Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persaingan di dalam pasar global adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Baik itu mulai
dari pelaku ekonomi rumah tangga maupun dalam skala besar seperti perusahaan. Para
pelaku bisnis melakukan pemasaran produknya ditengah-tengah persaingan yang sangat
tajam. Bahkan tak segan- segan beberapa perusahaan melanggar aturan-aturan baik itu
peraturan normatif maupun non normatif. Perusahaan pun melakukan pemasaran dengan
berbagai cara, baik melalui media massa maupun elektronik, membuat iklan semenarik
mungkin untuk menarik pelanggan dan konsumen, mengadakan promosi besar-besaran
ataupun dalam bentuk kerjasama lainnya yang akhirnya mengarah kepada keuntungan bagi
perusahaaan itu sendiri.

Salah satu instrumen yang sangat memikat konsumen dalam pemasaran adalah iklan.
Iklan adalah sebuah komunikasi yang persuasif yang mampu merubah perilaku khalayak.
Sebuah iklan diciptakan untuk menggiring pola pikir atau tindakan- tindakan sesuai dengan si
pembuat iklan.Pada saat ini banyak sekali buku- buku marketing yang berisi strategi beriklan,
kiat-kiat yang harus dicapai, cara-cara mempengaruhi konsumen tetapi kebanyakan buku
tersebut bisa jadi tidak menjelaskan konsep etika dalam beriklan terlebih lagi kalau itu
ditinjau dari perspektif Islam.

Beberapa kasus perang produk iklan sering kali kita temui di televisi salah satu contoh
adalah perang produk iklan provider seluler antara XL dan Telkomsel pada waktu lalu.
Berkali-kali dapat kita lihat bagaimana kartu XL menurunkan tarifnya hingga batas minimum
Rp 0.1,- / detik tidak kalah kartu AS pun memurahkan tarifnya. Persaingan ini pun berlanjut
manakala aktor Sule yang semula mengiklankan kartu XL berpindah ke kartu AS. Dengan
saling menyindir satu sama lain.

Tidak hanya itu masih banyak perusahaan jasa telekomunikasi seperti provider seluler
yang melakukan pelanggaran-pelanggaran praktik usaha kurang sehat dalam memperluas
pangsa pasar operator seluler. Mereka menawarkan tarif yang tidak wajar, SMS maupun
internet gratis, memberi kartu perdana gratis, serta undian berhadiah. Persaingan melalui
iklan saat ini cenderung dapat merugikan masyarakat karena informasi yang disampaikan
belum sepenuhnya memenuhi kriteria obyektif, lengkap, dan belum bisa
dipertanggungjawabkan. Malah terkadang mengorbankan kualitas layanan2.

Jika di teliti dibeberapa situs sumber produk mereka seperti, produk sabun mandi, rokok,
penjualan mobil dan lainnya selalu menampilkan gambar perempuan yang auratnya terbuka.
ini semua adalah etika yang tidak dilandaskan dengan landasan Syariah. Meskipun secara
konsep etika tersebut tidak merugikan konsumen namun mendatangkan keburukan
(mudhorot) dalam pandangan Islam.

Saat ini iklan banyak yang tidak sesuai dengan syariah. bahkan iklan dengan
kenyataannya jauh sekali perbedaaannya. Berbagai macam iklan memberikan penipuan
kepada masyarakat. Beberapa iklan juga menggunakan perempuan untuk menarik konsumen.
Mengeksploitasi tubuh perempuan dalam menawarkan berbagai penjualan produk seperti,
kosmetik, mobil, motor, minuman, parfum dan sebagainya meskipun tidak ada keterkaitan
antara perempuan dengan yang diiklankan mereka masih saja mengiklankan untuk menarik
konsumen. Bahkan yang lebih parah lagi biasanya dalam pameran-pameran banyak sekali
dijumpai perempuan yang memakai pakaian minim ditampilkan untuk menjaga stand
pameran produk mereka dan menugaskan perempuan tersebut merayu konsumen untuk
membeli terhadap produk mereka. Model promosi ini melanggar akhlaqul karimah.

Permasalahan yang terjadi diatas sesungguhnya adalah karena pelaku ekonomi khususnya
dalam hal ini perusahaan yang menjual produk telah mengabaikan nilai-nilai etika.
Pengaibaian nilai etika tersebut berdampak pada persaingan yang tidak sehat, saling
menjatuhkan, mengejek menghalalkan segala cara bahkan mencari kesalahan dipihak lain.

Sesungguhnya perbuatan diatas tidak dibenarkan didalam Islam. Islam mengajarkan


bagaimana melakukan kegiatan periklanan didasarkan pada prinsip-prinsip islam, yaitu tidak
boleh curang, tidak boleh menipu maupun bersumpah. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh
bukhari. Abu Hurairah berkata “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata “dengan
menggunakan sumpah palsu barang – barang jadi terjual, tapi menghilangkan berkahnya,
yang terkandung didalamnya. (HR. Bukhari). Sebab itulah diperlukan pandangan islam atau
etika islami dalam melakukan periklanan produk bagi perusahaan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana etika periklanan dalam hukum islam?
2. Bagaimana penerapan periklanan dalam hukum islam?
C. Tujuan
Untuk mengetahui etika periklanan, dan penerapan, dalam setiap penerapan periklanan
bersumber hukum islam.
BAB II

APLIKASI PERIKLANAN DALAM KONSEP ISLAM

A. Pengertian dan Konsep Dasar Iklan.

Iklan dilukiskan sobagai komunikasi antara produsen dan konsumen, antara penjual
dan calon pembeli. Dalam proses kimunikasi itu iklan menyampaikan sebuah "pesan".
Dengan demikian iklan bermaksud memberi informasi dengan tujuan yang terpenting adalah
memperkenalkan produk atau jasa (Dakhtar, 2012:1)

Diakui bahwa periklaran atatu reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis
modern Kenyataan ini berkaitan erat dengan bagaimana cara industri modem berproduksi
yang menghasilkan produk-produk dalami kuantitas besar, sehingga harus mencari pembeli.
Selain itu ada kaitannya juga dengan sistem ckonomi pasar, dimana kompetisi dan persaingan
merupakan unsur hakiki. Dalam hal ini iklan justru dianggap sebagai salah satu cara yang
ampuh untuk menonjol dalam persaingan

Dalam ilmu ekonomi khususnya dalam dunia wirleting kita pasti kenal adanya istilah
iklan, karena iklan merupakan bauran dari promosi. Iklan merupakan salah satu strategi
promosi dari marketing yang berfungsi menyampaikan informasi tentang suatu produk
kepada masyarakat. Tujuannya adalah untuk mendekatkan suatu produk dan memberikan
kusan kepada konsumen bahwa produk tersebut lebih unggul (excellent) daripada yang lain
dengan beberapa kelebihannya. (Dakhtar, 2012:1)

Iklan adalah suatu media promosi bagi perusahaan untuk menginformasikan keunikan
dan kelebihan (keunggulan) produk yang dijualnya dibanding produk milik pesaing. Etika
dalam beriklan adalah suatu perilaku (sikap) dalam mempromosikan sesuatu dengan
memasukkan unsur spiritual, realistis, kreativitas, tidak terlalu kaku, dan tidak keluar dari
hukum Islam yang berlaku. Iklan yang beretika merupakan ciri dari pemasaran syariah.
Selain yang telah disebutkan pada poin sebelumnya, harus terhindar dari unsur seksual, daya
tarik emosional, mengeksploitasi perempuan dalam iklan, penggunaan fantasi yang
berlebihan, penggunaan penelitian palsu yang dibuat untuk mempromosikan suatu produk
yang menyebabkan kebodohan dan/atau mendorong pemborosan, dan penggunaan bahasa
dan perilaku yang sifatnya sugestif. ( Huda, et al, 2017:134)
Rahman, dkk (dikutip Huda, et al, 2017:134) berpendapat bahwa Islam memberikan
aturan yang ketat dalam dunia periklanan, Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perempuan
tidak boleh digunakan sebagai objek produk untuk menarik konsumen. Hal tersebut
disebabkan karena akan menciptakan daya tarik yang liar kepada lawan jenis. Islam
membolehkan adanya perempuan dalam media promosi suatu bisnis asalkan perempuan
tersebut menutup auratnya, karena jika tidak dikhawatirkan mendorong tindak
kejahatan/perbuatan keji di masyarakat.

Saat ini, telah banyak produk yang diiklankan dengan cara yang unik dan bahkan
menimbulkan kontroversi. Iklan kontrovesial tersebut misalnya, bersifat menyinggung
seseorang atau suatu masyarakat sehingga menimbulkan ketidaksukaan di mata pelanggan
( Huda, et al, 2017:134-135)). Bukan hanya apa yang ditampilkan dalam iklan tersebut, tetapi
produknya pun kontroversi. Akhter, dkk (dikutip Huda, et al, 2017:134-135)
mengklasifikasikan produk kontroversial dalam tiga kategori yaitu produk, layanan dan
konsep. Produk mencakup produk alkohol (obat-obatan), rokok, pakai an dalam wanita dan
lain-lain; layanan mencakup fasilitas aborsi, pelayanan operasi plastik tanpa ada alasan
kesehatan, tes penyakit kelamin, dan lain-lain; konsep mencakup ide-ide politik, aksi
terorisme, praktik-praktik seksual, prasangka atas agama tertentu, dan lain-lain

B. Etika Pemasaran Iklan Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan etika dan keseimbangan dalam praktik
komunikasi pemasaran (marketing communication). Prinsip keseimbangan bermakna
menjaga kepentingan pemasar dan konsumennya. Komunikasi pemasaran harus dijalankan
berpijak pada nilai-nilai spiritualitas ketauhidan, yakni terikat pada nilai-nilai ajaran
ketuhanan yang ada dalam ajaran agama Islam. (Kriyantono, 2019:415)

Nabi Muhammad SAW juga dikenal sebagai seorang pemasar yang hebat. Sejak
remaja, beliau memiliki kemampuan memasarkan produk sehingga menghasilkan keuntungan
melimpah. Beliau memasarkan dagangan sang paman, Abu Thalib dan pengusaha kaya, Siti
Khadijah. Penyebaran Islam yang luar biasa, yang juga mampu mengangkat derajat
masyarakat Arab, merupakan bukti pula dari kemampuan memasarkan ajaran ketauhidan
Islam kepada masyarakat.
Prinsip-prinsip pemasaran Nabi Muhammad SAW merupakan teori pemasaran Islam,
karena bersumber kepada ajaran Allah SWT. Teori pemasaran ini tertanam dalam perilaku
dan perkataan Nabi Muhammad SAW, Teori ini pun disebut Gunara & Sudibyo (2007)
sebagai marketing Muhammad. Praktik komunikasi pemasaran mesti berdasarkan rumus
JIPSIM, yakni jujur, ikhlas, profesional, silaturahmi, dan murah hati.(Kriyantono, 2019:415)

Kejujuran dan keikhlasan ditopang prinsip profesional, yakni berusaha sungguh-


sungguh dalam memenuhi kepentingan pemasar dan konsumen. Jika, misalnya, pemasar
mendapat komplain maka harus melayani komplain tersebut dengan sebaik-baiknya.
Rasulullah SAW adalah seorang pemasar profesional, yakni tidak pernah menyerah dalam
berusaha, meski tantangan masalah kuat menghadang, selalu berpikir positif kepada orang
lain, dan memiliki strategi jitu dalam memersuasi khalayak. Profesional ini juga mencakup
berlaku adil dan transparan terhadap pelanggan dan mitra bisnis.

Prinsip silaturahmi sangat diperlukan sebagai upaya menjaga relasi dengan investor,
pelanggan, maupun calon pelanggan, yakni orang- orang yang berpotensi menjadi pelanggan
di masa datang, dan kompetitornya. Murah hati adalah sifat suka menolong dalam kegiatan
memasarkan produk, yakni dengan tidak mengedepankan keuntungan sebanyak mungkin
(laba harus proporsional). Memberikan kelonggaran pembayaran bagi yang tidak mampu
tetapi sangat membutuhkan barang. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., Nabi SAW, ada
seorang pedagang yang memberi pinjaman kepada orang-orang. Jika ia melihat orang yang
kesulitan, ia berkata kepada pembantunya, maafkanlah oleh kalian orang itu, semoga Allah
memaafkan kita, maka Allah pun memaafkannya (HR. Bukhari dan Muslim). Ada konsep
filantropi untuk membantu sesama dengan memperhatikan kondisi pelanggan."( Kriyantono,
2019:417)

Etika berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani yang berarti kebiasaan (custom)
atau karakter (character). Dalam kata lain seperti disebutkan dalam kamus Webster berarti
"the distinguishing character, sentiment, moral natur, or guiding beliefs of a person, group, or
institution" (karakter istimewa, sentiment, tabiat moral, atau keyakinan yang membimbing
seseorang, kelompok atau institusi). Menurut Badroen dkk, 2006 dalam G and C Marriam
(dikutip Fitriah, 2018:17-18)

Secara terminologi, etika didefinisikan sebagai "The systematic study of the nature of
value concepts, good, bad, ought, right, wrong, etc, and of the general principles which
justify us in applying them to anytehing: also called moral philosophy." Artinya etika
merupakan studi sistematis tentang tabiat konsep nilai, baik, buruk, harus, benar, salah, dan
lain sebagainya dan prinsip-prinsip umum yang membenarkan kita untuk
mengaplikasikannya atas apa saja, menurut Badroen dkk, dalam Zubair.(dikutip Fitriah,
2018:17-18)

Menurut Badroen dkk .(dikutip Fitriah, 2018: 18), promosi termasuk di sini iklan
merupakan suatu upaya menawarkan barang dagangan kepada calon pembeli. Rasulullah
SAW bukan hanya seorang yang paling tahu memberi petunjuk tentang cara beribadah, tetapi
juga beliau seorang yang ahli dalam sales promotion. dalam konteks ini Rasulullah SAW
memberi petunjuk tentang cara mempromosikan barang dagangan sebagai berikut:

1. Mempromosikan barang dengan cara yang menarik minat calon pembeli.

2. Tempat berjualan meliputi desain interior yang serasi.

3. Letak barang mudah dilihat.

Dalam kegiatan promosi Rasul melarang orang yang berdagang (berbisnis) (Fitriah, 2018:
18-19)

1. Melakukan tipu daya. Rasul mengingatkan dalam hadisnya: "Ada tiga golongan manusia
yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, dan Allah tidak mau melihat
mereka dan tidak mau mengampuni mereka, dan bahkan mereka mendapat siksa yang
pedih.
2. Melakukan penawaran dan pengakuan yang fiktif. Di sini si penjual memberikan
keterangan pada calon pembeli seolah-olah barang dagangannya sudah ditawar orang
disertai harga penawarannya.
3. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak bentuk iklan dipajang di halaman surat
kabar, majalah, TV, spanduk dan lain-lain sering memberikan keterangan meragukan
bahkan palsu, walaupun ada testimony, karena testimony bisa saja terjadi karena
kebetulan atau bahkan direkayasa.
4. Eksploitasi Wanita. Pedagang harus menghindari mengeksploitasi wanita dalam bisnis
karena bisa melanggar akhlakul karimah, dan membuat pembeli menjadi menyesal.

Sehingga dapat disimpulkan ada beberapa nilai-nilai syariah yang mengambil konsep
dari keteladanan sifat Rasulullah SAW. Nilai-nilai syariah ini adalah merupakan panduan
dalam beriklan sehingga nantinya dapat tercipta iklan syariah. Nilai-nilai itu antara lain
adalah bersumber dari sifat-sifat Rasulullah sebagai berikut (Hanif, Jurnal Bidang Kajian
Islam, 4, 2018: 91)

1. Shiddiq

Artinya memiliki kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan, serta perbuatan
berdasarkan ajaran Islam. Tidak ada satu ucapan pun yang saling betentangan dengan
perbuatan. Allah SWT senantiasa memerintahkan kepada setiap orang beriman untuk
memiliki sifat shiddiq dan menciptakan lingkungan yang shiddiq. Didalam Al- Qur’an,
Shiddiq disebutkan sebanyak 154 kali. Beberapa diantaranya dalam QS. Al-Imran : 15-17 Ini
menandakan pentingnya sikap shiddiq dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, shiddiq
merupakan sifat kenabian. Nabi Muhammad SAW menegaskan, “wajib bagi kalian berlaku
jujur, sebab jujur membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan jalan ke surga.
Seseorang yang senantiasa jujur dan memperhatikan kejujuran, ia akan termaktub di sisi
Allah atas kejujurannya.

Sebaliknya, janganlah berdusta karena dusta mengarah kepada kejahatan, dan


kejahatan membawa ke neraka. Seseorang yang berdusta yang memperhatikan kedustaannya,
ia tercatat di sisi allah sebagai pendusta. (HR. Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas’ud).Hal
penting dari nasihat Nabi diatas adalah bahwa jujur merupakan sarana mutlak untuk
mencapai kebaikan tatanan masyarakat. Oleh karenanya, shiddiq bukan sekedar wacana
pribadi (untuk individu), tapi juga wacana publik, yaitu perlunya sebuah sistem yang jujur
juga. Dalam nilai shiddiq ini tercermin ketika sebuah perusahaan jujur dalam mengiklankan
produknya, memberikan pemahaman kepada consumer bahwa produk yang diiklankannya ini
akan mendatangkan kemaslahatan bukan kemudharatan. Ia akan menunjukkan apa yang tidak
baik dari produk ini sehingga apa yang diiklankan oleh perusahaan dapat
dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.

2. Fathonah.
Artinya, mengerti, memahami dan menghayati secara mendalam segala sesuatu yang
terjadi dalam tugas dan kewajiban fathonah berkaitan dengan kecerdasan. Yang bukan hanya
kecerdasan rasio semata tapi pada menekankan pada kecerdasan emosional dan spritual.
Seseorang yang mempunyai kepekaan emosional dan spritual akan mengiklankan sesuatu
yang memberikan ketenangan bathin kepada consumen. Ia akan mengiklankan sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, bernilai pendidikan yang baik bagi jiwa concumer. Iklan yang
mendidik, mencerdaskan masyarakat merupakan nilai yang dapat diambil dari nilai
fathonah ini.

3. Amanah
Memiliki makna tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban.
Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan prima dan ihsan dalam
segala hal. Sifat amanah harus dimiliki oleh setiap mukmin apalagi untuk seseorang yang
memiliki pekerjaan sebagai advertiser (pengiklanan) dalam sebuah perusahaan. Seorang
mukmin ketika mendapatkan amanah akan berupaya melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dalam QS An-Nisa [4] : 58 disebutkan sebagai berikut :

4. Tabligh.

Kata tabligh, dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya penyampaian. Sedangkan
menurut Syaikh Muhammad Nawawi (dikutip Hanif, Jurnal Bidang Kajian Islam, 4, 2018:
94) tabligh adalah menyampaikan perintah Allah. Sifat-sifat Nabi Muhammad SAW,
disebutkan oleh Muhammad Husain Haekal (dikutip Hanif, Jurnal Bidang Kajian Islam, 4,
2018: 94) sebagai berikut: sifatnya yang sangat rendah hati, bila ada yang mengajaknya
bicara ia mendengarkan hati-hati sekali tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak saja
mendengarkan kepada yang mengajaknya bicara, bahkan ia memutarkan seluruh badannya.
Bicara sedikit sekali, lebih banyak ia mendengarkan. Bila bicara selalu sungguh-sungguh,
tetapi sungguhpun demikian ia tak melupakan ikut membuat humor dan bersendau gurau,
namun apa yang dikatakannya selalu yang sebenarnya. Menurut Haikal (dikutip Hanif,
Jurnal Bidang Kajian Islam, 4, 2018: 95) Bila ia marah tidak pernah sampai tampak
kemarahannya, semua itu terbawa oleh kodratnya yang selalu berlapang dada, berkemauan
baik dan menghargai orang lain. Bijaksana, murah hati dan murah bergaul. Mempunyai
tujuan pasti, berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu dalam tujuannya

Dalam hal etika periklanan dalam Islam, Ibn al-Ukhuwwah (dikutip Hanif, Jurnal
Bidang Kajian Islam, 4, 2018: 96), menyatakan bahwa adalah tidak etis bagi penjual atau
petugas pemasaran memuji kualitas produk beserta atributnya secara berlebihan, namun
dalam realita mereka tidak memilikinya. Saed (dikutip Hanif, Jurnal Bidang Kajian Islam, 4,
2018: 96)menyatakan bahwa, menurut prinsip-prinsip Islam, teknik promosi penjualan
seharusnya tidak menggunakan daya tarik seksual, emosional, penakutan, iklan palsu, dan
hasil penelitian palsu, semua mempunyai unsur-unsur dari paksaan, yang digolongkan
sebagai perilaku tidak etis. Lebih jauh lagi, etika Islam melarang keras stereotip perempuan
dalam iklan, dan menggunakan fantasi berlebihan. Penggunaan bahasa dan perilaku sugestif,
serta penggunaan perempuan sebagai obyek untuk memikat dan menarik pelanggan juga
tidak diperbolehkan.

Tabligh dalam konteks penelitian ini diimplementasikan melalui kemampuan


tenaga beriklan dalam hal penyampaian kualitas produk beserta atributnya secara bijak sesuai
realita, untuk menghindari kesan pemberian harapan yang berlebihan tentang kualitas produk
yang ditawarkan kepada pelanggan. Artinya menyampaikan, mengajak sekaligus memberikan
contoh kepada pilak lain untuk melaksanakan ketentuan – ketentuan ajaran Islam dalam
setiap gerak aktivitas memasarkan produk melalui instrumen periklanan. Tabligh yang
disampaikan pada hikmah, sabar, argumentatif dan persuasif akan menumbuhka hubungan
kemanusiaan yang semakin solid dan kuat.

Sifat kepemimpinan Nabi SAW bila dikaitkan dengan konsep periklanan tentunya adalah
sebuah risalah untuk menyampaikan pesan- pesan dakwah dan keilahian yang mengharapkan
dapat mengajak konsumen kepada jalan yang baik. Interaksi perusahaan dengan
konsumenpun terjalin baik melalui iklan yang syar’i. Perusahaan juga memposisikan sebagai
pendakwah yang akan mengembangkan marketing syariah kedepan nantinya.

5. Istiqomah.

Artinya konsisten. Hal ini memberikan makna bahwa sebuah perusahaan dalam
mengiklankan produknya selalu istiqomah dalam menerapkan aturan syariah. Sebuah
perusahaan harus dapat dipegang janjinya, tidak diperkenankan sebuah perusahaan
mengiklankan produk hanya melihat moment-moment tertentu. Misalkan saja iklan islami
yang hanya ada pada bulan ramadhan. Ketika bulan ramadhan telah lewat maka ia kembali
lagi mengiklankan tanpa dibingkai nilai-nilai islam.

Nilai dan moral yang pertama ditekankan dalam Islam adalah larangan menjual barang-
barang haram. Apalagi mencoba untuk mengiklankannya. Termasuk kategori barang–
barang yang dilarang beredar adalah (khamr) adalah barang yang menyebabkan seseorang
dapat mabuk (hilang akal sehat) ketika meminumnya dan mengancam kesehatan.
Mengiklankan barang ini berarti mencoba merusak generasi bangsa. Termasuk mengiklankan
produk- produk dengan strategi pornografi maupun porno aksi dan apa saja yang dapat
mengikis akidah dan etika umat manusia. Ikut mengedarkan dan mempromosikan barang-
barang tersebut berarti ikut juga bekerjasama dalam perbuatan dosa atau bahkan melakukan
pelanggaran terhadap apa yang telah dilarang oleh Allah SWT.

C. Etika Penerapan Periklanan Menurut Al Quran dan Hadist

Al-Quran memerintahkan pada manusia untuk jujur, tulus, ikhlas, dan benar dalam
semua perjalanan hidupnya, dan ini sangat dituntut dalam bidang bisnis syariah. Jika
penipuan dan tipu daya dikutuk dan dilarang, maka kejujuran tidak hanya diperintahkan,
tetapi dinyatakan sebagai keharusan yang mutlak. Dalam hadits Abu Hurairah r.a menyatakan
bahwa rasulullah bersabda :”Sesungguhnya aku hanya berkata benar” Sebagian sahabat
berkata , “Namun, engkau suka berkelakar kepada kami wahai rasulullah” ia bersabda, “ Aku
hanya berkata benar”(HR. Ahmad)

Sikap jujur akan terlihat dalam kemampuan dalam menjalankan amanah-amanah yang
diberikan. Orang yang jujur sudah pasti amanah dalam setiap keperca- yaan yang diberikan
kepadanya. Firman Allah Swt., "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meng-
khianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-
amanat yang di- percayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui" (QS Al-Anfal [8]: 27).

Oleh karena itu, prinsip amanah yang menjunjung tinggi kejujuran tersebut harus
disertai dengan profesionalisme. Profesionalisme adalah bagian yang penting dari prinsip
amanah dan muamalah. AI-Quran mengajarkan dalam suatu kisah yang sangat menarik,
ketika putri Nabi Syu'aib memohon kepada ayahandanya agar berkenan mempekerjakan
Sayyidina Musa a.s., sebagai sosok pemuda yang qawi (kuat/profesional). Firman Allah Swt.

“….Wahai ayahandaku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada usaha kita),
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja(pada
kita)ialah orang yang kuat(professional) lagi terpercaya(amanah)”(QS Al-Qashash [28]:26)

Adanya Kasus runtuhnya sejumlah perusahaan di beberapa tempat menunjukkan


bahwa sehebat apa pun strategi bisnis Anda, secanggih apa pun tools pemasaran yang Anda
jalankan, semuanya tak akan ada gunanya kalau tidak dilandasi nilai-nilai spiritual yang
kokoh. Kasus runtuhnya perusahaan besar dalam sejarah bisnis Amerika Serikat Seperti
perusahaan Enron, WorldCom, atau Global Crossing, yang menunjukkan betapa semakin
tingginya kompleksitas bisnis, semakin canggihnya tools manajemen, dan semakin majunya
perangkat regulasi ternyata tidak menjadikan praktik bisnis menjadi semakin dewasa dan
beradab. Justru sebaliknya, ia semakin kebablasan tanpa etika, tanpa nilai-nilai moral, dan
tanpa pegangan.( Kartajaya dan Sula, 2006: 5)

Bumi sudah menjadi renta, carut-marut, dan amburadul akibat ulah manusia. Namun,
manusia-manusia itu sendiri agaknya masih saja sama, masih enggan bertobat dan kurang
menyesali kesalahannya, kata Andrias Harefa dalam buku Kepemimpinan Kristiani. (dikutip
Kartajaya dan Sula, 2006: 6)

Praktik-bisnis sakit yang selama puluhan tahun melingkupi keseharian kita semakin
menyadarkan kita bahwa kejujuran, etika, dan moral dalam suatu bisnis menjadi suatu
keharusan. Pada lingkungan bisnis yang tidak jarang mengabaikan etika, kejujuran
merupakan resource yang semakin langka bagi perusahaan. Dan tak hanya langka, ia
merupakan resource yang bisa di-leverage menjadi komponen penting daya saing suatu
perusahaan. (Kartajaya dan Sula, 2006: 6)

Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil dan membenci orang-orang yang
berbuat zalim, bahkan melaknat mereka. Firman-Nya, "Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan)
atas orang-orang yang zalim" (QS Hûd [11]: 18). Keserakahan dalam mengumpulkan harta
merupakan bagian dari bentuk kezaliman. Syaikh Al-Qaradhawi mengatakan, sesungguhnya
pilar penyangga kebebasan ekonomi yang berdiri atas pemuliaan fitrah dan harkat manusia
disempurnakan dan ditentukan oleh pilar penyangga yang lain, yaitu keadilan. Keadilan
dalam Islam bukanlah prinsip yang sekunder. la adalah dasar dan fondasi kokoh yang
memasuki semua ajaran dan hukum Islam berupa aki- dah, syariah, dan akhlak (moral). .
(Kartajaya dan Sula, 2006: 113)

Ketika Allah memerintahkan tiga hal, keadilan merupakan hal pertama yang
disebutkan. Firman Allah, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil, dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat .." (Al-Nahl (16): 90).

Ketika Allah memerintahkan dua hal, keadilan merupakan salah satu hal yang
disebutkan. Firman Allah, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh ka- mu) apabila menetapkan dengan adil" (Al-
Nisâ' [4): 58). Ketika Allah memerintahkan satu hal, keadilan merupakan hal yang
diperintahkan tersebut. Allah berfir- man, "Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan
keadilan" (Al-A'râf [7]: 29).
Ketika Allah memerintahkan satu hal, keadilan merupakan hal yang diperintahkan
tersebut. Allah berfirman, "Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan" (Al-A'råf
[7]: 29).

Sesungguhnya tauhid sendiri yang merupakan inti Islam dan fondasi bangunannya-
merupakan makna dari keadilan, sebagaimana kemusyrikan merupakan suatu bentuk
kezaliman. Seperti firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah be-
nar-benar kezaliman yang besar" (QS Luqmân [31]: 13). (Kartajaya dan Sula, 2006: 114)

Islam secara jelas menjelaskan ketulusan dan transparansi dalam bermuamalah


(berbisnis). Al-Quran dengan tegas menekankan perlunya hal ini dalam nilai semua ukuran.
Allah berfirman, "Dan berikanlah ukuran yang penuh dengan timbangan dengan adil" (QS
Al-An'âm (6): 152). (Kartajaya dan Sula, 2006: 115)

Dalam ayat lain dikatakan, "Maka berikanlah ukuran dan timbangan sepenuhnya
tanpa merampas apa yang telah menjadi hak mereka, dan jangan membuat kerusakan di
bumi setelah diperbaiki. Hal ini baik bagi- mu jika kamu sekalian beriman" (QS Âli Imrân
[3): 85),

Termasuk dalam prinsip keadilan adalah memenuhi hak pekerja atau buruh. Dalam
prinsip keadilan Islam, seorang pekerja yang mencurahkan jerih payah dan keringatnya tidak
boleh dikurangi atau ditunda-tunda gaji atau upahnya. Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya
Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang- orang yang mengerjakan amalnya dengan
baik" (QS Al-Kahfi (18): 30).

"Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, maka
Allah akan memberikan mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka, dan Allah
tidak menyukai orang-orang zalim" (QS Âli Imrân [3): 57).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa tidak memenuhi upah bagi para pekerja adalah suatu
kezaliman yang tidak dicintai-Nya. Kewajiban seorang Mukmin adalah menggunakan
keadilan Allah sebagai tolok ukurnya.

Berkaitan dengan prinsip keadilan ini, Sayyid Quthb (dikutip Kartajaya dan Sula,
2006: 116) dalam kitabnya yang sangat masyhur mengatakan, "Kita tidak akan dapat
menghayati bentuk keadilan sosial dalam Islam sebelum kita memahami konsep keseluruhan
Islam tentang alam, kehidupan, dan manusia. Keadilan sosial tidak lain hanyalah cabang dari
prinsip besar, di mana seluruh pembahasan islam harus dirujukkan kepadanya."
Sementara itu iklan adalah sarana untuk melakukan promosi. Promosi merupakan
salah satu marketing mix (bauran pemasaran). Pemasaran menurut perspektif syariah adalah
segala aktivitas bisnis dalam bentuk kegiatan penciptaan nilai (value-creating-ctvities) yang
memungkinkan pelakunya bertumbuh serta mendayagunakan kemanfaatannya yang dilandasi
dengan kejujuran, keadilan, keterbukaan, dan keihklasan sesuai proses yang berprinsip pada
akad bermuamalah Islami.(Azizah, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, 3, juni 2013:46)

Dalam konteks etika pemasaran yng bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan
dalam Al-Quran. Al-Quran memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni
persyaratan horizontal (kemanusiaan) dan persyaratan vertical (spiritual). Sebagaimana
firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah: 1-2, yang artinya:

“Kitab (Al-Quran) ini tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa”.

Isyarat diatas sangat relevan dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan proses
marketing, sebab marketing merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi mesin suatu
perusahaan. Maka dengn mengambil petunjuk yang dijelskan Allah dalam Al-Quran, maka
dalam rangka penjulan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang kita
miliki. .(Azizah, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, 3, juni 2013:46)

D. Prinsip Penerapan Periklanan Dalam Perspektif Islam

Sehingga dari Penjelasan dari sumber hukum islam yaitu Al-Quran, diketahui prinsip
–prinsip yang menjadi dasar dalam melakukan periklanan dan tentunya juga disimpulkan
berdasarkan etika dan terapan rasul dalam melakukan periklanan yang telah di bahas
sebelumnya. Prinsip periklanan dalam perspektif islam yaitu: (Kesuma, Jurnal SHARE, 1,
Januari- Juni 2012:73)

1. Tauhid

Ialah prinsip pertama dalam periklanan berspektif Islam. Menurut Othman (dikutip
Kesuma, Jurnal SHARE, 1, Januari- Juni 2012:73) tauhid adalah suatu keyakinan yang
menegaskan bahwa hanya Allah SWT Yang Esa saja yang menciptakan dan mengatur alam
semesta ini. Kata tauhid berasal dari kata dasar “wahhada yuwwahhidu tauhid” yang berarti
meng-Esa-kan dan mengakui ke-Esa-an, prinsip tauhid merupakan suatu keyakinan yang
menegaskan bahwa hanya Allah SWT yang menciptakan dan mengatur alam semesta (Ibn-
Katsir, 1999). Keimanan terhadap Allah SWT memberikan suatu kekuatan kepada iklan
untuk menjalankan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulnya. Dengan prinsip
tauhid tersebut, maka dalam kaitannya dengan sebuah iklan haruslah memiliki kriteria-
kriteria: menggunakan pakaian yang menutup aurat (sebagai penghias diri), tidak bersumpah
dalam beriklan dan berpenampilan berakhlak serta sopan.

2. Menggunakan Pakaian yang Menutup Aurat

Lelaki dan wanita diperintahkan Allah supaya menutup aurat mengikut kadar yang
telah ditetapkan. Oleh itu lelaki dan wanita seharusnya sama-sama mematuhinya, walaupun
Allah SWT jadikan fisik lelaki sifatnya tidak menggoda seperti fisik wanita. Banyak kaum
wanita tidak menyadari bahwa diri mereka bersifat menggoda terhadap lelaki, fisik mereka
yang dijadikan oleh Allah kelihatan cantik, menarik dan menawan serta merangsang nafsu
syahwat lelaki. Walaupun wanita tidak pun menggoda lelaki tetapi keadaan dirinya yang
istimewa itu menyebabkan lelaki tergoda. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh pengeluar iklan
untuk mencari perhatian orang ramai. Iklan televisi yang utama dengan wanita yang
mendedah kecantikannya dijadikan daya tarik suatu hasil keluaran yang utama untuk produk
hasil kecantikan wanita. Kaum lelaki pula menjadi objek untuk iklan, terutama iklan
kesehatan lelaki yang menampakkan fisik badan yang gagah dan kuat. Seharusnya dalam
iklan yang mengandungi nilai Islam tidaklah baik menampakkan fisik wanita sebagai daya
tarik kecuali dengan pakaian yang rapi, bersih, menutup aurat dan sebagai hiasan diri.
Pakaian mengandungi nilai kesopanan, misalnya dengan memakai tudung dan menutup
seluruh aurat. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadist yang membicarakan tentang menutup aurat
tersebut, di antaranya yaitu pada Surah al-‘Araf [7] ayat 26 :

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang
paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
mudah-mudahan mereka selalu ingat"

Jelaslah bahwa dengan ayat Allah SWT di atas, Allah SWT menginggatkan bahwa
pakaian untuk menutup aurat dan pakaian yang indah untuk perhiasan. Dengan demikian
pakaian indah dalam Iklan bolehlah dijadikan sebagai perhiasan untuk memikat pengguna.
Penampilan dan berakhlak sopan dalam suatu iklan sangatlah penting untuk
menciptakan suatu image. Akan tetapi penampilan dalam iklan tersebut haruslah sopan dan
berakhlak yang mengandungi nilai-nilai Islam. Sopan dan berakhlak baik dalam tutur kata
maupun dalam semua gerakan dalam iklan (televisi). Selain senang dilihat dengan
penampilan iklan yang baik dan sopan, Allah SWT juga mencintai orang-orang yang
berakhlak baik dan membenci mereka yang tidak mengenal sopan santun. Sabda Rasulullah
SAW.: “Tiada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat
daripada akhlak yang baik. Dan Allah SWT membenci orang yang keji mulutnya atau
perbuatannya.”(HR. Tirmidzi). Tampilan juga mencerminkan suatu keluaran dan
perkhidmatan dalam suatu iklan. Pengguna akan menilai suatu keluaran dan perkhidmatan
dengan menggunakan imajinasinya dari suatu iklan yang berakhlak dan sopan. diriwayatkan
dari Aisyah RA : Rasulullah SAW selalu berbicara dengan terang dan jelas sehingga
seandainya seseorang ingin menghitung kata-kata yang diucapkannya, maka ia dapat
menghitungnya. Diriwayatkan pula oleh Aisyah RA. : "Rasulullah SAW tidak pernah
berbicara cepat dan terburu-buru atau samar-samar". Riwayat ini boleh menjadi suatu
informasi bagi pengiklan bahwa suatu iklan haruslah terang, jelas, tidak terburu-buru dan
tidak samar-samar sehingga pengguna dapat memahaminya.

3. Perjanjian yang tepat

Banyaknya sumpah palsu dalam iklan menjadi suatu dilema masa kini, banyaknya iklan
yang mengatakan bahwa keluarannya yang paling baik dan paling berguna atau
perkhidmatannya yang paling selesa dan tiada duanya. Sumpah-sumpah palsu tersebut dalam
Islam amatlah dilarang. Apa lagi bila sumpah palsu tersebut berkaitan dengan hadiah yang
akan diberikan kepada pengguna dan harga yang sedikit. Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji(nya dengan) Allah dan sumpah-


sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di
akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada
mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang
pedih," (Ali Imran [2], 77).

4. Keadilan
Sikap adil yaitu termasuk di antara nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh Islam dalam
semua aspek ekonomi Islam. Menurut Qardhawi (dikutip Kesuma, Jurnal SHARE, 1, Januari-
Juni 2012:75) lawan kata keadilan ialah kezaliman, yaitu suatu yang telah diharamkan Allah
SWT atas diri-Nya sebagaimana yang telah diharamkan Allah atas hamba-hambaNya. Allah
mencintai orang-orang yang berbuat adil dan membenci orang-orang yang berbuat zalim,
dalam surah Hud ayat 18 , Allah SWT mengingatkan : “ Ingatlah, kutukan Allah SWT
(ditimpakan) atas orang-orang yang zalim”. Menurut Qardhawi (dikutip Kesuma, Jurnal
SHARE, 1, Januari- Juni 2012:75), Islam telah mengharamkan hubungan perniagaan yang
mengandungi kezaliman dan mewajibkan terpenuhinya keadilan yang diwujudkan dalam
setiap hubungan jualan dan kontrak perniagaan. Dalam dunia periklanan, keadilan boleh
diwujudkan dengan tidak menjelekkan perkhidmatan atau keluaran lainnya atau tidak
mencela dan tidak mengada-ada yang akan menimbulkan ketidak-adilan atau kezaliman
terhadap pengeluar lain dan terhadap pengguna. Keadilan dalam iklan juga dapat diwujudkan
dengan mengingatkan pengguna atas satu keluaran yang berguna dan baik, sehingga tidak
merugikan hak-hak pengguna. Hal tersebutlah yang harus diperhatikan dalam iklan agar
terwujudnya satu keadilan dan menjauhkan kezaliman terhadap pengeluar lain dan terhadap
pengguna.

5.Tidak Mencela

Mencela dan mengolok-olokkan keluaran atau perkhidmatan lain seolah-olah sudah


menjadi hal yang biasa dalam iklan, walaupun tidak secara langsung mengatakan suatu
keluaran lain jelek atau tidak baik. Di Indonesia, hal tersebut banyak terjadi pada iklan
penyedia layanan seluler yang saling menjelekkan antara satu pembekal dengan penyedia
lainnya. Menurut Qardawi (dikutip Kesuma, Jurnal SHARE, 1, Januari- Juni 2012:76)dalam
mengolok-olok terdapat unsur kesombongan yang tersembunyi dan penghinaan kepada orang
lain, serta menunjukkan suatu kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah SWT.
Allah SWT berfirman :

"Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab barangkali mereka yang
diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan; dan jangan pula
perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu
lebih baik daripada mereka yang memperolokkan”(Al Hujuurat [49]:11)
Dengan demikian suatu iklan harus memegang unsur yang murni tanpa mencela atau
mengolok-olok produk dan jasa perusahaan lainnya.

6. Tidak mengandung unsur fitnah

Selain tidak mencela, iklan juga sebaiknya tidak mengandungi unsur fitnah, terutama
memfitnah keluaran dan perkhidmatan lainnya. Dari Hudzaifah r.a ia berkata; Aku
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan masuk surga orang
yang suka menyebarkan fitnah di antara manusia” (HR. Bukhori). Sedemikian bahayanya
fitnah maka hal tersebut wajib dihindari dalam iklan, utamanya jika menampilkan wanita
sebagai ikon daya tarik sebuah iklan yang dapat menimbulkan fitnah. Wanita tidak harus
dijadikan sebagai objek daya tarik suatu iklan, wanita haruslah dimuliakan dan tidak
menimbulkan fitnah serta tidak mengada-ada.

7. Mengingatkan

Dalam iklan ada unsur mengingatkan. Mengingatkan sesuatu yang baik juga
diamalkan dalam Islam. Sewajibnya iklan mengingatkan pengguna akan keluaran maupun
perkhidmatan yang baik. Untuk mengingatkan, maka bahasa dan perbuatan dalam iklan juga
harus baik, sehingga pengguna memahami akan sesuatu. Mengingat yang paling baik ialah
mengingatkan akan hukum- hukum syariah, misalkan saja pada iklan bank mengingatkan
akan bahaya riba. Merupakan hak setiap masyarakat untuk berhukum pada Syari'at yang
diyakini akan keadilannya, keunggulannya dan ketinggiannya atas syari'at-syari'at yang
lainnya. Bagi masyarakat Islam itu merupakan suatu kewajiban untuk diingatkan.

8. Amanah

Iklan boleh dijadikan sebagai media penyampai amanah. Menurut Qardhawi (dikutip
Kesuma, Jurnal SHARE, 1, Januari- Juni 2012:77) Amanah merupakan salah satu moralitas
keimanan. Allah SWT menyebutkan sifat orang-orang mukmin yang beruntung adalah yang
memelihara amanah : “ dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah dan janji-
janjinya” (Al Mu’minun : 8). Rasulullah sebagai seorang peniaga juga terkenal dengan sifat
amanahnya. Dalam prinsip amanah, terdapat tiga kriteria asas yang boleh diselarikan dengan
iklan yaitu kejujuran, tidak memuji berlebihan dan jaminan untuk perkhidmatan kembali.

9. Kejujuran
Sebuah iklan wajib memenuhi nilai kejujuran dalam iklannya. Iklan boleh dikatakan
menipu jika kenyataan berbeda dengan iklan yang diperlihatkan. Masa ini banyak iklan yang
telah menghalau nilai-nilai kejujuran disebabkan meningkatnya teknologi dalam
mengeluarkan sebuah iklan, misalnya saja memakai animasi atau khayalan image yang tidak
sesuai kenyataan. Iklan yang memberikan perkhidmatan dengan janji-janji hadiah yang
banyak akan tetapi tidak sesuai dengan kenyataannya juga menimbulkan ketidakjujuran. Jujur
dalam arti sempit adalah sesuainya perkataan dengan kenyataan, dalam pengertian yang lebih
umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang yang jujur bersama Allah SWT dan
bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya Menurut Eko (dikutip Kesuma,
Jurnal SHARE, 1, Januari- Juni 2012:77). Kejujuran adalah konsekuensi terhadap janji
seperti firman Allah: Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa
yang mereka janjikan kepada Allah; (QS. Al-Ahzab:23). Kejujuran itu dengan berbagai
pengertiannya perlui keikhlasan kepada Allah SWT dan mengamalkan perjanjian yang
diletakkan oleh Allah SWT kepada setiap Muslim. Oleh karena nilai-nilai kejujuran inilah
yang harus ditetapkan dalam iklan bank syariah tanpa menjanjikan hal-hal yang tidak pasti.
Selain tidak mengandung penipuan, iklan juga harus tidak menutup-nutupi (mengatakan apa
adanya) serta tidak menjebak pengguna.

10. Tidak Memuji Berlebihan

Rasulullah SAW melarang berlebihan dan kelewat batas dalam memuji karena hal itu
akan menimbulkan fitnah dan membahayakan orang yang dipuji. Orang yang dipuji akan
merasa tersanjung yang kemudian akan melahirkan berbangga diri, lalu akan melahirkan
kesombongan yang akan melahirkan sikap memandang rendah orang lain, dan pada akhirnya
akan menganggap semua tindakannya adalah kebenaran. Dari Al-Miqdad bin Al-Aswad RA
berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menaburkan tanah ke wajah- wajah
orang yang berlebihan dalam memuji.” (HR. Muslim). Demikian pula dengan iklan, tidak
boleh berlebihan dan melebih-lebihkan suatu keluaran atau perkhidmatan. Iklan haruslah apa
adanya, memuji dibolehkan, akan tertapi masih dalam batasan dan tidak melebihkan. Bila
kita merujuk hadist di atas, seorang nabi saja tidak mau dipuji berlebihan. Rasulullah SAW
memerintahkan kepada yang dipuji untuk melindungi dirinya dari semua bahaya tersebut,
yaitu dengan cara melemparkan tanah kepada orang yang berlebihan dalam memujinya agar
dia berhenti dan tidak mengulanginya. Dalam Islam, bukan berarti melarang memuji orang,
keluaran, perkhidmatan dan iklan yang pantas untuk dipuji. Karenanya walau seseorang itu
harus atau pantas memuji maka hendaknya dia mengucapkan sesuai dengan apa yang
diajarkan oleh Rasulllah SAW, yaitu memuji sepantasnya

11. Memberikan jaminan untuk perkhidmatan kembali

Islam telah menginformasikan bahwa bila ingin memberikan hasil usaha baik berupa
produk maupun perkhidmatan hendaknya memberikan yang berkualitas, jangan memberikan
yang buruk atau tidak berkualitas kepada pengguna. Hal tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an
surah Al-Baqarah [2] ayat 267:

“Hai orang–orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebahagian dari hasil
usahamu yang baik–baik dan sebahagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk
kamu dan janganlah kamu memilih yang buruk–buruk lalu kamu nafkahkan darinya padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”

Dalam dunia periklanan, memberikan jaminan kepada pengguna haruslah menjadi


perhatian dan diiklankan. Karena jaminan untuk perkhidmatan kembali merupakan daya tarik
tersendiri oleh pengguna untuk mendapatkan suatu keluaran maupun perkhidmatan. Oleh
karena ia harus disampaikan oleh suatu iklan sebagai informasi kepada pengguna. Menurut
Duncan (dikutip Kesuma, Jurnal SHARE, 1, Januari- Juni 2012:78) pentingnya memberikan
perkhidmatan kembali yang berkualitas disebabkan perkhidmatan tidak hanya sebatas
mengantarkan atau melayani. perkhidmatan berarti mengerti, pahami, dan merasakan
sehingga penyampaiannyapun akan mengenai hati pengguna dan pada akhirnya
memperkokoh posisi dalam pikiran pengguna (positioning). Dengan adanya bahagian hati
dan pikiran yang tertanam, kesetiaan seorang pengguna pada keluaran atau perkhidmatan
tidak boleh diragukan lagi.

E. Konsep Pemasaran Periklanan Dalam Islam

Berdasarkan etika dan penerapan periklanan dalam Islam sebagaimana diterangkan di


atas, dapat di rumuskan konsep pemasaran periklanan berdasarkan ekonomi islam sebagai
berikut (Mutaqin, Jurnal Cahaya Aktiva, 3, Maret 2013:7)
1. Jenis dan Tujuan Iklan.

Jenis dan tujuan iklan dalam konsep periklanan konvensional ada tiga, yaitu fungsi
informatif, fungsi persuasif, dan fungsi pengingat. Di dalam konsep ekonomi islam, fungsi
persuasif , persuasif, dan pengingat iklan harus dilandasi oleh sifat shiddiq (kejujuran, benar)
dan amanah (tanggung jawab, dapat dipercaya, kredibilitas). Sifat ini merupakan manifestasi
dari prinsip nubuwwah yang menjadi salah satu pondasi bangunan ekonomi Islam.

2. Fungsi Iklan

Jika melihat tujuan iklan, maka iklan mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi informatif dan
fungsi transformatif. Dalam ekonomi islam, tidak mempermasalahkan fungsi informatif iklan,
dengan syarat dilandasi oleh sifat shiddiq dan amanah. Sedangkan fungsi transformatif iklan
berfungsi untuk mengubah sikap-sikap yang dimiliki konsumen terhadap merek, pola belanja,
gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses, dan sebagainya. Dari sisi produk, islam melarang
memperdagangkan produk yang haram, sehingga mengubah sikap konsumen terhadap sebuah
merek itu boleh saja, asalkan merek tersebut memang benar- benar sesuai dengan citra yang
dibangun pemasar (Shiddiq) serta tidak menghalalkan produk yang haram.

3. Tingkatan Iklan

Bedasarkan target yang ingin dicapai, iklan mempunyai tingkatan yaitu :

a). sekedar menginformasikan produk (dilakukan oleh iklan yang bersifat informatif),

b). merubah budaya massa (dilakukan oleh iklan yang bersifat transformatif).

Dalam pandangan ekonomi islam iklan informatif harus dilandasi oleh sifat shiddiq
(kejujuran), sedangkan iklan transformatif selain harus dilandasi oleh sifat shiddiq (kejujuran)
ia juga harus berada di dalam wilayah produk yang halal. Referensi Iklan Iklan. Dilihat dari
referensinya, iklan ada dua jenis, yaitu :

a). representasi, yaitu iklan yang memiliki referensi berupa realitas sosial.

b). simulasi (simulacrum), yaitu iklan yang tidak memiliki referensi dari realitas sosial.

Dalam ekonomi Islam, tidak mempermasalahkan apakah sebuah iklan itu memiliki
referensi berupa realitas sosial ataupun tidak. Akan tetapi iklan tersebut harus menerapkan
prinsip khilafah (pemerintahan) sebagaimana dalam pondasi bangunan ekonomi islam. Ketika
mengindahkan prinsip khilafah, maka sebuah iklan harus dibuat dalam rangka untuk
menciptakan kemashlahatan di muka bumi, karena hal inilah yang menjadi misi sebuah
khilafah, yaitu “ tasharruf al- imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah” (kebijakan
imam/ pemerintah terhadap rakyat didasarkan pada kemaslahatan).

4. Ideologi Iklan.

Iklan pada hakekatnya menjual ideologi konsumerisme dan hedonisme. Iklan


menawarkan kenikmatan-kenikmatan kepada konsumen akan produk yang diiklankan
(hedonisme). Ia menunjukkan kekurangan-kekurangan yang ada pada diri konsumen dalam
hubungannya dengan orang lain. Kekurangan-kekurangan ini dapat terpenuhi dengan
mengkonsumsi/ memakai produk yang diiklankan.

Dalam pandangan ekonomi Islam, sebagai makhluk budaya, manusia akan terus membuat
standar-standar tentang apa yang pantas dan tidak pantas dalam pergaulan sosial. Proses
inilah yang menjadikan tumbuhnya produsen- produsen yang berusaha memenuhi
kekurangan manusia dari dinamika standar tersebut

Oleh karena itu, islam menganut prinsip freedom to act, tetapi harus dilandasi oleh tauhid.
Sehingga ideologi yang dihembuskan iklan harus dalam batas- batas yang tidak merusak
tauhid manusia. Dalam hal ini, konsumen harus ditunjukkan akan kebutuhan hidup dan bukan
keinginan hidup yang menggiring kepada pola hidup konsumerisme dan hedonisme.

5. Bahasa Iklan

Bahasa adalah teks, dan teks adalah simbol yang menunjukkan objek, ide, ataupun
konsep. Dapat juga bahasa berisi pengalaman. Ide, obyek, konsep, ataupun pengalaman inilah
yang selanjutnya disebut sebagai makna. Makna sebuah teks ada dua, yaitu makna
denotatif (makna sebenarnya) dan makna konotatif (makna istilah, makna emosional).
Iklan sebagai sarana pembentuk image dituntut untuk menyuguhkan makna mendalam pada
waktu yang singkat. Hal ini tedapat pada makna konotatif, walaupun dalam sebuah iklan juga
mengandung makna denotasi. Makna konotatif memiliki makna yang lebih dalam, karena
memerlukan pemaknaan-pemaknaan khusus yang terhubung dengan pengalaman-
pengalaman manusia yang tersimpan dalam benaknya. Makna konotatif ini dapat difahami
ketika masing-masing pihak mempunyai pemahaman yang sama tentang citra yang
diinginkan.
Ekonomi Islam tidak mempermasalahkan apakah bahasa iklan mengandung makna
denotatif atau konotatif. Hal terpenting adalah bahasa iklan harus mencerminkan akhlak,
sehingga bahasa iklan tersebut berada dalam koridor mentaati norma-norma agama dan
susila, serta mencerminkan sifat shiddiq (kejujuran).

6. Penguat Citra Iklan

Penguat citra biasanya berupa pesan visual dalam periklanan. Penguat citra memiliki
makna yang mendalam, dan jika dibahasakan dalam bahasa verbal akan memerlukan
keterangan yang panjang. Penguat citra mengakibatkan bahasa iklan lebih fasih (bermakna
tajam dan mendalam), juga mengurangi durasi penayangan iklan, sehingga biayanya lebih
hemat. Di dalam ekonomi islam, ketentuan penguat citra adalah tidak boleh melanggar
prinsip tauhid, sehingga penguat citra yang mengandung unsur ma’siat (seperti gambar
perempuan yang mengumbar aurat) tidak diperbolehkan.

7. Dampak Iklan bagi Masyarakat

Dalam pandangan Islam, iklan harus berdampak pada kemashlahatan ummat. Ini
merupakan manifestasi dari prinsip khilafah dalam pondasi bangunan ekonomi Islam. Tujuan
ini dapat tercapai apabila para pengiklan tidak berfikir jangka pendek, yaitu untuk
menggiring konsumen membeli produk semata, sehingga iklan tersebut menabrak batas-batas
norma seperti merangsang remaja untuk mulai merokok, merangsang ibu-ibu untuk
mengganti ASInya dengan susu formula, dan sebagainya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Etika Pengaplikasian Periklanan ditinjau dari Rasulullah SAW yaitu dengan meneladani
perilaku rasul dengan ditambah sikap lain yaitu Shiddiq(jujur), Amanah (dipercaya),
Tabligh (Penyampaian yang baik), Fathanah (Pintar), dan Istiqomah (Konsisten)

Sementara Etika Periklanan dalam Al-Quran dan Hadist yaitu dengan menerapkan
perilaku jujur, tulus, amanah, profesional, adil, serta menegakkan nilai-nilai islam dalam
proses dan hasil dalam periklanan dan menjauhi segala perbuatan ataupun etika yang
bertentangan dengan nilai-nilai islam.

Penerapan periklanan dalam islam disimpulkan berdasakan tinjaun dari kehidupan rasul
dan sumber hokum islam yaitu Al-Quran dan Hadist, maka penerapannya yaitu: 1) Tauhid, 2)
Menggunakan pakaian yang menutup aurat, 3)Perjanjian yang tepat, 4)Keadilan, 5)Tidak
mencela, 6)Tidak mengandung unsur Fitnah, 7)Mengingatkan, 8)Amanah, 9)Kejujuran,
10)Tidak memuji berlebihan, 11) Memberikan jaminan perkhidmatan kembali.

B. Saran

Semoga dengan pembahasan makalah ini dapat menambah wawasan dan keilmuan dalam
pengaplikasian periklanan dalam islam serta dapat menerapkannya dalam kegiatan tertentu
dan dapat menerapkannya di kehidupan selain dalam periklanan serta menjaga etika islam
dalam setiap perilakunya sehingga terbentuklah seorang muslim yang berkualitas. Penyusun
berharap kepada pembaca untuk memberikan kritikan dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah berjudul “Aplikasi Periklanan dalam Konsep Islam” ini.
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, M. (2013). Etika Perilaku Periklanan Dalam Bisnis Islam. Jurnal Ekonomi Syariah
Indonesia, III(1), 37-48.
Djakfar, M. (2012). Etika Bisnis. Depok: Penebar Plus.
Fitriah, M. (2018). Komunikasi Pemasaran Melalui Desain Visual . Yogyakarta:
DEEPUBLISH.
Hanif, H. (2018). Landasan Syariah Dalam Etika Periklanan. Jurnal Bidang Kajian Islam,
IV(1), 84-96.
Kesuma, T. M. (2012). Prinsip dan Kriteria Periklanan Dari Perspektif Islam. Jurnal SHARE,
59-82.
Kriyantono, R. (2019). Pengantar Lengkap Ilmu Komunikasi Filsafat dan Etika Ilmunya
Serta Perspektif Islam (1 ed.). Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.
Muttaqin, A. (2013). Konsep Periklanan Dalam Ekonomi Islam. Jurnal Cahaya Aktiva,
III(1), 1-10.
Nurul Huda, K. H. (2017). Pemasaran Syariah Teori dan Aplikasi (1 ed.). Depok:
KENCANA.
Sula, H. K. (2006). Syariah Marketing. Bandung: Mizan .

Anda mungkin juga menyukai