Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS FT KOMPREHENSIF I

RSUD BATARA GURU

PENATALAKSAANAN FISIOTERAPI PADA KASUS NECK PAIN


NON-SPECIFIC

OLEH :

NADIA ZULMIA ARIS


PO714241171027
IV A D.IV FISIOTERAPI

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR


JURUSAN FISIOTERAPI
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus atas nama Nadia Zulmia Aris NIM: PO.71.4.241.17.1.027 dengan judul

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Neck Pain non-specific” telah disetujui untuk

diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan praktek klinik di RSUD

Batara Guru, Kab. Luwu, mulai tanggal 28 Desember 2020 – 27 Januari 2021.

Makassar, 1 Januari 2021

Mengetahui,

Clinical Educator Preceptor

Aladin, SST.Ft SPd.SSt.,Ft.M.Kes Suharto


NIP: 198106292005021002 NIP. 196704111990031002
Kata Pengantar

Segala  puji  hanya  milik  Allah SWT.  Shalawat  dan  salam  selalu tercurahkan

kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun  mampu 

menyelesaikan  laporan kasus ini guna memenuhi tugas mata kuliah FT Komprehensif

I/II. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis

hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak

lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala

yang penulis hadapi teratasi.

Laporan kasus ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Neck

Pain et causa Non-Specific” yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai

sumber informasi, referensi, dan berita. Laporan kasus ini di susun oleh penyusun

dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang

datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah

akhirnya laporan kasus ini dapat terselesaikan.

Semoga laporan kasus ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan

menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca. Saya sadar bahwa laporan kasus ini

masih banyak kekurangan.

Makassar, 1 Januari 2021

Nadia Zulmia Aris


Daftar Isi

Lembar Pengesahan...................................................................................................

Kata Pengantar...........................................................................................................i

Daftar Isi.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

BAB II TINJAUAN KASUS.....................................................................................3

A. Tinjauan Tentang Anatomi Fisiologi Cervical................................................3

B. Tinjauan Tentang Neck Pain...........................................................................9

B.1. Definisi Neck Pain...................................................................................9

B.2. Etiologi Neck Pain...................................................................................10

B.3. Patofisiologi Neck Pain............................................................................11

B.4. Gambaran Klinis Neck Pain.....................................................................13

C. Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi.......................................................14

C.1. Pengukuran Nyeri....................................................................................14

C.2. Pengukuran Kekuatan Otot......................................................................15

D. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi.........................................................16

D.1. Ultrasound................................................................................................16

D.2. Short Wave Diathermy............................................................................24

D.4. Hold Relax...............................................................................................25

D.5. Mobilisasi Scapula....................................................................................26

D.6. Myofascial Release Technique.................................................................33

BAB III PROSES ASSESSMEN FISIOTERAPI......................................................36

A. Identitas Pasien................................................................................................36
B. History Taking.................................................................................................36

C. Inspeksi/Observasi...........................................................................................36

D. Pemeriksaan/Pengukuran Fisioterapi..............................................................37

E. Diagnosa Fisioterapi (ICF-ICD) .....................................................................41

F. Problematik Fisioterapi....................................................................................41

BAB IV INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI......................................43

A. Rencana Intervensi Fisioterapi.........................................................................43

B. Strategi Intervensi Fisioterapi..........................................................................43

C. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi....................................................44

D. Edukasi dan Home Program............................................................................44

E. Evaluasi Fisioterapi..........................................................................................49

BAB V PEMBAHASAN...........................................................................................52

A. Pembahasan Assessment Fisioterapi...............................................................52

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi..................................................................53

BAB VI PENUTUP...................................................................................................55

A. Kesimpulan......................................................................................................55

B. Saran................................................................................................................55

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................56
BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri leher adalah salah satu kondisi muskuloskeletal yang

paling umum. Nyeri leher adalah nyeri yang dirasakan pada bagian atas

tulang belakang. Ini merupakan tanda bahwa sendi, otot, atau bagian lain

dari leher terluka, tegang, atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Nyeri leher adalah masalah yang umum ditemukan. Dua dari tiga orang

akan mengalaminya selama hidup.

Leher termasuk struktur yang kompleks dan sangat rentan

terhadap iritasi. Sepuluh persen dari semua orang akan mengalami nyeri

leher dalam 1 bulan. Potensi pembangkit nyeri termasuk tulang, otot,

ligament, sendi, dan diskus intervertebralis. Hampir setiap cedera atau

proses penyakit pada struktur leher atau yang berdekatan akan

menghasilkan spasme otot dan hilangnya gerak.

Sebuah studi menunjukkan prevalensi nyeri muskuloskeletal

pada leher di masyarakat selama 1 tahun besarnya 40% dan prevalensi

ini lebih tinggi pada wanita. Selama 1 tahun, prevalensi nyeri

muskuloskelatal di daerah leher pada pekerja besarnya berkisar antara 6-

76% dan wanita ternyata juga lebih tinggi dibandingkan pria.

Diagnosis diferensial dari nyeri leher sangat luas. Tidak ada

gangguan penyakit mendasar yang dapat diidentifikasi atau struktur


anatomi yang abnormal. Sebagian besar gejala bersumber dari

biomekanik, seperti nyeri leher aksial, whiplash-associated disorder

(WAD) grade 1 dan 2 (Haldeman et al. 2008), dan radikulopati. Suatu

akar saraf mungkin diiritasi atau dikompresi oleh : 1. Penonjolan tulang

atau osteofit yang tumbuh keluar melalui jalur saraf, 2. Penonjolan

bagian dari diskus yang terletak di depan saraf, 3. Herniasi nukleus

pulposus melalui bagian luar annulus, 4. Fraktur atau cedera yang

menyebabkan fragmen tulang yang yang mempersempit atau menekan

saluran saraf

Perjalanan penyakit non spesific neck pain masih belum jelas.

Meskipun sering sembuh sendiri dalam beberapa minggu, namun hal ini

sangat membatasi fungsional sehari-hari, menyebabkan medis yang

substansial dan mengakibatkan nyeri yang berkepanjangan. Sebagai

konsekuensinya, ini menempatkan  beban berat pada individu,

pengusaha dan layanan perawatan kesehatan (Borghouts dkk. 1999; 

Guez dkk. 2002; Côté dkk. 2003; Binder 2007). 


BAB II
TINJAUAN KASUS

A. Tinjauan Tentang Anatomi Fisiologi Cervical

Servikal I-VII

Vertebra servikal I juga disebut atlas, pada dasarnya berbeda dengan lainnya

karena tidak mempunyai corpus vertebra oleh karena pada atlas dilukiskan adanya

arcus anterior terdapat permukaan sendi, fovea, vertebralis, berjalan melalui arcus

posterior untuk lewatan arcus posterior untuk lewatnya arteri vertebralis.

Vertebra servikal II juga disebut aksis, berbeda dengan vertebra servikal ke-3

sampai ke-6 karena adanya dens atau processus odontoid. Pada permukaan cranial

corpus aksis memiliki tonjolan seperti gigi, dens yang ujungnya bulat, aspek dentis.

Vertebra servikal III-V processus spinosus bercabang dua. Foramen

transversarium membagi processus transversus menjadi tuberculum anterior dan

posterior. Lateral foramen transversarium terdapat sulcus nervi spinalis, didahului

oleh nervi spinalis.

Vertebra servikal VI perbedaan dengan vertebra servikal I sampai dengan


servikal V adalah tuberculum caroticum, karena dekat dengan arteri carotico.

Vertebra servikal VII merupakan processus spinosus yang besar, yang biasanya

dapat diraba sebagai processus spinosus columna vertebralis yang tertinggi, oleh

karena itu dinamakan vertebra prominens (Syaifuddin, 2003).

Ligamentum

Ligamentum adalah pita jaringan fibrosa yang kuat dan berfungsi untuk

mengikat serta menyatukan tulang atau bagian lain atau untuk menyangga suatu

organ (Snell, 2006).

a. Ligamentum longitudinal anterior

Ligamentum longitudinal anterior merupakan suatu serabut yang

membentuk pita lebar dan tebal serta kuat, yang melekat pada bagian corpus

vertebra, dimulai dari sebelah anterior corpus vertebrae cervicalis II (yang

meluas ke kepala pada os occipitale pars basilaris dan tuberculum anterior

atlantis) dan memanjang ke bawah sampai bagian atas depan fascies pelvina

os sacrum. Ligamen longitudinal anterior ini lebih tebal pada bagian depan

corpus karena mengisi kecekungan corpus. Ligamen longitudinal anterior ini

berfungsi untuk membatasi gerakan extensi columna vertebralis. Dimana

daerah lumbal akibat berat tubuh akan mengalami penambahan lengkungan

pada vertebra columna didaerah lumbal.


b. Ligamentum longitudinal posterior

Ligamentum longitudinal posterior berada pada permukaan posterior corpus

vertebrae sehingga dia berada di sebelah depan canalis vertebralis.

Ligamentum ini melekat pada corpus vertebra servikal II dan memanjang

kebawah os sacrum. Ligamentum ini diatas discus intervertebralis diantara

kedua vertebra yang berbatasan akan melebar, sedangkan dibelakang corpus

vertebra akan menyempit sehingga akan membentuk rigi. Ligamentum ini

berfungsi seperti ligamentum-ligamentum lain pada bagian posterior

vertebra colum, yaitu membatasi gerakan ke arah fleksi dan membantu

memfiksasi dan memegang dalam posisi yang betul dari suatu posisis

reduksi ke arah hyperextensi, terutama pada daerah thorakal.

c. Ligamentum intertransversarium

Ligamentum intertransversarium melekat antara processus transversus dua

vertebra yang berdekatan. Ligamentum ini berfungsi mengunci persendian

sehingga membentuk membuat stabilnya persendiaan.


d. Ligamentum flavum

Ligamentum flavum merupakan suatu jaringan elastis dan berwarna kuning,

berbentuk pita yang melekat mulai dari permukaan anterior tepi bawah suatu

lamina, kemudian memanjang ke bawah melekat pada bagian atas

permukaan posterior lamina yang berikutnya. Ligamentum flavum ini di

daerah servikal tipis akan tetapi di daerah thorakal ligamentum ini agak

tebal. Ligamentum ini akan menutup foramen intervertebral untuk lewatnya

arteri, vena serta nervus intervertebral. Adapun fungsi ligamentum ini adalah

untuk memperkuat hubungan antara vertebra yang berbatasan.

e. Ligamentum interspinale

Ligamentum interspinale merupakan suatu membran yang tipis melekat

pada tepi bawah processus suatu vertebra menuju ke tepi atas processus

vertebra yang berikutnya. Ligamentum ini berhubunganm dengan

ligamentum supra spinosus dan ligamentum ini didaerah lumbal semakin

sempit.

Otot pada Leher


Otot yang terdapat pada leher terdiri dari otot sternocleidomastoideus

origonya terletak pada processus mastoideus dan linea nuchae superior, insersio

Pada incisura jugularis sterni dan articulation sternoclavicularis, fungsi rotasi,

lateral flexi, kontraksi bilateral mengangkat kepala dan membantu pernapasan

bila kepal difixasi inervasi nervus accessorius dan plexus servikal (C1 dan C2)

(Daniel, S. Wibowo, 2005).

Otot scaleni terbagi atas 3 serabut, yang pertama otot scalenus anterior,

origo pada tuberculum anterius processus transversus vertebra cervicalis III

sampai VI, insersio pada tuberculum scaleni anterior, inervasi plexus brachialis

(C5-C7) dan berfungsi menarik costa I, menekuk leher ke latero anterior dan

menekuk leher ke anterior. Yang kedua otot scalenus medius origo terletak pada

tuberculum posterior processus transversus vertebra cervicalis II sampai dengan

VII, insersio pada costa I di belakang sulcus a.subclavicula dan kedalam

membran intercostalis externa dari spatium intercostalis I, inervasi plexus

cervicalis dan brachialis (C4-C8) dan berfungsi mengangkat costa I dan

menekuk leher ke lateral costa I. Yang terakhir otot scalenus posterior origo

terletak pada processus transversus vertebra cervicalis V sampai VII, insersio

pada permukaan lateral costa II, inervasi plexus brachialis ( C7-C8) dan

berfungsi fleksi leher, membantu rotasi leher dan kepala serta mengangkat costa

I (Daniel, S. Wibowo, 2005).


Otot trapezius dibagi menjadi 3 serabut yaitu yang pertama pars

descendens origo berasal dari linea nuchae superior, protuberantia occipitalis

externa dan ligamentum nuchea, insersio pada sepertiga lateral clavicula,

berfungsi untuk melakukan gerakan adduksi dan retraksi dan menginervasi

nervus accessorius dan rami trapezius (C2- C4). Otot pars tranversa origo

berasal dari servikal, insersio pada sepertiga lateral clavicula, berfungsi untuk

melakukan gerakan adduksi dsn retraksi. dan menginervasi nervus accessorius

dan rami trapezius (C2-C4). Yang ketiga pars ascendens origo berasal dari

vertebra thoracalis III sampai XII, dari processus spinosus dan ligamentum

supraspinasum, insersio pada trigonum spinale dan bagian spina scapulae yang

berdekatan, berfungsi untuk menarik ke bawah (depresi) dan menginervasi

nervus accessorius dan rami trapezius (C2-C4) (Daniel, S. Wibowo, 2005).

Otot levator scapula origo terletak pada tuberculum posterior processus

transversus vertebra cervicalis I sampai IV, insersio pada angulus superior

scapula, berfungsi mengangkat scapula sambil memutar angulus inferior ke

medial dan menginervasi nervus dorsalis scapulae (C4-C8). Otot ini difungsikan

untuk mengangkat pinggir medial scapula. Bila bekerja sama dengan serabut

tengah otot trapezius dan rhomboideus, otot ini menarik scapula ke medial dan

atas, yakni pada gerakan menjepit bagu ke belakang (Daniel, S. Wibowo, 2005).
Otot longus colli kira-kira membentuk segitiga karena terdiri atas tiga

kelompok serabut. Fungsinya : untuk membengkokkan servikal ke depan dan ke

samping. Inervasinya plexus cervicalis dan brachialis (C2- C8). Otot longus colli

terdiri dari 3 serabut, yang pertama serabut oblique superior origonya berasal

dari tuberculum anterius processus transversus vertebra cervicalis II sampai V

dan insersio pada tuberculum anterior atlas. Yang kedua serabut oblique inferior,

origo berjalan dari corpus vertebra thoracalis I sampai III dan insersio pada

tuberculum anterius vertebra cervicalis VI. Dan yang terakhir serabut medial,

origo terbentang dari corpus vertebra thoracalis bagian atas dan vertebra

cervicalis bagian bawah insersio pada corpus vertebra cervicalis bagian atas

(Daniel, S. Wibowo, 2005).

Otot longus capitis origo terletak pada tuberculum anterius processus

transversus vertebra cervicalis III sampai VI, insersio pada bagian basal os

occipital berfungsi membentuk gerakan flexi, Lateral flexi dan menginervasi

plexus cervicalis (C1-C4) (Daniel, S. Wibowo, 2005).

B. Tinjauan Tentang Neck Pain

B.1. Definisi Neck Pain

Nyeri leher non spesifik yaitu nyeri leher yang tidak menyebar sampai
anggota gerak atas, nyeri berlokasi pada leher area oksipital atau dasar

tengkorak sampai bahu bagian belakang. Nyeri leher mekanik atau nyeri

leher non spesifik dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain postur

yang salah, dan gerakan yang berlebihan. Keluhan yang dirasakan pada

umumnya adalah sakit di daerah leher dan kaku, nyeri pada otot-otot leher

dapat juga terjadi sakit kepala dan migrain. Hal ini dapat menimbulkan

ketidaknyamanan, penurunan kualitas hidup, dan penurunan aktivitas kerja

pada individu (Elisabeth, 2009).

Nyeri leher non spesifik disebut juga nyeri leher mekanikal merupakan

nyeri leher yang disebabkan oleh kebiasaan postur yang buruk dalam jangka

waktu yang lama dan berulang. Kebiasaan postur yang buruk tersebut dapat

menimbulkan tekanan abnormal dan strain pada otot-otot yang seharusnya

menstabilkan dan mengontrol kepala (Dreyer dan Boden, 1998).

Non-spesific neck pain merupakan gangguan umum yang sering terjadi

pada berbagai populasi, dan secara khas digambarkan sebagai nyeri lokal

atau non-radikular pain dengan intensitas nyeri meningkat saat terjadi

gerakan pada cervical (Green et al., 2004). Sumber gejala dari non-spesific

neck pain khususnya berasal dari zygapophyseal joint atau uncovertebral

joint pada cervical, dan umumnya menyebabkan keterbatasan gerak ke

segala arah terutama gerak rotasi, lateral fleksi dan ekstensi cervical (de-las-

Penas et al., 2007).

Nyeri leher non spesifik merupakan keluhan yang paling banyak terjadi

pada pekerja terutama para pekerja yang dalam jangka waktu lama dan

berulang-ulang melakukan postur tertentu, nyeri leher yang dialami oleh


pekerja sering kali melibatkan gangguan pada sistem muskuloskeletal, nyeri

leher ini menurut proses patofisiologinya termasuk nyeri leher mekanik atau

nyeri leher axial atau sering disebut sebagai nyeri leher non spesifik,

dikatakan non spesifik karena tidak ada penyakit atau kelainan struktural

anatomi yang mendasarinya. Gejala yang sering menyertai nyeri leher non

spesifik ini seperi rasa kaku pada leher bisa satu sisi atau kedua sisi leher,

nyeri dirasakan sampai ke kepala, nyeri leher non spesifik murni disebabkan

oleh struktur otot-otot atau sistem muskuloskeletal di leher dan sering

berhubungan dengan postur tubuh atau posisi leher yang salah saat bekerja,

beban kerja otot leher yang berlebihan dalam jangka waktu tertentu (Binder,

2007; Lars, 2011; Giannoula dkk., 2013).

B.2. Etiologi Neck Pain

Neck pain dapat diakibatkan oleh banyak hal. Penyebab tersering neck

pain adalah akibat biomekanik seperti axial neck pain, whiplash-associated

disorder (WAD), dan cervical radiculopathy sedangkan penyebab lainnya

adalah akibat cervical myelopathy seperti penekanan korda spinalis, infeksi,

neoplasma, rematik, torticollis, ccervical dystonia, dan major trauma. Neck

pain tanpa alasan yang spesifik dan jelas dapat disebut sebagai nonspecific

neck pain (NSNP). Nonspecific neck pain merupakan salah satu neck pain

yang sering terjadi, yaitu 27-48% pekerja per tahun mengalami nonspecific

neck pain.

Salah satu penyebab tersering nyeri leher non spesifik adalah kontraksi

berlebihan pada otot leher, hal ini terjadi karena postur yang kurang baik

atau salah posisi saat tidur, hal ini juga dapat terjadi karena seseorang
bertahan pada satu posisi tertentu dalam jangka waktu yang lama, misalnya

membungkuk pada saat bekerja. Sakit leher mungkin berasal dari salah satu

struktur peka nyeri di leher termasuk tulang vertebra, ligamen (anterior dan

posterior ligamen longitudinal), akar saraf, dan kapsul, otot, dan duramater,

struktur lain dari daerah leher, viseral dan struktur somatik (Keshawi dkk.,

2008; Challote dkk., 2008).

Penyebab potensial dari nyeri leher adalah adanya tekanan pada jaringan

lunak, tulang, atau sendi pada area cervikal. Pada beberapa kasus dapat pula

diakibatkan trauma hiperekstensi atau whisplash injury, overuse dengan

menunduk terlalu lama saat bekerja (Hudaya, 2009).

B.3. Patofisiologi Neck Pain

Nyeri leher timbul sebagai akibat dari beberapa faktor yang saling

mempengaruhi, kontraksi otot leher, postur tubuh dan posisi leher saat kerja

serta durasi atau lama posisi leher dalam posisi tertentu dapat menyebabkan

timbulnya nyeri leher. Mekanisme ini secara kimiawi diikuti dengan

penurunan glutathione (GSH) sehingga menyebabkan kenaikan dari reactive

oxygen species (ROS) dan merangsang aktivasi dari transient receptor

potential cation channel subfamily 1 (TRPV1) atau reseptor capsaicin yang

pada akhirnya mengaktivasi reseptor nosiseptik pada otot rangka dileher dan

menimbulkan sensasi sensoris yang tidak nyaman berupa nyeri leher,

peregangan dapat meningkatkan biogenesis energi dalam mitokondria,

meningkatkan aktivasi antioksidan dan meningkatkan kalsium lokal pada sel

otot. Peningkatan aktivitas biogenesis energi pada mitokondria dapat

meningkatkan glutathione (GSH), peningkatan antioksidan menekan


peningkatan ROS dan kalsium lokal yang meningkat menekan proliferasi

mikrotubulus otot-otot leher sehingga NADPH (Nicotinamide Adenine

Dinucleotide Phosphate) oxidase dan ROS menurun sehingga aktivasi

reseptor nyeri ditekan dan nyeri leher dapat berkurang (Saleet, 2014).

Proses terjadinya neck pain dapat berawal dari postur buruk kemudian

terjadi pergerakan kedepan di bagian leher, sehingga pusat pembebanan

berada di leher. Pembebanan tersebut dapat mengakibatkan kerja berlebih

pada otot leher bagian stabilisasi, sehingga terjadi postural stress. Postural

stress yang berlangsung lama dan di lakukan secara terus menerus membuat

tekanan pada leher meningkat, sehingga membuat otot leher kaku. Kekakuan

otot akan mengurangi lingkup gerak sendi sehingga dapat mengiritasi

jaringan lunak di sekitar otot yang kaku pada leher. Proses tersebut

menghasilkan nyeri pada leher (Morrison, 2011).

Nyeri leher non spesifik biasanya terjadi karena kebiasaan postural yang

buruk. Nyeri leher juga dapat disebabkan oleh adanya injuri minor atau

adanya injuri pada otot atau ligamen pada leher. Nyeri leher pada umumnya

dialami oleh orang-orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya

bekerja dengan duduk dalam posisi forward head posture (Ahmed, 2012).

Nyeri leher dapat terjadi oleh karena berbagai faktor. Nyeri leher dapat

terjadi akibat tersensitisasinya free nerve ending di otot leher. Proses nyeri

pada otot terjadi akibat proses kimiawi maupun mekanik karena free nerve

ending bekerja sebagai unit mechanonociceptive dan chemonociceptive.

Nyeri akibat proses kimiawi dapat terjadi karena kelelahan, trauma, dan

iskemik pada otot. Kelelahan otot akan memicu metabolisme anaerobik yang
akhirnya akan mengakibatkan akumulasi metabolit pada otot yang kemudian

akan merangsang chemonociceptive sedangakn trauma dan iskemia akan

melepaskan mediator seperti bradykinin, histamine, serotonin, dan natrium

yang kemudian akan merangsang chemonociceptive. Proses mekanik yang

memicu nyeri dapat ditimbulkan dari peregangan ataupun tekanan pada otot

sehingga merangsang mechanonociceptive (Rao, 2003).

B.4. Gambaran klinis Neck Pain

Gejala-gejala nyeri leher antara lain terasa sakit di daearah leher dan

kaku, nyeri otot-otot leher yang terdapat disekitar leher dan nyeri kepala,

otot-otot leher menjadi tegang bila disentuh terasa sakit dan keras, kadang

nyeri yang dirasakan sampai menjalar ke bahu, lengan, dan kepala, nyeri

yang tiba-tiba dan terus menerus dapat menyebabkan bentuk leher yang

abnormal, kepala menghadap kesisi yang tidak nyeri yang sering disebut

tortikolis. Nyeri leher yang disertai keluhan yang lain seperti rasa kesemutan

atau baal, kelemahan anggota gerak lengan perlu mendapat perhatian yang

serius dan pemeriksaaan yang lebih mendalam untuk menentukan penyebab

dan terapi selanjutnya (Samara, 2007; Anderson dkk., 2011).

Gejala yang ditimbulkan akibat nyeri pada leher adalah berupa

ketegangan otot atau spasme di daerah leher yang mengakibatkan

keterbatasan gerak leher sehingga fungsional leher akan terhambat.

C. Tinjauan Tentang Assesment dan Pengukuran Fisioterapi

C.1. Pengukuran Nyeri

Nyeri adalah perasaan majemuk yang bersifat subyektif, yang disertai

perasaan tidak enak, pedis dan dingin, rasa tertekan dengan ngilu, pegal dan
sebagainya. Sebagai akibat dari adanya stimulasi ataupun trauma dari dalam

dan dari luar neuromuscular system, yang mengakibatkan terangsangnya

nociceptor pada saraf perifer diatas nilai ambang rangsang yang diteruskan ke

korteks cerebri kemudian diterjemahkan dalam bentuk nyeri dengan bentuk dan

kualitas rangsang yang berbeda.

Terdapat beberapa alat ukur yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri,

antara lain: Visual Analogue Scale (VAS), Verbal Rating Scale (VRS),

Numerical Rating Scale (NRS), dan masih banyak alat ukur lainnya. VAS

merupakan sistem pengukuran nyeri yang lebih sensitif dibandingkan metode-

metode lain. VAS terdiri dari sebuah garis lurus yang horizontal sepanjang 10

cm yang tidak diberikan pembagian skala. Awal garis menunjukkan tidak ada

nyeri sedangkan akhir garis menunjukan nyeri tidak tertahankan. Pasien

diminta untuk menandai di sepanjang garis tersebut sesuai dengan level

intensitas nyeri yang dirasakan pasien (ukuran centimeter), dengan skala 0–10.

Skor menunjukkan level intensitas nyeri pasien dan dijadikan evaluasi

kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya (Australian Physiotherapy

Association, 2016).
C.2. Pengukuran Kekuatan Otot

Manual muscle testing (MMT) adalah suatu usaha untuk menentukan /

mengetahui kemampuan seseorang dalam mengontraksikan otot/group ototnya

secara voluntary. Penggunaan MMT bertujuan untuk membantu menegakan

diagnoss, menentukan jenis-jenis terapi latihan yang harus di berikan,

menentukan jenisjenis alat bantu yang diperlukan oleh pasien dan menentukan

prognosis (Mardiman Sri. dkk, 2002).

Tabel Nilai Manual Muscle Testing (MMT) (Daniel & Worthinghams, 2013)

Nilai Keadaan Fungsi Otot


0 Zero (Tidak terdapat kontraksi)
1 Trace Activity (Hanya terdapat kontraksi otot)
2 Poor (Ada pergerakan, tidak mampu melawan gaya gravitasi)
3 Fair (Ada pergerakan, hanya dapat mengatasi gaya gravitasi)
4 Good (Mampu melawan gravitasi dan melawan sedikit tahanan)
5 Normal (Mampu melawan gravitasi dan melawan tahanan yang

maksimal)

D. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi

Program intervensi fisioterapi hanya dapat direncanakan setelah melakukan

assessment. Adapun treatment yang bisa digunakan dalam kondisi ini, adalah

sebagai berikut:

1) Ultrasound

a. Pengertian

Ultrasound adalah modalitas terapeutik yang biasa digunakan untuk

memperbaiki ekstensibilitas jaringan ikat, termasuk mengatasi jaringan

parut, memfasilitasi penurunan nyeri pada cedera muskuloskeletal, serta


meningkatkan penyembuhan jaringan dan remodeling dalam intervensi

pada tendinopati. Terdapat bukti yang jelas dari beberapa penelitian

terhadap hewan yang menunjukkan bahwa ultrasound memiliki beberapa

efek positif terhadap karakteristik jaringan ikat, nyeri dan inflamasi

jaringan, serta penyembuhan (Susan et al, 2012).

Ultrasound adalah gelombang berfrekuensi tinggi yang yang dapat

terdekteksi oleh telinga manusia. Frekuensi ultrasound medis di AS adalah

500.000 hingga 5.000.00 Hz ( 0,5 hingga 5 MHz). gelombang ultrasound

dihasilkan oleh Kristal keramik piezoelektrik (biasanya disebut timbale

zirkonat titanata) yang di pasang pada pada aplikator atau transduser yang

menghantarkan gelombang tersebut ke pasien ( Karen and Kathy,2014).

b. Prinsip Fisika Dasar

Ultrasound adalah bentuk akustik, atau suara, energi. Gelombang

suara adalah gelombang tekanan mekanikal. Tidak seperti transmisi energy

elektromagnetik, di mana beberapa partikel seperti foton atau elektron dapat

berjalan tanpa hambatan melalui sebuah vakuum, yakni transmisi energi

akustik yang membutuhkan media seperti gel ketika mengobati jaringan

manusia (Susan et al, 2012).

Gelombang suara berjalan secara mekanikal yang menghasilkan

perubahan atau vibrasi molekul. Suatu molekul yang tervibrasi akan

bertabrakan dengan molekul disekitarnya, sehingga gerakan molekul

disekitarnya menimbulkan transfer energi. Reaksi rantai molekul ini

berlanjut terus sampai menyebar ke seluruh komponen jaringan dan sampai

energi dilepaskan (yaitu diabsorbsi jaringan). Molekul yang berdekatan


saling bertabrakan lebih cepat daripada molekul yang tersebar luas. Hal ini

berarti bahwa energi suara bergerak lebih cepat melalui jaringan

penghubung yang padat, seperti tendon dan tulang. Meskipun demikian,

energi lebih cepat hilang, mengatasi tahanan yang besar terhadap vibrasi

molekular pada komponen jaringan lebih padat (Susan et al, 2012).

Jumlah osilasi yang dialami molekul selama 1 detik menunjukkan

frekuensi gelombang suara yang diukur dalam hertz (Hz): 1 Hz = 1

siklus/detik; 1 MHz = 1 juta siklus/detik. Rentang suara yang dapat

didengar oleh manusia berkisar antara 16 dan 20.000 Hz. Energi suara pada

frekuensi yang lebih besar dari 20.000 Hz didefinisikan sebagai ultrasound

(Susan et al, 2012).

Pada umumnya, gelombang suara frekuensi rendah menyebar ke

seluruh arah sebagaimana meninggalkan sumber energi, menyerupai cahaya

dari api yang menyala. Pada frekuensi yang tinggi, gelombang suara lebih

fokus, kurang menyebar sebagaimana meninggalkan sumber energi,

menyerupai cahaya senter. Beberapa frekuensi yang digunakan untuk

peralatan ultrasound therapy menghasilkan gelombang silinder yang

terfokus (Susan et al, 2012).

Gelombang suara bergerak dalam pola sinusoidal saat gelombang

berjalan melalui suatu medium. Suatu fase tekanan positif, dimana molekul

yang berdekatan dengan sumber energi terkompresi secara bersamaan,

diikuti oleh fase tekanan negatif, dimana molekul didaerah yang sama

terlepas. Sebagaimana gelombang menyebar, beberapa molekul tambahan

mengalami compression dan dispersion. Area compression atau kepadatan


molekular yang meningkat disebut sebagai kondensasi, dan daerah

kepadatan molekul yang menurun disebut sebagai rarefactions (Susan et al,

2012).

Gambar 2.1 Diagram gelombang fokus ultrasound


Sumber : Susan et al (2012)
c. Karakteristik Gelombang Ultrasound

Ultrasound memiliki karakteristik berdasarkan frekuensi, bentuk, dan

intensitas.

1) Frekuensi : 1 Atau 3 Mhz

2) Bentuk : Gelombang Continuous Atau Pulsed

3) Intensitas : Watts/Cm2

d. Efek Ultrasound Sebagai Dasar Penggunaan Terapeutik

1) Efek Termal Dari Ultrasound

Ketika jaringan mengabsorbsi energi ultrasound maka energi

kinetik meningkat, gesekan antara molekul-molekul menghasilkan

produksi panas. Bergantung pada intensitas dan durasi waktu ultrasound

yang diterapkan dan sifat fisik jaringan tersebut, suatu peningkatan suhu

jaringan dapat terjadi. Peningkatan suhu jaringan berhubungan dengan

perubahan potensial fisiologis yang diinginkan, seperti penurunan

muscle guarding (spasme otot), penurunan persepsi nyeri, peningkatan


extensibilitas jaringan, dan peningkatan aliran darah. Karena ultrasound

dikategorikan sebagai "modalitas deep heating," perubahan fisiologis

yang sama ini biasanya dianggap sebagai efek, meskipun

pengobatannya tidak langsung. Dengan demikian, hal penting dalam

realisasi bahwa untuk menghasilkan efek thermal, maka harus terjadi

peningkatan suhu jaringan spesifik. Lehman dan rekannya melaporkan

bahwa kenaikan suhu jaringan 1°C (1,8°F) dapat meningkatkan tingkat

metabolisme. Peningkatan suhu dengan kisaran 2°C (3,6°F) sampai 3°C

(5,4°F) dapat menurunkan spasme otot dan nyeri serta meningkatkan

aliran darah, dan kenaikan suhu 4°C (7,2°F) atau lebih besar diperlukan

untuk memicu terjadinya extensibilitas jaringan kolagen dan

menginhibisi aktivitas saraf simpati (Susan et al, 2012).

Namun, selain dari produksi panas akibat gesekan molekul,

ultrasound therapy juga diduga dapat menyebabkan efek mekanikal

lainnya pada jaringan. Beberapa ion di dalam dan di sekitar sel, serta

cairan intraseluler dan ekstraselular pada jaringan yang terpapar energi

ultrasound, mengalami beberapa gerakan kecil. Aliran gelombang

ultrasound tersebut disebut sebagai microstreaming dan telah

menunjukkan perubahan permeabilitas membran sel dan aktivitas

seluler yang ditemukan saat mengaplikasikan intensitas ultrasound

therapy. Gelembung gas-gas yang kecil dapat terjadi pada cairan tubuh

yang terpapar gelombang ultrasound yang menimbulkan kompresi

selama kondensasi dan ekspansi selama rarefaction. Pulsasi gelembung

gas ini disebut cavitation dan dapat menyebabkan perubahan diffusi


melewati membran sel sehingga mengubah fungsi seluler. Pada

intensitas ultrasound yang tinggi, terjadi kolaps yang hebat atau ledakan

kuat gelembung gas yang menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan.

Hal ini disebut sebagai unstabil cavitation dan sangat tidak diinginkan

terjadi selama aplikasi intensitas ultrasound (Susan et al, 2012).

Efek non thermal ultrasound dihasilkan oleh bentuk continuous

dan pulsed ultrasound, tetapi umumnya pulsed ultrasound digunakan

untuk efek mekanikal ini, mencakup stable cavitation dan acoustic

streaming.

2) Efek Nonthermal Dari Ultrasound

Secara sederhana, cavitation berkaitan dengan formasi gas yang

mengisi suatu space didalam jaringan dan cairan tubuh. Rongga (cavity)

yang terbentuk berperan untuk meningkatkan fenomena acoustic

streaming sehingga menghasilkan efek yang bermanfaat. Acoustic

streaming adalah pusaran air skala kecil didekat struktur yang bergetar

seperti membran sel dan pada permukaan stable cavitation dimana

fenomena ini dapat mempengaruhi kecepatan difusi dan permeabilitas

membran (Susan et al, 2012).

Permeabilitas ion sodium berubah akibat adanya perubahan

potensial membran sel. Transportasi ion kalsium dimodifikasi sehingga

menyebabkan perubahan mekanisme kontrol enzim didalam proses

metabolik yang beragam, khususnya yang berkaitan dengan sintesis

protein dan sekresi seluler. Adanya efek stable cavitation dan acoustic
streaming menyebabkan membran sel teraktivasi yang meningkatkan

level aktivitas dari seluruh sel, hal inilah yang dipicu oleh energi

ultrasound (Wiliam, 2003).

a) Efek pada otot

b) Jaringan Penghubung (Tendon / Ligamentum)

c) Efek terhadap nyeri sendi

d) Efek hemodinamik

e) Efek Posttraumatic: Bengkak dan Perbaikan Jaringan

Tabel 2.1
Rasional Penggunaan US selama penyembuhan luka/cidera

Fase Penyembuhan Rasional


Penggunaan US
Fase Inflamasi US dapat
merangsang
pelepasan
growth factor
(level 5 evidence
based)
Angiogenesis
dapat difasilitasi
dengan Pulsed
Ultrasound
(level 5 evidence
based)
Menurunkan
inflamasi
melalui
transmisi
obat-obatan
transcutaneus
(Phono phoresis)
Fase Proliferatif Angiogenesis dapat
difasilitasi oleh
Pulsed
Ultrasound
(level 5 evidence
based)
Fibroplasia
dapat difasilitasi
oleh Pulsed
Ultrasound
(level 5 evidence
based)
Fase Remodeling Penggunaan US dengan continuous
Memperbaiki dapat meningkatkan suhu jaringan
extensibilitas jaringan Efek terhadap jaringan scar (butuh
penghubung evidence based)

e. Kontraindikasi dan Indikasi Ultrasound

Dengan pemilihan parameter yang tepat, ultrasound terapeutik dapat

menjadi efektif meningkatkan suhu jaringan yang sementara atau aliran

darah di area pengobatan yang kecil. Ultrasound dengan intensitas rendah

dapat menjadi indikasi untuk memfasilitasi penyembuhan jaringan.

Parameter atau petunjuk pemilihan dosis yang tepat dapat memfasilitasi

penyembuhan jaringan. Adapun indikasi ultrasound therapy adalah :

a) Sebagai modalitas deep heating maka indikasinya adalah :

1) Kontraktur sendi dan jaringan parut (scar tissue)

2) Nyeri dan spasme otot

3) Inflamasi jaringan lunak subacute atau kronik (ketika suhu jaringan

meningkat atau diinginkan peningkatan aliran darah)


b) Untuk memfasilitasi penyembuhan, maka indikasinya adalah :

1) Cidera akut atau inflamasi jaringan lunak

2) Cidera akut atau inflamasi jaringan saraf

3) Luka terbuka

4) Fraktur (menggunakan peralatan khusus)

Parameter pemilihan dosis ultrasound selama fase

penyembuhan jaringan adalah durasi waktu 5 menit dengan area

pengobatan 1,5 sampai 2 kali ERA, sebagai berikut :

a) Fase inflamasi : Pulsed 20%, intensitas sampai 1,0 W/cm2.

b) Fase proliferasi : Pulsed 20% sampai 50%, intensitas sampai 1,0

W/cm2.

c) Fase remodeling : continuous ultrasound, intensitas sampai 1,5

W/cm2.

Sedangkan kontraindikasi ultrasound therapy adalah :

1) Pada regio cardiac pacemaker.

2) Pada regio di atas pelvic, abdominal atau regio lumbal selama

kehamilan.

3) Pada regio perdarahan aktif atau infeksi.


4) P ada regio tumor/ malignancy.

5) Pada regio deep vein thrombosis atau thrombophlebitis.

6) Di atas jantung, stellate cell, atau ganglia cervical.

7) Di atas epiphyseal plate dari pertumbuhan tulang.

2) Short Wave Diathermy

Merupakan alat terapi yang menggunakan energi magnetik yang dihasilkan

oleh arus bolak-balik frekuensi tinggi. Frekuensi yang dihasilkan pada pemakaian

SWD adalah 13,66 MHz, 27,33 MHz dan 40,98 MHz. Dengan panjang

gelombang yang sesuai adalah 22 meter, 11 meter, dan 7,5 meter. Secara umum

untuk maksut pengobatan frekuensi SWD yang sering digunakan adalah 27,33

MHz dengan panjang gelombang 11 meter (Agus S, 2001).

Efek fisiologis dari pemberian terapi panas antara lain : (1) meningkatkan

metabolisme sel, (2) meningkatkan elastisitas jaringan ikat dan otot, (3)

meningkatkan ambang rangsang dan konduktifitas saraf, (4) vasodilatasi

pembuluh darah.

Sedangkan efek terapeutik yang didapat antara lain (1) mempercepat

penyembuhan luka secara fisiologis, (2) menurunkan nyeri, (3) persiapan latihan

dengan peningkatan elastisitas jaringan, (4) konduktifitas jaringan saraf akan

membaik dengan adanya perbaikaan pada elastisitas dan treshold jaringan saraf

itu sendiri.
Gambar 2.2 Short Wave Diathermy

3) Hold Relax

Terapi latihan merupakan suatu penggunaan gaya pergerakan yang spesifik

untuk meningkatkan kapasitas fungsional yang ada di dalam sistem tubuh. Salah

satu jenis terapi latihan yaitu dengan hold relax. Hold relax adalah suatu bentuk

terapi latihan dimana otot atau grup otot antagonis yang memendek

dikontraksikan secara isometric dengan kuat dan optimal dan kemudian diikuti

dengan rileksasi otot atau grup otot (prinsip reciproke inhibition) dengan

tujuannya adalah perbaikan rileksasi pola antagonis, perbaikan mobilisasi, dan

penurunan nyeri (Beckers, 1990).

Hold relax adalah teknik yang menggunakan pola gerak fleksi abduksi-

eksorotasi dan ekstensi abduksi-eksorotasi serta menggunakan kontraksi

isometrik dari otot antagonis, di mana pasien harus melawan tahanan yang diberi

terapis pada pola antagonis tanpa disertai adanya gerakan dan dipertahankan

selama 5-6 detik. Kemudian digerakkan ke arah pola agonis dan pertahankan

selama 10 sampai 15 detik. Untuk mengawali penguluran selanjutnya, harus ada

rileksasi selama 20 sampai 30 detik.


Gambar 2.1 Hold Relax

4) Mobilisasi Scapula

a. pengertian

Pemilihan dan perkembangan teknik mobilisasi dan manipulasi dari kontak

awal dengan pasien ke kontak terakhir harus:

1) Inklusif, didorong oleh pasien dan terutama didasarkan pada

tindakan bijak (Butler 2000) yang diambil dari semua informasi

klinis yang tersedia dan diperoleh.

2) Berdasarkan penilaian yang sehat, handal, dan terperinci serta

penilaian kembali efek pengobatan terhadap tanda dan gejala

terkait gerakan pasien

3) Dipertimbangkan dalam terang sifat kondisi dan panggung dalam

sejarah alaminya di mana ia menyajikan

4) Dipengaruhi oleh semua faktor yang berkontribusi potensial,

tindakan pencegahan dan hambatan potensial untuk pemulihan

alami gangguan
5) Diintegrasikan ke dalam apa yang cukup sering gangguan

multikomponen, gerakan terkait multidimensi

6) Realistis dalam pandangan faktor-faktor yang mungkin

menyarankan prognosis yang menguntungkan atau tidak

menguntungkan (Maitland et al, 2001), yaitu kondisi yang

diharapkan dapat merespon dengan baik mobilisasi dan kondisi

yang mungkin sulit untuk membantu dan alasan mengapa hal ini

mungkin terjadi.

7) Dipertimbangkan sesuai dengan keadaan masing-masing pasien,

yaitu pendekatan yang fleksibel dan inventif untuk melakukan

teknik mobilisasi harus menjadi pilihan. Pembatasan gerakan

spesifik, yang diperagakan secara fungsional, atau urutan unik

dari cedera gerakan mungkin menuntut agar teknik yang

dilakukan cerdik dan dilakukan dengan cara yang unik.

8) Berjuang di atas semua untuk mencapai efek yang diinginkan.

Jika teknik yang dilakukan mencapai efek yang diinginkan dan

selama prinsip-prinsip umum seleksi dan perkembangan

dipertimbangkan, tidak mungkin ada cara yang salah untuk

melakukan teknik mobilisasi dan kemungkinan untuk pemilihan

dan perkembangan tidak akan terbatas (Elly and kevin, 2005 ).

Teknik yang dilakukan dalam mobilisasi scapula yaitu :

a) Distraction

b) Superior glide
c) Inferior glide

d) Upward dan downward rotation (Donatelli,2011)

b. Asymetrical scapular malposition

Lima peran skapula telah dijelaskan:

1) Menjadi bagian yang stabil dari artikulasi glenohumeral

2) Retraksi dan protraksi di sepanjang dinding toraks

3) Elevasi akromion

4) Menjadi dasar untuk perlekatan otot

5) Berfungsi sebagai penghubung pengiriman energi proksimal ke

urutan distal

Kinematika skapular normal diperlukan untuk gerakan

ekstremitas atas yang optimal. Glenoid harus terus diposisikan untuk

berkorelasi dengan humerus yang bergerak untuk mempertahankan sendi

glenohumeral yang stabil. Scapula malposisi telah difungsikan untuk

menempatkan tuntutan yang lebih besar pada kapsul anterior.

Kemampuan scapula untuk menarik kembali menempatkan ekstremitas

atas dalam posisi “full tank of energy” untuk melempar, dan kemampuan

scapula untuk mengikuti humerus yang bergerak sambil menyediakan

platform yang stabil. Elevasi akromion meningkatkan ruang subakromial

untuk mencegah impingement rotator cuff. Dalam bidang skapular pada

gerakan aktif, rotasi ke atas telah dilaporkan menjadi 50 (-SD 4.80),

memiringkan posterior pada sumbu medial ke lateral adalah 30 (–SD

130), dan rotasi eksternal di sekitar sumbu vertikal adalah 24 (–SD 12.80)
Penentuan posisi scapula juga telah dikatakan dalam pola gerakan

abduksi dan adduksi horizontal yang tidak dominan, serta gerakan-

gerakan maneuver.

Skapula malposisi ini disebabkan oleh akronim dan sikap

scapula: (1) skapula, (2) infera, (3) coracoid, dan (4) diskinesis. Skapula

sakit adalah sindrom kelelahan otot yang berlebihan sehingga

bermanifestasi secara klinis dengan tiga komponen utama. Pertama,

scapula turun atau lebih rendah jika dibandingkan dengan scapula tidak

dominan. Kedua, scapula berkepanjangan atau terletak lebih jauh ke

lateral dari tulang belakang bila dibandingkan dengan scapula lainnya .

Ketiga, scapula memiliki peningkatan abduksi atau sudut yang lebih

besar dari tulang belakang ke batas scapula medial bila dibandingkan

dengan scapula yang satunya.

Gejala yang biasanya dialami seseorang yang berhubungan

dengan skapula:

a) Nyeri terletak pada aspek medial coracoid

b) Nyeri terletak pada aspek medial superior scapula

c) Ruang subakromial yang menyakitkan

d) Sendi acromioclavicular yang menyakitkan

e) Gejala keluar toraks atau nyeri radikuler

Dengan gerakan overhand berulang, sifat restriktif dari struktur

tendon yang pendek ini mendorong tendinopati yang menghasilkan

coracoid medial yang menyakitkan.


Gambar : 2.2 Asymetrical scapula

Gambar 2.3 mobilisasi scapula

Nyeri terletak pada bagian superior-medial scapula dalam

skapula malposisi pada penyisipan levator scapula, upper rhomboids ,

dan upper trapezius . Karena otot-otot kontrol skapular ini berasal dari

tulang belakang yang pada dasarnya tetap, mereka diharuskan untuk

berfungsi dalam pola gerakan nyeri yang terlalu tegang ke dalam muscle

belly. Paling sering, indikator kunci dalam urutan ini adalah nyeri leher

posterior pada sisi dominan. Diskinesis scapula adalah penyebab utama,

dan intervensi harus dirancang untuk memperbaiki malposisi scapula

untuk mengatasi gejala leher posterior (Donatelli, 2011).


c. Efek terapeutik

Mobilisasi skapular dapat memecah adhesi dan melepaskan otot-

otot sehingga pergerakan skapular dapat ditingkatkan. Peningkatan

gerakan bahu mungkin juga terkait dengan peningkatan gerakan

skapular. Ditemukan bahwa sendi glenohumeral dan skapulothoracic

berada dalam rantai kinematik tertutup. Peneliti berasumsi bahwa jika

mobilisasi glenohumeral meningkatkan gerakan bahu dan menormalkan

ritme scapulohumeral. mobilisasi skapular harus meningkatkan gerakan

bahu, sehingga terkait dengan temuan peneliti tentang hubungan antara

bahu dan skapula (Yamuna Amnan, 2018).

Mobilisasi skapular telah terbukti menjadi teknik perawatan yang efektif

untuk meningkatkan mobilitas bahu pada pasien dengan capsulitis

adhesif30, 32). Studi yang sesuai menggunakan prosedur mobilisasi

skapula, seperti gliding superior dan caudal, rotasi ke atas dan ke bawah,

dan gangguan skapula dari toraks dengan pasien berbaring di sisi yang

tidak terpengaruh. Surenkok et al. 30) telah menyarankan bahwa

peningkatan gerakan skapula mungkin karena disintegrasi dan pelepasan

adhesi pada otot scapulothoracic yang disebabkan oleh mobilisasi

skapula. Peningkatan gerakan skapular ini dapat merupakan mekanisme

untuk meningkatkan gerakan bahu. Teknik gangguan terbalik, yang

diusulkan oleh Stenvers17) dan kemudian digunakan oleh

Vermeulen24), berbeda dari teknik mobilisasi skapula dalam luncuran

yang diterapkan pada skapula dalam arah rotasi medial dan ke bawah,

bersama dengan gangguan lateral pada sudut elevasi yang diinginkan ke


humerus di

sendi glenohumeral, dengan pasien berbaring di sisi yang tidak terkena

(Agarwal Surabhi 2016).

d. Metode intervensi

Mobilisasi scapula adalah salah satu gerakan pasif khusus, yang

dimana bertujuan mengembalikan artrokinematika dan osteokinematika

dari gerakan sendi. Mobilisasi yang dimaksud articulations, oscillations,

distractions, and thrust techniques. Pada mobilisasi ini gerakan pasif

yang dirancang untuk meningkatkan jaringan lunak dan mobilitas sendi.

Adapun macam-macam gerakan pada mobilisasi scapula adalah :

1. scapulothoracic movement medial rotation

2. Scapulothoracic movement lateral rotation

e. Indikasi dan kontraindikasi

1) Indikasi

a) Untuk memperkuat rasa posisi proprioceptive dari skapula

untuk meningkatkan efektivitas stabilisasi skapula fungsional.

b) Kekakuan pada frozen shoulder

c) Post fraktur

d) Dalam hubungannya dengan mobilisasi tulang rusuk untuk

meningkatkan mobilitas keseluruhan kompleks bahu (Elly

and Kevin, 2005)

2) Kontraindikasi

a) Terdapat hipermobilitas atau ketidakstabilan sendi


b) Terdapat peradangan atau efusi sendi

c) Jika secara medis tidak stabil

d) Terdapat nyeri akut yang memburuk dengan upaya berulang

e) Radikulopati akut (Cristhoper, 2015).

5) Myofascial Release technique

a. Definisi

Myofascial release technique adalah teknik manual terapi berupa massage

untuk peregangan pada fascia (Whisler, 2012). Terapi ini berperan untuk

meregangkan atau memajangkan struktur fascia dan otot dengan tujuan

mengurangi nyeri, memulihkan kualitas dari jaringan fascia, mobilitas

jaringan dan fungsi normal sendi (Riggs dan Grant, 2008). Konsep

myofascial release yaitu meregangkan fascia karena adanya kontraksi otot

yang berlebih, saat melakukan myofascial release maka serabut elastin akan

terulur atau meregang sehingga meningkatkan fleksibilitas pada otot dan

dapat mengurangi nyeri (Werenski, 2011).

b. Mekanisme Myofascial Release

Ketika terjadi penguluran, maka serabut otot akan terulur penuh melebihi

panjang serabut otot itu dalam posisi normal. Ketika penguluran terjadi,

serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur akan diubah posisinya

sehingga posisinya akan menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang

diterima (Dewi, 2016). Pergerakan fascia yang terjadi pada myofascial release

dipengaruhi oleh 2 sumber yaitu, stretching terjadi ketika tangan fisioterapis

menyentuh ketegangan pada fascia dan memberikan tekanan, maka saat itu
dihantarkan sensoris pada fascia untuk menguangi ketegangan pada fascia.

Yang kedua pasien itu sendiri dengan cara mengarahkan gerakan yang bisa

mempengaruhi keadaan otot baik dia menjadi terstretching atau rileks

(Stanborough, 2004). Untuk memudahkan melakukan myofascial releas

dengan menekan ketegangan pada fascia yang dirasakan, maka palpasi dari

fisioterapis sangat diperlukan, tekanan yang diberikan tidak kuat, bahkan

tidak memerlukan tenaga dari fisioterapis tapi memanfaatkan berat badan

sebagai tekanan pasien, tekanan juga bisa dilakuakan dengan ibu jari, jari

tangam, siku di sesuaikan pada area yang akan di release (Stanborough,

2004).

c. Indikasi

1) Adanya ketegangan jaringan lunak, perlengketan jaringan parut dari

sprain, strain, dan overuse

2) Fibromyalgia dan nyeri myofascial sindrom

3) Myofascitis terutama pada facitis plantaris

4) Low back pain

5) Nyeri leher atau sakit kepala dan keteganggan otot.

d. Kontraindikasi

1) Cedera akut

2) Selulitis yaitu infeksi bakteri yang berpotensi serius pada kulit

3) Deep vain thrombosis

4) Fraktur tulang (lokal)

5) Tumor (lokal dan persetujuan pengobatan)

6) Osteoporosis terutama di bagian tulang rusuk dan belakang


Gambar 2.5 Myofascial Release Technique

BAB III
PROSES ASSESSMEN FISIOTERAPI

A. Identitas Pasien

Nama pasien : Ny. M

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 43 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : PNS

Alamat :-

B. History Taking

1. Anamnesis

a. Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan utama nyeri pada leher dan

pundak sebelah kiri.

b. Riwayat Perjalanan Penyakit: Pasien datang ke klinik fisioterapi dengan

keluhan nyeri leher dirasakan sampai ke kepala. Dialami sejak 3 bulan lalu.

Pasien sudah menjalani pengobatan Medika Mentosa namun tidak memberikan

hasil yang maksimal

c. Riwayat penyakit: -
2. Pemeriksaan Vital sign

 TD : -

 Nadi : -

 Suhu : -

 RR : -

C. Inspeksi/observasi

1. Statis

Bahu kanan pasien tampak lebih naik, dan terlihat asimetris, spasme pada

imbalance muscel menyebabkan bahu naik sesisi dan tidak asimetris

2. Dinamis

Forward postur, pasien tidak mampu menoleh kekanan dan tidak mampu

melihat keatas.

D. Pemeriksaan/Pengukuran Fisioterapi

1. Pemeriksaan fungsi dasar

Gerakan Aktif Pasif TIMT


Fleksi Nyeri diakhir Ada nyeri, ROM Tidak ada nyeri,

gerakan, Full terbatas, elastic dapat melawan

ROM endfeel tahanan


Ekstensi Nyeri, ROM Nyeri, ROM Ada nyeri,

terbatas terbatas, firm minimal tahanan

endfeel
Rotasi kiri Tidak Nyeri, Nyeri, ROM Tidak nyeri, dapat

Full ROM terbatas, firm melawan tahanan

endfeel
Rotasi kanan Nyeri, ROM Tidak ada nyeri, Ada nyeri,

terbatas Full ROM, tissue minimal tahanan


stretch endfeel
Lateral Fleksi Tidak ada nyeri, Nyeri, ROM Tidak ada nyeri,

kiri Full ROM terbatas, firm dapat melawan

endfeel tahanan
Lateral Fleksi Nyeri, ROM Ada nyeri, ROM Ada nyeri,

kanan terbatas full, elastic minimal tahanan

endfeel

2. Pemeriksaan spesifik dan pengukuran fisioterapi

 Palpasi

Palpasi merupakan cara pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan

memegang organ atau bagian tubuh pasien dimana untuk mengetahui adanya

nyeri tekan, spasme otot, suhu local, tonus otot, dan oedema. Dilakukan

palpasi dan menunjukkan hasil :

Tight pada otot trapezius, elevator scapula, scaleni, sternocledpmastoid,

subscapularis, dan otot rhomboid menyebabkan bahu naik sesisi dan terlihat

asimetris, nyeri gerak pada saat lateral fleksi dekstra dan ekstensi cervical.

 Tes panjang otot

a. M. Upper Trapezius

Teknik: Pasien dalam posisi tidur terlentang dan tangan kiri berada

dibawah kepala dan tangan yang satunya memberikan dorongan pada

shoulder.

Hasil: (+) Spasm

b. M. Levator Scapula

Teknik: Pasien dalam posisi tidur terlentang dan tangan kiri berada dibawah
kepala dan tangan yang satunya memberikan dorongan pada shoulder.

Hasil: (+) Spasme

c. Sternocledomastoideus

Teknik ; Pasien dalam posisi tidur terlentang dan tangan kiri berada dibawah

kepala dan tangan yang satunya memberikan dorongan pada shoulder atau

Pasien duduk dan melakukan rotasi kiri sesuai dengan letak nyeri.

Hasil : (+) Spasme

e. Scaleni

Teknik : Pasien duduk dan melakukan rotasi kiri dan elevasi sesuai dengan

letak nyeri. atau meletakkan tangan pada tulang rusuk pertama dan

melakukan elevasi secara manual dan meinginstruksikan pasien untuk

melakukan rotasi kepada sisi nyeri yang berlawanan.

Hasil : (+) Spasme

f. Rhomboid Major

Teknik : posisi pasien terlentang melakukan palpasi dengan memegang

scapula dan melakukan putaran dengan menekan rongga glenoid yang

telah ditekan. Bisa pula dengan melakukan retratksi.

Hasil : (+) Spasme

g. Subscapularis

Teknik : Pasien posisi duduk secara nyaman dengan melakukan manual rotasi

internal shoulder.

Hasil : (+) Spasme

Pengukuran
 Visual Analog Scale (VAS)

Keterangan Nilai nyeri/Nilai Normal

Nyeri diam 3

Nyeri tekan 6

Nyeri gerak 5

Keterangan:

0 : Tidak nyeri

1-3 : Sedikit nyeri

4-8 : Nyeri sedang

9.10 : Sangat nyeri

 Kekuatan otot (MMT)

Otot extensor neck mengalami kelemahan (Nilai 4)

Grade MMT

Nilai 0 : Tidak ada kontraksi atau tonus otot sama sekali.

Nilai 1: Terdapat kontraksi atau tonus otot tetapi tidak ada gerakan sama

sekali.

Nilai 2: Mampu melakukan gerakan namun belum bisa melawan garvitasi.

Nilai 3: Mampu bergerak dengan lingkup gerak sendi secara penuh dan

melawan gravitasi tetapi belum bisa melawan tahanan minimal.

Nilai 4: Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dan dapat melawan tahanan

sedang.
Nilai 5: Mampu melawan gravitasi dan mampu melawan tahanan maksimal.

 Luas gerak sendi (ROM) test

ROM

GERAKAN HASIL NORMA

L
Fleksi – Ekstensi 90 - 0 - 40 90°- 0°- 70°
Lateral fleksi kanan – kiri 45 - 0 - 20 45°- 0°- 45°

Rotasi kanan – kiri 90 - 0 - 50 90°- 0°- 90°

Hasil : Terbatas pada gerakan ekstensi, lateral fleksi kiri, dan rotasi kiri

E. Diagnosa fisioterapi (ICF-ICD)

“Gangguan Gerak Fungsi Nyeri Leher dan Bahu akibat Non-Specific Neck Pain”

F. Problematik fisioterapi

a. Impairment

1) Anatomical impairment

 Adanya spasme pada otot pada elevator scapula, upper trapezius,

scaleni, sternocledomastoideus, subscapularis, rhomboid.

 Forward postur

2) Functional impairment

 Keterbatasan gerakan ekstensi dan lateral fleksi cervical

 Nyeri pada leher dan bahu sebelah kiri

 Kelemahan otot

b. Activity limitation

 Tidak dapat menoleh ke kiri


 Kesulitan pada saat beribadah

c. Participation restriction

 Keterbatasan dalam bekerja


BAB IV
INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan jangka panjang: Mengembalikan aktivitas fungsional pasien dalam

melakukan aktivitas menoleh dan melihat ke atas serta saat beribadah.

2. Tujuan jangka pendek : Mengurangi nyeri serta memperbaiki keterbatasan

gerakan dan memperkuat kekuatan otot

B. Strategi Intervensi Fisoterapi


No Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Jenis Intervensi
C.
.
1. Impairment :
 Adanya spasme pada otot  Untuk  US

 Forward postur mengurangi  SWD

 Facet joint dysfunction spasme  Myofascial

 Keterbatasan gerakan  Untuk Release

ekstensi dan lateral fleksi mengurangi Technique

cervical nyeri  Stretching

 Nyeri pada leher dan  Meningkatka Hold Relax

pundak sebelah kiri n kekuatan

 Kelemahan otot otot dan LGS

 Memperbaiki

postur
2. Activitiy Limitation :
 Tidak dapat menoleh ke kiri Mengurangi  US

 Kesulitan pada saat nyeri dan  SWD

beribadah memperbaiki  Myofascial


aktivitas Release
fungsional leher Technique
pada saat  Stretching
menoleh dan Hold Relax
melakukan

aktivitas ibadah.
3. Participation Restriction
 Keterbatasan dalam bekerja Mengembalikan  Stretching

aktivitas bekerja Hold Relax

terutama dalam

mengatasi nyeri

otot.
Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi

No. Problematik Jenis Intervensi Pelaksanaan Dosis


1. Nyeri tekan dan nyeri 1. US 1) Pemberian US F : Setiap kali

gerak pada otot Upper pada pasien dalam terapi (1

Trapezius, Levator posisi tidur MHz),


Scapula, Scaleni, terlentang di bed. pulse ratio
Sternocledomastoideus
Pastikan posisi 100%
, Rhomboid,
pasien senyaman
I : 0,8 – 1
Subscapularis dan
mungkin.
nyeri gerak. w/cm2
2) Persiapkan alat US
ERA
yang akan
T : 5 cm
digunakan.

3) Teknik pelaksanaan : T : 8 menit

Terapis

memberitakan

kepada pasien

bahwa proses US

akan dimulai dan

dilakukan sesuai

dengan prosedur.

Setelah Terapi

memberitahukan

kepada pasien

bahwa proses terapi


telah selesai dan

membersihkan area

yang telah diterapi.

3. SWD 1) Pemberian SWD F : 27,12

pada pasien dalam MHz

posisi duduk di T : 5-15 menit

chair. Pastikan

posisi pasien

senyaman mungkin.

(jika ada logam

yang digunakan

pasien maka harus

dilepaskan)

2) Persiapkan SWD

yang akan

digunakan.

3) Teknik

Pelaksanaan:

memberitakan

kepada pasien

bahwa proses SWD

akan dmulai dan

dilakukan sesuai

dengan prosedur.
Setelah terapi

memberitahukan

kepada pasien

bahwa proses terapi

telah selesai dan

memberikan area

yang telah diterapi.

2. Keterbatasan luas 1. Myofascial Posisi pasien: Supine F : 2 set

gerak sendi Release lying. Posisi I : 8x/repetisi


Technique fisioterapis : Berdiri di
T : 2 menit
sebelah ujung kepala

pasien.

Posisi tangan

fisioterapis : Jari-jari

fisioterapis berada

pada bagian yang

mengalami spasme

dan memberikan

tarikan.
2. Stretching F : 2 set

Hold Relax dan


I : 8x/repetisi
Mobilisisasi Posisi pasien : Pasien

Scapula duduk senyaman


mungkin T : 2 Menit

Posisi fisioterapis :

Duduk disebelah

kepala pasien

Posisi tangan

fisioterapis : Tangan

kiri berada pada

temporal pasien dan

tangan kiri berada

diatas bahu pasien

Teknik pelaksanaan :

Fiksasi bagian

shoulder dengan

menyangga kepala

pasien, selanjutnya

lakukan gerakan

lateral fleksi secara

pasif dan minta pasien

untuk mendepresikan

shoulder secara aktif

dan dibantu oleh

fisioterapis.
D. Edukasi dan Home Program

1. Hindari pergerakan yang mendadak atau tekanan berlebih

2. Hindari duduk lama berlebihan, serta menggunakan komputer dengan lama.

3. Tidur menggunakan kasur yang cukup kuat menyangga berat badan, terutama di

bahu dan bokong agar tulang belakang pada posisi anatomis

4. Ketahui berat benda yang diangkat, berat yang dapat diangkat dengan aman

sesuai dengan kemampuan.

5. Jika ada benda berat, lebih baik mendorong daripada menarik. Bagi beban yang

dibawa sama rata antara kanan dan kiri (berat kantung belanjaan kanan dan kiri

agar tubuh tidak miring).

E. Evaluasi Fisioterapi

No Problematik Intervensi Evaluasi


Awal Terapi (01 Januari Akhir Terapi (03 Januari
. Fisioterapi
2021) 2021)
1. Spasme M. Levator US, Muscle Tight pada M. Muscle Tight mengalami

Scapula dan M. Upper SWD, Levator Scapula, M. pengurangan

Trapezius, Stretching Upper Trapezius,

sternocledomastoideus Hold sternocledomastoideus,

, relax, Scaleni, subscapularis,

Scaleni, subscapularis, Mobilisasi rhomboid,.

rhomboid,. Scapula,
Myofascia

l Release

Technique
2. Nyeri tekan pada otot US, Nyeri diam: 3 Nyeri diam: 2

M. Levator Scapula dan SWD, Nyeri tekan: 6 Nyeri tekan: 4


M. Upper Trapezius Stretching Nyeri gerak: 5 Nyeri gerak: 4
sternocledomastoideus Hold
, Relax,
Scaleni, subscapularis, Mobilisasi
rhomboid,.serta nyeri Scapula,
gerak
Myofascia

l Release

Technique
3. Keterbatasan luas US,  Fleksi-Ekstensi  Fleksi-Ekstensi

gerak sendi SWD, Cervical = 90 - 0 Cervical = 90 - 0

Stretching - 40 - 60


Hold
 Lateral Fleksi  Lateral Fleksi
Relax
Kanan-Kiri = 45 - Kanan-Kiri = 45 -

0 - 20 0 - 30

 Rotasi Kanan-Kiri  Rotasi Kanan-Kiri

= 90 - 0 - 50 = 90 - 0 - 90


BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assesment Fisoterapi

Dalam buku “Orthopedic Physical Assesment: David J.Mage”

menjelaskan terkait prinsip dan konsep assesmen awal fisioterapi yang harus

dilakukan yaitu terdiri dari:

1. Patient history

2. Observation

3. Examination of movement

4. Special test

5. Joint play movements


6. Palpation

7. Diagnostic imaging

Dalam buku “Orthopedic Physical Assesment: David J.Mage” menjelaskan

terkait pemeriksaan fungsi gerak dasar terkait gerak aktif,gerak pasif,TIMT pada

region cervical yaitu fleksi,ekstensi, lateral fleksi kiri dan kanan, rotasi kiri dan

kanan serta informasi-informasi apa saja yang didapatkan dalam pemeriksaan

fungsi gerak dasar tersebut. Dalam buku “Fundamental Of The Physical

Theraphy Examination Patient Interview And Test And Measures: Stiacie J.

Fruth” menjelaskan terkait dengan tujuan, teknik pelaksanaan serta ROM normal

pada pengukuran menggunakan goniometer.

Pada kasus yang penulis dapatkan, Ny. Hj. Jumatia mengalami Neck Pain

et causa Muscle Tight sehingga keluhan yang dia rasakan saat ini yaitu, Nyeri

pada daerah leher dan bahu kanan, saat bekerja di rumah sakit terutama saat

beribadah ia menjadi terganggu.

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi

Dalam jurnal penelitian “PENGARUH HOLD RELAX TERHADAP LGS

BAHU DAN LEHER” oleh Dwi Nur Astuti Akademi Fisioterapi Widya

Husada Semarang. pada kasus Neck Pain yaitu Hold relax merupakan

modalitas yang dapat digunakan oleh fisioterapi dalam mengurangi nyeri,

meningkatkan LGS bahu serta meningkatkan aktifitas fungsional dan juga

mengurangi rasa nyeri, peningkatan Range of Motion (ROM) dan aktivitas

fisik penderita Neck Pain akibat Spasme. Pada jurnal tersebut Hold Relax ialah

solusi yang baik untuk mengatasi nyeri dan ketidaknyamanan dalam bekerja

dengan cara membantu relaksasi otot sehingga otot lebih lentur.


Beberapa treatment yang dianggap efektif akan digunakan oleh terapis

untuk memaksimalkan proses penyembuhan dan diharapkan dapat

mempergunakan waktu yang lebih efisien.

Exercise programmes may include the following elements:

THE INFLUENCE OF HOLD RELAX TECHNIQUE TO THE DISTANCE

mengalami perubahan jarak gerak sendi setelah diberikan hold relax,

karena menyebabkan terjadinya perangsangan melalui kontraksi maksimal dari

kelompok otot yang tegang sehingga diharapkan terjadi kontraksi sejumlah

Hold relax dapat meningkatkan jarak gerak abduksi sendi bahu dengan nilai p

=0,005. berpendapat bahwa mobilisasi sendi terbukti efektif memperbaiki

inflamasi pada sendi kronis, kontraktur kapsul antero superior, kontraktur

kapsul antero inferior, kontraktur otot–otot rotator cuff dan kemampuan

fungsional, sekaligus mengurangi nyeri motor unit secara maksimum dan

bersamaan.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penatalaksanaan fisioterapi pada Neck Pain dengan diberikan

modalitas US, SWD, Stretching Hold Relax, Myofascial Release

Technique, mendapatkan hasil adanya penurunan nyeri pada leher yaitu

penurunan nyeri tekan dan nyeri gerak, adanya peningkatan lingkup gerak

sendi cervical, adanya peningkatan kekuatan otot dan adanya peningkatan

kemampuan fungsional.

B. Saran

Dikarenakan hasil terapi belum maksimal maka untuk

mendapatkan hasil yang maksimal diharapkan pasien dirumah secara rutin

melakukan proses terapi, melakukan latihan dengan sungguh-sungguh dan

semangat dalam menjalani home program seperti mengompres air hangat,

melakukan latihan seperti apa yang sudah diajarkan terapis. Diharapakan

pasien dapat berhati-hati dalam melakukan kegiatan sehari-hari selama

dirumah dan selalu menjaga agar kondisi tubuh tetap sehat dan bugar.
DAFTAR PUSTAKA

Anhsar dan Sudaryanto. 2011. Biomekanik Osteokinematika dan Arthokinematika.


Kementrian Kesehatan RI Politeknik Kesehatan Makassar.
Chaitow, L. 2006. Muscle Energy Technique. 3rd Ed. Churchill Livingstone: Edinburgh
Marieb, Elaine N, Patricia Brady Wilhelm dan Jon B. Mallatt. 2017. Human Anatomy,
8th edition. New Jersey: Pearson Education.
Bajpai. 1991. Osteologi Tubuh Manusia. Binarupa Aksara; Jakarta.
Ballinger, Philip W. 2003. Merrill’s Atlas of Radiographic Position & Radiologic
Procedures volume one. USA: Mosby.
Faiz, Omar & David Moffat.2004. Anatomy at a Glance,, Erlangga, Jakarta.
Fryer, G. 2011. Muscle Energy Technique: An Evidence-Informed Approach. Int. J.
Osteopath Med, 14(1): 3-9.
Grubb, E. R., Hagedorn, E. M., Inoue, N., Leake, M. J., Lounsberry, N. L., Love, S. D.,
Matus, J. R., Morris, L. M., Stafford, K. M., Staton, G. S., Waters, C. M. 2010.
Muscle Energy Technique. Spring: University of Kentucky.
Muttaqin, A. 2012. Buku saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi Pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, Moore ME.2013. Anatomi Berorientasi klinis.Edisi
ke-5.Jakarta: Erlangga.
Putz, R. dan R. Pabst. 2000. Atlas Anatomi Manusia Sobatta. Jakarta : Buku
Kedokteran ECG.
Schuenke, Michael. dkk. 2010. Atlas of Anatomy: General Anatomy and
Musculoskeletal System. New York: Thieme.

Anda mungkin juga menyukai