Kelompok 11
“PUSAT PERTUMBUHAN”
Oleh:
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah “Pusat Pertumbuhan”.
Penulis menyadari bahwa studi kasus ini masih terdapat kekurangan baik secara
isi maupun materi yang dibahas di dalamnya, oleh karena itu kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan studi kasus ini dari awal sampai akhir. Semoga
Tuhan senantiasa meridhoi segala usaha kita. Aamiin.
Penulis
i
Daftar Isi
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Bagaimana yang dimaksud pusat pertumbuhan ?
2. Apakah perbedaan dari pusat pembangunan dan pusat pertumbuhan ?
3. Apakah itu aglomerasi dan keuntungan dari aglomerasi ?
4. Bagaiamanakah langkah-langkah dari pendirian pusat pertumbuhan ?
5. Bagaimanakah penerapan dari konsep pusat pertumbuhan ?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dari definisi ini terlihat bahwa ada empat karakteristik utama sebuah pusat
pertumbuhan :
3. Terdapat keterkaitan input dan output yang kuat antara sesama kegiatan
ekonomi pada pusat tersebut
3
sehingga menimbulkan keraguan dalam pelaksanaan konsep tersebut guna
mendorong pengembangan wilayah. Menurut Benyamin Higgins (1995) kedua hal
ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan, sehingga perlu dilaksanakan
penegasan kembali agar konsep ini menjadi lebih oprasional dan bermanfaat
dalam penyusunan perencanaan pembangunan wilayah. Mengikuti Higgins, “The
growth poles is a set (of economic activities) that has the capacit to intruduce the
growth of another set. The poles of development is a set that has the capacity to
engender a dialetic of economic and social structures whose effect is to increase
the complexity of the whole aand to expand its multidimensional return”.
4
pertumbuhan kegiatan ekonomi A lebih tinggi dari laju pertumbuhan kegiatan
ekonomi B, walaupun ini adalah industri induk. Bila t melambangkan waktu, jika:
R=u+r (7.4)
2.3 Aglomerasi
5
Perspektif klasik percaya bahwa aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan
diasosiasikan dengan konsep “penghematan akibat aglomerasi” (economies of
agglomeration) melalui konsep eksternalitas. Para pendukung perspektif ini telah
meletakkan dasar-dasar model mikro mengenai eksternalitas akibat skala
ekonomis (Fujita&Ogawa, 1982; Fujita&Thisse, 1996). Sementara itu, para ahli
ekonomi perkotaan mendefinisikan kota sebagai hasil dari produksi aglomerasi
secara spasial. Ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya literature mengenai
formasi kota.
AGLOMERASI
KLASIK MODERN
Penghematan Eksternal
Formasi Perkotaan Eksternalitas DinamisPertumbuhan Kota Biaya Trans
Gambar 2.1
6
2.3.1 Teori Klasik
7
keanekaragaman aktifitas ekonomi (Quigley, 1998:130-4). Pendekatan lain
adalah mengkaitkan aglomerasi sebagai suatu bentuk spasial dengan
konsep “penghematan aglomerasi” melalui konsep eksternalitas. Para
ekonom biasanya membedakan antara:
Aglomerasi dalam hal ini dianggap sebagai wilayah perkotaan atau suatu
kota. Penghematan aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah barang-
8
barang konsumsi, variable input antara, dan angkatan kerja (Fujita&Mori,
1996). Pengelompokkan pasar tenaga kerja, biaya komunikasi dan
transportasi yang lebih murah merupakan factor penjelas penghematan
aglomerasi (Fogarty&Garofalo, 1988). Ketiga factor ini juga merupakan
factor penting dalam menerangkan terbentuknya kota-kota yang
berspesialisasi pada beberapa barang, jasa, atau industry. Skala ekonomis
pada tingkat perusahaan agaknya ditransformasikan dalam keuntungan
yang meningkat pada tingkat perkotaan melalui interaksi kumulatif dari
keterkaitan ke depan dan belakang.
1. Eksternalitas Dinamis
9
produktifitas dan kesempatan kerja (Glaeser, Kalla, Scheinkman,&
Shleifer, 1992). Pendekatan ini menjelaskan secara simultan bagaimana
kota-kota terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Berbeda dengan
eksternalitas statis, eksternalitas dinamis versi Marshall Arrow Romer
(MAR) menekankan pada pentingnya transfer pengetahuan antar
perusahaan dalam suatu industry, yang diperoleh lewat komunikasi yang
terus berlangsung antar perusahaan local dalam industry yang sama
(Henderson, Kuncoro,& Turner, 1995:1968). Porter (1990) membuat
argument yang serupa bahwa pertumbuhan didorong oleh transfer
pengetahuan pada industry yang berspesialisasi pada produk tertentu dan
terkonsentrasi secara spasial. Jacobs (1969), percaya bahwa sumber
transfer pengetahuan yang paling penting berasal dari luar industry inti.
Jadi, inovasi dan pertumbuhan mengalir dari keanekaragaman industry
yang saling berdekatan lokasinya, dan bukan karena spesialisasi. Pada sisi
permintaan, Fischer&Harrington (1996) berpendapat bahwa semakin kuat
kecenderungan menuju aglomerasi semakin heterogen macam produk
yang dihasilkan. Heterogenitas produk meingkatkan biaya pencarian
konsumen, yang pada gilirannya mendorong belanja dalam suatu wilayah
aglomerasi.
10
riil karena jumlahnya tidak bertambah. Kota-kota utama juga
menimbulkan eksternalitas negative, yang seringkali diasosiasikan dengan
polusi lingkungan (Fujita&Rivera Batiz, 1988). Inilah yang disebut
sebagai kausalitas kumulatif yang negatif menurut versi Myrdal dan Pred.
Migrasi Penduduk
Penurunan penduduk dan suplai tenaga kerja Kontraksi Industri Kontraksi jasa dan hiburan
Gambar 2.2
Kausalitas Kumulatif yang Negatif ala Myrdral (1957) dan Pred (1965)
11
Akhir-akhir ini, pendekatan yang lebih luas dipelopori oleh Paul Krugman,
yang nyaris sendirian memproklamirkan paradigm Geografi Ekonomi
Baru (Krugman, 1995;Krugman 1998). Krugman, mahaguru dari MIT ini,
menempatkan aglomerasi perkotaan sebagai pusat perhatian. Kendati
banyak menggunakan kerangka system perkotaan ala Neo-Klasik,
Krugman telah membuka misteri penghematan eksternal dan memasukkan
dimensi spasial serta semangat “proses kausalitas kumulatif” dalam
mendeskripsikan perkembangan perkotaan dan daerah. Ia menyoroti
adanya empat hal yang sevara empiris tidak berubah mengenai konsentrasi
perkotaan (Krugman, 1996:12-3). Pertama, pendapatan per kapita
hubungan negative dengan konsentrasi perkotaan. Kedua, konsentrasi
penduduk di perkotaan berkorelasi dengan konsentrasi kekuasaan politis.
Ketiga, infrastuktur transportasi memiliki dampak penting terhadap
konsentrasi perkotaan. Yang terakhir, semakin terbuka suatu
perekonomian, sebagaimana diukur dengan pangsa ekspor terhadap PDB,
cenderung memiliki kota-kota utama yang lebih kecil dibanding
perekonomian yang tidak memiliki perdagangan sebesar itu.
Krugman telah begitu terobsesi dengan model kota yang disebut tempat
pusat yang monosentrik. Diilhami oleh model Christaller (1993) mengenai
hierarki tempat pusat, model ini merupakan model klasik mengenai
ekonomi persaingan sempurna dalam konteks geografi. Model tempat
pusat percaya bahwa skala kota amat penting dan terdapat kecenderungan
aktifitas ekonomi mengumpul menuju primasi. Perusahaan cenderung
berlokasi di kota-kota untuk menekan biaya transport atas bahan baku
maupun produknya. Beberapa studi mengkonfirmasi bahwa meningkatkan
skala kota dua kali lipat akan meningkatkan produktifitas (Nakamura,
1985; Sveikauskas, 1975).
12
mendorong munculnya perusahaan. Pertanyaan “bagaimana
memproduksi” dan “apa yang diproduksi” meliputi dipertimbangkannya
biaya transaksi. Kedati demikian, teori ekonomi arus utama
mengasumsikan bahwa biaya transaksi besarnya nol. Baru akhir-akhir ini,
onformasi mengani kontrak dan aktifitas perusahaan mulai diperhatikan
oleh para ekonom. Mulai diperhatikannya biaya transaksi telah mendorong
terjadinya saling keterkaitan antara hokum, ilmu ekonomi, dan
kelembagaan. Oleh karena itu, Coase dikatakan berdiri dipertemuan antara
Ilmu Ekonomi Kelembagaan Baru (IEKB) dan pergerakkan antara hokum
dan ilmu ekonomi (Posner, 1993).
13
Williamson mengikuti definisi Arrow mengenai biaya transaksi sebagai
biaya menjalankan system ekonomi. Secara lebih khusus, biaya transaksi
mencakup baik biaya langsung (direct costs) dari menjaga hubungan dan
kemungkinan biaya alternative (opportunity costs) dari terbuatnya
keputusan yang inferior (Williamson, 1990, Williamson, 1996). Yang
pertama, atau sering disebut biaya transaksi yang belum terjadi, terdiri atas
biaya menyusun konsep kesepakatan, negosiasi, dan penjagaan.
14
2. Keuntungan Lokalisasi (Localization Economies)
15
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menetapkan lokasi pusat
pertumbuhan dengan memperhatikan berbagai keuntungan lokasi yang dimiliki
oleh daerah bersangkutan.
16
adalah belum banyak dipahami konsep pusat pertumbuhan ini oleh para perencana
ddan pengambil keputusan. Disamping itu contoh-contoh konkret keberhasilan
penerapan konsep pusat pertumbuhan ini yang dapat dijadikan sebagai cuan juga
masih terbatas.
17
4. Segitiga Pertumbuhn (Growth triangle)
18
pusat pertumbuhan di Surabaya. Wilayah Utama E meliputi : Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dengan pusat pertumbuhan di Makasar.
Sedangkan Wilayah Pembangunan Utama F meliputi : Maluku dan Irian Jaya
dengan pusat pertumbuhan di Ambon.
19
BAB III
KESEIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
http://nanangsubekti.blogspot.com/2007/12/perkembangan-teori-ekonomi-
pertumbuhan_1170.html
21