Anda di halaman 1dari 14

FIQIH MUAMALAT

“METODE PENETAPAN HUKUM MELALUI MAQASHID AL-SYAR’I,


DHARURAT, HAJIYAT DAN TAHSINIYAT”

Dosen Pembimbing: Ust. Ahmad Asrof Fitri S.H.I., M.E.Sy

Disususn oleh:

Kelompok 8

⮚ Muhammad Fatir
⮚ Ujang Sutisna
⮚ Fajarrudin Sidiq Abdillah

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM AL-ZAYTUN INDONESIA
2020-2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur kita ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan karunianya kepada kami. Sehingga kami penyusun dapat menyelesaikan makalah,
dengan judul “Metode penetapan hukum melalui maqashid al-syar’i, dharurat, hajiyat dan
tahsiniyat”.

Makalah ini telah disusun dengan semaksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penyusun sampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karna itu kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata penyusun berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I 4

PENDAHULUAN 4

A. Latar Belakang 4

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan 4

BAB II 5

PEMBAHASAN 5

A. Pengertian Ijarah 5

B. Dasar Hukum 6

C. Rukun dan Syarat Ijarah 6

D. Macam – Macam Ijarah dan Hukumnya 8

BAB III 9

PENUTUP 9

A. Kesimpulan 9

Daftar Pustaka 10
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perlu diketahui Ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi
selain menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga juga melalui Ruh
Tasryi’ Ataumaqasid Syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadist-hadist
hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan
Sunnah.
Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode Istinbat Seperti Qiyas,
Istihsan, Maslahah Mursalah, Dan ‘Urf  yang pada sisi lain juga disebut sebagai Dalil.
 Oleh karenanya, didalam makalah ini akan diuraikan mengenai, pengertian maqasid
syari’ah, peran maqashid syari’ah dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-
Syatibi, pengertian Al-Maslahah dalam hukum Islam, dan penerapan Al-Maslahah sebagai dalil
dan metodologi istinbat hukum.
Oleh karena hal di atasalah, sehingga saya memilih judul ini untuk saya kaji dan pahami
lebih dalam, bahwa selain al-qur’an dan hadist, ada landasan hukum lain yang bisa kita gunakan
demi mencapai yang namanya kemaslahatan hidup.

B. Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Maqashid Al-Syari’ah?
2.    Bagaimana peranan Maqashid Al-Syari’ah dalam pengembangan hukum Islam?
3.    Kemaslahatan sebagai tujuan syariat?
4.    Bagaimana penerapan Al-Maslahah sebagai dalil & metodologi istinbat hukum?

C. Tujuan
Sebagai tujuan, diantaranya :
1. Sebagai persyaratan untuk melengkapi tugas selaku mahasiswa
2. Tujuan kedua adalah untuk memeberikan pemahaman yang lebih tentang materi ini
terkhusus untuk kami kelompok 8.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah


Secara bahasa maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al
Syari’ah. Maqashid bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. Al-
Syari’ah diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber
air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sember pokok kehidupan.
Sedangkan syari’ah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang
membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar
hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Adapun secara istilah para ulama telah mendefenisikannya sebagai berikut:
1. Imam al-Ghazaly (450-505 H) mendefenisikannya sebagai al-mashlahat, yaitu penjelasan
yang mendasar tentang sesuatu, baik yang mendatangkan nilai manfaat atau
menghilangakan mudharat, dengan cara memelihara lima tujuan dasar pokok syari’at,
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka.

2. Imam al-Syatibiy (720-790 H) menyimpulkan bahwa maqashid al- syari’at merupakan


tujuan memelihara tujuan syari’at yang diturunkan kepada makhluk, agar tidak lari dari
tiga kepentingan dasar, yaitu dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Dan Allah mensyari’atkan
sesuatu bertujuan untuk melestarikan nilai kemaslahatan ukhrawiyah dan duniawiyah.

Menurut Manna al-Qattan yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang
disyari’atkan bagi hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Syari’ah
adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang
dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah:

‫هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا‬

“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam 


mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.
“ Jadi Maqasid al-syariah ialah tujuan al-syari’ ( allah swt dan rasulullah saw.) Dalam
menetapkan hukum islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dari nash al-Qur’an dan sunnah
rasulullah saw., sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada
kemaslahatan umat manusia.”
Bila kita mencermati semua kitabullah dan sunnah rasulullah saw. Yang terumus dalam
fiqh, akan terlihat semuanya mempunyai tujuan syariatnya. Semuanya untuk kemaslahataaan
manusia, sebagaimana dijelaskan dalam surah al-anbiya : 107
Artinya : Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.”
Rahmat yang dimaksud pada ayat diatas dimaksudkan adalah kemaslahatan untuk
semesta alam , termasuk didalamnya manusia. Hal ini diperkuat oleh pendapat abdul wahab
khalaf, bahwa tujuan syariat adalah, sebagai berikut :
“ Dan tujuan umum allah membuat hukum syariat adalah untuk merealisasikan segala
kemaslahatan manusia dalam memnuhi kebutuhannya yang bersifat dharuri (kebutuhan primer),
kebutuhan yang bersifat hajiyat (kebutuhan sekunder) dan kebutuhan yang bersifat tahsini
(kebutuhan tersier).”
Begitupun juga pendapat dari izzunuddin ibn abdi salam, bahwa tujuan syariat adalah :
“ Segala aturan syariah itu membawa kemaslahatan, adakalanya menghilangkan
mafsadat (kerusakan) dan mendatangkan maslahah (kebaikan).” Kemudian pendapat yang sama
dikemukakan oleh al-syatibi, yang juga mengatakan bahwa” kemaslahatan bagi manusia itu ada
3 tingkatan yaitu : kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, kebutuhan tahsiniyat.
B. Metode Penerapan Hukum Melalui Maqashid Al-Syari’ah dalam pengembangan
Hukum Islam

Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab


Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi
Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi
adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan
Sunnah secara kajian kebahasaan.
Metode Istinbat, seperti qiyas, istihsan,  dan  maslahah mursalah adalah metode-metode
pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah. Qiyas misalnya, baru bisa
dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya yang merupakan alasan logis
(‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS.
al-Maidah : 90).
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar...”
Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya
khamar ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian,
yang menjadi alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya,
sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya
memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat atau hadis
bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa
dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-
kannya yang dikenal dengan al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadist secara khusus yang akan di jadikan Al-Maqis ‘Alaih, tetapi
termasuk kedalam syariat secara umum untuk memelihara sekurang-kurangnya satu diantara
kebutuhan-kebutuhan tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah mursalah. Dalam kajian
ilmu ushul fiqhi, apa yang dianggap Maslahat bila sejalan atau tidak bertentangan dengan
petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan hukum yang dikenal
dengan Maslahat Mursalah.
Jika akan diketahui hukumnya itu ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas,
kemudian kerena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan
ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk
dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad
seperti ini dikenal dengan istihsan. Metode penetapan hukum melalui maqasid syari’ah dalam
praktik-praktik istinbat tersebut, yaitu praktik qiyas, istihsan, dan istislah (maslahah
mursalah), dan lainnya seperti istishab, sadd al-zari’ah, dan urf  (adat kebiasaan).disamping
sebagai metode penetapan hukum melalui maqasiq syari’ah juga oleh sebagian besar ulama
Ushul Fiqh disebut sebagai dalil-dalil pendukung.

C. Pembagian Maqashid al-Syari’at

1. Pembagian Maqashid al-Syari’at Dari Segi Fungsi Kemaslahatannya


Berdasarkan pada fungsi kemaslahatan, maqashid al-syari’at dapat dibagi sebagai berikut:
a. Dharuriyat
Yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang terkandung dalam syariat untuk menjaga lima tujuan
dasar; yaitu, menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Kemaslahatan ini dapat terlihat
baik dalam teks nash maupun melalui penalaran.
Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu,
jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah
membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang member rizki kepadamu dan kepada
mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang
tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan
alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. * Dan
janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,
sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu
berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat (mu) dan penuhilah janji Allah.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat. * dan sungguh, inilah jalan-Ku
yang lurus maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan jalan (yang lain) yang akan mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu
bertakwa. (al-An’am: 151-153).
Selain ayat di atas masih terdapat banyak ayat dan hadis yang menyatakan larangan
membunuh, berzina, syirik dan lain-lain yang mendukung keberadaan maslahat dharuriyat
ini.

1. Memelihara Agama
Adapun defenisi dalam teminologi syari’at, al-din dimaknai sebagai ketentuan-ketentuan
Allah dalam mengendalikan hamba-Nya yang mempunyai akal sehat agar mampu
memilih jalan baik yang layak dimanfaatkan dalam kondisi apapun, baik untuk
kemaslahatan duniawi maupun ukhrawi.77 Tujauan dari pemeliharaan agama sebagai
wujud penyerahan diri ke dalam agama Allah dan syari’at yang terdapat dalam agama
tersebut berdasarkan wahyu yang diturunkan melalui Rasul-Nya SAW yang mengandung
nilai keimanan, ketauhidan dan seluruh aspek syari’at lainnya.
2. Memelihara Jiwa
Memelihara jiwa yang dimaksud adalah memelihara semua hak jiwa untuk hidup,
selamat, sehat, terhormat dan hak-hak lain yang berkaitan dengan diri, Allah SWT
berfirman :
Artinya: Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut
mereka di darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang
sempurna. (al-Isra’: 70). Pemeliharaan jiwa mencakup segala kebutuhan pokok yang
dibutuhkan untuk mempertahankan hidup, hal ini terlihat dalam banyak ketentuan Allah
SWT untuk memenuhi hak-hak dasar manusia, seperti larangan membunuh dan adanya
qishash sebagai upaya preventif terjadinya tindak pembunuhan. Pemeliharaan jiwa juga
termasuk dalam larangan menyakiti orang lain, kehormatan manusia, begitupula dengan
hak untuk hidup bahagia.
3. Memelihara Akal
Memelihara akal merupakan salah satu tujuan dari syari’at islam, sehingga
keberadaannya menjadi syarat taklif dalam menjalankan agama ini. Upaya pemeliharan
akal ini terlihat dari kewajiban untuk menuntut ilmu yang merupakan modal paling utama
dalam memelihara kesehatan akal, selain itu, islam juga melarang untuk meminum
khamar yang berpotensi merusak akal.
4. Memelihara Keturunan
Memelihara keturunan merupakan bagian dari tujuan dasar syari’at islam, dengan
menjaga garis keturunan (reproduksi) yang sesuai dengan garis syariat islam, yaitu
dengan adanya aturan pernikahan yang menata hubungan suami istri yang sah secara
syar’i.

5. Memelihara Harta
Memelihara harta yang dimaksud adalah terperliharanya hak-hak seseorang dalam
hartanya dari berbagai bentuk penzaliman, Allah berfirman :
Artinya : Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar
kamu memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, pada kamu mengetahui.
(al-Baqarah: 188).80 Makna lain dari memelihara harta bukan hanya pada batas
pemeliharan dari kerugian, kebinasaan dan kekurangan, tetapi juga masuk dalam upaya
roduktifitas dan produktifitas.
b. Hajiyat
Hajiyat adalah jenis kebutuhan untuk mempermudah dan mengangkat segala hal yang
dapat melahirkan kesulitan,81 namun tidak sampai ke tingkat dharuriy.82 Hajiyat juga
dapat diartikan dengan kebutuhan sekunder, di mana seandainya kebutuhan itu tidak
terpenuhi, tidak sampai merusak kehidupan, namun keberadaannya sangat dibutuhkan
untuk memberikan kemudahan dalam kehidupan manusia.
Dari segi penentapan hukum berdasarkan hajiyat, terbagi menjadi tiga:
1) ٌ‫ا َج ُو ةَ ِّد َمقُم‬vvِ‫ ب‬yaitu hal yang dibutuhkan untuk membantu pelaksanaan sesuatu yang
diperintkan oleh syari’at. Seperti mendirikan sekolah untuk menunjang aktifitas belajar
yang merupakan kewajiban manusia. Kebutuhan kepada sekolah ini dianggap besar,
namun ketiadaan sekolah tidak berarti terputusnya jalan untuk menuntut ilmu.
2) Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghindari secara tidak langsung pelanggaran-
penlanggaran agama yang bersifat dharuri, seperti dilarangnya berduaan sebagai
antisipasi terjadinya perbuatan zina yang merupakan pelanggaran bersifat dharuriy.
Secara teori tidaklah setiap kali berduaan (laki-perempuan) bearti akan terjadi
perzinahan, hanya saja hal itu dilarang untuk menutup kemungkinan terjadinya, dan
kepentingan dari adanya tindakan antisipasi ini berada pada tingkat hajiyat.
3) Segala bentuk kemudahan (rukhsat al-syar’iyyat) yang memberikan kelapangan bagi
kehidupan manusia. Pada hakikatnya ketiadaan rukhshah tidak akan menghilangkan
unsur dharuriy, namun manusia akan berada dalam kesulitan, maka dari itu keberadaan
rukhshah terdapat dalam semua aspek seperti ibadah, muamalah dan jinayah.

c. Tahsiniyat
Tahsiniyat berarti kebutuhan yang bersifat tresier, adapun tujuan dari keberadaannya
untuk memperindah kehidupan manusia, di mana tanpa adanya hal tersebut tidak berarti
merusak tatanan kehidupan manusia dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan,
keberadaannya berguna untuk menata akhlak dan pola interaksi manusia dalam
pergaualan.

D. Penerapan Al-Maslahah sebagai dalil & Metodologi Istinbat Hukum

Sudah kita ketahui bahwasannya Jenis-Jenis Al-Maslahah ada tiga macam,


yaitu: Dhoruriyyah, Hajiyah dan Tahnisiyyah. Dari ketiga macam tersebut muncul beberapa
mabadi / prinsip-prinsip bersifat global yang telah dijadikan metode para ahli fiqh dalam mencari
istinbath hukum.
Dibawah ini adalah contoh dari prinsip-prinsip yang dimaksud :
1.    Ad-Dhororu Yuzaalu
“Wajib menghilangkan kerusakan yang telah terjadi"
Contoh: disyari’atkan konsep khiyar bagi akad yang memiliki kerusakan seperti khiyar
terhadap barang yang memiliki aib, begitu juga diwajibkan berobat bagi yang sakit.
2.    Darul Mafaasid Awlaa Min Jalbil Al-Manaafi
“Menolak terjadinya kerusakan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan
maslahah”
Contoh: diharamkan menjual semua jenis khamr walaupun dapat memberi keuntungan
ekonomi.
3.    Ad-Dhoruuroot Tubikhu Al-Makhdzurot
“dalam keadaan gawat darurat, diperbolehkan untuk melakukan hal yang dilarang”
Contoh: diperbolehkan bagi orang yang kelaparan di hutan belantara untuk memakan
bangkai atau barang yang diharamkan syara’ demi keberlangsungan hidupnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari semua paparan di atas, tampak bahwa maqashid al-syari'ah merupakan aspek
penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum Islam
itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang
terjadi di masyarakat. Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-landasan yang kuat
dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup syari'ah yang bersifat universal. Ini juga
sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu selalu sesuai untuk setiap zaman dan pada setiap tempat.
Daftar Pustaka
Prof. DR. Rachma Syafe’i, MA. “Fiqh Muamalah”. Bandung: Pustaka Setia, 2004. Halm.121-
122
Dimyauddin Djuwaini, “Pengantar Fiqh Muamalah”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Halm.
153
Prof. Dr. H. Hendi Suhendi. “Fiqh Muamalah”. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Halm. 116-117
Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, MA. “Fiqh Muamalat”. Jakarta: Prenadamedia Group,
2010. Halm. 278
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich. “Fiqh Muamalat”. Jakarta: Amzah, 2015. Halm. 329-334
Ibid halm. 338

Anda mungkin juga menyukai