Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN

KASUS

Adhesive Small Bowel Obstruction (ASBO)

Disusun oleh :

dr. Dwi Rezki Amalia

Pembimbing :

dr. Mujiran, Sp.B

RSUD DATU SANGGUL RANTAU


KALIMANTAN SELATAN
Juni, 2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

LAPORAN KASUS................................................................................................ 1

PEMBAHASAN......................................................................................................6

PENUTUP      ......................................................................................................  16

DAFTAR PUSTAKA
BAB II

TINJAUAN PUSKTAKA

ADHESIVE SMALL BOWEL OBSTRUCTION (ASBO)

A.      DEFINISI

Adhesive small bowel obstruction (ASBO) merupakan salah satu kasus

kegawatdaruratan bedah yang ditandai adanya obstruksi pada usus kecil yang

mengakibatkan terhambatnya pasase atau pergerakan isi usus yang dalam hal ini

disebabkan oleh suatu adhesi atau perlengketan peritoneum.(1)

Adhesi peritoneum didefinisikan sebagai suatu pita jaringan fibrosa

abnormal yang menghubungkan permukaan mesotelial atau organ di dalam

cavitas peritoneal yang normalnya terpisah. Adhesi dihasilkan akibat adanya

respon penyembuhan patologis peritoneum terhadap cidera, yang bertentangan

dengan perbaikan “ad integrum” normal, atau dengan kata lain adhesi merupakan

sikatrik pada peritoneum. (1)(2) Gambar adhesi peritoneum ditunjukkan oleh

gambar.
Gambar. Adhesi Peritoneal.(3)

B.       EPIDEMIOLOGI

Small bowel obstruction (SBO) merupakan kasus bedah umum yang

sering ditemukan. Namun, diantara berbagai penyebab SBO, adhesi merupakan

penyebab yang paling umum, yakni sekitar 15% dari presentasi kasus bedah

emergensi.(4)

C.      KLASIFIKASI

Sistem klasifikasi yang paling sering digunakan dalam kasus SBO oleh

dokter bedah umum adalah klasifikasi menurut Zühlke et al. (Tabel). Skor pada

klasifikasi tersebut didasarkan pada kuatnya perlekatan adhesi itu sendiri dan

beberapa aspek morfologis adhesi tersebut. Kelebihan dari sistem skoring ini

adalah mudah digunakan dan klasifikasinya dianggap jelas bagi sebagian besar

dokter bedah dan ginekolog. Namun, kelemahan utama sistem skoring ini adalah

bahwa sistem skoring ini tidak dapat menentukan tingkat adhesi dan bahwa daya

lekat adhesi dapat bervariasi pada beberapa bagian abdomen.(1)

Klasifikasi adhesi berdasarkan Zuhlke et al.


Grade 0 Tidak terdapat adhesi  atau terdapat adhesi yang tidak signifikan
Grade 1 Adhesi dapat dengan mudah dipisahkan dengan diseksi tumpul
Grade 2  Adhesi dapat dipisahkan dengan diseksi tumpul, tetapi beberapa

diseksi tajam tetap diperlukan, mulai muncul vaskularisasi


Grade 3 Adhesi hanya dapat dipisahkan dengan diseksi tajam, vaskularisasi

jelas terlihat
Grade 4 Adhesi hanya dapat dipisahkan dengan diseksi tajam, organ melekat

dengan kuat dengan adhesi, kerusakan organ sulit dicegah.


 

D.      ETIOLOGI
Adhesi dapat terbentuk akibat riwayat operasi sebelumnya atau terbentuk

sebagai komplikasi dari kondisi inflamasi pada abdomen yang hanya ditangani

secara konservatif.(5) Sekitar 10-20% adhesive small bowel obstruction (ASBO)

diakibatkan oleh inflamasi pada abdomen yang dikelola secara konservatif,

misalnya appendisitis akut, cholesistitis akut, diverticulitis, pelvic inflammatory

disease, dan inflammatory bowel disease, sedangkan 80-90% sisanya disebabkan

oleh riwayat operasi laparotomi.(6)(7)

E.       PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Adhesi dihasilkan akibat adanya respon biokimia dan seluler yang terjadi

dalam upaya memperbaiki peritoneum. Pembentukan adhesi pada tingkat

molekuler melibatkan interaksi kompleks molekul adhesi sel, sitokin, growth

factor, neuropeptida, dan beberapa faktor lain yang disekresikan oleh sel di dekat

daerah yang mengalami cidera. Dalam proses ini, keseimbangan awal antara

deposisi dan degradasi fibrin tampaknya menjadi faktor penting dalam

pembentukan adhesi.(2)

Mekanisme adhesiogenesis tidak diketahui secara pasti, tetapi diyakini

melibatkan adanya gangguan pada permukaan mesothelial dengan diikuti dengan

proses fibrinokoagulatif dan inflammatory signaling. Etiologi adhesi secara umum

dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yakni :

1.    Pasca operasi : Hampir 90% adhesi abdominal terbentuk sebagai akibat dari

operasi abdomen sebelumnya, terutama laparotomi (misalnya laparotomi) dan

dalam persentase yang lebih kecil diakibatkan oleh operasi laparoskopi. Indikasi

dari laparotomi yang dilakukan sebelumnya bervariasi, mulai dari malignansi


saluran gastrointestinal, benign small bowel disease, appendektomi dengan

komplikasi, kolesistektomi, histerektomi, atau kehamilan ektopik. Luasnya adhesi

tampaknya berkolerasi dengan beratnya/luasnya operasi yang dijalani

sebelumnya. Untungnya, insiden adhesi telah berkurang secara signifikan di era

laparoskopi, yakni hanya sekitar 5% kasus laparoskopi yang berkembang menjadi

adhesi.

2.    Pasca inflamasi atau infeksi : Pada wanita yang tidak memiliki riwayat operasi

sebelumnya,  endometriosis dan pelvic inflammatory disease merupakan etiologi

adhesi tersering. Disamping itu, etiologi yang dapat terjadi pada pria maupun

wanita antara lain penyakit divertikulitis (terutama pada divertikel pada usus

kecil), Crohn's disease, dan tuberkulosis abdominal (di area endemis).

3.    Pasca radiasi : Radiasi abdominopelvis yang dilakukan sebagai terapi pada

berbagai kasus keganasan, termasuk keganasan ginekologi, prostat, rektal, atau

penyakit lymphoproliferative, dapat menyebabkan adhesi sebagai sekuele lanjut

tindakan tersebut. Tingkat keparahan adhesi bergantung pada luas anatomis area

yang diterapi, derajat dosis fraksinasi, dan total dosis radiasi yang diberikan.

Adhesi pasca radiasi dapat menjadi sesuatu yang sangat menantang untuk dikelola

karena luas dan densitasnya dan sifat kompromi dari jaringan di bawahnya

(misalnya iskemik kronis atau jaringan yang rapuh.(5)


F.       MANIFESTASI KLINIS

Sebagian besar pasien dengan adhesi intra-abdominal bersifat

asimptomatik, tetapi pada beberapa pasien terjadi gejala klinis yang signifikan,

mulai dari gejala ringan hingga gejala berat, bahkan gejala yang mengancam

nyawa.(3) Berikut adalah beberapa gejala dan tanda yang dapat muncul pada

SBO:(3)(8)

 Mual dan muntah hijau (bilious vomiting)

Suatu obstruksi dapat menyebabkan material di dalam usus dapat kembali ke

lambung, sehingga menyebabkan pasien mengalami mual hingga muntah.

 Kembung (distensi abdomen)

Bagian proksimal dari lokasi obstruksi akan menjadi besar, berdilatasi, dan

terisi dengan cairan dan udara yang seharusnya dapat bergerak menuju ke

bagian distal usus. Hal ini akan menyebabkan kembung (distensi abdomen).

 Kram dan abdominal discomfort

Ketika usus berkontraksi untuk mendorong material dalam usus melewati

bagian obstruksi, hal tersebut akan menyebabkan terjadinya kram dan rasa

tidak nyaman pada abdomen.

 Tidak bias kentut atau buang air besar (BAB)

Apabila cairan dan udara tidak dapat melewati bagian obstruksi, pasien akan

mengeluhkan tidak bisa kentut dan tidak bisa buang air besar (obstipasi).
G.      DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis SBO didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang.

 Anamnesis

Hal yang harus ditanyakan pada anamnesis adalah gejala yang mengarah

pada SBO, misalnya mual, muntah, tidak bias kentut atau BAB, kembung, kram

perut ataupun abdominal discomfort. Selain itu, pada anamnesis perlu ditanyakan

hal-hal yang mungkin mengarahkan pada adhesi peritoneum, misalnya riwayat

operasi di daerah perut atau panggul sebelumnya, riwayat peradangan pada perut,

atau riwayat radioterapi di daerah perut atau panggul.

 Pemeriksaan Fisik

Selain anamnesis, pemeriksaan fisik memegang peranan yang sangat

penting untuk menegakkan diagnosis SBO. Temuan abnormal yang mungkin

didapatkan pada kasus SBO diantaranya adalah peningkatan bising usus (pada

beberapa kasus ditemukan metallic sound atau high-pitched sound) atau justru

hilangnya bising usus, distensi abdomen (terkadang dapat ditemukan darm

steifung dan darm contour), perkusi timpani hingga hipertimpani, dan nyeri tekan

abdomen. Disamping itu, untuk mengarahkan diagnosis kea rah adhesi, maka

perlu dicari pula scar bekas operasi pada abdomen dan pelvis.(3)(5)
 Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

mendukung diagnosis ASBO, diantaranya adalah sebagai berikut :

 Pemeriksaan laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik terkait dengan ASBO, tetapi

beberapa pemeriksaan dibutuhkan untuk menyingkirkan penyebab SBO yang

lain, misalnya adanya peningkatan C-reactive protein, anemia, atau

peningkatan enzim hati dapat menjadi dasar adanya etiologi lain selain

obstruksi akibat adhesi.(3)

 Imaging

Imaging memegang peran penting dalam penegakan diagnosis SBO. Foto

polos abdomen dan CT scan abdomen merupakan pemeriksaan rutin yang biasa

dilakukan saat ini. Rangkaian pemeriksaan x-ray pada usus halus menggunakan

water-soluble contrast agents (WSCA) yang telah dipelajari secara detil dalam

dekade terakhir karena kemungkinan memiliki bukan hanya manfaat diagnostik,

tetapi juga terapeutik. Ultrasonografi dan magnetic resonance imaging (MRI)

dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan alternatif, khususnya pada subgrup

seperti wanita hamil.(4)

Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis SBO akan didapatkan

melalui posisi dependent (posisi supine atau prone) dan non-dependent (posisi

tegak atau dekubitus) (Gambar).(5)


Gambar. Foto Polos Abdomen pada Kasus SBO.(5)
Temuan radiografi pada kasus SBO ditunjukkan pada tabel . Penanda

adanya SBO adalah dilatasi usus halus bagian proksimal dari bagian obstruksi

disertai dengan dekompresi bagian distal usus. Gambaran dilatasi usus (ditandai

dengan lebar usus 3 cm atau lebih (meskipun beberapa ahli lebih menyukai

patokan 2.5 cm atau lebih) ditunjukkan pada gambar. Pada kasus SBO, usus halus

berdilatasi hingga mengambil tempat colon (gambar 5), dan dibagian proksimal

dari obstruksi juga akan berdilatasi bahkan hingga mencapai lambung. Akibat

adanya dilatasi tersebut, akan muncul “stretch sign” atau “herringbone

appearance” yang merupakan istilah yang mengacu pada gambaran gas di usus

halus yang tersusun sebagai garis perpendicular terhadap aksis panjang abdomen

yang terbentuk akibat penipisan dinding usus halus (gambar 5). Gambaran

tersebut diakibatkan sejumlah kecil gas yang terpisah oleh valvulae conniventes di

usus halus yang dipenuhi oleh cairan (Gambar). Selain itu, pada kasus SBO juga

tidak temukan adanya gas rektal, tetapi temuan ini juga mungkin ditemukan pada

kasus obstruksi kolon maupun kasus normal, sehingga ada tidaknya gas rektal

tidak menjadi hal yang penting dalam penegakan kasus SBO.(5) Berikut adalah

beberapa gambaran radiologi yang khas pada kasus SBO.

Gambaran Radiologi Khas pada SBO


Tipe Radiografi Tanda Spesifik
Supine atau prone 1. Dilatasi usus halus (>3cm) yang diisi oleh udara dan
cairan
2. Dilatasi lambung
3. Dilatasi usus halus hingga mengambil tempat kolon
4. Stretct sign / herringbone apperance
5. Tidak adanya gas pada rectum
6. Gasless abdomen
7. Pseudotumor sign
Tegak atau left 1. Multiple air fluid level
lateral decubitus 2. Air-fluid level lebih panjang dari 2.5 cm
3. String of beads sign

H.      TATALAKSANA

Mayoritas pasien ASBO tidak menunjukkan tanda-tanda strangulasi usus,

sehingga tidak mutlak membutuhkan operasi. Untuk mencegah dilakukannya

operasi yang tidak benar-benar diperlukan dalam mayoritas ini, manajemen

konservatif telah secara luas dilakukan. Manajemen konservatif standar meliputi

resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan nasogastric tube (NGT) dekompresi

dan puasa. Terapi konservatif tersebut 80% menunjukkan keberhasilan pada

pasien dengan obstruksi parsial. Namun, hanya sekitar 40% kasus obstruksi total

yang berhasil ditangani dengan manajemen konservatif dengan risiko reseksi usus

yang lebih tinggi (30%) bagi mereka yang gagal. Periode maksimum manajemen

konservatif adalah 3-5 hari,bervariasi tergantung dokter bedah, institusi dan

protokol yang berlaku.(4)(7)

Nasogastric tube (NGT) adalah sebuah pipa plastik yang dipasang melalui

hidung hingga masuk ke dalam lambung dan berfungsi untuk mengeluarkan

cairan yang ada di lambung. Dalam hal ini, NGT yang dipasang adalah untuk

tujuan dekompresi. Tindakan ini dapat dilakukan selama tidak ada tanda-tanda

strangulasi usus atau kontraindikasi lainnya. Selain itu, pasien juga tidak

diperbolehkan untuk makan ataupun minum dan sebagai gantinya diberikan cairan

intravena untuk keperluan hidrasi. Biasanya, obstruksi usus halus ini akan teratasi

dalam beberapa hari. Ketika kembung pasien sudah berkurang dan pasien sudah
dapat kentut serta terdapat pergerakan usus, NGT dapat dilepas dan pasien

diperbolekan untuk makan dan minum. (8)(9)

Gambar. Tatalaksana Konservatif pada Kasus SBO.(8)

Jika pasien tidak membaik dengan terapi konservatif, intervensi bedah

mungkin diperlukan. Operasi ini disebut adhesio-lysis, yang artinya memotong

jaringan parut dan membebaskan usus yang terperangkap baik secara tajam

maupun secara tumpul.(1) Apabila ditemukan jaringan usus yang tampak tidak

sehat atau mati, bagian tersebut akan dipotong dan ujung-ujung usus yang sehat

akan dijahit kembali. (8)


Terdapat 2 pendekatan untuk melakukan adhesiolysis, yakni melalui open

adhesiolysis atau dengan laparoskopi. Pendekatan laparoskopi untuk kasus ASBO

secara teori kontroversial. Di salah satu sisi, pendekatan ini ideal karena biasanya

adhesi yang menyebabkan obstruksi hanya berupa satu pita kecil dan tujuan

operasi hanya untuk memotong pita tersebut. Di sisi lain, usus kecil yang

terperangkat akan melebar dan menjadi lebih rapuh dan mengisi rongga perut,

sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk memindahkan instrument,

membut prosedur ini menjadi sedikit sulit. Namun, adhesiolisis dengan

laparoskopi memeberikan hasil recovery yang lebih cepat dibandingkan dengan

open adhesiolisis.(10)

Saat ini tidak ada terapi farmakologi yang efektif untuk kasus adhesive.

terapi empirik dan simptomatik seperti yang tersedia untuk dispepsia (misalnya,

simetikon, proton pump inhibitor (PPI), nortriptilin) sering dicoba diberikan,

tetapi masih terdapat efikasi yang berbeda-beda, tergantung pada sejauh apa gejala

yang disebabkan oleh adhesi dan seberapa tingkat keparahannya. suplementasi

fiber untuk mengobati konstipasi justru dapat memperparah kondisi obstruksi

karena akan lebih banyak residu yang dihasilkan sementara kondisi lumen

menyempit akibat adhesi. Disamping itu, non bulking dan non stimulant agen,

misalnya polyethylene glycol dapat memberikan manfaat (diberikan bersama diet

rendah residu). Untuk pasien dengan gejala predominan cramp-like symptoms,

pelemas otot polos seperti dicyclomine, layak untuk dicoba.(3)


Selain itu, saat ini sedang dikembangkan dua macam alat diagnostik

sekaligus terapi, yakni watersoluble contrast (WSC) dan predictive

clinicoradiological models. Watersoluble contrast (WSC) seperti Gastrografin

(methylglucamine diatrizoate), merupakan cairan hiperosmolar yang digunakan

pada CT scan dan radiologi saluran pencernaan. CT enterografi biasanya

menggunakan 400-600 ml Gastrografin berkonsentrasi rendah (5-10%). Namun,

penggunaan sedikit WSC berkonsentrasi tinggi dan tidak diencerkan diikuti

dengan radiografi foto polos serial menunjukkan dapat memprediksi dan

mengurangi jumlah operasi pada kasus SBO tanpa komplikasi. Hal ini biasanya

dikenal dengan sebutan ‘Gastrografin challenge’. Akibat tingginya osmolaritas

gastrografin yakni sekitar 2200 mOsm/L atau enam kali lipat osmolaritas cairan

extraseluler, cairan ekstraseluler akan berpindah dari dinding usus menuju ke

lumen usus. Adanya perpindahan cairan ini akan menciptakan gradien tekanan,

meningkatkan motilitas dan mengencerkan isi usus, dan pada akhirnya

mempercepat resolusi ASBO. Namun, efek ini hanya akan terjadi pada

penggunaan Gastrografin konsentrasi tinggi. Pemberian gastrografin konsentrasi

rendah tidak memiliki efek terapeutik pada kasus ASBO.(4)

I. PENCEGAHAN

Prinsip utama pencegahan adhesi dan komplikasi yang terkait dengan

adhesi adalah dengan meminimalisir trauma yang terjadi pada saat pembedahan

dan memberikan regimen yang berfungsi untuk mengurangi pembentukan adhesi.

Teknik operasi dengan laparoskopi dipercaya dapat mengurangi risiko adhesi dan
risiko terjadinya ASBO, begitupula dengan pemberian adhesion barrier yang

dipercaya dapat mengurangi pembentukan adhesi.(1)

J. PROGNOSIS

Manajemen SBO cukup sulit untuk diimplementasikan. Tingkat rekurensi

pada kasus ini mencapai 30% dengan tingkat mortalitas mencapai 2%.(4)
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama               : Tn. M                                              

Umur               : 50 tahun                                           

Agama             : Islam                                                

Suku                : Madura                                             

Alamat            : Madura

MRS                : 1 Mei 2020

No. RMK        : 19-46-62

B. Anamnesis

1.   Keluhan utama :

Nyeri perut

2.      Riwayat Penyakit Sekarang :

Nyeri seluruh perut sejak 2 hari SMRS, terjadi perlahan, semakin

memberat. Keluhan nyeri perut disertai dengan tidak dapat kentut dan BAB. Perut

terasa kembung dan semakin lama semakin kembung. Kembung bertambah

terutama ketika pasien mencoba makan. Muntah + 2x, berisi makanan. Muntah

hijau atau feses disangkal. Mual +. Demam -. Riwayat nyeri perut sebelumnya +,

tetapi dibiarkan saja oleh pasien dan sembuh dengan sendirinya.


Keluhan BAB seperti kotoran kambing disangkal. Riwayat memijat perut

disangkal. Riwayat operasi pada perut sebelumnya disangkal. Riwayat pengobatan

radioterapi pada daerah panggul dan perut disangkal.

3.      Riwayat Penyakit Dahulu

DM (-), HT (+), Asma (-), Alergi (-)

4.      Riwayat Penyakit Keluarga

 DM (-), HT (-), Asma (-), Alergi (-)

B. Pemeriksaan Fisik

A.  Pemeriksaan Fisik Umum

1. Keadaan Umum

         Kesadaran       : Compos Mentis (GCS : E4V5M6)

         Berat Badan    : 65 kg

         Tinggi Badan  : 160 cm                                                                       

2. Tanda Vital  

         Tekanan Darah          : 150/92 mmHg

         Nadi                           : 75 x/menit

         Pernapasan                 : 18 x/menit

         Suhu                           : 36.8  oC

         SpO2                          : 98% tanpa O2

3.      Kulit          :

         I : Hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-), ikterik (-), pucat (-)

         Pa : nodul (-), sclerosis (-), atrofi (-)

 
4.      Kepala dan leher

Kepala : Bentuk kepala normal

Mata    : Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil DS isokor

(3mm/3mm), reflex pupil direk dan indirek (+/+).

Telinga : Tanda-tanda infeksi pada telinga (-), sekret telinga minimal,

tragus pain (-)

Hidung  : kelainan bentuk hidung (-), sekret hidung (-), epistaksis (-)

Mulut  : mukosa bibir kering (-), perdarahan gusi (-), stomatitis (-),

perbesaran tonsilla palatina (-), peradangan tonsilla palatina (-).

Leher   : perbesaran nll. cervicalis (-), perbesaran glandula thyroidea (-),

peningkatan JVP (-), kaku kuduk (-).

5.      Thorax

         Dinding Thorax

Inspeksi : bentuk cavitas thoracis normal, retraksi intercostal (-),

pergerakan dinding thorax simetris, tidak terlihat adanya tanda-tanda

fraktur, rose spot (-).

Palpasi   : tidak ada krepitasi pada os costae, sternum, maupun clavicula.

         Paru

-          Inspeksi : pergerakan pulmo dextra et sinitra simetris.

-          Palpasi : fremitus vokal pulmo dextra et sinistra simetris, tidak ada

penurunan maupun peningkatan frekuensi fremitus vocal.

-          Perkusi : perkusi pulmo sonor pada keenam regio thorax


-          Auskultasi : suara nafas dasar vesicular, tidak ditemukan

adanya ronkhi ataupun wheezing.

         Jantung

-          Inspeksi   : ictus cordis tidak tampak

-          Palpasi   : ictus cordis teraba pada ICS IV line midclavicularis

sinistra, thrill tidak teraba.

-          Perkusi : batas kanan jantung = ICS II-IV linea sternalis dextra,

batas kiri jantung = ICS IV linea midclavicularis sinistra  batas

jantung dalam batas normal.

-          Auskultasi : S1>S2, murmur (-)

6.      Abdomen 

-          Inspeksi : distensi abdomen (+),venektasi (-), jejas (-)

-          Aukultasi : peningkatan/penurunan bising usus (+), metallic sound (-),

-          Palpasi : spasme dinding abdomen (-), tenderness (+) pada seluruh

region abdomen

-          Perkusi : hipertimpani di seluruh region abdomen

7.      Ekstremitas atas dan bawah

Akral hangat +/+, edema -/-


D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Rutin

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11.7 13,00 – 17,00 g/Dl
Leukosit 15,3 4,00 – 11,0 ribu/Ul
Eritrosit 5,17 4,00 – 5,50 juta/uL
Hematokrit 37,0 37,00 – 47,00 vol%
Trombosit 697 150 – 450 ribu/uL
DIFFCOUNT
Limfosit 30 20-40% %
Mid 8 2-8% %
Granulosit 62 50-70% %
KIMIA DARAH
GDS 90 <140 Mg/dl
SGOT 16 <35  
SGPT 14 <35  
Ureum 20 10-50 Mg/dl
BUN 9 8-20 Mg/dl
Kreatinin 0,8 Sd 1,1 Mg/dl
 

Foto thorax
Foto Abdomen Tiga Posisi

 
F. Diagnosis Pre Operasi

Suspek ileus obstruktif  ec malignancy

G. Diagnosis Post Operasi

Ileus obstruksi ec adhesi


H. Laporan Operasi
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini dilaporkan sebuah kasus seorang laki-laki berusia

50 tahun berinisial M. Pasien ini dirawat di RS Datu Sanggul Rantau sejak tanggal

1 Mei 2020 hingga tanggal 4 Mei 2020. Pasien dipulangkan setelah menjalani

operasi dan kondisinya telah dipastikan stabil.

Pasien ini datang ke IGD RSUD Datu Sanggul dengan keluhan utama

nyeri perut. Nyeri seluruh perut sejak 2 hari SMRS, terjadi perlahan, semakin

memberat. Keluhan nyeri perut disertai dengan tidak dapat kentut dan BAB. Perut

terasa kembung dan semakin lama semakin kembung. Kembung bertambah

terutama ketika pasien mencoba makan. Muntah + 2x, berisi makanan. Muntah

hijau atau feses disangkal. Mual +. Gejala-gejala yang dialami pasien dapat

dikatakan gejala yang cukup khas yang mengarah ke small bowel obstruction.

Gejala-gejala yang dialami pasien tersebut muncul sebagai akibat adanya

gangguan pasase usus halus akibat adanya obstruksi pada lumen usus.

Adanya obstruksi tersebut akan menyebabkan material yang ada pada bagian

proksimal usus akan sulit untuk bergerak ke distal. Akibatnya, material

tersebut akan menumpuk di bagian proksimal dan akan menyebabkan bagian

proksimal usus berdilasi sehingga akan menimbulkan distensi abdomen dan

kembung pada pasien. Selain itu, material usus yang tidak dapat bergerak ke

distal mungkin akan kembali menuju ke lambung, sehingga akan muncul

gejala mual dan muntah. Tidak hanya itu, adanya obstruksi juga akan
menyebabkan pasien tidak dapat BAB ataupun kentut, terutama ketika

obstruksi yang terjadi merupakan obstruksi total. Selain itu, nyeri perut yang

dialami pasien muncul akibat adanya kontraksi usus untuk mendorong

material dalam usus melewati bagian obstruksi. Gejala-gejala tersebut akan

semakin bertambah dan memberat apabila pasien mencoba untuk makan.(3)

(8)

Selain dari anamnesis, diagnosis SBO juga didukung dari hasil

pemeriksaan fisik. Pada pasien ini terdapat beberapa temuan abnormal yang

ditemukan, terutama pada pemeriksaan fisik abdomen. Pada pemeriksaan

fisik abdomen, saat inspeksi ditemukan adanya distensi abdomen, meskipun

tidak ditemukan adanya venektasi, darm contour ataupun darm steifung. Pada

auskultasi, ditemukan adanya peningkatan bising usus, meskipun tidak

ditemukan adanya metallic sound ataupun high pitch sound. Selain itu, pada

perkusi didapatkan suara abdomen hipertimpani yang menandakan adanya

akumulasi gas pada abdomen.

Anda mungkin juga menyukai