Anda di halaman 1dari 36

MINI PROJECT

ANALISIS KUNJUNGAN PASIEN HIPERTENSI SEBELUM


DAN SESUDAH PANDEMI DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BENDOSARI

Oleh:
dr. Aufan Lisan Shidqi
dr. Humaira Arum Muflihah
dr. Irsyad Hapsoro Ristiansah

Pembimbing:
dr. Sugeng Purnomo, M.Gizi

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS BENDOSARI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Munculnya virus baru yang saat ini sangat meresahkan masyarakat di berbagai
belahan dunia memberikan dampak yang yang luar biasa bagi kehidupan manusia,
terutama dalam bidang kesehatan. World Health Organization (WHO) menyebutnya
dengan COVID-19 (Coronavirus disease 2019). COVID19 adalah penyakit yang tidak
boleh disepelekan karena virus ini sangat berbahaya, penyebaran COVID-19 begitu
cepat sehingga terdapat di setiap wilayah termaksud di Indonesia. World Health
Organization (WHO) telah memastikan COVID-19 sebagai pandemi dan di Indonesia
COVID-19 sudah dipastikan menjadi bencana nasional. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kematian pada COVID-19 berbedabeda, ada yang
menyatakan 2,84%, penelitian lain menyatakan 15%, dan 33%. Tingkat keparahan
COVID-19 dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, usia, dan beberapa penyakit komorbid,
diantaranya adalah asma, diabetes militus, dan hipertensi..
Tekanan darah adalah faktor penting dalam sistem sirkulasi tubuh manusia.
Banyak foktor yang berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah. Faktor yang
mempengaruhi tekanan darah yaitu usia, olah raga, stress, ras, obesitas, jenis kelamin,
medikasi (Kozier, 2010). Tekanan darah dapat dengan mudah berubah meski dalam
hitungan detik, ditandai dengan pusing, sakit kepala, leher terasa kaku, dan mata
berkunang-kunang. Hal ini jelas akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari (Sasmalinda,
Syafriandi, & Helma, 2013). Kondisi seseorang dapat dilihat dari perubahan tekanan
darah. Seiring dengan peningkatan usia seseorang, tekanan darah juga dapat berubah.
Misalnya pada usia lansia sering terjadi peningkatan tekanan darah walaupun ini tidak
dianggap sebagai kondisi yang diinginkan (Fadlilah, Rahil, & Lanni, 2020).
Hipertensi adalah salah satu penyakit penyerta yang banyak di temukan pada
penderita COVID-19, sekitar 15% kasus hipertensi yang terdapat pada pasien COVID-
19. Awalnya hipertensi dan tingkat rawat inap untuk COVID-19 dihubungkan karena
dari data 20,982 pasien COVID-19 dan data dari penyakit penyerta, data hipertensi
sekitar 12,6%. dari 406 pasien yang meninggal karena infeksi COVID-19, proporsi total
dari hipertensi adalah 39,7% untuk hipertensi yang dilaporkan sendiri. Pada 406 pasien
yang meninggal dengan infeksi COVID-19, proporsi keseluruhan dari hipertensi adalah
39,7%. Tetapi, 81% pasien yang meninggal dunia berusia >60 tahun.
Bidang kesehatan ikut terdampak akibat covid-19. Rumah sakit mulai fokus
menangani pasien terkonfirmasi Covid-19 sehingga beberapa kasus lain seperti
hipertensi tidak bisa tertangani dengan baik karena takut akan tertular (Marzuki, 2020).
Pasien tidak berani melakukan pemeriksaan ke rumah sakit, sehingga jika ada keluhan
yang tidak begitu berat mereka akan membeli obat di apotik tanpa mengetahui tekanan
darahnya (Suprayitno & Wahid, 2019). Hal ini sangat mengkhawatirkan karena tekanan
darah yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kompikasi lain seperti stroke
(Suprayitno & Huzaimah, 2020)
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila
demikian gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak atau
jantung. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epiktaksis, marah,
telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan
pusing (Mansjoer dkk, 2001). Kepatuhan pasien berpengaruh terhadap keberhasilan
suatu pengobatan. Hasil terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya
kesadaran dari pasien itu sendiri, bahkan dapat menyebabkan kegagalan terapi, serta
dapat pula menimbulkan komplikasi yang sangat merugikan dan pada akhirnya akan
berakibat fatal (Hussar, 1995). Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian angka kunjungan sebelum dan sesudah pandemi virus Covid 19
di wilayah kerja puskesmas Bendosari.

1.2.Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan angka kunjungan pasien hipertensi sebelum dan sesudah
terjadinya pandemi Covid 19 di wilayah kerja Bendosari?

1.3.Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui angka kunjungan pasien hipertensi sebelum dan sesudah
pandemic Covid 19.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Bendosari.
b. Menyusun alternatif pemecahan masalah dengan skala prioritas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.2.1. Hipertensi
Hipertensi atau yang biasa disebut tekanan darah tinggi merupakan peningkatan
tekanan darah sistolik di atas batas normal yaitu lebih dari 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik lebih dari 90 mmHg (WHO, 2013; Ferri, 2017). Penyakit hipertensi
atau tekanan darah tinggi adalah salah satu jenis penyakit yang mematikan di dunia.
Faktor risiko utama terjadinya hipertensi yaitu faktor usia sehingga penyakit
hipertensi sering dijumpai pada usia lanjut (Fauzi, 2015), sedangkan menurut
Setiati (2015), hipertensi merupakan tanda klinis ketidakseimbangan hemodinamik
suatu sistem kardiovaskular, di mana penyebab terjadinya disebabkan oleh
beberapa faktor/ multi faktor sehingga tidak bisa terdiagnosis dengan hanya satu
faktor tunggal (Setiati, 2015).
2.2.2. Etiologi
Menurut Smeltzer (2017), berdasarkan penyebab terjadinya, hipertensi terbagi
atas dua bagian, yaitu :
a) Hipertensi Primer (Esensial)
Jenis hipertensi primer sering terjadi pada populasi dewasa antara
90% - 95%. Hipertensi primer, tidak memiliki penyebab klinis yang
dapat diidentifikasi, dan juga kemungkinan kondisi ini bersifat
multifaktor (Smeltzer, 2017; Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher,
2015). Hipertensi primer tidak bisa disembuhkan, akan tetapi bisa
dikontrol dengan terapi yang tepat. Dalam hal ini, faktor genetik
mungkin berperan penting untuk pengembangan hipertensi primer dan
bentuk tekanan darah tinggi yang cenderung berkembang secara
bertahap selama bertahun-tahun (Bell, Twiggs, & Olin, 2015).
b) Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder memiliki ciri dengan peningkatan tekanan
darah dan disertai penyebab yang spesifik, seperti penyempitan arteri
renalis, kehamilan, medikasi tertentu, dan penyebab lainnya. Hipertensi
sekunder juga bisa bersifat menjadi akut, yang menandakan bahwa
adanya perubahan pada curah jantung (Ignatavicius, Workman, &
Rebar, 2017).
2.2.3. Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The Seventh
Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Eveluation, and
Tretment of High Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan darah pada orang
dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan
derajat 2 (dilihat tabel 1), menurut World Health Organization (WHO) dan
International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG) (dilihat tabel 3).
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7
Klasifikasi TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Tekanan Darah
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89
Hipertensi stadium 1 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi stadium 2 ≥ 160 Atau ≥ 100

TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik


Tabel 2.2 Klasifikasi Tekanan Darah World Health Organization (WHO) dan
International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG)
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal < 120 Dan < 80

Normal < 130 Dan < 85

Normal tinggi / 130 – 139 Atau 85 – 89


pra hipertensi

Hipertensi derajat I 140 – 159 Atau 90 – 99

Hipertensi derajat II 160 – 179 Atau 100 – 109

Hipertensi derajat III ≥ 180 Atau ≥ 110

2.2.4. Faktor Resiko


Menurut Fauzi (2014), jika saat ini seseorang sedang perawatan penyakit
hipertensi dan pada saat diperiksa tekanan darah seseorang tersebut dalam keadaan
normal, hal itu tidak menutup kemungkinan tetap memiliki risiko besar mengalami
hipertensi kembali. Perlu dilakukan kontrol teratur dengan dokter dan menjaga
kesehatan agar tekanan darah tetap dalam keadaan terkontrol. Hipertensi memiliki
beberapa faktor risiko, diantaranya yaitu :
2.4.1. Tidak dapat diubah:
a. Keturunan
Jika di dalam keluarga pada orangtua atau saudara memiliki tekanan
darah tinggi maka dugaan hipertensi menjadi lebih besar. Statistik
menunjukkan bahwa masalah tekanan darah tinggi lebih tinggi pada
kembar identik dibandingkan kembar tidak identik. Selain itu pada
sebuah penelitian menunjukkan bahwa ada bukti gen yang diturunkan
untuk masalah tekanan darah tinggi.
b. Usia
Semakin bertambahnya usia semakin besar pula resiko untuk menderita
tekanan darah tinggi. Hal ini juga berhubungan dengan regulasi hormon
yang berbeda.
2.4.2. Dapat diubah:
a. Konsumsi garam, terlalu banyak garam (sodium) dapat menyebabkan
tubuh menahan cairan yang meningkatkan tekanan darah.
b. Kolesterol, Kandungan lemak yang berlebihan dalam darah
menyebabkan timbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah,
sehingga pembuluh darah menyempit, pada akhirnya akan
mengakibatkan tekanan darah menjadi tinggi.
c. Kafein, Kandungan kafein terbukti meningkatkan tekanan darah. Setiap
cangkir kopi mengandung 75-200 mg kafein, yang berpotensi
meningkatkan tekanan darah 5-10 mmHg.
d. Alkohol, alkohol dapat merusak jantung dan juga pembuluh darah. Ini
akan menyebabkan tekanan darah meningkat.
e. Obesitas, Orang dengan berat badan diatas 30% berat badan ideal,
memiliki peluang lebih besar terkena hipertensi.
f. Kurang olahraga, Kurang olahraga dan kurang gerak dapat
menyebabkan tekanan darah meningkat. Olahraga teratur dapat
menurunkan tekanan darah tinggi namun tidak dianjurkan olahraga
berat.
g. Stress dan kondisi emosi yang tidak stabil seperti cemas, yang
cenderung meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu. Jika
stress telah berlalu maka tekanan darah akan kembali normal.
h. Kebiasaan merokok, Nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan
katekolamin, katekolamin yang meningkat dapat mengakibatkan
iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung, serta menyebabkan
vasokonstriksi yang kemudian meningkatkan tekanan darah.
i. Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen) melalui mekanisme renin-
aldosteron-mediate volume expansion, Penghentian penggunan
kontrasepsi hormonal, dapat mengembalikan tekanan darah menjadi
normal kembali.

Walaupun hipertensi umum terjadi pada orang dewasa, tapi anak-anak


juga berisiko terjadinya hipertensi. Untuk beberapa anak, hipertensi
disebabkan oleh masalah pada jantung dan hati. Namun, bagi sebagian
anak-anak bahwa kebiasaan gaya hidup yang buruk, seperti diet yang tidak
sehat dan kurangnya olahraga, berkonstribusi pada terjadinya hipertensi
(Fauzi, 2014).

2.2.5. Patofisiologi
Tekanan darah arteri sistemik merupakan hasil perkalian total resistensi/tahanan
perifer dengan curah jantung (cardiac output). Hasil Cardiac Output didapatkan
melalui perkalian antara stroke volume (volume darah yang dipompa dari ventrikel
jantung) dengan hearth rate (denyut jantung). Sistem otonom dan sirkulasi
hormonal berfungsi untuk mempertahankan pengaturan tahanan perifer. Hipertensi
merupakan suatu abnormalitas dari kedua faktor tersebut yang ditandai dengan
adanya peningkatan curah jantung dan resistensi perifer yang juga meningkat
(Kowalak, 2011; Ardiansyah, 2012).
Berbagai teori yang menjelaskan tentang terjadinya hipertensi, teoriteori
tersebut antara lain (Kowalak, 2011) :
a. Perubahan yang terjadi pada bantalan dinding pembuluh darah arteri yang
mengakibatkan retensi perifer meningkat.
b. Terjadi peningkatan tonus pada sistem saraf simpatik yang abnormal dan
berasal dalam pusat vasomotor, dapat mengakibatkan peningkatan retensi
perifer.
c. Bertambahnya volume darah yang disebabkan oleh disfungsi renal atau
hormonal.
d. Peningkatan penebalan dinding arteriol akibat faktor genetik yang disebabkan
oleh retensi vaskuler perifer.
e. Pelepasan renin yang abnormal sehingga membentuk angiotensin II yang
menimbulkan konstriksi arteriol dan meningkatkan volume darah.

Tekanan darah yang meningkat secara terus-menerus pada pasien hipertensi


dapat menyebabkan beban kerja jantung akan meningkat. Hal ini terjadi karena
peningkatan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kiri. Agar kekuatan kontraksi
jantung meningkat, ventrikel kiri mengalami hipertrofi sehingga kebutuhan oksigen
dan beban kerja jantung juga meningkat. Dilatasi dan kegagalan jantung bisa
terjadi, jika hipertrofi tidak dapat mempertahankan curah jantung yang memadai.
Karena hipertensi memicu aterosklerosis arteri koronaria, maka jantung bisa
mengalami gangguan lebih lanjut akibat aliran darah yang menurun menuju ke
miokardium, sehingga timbul angina pektoris atau infark miokard. Hipertensi juga
mengakibatkan kerusakan pada pembuluh darah yang semakin mempercepat proses
aterosklerosis dan kerusakan organ seperti stroke, gagal ginjal, aneurisme dan
cedera retina (Kowalak, 2011).

Kerja jantung terutama ditentukan besarnya curah jantung dan tahanan perifer.
Umumnya curah jantung pada penderita hipertensi adalah normal. Adanya kelainan
terutama pada peninggian tahanan perifer. Peningkatan tahanan perifer disebabkan
karena vasokonstriksi arteriol akibat naiknya tonus otot polos pada pembuluh darah
tersebut. Jika hipertensi sudah dialami cukup lama, maka yang akan sering dijumpai
yaitu adanya perubahan-perubahan struktural pada pembuluh darah arteriol seperti
penebalan pada tunika interna dan terjadi hipertrofi pada tunika media. Dengan
terjadinya hipertrofi dan hiperplasia, maka sirkulasi darah dalam otot jantung tidak
mencukupi lagi sehingga terjadi anoksia relatif. Hal ini dapat diperjelas dengan
adanya sklerosis koroner (Riyadi, 2011).

2.2.6. Manifestasi Klinis


Hipertensi sulit dideteksi karena hipertensi tidak memiliki tanda/ gejala khusus.
Gejala-gejala yang mudah untuk diamati seperti terjadi pada gejala ringan yaitu
pusing atau sakit kepala, cemas, wajah tampak kemerahan, tengkuk terasa pegal,
cepat marah, telinga berdengung, sulit tidur, sesak napas, rasa berat di tengkuk,
mudah lelah, mata berkunang-kunang, mimisan (keluar darah di hidung) (Fauzi,
2014; Ignatavicius, Workman, & Rebar, 2017).
Selain itu, hipertensi memiliki tanda klinis yang dapat terjadi, diantaranya
adalah (Smeltzer, 2017):
a. Pemeriksaan fisik dapat mendeteksi bahwa tidak ada abnormalitas lain selain
tekanan darah tinggi.
b. Perubahan yang terjadi pada retina disertai hemoragi, eksudat, penyempitan
arteriol, dan bintik katun-wol (cotton-wool spots) (infark kecil), dan papil
edema bisa terlihat pada penderita hipertensi berat.
c. Gejala biasanya mengindikasikan kerusakan vaskular yang saling berhubungan
dengan sistem organ yang dialiri pembuluh darah yang terganggu.
d. Dampak yang sering terjadi yaitu penyakit arteri koroner dengan angina atau
infark miokardium.
e. Terjadi hipertrofi ventrikel kiri dan selanjutnya akan terjadi gagal jantung.
f. Perubahan patologis bisa terjadi di ginjal (nokturia, peningkatan BUN, serta
kadar kreatinin).
g. Terjadi gangguan serebrovaskular (stroke atau serangan iskemik transien [TIA]
[yaitu perubahan yang terjadi pada penglihatan atau kemampuan bicara, pening,
kelemahan, jatuh mendadak atau hemiplegia transien atau permanen]).
2.2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan memiliki suatu tujuan yaitu untuk mencegah kematian dan
komplikasi, dengan mencapai dan mempertahankan tekanan darah arteri pada atau
kurang dari 140/90 mmHg (130/80 mmHg untuk penderita diabetes melitus atau
penderita penyakit ginjal kronis) kapan pun jika memungkinkan (Smeltzer, 2017).
2.7.1. Pendekatan nonfarmakologis mencakup penurunan berat badan;
pembatasan alkohol dan natrium; olahraga teratur dan relaksasi. Diet
DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) tinggi buah, sayuran,
dan produk susu rendah lemak telah terbukti menurunkan tekanan darah
tinggi (Smeltzer, 2017).
2.7.2. Pilih kelas obat yang memiliki efektivitas terbesar, efek samping terkecil,
dan peluang terbesar untuk diterima pasien. Dua kelas obat tersedia sebagai
terapi lini pertama : diuretik dan penyekat beta (Smeltzer, 2017).
2.7.3. Tingkatkan kepatuhan dengan menghindari jadwal obat yang kompleks
(Smeltzer, 2017). Menurut Irwan (2016), tujuan pengobatan hipertensi
adalah mengendalikan tekanan darah untuk mencegah terjadinya
komplikasi, adapun penatalaksanaannya sebagai berikut :
A. Non Medikamentosa
Pengendalian faktor risiko. Promosi kesehatan dalam rangka pengendalian
faktor risiko, yaitu :
1) Turunkan berat badan pada obesitas.
2) Pembatasan konsumsi garam dapur (kecuali mendapat HCT).
3) Hentikan konsumsi alkohol.
4) Hentikan merokok dan olahraga teratur.
5) Pola makan yang sehat.
6) Istirahat cukup dan hindari stress.
7) Pemberian kalium dalam bentuk makanan (sayur dan buah) diet
hipertensi

Penderita yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi


diharapkan lebih hati-hati terhadap makanan yang dapat memicu
timbulnya hipertensi, antara lain:

1) Semua makanan termasuk buah dan sayur yang diolah dengan


menggunakan garam dapur/soda, biskuit, daging asap, ham, bacon,
dendeng, abon, ikan asin, telur pindang, sawi asin, asinan, acar, dan
lainnya.
2) Otak, ginjal, lidah, keju, margarin, mentega biasa, dan lainnya.
3) Bumbu-bumbu; garam dapur, baking powder, soda kue, vetsin,
kecap, terasi, magi, tomat kecap, petis, taoco, dan lain-lain.
B. Medikamentosa meliputi :
Hipertensi ringan sampai sedang, diatasi dengan pengobatan non
medikamentosa selama 2-4 minggu. Medikamentosa hipertensi stage 1
mulai salah satu obat berikut:
1) Hidroklorotiazid (HCT) 12,5-25 mg/hari dosis tunggal pagi hari
2) Propanolol 2 x 20-40 mg sehari.
3) Methyldopa
4) MgSO4
5) Kaptopril 2-3 x 12,5 mg sehari
6) Nifedipin long acting (short acting tidak dianjurkan) 1 x 20-60 mg
7) Tensigard 3 x 1 tablet
8) Amlodipine 1 x 5-10 mg
9) Diltiazem (3 x 30-60 mg sehari) kerja panjang 90 mg sehari.

Sebaiknya dosis dimulai dengan yang terendah, dengan evaluasi


berkala dinaikkan sampai tercapai respons yang diinginkan. Lebih tua
usia penderita, penggunaan obat harus lebih hati-hati. Hipertensi sedang
sampai berat dapat diobati dengan kombinasi HCT + propanolol, atau
HCT + kaptopril, bila obat tunggal tidak efektif. Pada hipertensi berat
yang tidak sembuh dengan kombinasi di atas, ditambahkan metildopa 2
x 125-250 mg. Penderita hipertensi dengan asma bronchial jangan beri
beta blocker. Bila ada penyulit/ hipertensi emergensi segera rujuk ke
rumah sakit.

2.2.8. Komplikasi
Komplikasi hipertensi berdasarkan target organ, antara lain sebagai berikut
(Irwan, 2016):
a. Serebrovaskuler: stroke, transient ischemic attacks, demensia vaskuler,
ensefalopati.
b. Mata: retinopati hipertensif.
c. Kardiovaskuler: penyakit jantung hipertensif, disfungsi atau hipertrofi
ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, disfungsi baik sistolik maupun
diastolik dan berakhir pada gagal jantung (heart failure).
d. Ginjal: nefropati hipertensif, albuminuria, penyakit ginjal kronis.
e. Arteri perifer: klaudikasio intermiten.
2.2.9. Pencegahan
Sebagaimana diketahui pre hipertensi bukanlah suatu penyakit, juga bukan
sakit hipertensi, tidak diindikasikan untuk diobati dengan obat farmasi, bukan
target pengobatan hipertensi, tetapi populasi pre hipertensi adalah kelompok
yang berisiko tinggi untuk menuju kejadian penyakit kardiovaskular. Di
populasi USA, menurut NHANES 1999-2000, insiden pre hipertensi sekitar 30
%. Populasi pre hipertensi ini diprediksi pada akhirnya akan menjadi hipertensi
permanen sehingga pada populasi ini harus segera dianjurkan untuk merubah
gaya hidup (lifestyle modification) agar tidak menjadi progresi ke TOD (Setiati,
2015).
Rekomendasi gaya hidup yang harus ditaati menurut CHEP 2011 untuk
mencegah risiko menjadi hipertensi, dianjurkan untuk menurunkan asupan
garam sampai di bawah 1500 mg/hari. Diet yang sehat ialah bilamana dalam
makanan sehari-hari kaya dengan buah-buahan segar, sayuran, rendah lemak,
makanan yang kaya serat (soluble fibre), protein yang berasal dari tanaman, juga
harus tidak lupa olahraga yang teratur, tidak mengkonsumsi alkohol,
mempertahankan berat badan pada kisaran 18,5 – 24,9 kg/m2 (Setiati, 2015).
Menurut Riyadi (2011), pencegahan hipertensi terbagi atas dua bagian, yaitu
:
a. Pencegahan primer
Faktor risiko hipertensi antara lain: tekanan darah di atas rata-rata, adanya
riwayat hipertensi pada anamnesis keluarga, ras (negro), takikardia, obesitas,
dan konsumsi garam yang berlebihan dianjurkan untuk:
1) Mengatur diet agar berat badan tetap ideal juga untuk menjaga agar tidak terjadi
hiperkolesterolemia, diabetes mellitus, dan sebagainya.
2) Dilarang merokok atau menghentikan merokok.
3) Merubah kebiasaan makan sehari-hari dengan konsumsi rendah garam.
4) Melakukan exercise untuk mengendalikan berat badan.
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dikerjakan bila penderita telah diketahui menderita
hipertensi karena faktor tertentu, tindakan yang bisa dilakukan berupa:
1) Pengelolaan secara menyeluruh bagi penderita baik dengan obat maupun
tindakan-tindakan seperti pencegahan primer.
2) Harus dijaga supaya tekanan darahnya tetap dapat terkontrol secara normal atau
stabil mungkin.
3) Faktor-faktor risiko penyakit jantung iskemik yang lain harus dikontrol.
4) Batasi aktivitas.
2.2.1. Penyakit COVID 19

Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul


dan tidak bersegmen. Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga
Coronaviridae. Struktur coronavirus membentuk struktur seperti kubus dengan
protein S berlokasi dipermukaan virus. Protein S atau spike protein merupakan
salah satu protein antigen utama virus dan merupakan struktur utama untuk
penulisan gen. Protein S ini berperan dalam penempelan dan masuknya virus
kedalam sel host (interaksi protein S dengan reseptornya di sel inang) (Wang,
2020). Coronavirus bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat
diinaktifkan oleh desinfektan mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu
56℃ selama 30 menit, eter, alkohol, asam perioksiasetat, detergen non-ionik,
formalin, oxidizing agent dan kloroform. Klorheksidin tidak efektif dalam
menonaktifkan virus (Wang, 2020; Korsman, 2012).

2.2.2. Patogenesis dan Patofisiologi

Kebanyakan Coronavirus menginfeksi hewan dan bersirkulasi di


hewan. Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan
kemampuannya menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi,
kuda, kucing dan ayam. Coronavirus disebut dengan virus zoonotik yaitu virus
yang ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak hewan liar yang dapat
membawa patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular
tertentu. Kelelawar, tikus bambu, unta dan musang merupakan host yang biasa
ditemukan untuk Coronavirus. Coronavirus pada kelelawar merupakan sumber
utama untuk kejadian severe acute respiratorysyndrome (SARS) dan Middle
East respiratory syndrome (MERS) (PDPI, 2020).

Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus


tidak bisa hidup tanpa sel host. Berikut siklus dari Coronavirus setelah
menemukan sel host sesuai tropismenya. Pertama, penempelan dan masuk
virus ke sel host diperantarai oleh Protein S yang ada dipermukaan virus.5
Protein S penentu utama dalam menginfeksi spesies host-nya serta penentu
tropisnya (Wang, 2020). Pada studi SARS-CoV protein S berikatan dengan
reseptor di sel host yaitu enzim ACE-2 (angiotensin-converting enzyme 2).
ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru,
lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati,
ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel arteri
vena, dan sel otot polos.20 Setelah berhasil masuk selanjutnya translasi
replikasi gen dari RNA genom virus. Selanjutnya replikasi dan transkripsi
dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks
replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus (Fehr, 2015).

Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian


bereplikasi di sel epitel saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya).
Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi
peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa
waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus
sampai muncul penyakit sekitar 3-7 hari (PDPI, 2020).

2.2.3. Manifestasi Klinis

Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang atau


berat. Gejala klinis utama yang muncul yaitu demam (suhu >380C), batuk dan
kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue,
mialgia, gejala gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain.
Setengah dari pasien timbul sesak dalam satu minggu. Pada kasus berat
perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok septik, asidosis
metabolik yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi
dalam beberapa hari. Pada beberapa pasien, gejala yang muncul ringan, bahkan
tidak disertai dengan demam. Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik,
dengan sebagian kecil dalam kondisi kritis bahkan meninggal. Berikut sindrom
klinis yang dapat muncul jika terinfeksi. (PDPI, 2020). Berikut sindrom klinis
yang dapat muncul jika terinfeksi. (PDPI, 2020)

a. Tidak berkomplikasi

Kondisi ini merupakan kondisi teringan. Gejala yang muncul berupa gejala
yang tidak spesifik. Gejala utama tetap muncul seperti demam, batuk, dapat
disertai dengan nyeri tenggorok, kongesti hidung, malaise, sakit kepala, dan
nyeri otot. Perlu diperhatikan bahwa pada pasien dengan lanjut usia dan pasien
immunocompromises presentasi gejala menjadi tidak khas atau atipikal. Selain
itu, pada beberapa kasus ditemui tidak disertai dengan demam dan gejala
relative ringan. Pada kondisi ini pasien tidak memiliki gejala komplikasi
diantaranya dehidrasi, sepsis atau napas pendek.

b. Pneumonia ringan
Gejala utama dapat muncul seperti demam, batuk, dan sesak. Namun tidak ada
tanda pneumonia berat. Pada anak-anak dengan pneumonia tidak berat ditandai
dengan batuk atau susah bernapas

c. Pneumonia berat. Pada pasien dewasa:


• Gejala yang muncul diantaranya demam atau curiga infeksi saluran
napas
• Tanda yang muncul yaitu takipnea (frekuensi napas: > 30x/menit),
distress pernapasan berat atau saturasi oksigen pasien <90% udara luar.

2.2.4. Penegakkan Diagnosis

Pada anamnesis gejala yang dapat ditemukan yaitu, tiga gejala utama:
demam, batuk kering (sebagian kecil berdahak) dan sulit bernapas atau sesak.

a. Pasien dalam pengawasan atau kasus suspek / possible


1. Seseorang yang mengalami:

a. Demam (≥380C) atau riwayat demam


b. Batuk atau pilek atau nyeri tenggorokan
c. Pneumonia ringan sampai berat berdasarkan klinis dan/atau gambaran
radiologis. (pada pasien immunocompromised presentasi kemungkinan
atipikal) DAN disertai minimal satu kondisi sebagai berikut :
• Memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/ negara yang
terjangkit* dalam 14 hari sebelum timbul gejala
• Petugas kesehatan yang sakit dengan gejala sama setelah merawat
pasien infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berat yang tidak diketahui
penyebab / etiologi penyakitnya, tanpa memperhatikan riwayat bepergian atau
tempat tinggal.29

2. Pasien infeksi pernapasan akut dengan tingkat keparahan ringan


sampai berat dan salah satu berikut dalam 14 hari sebelum onset gejala:
a. Kontak erat dengan pasien kasus terkonfirmasi atau probable COVID-
19, ATAU
b. Riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan sudah
teridentifikasi), ATAU
c. bekerja atau mengunjungi fasilitas layanan kesehatan dengan kasus
terkonfirmasi atau probable infeksi COVID-19 di Tiongkok atau
wilayah/negara yang terjangkit.*
d. Memiliki riwayat perjalanan ke Wuhan dan memiliki demam (suhu
≥380C) atau riwayat demam.29

b. Orang dalam Pemantauan


Seseorang yang mengalami gejala demam atau riwayat demam tanpa
pneumonia yang memiliki riwayat perjalanan ke Tiongkok atau wilayah/negara
yang terjangkit, dan tidak memiliki satu atau lebih riwayat paparan diantaranya:
• Riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19
• Bekerja atau mengunjungi fasilitas kesehatan yang berhubungan
dengan pasien konfirmasi COVID-19 di Tiongkok atau wilayah/negara yang
terjangkit (sesuai dengan perkembangan penyakit),

c. Memiliki riwayat kontak dengan hewan penular (jika hewan penular


sudah teridentifikasi) di Tiongkok atau wilayah/negara yang terjangkit (sesuai
dengan perkembangan penyakit Kasus Probable
Pasien dalam pengawasan yang diperiksakan untuk COVID-19 tetapi
inkonklusif atau tidak dapat disimpulkan atau seseorang dengan hasil
konfirmasi positif pan-coronavirus atau beta coronavirus.29,30

d. Kasus terkonfirmasi
Seseorang yang secara laboratorium terkonfirmasi COVID-19.

2.2.5. Pemeriksaan Penunjang (PDPI, 2020)


1. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, CT-scan toraks, USG toraks. Pada
pencitraan dapat menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental,
lobar atau kolaps paru atau nodul, tampilan groundglass.
2. Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah
• Saluran napas atas dengan swab tenggorok(nasofaring dan orofaring)
• Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila
menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal
3. Bronkoskopi
4. Pungsi pleura sesuai kondisi
5. Pemeriksaan kimia darah
6. Biakan mikroorganisme dan uji kepekaan dari bahan saluran napas
(sputum, bilasan bronkus, cairan pleura) dan darah. Kultur darah untuk bakteri
dilakukan, idealnya sebelum terapi antibiotik. Namun, jangan menunda terapi
antibiotik dengan menunggu hasil kultur darah)26
7. Pemeriksaan feses dan urin (untuk investasigasi kemungkinan
penularan).

2.2.6. Tatalaksana Umum


1. Isolasi pada semua kasus
Sesuai dengan gejala klinis yang muncul, baik ringan maupun sedang.
2. Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI)
3. Serial foto toraks untuk menilai perkembangan penyakit
4. Suplementasi oksigen
Pemberian terapi oksigen segera kepada pasien dengan, distress napas,
hipoksemia atau syok. Terapi oksigen pertama sekitar 5L/menit dengan target
SpO2 ≥90% pada pasien tidak hamil dan ≥ 92-95% pada pasien hamil
5. Kenali kegagalan napas hipoksemia berat
6. Terapi cairan
Terapi cairan konservatif diberikan jika tidak ada bukti syok Pasien dengan
SARI harus diperhatikan dalam terapi cairannya, karena jika pemberian cairan
terlalu agresif dapat memperberat kondisi distress napas atau oksigenasi.
Monitoring keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Pemberian antibiotik empiris
8. Terapi simptomatik
Terapi simptomatik diberikan seperti antipiretik, obat batuk dan lainnya jika
memang diperlukan.
9. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak rutin diberikan pada
tatalaksana pneumonia viral atau ARDS selain ada indikasi lain.
10. Observasi ketat
11. Pahami komorbid pasien

Saat ini belum ada penelitian atau bukti talaksana spesifik pada
COVID-19. Belum ada tatalaksana antiviral untuk infeksi Coronavirus yang
terbukti efektif. Pada studi terhadap SARSCoV, kombinasi lopinavir dan
ritonavir dikaitkan dengan memberi manfaat klinis. Saat ini penggunaan
lopinavir dan ritonavir masih diteliti terkait efektivitas dan keamanan pada
infeksi COVID-19. Tatalaksana yang belum teruji / terlisensi hanya boleh
diberikan dalam situasi uji klinis yang disetujui oleh komite etik atau melalui
Monitored Emergency Use of Unregistered Interventions Framework
(MEURI), dengan pemantauan ketat. Selain itu, saat ini belum ada vaksin
untuk mencegah pneumonia COVID-19 ini (PDPI, 2020).

2.2.7. Hubungan Covid 19 dengan Hipertensi

Penyakit Coronavirus 2019 (Covid-19) adalah penyakit sistemik yang


disebabkan oleh Corona Virus 2 (SARS-Cov2) yang menyerang sistem
pernapasan. Salah satu faktor risiko yang dapat memperburuk Covid-19 adalah
hipertensi (Drager, PioAbreu, Lopes, & Bortolotto, 2020). Hipertensi adalah
peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan / atau tekanan darah
diastolik ≥90 mmHg (Singh, Shankar, & Singh, 2017)

Secara tidak langsung infeksi SARS-CoV-2 dapat memperburuk


keadaan penderita hipertensi. SARS-CoV-2 yang menyerang ACE2 dapat
menghilangkan peran ACE2 pada sistem RAAS. ACE2 yang berkurang
efektivitasnya dapat menghambat pembentukan angiotensin (1-7) yang
merupakan salah satu senyawa dalam sistem feedback dari RAAS.
Terhambatnya ACE2 ini juga dapat menyebabkan penumpukan dari
angiotensin II yang memiliki efek vasokonstriksi. Hal ini mengakibatkan tidak
terjadinya homeostasis pada sistem tekanan darah dan membuat kondisi tekanan
darah yang terus berada di tekanan tinggi.

Upaya mengonsumsi obat golongan ACE inhibitor dan ARB untuk


pengobatan hipertensi juga dapat menyebabkan penderita lebih mudah untuk
terinfeksi SARS-CoV-2. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan ekspresi dari
ACE2 yang disebabkan oleh konsumsi dari obat golongan tersebut. Peningkatan
dari ACE2 dapat memudahkan SARS-CoV-2 untuk berikatan dengan sel target
karena jumlah reseptor yang bertambah sehingga penderita yang sedang
mengonsumsi obat tersebut lebih rentan untuk terinfeksi SARS-CoV-2.

Disisi lain pada penderita COVID-19 dengan komorbid hipertensi


terjadi sebuah paradoks, di mana pengobatan ARB tidak sepenuhnya merugikan
penderita. Dengan konsumsi obat ARB, dapat melindungi penderita COVID-19
dengan komorbid hipertensi dari cedera paru akut dan menghambat
perkembangan penyakit SARS. ARB menghambat aktivasi AT1R yang
dimediasi oleh angiotensin berlebih yang disebabkan oleh infeksi virus, serta
meningkatkan ACE2, sehingga terjadi pengurangan produksi angiotensin oleh
ACE dan peningkatan produksi vasodilator angiotensin (1-7).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan metode cross

sectional (potong lintang). Penelitian cross sectional berarti peneliti melakukan observasi

atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu. Kata satu saat bukan berarti semua

subyek diamati tepat pada satu saat yang sama, tetapi tiap subyek hanya diobservasi satu

kali dan pengukuran variabel subyek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut. Pada

studi ini peneliti tidak melakukan tindak lanjut terhadap pengukuran yang dilakukan

(Sastroasmoro et al., 2011)

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Bendosari. Penelitian

dilakukan pada bulan Desember 2020 sampai Januari 2021 meliputi pengambilan sampel,

penelitian, pengolahan data dan hasil penelitian.

3.3 Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah pasien Hipertensi yang kontrol di wilayah kerja

Puskesmas Bendosari. Data sekunder gambaran statistik data kesehatan diperoleh dari

SIMPUS Puskesmas Bendosari dari bulan Oktober 2019 sampai September 2020. Data

kelompok sebelum pandemi diambil dari bulan Oktober 2019 sampai Maret 2020.

Sedangkan kelompok sesudah pandemi diambil dari bulan April sampai September 2020.

3.4 Identifikasi Variabel Penelitian


1. Variabel bebas
Periode waktu sebelum dan sesudah pandemi COVID-19.
Skala : nominal
2. Variabel terikat
Jumlah pasien Hipertensi yang kontrol di wilayah kerja Puskesmas Bendosari.

Skala : rasio

3.5 Analisis Data


Paired t-Test adalah uji yang digunakan untuk menentukan apakah dua sampel

yang berhubungan memiliki rata-rata yang berbeda. Tujuan metode statistik ini adalah

membandingkan rata-rata dua grup yang berhubungan satu sama lain. Dalam penelitian ini

kelompok yang diuji yaitu kelompok pasien Hipertensi yang kontrol di masa sebelum dan

sesudah pandemi COVID-19. Pertanyaan yang coba dijawab adalah apakah kedua grup

tersebut mempunyai nilai rata-rata yang sama ataukah tidak sama secara signifikan

(Dahlan, 2011). Syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan uji paired t test yaitu jenis

skala pengukuran numerik, sebaran data harus normal dan varians data homogen. Tingkat

kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Untuk mengetahui normalitas data dilakukan

uji normalitas data digunakan uji Kolmogorov Smirnov karena jumlah data lebih dari 50,

sedangkan untuk uji homogenitas data dilakukan uji Levene. Jika persebaran data tidak

normal, dan atau varians data tidak homogen, maka data dianalisis menggunakan uji Mann-

Whitney.
BAB IV
HASIL ANALISIS DATA

4.1.Hasil Penelitian
Data penelitian diperoleh dari SIMPUS Puskesmas Bendosari dari bulan Oktober 2019
sampai September 2020.
Tabel 4.1 Data Pasien Hipertensi yang kontrol ke Puskesmas Bendosari sebelum pandemi
COVID-19

No. Bulan Jumlah Pasien Kontrol

1. Oktober 2019 115


2. November 2019 77

3. Desember 2019 95

4. Januari 2020 126

5. Februari 2020 133

6. Maret 2020 113

Tabel 4.2 Data Pasien Hipertensi yang kontrol ke Puskesmas Bendosari sesudah pandemi
COVID-19

No. Bulan Jumlah Pasien Kontrol

1. April 2020 42
2. Mei 2020 35

3. Juni 2020 73

4. Juli 2020 77

5. Agustus 2020 59

6. September 2020 67
4.2.Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS ver. 24. Dari data yg diolah
didapatkan rerata pasien Hipertensi yang kontrol ke wilayah kerja Puskesmas Bendosari
sebelum pandemi COVID-19 adalah sekitar 109 pasien setiap bulannya. Sedangkan rerata
pasien Hipertensi yang kontrol ke wilayah kerja Puskesmas Bendosari sesudah pandemi
COVID-19 adalah sekitar 58 pasien setiap bulannya (tabel 4.3).

Tabel 4.3 Hasil statistik data Pasien Hipertensi yang kontrol ke Puskesmas Bendosari
sebelum dan sesudah pandemi COVID-19

Dari data tersebut dilakukan analisis paired t-test. Hasilnya dari 2 kelompok yang di uji,
terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,05), dengan nilai p yaitu 0,001 (tabel 4.4).

Tabel 4.4 Hasil analisis data

Hal ini menunjukan bahwa jumlah pasien hipertensi yang kontrol di wilayah kerja
Puskesmas Bendosari sebelum dan sesudah Pandemi COVID-19 berbeda secara signnifikan.
Jumlah rata-rata pasien yang kontrol setelah pandemi COVID-19 turun dibandingkan
sebelumnya. Padahal dari tinjauan pustaka yang ada, hipertensi dapat berkomplikasi menjadi
berbagai penyakit serius apabila tidak terkontrol. Maka dari itu, perlu identifikasi masalah
yang melatarbelakangi hal tersebut dan juga solusinya agar pasien hipertensi tetap dapat terapi
yang sesuai guideline.
BAB V
PENENTUAN PRIORITAS MASALAH DAN ANALISIS DATA

5.1 Rencana Intervensi Masalah


Rencana intervensi masalah berupa peningkatan kesadaran masyarakat dalam
mengendalikan dan mencegah terjadinya hipertensi.
5.2 Identifikasi Masalah Menggunakan Fishbone Analysis
Setelah dilakukan penetapan prioritas masalah, maka didapatkan permasalahan yang akan
diidentifikasi adalah Rendahnya penderita hipertensi yang berobat teratur. Identifikasi masalah
penyebab dan alternative jalan keluar dilakukan dengan fishbone dan brainstorming (CARL).
5.3.1. MAN
a. kader belum terlatih melakukan pemeriksaan tensi secara mandiri
b. Kurangnya jumlah kader
c. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk berobat rutin dan melanjutkan
pengobatan rutin program PROLANIS
d. Pasien cenderung bosan mengkonsumsi obat setiap hari
5.3.2. MONEY
a. Biaya control tensi mandiri
b. Biaya transport periksa ke puskesmas
c. Penggunaan dana desa untuk penanganan PTM belum maksimal
5.3.3. METHOD
a. Metode sosialisasi kader yang kurang personal
b. Kesadaran keluarga untuk mendukung pengobatan rutin belum maksimal
5.3.4. MACHINE
a. Tidak adanya akses transport ke puskesmas
b. Kurangnya media informasi tentang Hipertensi
5.3.5. ENVIRONTMENT
a. Masyarakat masih mempercayai pengobatan tradisional
b. Kultur dan budaya tentang pengendalian dan pencegahan hipertensi
5.3.6. MEASUREMENT
a. Alat ukur yang tidak terkalibrasi
b. Jenis obat-obatan yang terbatas di puskesmas

5.4. Penentuan Alternatif Pemecahan Masalah


Setelah menganalisis beberapa penyebab masalah, langkah selanjutnya yaitu
menyusun jalan keluar dari setiap penyebab masalah yang ada. Adapun alternative jalan
keluar tersebut tersaji dalam tabel berikut:
Tabel 5.2 Alternatif Pemecahan Masalah
No. Masalah Penyebab Alternatif Pemecahan Masalah

1. Kader belum terlatih - Diadakan pelatihan kader secara rutin, yang


melakukan pemeriksaan mencakup cara deteksi dini serta pengendalian
tensi secara mandiri penyakit hipertensi
- Memberikan penyuluhan pada kader mengenai
pentingnya pemeriksaan tensi untuk diagnosis
hipertensi
2. Kurangnya jumlah - Dilakukan penambahan jumlah kader dengan
kader cara advokasi pada pemegang kebijakan
setempat
3. Kurangnya kesadaran - Melakukan penyuluhan kepada masyarakat
masyarakat untuk mengenai penyakit hipertensi, pencegahan serta
berobat rutin dan pengobatannya yang bersifat jangka panjang
melanjutkan pengobatan - Melakukan penyuluhan kepada masyarakat
rutin program mengenai program PROLANIS, serta
PROLANIS pentingnya mengikuti program tersebut secara
rutin untuk mengontrol tekanan darah.
4. Pasien cenderung bosan - Melakukan penyuluhan kepada masyarakat
mengkonsumsi obat mengenai pentingnya pengobatan rutin
setiap hari hipertensi, serta efeknya jika tidak rutin minum
obat
- Memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai komplikasi yang dapat ditimbulkan
karena peningkatan tekanan darah yang tidak
terkontrol
5. Biaya kontrol tensi - Mengadakan alat tensimeter di tiap RW,
mandiri sehingga masyarakat dapat memeriksakan
tekanan darahnya secara gratis dan berkala
6. Biaya transport periksa - Pengusulan pengadaan transport kepada
ke puskesmas masyarakat untuk berobat ke faskes

7. Penggunaan dana desa - Berkoordinasi desa saat MMD


untuk penanganan PTM - Advokasi dengan pemegang kebijakan untuk
belum maksimal alokasi dana PTM desa

8. Metode sosialisasi kader - Melakukan kunjungan rumah pasien hipertensi


yang kurang personal dengan komplikasi, sehingga diharapkan
meningkatkan keinginan pasien untuk berobat
rutin sehingga komplikasi yang ditimbulkan
tidak bertambah parah
9. Kesadaran keluarga - Melakukan kunjungan rumah keluarga pasien
untuk mendukung hipertensi dengan komplikasi, untuk diberikan
pengobatan rutin belum informasi mengenai hipertensi beserta
maksimal pengobatannya yang bersifat jangka panjang
serta komplikasi yang dapat muncul sehingga
diharapkan keluarga pasien dapat ikut
mendukung pengobatan pasien
10. Tidak adanya akses - Pengusulan pengadaan transport kepada
transport ke puskesmas masyarakat untuk berobat ke faskes

11. Kurangnya media - Membuat grup diskusi melalui sosial media


informasi tentang contohnya whatsapp grup, yang berisi kader,
Hipertensi beserta masyarakat. Dan kader diharapkan aktif
berbagi informasi kesehatan khususnya
hipertensi
12. Masyarakat masih - Memberikan informasi kepada masyarakat
mempercayai mengenai pengobatan hipertensi yang sesuai,
pengobatan tradisional dimana pengobatannya harus rutin dan sesuai
kondisi pasien
13. Kultur dan budaya - Memberikan edukasi mengenai pola hidup sehat
tentang pengendalian untuk mengendalikan dan mencegah hipertensi
dan pencegahan - Diskusi mengenai kultur dan budaya yang benar
hipertensi atau salah secara teoritis, sehingga masyarakat
mampu menjalankan kultur yang benar
14. Alat ukur yang tidak - Mengkalibrasi alat secara teratur
terkalibrasi

15. Jenis obat-obatan yang - Mengajukan pengadaan jenis obat-obatan


terbatas di puskesmas hipertensi yang lebih bervariasi
5.5. Penentuan Prioritas Pemecahan Masalah
Dengan permasalahan masyarakat tentang Rendahnya penderita hipertensi yang
berobat teratur sebagai prioritas utama, terdapat beberapa alternative pemecahan masalah
yang dapat dilakukan. Namun, beberapa pilihan tersebut saling kontradiktif satu sama
lain sehingga perlu dilakukan pertimbangan matang untuk memilih prioritas pemecahan
masalah yang paling sesuai untuk puskesmas dan masyarakat wilayah Puskesmas
Bendosari agar pemecahan masalah dapat dilakukan dengan jauh lebih optimal dan
dilakukan untuk kepentingan bersama.pemilihan alternatif pemecahan masalah tersebut
dapat dilakukan dengan menggunakan teknik analisis pilihan prioritas pemecahan
masalah, yaitu untuk memilih satu dari beberapa penyebab masalah atau memilih satu
dari beberapa alternatif pemecahan masalah.teknik analisis pilihan yang lazim digunakan
adalah metode CARL.
Pemilihan prioritas ini dilakukan dengan menggunankan skala penilaian dari 1-5
yang didasarkan pada:
• C : Capability (kemampuan), seberapa banyak kekuatan yang dimiliki oleh
sumber daya untuk mengatasi masalah.
• A : Accessibility (kemudahan), seberapa mudah masalah atau penyebab
masalah untuk diatasi dilihat dari ketersediaan metode, cara, teknologi, dan
penunjang pelaksanaannya.
• R : Readyness (kesiapan), seberapa siap tenaga pelaksana untuk mengatasi
masalah.
• L : Leverage (daya ungkit), besarnya pengaruh antar metode penyelesaian
masalah yang satu dengan yang lain secara langsung maupun tidak langsung.
Tabel 5.3 Pemilihan Prioritas Jalan Keluar dengan Teknik CARL

No. Aspek C A R L Kumulatif Ranking

1. Diadakan pelatihan kader 4 4 3 4 15 5


secara rutin, yang
mencakup cara deteksi dini
serta pengendalian penyakit
hipertensi

2. Dilakukan penambahan 4 4 5 5 18 3
jumlah kader dengan cara
advokasi pada pemegang
kebijakan setempat

3. Melakukan penyuluhan 5 5 5 5 20 1
kepada masyarakat
mengenai penyakit
hipertensi, pencegahan
serta pengobatannya yang
bersifat jangka panjang

4. Melakukan penyuluhan 5 3 4 4 16 4
kepada masyarakat
mengenai pentingnya
pengobatan rutin
hipertensi, serta efeknya
jika tidak rutin minum obat
5. Mengadakan alat 3 3 3 4 16 4
tensimeter di tiap RW,
sehingga masyarakat dapat
memeriksakan tekanan
darahnya secara gratis dan
berkala
6. Pengusulan pengadaan 2 2 3 3 10 8
transport kepada
masyarakat untuk berobat
ke faskes
7. Advokasi dengan 2 1 2 3 8 10
pemegang kebijakan untuk
alokasi dana PTM desa

8. Melakukan kunjungan 5 5 5 4 19 2
rumah pasien hipertensi
dengan komplikasi,
sehingga diharapkan
meningkatkan keinginan
pasien untuk berobat rutin
sehingga komplikasi yang
ditimbulkan tidak
bertambah parah
9. Melakukan kunjungan 5 5 5 4 19 2
rumah keluarga pasien
hipertensi dengan
komplikasi, untuk
diberikan informasi
mengenai hipertensi beserta
pengobatannya yang
bersifat jangka panjang
serta komplikasi yang dapat
muncul sehingga
diharapkan keluarga pasien
dapat ikut mendukung
pengobatan pasien
10. Pengusulan pengadaan 2 2 3 3 10 8
transport kepada
masyarakat untuk berobat
ke faskes
11. Membuat grup diskusi 3 2 3 3 11 7
melalui sosial media
contohnya whatsapp grup,
yang berisi kader, beserta
masyarakat. Dan kader
diharapkan aktif berbagi
informasi kesehatan
khususnya hipertensi
12. Memberikan informasi 4 2 4 4 14 6
kepada masyarakat
mengenai pengobatan
hipertensi yang sesuai,
dimana pengobatannya
harus rutin dan sesuai
kondisi pasien
13. Diskusi mengenai kultur 4 3 4 4 15 5
dan budaya yang benar atau
salah secara teoritis,
sehingga masyarakat
mampu menjalankan kultur
yang benar

14. Mengkalibrasi alat secara 3 2 2 2 9 9


teratur
15. Mengajukan pengadaan 3 1 2 3 9 9
jenis obat-obatan hipertensi
yang lebih bervariasi

Berdasarkan teknik CARL di atas, maka urutan prioritas pemecahan masalah


sebagai berikut:
1. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit hipertensi,
pencegahan serta pengobatannya yang bersifat jangka panjang.
2. Melakukan kunjungan rumah pasien hipertensi dengan komplikasi, sehingga
diharapkan meningkatkan keinginan pasien untuk berobat rutin sehingga
komplikasi yang ditimbulkan tidak bertambah parah, serta melakukan
kunjungan rumah keluarga pasien hipertensi dengan komplikasi, untuk
diberikan informasi mengenai hipertensi beserta pengobatannya yang bersifat
jangka panjang serta komplikasi yang dapat muncul sehingga diharapkan
keluarga pasien dapat ikut mendukung pengobatan pasien
3. Melakukan penambahan jumlah kader dengan cara advokasi pada pemegang
kebijakan setempat.
BAB VI
PLAN OF ACTION

6.1. Health Problem and Goal

Permasalahan utama di wilayah kerja Puskesmas ditentukan untuk membuat rancangan


kegiatan yang sesuai dengan goal yang akan dicapai. Secara lebih dalam, progam kerja yang
dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjalankan
pengobatan rutin penderita hipertensi, serta meningkatkan partisipasi pembuat kebijakan
untuk mengendalikan Penyakit Tidak Menular, salah satunya hipertensi. Kegiatan diatas
semua bertujuan untuk meningkatkan angka penderita hipertensi berobat rutin.
Tabel 6.1 Masalah Kesehatan dan Tujuan yang Diharapkan
Health Problem Goals
Kurangnya kesadaran masyarakat • Pengetahuan pasien Hipertensi
untuk berobat rutin dan melanjutkan untuk melakukan pengobatan rutin
pengobatan rutin program meningkat.
PROLANIS

Metode sosialisasi kader yang • Pasien Hipertensi dapat


kurang personal serta kesadaran mendapatkan informasi yang lebih
keluarga untuk mendukung lengkap dan sesuai dengan kondisi
pengobatan rutin belum maksimal tiap personal
• Meningkatnya pengetahuan
keluarga pasien mengenai
pentingnya pengobatan Hipertensi
yang teratur
Kurangnya jumlah kader • Penambahan jumlah kader Penyakit
Tidak Menular

6.2.Kelompok Sasaran

a. Primer: Penderita Hipertensi di Puskesmas Bendosari

b. Sekunder: Keluarga Penderita Hipertensi di Puskesmas Bendosari

c. Tersier: Perangkat Puskesmas Bendosari


6.3.Metode
Metode diharapkan dapat meningkatkan angka berobat rutin pasien Hipertensi, yaitu
dengan cara melakukan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit hipertensi,
pencegahan serta pengobatannya yang bersifat jangka panjang, melakukan kunjungan rumah
pasien hipertensi dengan komplikasi, sehingga diharapkan meningkatkan keinginan pasien
untuk berobat rutin sehingga komplikasi yang ditimbulkan tidak bertambah parah, serta
melakukan kunjungan rumah keluarga pasien hipertensi dengan komplikasi, untuk diberikan
informasi mengenai hipertensi beserta pengobatannya yang bersifat jangka panjang serta
komplikasi yang dapat muncul sehingga diharapkan keluarga pasien dapat ikut mendukung
pengobatan pasien, melakukan penambahan jumlah kader dengan cara advokasi pada
pemegang kebijakan setempat.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
7.1.1 Masalah utama yang berhubungan dengan kesehatan yang menjadi prioritas atau
diagnosa komunitas di lingkup kerja Puskesmas Bendosari adalah rendahnya
penderita hipertensi yang berobat teratur
7.1.2 Tingginya angka penderita hipertensi yang berobat tidak teratur disebabkan karena
kurangnya kesadaran masyarakat untuk berobat rutin karena pengetahuan serta
informasi yang kurang, metode sosialisasi yang kurang personal, dan tidak adanya
kader khusus untuk penanganan penyakit tidak menular.
7.1.3 Strategi untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan kesehatan di lingkup
kerja Puskesmas Bendosari ini adalah dengan cara melakukan penyuluhan pada
kegiatan posyandu lansia, home visit pasien hipertensi dengan komplikasi, serta
advokasi pada pembuat kebijakan (perangkat desa) untuk pengajuan kader penyakit
tidak menular. Kegiatan tersebut dilakukan di Puskesmas Bendosari.
7.2 Saran
7.2.1. Perlu dilakukan pemantauan berkala hasil penyuluhan yang diberikan, yang dapat
ditunjukkan dengan meningkatnya kunjungan berobat rutin pasien hipertensi.
7.2.2. Perlu dilakukan pemantauan terkait pembentukan kader untuk mengatasi PTM.
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2014. “About High Blood Pressure”.


http://www.heart.org/HEARTORG/conditions/HighBloodPressure/About
HighPressure/Aboout-High-Blood-Pressure_UCM._002050_Article.jsp. Diakses pada
tanggal 2 November 2015.

Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Yogjakarta: Diva Press.

Bell, K. 2015. Hypertension: The Silnet Killer: Updated JNC-8 Guideline Recommendations.
Counting Education , 2.

Departemen Kesehatan. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia-Tahun
2007. Depkes RI :Jakarta.

Drager, Luciano F., Pio-Abreu, Andrea, Lopes, Renato D., & Bortolotto, Luiz A. (2020). Is
Hypertension a Real Risk Factor for Poor Prognosis in the COVID-19 Pandemic? Current
Hypertension Reports, 22(43). doi: doi.org/10.1007/s11906-020- 01057-x

Channel News Asia. (2020). Wuhan virus outbreak: 15 medical workers infected, 1 in critical
condition. [Homepage on The Internet].
Cited Jan 28th 2020. Available
on:https://www.channelnewsasia.com/news/asia/wuhanpneumonia-outbreak-health-workers-
coronavirus-12294212

Fauzi, Isma. 2014. Buku Pintar Deteksi Dini Gejala, & Pengobatan Asam Urat, Diabetes &
Hipertensi. Yogyakarta: Araska.

Fehr, A.R., Perlman, S. (2015). Coronavirus: An Overview of Their Replication and


Pathogenesis. Methods Mol Biol. 2015 ; 1282: 1–5

Ferri, F. F. 2017. Ferri's Clinical Advisor 2017: 5 Books in 1. Philadelphia: Elsevier, Inc.

Huang, C., Wang, Y., Li, X., Ren, L., Zhao ,J., Zan,g Li., Fan, G., etc. (2020). Clinical features of
patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet. 24 jan 2020.

Ignatavicius, Workman, & Rebar. 2017. Medical Surgical Nursing: Concepts For Interprofessional
Collaborative Care (9 th ed.). St. Louis : Elsevier, Inc.

Irwan. 2016. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Yogyakarta: Deepublish.

Korsman, S.N.J., van Zyl, G.U., Nutt, L., Andersson, M.I, Presier, W. (2012). Viroloy. Chins: Churchill
Livingston Elsevier
Kowalak, J. P. 2011. Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Lewis, Dirksen, Heitkemper, & Bucher. 2014. Medical Surgical Nursing. Assessment And
Management Of Clinical Problems (9th ed.). St. Louis : Elsevier Mosby.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2020). Panduan Praktik Klinis: Pneumonia 2019-nCoV.
PDPI: Jakarta
Relman, E. (2020). Business insider Singapore. Cited Jan 28th 2020. Available
on:https://www.businessinsider.sg/deadly-china-wuhan-virusspreading- human-to-human- officials-
confirm-2020- 1/?r=US&IR=T.

Riyadi, Sujono. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Setiati, Siti. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Ed. VI. Jakarta: Interna Publishing.

Smeltzer, Susan C. 2017. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth : Alih Bahasa, Devi
Yulianti, Amelia Kimin : editor edisi bahasa Indonesia, Eka Anisa Mardella. – Ed. 12. Jakarta:
EGC.

The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation, and
treatment of High Blood Pressure. 2003.

WHO-ISH. 2013. Hypertension Guideline Committee. Guidelines of the Management of


Hypertension. J Hypertension. 2003;21(11): 1983-92.

WHO. (2020). WHO Director-General’s remarks at the media briefing on 2019-nCov on 11


February 2020. Cited Feb 13rd 2020.
Available on: https://www.who.int/dg/speeches/detail/who-director-generals-remarks-
at-the-media- briefing-on-2019-ncov-on-11-february- 2020. (Feb 12th 2020)
Wang, Z., Qiang, W., Ke, H. (2020). A Handbook of 2019-nCoV Pneumonia Control and
Prevention. Hubei Science and Technologi Press. China

Anda mungkin juga menyukai