi gizi yang berkaitan dengan penyakit pasien agar pasien
dapat mengikuti dan menerapkan anjuran diet setelah pasien keluar dari rumah
sakit. Informasi yang disampaikan yaitu berupa pemilihan bahan makanan yang
dianjurkan dan yang tidak dianjurkan bagi pasien serta bahan makanan yang
harus dibatasi konsumsinya.

2) Waktu edukasi gizi: 30 menit

3) Sasaran edukasi gizi: Pasien

4) Metode edukasi gizi: Konseling

5) Media edukasi gizi: Leaflet dan kuisioner (pre-test dan post-test)

6) Tempat dukasi gizi: Ruang rawat inap pasien

7) Materi:

a. Pengertian Hepatitis A dan Hipertensi.

b. Penyebab Hepatitis A dan Hipertensi.

b. Tanda dan gejala Hepatitis A dan Hipertensi.

c. Langkah-langkah cuci tangan yang benar menurut WHO.

d. Pola makan yang sesuai dengan diet hati dan diet rendah garam.
1.5 Hasil Monitoring dan Evaluasi

1. Monitoring dan Evaluasi Data Antropometri

Antropometri merupakan pengukuran fisik pada individu. Pada kasus ini,


monitoring dan evaluasi dilakukan dengan melakukan pengukuran berat badan
menggunakan timbangan dan melakukan pengukuran tinggi badan dengan
menggunakan meteran untuk mengukur tinggi lutut dikarenakan tidak
tersedianya alat ukur tinggi badan, sehingga untuk menentukan status gizi
menggunakan berat badan pasien dengan estimasi tinggi badan dari tinggi lutut.
Hasil monitoring dan evaluasi dari data antropometri didapatkan bahwa berat
badan pasien mengalami peningkatan dari hari pertama (73,68 kg), hari kedua
menjadi (73,81 kg), dan hari ketiga menjadi (74,18 kg). Jika dilihat dari status gizi
pasien di hari pertama (24,19 kg/m2) intervensi sampai hari ketiga (24,36 kg/m2)
intervensi tetap berada pada status gizi normal.

2. Monitoring dan Evaluasi Terapi Diet

Intervensi terapi diet yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Tabel 3. 9 Monitoring Terapi Diet

Tabel 3.9 menunjukkan terapi diet yang diberikan kepada Tn. R yaitu jenis diet,
bentuk makanan, frekuensi pemberian dan rute pemberian makanan. Terapi diet
dari hari pertama pengamatan hingga hari terakhir pengamatan mengalami
perubahan. Hasil monitoring asupan zat gizi pasien selama dirumah sakit dapat
dilihat pada Tabel 3.10.
Tabel 3. 10 Monitoring Asupan Zat Gizi

Sumber: WNPG, 2014

Tabel 3.10 menunjukkan hasil asupan Tn. R selama 4 hari. Setelah dilakukan
pengkajian gizi dan penetapan diagnosis gizi pasien, kemudian diberikan terapi
gizi dengan pemberian makanan yang sesuai dengan kebutuhan.

Terapi Diet:

Diet yang diberikan yaitu diet Hati III 2700 kkal dengan Rendah Garam III dalam
bentuk makanan lunak dengan frekuensi 3 kali makan utama dan 2 kali selingan.
Pemberian makanan lunak terkait dengan kondisi pasien yang mual, muntah,
nafsu makan menurun dan kesulitan BAB. Sesuai dengan tujuan pemberian diet
yaitu untuk meningkatkan asupan pasien hingga mencapai 100%, membantu
menurunkan hasil laboratorium terkait gizi hingga mendekati nilai normal, dan
memberikan edukasi gizi terkait pemilihan bahan makanan yang tepat dan sesuai
dengan diet yang diberikan yaitu diet Hati. Untuk itu intervensi yang dilakukan
selanjutnya ialah tetap memberikan diet Hati III dengan makanan biasa apabila
pasien sudah mengalami asupan makan meningkat serta keluhan mual dan
muntah sudah tidak dirasakan lagi.

Intervensi pada hari pertama yaitu dengan memberikan diet Hati III dalam
bentuk makanan lunak serta membutuhkan energi sebesar 2700 kkal, peneliti
ingin meningkatkan asupan makan dari hari ke hari maka di hari intervensi
pertama peneliti memberikan 95,8% dari total kebutuhan energi. Namun pasien
hanya mampu menghabiskan makanannya 83,84% dari total kebutuhan energi.
Dikarenakan dihari pertama intervensi pasien mengalami mual, nafsu makan
menurun, lemas, kesulitan BAB, adanya ikterik dan jaundice serta air seni
berwarna kuning pekat sehingga pencapaian yang diberikan tidak sepenuhnya
berhasil. Untuk langkah selanjutnya yaitu dengan mencoba meningkatkan
asupan makan dengan membuat menu yang menambah selera makan,
mengurangi keluhan, serta melihat hasil rekam medik perharinya. Membuat
menu yang menambah selera makan yaitu dengan cara memodifikasi menu dari
Rumah Sakit. Pada saat intervensi, pasien mendapatkan modifikasi menu berupa:

1. Susu Hepatosol

Yang berguna untuk makanan diet khusus penderita gangguan fungsi hati,
seperti: hepatitis, perlemakan hati, sirosis hati, dan kanker hati.

2. Makanan tinggi serat

Contohnya seperti sayuran dan buah-buahan terutama buah pepaya untuk


mengatasi kesulitan BAB selama 3 hari intervensi. Namun dihari pertama dan
kedua menggunakan berbagai macam buah seperti semangka, melon, pepaya
dan jeruk. Pada hari ketiga buah pepaya digunakan dalam setiap kali makan
utama. Sehingga dihari ketiga intervensi pasien sudah dapat mengalami BAB.

Pada hari kedua intervensi, pasien mengalami peningkatan tekanan darah dari
hari petama yaitu 106/59 mmHg menjadi 144/80 mmHg. Oleh karena itu,
peneliti menambahkan jenis dietnya yaitu dari diet Hati III menjadi diet Hati III
Rendah Garam III dengan bentuk makanan lunak. Energi diberikan sebesar 96,5%
dari total kebutuhan. Asupan pasien di hari kedua intervensi hanya 88,16% dari
total kebutuhan. Namun asupan pasien mengalami peningkatan sebesar 4,32%
dari hari pertama ke hari kedua intervensi dan keluhan pasien berkurang
sehingga hanya terdapat lemas, kesulitan BAB, serta adanya ikterik dan jaundice.
Untuk langkah selanjutnya yaitu tetap memberikan diet Hati III Rendah Garam III
untuk membantu menurunkan tekanan darah hingga batas normal dan
memberikan makanan tinggi serat untuk mengurangi kesulitan BAB.
Di hari ketiga intervensi, pasien diberikan energi sebesar 98,02% dari total
kebutuhan dengan bentuk makanan yang sama yaitu makanan lunak. Namun
asupan pasien mengalami peningkatan dari hari pertama (83,84%) sampai hari
ketiga (94,62%) dan hanya terdapat ikerik dan jaundice. Dengan memberikan
diet Hati III Rendah Garam III, tekanan darah pasien mengalami penurunan
menjadi 133/74 mmHg dan pasien tidak mengalami kesulitan BAB dikarenakan
pasien mendapatkan makanan tinggi serat di hari ketiga intervensi.

Untuk langkah selanjutnya yaitu memberikan edukasi terkait makanan yang


dianjurkan bagi penderita Hepatitis A dan Hipertensi seperti makanan selingan
atau jajanan (agar-agar, puding, dan buah-buahan), personal hygiene dengan
cuci tangan yang benar serta pola makan yang sesuai dengan penyakitnya dan
kebutuhannya. Edukasi diberikan diakhir intervensi untuk melihat apakah pasien
masih mengalami tekanan darah tinggi dan mempunyai gejala umum Hepatitis A
yaitu ikterik dan jaundice serta kadar biokimia pasien yaitu kadar SGPT, SGOT,
bilirubin dalam tubuh masih tergolong tinggi atau diatas batas normal.

BAB IV

PEMBAHASAN KASUS
Berdasarkan kasus yang telah dijelaskan, terdapat intervensi Gizi :

 Rencana Intervensi

a. Jenis Diet: Diet Hati III Rendah Garam III

b. Bentuk Makanan: Makanan Lunak

c. Frekuensi Pemberian: 3x Makanan Utama dan 2x Makanan Selingan

d. Rute Pemberian: Oral

e. Tujuan Diet:

1) Membantu meningkatkan asupan makan pasien hingga mencapai 100%.


2) Membantu menurunkan hasil laboratorium terkait gizi hingga
mendekati nilai normal.

3) Memberikan edukasi gizi terkait pemilihan bahan makanan yang tepat


dan sesuai dengan diet yang diberikan yaitu diet hati dan diet rendah
garam.

f. Prinsip dan Syarat Diet Hati:

1) Energi yang diberikan sebesar 2700 kkal.

2) Protein yang diberikan sebesar 12,5% yaitu 83,75 g.

3) Lemak yang diberikan sebesar 20% yaitu 60 g.

4) KH yang diberikan sebesar 67,5% yaitu 455,63 g.

5) Bentuk makanan lunak (mudah dicerna).

6) Batasi atau hindari makanan yang menimbulkan gas seperti kol, sawi,
timun, durian, nangka serta makanan yang tidak merangsang seperti pedas,
keras, terlalu panas/dingin.

7) Tidak dianjurkan mengkonsumsi alkohol, teh, atau kopi kental.

Memberikan diet Hati dikarenakan terdapatnya gangguan fungsi hati. Pada


diet hati ditemukan penyakit Hepatitis dan Sirosis Hati. Hepatitis adalah
peradangan yang disebabkan oleh infeksi virus. Hepatitis ini disertai anoreksia,
demam, rasa mual dan muntah, serta terdapat jaundice dan ikterik. Namun pada
kasus ini, pasien mendapatkan jenis diet Hati III yang diberikan kepada pasien
hepatitis akut (Hepatitis A dan Hepatitis B) serta pasien tidak menunjukkan gejala
siroris hati aktif.

Hasil Monitoring dan Evaluasi

1. Monitoring dan Evaluasi Data Antropometri

Hasil monitoring dan evaluasi dari data antropometri didapatkan bahwa berat
badan pasien mengalami peningkatan dari hari pertama (73,68 kg), hari kedua
menjadi (73,81 kg), dan hari ketiga menjadi (74,18 kg). Jika dilihat dari status gizi
pasien di hari pertama (24,19 kg/m2) intervensi sampai hari ketiga (24,36 kg/m2)
intervensi tetap berada pada status gizi normal.

2. Monitoring dan Evaluasi Data Biokimia

Data pemeriksaan laboratorium pada pasien selama pengamatan disajikan dalam


Tabel 3.7.

Tabel 3. 7 Data Monitoring Pemeriksaan Laboratorium

Sumber: Data Rekam Medik RSUD X, Februari 2020

Pada Tabel 3.7 dapat dilihat bahwa kadar SGPT (580 µ/L) dan SGOT (59
µ/L) masih tinggi. Selama melakukan monitoring dan intervensi terhadap kadar
SGPT dan SGOT mengalai penurunan dari awal melakukan skrining gizi sampai
hari ke-3 intervensi. Namun kadar SGPT dan SGOT masih berada di atas batas
normal (<50µ/L). Oleh sebab itu pasien harus melakukan pemeriksaan ulang agar
kadar SGPT dan SGOT tidak mengalami peningkatan. Pada akhir pengamatan,
terdapat penambahan kadar bilirubin total, bilirubin direk dan bilirubin indirek.

3. Monitoring dan Evaluasi Data Fisik Klinis


Hasil pemeriksaan fisik klinis pada awal dan akhir pengamatan dapat dilihat pada
Tabel 3.8.

Tabel 3. 8 Monitoring Hasil Pemeriksaan Fisik Klinis Pasien

Sumber: Data Rekam Medik RSUD X, Februari 2020

Dari Tabel 3.8 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan tekanan darah. Di awal
pengamatan tekanan darah pasien 170/100 mmHg menjadi 133/74 mmHg di akhir
pengamatan. Secara umum seseorang dikatakan menderita hipertensi jika tekanan
darah sistolik/diastolik > 140/90 mmHg (normalnya 120/80 mmHg) (Suyono,
2001).

Dalam pengolahan makanannya boleh menggunakan garam 1 sendok teh (4 gr)


garam dapur atau mengandung kadar natrium sebesar 1000 mg dan diet ini
diberikan kepada pasien dengan odeme atau hipertensi ringan (Almatsier, 2010).
Berdasarkan Tabel 3.8 juga dapat dilihat bahwa keluhan pasien mulai berkurang.
Pasien hanya mengalami ikterik dan jaundice sampai 3 hari intervensi.

4. Monitoring dan Evaluasi Terapi Diet

Intervensi terapi diet yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Tabel 3. 9 Monitoring Terapi Diet


Tabel 3.9 menunjukkan terapi diet yang diberikan kepada Tn. R yaitu jenis
diet, bentuk makanan, frekuensi pemberian dan rute pemberian makanan. Terapi
diet dari hari pertama pengamatan hingga hari terakhir pengamatan mengalami
perubahan. Hasil monitoring asupan zat gizi pasien selama dirumah sakit dapat
dilihat pada Tabel 3.10

Tabel 3. 10 Monitoring Asupan Zat Gizi

Sumber: WNPG, 2014

Tabel 3.10 menunjukkan hasil asupan Tn. R selama 4 hari. Setelah dilakukan
pengkajian gizi dan penetapan diagnosis gizi pasien, kemudian diberikan terapi
gizi dengan pemberian makanan yang sesuai dengan kebutuhan.

1. Diet yang diberikan yaitu diet Hati III 2700 kkal dengan Rendah Garam III
dalam bentuk makanan lunak dengan frekuensi 3 kali makan utama dan 2
kali selingan.
2. Pemberian makanan lunak terkait dengan kondisi pasien yang mual,
muntah, nafsu makan menurun dan kesulitan BAB.

Sesuai dengan tujuan pemberian diet yaitu untuk meningkatkan asupan pasien
hingga mencapai 100%, membantu menurunkan hasil laboratorium terkait gizi
hingga mendekati nilai normal, dan memberikan edukasi gizi terkait pemilihan
bahan makanan yang tepat dan sesuai dengan diet yang diberikan yaitu dietHati.
Untuk itu intervensi yang dilakukan selanjutnya ialah tetap memberikan
diet Hati III dengan makanan biasa apabila pasien sudah mengalami asupan
makan meningkat serta keluhan mual dan muntah sudah tidak dirasakan lagi.

Intervensi Diet Hati pada Hari Pertama

Intervensi diet hati pada hari pertama yaitu dengan memberikan diet Hati
III dalam bentuk makanan lunak serta membutuhkan energi sebesar 2700 kkal,
peneliti ingin meningkatkan asupan makan dari hari ke hari maka di hari
intervensi pertama peneliti memberikan 95,8% dari total kebutuhan energi.
Namun pasien hanya mampu menghabiskan makanannya 83,84% dari total
kebutuhan energi.

Dikarenakan dihari pertama intervensi pasien mengalami mual, nafsu


makan menurun, lemas, kesulitan BAB, adanya ikterik dan jaundice serta air seni
berwarna kuning pekat sehingga pencapaian yang diberikan tidak sepenuhnya
berhasil.

Untuk langkah selanjutnya yaitu dengan mencoba meningkatkan asupan


makan dengan membuat menu yang menambah selera makan, mengurangi
keluhan, serta melihat hasil rekam medik perharinya. Membuat menu yang
menambah selera makan yaitu dengan cara memodifikasi menu dari Rumah Sakit.
Pada saat intervensi, pasien mendapatkan modifikasi menu berupa:

1. Susu Hepatosol

Yang berguna untuk makanan diet khusus penderita gangguan fungsi hati,
seperti: hepatitis, perlemakan hati, sirosis hati, dan kanker hati.

2. Makanan tinggi serat

Contohnya seperti sayuran dan buah-buahan terutama buah pepaya untuk


mengatasi kesulitan BAB selama 3 hari intervensi. Namun dihari pertama dan
kedua menggunakan berbagai macam buah seperti semangka, melon, pepaya dan
jeruk. Pada hari ketiga buah pepaya digunakan dalam setiap kali makan utama.
Sehingga dihari ketiga intervensi pasien sudah dapat mengalami BAB.
Intervensi Diet Hati pada Hari Kedua

Pasien mengalami peningkatan tekanan darah dari hari petama yaitu


106/59 mmHg menjadi 144/80 mmHg. Oleh karena itu, peneliti menambahkan
jenis dietnya yaitu dari diet Hati III menjadi diet Hati III Rendah Garam III
dengan bentuk makanan lunak. Energi diberikan sebesar 96,5% dari total
kebutuhan. Asupan pasien di hari kedua intervensi hanya 88,16% dari total
kebutuhan. Namun asupan pasien mengalami peningkatan sebesar 4,32% dari hari
pertama ke hari kedua intervensi dan keluhan pasien berkurang sehingga hanya
terdapat lemas, kesulitan BAB, serta adanya ikterik dan jaundice.

Untuk langkah selanjutnya yaitu tetap memberikan diet Hati III Rendah
Garam III untuk membantu menurunkan tekanan darah hingga batas normal dan
memberikan makanan tinggi serat untuk mengurangi kesulitan BAB.

Intervensi Diet Hati pada Hari Kegita

Pasien diberikan energi sebesar 98,02% dari total kebutuhan dengan


bentuk makanan yang sama yaitu makanan lunak. Namun asupan pasien
mengalami peningkatan dari hari pertama (83,84%) sampai hari ketiga (94,62%)
dan hanya terdapat ikerik dan jaundice. Dengan memberikan diet Hati III Rendah
Garam III, tekanan darah pasien mengalami penurunan menjadi 133/74 mmHg
dan pasien tidak mengalami kesulitan BAB dikarenakan pasien mendapatkan
makanan tinggi serat di hari ketiga intervensi.

Untuk langkah selanjutnya yaitu memberikan edukasi terkait makanan


yang dianjurkan bagi penderita Hepatitis A dan Hipertensi seperti makanan
selingan atau jajanan (agar-agar, puding, dan buah-buahan), personal hygiene
dengan cuci tangan yang benar serta pola makan yang sesuai dengan penyakitnya
dan kebutuhannya.

Sebelum melihat asupan zat gizi pasien per asupan energi, protein, lemak,
karbohidrat, dan natrium. Ada beberapa hal yang akan dijelaskan yaitu untuk
tanggal 06 Februari 2020-07 Februari 2020 tidak dilakukan intervensi
dikarenakan pada saat itu pasien masih mengalami keluhan mual, muntah, tidak
nafsu makan, badan lemas serta mendapatkan bentuk makanan padat. Sehingga
pada tanggal 08 Februari 2020 pasien mendapatkan perubahan bentuk makanan
yaitu makanan lunak. Memberikan bentuk makanan lunak untuk melihat apakah
pasien masihtetap tidak nafsu makan dan keluhan mual, muntah dan badan lemas
dapat hilang secara bertahap. Oleh Karena itu intervensi baru dilakukan pada
tanggal 08 Februari 2020-10 Februari 2020. Adapun penjelasan asupan zat gizi
pasien per asupan energi, protein, lemak, karbohidrat, dan natrium akan dijelaskan
dibawah ini. Hasil intervensi zat gizi yang diberikan pada Tn. R dapat dilihat pada
Gambar 3.1:

Gambar 3. 1 Tingkat Konsumsi Energi Pasien selama Pengamatan di RS

Pada Gambar 3.1 terjadi peningkatan asupan energi dari 34,35% di awal
pengamatan menjadi 94,62% di akhir pengamatan. Peningkatan asupan energi
terjadi karena pasien mampu menghabiskan makanan yang disajikan dan mual
sudah berkurang dari hari ke hari. Dan pasien mengalami kenaikan berat badan
dari hari pertama intervensi (73,68 kg) menjadi (74,18 kg) dihari ketiga intervensi.
Sehingga konsumsi energi yang adekuat dapat membantu pasien untuk mencapai
dan mempertahankan status energi yang optimal, yaitu dengan :
 Mempertahankan hidup,
 Menunjang pertumbuhan,
 Melakukan aktifitas fisik.

Energi tersebut diperoleh dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak, protein, dan
alkohol pada makanan yang metabolismenya diatur oleh hati. Mekanisme asupan
energi juga berpengaruh terhadap berat badan. Energi yang dihasilkan dari
pemecahan tiga jenis zat gizi yaitu karbohidrat, protein, dan lemak. Energi
berfungsi untuk melakukan aktivitas fisik dan fungsi fungsional dasar tubuh.

Gambar 3. 2 Tingkat Konsumsi Protein selama Pengamatan di RS

Pada Gambar 3.2 terjadi peningkatan asupan protein dari 53,54% di awal
pengamatan menjadi 101,34% di akhir pengamatan. Pada penderita Hepatitis
diberikan Protein agak tinggi, yaitu 1,25-1,5 g/Kg BB agar terjadi anabolisme
protein.Hati berperan dalam metabolisme protein. Maka terdapat hubungan antara
asupan protein dengan diet hati yang diberikan yaitu protein berguna membentuk
jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada.

Gambar 3. 3 Tingkat Konsumsi Lemak Pada Pasien selama Pengamatan di


RS
Pada Gambar 3.3 terjadi peningkatan asupan lemak dari 59,83% di awal
pengamatan menjadi 92,30% di akhir pengamatan. Tingkat asupan lemak
meningkat dari hari ke hari yaitu termasuk kedalam kategori baik (<80%). Pada
penderita Hepatitis diberikan Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi
total, dalam bentuk yang mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi.

Adanya hubungan lemak dan hati yaitu dapat dilihat dari salah satu fungsi hati
untuk metabolisme lemak. Metabolisme lemak juga merupakan kecepatan
oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk mensuplai energi bagi fungsi
tubuh yang lain, pembentukkan sebagian besar lipoprotein dan pembentukan
sejumlah besar kolesterol dan fospolipid (Murray R., et.al, 2009).

Jadi salah satu upayanya yaitu membatasi asupan lemak 20-25% dari
kebutuhan energi total. Salah satu contoh bahan makanannya yang dapat
membatasi asupan lemak adalah makanan daging yang tidak banyak mengandung
lemak dan santan (Almatsier, 2010)

Gambar 3. 4 Tingkat Konsumsi Karbohidrat Pasien selama Pengamatan di


RS
Pada Gambar 3.4 terjadi peningkatan asupan karbohidrat dari 21,80% di
awal pengamatan menjadi 92,26% di akhir pengamatan. Pada penderita Hepatitis
diberikan karbohidrat tinggi untuk mencegah pemecahan protein, yang diberikan
bertahap sesuai dengan kemampuan pasien, yaitu 40-45 kkal/KgBB (Almatsier,
2010). Oleh karena itu, terdapat hubungan antara asupan karbohidrat dengan diet
hati yang diberikan yaitu semakin tinggi asupan karbohidrat maka semakin
banyak energi yang dihasilakan oleh tubuh. Sehingga karbohidrat di dalam tubuh
akan dimetabolisme menjadi glukosa darah, glikogen hati, dan glikogen otot.

Gambar 3. 5 Tingkat Konsumsi Natrium Pasien selama Pengamatan di RS


Pada Gambar 3.5 terjadi penurunan asupan natrium dari 84,50% di hari kedua
pengamatan menjadi 82,30% di akhir pengamatan. Diet hati dengan diet rendah
garam diberikan apabila terdapat asites berat dan diuresisnya (kelancaran kencing)
belum baik.

 Diet hati rendah garam hanya diberikan untuk bentuk makanan lunak.
 Menu diet hati rendah garam sama halnya dengan penambahan garam
dapur namun pada sayur dan lauk hewaninya berbeda (Primadhani, 2006).

Akan tetapi, di RSUD Pasar Rebo untuk pasien yang mendapatkan diet hati
rendah garam yang membedakannya yaitu pada sayur dan lauk nabatinya. Untuk
pasien yang mendapatkan diet hati rendah garam akan dilakukan perbedaan dari
segi warna, jumlah, dan rasa. Contohnya pada menu:

1. Lauk Nabati
Salah satu contohnya tahu bumbu kuning, pasien dengan diet hati rendah
garam akan mendapatkan tahu bumbu kuning yang tidak mengandung santan
dan garam hanya saja kuahnya berwarna kuning cerah.
2. Sayuran

Salah satu contohnya ada dua menu sayur yang dibuat oleh RSUD Pasar
Rebo yaitu sayuran yang mengandung garam dan sedikit mengandung garam.
Untuk pasien dengan diet hati rendah garam akan mendapatkan sayuran yang
sedikit mengandung garam dan jenis sayuran yang mudah cerna (makanan
lunak) seperti labu siam yang diserut/dipotong kecil, wortel yang
diserut/dipotong kecil.

Terjadinya peningkatan tekanan darah juga erat kaitannya dengan frekuensi


makan dan jenis makanan yang dikonsumsi seseorang. Frekuensi makan yang
berlebih akan mengakibatkan kegemukan yang menjadi salah satu penyebab
terjadinya peningkatan tekanan darah. Selain itu konsumsi garam yang lebih dari
kebutuhan juga merupakan pemicu terjadinya penyakit hipertensi (Anisah dkk,
2011).

Makan makanan yang mengandung tinggi natrium, tinggi kolesterol, tinggi


lemak, dan tinggi purin juga dapat mengakibatkan timbulnya plak–plak
dipembuluh darah dan dapat mengentalkan darah sehingga peredaran darah tidak
lancar dan akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Bila seseorang tidak
memperhatikan hal tersebut, maka akan berdampak buruk seperti komplikasi
penyakit yang lain dan bahkan berujung pada kematian (Susriyanti, 2014).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hepatitis A adalah penyakit yang menyerang organ Hepar yang
disebabkan oleh VHA. Hepatitis A dapat menyebabkan sakit ringan
hingga berat. Pada umumnya penyebaran terjadi secara fekal-oral
ketika seseorang mengkonsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi tinja seseorang yang terinfeksi VHA. VHA bersifat
termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap cairan empedu
(Kemenkes, 2014).
2. Assessment gizi pasien adalah status gizi normal (24,06 kg/m2), kadar
SGPT dan SGOT >35 µ/L, kadar hemoglobin dan eritrosit tinggi,
kadar ureum rendah, pasien mengalami mual, muntah, pusing, nafsu
makan menurun, lemas, terdapat ikterik dan jaundice serta air seni
berwarna kuning pekat, tekanan darah tinggi. Asupan makan pasien
selama 1x24 jam masuk rumah sakit kurang (34,35%).
3. Diagnosis gizi pasien yaitu pada domain intake terdapat asupan oral
inadekuat, pada domain klinis terdapat perubahan nilai lab terkait gizi
dan yang terakhir pada domain behavior terdapat pemilihan makan
yang salah.
4. Intervensi gizi yang diberikan yaitu Diet Hati III dan Rendah Garam
III dengan bentuk makanan lunak, 3x makanan utama dan 2x makanan
selingan, diberikan melalui oral serta memberikan edukasi gizi kepada
pasien mengenai Hepatitis A dan Hipertensi (berupa pengertian,
penyebab, tanda dan gejala, serta pola makan yang telah dianjurkan)
dan langkahlangkah cuci tangan yang benar menurut WHO.
5. Monitoring evaluasi gizi pada asupan makan selama intervensi
mengalami peningkatan, kadar SGPT dan SGOT masih >35 µ/L,
tekanan darah masih tetap tinggi yaitu 133/74 mmHg serta hanya
terdapat ikterik dan jaundice.
B. Saran
Diharapkan pasien dapat menjaga dan memperbaiki pola makan seperti
tidak makan makanan/jajanan yang kurang hygiene, junk food, makanan
terlalu pedas, dan makanan yang di goreng. Dan pasien diharapkan makan
buah dan sayur 3 kali sehari. Pasien juga diharapkan mampu menerapkan
pola makan yang sesuai dengan diet hati dan diet rendah garam yang telah
diedukasi sehingga hasil laboratorium pasien normal kembali serta
olahraga teratur minimal 3 kali dalam seminggu.
DAFTAR PUSTAKA
DEVI MARIYANI NINGSIH, P031713411011 (2020) ASUHAN GIZI PADA
PASIEN HEPATITIS A (STUDI KASUS DI RSUD X JAKARTA TIMUR).
Diploma thesis, Poltekkes Kemenkes Riau.

Almatsier, S. 2010. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013.


Jakarta: Kemenkes RI.

Aleya & Khairun N. 2015. Korelasi Pemeriksaan Laboratorium SGOT/SGPT


dengan Kadar Bilirubin pada Pasien Hepatitis C di Ruang Penyakit Dalam RSUD
Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung pada Bulan Januari - Desember 2014.
JournalMajority Volume 4 No 9. Lampung: Universitas Lampung.

Primadhani. 2006. Konsumsi Energi Protein Pada Penderita Penyakit Hati Rawat
Inap Di Perjan RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor.

Febrindari A. & Nuryanto. 2016. Hubungan Asupan Energi, Protein, Seng, dan
Kejadian Infeksi Kecacingan Status Gizi Anak Umur 12-36 Bulan. Journal of
Nutrition Colloge Volume 5 Nomor 4 (Jilid 2), Hal. 353-359.

Adriani, M dan Wirjatmadi, B. 2012. Peran Gizi dalam siklus Kehidupan.


Kencana Prenada Media Grop. Jakarta.

Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi (diterjemahkan oleh Nkhe


Budhi subekti). Jakarta: EGC.

Guyton, A. C., Hall, J. E., 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta: EGC, 1022.

Betts, J. G., P. Desaix, E. Johnson, J. E. Johnson, O. Korol, D. Kruse, B. Poe, J.


A. Wise, M. Womble, K. A. Young. 2013. Anatomy & Physiology Openstax
College. Rice University. Houston-Texas.
Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. 2009. Biokimia harper (27 ed.).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Almatsier, S. 2010. Penuntun Diet edisi baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Siregar N. 2014. Karbohidrat. Jurnal Ilmu Keolahragaan Vol. 13 (2).

Indestri J. 2017. Hubungan Asupan Zat Gizi, Aktifitas Fisik, Dan Status Gizi
Dengan Kesegaran Jasmani Pada Siswa Skadik 105 Wara Lanud AdiSutjipto.
Skripsi. Universitas Alma Ata Yogyakarta.

Anisah Choirun & Umdatus Soleha, 2011. Gambaran Pola Makan Pada Penderita
Hipertensi Yang Menjalani Rawat Inap Di Irna FRSUD Syarifah Ambani Rato
Ebu Kabupaten Bangkalan Madura. Prodi DIII Keperawatan, STIKES Yarsi
Surabaya.

Susriyanti. 2014. Hubungan dukungan keluarga dengan perilaku perawatan


hipertensi pada lansia di Gamping Sleman Yogyakarta. Jurnal: Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Aisyiyah Yogyakarta.

Permata, Sari. 2019. Hepatitis A Menular, Kenali Pencegahan dan


Pengobatannya. https://www.inews.id/lifestyle/health/hepatitis-a-menular-kenali-
pencegahan-dan-pengobatannya#:~:text=Hal%20tersebut%20diungkapkan
%20Ketua%20PB,di%20banyak%20negara%20termasuk%20Indonesia. (Diakses
pada tanggal 29 Maret 2021)

klikdokter.com.(2016, 16 April). Apakah Hepatitis A dapat Kambuh?. Diakses pada


29 Maret 2021, dari https://www.klikdokter.com/tanya-dokter/read/2808749/apakah-
hepatitis-a-dapat-kambuh

Wahyuningsih, R. (2013). Penatalaksanaan Diet pada Pasien (I). Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Kasim, D. A. (2016). Asupan Makanan, Status Gizi dan Lama Hari Rawat Inap pada
Pasien Penyakit Dalam di Rumah Sakit Advent Manado. GIZIDO, 8(2), 22–34.
KemenkesRI. (2014a). Pedoman Proses As

Anda mungkin juga menyukai