Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM BIOLOGI

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Jamur Saccharomyces Cerevisiae


Pada Adonan Roti
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Biologi Umum
Dosen Pengampu:
Yeni Puji Astuti, M. Pd.

Disusun Oleh:
1. Titi Andreani (20842021A000636)
2. Fatimatuz Zahrah (20842021A000642)
3. Titin Chariroh (20842021A000651)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


STKIP PGRI SUMENEP
Tahun Ajaran 2020-2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Roti merupakan makanan yang sering kita temui disekitar kita, dan tidak sedikit juga
orang yang menkonsumsinya. Beberapa orang tidak menyadari bahwa roti yang sangat
akrab kita temui dan konsumsi merupakan salah satu produk hasil fermentasi. Umumnya
fermentasi pada roti dilakukan dengan menambahkan ragi. Ragi untuk roti dibuat dari
jamur Saccharomyces cerevisiae yang dapat mengubah gula menjadi gas karbondioksida
untuk pengembangan adonan roti. Gula yang diubah dapat berasal dari tepung maupun
gula yang sengaja ditambahkan dalam adonan.

Jamur Saccharomyces cerevisiae akan berkembang dengan baik jika mendapatkan


suhu yang tepat. Suhu air yang digunakan dalam pembuatan roti oleh masyarakat sangat
bervariasi, mulai dari air es hingga air hangat. Suhu tersebut berpengaruh terhadap
pengembangan volume adonan roti karena suhu akan berdampak pada sifat fungsional
gluten, aktivitas enzim dan aktivitas ragi. Suhu air yang optimal akan membuat aktivitas
ragi secara optimal memproduksi karbondioksida yang merupakan hasil aktivitas
fermentasi. Karbondioksida tersebut akan membuat pori dan volume roti meningkat.
Adonan roti yang mengembang dengan baik akan menghasilkan kualitas produk roti
yang kenyal dan empuk.

Oleh karena itu, praktikum ini bertujuan untuk mengetahui suhu paling optimal
dalam pertumbuhan jamur Saccharomyces cerevisiae pada adonan roti.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Jamur Saccharomyces cerevisiae pada
Adonan Roti?
2. Berapa Suhu Paling Optimal Untuk Pertumbuhan Jamur Sachharomyces cerevisiae
pada Adonan Roti?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan Jamur Saccharomyces
cerevisiae pada Adonan Roti.
2. Untuk Mengetahui Suhu Paling Optimal Untuk Pertumbuhan Jamur Sacharomyces
cerevisiae pada Adonan Roti.

2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Jamur Saccharomyces Cerevisiae
1. Pengertian Jamur Saccharomyces Cerevisiae
Jamur Saccharomyces merupakan jenis khamir atau ragi atau yeast yang
memiliki kemampuan mengubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sacharomyces
merupakan mikroorganisme bersel satu, tidak berklorofil, dan termasuk golongan
Eumycetes, tumbuh baik pada suhu 30ºC dan pH 4,5-5. Pertumbuhan Saccharomyces
dipengaruhi oleh adanya penambahan nutrisi yaitu unsur C sebagai sumber karbon,
unsur N, unsur ammonium dan pepton, unsur mineral dan vitamin (Ahmad, 2005).
Ragi adalah suatu macam tumbuh-tumbuhan bersel satu yang tergolong
kedalam keluarga cendawan. Ragi berkembangbiak dengan suatu proses yang dikenal
dengan istilah pertunasan, yang menyebabkan terjadinya peragian. Peragian adalah
istilah umum yang mencangkup perubahan gelembung udara dan yang bukan
gelembung udara (aerobic dan anaerobic) yang disebabkan oleh mikroorganisme.
Dalam pembuatan roti, sebagian besar ragi berasal dari mikroba jenis Saccharomyces
cerevisiae. Ragi merupakan bahan pengembang adonan dengan produksi gas
karbondioksida (Ahmad, 2005).
2. Morfologi Saccharomyces Cerevisiae
Saccharomyces berasal dari bahasa Latin Yunani yang berarti “gula jamur”
sedangkan cerevisiae berasal dari bahasa Latin yang berartibir. Saccharomyces
cerevisiae merupakan jenis khamir yang mempunyai sel tunggal. Sel khamir terdiri
dari kapsul, dinding sel, membran sitoplasma, nucleus, vakuola, globula lipid dan
mitokondria. Khamir ini berbentuk oval (bulat telur) dengan ukuran sekitar 1-5μm
atau 20-25μm dengan lebar sekitar 1-10μm. Koloninya berbentuk rata, lembab,
mengkilap dan halus (Agustining, 2012).
Saccharomyces cerevisiae termasuk dalam golongan Ascomycomycetes karena
dapat membentuk askospora dalam askus.Spesies ini dapat bereproduksi secara
seksual dengan membentuk spora seksual berupa konidium atau juga bereproduksi
secara aseksual dengan membentuk spora aseksual berupa askospora sebanyak 4-8
buah dalam askus serta melakukan pertunasan. Pertunasan pada spesies ini dapat
berupa pertunasan multilateral, yaitu tunas dapat tumbuh disekitar ujung sel.
(Agustining, 2012).

3
Sel Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh pada medium yang mengandung
air gula dengan konsentrasi tinggi. Saccharomyces cerevisiae merupakan golongan
khamir yang mampu memanfaatkan senyawa gula yang dihasilkan oleh
mikroorganisme selulotik untuk pertumbuhannya. Spesies ini dapat
memfermentasikan berbagai karbohidrat dan menghasilkan enzim invertase yang bisa
memecah sukrosa menjadi glukosa dan frukosa serta dapat mengubah glukosa
menjadi alcohol dan karbondioksida sehingga banyak digunakan dalam industri
pembuatan bir, roti ataupun anggur (Agustining, 2012).
3. Klasifikasi Saccharomyces Cerevisiae

Filum : Ascomycota

Subfilum : Saccharomycotina

Class : Saccharomycetes

Ordo : Saccharomycetales

Family : Saccharomycetaceae

Genus : Saccharomyces

Species : Saccharomyces cerevisiae (Sumber : Agustining, 2012).

4. Pertumbuhan Saccharomyces Cerevisiae

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae


adalah :

1) Suhu
Saccharomyces cerevisiae mempunyai suhu optimal untuk pertumbuhan
mikroba. Suhu dibawah minimal dan diatas maksimal dapat menyebabkan
terjadinya denaturasi enzim sehingga tidak dapat tumbuh. Sebagian besar
Saccharomyces cerevisiae umumnya tumbuh baik pada kisaran suhu 25-32°C
(Afriani, 2012).
2) Nutrisi (Zat Gizi)
Dalam kegiatannya khamir memerlukan penambahan nutrisi untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan, yaitu : Unsur C, ada faktor karbohidrat

4
unsur N, dengan penambahan pupuk yang mengandung nitrogen, misal ZA, urea,
ammonia, mineral dan vitamin-vitamin.

3) pH
Selama proses fermentasi pH pertumbuhan ini berpengaruh pada laju
pertumbuhan mikroorganisme. Perubahan pH media akan mempengaruhi
permeabilitas sel dan sintesis enzim, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya untuk
mempertahankan pH dan buffer. Nilai pH optimal untuk pertumbuhan
Saccharomyces cerevisiae adalah antara 2,5-4,5 (Afriani, 2012).
5. Fase Pertumbuhan Saccharomyces Cerevisiae
Adapun tahap-tahap pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae menurut
Agustining (2012) adalah sebagai berikut :
1) Fase Adaptasi (Lag phase)
Pada fase ini sebagian besar Saccharomyces cerevisiae terlebih dahulu
menyesuaikan diri (adaptasi) dengan lingkungan barunya dan belum mengadakan
perbanyakan sel. Pada fase ini mikroba merombak substrat menjadi nutrisi untuk
pertumbuhannya. Jika ditemukan senyawa kompleks yang tidak dikenalinya,
mikroba akan memproduksi enzim untuk merombak senyawa tersebut
(Calessman, 2005). Saccharomyces cerevisiae termasuk ragi yang mudah
beradaptasi, ditunjukan dengan singkatnya waktu yang dibutuhkan untuk
beradaptasi, yaitu selama 1 jam 40 menit.
2) Fase Percepatan (Acceleration phase)
Pada fase ini mulai terjadi peningkatan jumlah sel dalam waktu singkat (rapid
growth). Waktu percepatan yang dibutuhkan yaitu selama 20 menit.
3) Fase Eksponensial / Pertumbuhan (Log phase )
Pada fase ini saccharomyces cerevisiae telah dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Pembelahan sel telah dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Pembelahan sel terjadi sangat cepat secara eksponensial dalam
kondisi kultur yang optimum, sel mengalami reaksi metabolisme yang maksimum.
Fase eksponensial ini berlangsung selama 2 jam. Hal ini menunjukkan bahwa
kultur telah berada dalam kondisi aktif dan proses aktivasi yang dilakukan
sebelumnya berjalan dengan baik.
4) Fase Penurunan (Deceleration phase)

5
Pada fase ini laju pertumbuhan mengalami perlambatan. Fase ini berlangsung
selama 20 menit.

5) Fase Penetapan / konstan (Stasioner phase)


Selama fase ini kecepatan pertumbuhan adalah nol. Meskipun demikian, tidak
berarti terjadi pertumbuhan sel. Konsentrasi biomassa pada fase ini berada dalam
keadaan maksimum, yaitu berlangsung selama 20 menit. Hasil metabolisme pada
fase ini adalah metabolisme sekunder, yaitu merupakan inhibitor dan bersifat
racun. Pada fase ini nutrient mulai habis sehingga asupan nutrisi bagi
saccharomyces cerevisiae berkurang. Berkurangnya nutrient ini menyebabkan
adanya persaingan antar mikroba yang mengakibatkan semakin cepatnya
kematian.
6) Fase Kematian (Decline phase)
Pada fase ini semua aktifitas kehidupan Saccharomyces cerevisiae terhenti
karena sudah tidak ada lagi energi untuk melakukan metabolisme (Agustining,
2012).
B. Roti
Roti merupakan makanan fermentasi berbahan dasar tepung terigu yang sering
dikonsumsi masyarakat. Roti disebut sebagai produk fermentasi karena menggunakan
ragi untuk pembentukan rasa dan aroma. Mikroba utama pada ragi roti adalah
Saccharomyces cerevisiae. Ragi akan merombak gula membentuk gas karbondioksida
dan alkohol. Gas karbondioksida akan terperangkap pada adonan yang menyebabkan
adonan mengembang dan menghasilkan roti yang empuk (Sitepu, 2019).

Untuk membuat roti agar mengembang besar maka perlu digunakan jenis tepung
terigu yang berprotein tinggi. Secara prinsip metode pembuatan adonan roti dapat
dibagi menjadi 4 yaitu :

1) Pembuatan adonan sistem cepat (no time dough). Ciri dalam pembuatan adonan ini
adalah pengadukan 1 kali, lama fermentasi 0 – 45 menit, dilakukan penambahan
bread improver.
Bread improver sebagai bahan yang membantu menahan gas membantu
memodifikasi gluten dengan unsur- unsur bahan penguat dan pelembut gluten
(oxidasing agent dan reducing agent), tanpa penambahan unsur tersebut sebagian

6
besar adonan tidak memiliki kekuatan dan akan kehilangan sebagian besar gas
yang dihasilkan dan berakibat roti akan kurang baik volumenya dan teksturnya
kasar. Bread improver terdiri dari komponen bahan yang dapat memodifikasi
gluten, makanan atau perangsang bagi yeast, bahan pelembut remah (crumb) dan
tambahan enzim. Daya tahan roti sekitar 3 hari, kehilangan berat yang disebabkan
fermentasi lebih sedikit sehingga hasil roti lebih banyak.
2) Pembuatan adonan sistem langsung (straight dough). Ciri utama dalam pembuatan
adonan ini adalah pengadukan 1 kali, lama fermentasi 1-3 jam, serta hasil yang
diperoleh berkualitas cukup bagus. Daya tahan roti sekitar 5 hari.
3) Pembuatan adonan sistem biang (Sponge dough). Ciri utama pada pembuatan
adonan ini adalah pengadukan 2 kali, yaitu pengadukan pertama untuk biang
(sponge) 60%, dan adukan kedua untuk bahan selebihnya 40% yang kemudian
dicampurkan dengan adukan biang, waktu fermentasi 3-6 jam. Kualitas hasil roti
cukup bagus dan daya tahan roti sekitar 7 hari.
4) Pembuatan adonan sistem dough break roll (DBR). Ciri utama dalam pembuatan
adonan ini adalah setelah adonan diaduk dengan mixer, kemudian dilanjutkan
dengan adonan tersebut dimasukkan kedalam alat roll, adonan berulang- ulang
bahkan sampai 35 kali, fermentasi 1-3 jam. Serat adonan yang dihasilkan sangat
bagus.

7
BAB III
METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
Alat :
1. Gelas Praktikum 3 buah
2. Penggaris 60 cm
3. Timbangan digital
4. Spatula 3 buah
5. Spidol
6. Gelas ukur
7. Stopwatch

Bahan :
1. Tepung Terigu 90 gram.
2. Gula 45 gram.
3. Air 90 mL.
4. Fermipan 9 gram.

B. Cara Kerja
1. Menyiapkan alat dan bahan.
2. Menulis nomor I, II dan III pada gelas praktikum sebagai penanda masing-masing
perlakuan.
3. Menakar tepung terigu sebanyak 3x30 gram dan diletakkan ke dalam masing-masing
gelas praktikum.
4. Menakar gula sebanyak 3x15 gram dan diletakkan ke dalam masing-masing gelas
yang sudah berisi tepung terigu.
5. Menakar fermipan sebanyak 3x3 gram dan diletakkan ke dalam masing-masing gelas
yang sudah berisi tepung terigu dan gula.
6. Menakar air biasa sebanyak 30 mL.
7. Menakar air dingin sebanyak 30 mL.
8. Menakar air hangat sebanyak 30 mL.
9. Menuangkan berbagai macam air ke dalam masing-masing gelas praktikum dengan
ketentuan:
a. Air hangat dituangkan pada gelas praktikum nomor I.
8
b. Air biasa dituangkan pada gelas praktikum nomor II.
c. Air dingin dituangkan pada gelas praktikum nomor III.
10. Menyalakan stopwatch dan mengamati perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu.
11. Mencatat perubahan yang terjadi.

9
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

No Gambar Praktikum Keterangan


1. Kondisi awal adonan roti
memiliki tinggi yang
sama yaitu 4,5 cm.

2. Perubahan yang terjadi


pada adonan roti setelah
15 menit.

3. Kondisi akhir adonan roti


setelah 20 menit.
Memiliki ukuran yang
berbeda-beda, yaitu :
I. Memiliki tinggi
adonan sebesar 6
cm.
II. Memiliki tinggi
adonan sebesar 9
cm.

10
III. Memiliki tinggi
adonan sebesar 7,5
cm

B. Pembahasan
Dari hasil pengamatan, dapat kita ketahui bahwa adonan roti pada kondisi awal
memiliki ukuran yang sama walaupun dengan perlakuan yang berbeda. Yaitu gelas
praktikum I adonan roti dicampur dengan air hangat memiliki ukuran sebesar 4,5 cm,
gelas praktikum II adonan roti dicampur dengan air biasa memiliki ukuran sebesar 4,5
cm, dan gelas praktikum III adonan roti dicampur dengan air dingin memiliki ukuran
sebesar 4,5 cm.

Kemudian pada selang 15 menit, terdapat perubahan yang terjadi pada adonan roti,
yaitu adonan mulai mengembang, menandakan ada aktivitas ragi berupa tumbuhnya
jamur Saccharomyces cerevisiae yang menghasilkan karbondioksida. Dari ketiga adonan
tersebut, terdapat perbedaan dalam proses pengembangannya. Adonan roti yang
memakai air biasa dengan suhu 30℃ mengembang dengan cepat dibandingkan dengan
adonan roti yang memakai air hangat dan air dingin.

Pada kondisi akhir setelah 20 menit, adonan roti memiliki ukuran yang berbeda-beda.
Adonan roti yang menggunakan air hangat dengan suhu 37℃ pada gelas praktikum
nomor I memiliki ukuran sebesar 6 cm. Sedangkan adonan roti yang menggunakan air
biasa dengan suhu 30℃ pada gelas praktikum nomor II memiliki ukuran sebesar 9 cm.
Dan adonan roti yang menggunakan air dingin dengan suhu 4 ℃ memiliki ukuran
sebesar 7,5 cm.

Dari ketiga adonan tersebut yang memiliki ukuran volume pengembangan paling
besar adalah adonan roti yang menggunakan air biasa. Hal ini menunjukkan bahwa jamur
Saccharomyces cerevisiae mengalami pertumbuhan dengan baik, karena jamur
Saccharomyces cerevisiae mempunyai suhu optimal untuk pertumbuhan mikroba. Suhu
di bawah minimal dan di atas maksimal dapat menyebabkan terjadinya denaturasi enzim
sehingga tidak tumbuh dengan baik. Sebagian besar Saccharomyces cerevisiae umumnya
tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-32°C.

Hal ini terbukti dengan hasil pengamatan yang kami lakukan yaitu adonan roti yang
menggunakan air dingin dengan suhu di bawah 25-32°C mengalami pengembangan

11
lebih lambat. Dan adonan roti yang menggunakan air hangat dengan suhu di atas 25-
32°C. mengalami pengembangan paling lambat. Hal ini menunjukkan bahwa suhu
berpengaruh terhadap pertumbuhan Jamur Saccharomyces cerevisiae pada adonan roti.

12
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah kami lakukan dapat kami simpulkan bahwa suhu dapat
mempengaruhi pertumbuhan jamur Saccharomyces cerevisiae pada adonan roti yang
dibuktikan dengan adonan roti yang mengembang. Dan suhu paling optimal dalam
pertumbuhan jamur Saccharomyces cerevisiae dengan baik adalah pada kisaran suhu 25-
32°C. Hal ini dibuktikan dengan adonan roti yang mengembang dengan cepat dan
memiliki ukuran volume paling tinggi yaitu sebesar 9 cm.
Sedangkan adonan roti yang menggunakan air dingin dengan suhu di bawah 25-32°C
mengalami pengembangan lebih lambat dengan ukuran volume sebesar 7,5 cm. Dan
adonan roti yang menggunakan air hangat dengan suhu di atas 25-32°C. mengalami
pengembangan paling lambat dengan ukuran volume sebesar 6 cm.
B. Saran
Ada beberapa saran dalam praktikum ini yaitu:
1) Sebaiknya dalam pembuatan adonan roti menggunakan air biasa agar adonan roti
daoat mengembang dengan baik sehingga menghasilkan kualitas roti yang empuk
dan kenyal.
2) Sebaiknya di dalam pelaksanaan praktikum ini waktu yang ditentukan digunakan
dengan sebaik-baiknya sehingga praktikum dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
3) Selain itu sebaiknya dalam melaksanakan praktikum perlu membangun kerja sama
dan tidak bergurau saat praktikum berlangsung agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, M. 2012. Pengaruh Fermentasi dan Konsentrasi Ragi Roti Terhadap Kadar
Bioetanol Dari Fermentasi Glukosa Hasil Hodrolisis Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit.
Departemen Kimia Universitas Sumatra Utara.

Agustining, D. 2012. Daya Hambat Saccharomyces Cerevisiae Terhadap Pertumbuhan


Jamur Fusarium Oxysporum. Skripsi. Universitas Jember.

Ahmad, R. Z. 2005. Pemanfaatan khamir Saccharomyces cerevisiae untuk ternak. Balai


Penelitian Veteriner.

Calessman, dkk. 2005. Pertumbuhan Saccharomyces Cerevisiae.

Sitepu KM. 2019. Penentuan Konsentrasi Ragi Pada Pembuatan Roti. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Agrokompleks. Volume 2 Nomor 1, Juni 2019. Makassar: Universitas
Hasanudin.

14

Anda mungkin juga menyukai