Disususn oleh:
Kelompok 8
⮚ Muhammad Fatir
⮚ Ujang Sutisna
⮚ Fajarrudin Sidiq Abdillah
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur kita ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan karunianya kepada kami. Sehingga kami penyusun dapat menyelesaikan makalah,
dengan judul “Metode penetapan hukum melalui maqashid al-syar’i, dharurat, hajiyat dan
tahsiniyat”.
Makalah ini telah disusun dengan semaksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penyusun sampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karna itu kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
A. Pengertian Ijarah 5
B. Dasar Hukum 6
BAB III 9
PENUTUP 9
A. Kesimpulan 9
Daftar Pustaka 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlu diketahui Ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi
selain menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga juga melalui Ruh
Tasryi’ Ataumaqasid Syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadist-hadist
hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan
Sunnah.
Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode Istinbat Seperti Qiyas,
Istihsan, Maslahah Mursalah, Dan ‘Urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai Dalil.
Oleh karenanya, didalam makalah ini akan diuraikan mengenai, pengertian maqasid
syari’ah, peran maqashid syari’ah dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-
Syatibi, pengertian Al-Maslahah dalam hukum Islam, dan penerapan Al-Maslahah sebagai dalil
dan metodologi istinbat hukum.
Oleh karena hal di atasalah, sehingga saya memilih judul ini untuk saya kaji dan pahami
lebih dalam, bahwa selain al-qur’an dan hadist, ada landasan hukum lain yang bisa kita gunakan
demi mencapai yang namanya kemaslahatan hidup.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Maqashid Al-Syari’ah?
2. Bagaimana peranan Maqashid Al-Syari’ah dalam pengembangan hukum Islam?
3. Kemaslahatan sebagai tujuan syariat?
4. Bagaimana penerapan Al-Maslahah sebagai dalil & metodologi istinbat hukum?
C. Tujuan
Sebagai tujuan, diantaranya :
1. Sebagai persyaratan untuk melengkapi tugas selaku mahasiswa
2. Tujuan kedua adalah untuk memeberikan pemahaman yang lebih tentang materi ini
terkhusus untuk kami kelompok 8.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Manna al-Qattan yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang
disyari’atkan bagi hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Syari’ah
adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang
dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah:
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا
1. Memelihara Agama
Adapun defenisi dalam teminologi syari’at, al-din dimaknai sebagai ketentuan-ketentuan
Allah dalam mengendalikan hamba-Nya yang mempunyai akal sehat agar mampu
memilih jalan baik yang layak dimanfaatkan dalam kondisi apapun, baik untuk
kemaslahatan duniawi maupun ukhrawi.77 Tujauan dari pemeliharaan agama sebagai
wujud penyerahan diri ke dalam agama Allah dan syari’at yang terdapat dalam agama
tersebut berdasarkan wahyu yang diturunkan melalui Rasul-Nya SAW yang mengandung
nilai keimanan, ketauhidan dan seluruh aspek syari’at lainnya.
2. Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa yang dimaksud adalah memelihara semua hak jiwa untuk hidup,
selamat, sehat, terhormat dan hak-hak lain yang berkaitan dengan diri, Allah SWT
berfirman :
Artinya: Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut
mereka di darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang
sempurna. (al-Isra’: 70). Pemeliharaan jiwa mencakup segala kebutuhan pokok yang
dibutuhkan untuk mempertahankan hidup, hal ini terlihat dalam banyak ketentuan Allah
SWT untuk memenuhi hak-hak dasar manusia, seperti larangan membunuh dan adanya
qishash sebagai upaya preventif terjadinya tindak pembunuhan. Pemeliharaan jiwa juga
termasuk dalam larangan menyakiti orang lain, kehormatan manusia, begitupula dengan
hak untuk hidup bahagia.
3. Memelihara Akal
Memelihara akal merupakan salah satu tujuan dari syari’at islam, sehingga
keberadaannya menjadi syarat taklif dalam menjalankan agama ini. Upaya pemeliharan
akal ini terlihat dari kewajiban untuk menuntut ilmu yang merupakan modal paling utama
dalam memelihara kesehatan akal, selain itu, islam juga melarang untuk meminum
khamar yang berpotensi merusak akal.
4. Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan merupakan bagian dari tujuan dasar syari’at islam, dengan
menjaga garis keturunan (reproduksi) yang sesuai dengan garis syariat islam, yaitu
dengan adanya aturan pernikahan yang menata hubungan suami istri yang sah secara
syar’i.
5. Memelihara Harta
Memelihara harta yang dimaksud adalah terperliharanya hak-hak seseorang dalam
hartanya dari berbagai bentuk penzaliman, Allah berfirman :
Artinya : Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar
kamu memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, pada kamu mengetahui.
(al-Baqarah: 188).80 Makna lain dari memelihara harta bukan hanya pada batas
pemeliharan dari kerugian, kebinasaan dan kekurangan, tetapi juga masuk dalam upaya
roduktifitas dan produktifitas.
b. Hajiyat
Hajiyat adalah jenis kebutuhan untuk mempermudah dan mengangkat segala hal yang
dapat melahirkan kesulitan,81 namun tidak sampai ke tingkat dharuriy.82 Hajiyat juga
dapat diartikan dengan kebutuhan sekunder, di mana seandainya kebutuhan itu tidak
terpenuhi, tidak sampai merusak kehidupan, namun keberadaannya sangat dibutuhkan
untuk memberikan kemudahan dalam kehidupan manusia.
Dari segi penentapan hukum berdasarkan hajiyat, terbagi menjadi tiga:
1) ٌا َج ُو ةَ ِّد َمقُمvvِ بyaitu hal yang dibutuhkan untuk membantu pelaksanaan sesuatu yang
diperintkan oleh syari’at. Seperti mendirikan sekolah untuk menunjang aktifitas belajar
yang merupakan kewajiban manusia. Kebutuhan kepada sekolah ini dianggap besar,
namun ketiadaan sekolah tidak berarti terputusnya jalan untuk menuntut ilmu.
2) Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghindari secara tidak langsung pelanggaran-
penlanggaran agama yang bersifat dharuri, seperti dilarangnya berduaan sebagai
antisipasi terjadinya perbuatan zina yang merupakan pelanggaran bersifat dharuriy.
Secara teori tidaklah setiap kali berduaan (laki-perempuan) bearti akan terjadi
perzinahan, hanya saja hal itu dilarang untuk menutup kemungkinan terjadinya, dan
kepentingan dari adanya tindakan antisipasi ini berada pada tingkat hajiyat.
3) Segala bentuk kemudahan (rukhsat al-syar’iyyat) yang memberikan kelapangan bagi
kehidupan manusia. Pada hakikatnya ketiadaan rukhshah tidak akan menghilangkan
unsur dharuriy, namun manusia akan berada dalam kesulitan, maka dari itu keberadaan
rukhshah terdapat dalam semua aspek seperti ibadah, muamalah dan jinayah.
c. Tahsiniyat
Tahsiniyat berarti kebutuhan yang bersifat tresier, adapun tujuan dari keberadaannya
untuk memperindah kehidupan manusia, di mana tanpa adanya hal tersebut tidak berarti
merusak tatanan kehidupan manusia dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan,
keberadaannya berguna untuk menata akhlak dan pola interaksi manusia dalam
pergaualan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua paparan di atas, tampak bahwa maqashid al-syari'ah merupakan aspek
penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum Islam
itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat. Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-landasan yang kuat
dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup syari'ah yang bersifat universal. Ini juga
sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu selalu sesuai untuk setiap zaman dan pada setiap tempat.
Daftar Pustaka
Prof. DR. Rachma Syafe’i, MA. “Fiqh Muamalah”. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Halm.121-
122
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Halm.
153
Prof. Dr. H. Hendi Suhendi. “Fiqh Muamalah”. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Halm. 116-117
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, MA. “Fiqh Muamalat”. Jakarta: Prenadamedia Group,
2010. Halm. 278
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. “Fiqh Muamalat”. Jakarta: Amzah, 2015. Halm. 329-334
Ibid halm. 338