Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KELOMPOK EKONOMI REGIONAL

Kelompok 11

“PUSAT PERTUMBUHAN”

Oleh:

Athina Mifthahul Jannah 1211021016

Frisca Dewi 1211021053

Mutiara Dewi Prawaka 1211021086

Ulung Purba 1211021121

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG

2014/2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah “Pusat Pertumbuhan”.
Penulis menyadari bahwa studi kasus ini masih terdapat kekurangan baik secara
isi maupun materi yang dibahas di dalamnya, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan studi kasus ini dari awal sampai akhir. Semoga
Tuhan senantiasa meridhoi segala usaha kita. Aamiin.

Bandar Lampung, 13 November 2014

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................ i

Daftar Isi ........................................................................................... ii

BAB I : Pendahuluan ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................ 2

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................... 2

BAB II : Pembahasan ...................................................................... 3

2.1 Pengertian Pusat Pertumbuhan ..................................... 3


2.2 Pusat Pembangunan dan Pusat Pertumbuhan ............... 3

2.3 Aglomerasi ................................................................... 5

2.3.1 Teori Klasik ......................................................... 7


2.3.2 Perspektif Modern ............................................ 9
2.4 Keuntungan Aglomerasi ............................................... 14
2.5 Pengukuran Aglomerasi Secara Regional....................... 15
2.6 Langkah Pendirian Pusat Pertumbuhan .......................... 15
2.7 Penerapan Konsep Pusat Pertumbuhan .......................... 16

2.8 Pusat Pertumbuhan dan Perencanaan Pembanguna Wilayah 18

BAB III : Kesimpulan ............................................................................. 20

Daftar Pustaka ......................................................................................... 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya


ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap
ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh
Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa
ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan
menggunakan data-data daerah.

Ide awal tentang pusat pertumbuhan (growth poles) mula-mula


dikemukakan oleh Francoi Perroux, seorang ekonom bangsa Perancis, pada tahun
1955. Pemikiran ini muncul sebagai reaksi terhadap pandangan para ekonom pada
waktu itu seperti Casel (1927) dan Schumpeter (1951) yang berpendapat bahwa
transfer pertumbuhan antar wilayah pada umumnya berjalan lancar, sehingga
perkembangan penduduk, produksi, dan kapital tidaklah selalu proporsional
antarwaktu. Akan tetaapi, kenyataan menunjukkan kondisi sebaliknya dimana
transfer pertumbuhan ekonomi antardaerah umumnya tidak lancar, tetapi
cenderung terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu yang mempunyai
keuntungan lokasi.

Sebagaimana dikatakan oleh Perroux : “Growth does mot growth”.


Kondisi ini ditemukan oleh Perroux dalam analisisnya terhadap industri
kendaraan (motor industry) yang cenderung terkelompok pada daerah tertentu
(cluster industries). Dengan demikian,pertumbuhan ekonomi cenderung
terkonsentrasi pada daerah tertentuyang didorong oleh adanya Keuntungan
Aglomerasi (Aglomeration Economies) yang timbul karena adanya konsentrasi
kegiatan ekonomi tersebut.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Bagaimana yang dimaksud pusat pertumbuhan ?
2. Apakah perbedaan dari pusat pembangunan dan pusat pertumbuhan ?
3. Apakah itu aglomerasi dan keuntungan dari aglomerasi ?
4. Bagaiamanakah langkah-langkah dari pendirian pusat pertumbuhan ?
5. Bagaimanakah penerapan dari konsep pusat pertumbuhan ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Regional


2. Mengetahui apa itu pusat pertumbuhan
3. Mengetahui perbedaan dari pusat pembangunan dan pusat pertumbuhan
4. Mengetahui apa itu aglomerasi dan keuntungan dari aglomerasi
5. Mengetahui penerapan dari konsep pusat pertumbuhan

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pusat Pertumbuhan

Pemikiran Perroux tentang adanya konsentrasi kegiatan industri pada


daerah tertentu yang kemudian dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,
kemudian berkembang menjadi konsep pusat pertumbuhan yang dalam bahasa
Perancis dinamakan Pole de Croissance. Selanjutnya, Richardson (1978) memberi
definisi pusat pertumbuhan sebagai berikut : “A growth pole was defined as a of
industries capable of generating dynamic growth in the economy, and strongly
interrelated to each other via input-output linkedages around a leading industry
(Propulsive Industry)”.

Dari definisi ini terlihat bahwa ada empat karakteristik utama sebuah pusat
pertumbuhan :

1. Adanya sekelompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi


tertentu

2. Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut mampu mendorong pertumbuhan


ekonomi yang dinamis dalam perekonomian

3. Terdapat keterkaitan input dan output yang kuat antara sesama kegiatan
ekonomi pada pusat tersebut

4. Dalam kelompok kegiatan ekonomi tersebut terdapat sebuah industri induk


yang mendorong pengembangan kegiatan ekonomi pada pusat tersebut

2.2 Pusat Pembangunan dan Pusat Pertumbuhan

Perroux sejak semula tidak membedakan antara pengertian


pertumbuhan (growth poles) dan pusat pembangunan (development poles)

3
sehingga menimbulkan keraguan dalam pelaksanaan konsep tersebut guna
mendorong pengembangan wilayah. Menurut Benyamin Higgins (1995) kedua hal
ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan, sehingga perlu dilaksanakan
penegasan kembali agar konsep ini menjadi lebih oprasional dan bermanfaat
dalam penyusunan perencanaan pembangunan wilayah. Mengikuti Higgins, “The
growth poles is a set (of economic activities) that has the capacit to intruduce the
growth of another set. The poles of development is a set that has the capacity to
engender a dialetic of economic and social structures whose effect is to increase
the complexity of the whole aand to expand its multidimensional return”.

Berdasarkan klarifikasi Higgins, sebenarnya pusat pertumuhan


diartikan sebagai suatu kumpulan kegiatan ekonomi yang mempunyai
kapasitas untuk mengembangkan sekumpulan kegiatan ekonomi lainnya.
Sedangkn Pusat Pembangunan diartikan sebagai suatu kumpulan kegiatan
ekonomi yang mempunyai kapasitas untuk menimbulkan struktur ekonomi
dan sosial yang mendasar dan dapat mendorong proses pembanguna daerah
secara multidimensional. Sedangkan Pusat Pelayanan pada dasarnya adalah
sebuah kota yang kegiatan utamanya adalah dalam bentuk kegiatan
pelayanan (jasa) seperti perdagangan, transportasi, dan komunikasi, jasa
keuangan, serta jasa umum lainnya.

Karena Porroux mendefinisikan pusat pertumbuhan pada dasarnya adalah


kumpulan kegiatan ekonomi disekitar industri induk, maka mengikuti Higgins
formulasi dimulai dengan pengertian industri induk tersebut. Seandainya B adalah
industri induk terhadap kegiatan ekonomi A, maka :

IA = f (IB) dan ∆IA / ∆IB>0 (7.1)

Dimana IA investasi di kegiatan ekonomi A danI B investasi di kegiatan


ekonomi B. hubungan pada (7.1) juga dapat ditulis sebagai :

IA = a IB dan ∆IA = a ∆I (7.2)

Bilamana industri induk merupakan kegiatan ekonomi penunjang utama, baik


dalam bentuk industri hulu atau industri hilir, maka cukup logis bilamana laju

4
pertumbuhan kegiatan ekonomi A lebih tinggi dari laju pertumbuhan kegiatan
ekonomi B, walaupun ini adalah industri induk. Bila t melambangkan waktu, jika:

a>1 maka dIB/dt > dIA /dt (7.3)

Pusat Pembangunan kemudian dapat didefinisikan dalam bentuk elastis


kemakmuran (Wr) dari daerah dimana pusat terbuka berada. Dalam kaitan dengan
hal ini, berikut kita umpakan wilayah R terdiri dari pusat perkotaan, u, dan daerah
belakangnya, r. Ini berarti bahwa struktur suatu wilayah dapat digambarkan
sebagai berikut :

R=u+r (7.4)

Dari sini dapat dikatakan bahwa u akan merupakan Pusat Pembangunan


(Development Poles) bilamana elastisitas investasi pada pusat tersebut terhadap
kemakmuran wilayah adalah positif, atau :

Wr = (∆Wr/Wr) / ∆Iu / Iu) = (Iu / Wr) (∆Wr / Iu) > 0 (7.5)

Sejalan dengan formulasi diatas, maka daerah perkotaan dikatakan berfungsi


sebagai Pusat Pertumbuhan (Growth Centre) bilamana :

(∆Ij / Ij ) / (∆Iu /Iu ) = (Iu/ Ij) / (∆Ij/ Iu) > 0 (7.6)

2.3 Aglomerasi

Literature tidak secara jelas membedakan antara aglomerasi dan kluster.


Montgomery mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktifitas
ekonomi dikawasan perkotaan karena “penghematan akibat lokasi yang
berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial
dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen. Ini senada dengan Markusen (1996)
yang menyatakan bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang “tidak mudah
berubah”, akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua
perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-
jasa dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secar individual.

5
Perspektif klasik percaya bahwa aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan
diasosiasikan dengan konsep “penghematan akibat aglomerasi” (economies of
agglomeration) melalui konsep eksternalitas. Para pendukung perspektif ini telah
meletakkan dasar-dasar model mikro mengenai eksternalitas akibat skala
ekonomis (Fujita&Ogawa, 1982; Fujita&Thisse, 1996). Sementara itu, para ahli
ekonomi perkotaan mendefinisikan kota sebagai hasil dari produksi aglomerasi
secara spasial. Ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya literature mengenai
formasi kota.

Perspektif modern menunjukkan beberapa kelemahan teori klasik mengenai


aglomerasi. Pada konteks ini, tiga jalur pemikiran dapat diidentifikasi. Pertama,
teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic externalities). Kedua,
mazab pertumbuhan perkotaan. Ketiga, paradigma berbasis biaya transaksi.

AGLOMERASI

KLASIK MODERN

Penghematan Eksternal
Formasi Perkotaan Eksternalitas DinamisPertumbuhan Kota Biaya Trans

MarshallArrowRomer Central place vs Network system


Lokasi vs Urbanisasi Jacobs

Meminimalkan biaya transaksi

Increasing returns akibat skala ekonomis Ketergantungan Skala vs netralitas


Knowledge Spillover akibat keanekaragaman

Gambar 2.1

Perkembangan Konsep dan Pemikiran Mengenai Aglomerasi

6
2.3.1 Teori Klasik

Banyak ekonom mendefinisikan kota sebagai hasil dari proses


produksi aglomerasi secara spasial. Pada periode pertama, yaitu beberapa
dasawarsa setelah Perang Dunia I, focus analisis adalah pada factor-faktor
yang mempengaruhi lokasi perusahaan dan rumah tangga dalam suatu
kota. Pada periode kedua, yang dimulai pada pertengahan dasawarsa 1960-
an, kebanyakan studi memformalkan model yang mencoba menjelaskan
daya Tarik lokasi kawasan perkotaan. Periode ketiga muncul dari analisis
yang intensif mengenai kota-kota utama di AS (misalnya, New York) dan
memperkenalkan konsep eksternalitas, yang muncul akibat skala
ekonomis. Saat ini kita berada pada pertengahan periode keempat dalam
mencoba memahami perekonomian kota. Pada periode ini, kota digunakan
untuk menganalisis hakekat dan sebab-sebab pertumbuhan ekonomi.
Kebanyakkan analisis aglomerasi secara implisit mengasumsikan bahwa
formasi dan perkembangan kota dapat dipahami bila mekanisme
konsentrasi produk secara spasial telah dimengerti dengan benar.

Perbedaan antara aglomerasi dan kota terletak terutama pada


perbedaan antara “kesederhanaan” (simplicity) dan kompleksitas
(Baumont, Beguin, dan Huriot, 1998). Teori klasik mengenai aglomerasi
beragumen bahwa aglomerasi muncul karena pelaku ekonomi berupaya
mendapatkan penghematan aglomerasi (agglomeration economies), baik
karena penghematan lokalisasi maupun penghematan urbanisasi, dengan
mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Aglomerasi ini
mencerminkan adanya system interkasi antara antarperusahaan dalam
industry yang berbeda, ataupun antar individu, perusahaan, dan rumah
tangga. Di pihak lain, kota adalah suatu daerah keanekaragaman yang
menawarkan manfaat kedekatan lokasi konsumen maupun produsen.

Beberapa factor kunci yang memiliki implikasi terhadap skala dan


keberagaman kota. Factor-faktor ini meliputi skala ekonomis,
penghematan akibat berbagi input baik dalam proses produksi maupun
konsumsi, penurunan biaya transaksi, dan penurunan variabilitas akibat

7
keanekaragaman aktifitas ekonomi (Quigley, 1998:130-4). Pendekatan lain
adalah mengkaitkan aglomerasi sebagai suatu bentuk spasial dengan
konsep “penghematan aglomerasi” melalui konsep eksternalitas. Para
ekonom biasanya membedakan antara:

1. Penghematan Internal dan Eksternal

Penghematan Internal adalah suatu pengurangan biaya secara


internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik. Beberapa factor yang
berperan dalam pengurangan biaya secara internal meliputi : pembagian
kerja (spesialisasi), digantinya tenaga manusia dengan mesin, melakukan
sub-kontrak beberapa aktifitas proses produksi kepada perusahaan lain,
dan menjaga titik optimal operasi yang meminimalkan biaya (Toyne,
1974:59-62). Penghematan Eksternal merupakan pengurangn biaya yang
terjadi akibat aktifitas di luar lingkup perusahan atau pabrik. Penghematan
biaya terjadi berkat adanya perusahaan-perusahaan dalam industry yang
sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen.
Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku
dalam daerah tersebut, yang menopang jalannya usaha perusahaan. Jalinan
keterkaitan antara berbagai macam factor ini akibat proses urbanisasi dan
industrialisasi disebut sebagai aspek positif dari cumulative causation.

2. Penghematan Akibat Skala Ekonomis dan Cakupan

Penghematan akibat skala ekonomi muncul karena perusahaan


menambah produksi dengan cara memperbesar pabrik (skala ekonomi).
Penghematan biaya ini terjadi dengan meningkatkan skala pabrik sehingga
biaya produksi per unit dapat ditekan. Ini berbeda dengan penghematan
akibat cakupan yang terjadi karena sejumlah aktivitas atau sub-unit usaha
secara internal maupun eksternal dapat dilakukan pada saat yang
bersamaan sehingga menghemat biaya.

Aglomerasi dalam hal ini dianggap sebagai wilayah perkotaan atau suatu
kota. Penghematan aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah barang-

8
barang konsumsi, variable input antara, dan angkatan kerja (Fujita&Mori,
1996). Pengelompokkan pasar tenaga kerja, biaya komunikasi dan
transportasi yang lebih murah merupakan factor penjelas penghematan
aglomerasi (Fogarty&Garofalo, 1988). Ketiga factor ini juga merupakan
factor penting dalam menerangkan terbentuknya kota-kota yang
berspesialisasi pada beberapa barang, jasa, atau industry. Skala ekonomis
pada tingkat perusahaan agaknya ditransformasikan dalam keuntungan
yang meningkat pada tingkat perkotaan melalui interaksi kumulatif dari
keterkaitan ke depan dan belakang.

2.3.2 Perspektif Modern

Kelemahan mendasar penggolongan penghematan aglomerasi versi


Klasik adalah tidak diperhitungkannya berbagai biaya yang hendak
diminimalkan oleh perusahaan. Persepsi umum saat ini berpendapat bahwa
teori lokasi Neo-Klasik kurang tepat sebagai dasar analisis spasial.
Pertama, banyak perusahaan memiliki sedikit, atau bahkan tidak memiliki,
kaitan transaksi dengan perusahaan-perusahaan local pada industry yang
sama kedati terdapat kluster industry yang kuat di daerah tersebut. Kedua,
banyak perusahaan hanya memiliki sedikit, atau bahkan tidak memiliki,
kaitan transaksi sama sekali dengan perusahaan lain maupun rumah tangga
dalam suatu daerah yang sama (biasanya perkotaan) kendati daerah
tersebut memiliki berbagai kluster industry. Karena itu, validitas konsep
penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi menjadi dapat
dipertanyakan.

Dewasa ini teori-teori klasik yang dianggap “standar” ditantang dan


disempurnakan oleh tiga jalur paradigma, yaitu :

1. Eksternalitas Dinamis

Teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis percaya bahwa


akumulasi informasi pada suatu lokasi tertentu akan meningkatkan

9
produktifitas dan kesempatan kerja (Glaeser, Kalla, Scheinkman,&
Shleifer, 1992). Pendekatan ini menjelaskan secara simultan bagaimana
kota-kota terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Berbeda dengan
eksternalitas statis, eksternalitas dinamis versi Marshall Arrow Romer
(MAR) menekankan pada pentingnya transfer pengetahuan antar
perusahaan dalam suatu industry, yang diperoleh lewat komunikasi yang
terus berlangsung antar perusahaan local dalam industry yang sama
(Henderson, Kuncoro,& Turner, 1995:1968). Porter (1990) membuat
argument yang serupa bahwa pertumbuhan didorong oleh transfer
pengetahuan pada industry yang berspesialisasi pada produk tertentu dan
terkonsentrasi secara spasial. Jacobs (1969), percaya bahwa sumber
transfer pengetahuan yang paling penting berasal dari luar industry inti.
Jadi, inovasi dan pertumbuhan mengalir dari keanekaragaman industry
yang saling berdekatan lokasinya, dan bukan karena spesialisasi. Pada sisi
permintaan, Fischer&Harrington (1996) berpendapat bahwa semakin kuat
kecenderungan menuju aglomerasi semakin heterogen macam produk
yang dihasilkan. Heterogenitas produk meingkatkan biaya pencarian
konsumen, yang pada gilirannya mendorong belanja dalam suatu wilayah
aglomerasi.

2. Paradigma Pertumbuhan Perkotaan (Urban Growth School)

Teori skala kota yang optimal, yang dikaji ulang oleh


Fujita&Thisse (1996), menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial
dari aktifitas ekonomi sebagai hasil Tarik menarik antara kekuatan
sentripetal dan sentrifugal. Kekuatan sentripetal, yang ditunjukkan oleh
penghematan aglomerasi, adalah semua kekuatan yang telah didiskusikan
pada subbab sebelumnya yang menarik aktifitas ekonomi ke daerah
perkotaan. Kekuatan sentrifugal adalah kebalikan dari kekuatan
sentripetal, yaitu kekuatan disperse. Ini diperlihatkan oleh adanya
kenaikan upah tenaga kerja yang terampil maupun kasar serta kenaikkan
gaji manajer, yang mendorong perusahaan memilih lokasi di luar pusat
kota. Pertumbuhan kota juga cenderung meningkatkan harga tanah secara

10
riil karena jumlahnya tidak bertambah. Kota-kota utama juga
menimbulkan eksternalitas negative, yang seringkali diasosiasikan dengan
polusi lingkungan (Fujita&Rivera Batiz, 1988). Inilah yang disebut
sebagai kausalitas kumulatif yang negatif menurut versi Myrdal dan Pred.

Migrasi Penduduk

Penurunan penduduk dan suplai tenaga kerja Kontraksi Industri Kontraksi jasa dan hiburan

Kontraksi dengan Industri terkait dan pendukung

Jasa-jasa dan sarana lokal dengan biaya per un


Modal Tidak lagi tertarik masuk ke daerah
Total
ini kekayaan di daerah ini menurun

Gambar 2.2

Kausalitas Kumulatif yang Negatif ala Myrdral (1957) dan Pred (1965)

Gambar 2.2 memperlihatkan bahwa begitu proses aglomerasi industry di


perkotaan mencapai skala ekonomis yang maksimum, maka ekspansi
setelah titik tersebut hanya akan menimbulkan dampak negative di kota
maupun daerah sekitarnya. Persaingan antar perusahaan dan industry
lambat laun akan meningkatkan harga bahan baku dan factor produksi
sehingga biaya per unit mulai merayap naik. Terjadinya peningkatan biaya
jasa perbankan dan biaya overhead akan mengakibatkan desentralisasi dan
relokasi aktifitas ekonomi ke daerah pinggiran kota atau kota-kota satelit
di seputar pusat kota.

11
Akhir-akhir ini, pendekatan yang lebih luas dipelopori oleh Paul Krugman,
yang nyaris sendirian memproklamirkan paradigm Geografi Ekonomi
Baru (Krugman, 1995;Krugman 1998). Krugman, mahaguru dari MIT ini,
menempatkan aglomerasi perkotaan sebagai pusat perhatian. Kendati
banyak menggunakan kerangka system perkotaan ala Neo-Klasik,
Krugman telah membuka misteri penghematan eksternal dan memasukkan
dimensi spasial serta semangat “proses kausalitas kumulatif” dalam
mendeskripsikan perkembangan perkotaan dan daerah. Ia menyoroti
adanya empat hal yang sevara empiris tidak berubah mengenai konsentrasi
perkotaan (Krugman, 1996:12-3). Pertama, pendapatan per kapita
hubungan negative dengan konsentrasi perkotaan. Kedua, konsentrasi
penduduk di perkotaan berkorelasi dengan konsentrasi kekuasaan politis.
Ketiga, infrastuktur transportasi memiliki dampak penting terhadap
konsentrasi perkotaan. Yang terakhir, semakin terbuka suatu
perekonomian, sebagaimana diukur dengan pangsa ekspor terhadap PDB,
cenderung memiliki kota-kota utama yang lebih kecil dibanding
perekonomian yang tidak memiliki perdagangan sebesar itu.

Krugman telah begitu terobsesi dengan model kota yang disebut tempat
pusat yang monosentrik. Diilhami oleh model Christaller (1993) mengenai
hierarki tempat pusat, model ini merupakan model klasik mengenai
ekonomi persaingan sempurna dalam konteks geografi. Model tempat
pusat percaya bahwa skala kota amat penting dan terdapat kecenderungan
aktifitas ekonomi mengumpul menuju primasi. Perusahaan cenderung
berlokasi di kota-kota untuk menekan biaya transport atas bahan baku
maupun produknya. Beberapa studi mengkonfirmasi bahwa meningkatkan
skala kota dua kali lipat akan meningkatkan produktifitas (Nakamura,
1985; Sveikauskas, 1975).

3. Analisis Berbasis Biaya Transaksi

Coase (1995), percaya bahwa biaya transaksi tidak hanya


mempengaruhi penyusunan kontrak tetapi juga mempengaruhi barang dan
jasa yang diproduksi. Argumennya, adanya biaya transaksi akan

12
mendorong munculnya perusahaan. Pertanyaan “bagaimana
memproduksi” dan “apa yang diproduksi” meliputi dipertimbangkannya
biaya transaksi. Kedati demikian, teori ekonomi arus utama
mengasumsikan bahwa biaya transaksi besarnya nol. Baru akhir-akhir ini,
onformasi mengani kontrak dan aktifitas perusahaan mulai diperhatikan
oleh para ekonom. Mulai diperhatikannya biaya transaksi telah mendorong
terjadinya saling keterkaitan antara hokum, ilmu ekonomi, dan
kelembagaan. Oleh karena itu, Coase dikatakan berdiri dipertemuan antara
Ilmu Ekonomi Kelembagaan Baru (IEKB) dan pergerakkan antara hokum
dan ilmu ekonomi (Posner, 1993).

Kelemahan analisis Coase telah diidentifikasi oleh banyak penulis,


diantaranya oleh Dietrich (1994:16-18). Pertama, masalah sentralnya
adalah kurangnya kerangka teoritis yang mendalam. Kedua, analisis Coase
dinilai tidak konsisten karena perusahaan dan pasar merupakan metode
alternative dalam mengkoordinasikan produksi. Ciri utama perusahaan
adalah manajemen proses produksi dan distribusi, sedang pasar tidak dapat
memproduksi namun hanya menghubungkan antara unit produksi dan
konsumsi.

Ilmu ekonomi modern mengenai biaya transaksi diperkenalkan oleh Oliver


Williamson. Williamson meneliti sumber-sumber tingginya biaya
transaksi, biaya kontrak, dan alat organisasi yang membuat pelaku bisnis
harus berupaya mengatasinya (Posner, 1993). Pusat perhatian Williamson
adalah menjelaskan perilaku organisasi, khususnya perusahaan, mengenai
keberadaan biaya transaksi (Myhrman, 1989:42-3). Dalam karya awalnya,
ia cenderung menekankan pada ketidakefisienan yang telah terjadi yang
muncul dalam hubungan bilateral, misalnya tawar menawar terjadi di
bawah kondisi informasi yang tidak sama, dan bukan karena hubungan
investasi yang khusus dan terjaga (Williamson, 1975). Karya Williamson
belakangan lebih menekankan pada investasi awal dan khusus
(Williamson, 1985). Terlihat bahwa ia memperhitungkan kelembagaan,
dengan ciri makro dan mikro (Williamson 1996).

13
Williamson mengikuti definisi Arrow mengenai biaya transaksi sebagai
biaya menjalankan system ekonomi. Secara lebih khusus, biaya transaksi
mencakup baik biaya langsung (direct costs) dari menjaga hubungan dan
kemungkinan biaya alternative (opportunity costs) dari terbuatnya
keputusan yang inferior (Williamson, 1990, Williamson, 1996). Yang
pertama, atau sering disebut biaya transaksi yang belum terjadi, terdiri atas
biaya menyusun konsep kesepakatan, negosiasi, dan penjagaan.

2.4 Keuntungan Aglomerasi

Keuntungan Aglomerasi baru dapat muncul bilamana tedapat keterkaitan


yang erat antara kegiatan ekonomi yang ada pada konsentrasi tersebut baik dalam
bentuk keterkaitan dengan input (Backward Linkages) atau keterkaitan dengan
output (Forward Linkages). Dengan adanya keterkaitan ini akan menimbulkan
berbagi bentuk keuntungan eksternal bagi para pengusaha, baik dalam bentuk
penghematan biaya produksi, ongkos angkut bahan baku dan hasil produksi dan
penhematan biaya penggunaan fasilitas karena beban dapat ditanggung bersama.

Penghematan tersebut selanjutnya akan dapat menurunkan biaya yang


harus dikeluarkan oleh para pengusaha, sehingga daya saingnya menjadi semakin
meningkat.

Penurunan biaya inilah yang selanjutnya mendorong terjadinya


peningkatan efisiensi dan petumbuhan kegiatan ekonomi yang berada dalam
kawasan pusat pertumbuhan tersebut.

Keuntungan Aglomerasi secara makro terdiri dari 3 unsur ( Isard 1960) :

1. Keuntungan skala besar (Large Scale Economies)

Merupakan keuntungan yang diperoleh dalam bentuk biaya produksi rata-


rata per unit, karena produksi dilakukan dalam skala besar.

14
2. Keuntungan Lokalisasi (Localization Economies)

Keuntungan dalam bentuk penghematan ongkos angkut, biaya untuk


bahan baku dan hasil produksi, yang timbul karena berlokasi secara
terkonsentrasi dengan perusahaan terkait lainnya dalam sebuah pusat
pertumbuhan.

3. Keuntungan Urbanisasi (Urbanization Economies)

Keuntungan yang muncul karena penggunaan fasilitas dalam sebuah pusat


pertumbuhan secara bersama-sama seperti listrik, pergudangan, telepon,
air minum, dan utilitas lainnya yang menunjang kegiatan operasi
perusahaan.

2.5 Pengukuran Aglomerasi Secara Regional

Aglomerasi ditentukan berdasarkan konsentrasi (cluster) beberapa kegiatan


industri pada suatu daerah. Sedangkan kekuatan utama yang mendorong
terjadinya konsentrai kegiatan industri tersebut adalah sama yaiu adanya
Keuntungan Aglomrasi.

2.6 Langkah Pendirian Pusat Pertumbuhan

Dalam rangka pendirin dan pengembangan sebuah pusat pertumbuhan


secara baik dan terarah, diperlukan beberapa langkah dan kegiatan yang saling
berkaitan satu sama lainnya. Karena itu, pelaksanaannya perlu dilakukan secara
beruntun mulai dari kegiatan pertama sampai dengan terakhir. Namun demikian,
tentunya beberapa variasi dimungkinkan sesuai dengan jenis kegiatan dan industri
yang direncanakan akan dikembangkan pada pusat pertumbuhan tersebut serta
kondisi wilayah bersangkutan.

15
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menetapkan lokasi pusat
pertumbuhan dengan memperhatikan berbagai keuntungan lokasi yang dimiliki
oleh daerah bersangkutan.

Langkah kedua yang harus dilakukan adalah meneliti potensi ekonomi


wilayah terkaitberikut komoditas unggulan yang sudah dimiliki dan atau potensial
untuk dikembangkan.

Langkah yang ketiga adalah meneliti keterkaitan hubungan input dan


output dari masing-masing industri dan kegiatan yan potensial di kembangkan
pada pusat pertumbuhan bersangkutan.

Langkah keempat adalah menentukan jenis prasarana dn sarana yang perlu


untuk pengembangan pusat pertumbuhan tersebut

Langkah kelima yaang merupakan langkah terakhir adalah membentuk


sebuah organisasi yang akan mengeloal dan mengkoordinasikan komplek industri
atau pusat pertumbuhan tersebut.

2.7 Penerapan Konsep Pusat Pertumbuhan

Secara nasional, konsep pusat pertumbuhn sebenarnya sudah dimulai


diterapkan di Indonesia dalam penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) II Tahun 1974-1979 yang lalu. Dalam hal ini, Indonesia dibagi dalam
lima wilayah Pembangunan Utama masing-masingnya mempunyai sebuah pusat
pertumbuhan . sedangkan pada tingkat provinsi ditetapkan pula beberapa wilayah
pembangunaan sesuai dengan kesamaan potensi dan kelancaran hubungan sosial
ekonominya yang masing-masingnya juga mempunyai sebuah pusat pertumbuhan.

Penerapan konsep pusat pertumbuhan tersebut secara nasional telah


dilaksanakan selama lebih kurang 15 tahun, yaitu mulai dari Repelita II sampai
dengan Repelita V. Namun demikian, kenyataannya menunjukan bahwa
penerapan konsep tersebut sebegitu jauh sebelum terlaksana dengan baik.
Beberapa masalah dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya antara lain

16
adalah belum banyak dipahami konsep pusat pertumbuhan ini oleh para perencana
ddan pengambil keputusan. Disamping itu contoh-contoh konkret keberhasilan
penerapan konsep pusat pertumbuhan ini yang dapat dijadikan sebagai cuan juga
masih terbatas.

Penerapan konsep pusat pertumbuhan tersebut pada tingkat regional sudah


dilaksanakan di Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan
dalam negeri adalah dalam bentuk pembangunan beberapa zona dan kawasan
industri dibeberapa kota dan wilayah Indonesia.

1. Kawasan (Komplek) Industri

Konsep kawasan (komplek) Industri sebagai salah satu alat untuk


mendorong pengembangan kegiatan industri telah cukup lama
diterapkandi Indonesia yang dimulai pada waktu pendirian kawasan
industri Pulo Gadung di Jakarta yang kemudian disusul dengan
pembangunan kawasan Industri Rungut di Surabaya, Kawasan Industri
Lhok Suemaw di Aceh dan Kawasan Industri di Cilacap.

2. Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET)

Konsep kawasan industri kemudian dikembngkan lebih lanjut menjadi


Kwasan Ekonomi Terpadu dengan melibatkan kegiatan lain di luar industri
seperti perikanan, perkebunan, dan pertambangan. Logika pendirian
KAPET ini cukup jelas karena bahan baku industri sebagian berasal dari
hasil produksi ssektor prtanian, perkebunan, dan pertambangan, sehingga
dengan melakukan pembangunan secara terpadu maka kawasan tersebut
diperkirakan akan dapat berkembang lebih cepat.

3. Kawasan Sentra Produksi (KSP)

Pola pembanguan yang terdapat pada KSP sama dengan prinsip


pembangunan KAPET. Perbedaannya adalah bahwa KSP lebih banyak
digunakan untuk kegiatan pembangunan skala kecil untuk pengembangan
kegiatan pertanian.

17
4. Segitiga Pertumbuhn (Growth triangle)

Merupakn salah satu aplikasi konsep pusat pertumbuhan yang melibatkan


wilayah pada negara lain. Kawasan segitiga mula-mula dibentuk adalah
kawasan kerjasama SIJORI yang melibatkan Singapura, Johor,Malaysi dan
Batam (Riau,Indonesia).

2.8 Pusat Pertumbuhan dan Perencanaan Pembanguna Wilayah

Penerapan konsep pusat pertumbuhan dalam perencanaan pembangunan


regional dapat dilakukan dngan menetapkan beberapa wilayah pembangunan
dimana masing-masingnya ditentukan pula sebuah pusat pertumbuhan sengaia
mana telah pernah dilakukan di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun
provinsi. Wilayah pengembangan biasanya ditentukan dengan memperhatikan
aspek kesamaan kondisi social ekonomi dan potensi pembangunan yang dimiliki
(homogeneus region) dan keterkaitan ekonomi dengan daerah sekitarnya (nodal
region).

Sedangkan pusat pertumbuhan biasanya ditempatkan pada kota atau pusat


kegiatan ekonomi yang terdapat pada wilayah bersangkutan. Sebagaimana telah
disinggung telebih dahulu bahwa penerapan konsep pusat pertumbuhan ini di
Indonesia untuk tingkat nasional dilakukan melalui penetapan enam wilayah
Utama yang masing-masingnya mempunyai sebuah pusat pertumbuhan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi pada wilayah bersangkutan.

Untuk wilayah Pembanguna Utama A meliputi :Aceh, Sumatera Utara,


Sumatera Barat, dan Riau ditetapkan pusat pertumbuhannya dikota Medan.
Sedangkan untuk Wilayah Pembanguna Utama B meliputi : Jambi, Sumatera
Selatan, Bengkulu, dan Lampung ditetapkan pusat pertumbuhan di Kota
Palembang. Wilayah Pertumbuhan Utama C meliputi : DKI Jakrta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan dengan pusat
pertumbuhan di Jakarta. Wilayah Pembangunan Utama d meliputi : Jawatimur,
Kalimantan timur, bali, Nusa Tenggara timur dan Nusa Tenggara barat dengan

18
pusat pertumbuhan di Surabaya. Wilayah Utama E meliputi : Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dengan pusat pertumbuhan di Makasar.
Sedangkan Wilayah Pembangunan Utama F meliputi : Maluku dan Irian Jaya
dengan pusat pertumbuhan di Ambon.

Selanjutnya pada masing-masing provinsi dibentuk pula beberapa Wilayah


pembangunan yang masing-masingnya juga mempunyai sebuah pusat
pertumbuhan. Masalah utama yang dihadapi dalam pelaksanaan konsep pusat
pertumbuhan secara menyeluruh (makro) pada umumnya adalah karena masih
lemahnya koordinasi antardinas dan instansi terkait sehingga keterpaduan dalam
pelaksanaan pembangunan menjadi sukar dilaksanakan.

Permasalahan lainnya yang juga muncul dalam pelaksanaan konsep pusat


pertumbuhan ini adalah belum samanya presepsi di kalangan perencanaan dan
aparatur pemerintahan tentang manfaat pelaksanaan konsep pusat pertumbuhan ini
untuk mendorong proses pembangunan regional.

Akan tetapi, penerapan konsep pusat pertumbuhan tersebut secara mikro


untuk wilayah tertentu, ternyata dewasa ini mulai berkembang dengan pesat.
Perkembangan ini terlihat dari makin banyaknya daerah di Indonesia menerapkan
kegiatan pembangunan wilayah menggunakan pola Kawasan Pengembangan
Ekonomi terpadu (KAPET), Kawasan sentra Produksi (KSP), dan KAwasan
Masyarakat Industri dan Perkebunan (KIMBUN). Alasannya adalah Karena pada
penerapan konsep pembangunan wilayah ini pada satu segi akan dapat
meningkatkan keterpaduan pembangunan antarsektor, sehingga pertumbuhan
menjadi semakin cepat. Disamping itu melalui penerapan konsep pembangunan
ini efisiensi pengelolaan kegiatan ekonomi melalui pemanfaatan Keuntungan
Aglomerasi juga dapat ditingktakan sehingga daya saing produk menjadi lebih
kuat. Sedangkan pada segi lain, penerapan pola pembangunan ini akan dapat pula
mengurangi ketimpangan pembangun anantarwilayah, karena pembangunan
kawasan tersebut dapat dikembangkan secara lebih tersebar dan sekaligus dapat
pula mendorong proses pembangunan pada daerah sekitarnya.

19
BAB III

KESEIMPULAN

 Menurut , Richardson (1978) definisi pusat pertumbuhan ialah “A growth


pole was defined as a of industries capable of generating dynamic growth
in the economy, and strongly interrelated to each other via input-output
linkedages around a leading industry (Propulsive Industry)”.
 Pusat pertumbuhan mmiliki 4 karakteristik yaitu : Adanya sekelompok
kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu, Konsentrasi
kegiatan ekonomi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi
yang dinamis dalam perekonomian,terdapat keterkaitan input dan output
yang kuat antara sesama kegiatan ekonomi pada pusat tersebut, dalam
kelompok kegiatan ekonomi tersebut terdapat sebuah industri induk yang
mendorong pengembangan kegiatan ekonomi pada pusat tersebut
 Dengan adanya pusat pertumbuhan maka suatu wilayah atau kota akan
mmiliki daerah aglomerasi yang kemudian akan menghasilkan keuntungan
Aglomerasi. Keuntungan aglomerasi baru dapat muncul bilamana tedapat
keterkaitan yang erat antara kegiatan ekonomi yang ada pada konsentrasi
tersebut baik dalam bentuk keterkaitan dengan input (Backward Linkages)
atau keterkaitan dengan output (Forward Linkages). Dengan adanya
keterkaitan ini akan menimbulkan berbagi bentuk keuntungan eksternal
bagi para pengusaha, baik dalam bentuk penghematan biaya produksi,
ongkos angkut bahan baku dan hasil produksi dan penhematan biaya
penggunaan fasilitas karena beban dapat ditanggung bersama.
 Konsep pusat pertumbuhn sebenarnya sudah dimulai diterapkan di
Indonesia dalam penyusunan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) II Tahun 1974-1979 yang lalu. Dalam hal ini, Indonesia dibagi
dalam lima wilayah Pembangunan Utama masing-masingnya mempunyai
sebuah pusat pertumbuhan . sedangkan pada tingkat provinsi ditetapkan
pula beberapa wilayah pembangunaan sesuai dengan kesamaan potensi
dan kelancaran hubungan sosial ekonominya yang masing-masingnya juga
mempunyai sebuah pusat pertumbuhan

20
DAFTAR PUSTAKA

http://nanangsubekti.blogspot.com/2007/12/perkembangan-teori-ekonomi-
pertumbuhan_1170.html

Sjafrizal, Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

21

Anda mungkin juga menyukai