Anda di halaman 1dari 21

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam LAPORAN

RSUD Abdul Wahab Sjahranie


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Oleh Kelompok Kepaniteraan Klinik 73:

1. Ruth Putri E. S. 1910027051


2. Sepriani Indriati Azis 1910027054
3. Soleha Adipinastika Putri 1910027057
4. Syella Chintya Dewi 1910027058
5. Noor Hijriyati Shofiana Al Rasyid 1910027060
6. Sayyid Muhammad Sahil Haikal 1910027068
7. Tri Wulandari 1910027070

Pembimbing:
dr. Ridha Niradhita, Sp.PD

i
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
2020

LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Tutorial

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Oleh Kelompok Kepaniteraan Klinik 73:

1. Ruth Putri E. S. 1910027051


2. Sepriani Indriati Azis 1910027054
3. Soleha Adipinastika Putri 1910027057
4. Syella Chintya Dewi 1910027058
5. Noor Hijriyati Shofiana Al Rasyid 1910027060
6. Sayyid Muhammad Sahil Haikal 1910027068

ii
7. Tri Wulandari 1910027070

Pembimbing

dr. Ridha Niradhita, Sp.PD

LAB / SMF ILMU PENYAKIT DALAM


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tutorial yang berjudul “Anemia
Defisiensi Besi”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada:
1. dr. Ridha Nirdhita, Sp. PD, sebagai dosen pembimbing Laporan Tutorial.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda yang telah bersedia memberikan saran dan mengajarkan ilmunya
pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

Akhir kata, penulisan Laporan Tutorial ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, penulis membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki Laporan Tutorial ini. Semoga Laporan Tutorial ini dapat bermanfaat bagi
semuanya.

iii
Samarinda, 27 Juni 2020

Penyusun

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................................................iii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iv
BAB I...............................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................1
1.1 Rumusan Masalah...........................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
2.1 Skenario...........................................................................................................................3
2.2 Step 1. Identifikasi Istilah...............................................................................................3
2.3 Step 2. Identifikasi Masalah...........................................................................................3
2.4 Step 3. Curah Pendapat..................................................................................................3
2.5 Step 4. Strukturisasi Konsep..........................................................................................3
2.6 Step 5. Learning Objective.............................................................................................3
2.7 Step 6. Belajar Mandiri..................................................................................................3
2.8 Step 7. Sintesis.................................................................................................................3
2.8.1 Definisi dan etiologi.................................................................................................3
2.8.2 Patofisiologi..............................................................................................................4
2.8.3 Manifestasi Klinis....................................................................................................4
2.8.4 Staging......................................................................................................................6
2.8.5 Diagnosis...................................................................................................................7
2.8.6 Penatalaksanaan......................................................................................................7
2.8.7 Komplikasi..............................................................................................................11
BAB III.........................................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................14
3.2 Saran..............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................15

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Chronic Kidney Disease adalah kondisi ireversibel di mana fungsi ginjal menurun dari waktu
ke waktu. CKD biasanya berkembang secara perlahan dan progresif, kadang sampai bertahun-
tahun, dengan pasien sering tidak menyadari bahwa kondisi mereka telahn parah. Kondisi
fungsi ginjal memburuk, kemampuan untuk memproduksi erythropoietin yang memadai
terganggu, sehingga terjadi penurunan produksi baru sel-sel darah merah dan akhirnya terjadi
anemia. Dengan demikian, anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada CKD, dan
sekitar 47% pasien dengan CKD anemia (Denise, 2007).
Diseluruh dunia menurut National Kidney Foundation (2004), 26 juta orang dewasa Amerika
telah mengalami CKD, dan jutaan orang lain beresiko terkena CKD. Perhimpunan nefrologi
indonesia menunjukkan 12,5 persen dari penduduk indonesia mengalami penurunan fungsi
ginjal, itu berarti secara kasar lebih dari 25 juta penduduk mengalami CKD. Prevalensi CKD
terutama tinggi pada orang dewasa yang lebih tua, dan ini pasien sering pada peningkatan
risiko hipertensi. Kebanyakan pasien dengan hipertensi akan memerlukan dua atau lebih
antihipertensi obat untuk mencapai tujuan tekanan darah untuk pasien dengan CKD. Hipertensi
adalah umum pada pasien dengan CKD, dan prevalensi telah terbukti meningkat sebagai GFR
pasien menurun. prevalensi hipertensi meningkat dari 65% sampai 95% sebagai GFR
menurun 85-15ml / min/1.73m2. Penurunan GFR dapat ditunda ketika proteinuria menurun
melalui penggunaan terapi antihipertensi (Eskridge, 2010) Penanganannya seperti
pemantauan ketat tekanan darah, kontrol kadar gula darah (Thakkinstian, 2011). Kardiovaskular
(CVD) adalah penyebab utama kematian pada pasien dengan CKD (Patricia, 2006).
Penyakit CKD merupakan penyakit yang memerlukan perawatan dan penanganan seumur
hidup. Fenomena yang terjadi banyak klien yang keluar masuk Rumah Sakit untuk melakukan
pengobatan dan dialisis. Oleh karena itu peran dokter sangat penting pada pasien CKD, serta
diharapkan tidak hanya terhadap keadaan fisik klien tetapi juga psikologis klien.

1
1.1 Rumusan Masalah
Laporan Tutorial ini membahas tentang definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
diagnosis, penatalaksanaan dan komplikasi dari Chronic Kidney Disease.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan Laporan Tutorial ini yaitu untuk Mengetahui tentang Chronic
Kidney Disease.

2
BAB II
ISI
CHRONIC KIDNEY DISEASE

2.1 Skenario
Nn. Y, 32 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan mudah lelah bila
beraktifitas dan sering berkungan-kunang sejak 3 bulan terakhir. Dia juga
mengeluhkan penurunan berat badan dan kurang berenergi, kadang ada keringat di
malam hari, tetapi tidak ada demam dan batuk, kadang-kadang terdapat buang air
besar berdarah segar, menetes. Tidak ada keluhan nyeri perut atau muntah hitam. Dia
baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan ternama sejak 6 bulan lalu. Dia
sering telat makan karena pekerjaan belum selesai. Sejak 6 bulan terakhir, haidnya
tidak teratur. Sering8-10 hari, dan kadang bisa dua kali dalam sebulan bila sibuk.
Riwayat maag (+), sering minum obat promag. Riwayat TB kelenjar, sudah selesai
pengobatan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, tidak didapatkan
koilonychias, stomatitis angularis juga negative. Didapatkan hemoroid grade II. Hasil
pemeriksaan darah rutin adalah Hb 7,8 g/dl, leukosit 4.100/mm3, Plt 175.000/mm3,
MCV 62 fl, MCH 16 pg/sel, MCHC 29 g/dl, retikulosit 1%, ferritin 15 ug/dl, TIBC
500 mcg/dl.

2.2 Identifikasi Istilah


 Koilonychia: spoon nail, kuku tampak cekung dan bergaris-garis.
 Hemoroid grade 2: tonjolan yang keluar dari anus, reversible.

2.3 Step 2. Identifikasi Masalah


1. Apakah penurunan berat badan berhubungan dengan gejala yag dialami saat
ini ?.
2. Apakah riwayat maag dan TB kelenjar dapat menyebabkan gejala yang ada
pada pasien saat ini ?.
3. Apakah haid yang tidak teratur dapat memengaruhi gejala pada pasien ?.

3
4. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik ?.
5. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium ?.
6. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan ?.
7. Kemungkinan diagnosis dan diagnosis banding ?.
8. Terapi yang dapat diberikan ?.

2.4 Curah Pendapat


1. Sering terlambat makan dapat mempengaruhi asupan makanan yang masuk
sehingga dapat mempengaruhi berat badan. Riwayat TB kelenjar dapat
memungkinkan pasien mengalami penurunan berat badan, namun harus kita
ketahui dulu BB dalam 3 bulan terakhir disertai tinggi badan agar dapat
diukur BMI-nya.
2. Riwayat maag yang mugkin terjadi secara berulang dapat menyebabkan
terjadinya perlukaan pada lambung dan terjadi perlukaan/perdarahan. Pasien
yang mengonsumsi obat maag dapat membuat asam lambung menurun
sehingga penyerapan asam lambung terganggu dan dapat menyebabkan
terjadinya anemia defisiens besi. Riwayat konsumsi antasida yang memiliki
kandungan kalsium dapat menyebabkan terganggunya absorpsi zat besi.
Antasida juga memiliki efek samping konstipasi/diare sehingga dapat
menyebabkan terjadinya hemoroid Kemungkinan adanya riwayat TB Kelenjar
dapat menyebabkan pasien mengidap anemia penyakit kronis.
3. Perdarahan haid yang lama dapat menyebabkan kehilangan darah yang
banyak, disertai dengan adanya riwayat BAB berdarah juga dapat
menyebabkan kehilangan darah dan dapat mengarah kepada anemia.
4. Konjungtiva anemis, lelah (kurang berenergi): gejala klasik anemia.
Koilonychia dan stomatitis angularis: gejala khas anemia defisiensi besi,
namun baru muncul pada tahapan ADB ke- 3.
5. Interpretasi hasil laboratorium:
 Hb normal wanita 12 g/dl (RENDAH)
 Leukosit normal

4
 Plt normal
 MCV normal 80-100 RENDAH)
 Retikulosit normal
 Feritin (RENDAH)
 TIBC (TINGGI)
6. Pemeriksaan ginekologi dan USG (untuk memastikan kelainan yang mungkin
terjadi pada uterus yang dapat menyebabkan perdarahan) dan apusan darah
tepi.
7. Kemungkinan diagnosis:
 Anemia defisiensi besi.

Kemungkinan diagnosis banding:


 Anemia penyakit kronis
 Anemia hemoragik.
8. Tatalaksana untuk pasien:
 Hilangkan penyebab (hemoroid, menorrhagia).
 Suplemen besi: oral (ferrous sulfate 200 mg) atau parenteral (pada
pasien yang tidak bisa konsumsi preparat oral, iron dextran).
 Perbaiki diet, perbanyak konsumsi protein untuk meningkatkan
absorpsi zat besi pada tubuh.
 Transfusi diperlukan jika Hb < 7 g/dl atau ada gangguan hemodinamik
(exp: syok).

2.5 Strukturisasi Konsep


-
2.6 Learning Objective
1. Definisi Anemia Defisiensi Besi.
2. Etiopatomekanisme Anemia Defisiensi Besi.
3. Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi.
4. Penegakkan Diagnosis Anemia Defisiensi Besi.
5. Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi.

5
2.7 Sintesis
2.7.1 Definisi
Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai di seluruh dunia,
disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai
dampak besar terhadap kesejahteraan sosisal dan ekonomi, serta kesehatan fisik.
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah
yang cukup ke jaringan perifer. Parameter yang paling umum dipakai untuk
menunjukan massa eritrosit adalah kadar hemoglobil, disusul oleh hematokrit dan
hitung eritrosit. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secarafisiologik
tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggisn tempat
tinggal. Oleh karena itu perlu adanya cut off point untuk kadar hemoglobin. WHO
menetapkan cut off point anemia untuk wanita dewasa yaitu kurang dari 12 g/dl dan
kurang dari 13 g/dr untuk laki-laki dewasa.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya
mengakibatkan Pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi ditandai
dengan anemia hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukan
cadangan besi kosong.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai,
terutama dinegara-negara tropik atau negara dunia ketiga, karena sangat berkaitan
erat denga taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk
dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat merugikan serta dampah
sosial yang cukup serius,

2.7.2 Klasifikasi
Jika adilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi
dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:

6
 Deplesi besi
Kondisi ini ditandai dengan adanya penurunan cadangan besi didalam
tubuh namun penyediaan besi untuk eritropoesis masih belum terganggu.
 Eritropoesis defisiensi besi
Suatu keadaan dimana cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk
eritropoesis terganggu tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
 Anemia defisiensi besi
Kondisi dimana cadangan besi kosong disertai danemia defisiensi besi.

2.7.3 Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan
besi, gannguan absorpsi serta kehilangan besi akibat pendarahan menahun:

1. Kehilangan besi sebagai akibat pendarahan menahun berasal dari:

a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,
b. kanker lambung, kanker colon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi
cacing
c. tambang.
d. Saluran genitalia perempuan: menorrhagia, atau metrorhagia
e. Saluran kemih: hematuria
f. Saluran nafas: hemoptoe
2. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,
rendah vitamin C , dan rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir
indentik dengan pendarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi
jarang sebagai penyebab utama. Penyebab pendarahan paling sering pada laki-laki

7
ialah pendarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing
tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi paling sering karena
meno-metrorhgia.
Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada banyak keadaan klinis.
Setelah gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan terganggu,
terutama akibat peningkatan motilitas dan by pass usus halus proximal, yang menjadi
tempat utama absorpsi zat besi. Pasien dengan diare kronik atau malabsorpsi usus
halus juga dapat menderita defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum
proximal ikut terlibat. Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan pelopor
dari radang usus non tropical (celiac sprue).

Yang beresiko mengalami anemia defisiensi zat besi:

a. Wanita menstruasi.
b. Wanita menyusui atau hamil karena peningkatan kebutuhan zat besi.
c. Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan yang cepat.
d. Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi, jarang
makan.
e. daging dan telur selama bertahun-tahun.
f. Menderita penyakit maag.
g. Penggunaan aspirin jangka panjang.
h. Kanker kolon.
i. Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat digantikan dengan
brokoli dan bayam.

2.7.4 Patofisiologi
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi
yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun.
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif,
yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan
kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi

8
dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka
cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia
secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis.
Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin
menurun dan kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity = TIBC)
meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan
jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar
hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut
sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada saat ini juga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan
gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gelaja lainnya.

2.7.5 Manifestasi Klinis


1.      Pucat oleh karena kekurangan volume darah dan Hb, vasokontriksi
2.      Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah) Angina
(sakit dada)
3.      Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2 berkurang)
4.     Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung) menggambarkan
berkurangnya oksigenasi pada SS.
5.      Anemia berat gangguan GI dan CHF (anoreksia, nausea, konstipasi atau
diare)
Pucat merupakan tanda paling penting pada defisiensi besi. Pada ADB dengan
kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala
anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun < 100 µg/dl eritrosit.
Gejala khas yang dijumpai pada defisiensi besi dan tidak dijumpai pada
anemia jenis lain adalah sebagai berikut :
 Koilorikia  Kuku sendok (Spoon nail) kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertical, dan menjadi cekung seperti sendok.

9
 Atrofi papilla lidah  Permukaan lidah menjadi licin dan mengilap
karena papil lidah menghilang.
 Stomatitis angularis  adanya peradangan pada sudut mulut, sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
 Disfagia  nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
 Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan aklorida.

2.7.6 Penegakan diagnosis


Diagnosis anemia defisiensi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis untuk mencari faktor predisposisi dan etiologi, antara lain:


asupan nutrisi, riwayat infeksi, riwayat pendarahan, riwayat konsumsi
obat-obatan yang dapat menurunkan penyerapan za besi seperti
antasida

2. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya gejala pucat menahun


tanpa disertai adanya organomegali, seperti hepatomegaly dan
splenomegaly.

3. Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin Hb, PCV


(PackedCell Volume), leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan
indeks eritrosit, retikulosit, saturasi morfologi darah tepi dan
pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, transferrin, Free Erythrocyte
Protoporphyrin(FEP), ferritin). Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV,
MCH akan menurun, MCHC akan menurun pada keadan berat, dan
RDW akan meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan
keadaan hipokrom, mikrositik, anisositik hipokrom biasanya terjadi
pada ADB, infeksi kronis dan thalassemia.

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO :


1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia.

10
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (Normalnya 32-35%)
3. Kadar Fe serum <5μg/dl (Normalnya 80-180μg/dl).
4. Saturasi transferrin <15% (Normalnya 20-50%).
Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen: (1). Anemia hipokrom
mikrositik (2). Saturasi transferrin <16% (3). Nilai FEP 100 μg/dl eritrosit (4). Kadar
ferritin serum <12μg/dl. Diagnosis ADB minimal 2 dari 3 kriteria (Saturasi
transferrin, ferritin serum dan FEP) harus dipenuhi.

2.7.7 Penatalaksanaan
Sesudah diagnosis defisiensi besi ditegakkan, pengobatan harus segera
dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Prinsip tata laksana anemia
defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta
memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Preparat besi dapat diberikan
melalui oral atau parenteral. Pemberian per oral lebih aman, murah, dan sama
khasiatnya dengan pemberian secara parenteral.
Garam ferro di dalam tubuh diabsorbsi oleh usus sekitar tiga kali lebih baik
dibandingkan garam ferri, maka preparat yang tersedia berupa ferro sulfat, ferro
glukonat, ferro fumarat. Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang
dianjurkan 3-6 mg besi elemental/kgBB/hari diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Dosis
obat dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang ada dalam garam ferro.
Garam ferro sulfat mengandung besi elemental 20%, sementara ferro fumarat
mengandung 33%, dan ferro glukonat 12% besi elemental.
Preparat besi dapat mengendap sehingga menyebabkan gigi hitam, tetapi
perubahan warna ini tidak permanen. Pengendapan zat besi dapat dicegah atau
dikurangi apabila setelah makan preparat besi berkumur atau minum air putih
ataupun dengan meneteskan larutan preparat besi di bagian belakang lidah.
Konsumsi besi juga apat mengakibatkan tinja berubah menjadi hitam.
Pada bayi dan anak, terapi besi elemental diberikan dengan dosis 3-6 mg/kg
bb/hari dibagi dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan makan malam;
penyerapan akan lebih sempurna jika diberikan sewaktu perut kosong. Penyerapan

11
akan lebih sempurna lagi bila diberikan bersama asam askorbat atau asam suksinat.
Bila diberikan setelah makan atau sewaktu makan, penyerapan akan berkurang
hingga 40-50%. Namun mengingat efek samping pengobatan besi secara oral berupa
mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk mengurangi efek
samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah makan.
Respon terapi terhadap pemberian preparat besi dapat diamati secara klinis
atau dari pemeriksaan laboratorium. Evaluasi respon terhadap terapi besi
dengan melihat peningkatan retikulosit dan peningkatan hemoglobin atau hematokrit.
Terjadi kenaikan retikulosit maksimal 8%-10% pada hari kelima sampai kesepuluh
terapi sesuai dengan derajat anemia, diikuti dengan peningkatan hemoglobin (rata-
rata 0,25-0,4 mg/dL/hari) dan kenaikan hematokrit (rata-rata 1% per hari)
selama 7-10 hari pertama. Kadar hemoglobin kemudian akan meningkat 0,1
mg/dL/hari sampai mencapai 11 mg/dL dalam 3-4 minggu. Bila setelah 3-4
minggu tidak ada hasil seperti yang diharapkan, tidak dianjurkan melanjutkan
pengobatan. Namun apabila didapatkan hasil seperti yang diharapkan, pengobatan
dilanjutkan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin kembali normal.
Anak yang sudah menunjukkan gejala anemia defisiensi besi telah masuk ke
dalam lingkaran penyakit, yaitu anemia defisiensi besi mempermudah terjadinya
infeksi sedangkan infeksi mempermudah terjadinya anemia defisiensi besi. Oleh
karena itu antisipasi sudah harus dilakukan pada waktu anak masih berada di dalam
stadium I & II. Bahkan di Inggris, pada bayi dan anak yang berasal dari keluarga
dengan sosial ekonomi yang rendah dianjurkan untuk diberikan suplementasi besi di
dalam susu formula.
Pencegahan anemia defisiensi atau defisiensi besi pada masa bayi memegang
peran penting terhadap terjadinya dampak jangka panjang. Pencegahan yang bisa
dilakukan mencakup pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer meliputi
konseling di pusat-pusat kesehatan mengenai asupan zat besi yang adekuat dan
memberikan suplementasi zat besi serta fortifikasi zat besi dalam makanan.
Pencegahan sekunder mencakup uji tapis dan diagnosis dini serta tata laksana
yang tepat terhadap defisiensi zat besi.

12
Suplemen besi 3 mg/kgBB per oral dua kali sehari selama enam bulan pada
anak umur 12-23 bulan yang menderita anemia defisiensi besi dalam penelitiannya.
Dampak pemberian suplemen besi 12 mg besi per hari selama enam bulan pada bayi
umur 12 bulan yang menderita anemia dibandingkan dengan bayi tidak anemia yang
diberi susu skim. Enam bulan setelah intervensi semua indikator besi pada kelompok
anemia meningkat secara bermakna. Perkembangan motorik dan mental serta
aktivitas motorik juga meningkat secara bermakna, namun tidak lebih baik
dibanding bayi yang tidak anemia.

IDAI, (2011) memberikan 5 rekomendasi terkait pemberian suplemen besi untuk


menanggulangi anemia defisiensi besi. Kelima rekomendasi tersebut adalah:
a. Rekomendasi 1
Suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia
balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun.

b. Rekomendasi 2
Dosis dan lama pemberian suplementasi besi, yaitu: (1) bayi BBLR (<2.500
gram) dengan dosis 3 mg/kgBB/hari sejak usia 1 bulan sampai 2 tahun, (2)
bayi cukup bulan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari sejak usia 4 bulan sampai 2 tahun,
(3) anak usia 2 - 5 (balita) dengan dosis 1 mg/kgBB/hari sebanyak 2x/minggu
selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun, (4) anak usia 5 - 12 tahun (usia sekolah)
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari sebanyak 2x/minggu selama 3 bulan berturut- turut
setiap tahun, (5) anak usia 12 - 18 (remaja) dengan dosis 60 mg/hari sebanyak
2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun.
Dosis maksimum untuk bayi adalah 15 mg/hari dengan dosis tunggal dan
khusus untuk remaja perempuan pemberian suplemen besi ditambah dengan 400 μg
asam folat.

c. Rekomendasi 3
Saat ini belum perlu dilakukan uji tapis (skrining) defisiensi besi secara
massal.

13
d. Rekomendasi 4
Pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) dilakukan mulai usia 2 tahun dan
selanjutnya setiap tahun sampai usia remaja. Bila dari hasil pemeriksaan
ditemukan anemia, dicari penyebab dan bila perlu dirujuk.

e. Rekomendasi 5
Pemerintah harus membuat kebijakan mengenai penyediaan preparat besi dan
alat laboratorium untuk pemeriksaan status besi.

Badan kesehatan dunia WHO telah merekomendasikan program berskala


besar pemberian suplementasi besi harian untuk mengurangi prevalensi anemia
defisiensi besi pada daerah risiko tinggi. Namun demikian, anemia defisiensi besi
masih umum terjadi di sebagian besar belahan dunia, khususnya pada anak-anak di
negara berkembang. Ketidakpatuhan minum tablet besi adalah masalah utama
strategi ini karena efek samping pada saluran cerna dan sulitnya memotivasi untuk
meminum tablet besi setiap hari dalam jangka waktu yang lama.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal yang
berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration rate (GFR).
Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana GFR < 60
mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal (National
Kidney Foundation, 2002). Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan
darah tinggi, yaitu sekitar dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015).
Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal diantaranya adalah penyakit peradangan
seperti glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, malformasi saat perkembangan janin dalam
rahim ibu, lupus, obstruksi akibat batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar prostat, dan
infeksi saluran kemih yang berulang (Wilson, 2005).
3.2 Saran
Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari rekan-rekan sejawat sekalian.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Hoffbrand, AV. Et al. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta. Penerbit buku
kedokteran EGC.
3. Amelia, A. (2016). Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi. MAJORITY
journal, 166-169.

4. Bridges, Kenneth R, at al. 2008. “Anemias and Other Red Cell Disorder ”. New York
: Mc. Graw Hill.
5. Arumsari, E. 2008. “Faktor Risiko Anemia Pada emaja Putri Peserta Program
Pencegahan dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi (PPAGB) di Kota Bekasi”. Bogor :
Skripsi GMSK IPB.
6. Briawan. 2013. “Anemia : masalah gizi pada remaja wanita”. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
7. Depkes, RI. 1998. “Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja Putri dan
WUS”. Jakarta : Depkes RI.
8. Kiswari, Rukman. 2014. “Hematologi Dan Transfusi”. Jakarta : Penerbit Buku
Erlangga.
9. Kwatrin, Eva. 2007. “Fakor-faktor yang berhubungan dengan anemia pada siswi SMUN
Bayah Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2007”. Depok : Thesis FKMUI.

16

Anda mungkin juga menyukai