Anda di halaman 1dari 5

PENGUNGKAP NEGASI DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh Bowo Hermaji

ABSTRAK

Kata Kunci : negasi, konstituen negatif

Pendahuluan

Negasi adalah proses, perbuatan, atau cara mengingkari dan menyangkal


sesuatu. Alwi, dkk. (1998 : 378) berpendapat bahwa negasi atau pengingkaran
adalah proses atau konstruksi yang mengungkapkan pertentangan isi makna
suatu kalimat. Hal itu dapat dilakukan melalui penambahan morfem atau kata
ingkar. Menurut Sudaryono (1993 : 32), proses penegasian dapat dinyatakan
secara lingual dan ekstralingual. Secara lingual, penegasian dapat diwujudkan
melalui fonem segmental dengan penambahan kata negasi. Secara ekstralingual,
penegasian dapat diwujudkan melalui fonem suprasegmental, yaitu dengan
intonasi khusus, seperti /tau?/ yang berarti “tidak tahu” (dalam dialek Jakarta).

Tulisan ini secara khusus akan membahas negasi atau pengingkaran yang
dinyatakan secara segmantal, terutama melalui satuan lingual yang disebut
konstituen negatif. Konstituen negatif adalah sarana pengungkap negasi yang
berupa morfem, baik morfem terikat maupun morfem bebas (Sudaryono, 1993 :
32). Lyons (1985) menyebut konstituen negatif dengan istilah negative operator
atau negator. Di dalam bahasa Indonesia, konstituen negatif sebagai morfem
pengungkap negasi juga berupa morfem bebas dan morfem terikat.

Mendasarkan diri pada prinsip bahwa negasi adalah kategori semantik,


maka kriteria semantik dijadikan dasar atau pijakan untuk menentukan morfem
pengungkap negasi. Secara semantik, konstituen negatif merupakan konstituen
yang memiliki kemampuan untuk menyangkal atau mengingkari konstituen lain
yang bergabung dengannya.

Konstituen Negatif Morfem Bebas

Morfem bebas adalah morfem dapat digunakan secara langsung dalam


pertuturan tanpa dikaitkan dengan morfem lain (Chaer, 2008 : 17). Menurut
Kridalaksana (1993 : 140), morfem bebas adalah morfem yang secara potensial
dapat berdiri sendiri sebagai satuan bebas (misalnya : rumah, lari, tanah, dan
jalan). Wujud morfem bebas berupa morfem dasar. Konstituen negatif yang
berupa morfem bebas di dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan atas dua
macam, yaitu (1) konstituen yang secara formal hanya mengungkapkan negasi
atau pengingkaran, dan (2) konstituen negatif yang berfungsi sebagai
pengungkap negasi dan mendukung fungsi yang lain.

Konstituen yang secara formal hanya berfungsi sebagai pengungkap


negasi dan berstatus sebagai morfem bebas, disebut konstituen negatif formal
bebas. Konstituen tersebut meliputi morfem {bukan}, {tidak}, dan {tak}. Perlu
ditegaskan pula bahwa konstituen negatif dalam bahasa Indonesia yang tidak
baku, di samping {tidak}, {bukan}, dan {tiada}, terdapat pula bentuk lain
seperti {ndak}, {enggak}, {ogah}, dan {emoh}. Bentuk yang tidak baku tidak
akan dibahas di dalam tulisan ini.

Konstituen yang di samping berfungsi sebagai pengungkap negasi, juga


mendukung fungsi yang lain, misalnya morfem yang menyatakan imperatif
(perintah) dan kesertaan. Yang dapat dikategorikan sebagai morfem tersebut
adalah {takkan}, {tiada}, {jangan}, dan {tanpa}. Morfem {tak} pada kata
“takkan”, kecuali berfungsi sebagai penegas negasi, juga berfungsi sebagai
pemarkah futur. Misalnya pada kalimat berikut.
(1) Saya takkan pergi ke Jakarta lagi tanpa tujuan yang jelas.
(2) Dia takkan mau diajak jalan-jalan pada acara tahun baru.

Morfem {ti} pada kata “tiada”, di samping berfungsi sebagai penegas


negasi, juga berfungsi sebagai pemarkah eksistensialitas, misalnya :

(3) Tiada satupun makanan yang tidak boleh dimakan, kecuali darah dan
daging babi.
(4) Dia akan menikahi Susi, setelah ayahnya tiada.

Morfem {jangan} memiliki fungsi sebagai penegas negasi dan imperatif


(perintah yang berupa larangan), sehingga dapat diparafrasakan dengan “tidak
boleh”, misalnya :

(5) Jangan dipakai ruangan itu !


(6) Tidak boleh dipakai ruangan itu !

Morfem {belum} berfungsi sebagai penegas negasi dan inkoatif yang


berparafrasa dengan “tidak sudah” *). Frasa tersebut tidak berterima dalam
bahasa Indonesia, misalnya :

(7) Anak itu belum makan sejak tadi pagi.


(8) Anak itu tidak sudah makan sejak tadi pagi *).

Morfem {tanpa}, di samping mengandung negasi (pengingkaran) juga


bermakna kesertaan, sehingga dapat diparafrasakan dengan frasa “tidak
dengan”. Perhatikan kalimat berikut ini !

(9) Dia pergi merantau ke Jakarta tanpa bekal.


(10) Dia pergi merantau ke Jakarta tidak dengan bekal.

Dari berbagai contoh kalimat di atas, dapat dipahami bahwa morfem


{takkan}, {tiada}, {belum}, dan {tanpa} merupakan perpaduan antara
konstituen negatif dan konstituen yang memiliki fungsi lain. Sudaryono (1993)
dalam disertasinya Negasi dalam Bahasa Indonesia : Suatu Tinjauan Sintaktik
dan Semantik” menamakan konstituen tersebut dengan istilah “konstituen
negatif paduan”. Alasannya, konstituen tersebut berfungsi ganda, yaitu sebagai
pengungkap negasi dan pendukung fungsi yang lain.

Secara semantik, konstituen negatif memiliki kemampuan untuk


menyangkal atau mengingkari konstituen yang bergabung dengannya.
Kemampuan penyangkalan atau pengingkaran konstituen negatif dapat diuji
dengan parafrasa “tidak” atau “bukan”. Oleh karena itu, konstituen “tidak” dan
“bukan” merupakan pengungkap negasi terpenting di dalam bahasa Indonesia.

Konstituen Negatif Morfem Terikat

Morfem terikat adalah morfem yang tidak memiliki kemampuan untuk


berdiri sendiri sebagai kata dan selalu terikat oleh morfem yang lain untuk
membentuk ujaran atau kata, misalnya morfem {pe-}, {juang}, {mayur}, dan
{-kan} (Kridalaksana, 1993 : 142). Menurut Chaer (2008 : 17), morfem terikat
adalah morfem yang harus bergabung dengan morfem lain sebelum digunakan
dalam pertuturan. Morfem terikat ada yeng berupa morfem dasar ({juang},
{henti}, dan {geletak}), ada pula yang berupa afiks (imbuhan) seperti {meng-,
ber-, peng-, dan –kan}.

Di dalam bahasa Indonesia, morfem {a-}, {de-}, {dis-}, {in-}, {im-},


{i-}, {non-}, {nir-}, {tan-}, dan {tuna-} dapat dikategorikan sebagai
konstituenn negatif, karena dapat diparafrasakan dengan kata “tidak” atau
“bukan”. Hal tersebut terlihat dalam contoh kalimat berikut ini.

(11) Anak itu melakukan perbuatan amoral (tidak bermoral)


(12) Setelah deregulasi, sistem hukum di Indonesia mulai berjalan tertib
(peniadaan kelebihan peraturan)
(13) Indonesia sedang dilanda masalah disintegrasi (tidak bersatu)
(14) Dia telah bertindak inkonsisten di dalam beragama (tidak konsisten)
(15) Tindak tutur itu merupakan perbuatan impersonal (tidak personal)
(16) Judi merupakan perbuatan ilegal (tidak legal)
(17) Dia pergi ke Jakarta dengan bus nonekonomi (tidak/bukan ekonomi)
(18) Anak itu berkomunikasi dengan niraksara (tidak beraksara)
(19) Film itu diperankan tanaktor terkenal (bukan aktor)
(20) Gadis cantik itu ternyata tunanetra (tidak bernetra)

Berdasarkan contoh kalimat di atas, dapat dipahami bahwa sebagian


besar atau bahkan hampir secara keseluruhan konstituen negatif yang berupa
morfem terikat berparafrasa dengan kata “tidak”. Sebagian besar morfem
tersebut berasal dari bahasa asing. Dengan demikian, konstituen negatif yang
berupa morfem terikat di dalam bahasa Indonesia asli tidak ada (tidak
ditemukan). Morfem asing tersebut digolongkan sebagai morfem serapan yang
produktif dalam bahasa Indonesia.

Kriteria Sintaktik dalam Penentuan Konstituen Negatif

Anda mungkin juga menyukai