Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN

KASUS

Adhesive Small Bowel Obstruction (ASBO)

Disusun oleh :

dr. Dwi Rezki Amalia

Pembimbing :

dr. Mujiran, Sp.B

RSUD DATU SANGGUL RANTAU


KALIMANTAN SELATAN
Juni, 2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

LAPORAN KASUS................................................................................................ 1

PEMBAHASAN......................................................................................................6

PENUTUP      ......................................................................................................  16

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Small bowel obstruction (SBO) merupakan salah satu kasus

kegawatdaruratan bedah yang ditandai adanya obstruksi pada usus kecil. Small

bowel obstruction (SBO) merupakan kasus bedah umum yang sering ditemukan.

Namun, diantara berbagai penyebab SBO, adhesi merupakan penyebab yang

paling umum, yakni sekitar 15% dari presentasi kasus bedah emergensi.(1)(2)

Pada tiga decade pertama di abad ke 20, tingkat mortalitas akibat small

bowel obstruction (SBO) cukup tinggi, yakni mencapai 60%. Namun, seiring

dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi, dan pengetahuan tentang

tatalaksana kasus SBO tingkat kematian akibat SBO mencapai 3-7% pada kasus

SBO tanpa komplikasi dan mencapai 15% pada kasus SBO yang disertai

strangulasi.(3)

Tingkat mortalitas akibat SBO dapat ditekan apabila kasus ini dapat

didiagnosis dan ditatalaksanai secara cepat dan tepat. Oleh karena itu,

pengetahuan tentang SBO sangat penting bagi tenaga medis. Pada laporan kasus

ini akan dibahas sebuah kasus SBO, tetapi secara spesifik akan membahas tentang

adhesive small bowel obstruction (ASBO), yang merupakan kasus SBO terbanyak

yang ditemukan.
BAB II

TINJAUAN PUSKTAKA

ADHESIVE SMALL BOWEL OBSTRUCTION (ASBO)

A.      DEFINISI

Adhesive small bowel obstruction (ASBO) merupakan salah satu kasus

kegawatdaruratan bedah yang ditandai adanya obstruksi pada usus kecil yang

mengakibatkan terhambatnya pasase atau pergerakan isi usus yang dalam hal ini

disebabkan oleh suatu adhesi atau perlengketan peritoneum.(1)

Adhesi peritoneum didefinisikan sebagai suatu pita jaringan fibrosa

abnormal yang menghubungkan permukaan mesotelial atau organ di dalam

cavitas peritoneal yang normalnya terpisah. Adhesi dihasilkan akibat adanya

respon penyembuhan patologis peritoneum terhadap cidera, yang bertentangan

dengan perbaikan “ad integrum” normal, atau dengan kata lain adhesi merupakan

sikatrik pada peritoneum. (1)(4) Gambar adhesi peritoneum ditunjukkan oleh

gambar.
Gambar. Adhesi Peritoneal.(5)

B.       EPIDEMIOLOGI

Small bowel obstruction (SBO) merupakan kasus bedah umum yang

sering ditemukan. Namun, diantara berbagai penyebab SBO, adhesi merupakan

penyebab yang paling umum, yakni sekitar 15% dari presentasi kasus bedah

emergensi.(2)

C.      KLASIFIKASI

Sistem klasifikasi yang paling sering digunakan dalam kasus SBO oleh

dokter bedah umum adalah klasifikasi menurut Zühlke et al. (Tabel). Skor pada

klasifikasi tersebut didasarkan pada kuatnya perlekatan adhesi itu sendiri dan

beberapa aspek morfologis adhesi tersebut. Kelebihan dari sistem skoring ini

adalah mudah digunakan dan klasifikasinya dianggap jelas bagi sebagian besar

dokter bedah dan ginekolog. Namun, kelemahan utama sistem skoring ini adalah

bahwa sistem skoring ini tidak dapat menentukan tingkat adhesi dan bahwa daya

lekat adhesi dapat bervariasi pada beberapa bagian abdomen.(1)

Klasifikasi adhesi berdasarkan Zuhlke et al.


Grade 0 Tidak terdapat adhesi  atau terdapat adhesi yang tidak signifikan
Grade 1 Adhesi dapat dengan mudah dipisahkan dengan diseksi tumpul
Grade 2  Adhesi dapat dipisahkan dengan diseksi tumpul, tetapi beberapa

diseksi tajam tetap diperlukan, mulai muncul vaskularisasi


Grade 3 Adhesi hanya dapat dipisahkan dengan diseksi tajam, vaskularisasi

jelas terlihat
Grade 4 Adhesi hanya dapat dipisahkan dengan diseksi tajam, organ melekat

dengan kuat dengan adhesi, kerusakan organ sulit dicegah.


 

D.      ETIOLOGI
Adhesi dapat terbentuk akibat riwayat operasi sebelumnya atau terbentuk

sebagai komplikasi dari kondisi inflamasi pada abdomen yang hanya ditangani

secara konservatif.(6) Sekitar 10-20% adhesive small bowel obstruction (ASBO)

diakibatkan oleh inflamasi pada abdomen yang dikelola secara konservatif,

misalnya appendisitis akut, cholesistitis akut, diverticulitis, pelvic inflammatory

disease, dan inflammatory bowel disease, sedangkan 80-90% sisanya disebabkan

oleh riwayat operasi laparotomi.(7)(8)

E.       PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Adhesi dihasilkan akibat adanya respon biokimia dan seluler yang terjadi

dalam upaya memperbaiki peritoneum. Pembentukan adhesi pada tingkat

molekuler melibatkan interaksi kompleks molekul adhesi sel, sitokin, growth

factor, neuropeptida, dan beberapa faktor lain yang disekresikan oleh sel di dekat

daerah yang mengalami cidera. Dalam proses ini, keseimbangan awal antara

deposisi dan degradasi fibrin tampaknya menjadi faktor penting dalam

pembentukan adhesi.(4)

Mekanisme adhesiogenesis tidak diketahui secara pasti, tetapi diyakini

melibatkan adanya gangguan pada permukaan mesothelial dengan diikuti dengan

proses fibrinokoagulatif dan inflammatory signaling. Etiologi adhesi secara umum

dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yakni :

1.    Pasca operasi : Hampir 90% adhesi abdominal terbentuk sebagai akibat dari

operasi abdomen sebelumnya, terutama laparotomi (misalnya laparotomi) dan

dalam persentase yang lebih kecil diakibatkan oleh operasi laparoskopi. Indikasi

dari laparotomi yang dilakukan sebelumnya bervariasi, mulai dari malignansi


saluran gastrointestinal, benign small bowel disease, appendektomi dengan

komplikasi, kolesistektomi, histerektomi, atau kehamilan ektopik. Luasnya adhesi

tampaknya berkolerasi dengan beratnya/luasnya operasi yang dijalani

sebelumnya. Untungnya, insiden adhesi telah berkurang secara signifikan di era

laparoskopi, yakni hanya sekitar 5% kasus laparoskopi yang berkembang menjadi

adhesi.

2.    Pasca inflamasi atau infeksi : Pada wanita yang tidak memiliki riwayat operasi

sebelumnya,  endometriosis dan pelvic inflammatory disease merupakan etiologi

adhesi tersering. Disamping itu, etiologi yang dapat terjadi pada pria maupun

wanita antara lain penyakit divertikulitis (terutama pada divertikel pada usus

kecil), Crohn's disease, dan tuberkulosis abdominal (di area endemis).

3.    Pasca radiasi : Radiasi abdominopelvis yang dilakukan sebagai terapi pada

berbagai kasus keganasan, termasuk keganasan ginekologi, prostat, rektal, atau

penyakit lymphoproliferative, dapat menyebabkan adhesi sebagai sekuele lanjut

tindakan tersebut. Tingkat keparahan adhesi bergantung pada luas anatomis area

yang diterapi, derajat dosis fraksinasi, dan total dosis radiasi yang diberikan.

Adhesi pasca radiasi dapat menjadi sesuatu yang sangat menantang untuk dikelola

karena luas dan densitasnya dan sifat kompromi dari jaringan di bawahnya

(misalnya iskemik kronis atau jaringan yang rapuh.(6)


F.       MANIFESTASI KLINIS

Sebagian besar pasien dengan adhesi intra-abdominal bersifat

asimptomatik, tetapi pada beberapa pasien terjadi gejala klinis yang signifikan,

mulai dari gejala ringan hingga gejala berat, bahkan gejala yang mengancam

nyawa.(6) Berikut adalah beberapa gejala dan tanda yang dapat muncul pada

SBO:(6)(9)

 Mual dan muntah hijau (bilious vomiting)

Suatu obstruksi dapat menyebabkan material di dalam usus dapat kembali ke

lambung, sehingga menyebabkan pasien mengalami mual hingga muntah.

 Kembung (distensi abdomen)

Bagian proksimal dari lokasi obstruksi akan menjadi besar, berdilatasi, dan

terisi dengan cairan dan udara yang seharusnya dapat bergerak menuju ke

bagian distal usus. Hal ini akan menyebabkan kembung (distensi abdomen).

 Kram dan abdominal discomfort

Ketika usus berkontraksi untuk mendorong material dalam usus melewati

bagian obstruksi, hal tersebut akan menyebabkan terjadinya kram dan rasa

tidak nyaman pada abdomen.

 Tidak bias kentut atau buang air besar (BAB)

Apabila cairan dan udara tidak dapat melewati bagian obstruksi, pasien akan

mengeluhkan tidak bisa kentut dan tidak bisa buang air besar (obstipasi).
G.      DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis SBO didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang.

 Anamnesis

Hal yang harus ditanyakan pada anamnesis adalah gejala yang mengarah

pada SBO, misalnya mual, muntah, tidak bias kentut atau BAB, kembung, kram

perut ataupun abdominal discomfort. Selain itu, pada anamnesis perlu ditanyakan

hal-hal yang mungkin mengarahkan pada adhesi peritoneum, misalnya riwayat

operasi di daerah perut atau panggul sebelumnya, riwayat peradangan pada perut,

atau riwayat radioterapi di daerah perut atau panggul.

 Pemeriksaan Fisik

Selain anamnesis, pemeriksaan fisik memegang peranan yang sangat

penting untuk menegakkan diagnosis SBO. Temuan abnormal yang mungkin

didapatkan pada kasus SBO diantaranya adalah peningkatan bising usus (pada

beberapa kasus ditemukan metallic sound atau high-pitched sound) atau justru

hilangnya bising usus, distensi abdomen (terkadang dapat ditemukan darm

steifung dan darm contour), perkusi timpani hingga hipertimpani, dan nyeri tekan

abdomen. Disamping itu, untuk mengarahkan diagnosis kea rah adhesi, maka

perlu dicari pula scar bekas operasi pada abdomen dan pelvis.(6)(10)
 Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

mendukung diagnosis ASBO, diantaranya adalah sebagai berikut :

 Pemeriksaan laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik terkait dengan ASBO, tetapi

beberapa pemeriksaan dibutuhkan untuk menyingkirkan penyebab SBO yang

lain, misalnya adanya peningkatan C-reactive protein, anemia, atau

peningkatan enzim hati dapat menjadi dasar adanya etiologi lain selain

obstruksi akibat adhesi.(6)

 Imaging

Imaging memegang peran penting dalam penegakan diagnosis SBO. Foto

polos abdomen dan CT scan abdomen merupakan pemeriksaan rutin yang biasa

dilakukan saat ini. Rangkaian pemeriksaan x-ray pada usus halus menggunakan

water-soluble contrast agents (WSCA) yang telah dipelajari secara detil dalam

dekade terakhir karena kemungkinan memiliki bukan hanya manfaat diagnostik,

tetapi juga terapeutik. Ultrasonografi dan magnetic resonance imaging (MRI)

dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan alternatif, khususnya pada subgrup

seperti wanita hamil.(2)

Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis SBO akan didapatkan

melalui posisi dependent (posisi supine atau prone) dan non-dependent (posisi

tegak atau dekubitus) (Gambar).(10)


Gambar. Foto Polos Abdomen pada Kasus SBO.(10)
Temuan radiografi pada kasus SBO ditunjukkan pada tabel . Penanda

adanya SBO adalah dilatasi usus halus bagian proksimal dari bagian obstruksi

disertai dengan dekompresi bagian distal usus. Gambaran dilatasi usus (ditandai

dengan lebar usus 3 cm atau lebih (meskipun beberapa ahli lebih menyukai

patokan 2.5 cm atau lebih) ditunjukkan pada gambar. Pada kasus SBO, usus halus

berdilatasi hingga mengambil tempat colon (gambar 5), dan dibagian proksimal

dari obstruksi juga akan berdilatasi bahkan hingga mencapai lambung. Akibat

adanya dilatasi tersebut, akan muncul “stretch sign” atau “herringbone

appearance” yang merupakan istilah yang mengacu pada gambaran gas di usus

halus yang tersusun sebagai garis perpendicular terhadap aksis panjang abdomen

yang terbentuk akibat penipisan dinding usus halus (gambar 5). Gambaran

tersebut diakibatkan sejumlah kecil gas yang terpisah oleh valvulae conniventes di

usus halus yang dipenuhi oleh cairan (Gambar). Selain itu, pada kasus SBO juga

tidak temukan adanya gas rektal, tetapi temuan ini juga mungkin ditemukan pada

kasus obstruksi kolon maupun kasus normal, sehingga ada tidaknya gas rektal

tidak menjadi hal yang penting dalam penegakan kasus SBO.(10) Berikut adalah

beberapa gambaran radiologi yang khas pada kasus SBO.

Gambaran Radiologi Khas pada SBO


Tipe Radiografi Tanda Spesifik
Supine atau prone 1. Dilatasi usus halus (>3cm) yang diisi oleh udara dan
cairan
2. Dilatasi lambung
3. Dilatasi usus halus hingga mengambil tempat kolon
4. Stretct sign
5. Tidak adanya gas pada rectum
6. Gasless abdomen
7. Pseudotumor sign
Tegak atau left 1. Multiple air fluid level
lateral decubitus 2. Air-fluid level lebih panjang dari 2.5 cm
3. String of beads sign

H.      TATALAKSANA

Mayoritas pasien ASBO tidak menunjukkan tanda-tanda strangulasi usus,

sehingga tidak mutlak membutuhkan operasi. Untuk mencegah dilakukannya

operasi yang tidak benar-benar diperlukan dalam mayoritas ini, manajemen

konservatif telah secara luas dilakukan. Manajemen konservatif standar meliputi

resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan nasogastric tube (NGT) dekompresi

dan puasa. Terapi konservatif tersebut 80% menunjukkan keberhasilan pada

pasien dengan obstruksi parsial. Namun, hanya sekitar 40% kasus obstruksi total

yang berhasil ditangani dengan manajemen konservatif dengan risiko reseksi usus

yang lebih tinggi (30%) bagi mereka yang gagal. Periode maksimum manajemen

konservatif adalah 3-5 hari,bervariasi tergantung dokter bedah, institusi dan

protokol yang berlaku.(2)(8)

Nasogastric tube (NGT) adalah sebuah pipa plastik yang dipasang melalui

hidung hingga masuk ke dalam lambung dan berfungsi untuk mengeluarkan

cairan yang ada di lambung. Dalam hal ini, NGT yang dipasang adalah untuk

tujuan dekompresi. Tindakan ini dapat dilakukan selama tidak ada tanda-tanda

strangulasi usus atau kontraindikasi lainnya. Selain itu, pasien juga tidak

diperbolehkan untuk makan ataupun minum dan sebagai gantinya diberikan cairan

intravena untuk keperluan hidrasi. Biasanya, obstruksi usus halus ini akan teratasi

dalam beberapa hari. Ketika kembung pasien sudah berkurang dan pasien sudah
dapat kentut serta terdapat pergerakan usus, NGT dapat dilepas dan pasien

diperbolekan untuk makan dan minum. (9)(11)

Gambar. Tatalaksana Konservatif pada Kasus SBO.(9)

Jika pasien tidak membaik dengan terapi konservatif, intervensi bedah

mungkin diperlukan. Operasi ini disebut adhesio-lysis, yang artinya memotong

jaringan parut dan membebaskan usus yang terperangkap baik secara tajam

maupun secara tumpul.(1) Apabila ditemukan jaringan usus yang tampak tidak

sehat atau mati, bagian tersebut akan dipotong dan ujung-ujung usus yang sehat

akan dijahit kembali. (9)


Terdapat 2 pendekatan untuk melakukan adhesiolysis, yakni melalui open

adhesiolysis atau dengan laparoskopi. Pendekatan laparoskopi untuk kasus ASBO

secara teori kontroversial. Di salah satu sisi, pendekatan ini ideal karena biasanya

adhesi yang menyebabkan obstruksi hanya berupa satu pita kecil dan tujuan

operasi hanya untuk memotong pita tersebut. Di sisi lain, usus kecil yang

terperangkat akan melebar dan menjadi lebih rapuh dan mengisi rongga perut,

sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk memindahkan instrument,

membut prosedur ini menjadi sedikit sulit. Namun, adhesiolisis dengan

laparoskopi memeberikan hasil recovery yang lebih cepat dibandingkan dengan

open adhesiolisis.(12)

Saat ini tidak ada terapi farmakologi yang efektif untuk kasus adhesive.

terapi empirik dan simptomatik seperti yang tersedia untuk dispepsia (misalnya,

simetikon, proton pump inhibitor (PPI), nortriptilin) sering dicoba diberikan,

tetapi masih terdapat efikasi yang berbeda-beda, tergantung pada sejauh apa gejala

yang disebabkan oleh adhesi dan seberapa tingkat keparahannya. suplementasi

fiber untuk mengobati konstipasi justru dapat memperparah kondisi obstruksi

karena akan lebih banyak residu yang dihasilkan sementara kondisi lumen

menyempit akibat adhesi. Disamping itu, non bulking dan non stimulant agen,

misalnya polyethylene glycol dapat memberikan manfaat (diberikan bersama diet

rendah residu). Untuk pasien dengan gejala predominan cramp-like symptoms,

pelemas otot polos seperti dicyclomine, layak untuk dicoba.(6)


Selain itu, saat ini sedang dikembangkan dua macam alat diagnostik

sekaligus terapi, yakni watersoluble contrast (WSC) dan predictive

clinicoradiological models. Watersoluble contrast (WSC) seperti Gastrografin

(methylglucamine diatrizoate), merupakan cairan hiperosmolar yang digunakan

pada CT scan dan radiologi saluran pencernaan. CT enterografi biasanya

menggunakan 400-600 ml Gastrografin berkonsentrasi rendah (5-10%). Namun,

penggunaan sedikit WSC berkonsentrasi tinggi dan tidak diencerkan diikuti

dengan radiografi foto polos serial menunjukkan dapat memprediksi dan

mengurangi jumlah operasi pada kasus SBO tanpa komplikasi. Hal ini biasanya

dikenal dengan sebutan ‘Gastrografin challenge’. Akibat tingginya osmolaritas

gastrografin yakni sekitar 2200 mOsm/L atau enam kali lipat osmolaritas cairan

extraseluler, cairan ekstraseluler akan berpindah dari dinding usus menuju ke

lumen usus. Adanya perpindahan cairan ini akan menciptakan gradien tekanan,

meningkatkan motilitas dan mengencerkan isi usus, dan pada akhirnya

mempercepat resolusi ASBO. Namun, efek ini hanya akan terjadi pada

penggunaan Gastrografin konsentrasi tinggi. Pemberian gastrografin konsentrasi

rendah tidak memiliki efek terapeutik pada kasus ASBO.(2)

I. PENCEGAHAN

Prinsip utama pencegahan adhesi dan komplikasi yang terkait dengan

adhesi adalah dengan meminimalisir trauma yang terjadi pada saat pembedahan

dan memberikan regimen yang berfungsi untuk mengurangi pembentukan adhesi.

Teknik operasi dengan laparoskopi dipercaya dapat mengurangi risiko adhesi dan
risiko terjadinya ASBO, begitupula dengan pemberian adhesion barrier yang

dipercaya dapat mengurangi pembentukan adhesi.(1)

J. PROGNOSIS

Manajemen SBO cukup sulit untuk diimplementasikan. Tingkat rekurensi

pada kasus ini mencapai 30% dengan tingkat mortalitas mencapai 2%.(2)
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama               : Tn. M                                              

Umur               : 50 tahun                                           

Agama             : Islam                                                

Suku                : Madura                                             

Alamat            : Madura

MRS                : 1 Mei 2020

No. RMK        : 19-46-62

B. Anamnesis

1.   Keluhan utama :

Nyeri perut

2.      Riwayat Penyakit Sekarang :

Nyeri seluruh perut sejak 2 hari SMRS, terjadi perlahan, semakin

memberat. Keluhan nyeri perut disertai dengan tidak dapat kentut dan BAB. Perut

terasa kembung dan semakin lama semakin kembung. Kembung bertambah

terutama ketika pasien mencoba makan. Muntah + 2x, berisi makanan. Muntah

hijau atau feses disangkal. Mual +. Demam -. Riwayat nyeri perut sebelumnya +,

tetapi dibiarkan saja oleh pasien dan sembuh dengan sendirinya.


Keluhan BAB seperti kotoran kambing disangkal. Riwayat memijat perut

disangkal. Riwayat operasi pada perut sebelumnya disangkal. Riwayat pengobatan

radioterapi pada daerah panggul dan perut disangkal.

3.      Riwayat Penyakit Dahulu

DM (-), HT (+), Asma (-), Alergi (-)

4.      Riwayat Penyakit Keluarga

 DM (-), HT (-), Asma (-), Alergi (-)

B. Pemeriksaan Fisik

A.  Pemeriksaan Fisik Umum

1. Keadaan Umum

         Kesadaran       : Compos Mentis (GCS : E4V5M6)

         Berat Badan    : 65 kg

         Tinggi Badan  : 160 cm                                                                       

2. Tanda Vital  

         Tekanan Darah          : 150/92 mmHg

         Nadi                           : 75 x/menit

         Pernapasan                 : 18 x/menit

         Suhu                           : 36.8  oC

         SpO2                          : 98% tanpa O2

3.      Kulit          :

         I : Hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-), ikterik (-), pucat (-)

         Pa : nodul (-), sclerosis (-), atrofi (-)

 
4.      Kepala dan leher

Kepala : Bentuk kepala normal

Mata    : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil DS isokor

(3mm/3mm), reflex pupil direk dan indirek (+/+).

Telinga : Tanda-tanda infeksi pada telinga (-), sekret telinga minimal,

tragus pain (-)

Hidung  : kelainan bentuk hidung (-), sekret hidung (-), epistaksis (-)

Mulut  : mukosa bibir kering (-), perdarahan gusi (-), stomatitis (-),

perbesaran tonsilla palatina (-), peradangan tonsilla palatina (-).

Leher   : perbesaran nll. cervicalis (-), perbesaran glandula thyroidea (-),

peningkatan JVP (-), kaku kuduk (-).

5.      Thorax

         Dinding Thorax

Inspeksi : bentuk cavitas thoracis normal, retraksi intercostal (-),

pergerakan dinding thorax simetris, tidak terlihat adanya tanda-tanda

fraktur, rose spot (-).

Palpasi   : tidak ada krepitasi pada os costae, sternum, maupun clavicula.

         Paru

-          Inspeksi : pergerakan pulmo dextra et sinitra simetris.

-          Palpasi : fremitus vokal pulmo dextra et sinistra simetris, tidak ada

penurunan maupun peningkatan frekuensi fremitus vocal.

-          Perkusi : perkusi pulmo sonor pada keenam regio thorax


-          Auskultasi : suara nafas dasar vesicular, tidak ditemukan

adanya ronkhi ataupun wheezing.

         Jantung

-          Inspeksi   : ictus cordis tidak tampak

-          Palpasi   : ictus cordis teraba pada ICS IV line midclavicularis

sinistra, thrill tidak teraba.

-          Perkusi : batas kanan jantung = ICS II-IV linea sternalis dextra,

batas kiri jantung = ICS IV linea midclavicularis sinistra  batas

jantung dalam batas normal.

-          Auskultasi : S1>S2, murmur (-)

6.      Abdomen 

-          Inspeksi : distensi abdomen (+),venektasi (-), jejas (-)

-          Aukultasi : peningkatan/penurunan bising usus (+), metallic sound (-),

-          Palpasi : spasme dinding abdomen (-), tenderness (+) pada seluruh

region abdomen

-          Perkusi : hipertimpani di seluruh region abdomen

7.      Ekstremitas atas dan bawah

Akral hangat +/+, edema -/-


D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Rutin

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.7 13,00 – 17,00 g/Dl
Leukosit 15,3 4,00 – 11,0 ribu/Ul
Eritrosit 5,17 4,00 – 5,50 juta/uL
Hematokrit 37,0 37,00 – 47,00 vol%
Trombosit 697 150 – 450 ribu/uL
DIFFCOUNT
Limfosit 30 20-40% %
Mid 8 2-8% %
Granulosit 62 50-70% %
KIMIA DARAH
GDS 90 <140 Mg/dl
SGOT 16 <35  
SGPT 14 <35  
Ureum 20 10-50 Mg/dl
BUN 9 8-20 Mg/dl
Kreatinin 0,8 Sd 1,1 Mg/dl
 

Foto thorax
Foto Abdomen Tiga Posisi

 
F. Diagnosis Pre Operasi

Suspek ileus obstruktif  ec malignancy

G. Diagnosis Post Operasi

Ileus obstruksi ec adhesi


H. Laporan Operasi
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki berusia

50 tahun berinisial M. Pasien ini dirawat di RS Datu Sanggul Rantau sejak tanggal

1 Mei 2020 hingga tanggal 4 Mei 2020. Pasien dipulangkan setelah menjalani

operasi dan kondisinya telah dipastikan stabil.

Pasien ini datang ke IGD RSUD Datu Sanggul dengan keluhan utama

nyeri perut. Nyeri seluruh perut sejak 2 hari SMRS, terjadi perlahan, semakin

memberat. Keluhan nyeri perut disertai dengan tidak dapat kentut dan BAB. Perut

terasa kembung dan semakin lama semakin kembung. Kembung bertambah

terutama ketika pasien mencoba makan. Muntah + 2x, berisi makanan. Muntah

hijau atau feses disangkal. Mual +. Gejala-gejala yang dialami pasien dapat

dikatakan gejala yang cukup khas yang mengarah ke small bowel obstruction.

Gejala-gejala yang dialami pasien tersebut muncul sebagai akibat adanya

gangguan pasase usus halus akibat adanya obstruksi pada lumen usus. Adanya

obstruksi tersebut akan menyebabkan material yang ada pada bagian proksimal

usus akan sulit untuk bergerak ke distal. Akibatnya, material tersebut akan

menumpuk di bagian proksimal dan akan menyebabkan bagian proksimal usus

berdilasi sehingga akan menimbulkan distensi abdomen dan kembung pada

pasien. Selain itu, material usus yang tidak dapat bergerak ke distal mungkin akan

kembali menuju ke lambung, sehingga akan muncul gejala mual dan muntah.

Tidak hanya itu, adanya obstruksi juga akan menyebabkan pasien tidak dapat
BAB ataupun kentut, terutama ketika obstruksi yang terjadi merupakan obstruksi

total. Selain itu, nyeri perut yang dialami pasien muncul akibat adanya kontraksi

usus untuk mendorong material dalam usus melewati bagian obstruksi. Gejala-

gejala tersebut akan semakin bertambah dan memberat apabila pasien mencoba

untuk makan.(6)(9)

Selain dari anamnesis, diagnosis SBO juga didukung dari hasil

pemeriksaan fisik. Pada pasien ini terdapat beberapa temuan abnormal yang

ditemukan, terutama pada pemeriksaan fisik abdomen. Pada pemeriksaan fisik

abdomen, saat inspeksi ditemukan adanya distensi abdomen, meskipun tidak

ditemukan adanya venektasi, darm contour, darm steifung, ataupun bekas luka

operasi pada abdomen dan pelvis. Pada auskultasi, ditemukan adanya peningkatan

bising usus, meskipun tidak ditemukan adanya metallic sound ataupun high pitch

sound. Selain itu, pada perkusi didapatkan suara abdomen hipertimpani yang

menandakan adanya akumulasi gas pada abdomen. Pada palpasi ditemukan

adanya nyeri tekan pada seluruh lapang abdomen, meskipun abdomen masih

teraba supel.(6)(10)

Meskipun hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah cukup mengarah

pada SBO, tetapi pemeriksaan penunjang masih perlu dilakukan untuk

mengonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang cukup membantu dalam

penegakan diagnosis ini adalah foto abdomen tiga posisi, yakni posisi dependent

(posisi supine atau prone) dan non-dependent (posisi tegak atau dekubitus).(10)

Berikut hasil pemeriksaan foto abdomen 3 posisi yang didapatkan pada pasien.
Sesuai dengan teori, pada foto abdomen posisi supine atau prone

didapatkan adanya gambaran spesifik SBO, yakni adanya dilatasi usus halus

>3cm hingga memenuhi cavitas peritoneum dan menutupi gambaran kolon,

gasless abdomen, dan tidak adanya gas di rectum. Selain itu, pada foto posisi

tegak ditemukan adanya gambaran multiple air fluid level. Berdasarkan hasil

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis pada

pasien ini ditegakkan sebagai SBO. Namun, penyebab dari obstruksi itu sendiri

masih belum diketahui, tetapi kecurigaan sementara mengarah pada massa


intraluminal dengan factor risiko usia tua, meskipun tidak ada data yang

mendukung ke arah diagnosis tersebut.

Setelah diagnosis ditegakkan, pasien segera ditatalaksana sebagai ileus

obstruksi. Pada kasus ileus obstruksi umumnya dilakukan tindakan konservatif

terlebih dahulu. Manajemen konservatif standar meliputi resusitasi cairan dan

elektrolit, pemasangan nasogastric tube (NGT) dekompresi dan puasa. Terapi

konservatif tersebut 80% menunjukkan keberhasilan pada pasien dengan

obstruksi parsial. Namun, hanya sekitar 40% kasus obstruksi total yang berhasil

ditangani dengan manajemen konservatif dengan risiko reseksi usus yang lebih

tinggi (30%) bagi mereka yang gagal. Periode maksimum manajemen konservatif

adalah 3-5 hari,bervariasi tergantung dokter bedah, institusi dan protokol yang

berlaku.(2)(8) Berikut adalah ilustrasi tatalaksana konservatif pada kasus SBO.

Gambar. Tatalaksana Konservatif pada Kasus SBO.(9)


Pada kasus ini, begitu diagnosis ditegakkan, pasien segera dipuasakan dan

sebagai gantinya dilakukan pemasangan iv line untuk memenuhi kebutuhan cairan

pasien selama puasa. Selain itu, pada pasien ini direncanakan untuk pemasangan

NGT untuk tujuan dekompresi. Namun, pada saat proses pemasangan NGT,

pasien merasa sangat kesakitan dan meminta untuk pemasangan NGT dihentikan.

Sehingga pemasangan NGT pada pasien ini gagal dilakukan dan dengan demikian

manajemen konservatif juga secara otomatis gagal dilakukan.

Secara teori, apabila pasien tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi

konservatif atau terapi konservatif gagal dilakukan, maka tatalaksana operatif

perlu dipertimbangkan untuk dilakukan. Pada kasus ini, setelah pasien menolak

untuk melanjutkan pemasangan NGT, maka pasien segera direncanakan untuk

dilakukan laparotomy eksplorasi CITO diikuti dengan tindakan lain sesuai dengan

etiologi yang ditemukan. Pada durante operasi, pada kasus ini ditemukan adanya

adhesi pada usus halus grade III-IV, sehingga tindakan dilanjutkan dengan

adhesiolisis. Berdasarkan temuan intra-operasi, maka diagnosis post operasi

berubah menjadi ileus obstruktif ec adhesi.

Setelah menjalani operasi, pasien kemudian dirawat di bangsal perawatan

bedah selama 2 hari. Dalam masa perawatan post operasi, pasien menunjukkan

perbaikan kondisi yang cukup signifikan. Tidak ditemukan lagi gejala nyeri perut,

muntah, mual, dan pasien sudah dapat BAB dengan lancer. Selain itu, pada

pemeriksaan fisik sudah tidak ditemukan distensi abdomen, bising usus dalam

batas normal, perkusi timpani, dan palpasi abdomen supel dan tidak ditemukan
adanya nyeri tekan. Setelah kondisi pasien dipastikan stabil, pasien akhirnya

diizinkan pulang dan disarankan untuk kontrol ke poli bedah.

BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus Tn.m berusia 50 tahun yang dirawat di

ruang bedah (Marwah) RSUD Datu Sanggul sejak tanggal 1 Mei 2020. Pada saat

pre operasi, pasien didiagnosis sebagai ileus obstructive ec suspek malignancy

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Setelah

dilakukan operasi, ditemukan adanya adhesi, sehingga diagnosis berubah menjadi

ileus obstructive ec adhesi (adhesive small bowel obstruction). Setelah menjalani

operasi dan perawatan post operasi, kondisi pasien menunjukkan perbaikan yang

signifikan dan pasien diizinkan pulang dalam kondisi yang stabil.


DAFTAR PUSTAKA

1. Ten Broek RP, Krielen P, Di Saverio S, Coccolini F, Biffl WL, Ansaloni L,


Velmahos GC, Sartelli M, Fraga GP, Kelly MD, Moore FA. Bologna
guidelines for diagnosis and management of adhesive small bowel obstruction
(ASBO): 2017 update of the evidence-based guidelines from the world
society of emergency surgery ASBO working group. World Journal of
Emergency Surgery. 2018;13(1):24.

2. Köstenbauer J, Truskett PG. Current management of adhesive small bowel


obstruction. ANZ journal of surgery. 2018;88(11):1117-22.

3. Sarraf-Yazdi S, Shapiro ML. Small bowel obstruction: the eternal dilemma of


when to intervene. Scandinavian Journal of Surgery. 2010;99(2):78-80.

4. Ahmad M, Crescenti F. Significant adhesion reduction with 4DryField PH


after release of adhesive small bowel obstruction. The Surgery Journal.
2019;5(01):e28-34.

5. Zhang E, Li J, Zhou Y, Che P, Ren B, Qin Z, Ma L, Cui J, Sun H, Yao F.


Biodegradable and injectable thermoreversible xyloglucan based hydrogel for
prevention of postoperative adhesion. Acta Biomaterialia. 2017;55:420-33.

6. Tabibian N, Swehli E, Boyd A, Umbreen A, Tabibian JH. Abdominal


adhesions: A practical review of an often overlooked entity. Annals of
Medicine and Surgery. 2017;15:9-13.

7. Erturk N, Sönmez K, Kale N. Evaluation of a series of patients operated for


adhesive intestinal obstructions. International Journal of Surgery and
Medicine. 2017;3(3):167-72.

8. Behman R, Nathens AB, Mason S, Byrne JP, Hong NL, Pechlivanoglou P,


Karanicolas P. Association of surgical intervention for adhesive small-bowel
obstruction with the risk of recurrence. JAMA surgery. 2019;154(5):413-20.

9. Baiu I, Hawn MT. Small bowel obstruction. Jama. 2018;319(20):2146.

10. Paulson EK, Thompson WM. Review of small-bowel obstruction: the


diagnosis and when to worry. Radiology. 2015;275(2):332-42.
11. Yamaguchi D, Ikeda K, Takeuchi Y, Kinoshita R, Higuchi T, Fukuda H,
Tominaga N, Morisaki T, Ario K, Tsunada S, Yoshida H. New insertion
method of transnasal ileus tube for small bowel obstruction: Anterior balloon
method. PloS one. 2018;13(11):e0207099.

12. Sallinen V, Di Saverio S, Haukijärvi E, Juusela R, Wikström H, Koivukangas


V, Catena F, Enholm B, Birindelli A, Leppäniemi A, Mentula P.
Laparoscopic versus open adhesiolysis for adhesive small bowel obstruction
(LASSO): an international, multicentre, randomised, open-label trial. The
Lancet gastroenterology & hepatology. 2019;4(4):278-86.

Anda mungkin juga menyukai