Anda di halaman 1dari 40

KUALITAS PELAYANAN DINAS PEMADAM KEBAKARAN DI

INDONESIA

KUALITAS PELAYANAN PADA DINAS PEMADAM KEBAKARAN DI


INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Administrasi Negara Indonesia
Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran

Oleh:
Nur Indah Fitriyani : 170110110132
Dema Purwaka : 170110110155
Gilang Alwinata Putra : 170110110156

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
BANDUNG
2011

KATA PENGANTAR

            Puji sanjung dan syukur kami sampaikan pada Sumber dari segala Ilmu Pengetahuan,

Sang Maha Kuasa Allah SWT,  yang telah memberikana kami nikmat kesempatan dan kesehatan

sehingga dapat menyelesaikan makalah dalam bentuk yang sangat sederhana ini. Tak lupa

shawalat serta salam kami curahkan pada Baginda Besar yang telah menyebarkan agama Islam

yang sudah terbukti kebenaranya dan semakin terbukti kebenarannya Rasulullah Muhammad

SAW.

            Kami  menyadari bahwa penulisan Kualitas Pelayanan Pada Dinas Pemadam

Kebakaran di Indonesia ini masih jauh dari tingkat kempurnaan, oleh karena itu kami

mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dimasa yang akan datang. Kami juga

sangat berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami, baik dalam segi motivasi,

penulisan, dan output dari penyelesaian makalah ini.

            Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas amal yang telah diberikan kepada

kami dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Amiin
PENDAHULUAN
BAB I

1.1 LATAR BELAKANG


Esensi pemerintahan dalam suatu wilayah adalah untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Karena Pemerintah tidak diadakan untuk dirinya sendiri , tetapi untuk

melayanimasyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat

mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid,

1998:139).

Pelayanan yang diinginkan masyarakat adalah pelayanan yang baik, yaitu pelayanan yang

berkualitas. Karena semakin baik pelayanan yang diberikan kepada masyarakat maka prakarsa

masyarakat untuk proaktif dalam mengisi pembangunan daerah yang akan mengantarkan

masyarakat pada jenjang kesejahteraan yang lebih baik akan dapat dicapai.

Pelayanan publik yang professional artinya pelayanan yang memiliki akuntabilitas dan

responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah). Efektif, lebih mengutamakan pada

pencapaian tujuan dan sasaran.Efisien, mengandung arti persyaratan pelayanan hanya dibatasi

pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran dengan tetap memperhatikan

keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan, mencegah adanya penanggulangan

pemenuhan persyaratan. Sederhana, mengandung arti prosedur tata cara pelayanan yang

diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidakberbelit-belit, mudah dipahami dan mudah

dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan. Kejelasan dan kepastian (trasnparan),

mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan

dan kepastian mengenai prosedur tatacara pelayanan, persyaratan pelayanan baik teknis maupun
administratif, unit kerja dan atau pejabat yang berwenang serta bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan, rincian biaya atau tarif pelayanan dan tata cara pembayaran serta jadwal

waktu penyelesaian pelayanan. Keterbukaan, mengandung arti semua proses pelayanan wajib

diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami masyarakat baik diminta

maupun tidak. Tepat waktu mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat yang

diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap

dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi yang dijalani. Adaptif

mengandung arti cepat menyesuaikan tuntutan apa yang tumbuh dan berkembang di lingkungan

sekitanya.

Berdasarkan kerangka kontekstual tugas pemerintah untuk memberikan pelayanan

kepada masyarakat, contoh kasus yang ada yaitu dinas pemadam kebakaran di kabupaten

Garut . Maka dilakukan suatu analisis kasus di Kabupaten Garut, dimana hasil analisis awal yang

dikemukakan adalah, pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Garut masih belum

optimal. Hal ini disebabkan adanya beberapa kendala yang dilami dalam pelaksanaan pelayanan.

Kendala ini menyebabkan Pemerintah Kabupaten Garut tidak dapat memberikan pelayanan

yang baik kepada masyarakat, dalam hal ini khususnya mengenai pemedaman kebakaran.

Adapun kendala utama yang dihadapi pemerintah kabupaten Garut khususnya pada Dinas

Pemadam Kebakaran adalah infrastruktur dan perlengkapan yang kurang memadai.

Sebagaimana diketahui pelaksanaan pelayanan yang baik menghendaki prakondisi yang

kondusif. Pelayanan yang baik akan sulit terwujud apabila ketersediaan infrastruktur dan alat

untuk memfasilitasi atau melayani masyarakat itu sendiri tidak memadai, dan hal ini akan

memicu kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pelayanan umum itu sendiri, namun satu hal

yang hingga saat ini seringkali masih menjadi masalah dalam kaitannya dalam hubungan antar
rakyat dan pemerintah di daerah adalah dalam bidang public service (pelayanan umum),

terutama dalam hal kualitas atau mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat.

Pemerintah sebagai service provider (penyedia jasa) bagi masyarakat dituntut untuk memberikan

pelayanan yang semakin berkualitas. Apalagi dalam menghadapi kompetisi di era globalisasi,

kualitas dan pelayanan aparatur pemerintah akansemakin ditantang untuk semakin optimal dan

mampu menjawab tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat, baik dari segi kualitas maupun

dari segi kuantitas pelayanan. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, akuntabilitas

(pertanggungjawaban) penyelenggaraan pelayanan publik mengenai pelayanan umum Dinas

pemadam kebakaran Provinsi Jawa Barat, sangat penting untuk mengetahui sejauhmana tingkat

keberhasilan ataupun kegagalan pemerintah dalam menjalankan tugasnya melayani masyarakat.

Masyarakat masih menganggap bahwa pelayanan yang di berikan oleh pemerintah kabupaten

masih kurang memuaskan. Dilihat dari kualitas kinerja aparat dan jangka waktu penyelesaian

pemadaman kebakaran yang diberikan oleh pemerintah kabupaten tersebut.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH


 Bagaimana peran dinas pemadam kebakaran dalam memberikan pelayanan pada masyarakat ?
 Apa yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan pelayanan publik khususnya dalam
pelayanan pemadam kebakaran ?
 Bagaimana usaha-usaha yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam meningkatkan
pelayanan publik khususnya dalam Pemadaman kebakaran ?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
 Untuk mengetahui peran pelayanan umum Dinas Pemadam Kebakaran.
 Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam peran pelayanan khususnya dalam
layanan pemadaman kebakaran
 Untuk mengetahui usaha-usaha atau upaya yang telah dilakukan oleh aparatur Dinas Pemadam
Kebakaran dalam meningkatkan pelayanan publik. Khususnya dalam layanan pemadaman
kebakaran
1.4 KEGUNAAN PENELITIAN
A.       Kegunaan Akademis

a.    Sebagai landasan atau bahan informasi untuk penulisan-penulisan yang serupa

b.   Sebagai tambahan kepustakaan di bidang administrasi negara khususnya mengenai

pengembangan SDM

B.        Kegunaan Praktis

1.                 Bagi badan yang bersangkutan :

a.    Sebagai bahan informasi dalam melaksanakan …

b.   Sebagai bahan informasi untuk memperbaiki kelemahan dan kekeurangan dalam pelaksanaan…

2.   Bagi penulis :

Penulisan ini merupakan kesempatan untuk menerapkan teori-teori yang diperoleh di bangku

perkuliahan ke dalam praktek yang sesungguhnya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Karakteristik Birokrasi


Birokrasi di Indonesia memiliki beberapa karakteristik tertentu sehingga masyarakat

sering alergi bila harus berurusan dengan birokrasi. (Sondang PS, 1994:102) sebagai berikut :

1. Cara kerja yang berbelit-belit


Cara kerja yang berbelit-belit dapat ditunjukkan dalam menyelesaikan suatu urusan yang

seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu singkat baru dapat dituntaskan setelah waktu yang

relatif lama. Sering ditambahkan pula bahwa kerja berbelit-belit berarti suatu pekerjaan yang

sesungguhnya dapat diselesaikan oleh seseorang dalam kenyataannya melibatkan beberapa meja

yang tentunya berakibat pada “mata rantai penyelesaian yang panjang”.

2. Pura-pura sibuk
Para anggota masyarakat yang membutuhkan pelayanan masyarakat aparat pemerintah

mengharapkan pemberian pelayanan yang cepat, cermat sekaligus ramah.Tetapi dalam

kenyataannya pegawai yang karena jabatannya harus memberikan pelayanan tersebut dengan

sengaja menunda-nunda penyelesaian tugasnya.

3. Tidak sopan
Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, para aparat pemerintah cenderung

bersikap tidak sopan.Sehingga masyarakat merasa takut dan enggan berurusan.Aparatur

cenderung melecehkan masyarakat, sikap demikian muncul karena aparat merasa dirinya sangat

dibutuhkan oleh masyarakat.Sikap demikian dapat ditunjukkan dengan muka cemberut, bersikap

kasar dan tidak banyak bicara.

4. Sikap tidak acuh


Sikap demikian muncul karena pandangan para aparatur pemerintah merasa bahwa dialah

yang dibutuhkan oleh masyarakat.Sikap tidak acuh didalam melayani masyarakat yang sering

terjadi yaitu dengan membiarkan orang membutuhkan pelayanannya menunggu, atau mengulur

waktu penyelesaian pemberian pelayanan atau bahkan menyuruh pengguna jasa tersebut kembali

pada waktu yang lain, padahal sebenarnya pelayanan dapat diberikan pada waktu itu.Sedangkan

untuk memberikan atau meningkatkan pelayanan kepada pelanggan atau masyarakat dengan

baik, menurut keputusan Menpen Nomor 06/1995 tentang Pedoman Penganugrahan Piala
Abdisatyabhakti Bagi Unit Kerja/Kantor Pelayanan Percontohan diatur mengenai kriteria

pelayanan masyarakat yang baik, yaitu:

1. Kesederhanaan
Prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak

berbelitbelit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang melakukan

layanan.

2. Kejelasan dan kepastian


Adanya kejelasan dan kepastian mengenai :
• Prosedur / tata cara pelayanan.

• Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif.


• Unit kerja atau pejabat berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan.
• Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya.
• Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
3. Keamanan
Proses serta hasil pelayanan dapat memberi rasa aman, kenyamanan dan dapat

memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

4. Keterbukaan
Prosedur, tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi

pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan

proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh

masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.

5. Efisien
Kriteria ini mengandung arti :
• Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian

sasaran pelayanan yang tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk

pelayanan yang diberikan.


• Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat

yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan darisatuan/instansi

pemerintah lain yang terkait.

6. Ekonomis
Pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan:

• Nilai barang atau jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi diluar

kewajaran.

• Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar.


• Ketentuan peraturan perundang-undangan untuk membayar.
7. Keadilan yang merata
Jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata

dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

8. Ketepatan waktu
Pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah

ditentukan.Misalnya dalam mengurus perijinan atau membuat Kartu Tanda Penduduk, aparat

harus menentukan waktu menyelesaikan pembuatan KTP tanpa harus mengundurundur waktu

sehingga tidak membingungkan pengguna jasa pelayanan.

2.2 Tinjauan Pustaka

2.2.1 Pengertian Administrasi Publik

Dalam kehidupan sehari-hari juga sering kita terdengar istilah administrasi pada saat

berurusan dengan kantor pemerintahan atau swasta. Misalnya, pada waktu melamar pelerjaan

mendaftar masuk sekolah, berobat ke rumah sakit atau mengurus berbagai surat ijin, mengurus

kartu penduduk dan lain-lain. Semua itu menggunakan proses administrasi dalam

pelaksanaannya. Oleh karena itu administrasi dalam arti sempit merupakan penyusunan dan

pencatatan data dan informasi secara sistematis dengan maksud untuk menyediakan keterangan
serta memudahkan memperolehnya kembali secara keseluruhan dan dalam hubungannya satu

sama lain.

Selain itu juga Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan mengenai pengertian dari

administrasi tersebut, yaitu:

“Administrasi merupakan suatu fenomena sosial, suatu perwujudan tertentu di dalam masyarakat
modern. Eksistensi daripada administrasi ini berkaitan dengan organisasi, artingya administrasi
itu terdapat di dalam suatu organisasi. Jadi barangsiapa hendak mengetahui adanya administrasi
dalam masyarakat ia harus mencari terlebih dahulu suatu organisasi yang masih hidup, di situ
terdapat administrasi.” (Inu Kencana, 2006: 13)

Berdasarkan uraian dan definisi-definisi seperti dikemukakan di atas dapat dirinci

beberapa ciri pokok untuk disebut sebagai administrasi, yaitu:

1.    Sekelompok orang; artinya kegiatan administrasi hanya mungkin terjadi jika dilakukan oleh
lebih dari satu orang.
2.    Kerja sama; artinya kegiatan administrasi hanya mungkin terjadi jika dua orang atau lebih
bekerja sama.
3.    Pembagian tugas; artinya kegiatan administrasi bukan sekedar kegiatan kerja sama, melainkan
kerja sama tersebut harus didasarkan pada pembagian kerja yang jelas.
4.    Kegiatan yang runtut dalam suatu proses; artinya kegiatan administrasi berlangsung dalam
tahapan-tahapan tertentu secara berkesinambungan.
5.    Tujuan; artinya sesuatu yang diinginkan untuk dicapai melalui kegiatan kerja sama. (Silalahi,
2002: 10-11)

Inti dari administrasi adalah manajemen, karena memang manajemen merupakan alat

pelaksana utama dari administrasi. Manajemen berfungsi sebagai suatu upaya yang dilakukan

oleh manusia untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dengan didukung oleh

sejumlah sumber sehingga efetif dan efisien, dalam hal ini manajemen merupakan suatu tindakan

yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan dalam batas-batas kebijakan umum

yang telah ditentukan pada tingkat administrasi.

Adapun ciri-ciri Administrasi Publik yang dikemukakan oleh Miftah Thoha adalah

sebagai berikut:
1.    Pelayanan yang diberikan oleh administrasi negara bersigat lebih urgen dibandingkan dengan
pelayanan yang diberikan oleh organisasi-organisasi swasta.
2.    Pelayanan yang diberikan oleh administrasi negara pada umumnya bersifat monopoli atau semi
monopoli.
3.    Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat umum, administrasi negara dan
administratornya relatif berdasarkan undang-undang dan peraturan.
4.    Administrasi negara dalam memberikan pelayanan tidak dikendalikan oleh harga pasr, tidak
seperti yang terhadi dalam organisasi perusahaan yang terikat oleh harga pasar dan untung rugi.
5.    Usaha-usaha yang dilakukan oleh administrasi negara terutama dalam negara demokrasi ialah
dilakukan sangat tergantung pada penilaian rakyat banyak.
(Thoha, 2008: 35-36)

2.2.2        Pengertian Manajemen Pelayanan Publik

Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur. Pengaturan dilakukan

melalui proses dan diatur berdasarkan dari fungsi-fungsi manajemen tersebut. Seperti yang

dijelaskan oleh Malayu S.P. Hasibuan dalam bukunya yang berjudul Manajemen: Dasar,

Pengertian, dan Masalah yaitu: “manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan

sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai

suatu tujuan tertentu.” (Hasibuan, 2001:2)

Sedangkan menurut Stoner (dalam Handoko, 1999: 8) menjelaskan tentang pengertian

dari manajemen, yaitu:

“Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-


usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan.”

Dari definisi diatas terlihat bahwa Stoner telah menggunakan kata proses, bukan seni.

Mengartikan manajemen atau keterampilan pribadi. Suatu proses adalah cara sistematis untuk

melakukan pekerjaan. Manajemen didefinisikan sebagai proses karena semua manajer, tanpa

memperdulikan kecakapan atau keterampilan khusus mereka, harus melaksanakan kegiatan-

kegiatan tertentu yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka inginkan.
Dan menurut George R. Terry (dalam Herujito, 2004: 3), yaitu “manajemen adalah suatu

proses yang berbeda terdiri dari planning, organizing, actuating, dan controlling yang dilakukan

untuk mencapai tujuan yang ditentukan dengan menggunakan manusia dan sumber daya

lainnya”. Dengan kata lain penjelasan ini sama dengan yang diungkapkan oleh Stoner pada

penjelasan manajemen sebelumnya. Serta pengertian ini menjelaskan dengan berbagai jenis

kegiatan yang berbeda iitulah yang membentuk manajemen sebagai suatu proses yang tidak

dapat dipisah-pisahkan dan sangat erat hubungannya.

2.2.3        Kualitas Pelayanan Publik

2.2.3.1  Pengertian Kualitas

Kualitas dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu kualitas jasa dan kualitas produk. Kualitas

jasa merupakan suatu pembahasan yang sangat kompleks karena penilaian kualitas jasa berbeda

dengan penilaian terhadap kualitas produk, terutama karena sifatnya yang tidak nyata

(intangible) dan produksi serta konsumsi berjalan secara simultan (Farida, 2005: 47).

Selain itu juga konsep kualitas banyak dibahas dalam studi-studi manajemen seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya. Konsep kualitas pun telah dijelaskan oleh beberapa pakar

manajemen dengan melihat dari berbagai sudut pandang sehingga menghasilkan definisi-definisi

yang beragam.

Nasution (2004: 16) mengemukakan, dalam konsep kualitas menyangkut elemen-elemen:

1.      Kualitas mencakup usaha memenuhi harapan pelanggan;


2.      Kualitas mencakup produk, jasa manusia, proses dan lingkungan;
3.      Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan
kualitas saat ini mugnkin dianggap kurang berkualitas pada masa mendatang).
Selain itu juga menurut Nasution (2004: 169-171) menyatakan bahwa dengan makin

meningkatnya pendapatan masyarakat dan tersedianya berbagai jenis modal transportasi,

diperlukan peningkatan kualitas pelayanan yang meliputi:

1.      Keselamatan perjalanan dan keadaan


Keselamatan perjalanan yaitu makin diperkecilnya gangguan bagi penumpang dan barang
dimulai sejak awal perjalanan sampai dengan tibanya di tempat tujuan.
2.      Ketepatan waktu (Punctuality of schedule)
Ketepatan waktu adalah salah satu bentuk dari persyaratan masyarakat pengguna yang
memungkinkan mereka mampu merencanakan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan yang
berada pada lokasi tujuan.
3.      Kemudahan Pelayanan
Dengan kemudahan pelayanan dimaksudkan suatu kepastian pelayanan yang memungkinkan
seseorang untuk dapat dilayani, baik penumpang maupun barang.
4.      Kenyamanan
Dengan berubahnya tingkat kualitas hidup masyarakat, maka dituntut pula suatu pelayanan yang
lebih baik daripada keadaan ssekarang. Tingkat kebersihan, kebisingan, geronjolan, goyangan
adalah beberapa persyaratan umum yang perlu diperhatikan.
Beberapa elemen yang mendukung kenyamanan adalah sebagai berikut:
a.       Kapasitas penumpang di tiap kereta
b.      Akomodasi dan ergonomi tempat duduk
c.       Temperatur dan eliminasi
d.      Kenyamanan perjalanan
e.       Penampilan
f.       Kebersihan (terhadap kotoran, debu, sampah, dan sebagainya)
5.      Kecepatan
Sejalan dengan perubahan tata nilai dan mobilitas masyarakat, maka tingkat kecepatan
perkeretaapian untuk kurun waktu 15 tahun mendatang harus dapat dicapai 150 km/jam.
6.      Energi
Energi merupakan suatu saranan untuk mengembangkan kesejahteraan dan kemajuan bagi
kemanusiaan.
7.      Peningkatan produktivitas
Pengembangan usaha selalu membuktikan suatu peningkatan produktivitas sejalan dengan usaha
dalam meningkatkan kapasitas sesuai peluang/potensi pasar yang dihadapi.

2.2.3.2  Pengertian Pelayanan Publik

Memperoleh suatu pemahaman teoritik tentang konsep kualitas pelayanan publik, maka

terlebih dahulu harus dikemukakan pengertian kualitas, pengertian pelayanan publik dan

pengertian kualitas pelayanan publik. Mengenai konsep kualitas menurut Goesth dan Davis
(dalam Tjiptono, 2004: 51) memberikan batasan pengertian “kualitas merupakan suatu kondisi

yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau

melebihi harapan”. Triguno (2002: 76) mendefinisikan kualitas sebagai: “suatu standar yang

harus dicapai oleh seseorang/kelompok,kerja mengenai kualitas sumber daya manusia, kuaitas

cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa”. Selanjutnya menurut

Triguno (2002: 76) mengatakan: “berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani,

baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan/persyaratan

pelanggan/masyarakat”.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 yang

kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

63 Tahun 2004 mendefinisikan pelayanan umum sebagai:

“Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan
di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah dalam
bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”. (Ratminto, 2005:
5)

Selanjutnya dalam hubungan dengan itu, Widodo (2001: 269) mengemukakan bahwa

“pelayanan publik merupakan pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat

yang mempunyai kepentingan pada kerja itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang

ditetapkan”. Dilain pihak Thoha (dalam Sedarmayanti 2001: 195) menyatakan bahwa “pelayanan

publik sebagai suatu usaha yang diajukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi

tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai

suatu tujuan tertentu”.

Sedangkan menurut Saefullah (1999: 5) berpendapat bahwa:

“Pelayanan umum (public service) adalah pelayanan yang diberikan kepada masyarakat umum
yang menjadi warga negara atau secara sah menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Dilihat
dari prosesnya, terjadi intersksi antara yang memberi pelayanan dengan yang diberi layanan.
Pemerintah sebagai lembaga birokrasi mempunyai fungsi untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Sedangkan masyarakat sebagai pihak yang memberikan mandat kepada pemerintah
mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan dari pemerintah”.

Dari beberapa pendapat di atas menunjukkan secara jelas bahwa pelayanan publik yang

diproduksi oleh pemerintah yang berupa barang dan jasa publik itu berupa produk yang

menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, terutama masyarakat lapisan bawah, sedangkan

proses memproduksi sesuatu produk yang meyangkut kehidupan hidup orang banyak disebut

pelayanan public

2.2.3.3  Konsep Pelayanan Publik

Konsep pelayanan umum menurut Finer (dalam Ndraha, 2003: 55) meliputi jasa publik

dan jasa sipil. Pelayanan diperlukan guna memenuhi kebutuhan manusia, kebutuhan manusia ada

yang bisa dipenuhi melalui pasar (private choice) ada yang hanya dipenuhi melalui proses secara

istimewa. Kegiatan pelayanan tersebut dalam prosesnya menunjukkan hubungan atau interaksi

antara pemberi layanan (pemerintahan atau birokrasi) dan penerima layanan (rakyat atau

masyarakat).

Oleh karena itu dalam proses hubungan interaksi tersebut, secara umum baik tidaknya

produk layanan umum yang diberikan akan bergantung kepada sejauh mana tanggapan atau

kepuasan penerimaan pelayanan (masyarakat atau pelanggan), karena pelayanan umum berkaitan

dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara umum.

Pelayanan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia, dalam kaitan ini

pembentukan pemerintahan bertujuan untuk menciptakan keteraturan, keadilan, kesejahteraan


dan kedamaian kepada masyarakat, yang mana dalam menciptakan suasana tersebut pemerintah

melakukan pelayanan kepada masyarakat.

Selanjutnya tentang konsep pelayanan menurut Sugiarto (2003: 36):

“Pelayanan merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk emmenuhi kebutuhan orang lain
(konsumen, pelanggan, tamu, klien, pasien, penumpang, dan lain-lain) pada tingkat pemuasannya
hanya dapat dirasakan oleh orang yang melayani dan dilayani”.

Kemudian Pamudji (1994: 21-22) memberikan pengertian tentang konsep pelayanan

publik sebagai berikut:

“Berbagai kegiatan yang bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang dan
jasa-jasa. Dalam bahasa asing kita mengenal public service dan public utilities yang secara
populer istilah pertama diterjemahkan sebagi pelayanan publik, yang didalamnya mencakup
kegiatan public utilities, seperti misalnya transportasi, teltgram, telepon (ponsel), air bersih,
penerangan (listrik) dan lain-lain”.

Selain itu juga dari konsep pelayanan publik yang telah dijelaskan di atas maka menurut

Viljoen (1997: 253-255) yang dikutip oleh Farida bahwa prinsip dari pelayanan adalah:

1.      Identifikasikan kebutuhan konsumen yang sesungguhnya


2.      Sediakan pelayanan yang terpadu
3.      Membuat sistem yang mendukung pelayanan konsumen
4.      Usahakan agar seluruh karyawan bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan
5.      Melayani seluruh keluhan konsumen secara baik
6.      Melakukan berbagai inovasi
7.      Bersifat tegas tetapai ramah terhadap konsumen
8.      Jalin komunikasi dan interakisi khusus dengan pelanggan
(Farida, 2005: 87-88)

2.2.3.4  Pengertian Kualitas Pelayanan

Tjiptono menyatakan bahwa “kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan

dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapat

pelanggan” (dalam Tjiptono, 2004: 59). Selain itu juga Tjiptono mengutip definisi kualitas

pelayanan menurut Wyckof, yang mengungkapkan bahwa:


“Kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat
keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Ini berarti bahwa apabila jasa atau
pelayanan yang diterima (perceived service) sesuai yang diharapkan, maka kualitas pelayanan
dipersepsikan bik dan memuaskan. Sebaliknya, apabila jasa atau pelayanan yang diterima lebih
rendah dari yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk.” (Tjiptono, 2004:
59-60)

Selanjutnya Farida mengungkapkan bahwa ada banyak yang dapat dipergunakan unutk

menganalisis kesenjangan yang terjadi antara harapan dan perrsepsi konsumen, yaitu:

1.      Gap antara harapan konsumen dan persepdi manajemen. Pada kenyataannya, pihak manajemen
suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami apa yang diinginkan para
konsumen secara tepat. Akibatnya, manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu jasa
segarusnya didesain dan jasa-jasa pendukung apa saja yang diinginkan konsumen.
2.      Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesidikasi kualitas jasa.
Kadang kala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan,
tetapi mereka tidak menyusun suatu strandar kinerja tertentu secara jelas. Hal ini bisa
dikarenakan tiga fakto, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa,
kekurangan sumber daya atau karena adanya kelebihan permintaan.
3.      Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa. Ada beberapa penyebab terjadinya
gap ini, misalnya karyawan kurang terlatih (belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui
batas, tidak dapat memenuhi standar kinerja, atau bahkan tidak mau memenuhi standar kinerja
yang ditetapkan.
4.      Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Sering kali harapan para konsumen
dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh perusahaan. risiko yang
dihadapi perusahaan adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi.
5.      Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan. Gap ini terjadi apabila konsumen
mengukur kinerja/prestasi perusahaan dengan cara yang berlainan atau bisa juga keliru
mempersepsolan kualitas jasa tersebut.
(Jasfar, 2005: 58-60)

Sedangkan menurut Gronoos yang dikutip dan dialih bahasakan oleh Tjiptono mengenai

kualitas total suatu jasa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu:

1.      Technical Quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas output (keluaran) jasa yang
diterima pelanggan.
2.      Functional Quality, yaitu komponen yang berkaitan dengan kualitas cara penyampaian suatu
jasa.
Corporate Image, yaitu profil, reputasi, citra umum, dan daya tarik khusus suatu perusahaan.
(Tjiptono, 2004: 60)

2.2.3.5  Dimensi-dimensi Kualitas Pelayanan


Pembahasan tentang dimensi-dimensi dapat disebut juga sebagai suatu konsep yang

berkaitan dengan upaya melakukan pengukuran terhadap konsep tersebut. Pelayanan suatu

konsep yang abstrak dalam artian produk yang dohasilkan mempunyai sifat tidak berwujud,

memang tidaklah mudah untuk melakukan pengukutannya sebagimana proses produksi

manufacture yang secara nyata menghasilkan barang-barang yang berwujud. Walaupun

demikian, beberapa ahli telah mencoba mengembangkan dimensi-dimensi yang dapat dijadikan

kerangka kerja untuk mengukur kualitas pelayanan atau jasa suatu perusahaan.

Menurut Agus Dwiyanto dalam bukunya yang berjudul “Mewujudkan Good Governance

melalui Pelayanan Publik” ada beberapa dimensi dari kualitas pelayanan, yaitu:

1.      Sikap Petugas


2.      Prosedur
3.      Waktu
4.      Fasilitas, dan
5.      Pelayanan
(Agus Dwiyanto, 2008 : 343-344)

2.3      Kerangka Pemikiran

Setiap organisasi yang bergerak dibidang jasa dituntut untuk mampu memberikan

pelayanan prima kepada semua pengguna jasanya, hal ini ditunjukan untuk dapat memenuhi

harapan pengguna jasa. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari administrasi negara yatiu

memberikan pelayanan yang sebagik-baiknya terhadap kepentingan masyarakat, seperti yang

diungkapkan oleh Prajudi sebagai berikut:

“Tujuan yang hendak dicapai dengan proses administratif itu di dalam pemerintahan disebut
dengan satu atau dua istilah yaitu Pelayanan Publik (public service). Dengan demikian
dimaksudkan proses Administrasi Negara itu adalah: serangkaian kegiatan yang meliputi
membuat rencana-rencana mengambil keputusan dan tindakan yang ditujukan untuk
melaksanakan/menyelenggarakan pelayanan publik (public service).” (Prajudi, 1993: 31)
Karena pelayanan publik ini adalah ilmu yang berasal dari ilmu manajemen, maka dari

itu berikut ini adalah pengertian menajemen yang dikemukakan oleh Stoner (dalam Handoko,

1999: 8) menjelaskan tentang pengertian dari manajemen, yaitu:

“Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-


usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan.”

Pramudji mengemukakan pendapatnya tentang Pelayanan Publik, yaitu:

“Berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang-barang
dan jasa-jasa. Dalam bahasa asing kita mengenal Public service dan public utilities, yang secara
populer istilah pertama diterjemahkan sebagai pelayanan publik, yang didalamnya mencakup
kegiatan public utilities, seperti transportasi, kebersihan kota, telegram, telepon (Postel), air
bersih (PAM), penerangan (PLN), dan lain-lain.” (Pamudji, 1994: 21-22)

Dari kutipan tersebut dapat kita lihat bahwa pelayanan umum merupakan pelayanan yang

dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, baik BUMN maupun

BUMD yang pelaksanaannya diatur melalui peraturan perundang-undangan. Dari pengertian di

atas pelayanan Dinas Pemadam Kebakaran merupakan salah satu yang termasuk di dalamnya,

dimana pemerintah melalui Dinas Pemadam Kebakaran sebagai salah satu badan hukum yang

menyediakan jasa pelayanan kepada masyarakat.

Penjelasan yang dikemukakan oleh Pramudji diatas sesuai dengan Pasal 4 UU Nomor 25

tahun 2009 tentang pelayanan umum yang menjelaskan mengenai penyelenggaraan pelayanan

publik berasaskan:

a. kepentingan umum;
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
(UU No. 25 tahun 2009 Pasal 4)

Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Keputusan Nomor

63/KEP/M.PAN/7/2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, disebutkan

bahwa unsur-unsur pelayanan yang berkualitas, yaitu:

1. Kesederhanaan seperti prosedur/tata cara pelayanan yang mudah, tidak berbelit-belit dan
mudah dilaksanakan
2. Kejelasan
3. Kepastian waktu
4. Akurasi
5. Tanggung jawaab
6. Kelengkapan sarana dan prasarana
7. Kemudahan akses
8. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan
9. Kenyamanan
(Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 3/KEP/M.PAN/7/2004)

Berdasarkan teori dan pendapat yang telah dipaparkan oleh para ahli di atas, maka

penulis mengemukakan kerangka pemikiran sebagai berikut:

1.      Administrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam bentuk kerja sama

yang kegiatannya berupa perencanaan, penyusunan, pengorganisasian, pelaksanaan dan

pertanggung jawaban.

2.      Administrasi publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam ruang

lingkup organisasi publik untuk melaksanakan kegiatan pelayanan publik.

3.      Kualitas jasa adalah penilaian terhadap sesuatu yang dapat dirasakan tetapi memiliki sifat yang

tidak nyata dan tidak dapat diraba.

4.      Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oelh instansi pemerintah, baik BUMN

maupun BUMD yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan barang dan

jasa.
5.      Kualitas pelayanan adalah suatu kondisi dinamis pelayanan atau jasa suatu produk, proses,

manusia dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Dan dari kualitas pelayanan ini

dapat menciptakan suatu efektivitas pelayanan publik dari sebuah instansi pemerintah.

6.      Kualitas pelayanan publik dapat diukur melalui beberapa dimensi, yaitu:

a.       Sikap Petugas

b.      Prosedur

c.       Waktu

d.      Fasilitas, dan

e.       Pelayanan

Pada dimensi di atas diharapkan kualitas pelayanan dapat memenuhi harapan pengguna jasa dan

dapat tercipta pelayanan yang efektif di dalam perusahaan publik.

2.4      Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan

bahwa Kualitas Pelayanan Pada Dinas Pemadam Kebakaran dapat ditentukan oleh beberapa

dimensi kualitas jasa yang dijelaskan oleh Agus Dwiyanto, yaitu: (1) Sikap Petugas, (2)

Prosedur, (3) Waktu, (4) Fasilitas, dan (5) Pelayanan.

 BAB III
METODE DAN OBJEK PENELITIAN

3.1                                      Metode penelitian

3.1.1 Metode Penelitian

Pada hakikatnya (Ulber, 2010: 9), penelitian bertujuan untuk memberi solusi atas suatu

masalah dan mendapat pengetahuan tentang sesuatu yang dianggap benar melalui proses
observasi. Data yang diperoleh melalui penelitian itu adalah data empiris (teramati) yang

mempunyai kriteria tertentu yaitu valid. Dan valid menurut Sugiyono (2007: 1) diartikan sebagai

sesuatu yang menunjukkan derajad ketepatan antara data yang sesungguhnya terjadi pada obyek

dengan data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti. Dalam penelitian ini penulis menggunakan

metode penelitian deskriptif.

Menurut Mayer dan Greenwood (dalam Ulber, 2010: 27) mengemukakan bahwa ada 2

jenis deskripsi yaitu deskripsi kualitatif dan deskripsi kuantitatif. Metode dalam penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada

suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

(Moleong, 2000: 6).

3.1.2 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penyusunan laporan ini dibagi menggunakan salah satu

tekhnik pengumpulan data yaitu :

Data sekunder, merupakan data pendukung data primer. Data ini diperoleh melalui

literatur-literatur, laporan-laporan ilmiah dan sumber data lain yang memiliki keterkaitan dengan

penelitian yang dilakukan, yang dimaksudkan untuk memperoleh landasan teoritis dan sebagai

pegangan dalam mengolah data.

Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah :

1.        Studi Literatur (Kepustakaan)


Studi literatur ini dapat dijelaskan sebagai pengambilan data dengan cara mempelajari buku-

buku dan dokumen yang memiliki keterkaitan dengan materi yang dibahas dalam penelitian ini.

Studi kepustakaan ini bertujuan untuk menjaring data sekunder sebagai bahan referensi dalam

membantu melakukan analisis tergadap permasalahan yang ada dilapangan.

3.1.3 Operasional Variabel

Variabel yang akan diteliti adalah Kualitas Pelayanan pada Dinas Pemadam Kebakaran

sebagai variabel Independen

Variabel Dimensi Indikator


Kualitas 1.      Sikap petugas
1.      Terciptanya sikap sigap, cepat, dan tanggap
Pelayanan
Pada 1.      prosedur untuk pelayanan pada Dinas Pemadam
Dinas 2.      Prosedur Kebakaran
Pemadam
Kebakaran
3.      Waktu 1.      Ketepatan waktu Dinas Pemadam Kebakaran dalam
memberikan pelayanan

4.      Fasilitas 1.      Tersedianya fasilitas pendukung dalam


melakasankan tugas pokok serta fungsi dari
pemadam kebakaran.(Mobil, Sumber Daya
Manusia, Perlengkapan Pemadaman)

1.      Terciptanya pelayanan prima


5.      Pelayanan

3.1.4 Teknik Pengolahan Data

Menurut Moekijat mengutip pendapatnya Burch dan Strater, mengemukakan bahwa ada

empat macam metode pengolahan data yang penting untuk diketahui (2001:24), yaitu :

a.       Manual

b.      Electromechanical

c.       Punched card equipment

d.      Electronic computer

Dalam metode manual semua pengolahan data dilakukan dengan tangan dan bantuan

alat-alat penting seperti pensil, kertas, mistar hitung dan sebagainya. Metode electromechanical

merupakan suatu gabungan dari orang dan mesin. Misalnya seseorang pegawai bekerja dengan

menggunakan mesin catat kolom (posting machine). Metode punched card equipment

mengandung semua penggunaan peralatan yang dipergunakan dalam apa yang kadang-kadang
disebut sebagai suatu sistem warkat unit. Prinsip warkat ini adalah bahwa data mengenai

seseorang, suatu objek atau suatu peristiwa biasanya dicatat (punched) dalam suatu kartu.

Sejumlah kartu yang mengandung data tentang subjek yang sama digabungkan bersama untuk

membentuk suatu file. Metode electronical computer artinya suatu susunan dari alat-alat

masukan, suatu unit pengolah pusat dan alat-alat keluaran.

3.2              Sejarah Dinas Pemadam Kebakaran

Brabweer atau pemadam kebakaran belum ada di Batavia hingga awal abad 20. Di masa

sebelum brandweer ada orang mengandalkan jasa tukang ronda. Maka untuk perlengkapan ronda

diadakan gardu lengkap dengan kentongan kayu. Kentongan ini dipukul saat terjadi kebakaran,

perampokan, atau jika ada orang yang mengganggu ketertiban umum seperti orang

mengamuk.Tanda ada kebakaran berbeda dengan kalau terjadi perampokan atau orang

mengamuk. Kalau kentongan dipukul terus menerus berarti sedang terjadi kebakaran. Jika

kentongan dipukul tiga kali secara berulang itu tanda perampokan atau ada orang mengamuk.

Untuk menghadapi bahaya kebakaran di beberapa kampung dibentuk kelompok

pemadam kebakaran. Anggotanya pemuda pengangguran yang belum dikenakan pajak.

Kapanpun terdengar bunyi kentongan tanda kebakaran, para pemuda itu akan lebih dulu

bertindak memadamkan api. Pada saat bertugas para pemuda yang dijuluki anak pompa ini

mengenakan sepotong kain bernomor urut pada lengan bajunya. Hadiah uang menanti mereka

yang bekerja baik.

Cara menangani kebakaran seperti itu tentu lama kelamaan dianggap tidak efektif

sehingga tidak dilanjutkan lagi, demikian tertulis dalam buku "Jaarboek van Batavia en
Omstreken". Dalam sidang-sidang kotapraja usulan mendesak agar kotapraja punya satu korp

pemadam kebakaran terus didengungkan.

Pada tahun 1918 terjadi kebakaran besar di Kwitang. Momen itulah yang kemudian

menyentak orang termasuk para petinggi kotapraja karena kebakaran besar itu tak mampu

dipadamkan hanya dengan sistem anak pompa tadi. Akhirnya, persis di tahun baru 1919 secara

resmi Kotapraja Batavia memiliki pemadam kebakaran.

Persoalan tak lantas selesai. Masalah bagaimana mendapatkan air dengan cepat menjadi

masalah selanjutnya. Seringkali kebakaran terjadi di kawasan yang jauh dari sumber air, sungai,

misalnya dan saluran air yang mungkin ada di dekat lokasi kebakaran seringkali kering di musim

kemarau dan berlumpur pula. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah sumur kebakaran yang

dibikin di beberapa tempat. Air sumur bor dialirkan ke sumur kebakaran

Api merupakan kebutuhan manusia sehari-hari. Kebutuhan terhadap api itu tak bisa

dihindari, karena ketika malam hari manusia memerlukan penerangan. Tentunya manusia

menghadapi masalah sebelum mampu menciptakan api. Keadaan ini mendorong manusia untuk

berpikir agar dapat mengontrol api, sehingga api dapat bermanfaat bagi kehidupannya. Dalam

perkembangan selanjutnya, penggunaan api di masa itu memberi pengaruh dalam mengakhiri

masa nomaden.

Hal ini juga berdampak terhadap perkembangan sosial dan politik seiring dengan

perkembangnya pemukiman penduduk yang menetap. Akan tetapi, api yang sudah diketahui

dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia, tetap dipandang sebagai elemen suci dan hebat.

Banyak mitologi yang menganalogikan api menjadi sifat atau karakter manusia. Ketika manusia

merasakan pengalaman bahwa api juga bersifat sangat merusak, sejak itu manusia terdorong
untuk mengetahui cara mengontrol keganasan api. Ini terjadi kira-kira 300 tahun sebelum masehi

(SM) di Roma.

Ketika itu petugas pemadam kebakaran dan penjaga malam dibentuk dan ditugaskan

kepada sekelompok orang yang diberi nama Familia Publica dan operasional dari kelompok ini

diawasi oleh komite negara. Dalam buku yang berjudul Principles of Protection karya Arthur

Cote, P.E dan Percy Bugbee dijelaskan, di zaman pemerintahan kaisar Agustus (Gaius Julius

Caesar Octavianus) pada 27 SM sampai 12 Masehi, Roma mengembangkan "Departemen

kebakaran" untuk tipe penghunian. Dan departemen ini mengorganisir para budak dan warga

negara dalam wadah yang bernama Satuan Jaga (pelayanan penjagaan). Selanjutnya, dikeluarkan

dekrit yang menyatakan seluruh rakyat wajib menjaga dan mengontrol api.

Adapun satuan jaga tersebut merupakan organisasi (pemadam kebakaran) yang pertama.

Dibentuknya satuan ini bertujuan untuk melindungi manusia terhadap bahaya kebakaran. Tugas

utama mereka adalah melakukan patroli dan pengawasan pada malam hari (dilakukan oleh

Nocturnes). Dalam perkembangan selanjutnya, setiap anggota pasukan mempunyai tugas khusus

bila terjadi kebakaran. Contohnya, beberapa anggota (aquarii) membawa air dalam ember ke

lokasi kebakaran. Kemudian, dibangun pipa air (aquaducts) untuk membawa air ke seluruh kota,

dan pompa tangan dikembangkan guna membantu penyemprotan air ke api. Siponarii adalah

sebutan bagi pengawas pompa, dan komandan pemadam kebakaran dinamakan Praefectus

Vigilum yang memikul seluruh tanggung jawab Satuan Siaga. Sedangkan hukum Romawi

mengutus Quarstionarius (sekarang sama dengan Polisi Kebakaran), yang bertugas

mengklarifikasi sebab-sebab terjadinya kebakaran. Pemerintah Kerajaan Romawi pada masa itu

mulai menentukan kebijakan me-ngenai penggunaan selang kulit bagi kepentingan pemadaman

kebakaran. Petugasnya juga membawa bantal besar ke lokasi kebakaran, sehingga orang yang
terjebak di gedung tinggi dapat meloncat dan mendarat di atas bantal tersebut. Marco Polo

mencatat tentang tata negara belahan timur pada abad 13, yakni pasukan rakyat dari pasukan

pengawas dan pasukan kebakaran yang mempunyai tugas pencegahan kebakaran telah terbentuk

di Hangchow. Mereka dalam melaksanakan tugasnya dapat mengerahkan satu sampai dua ribu

orang untuk memadamkan api. Ribuan pasukan itu dibagi menjadi kelompok yang terdiri dari 10

orang, 5 orang berjaga pada siang, dan selebihnya berjaga pada malam hari.

3.3              Tugas, Pokok, dan Fungsi Dinas Pemadam Kebakaran

Melaksanakan sebagian kewenangan Daerah dalam bidang pencegahan dan

penanggulangan kebakaran. Tgl. 2 Oktober 1962 dibentuk urusan pemadam kebakaran dibawah

DTP, Tahun 1971 berubah menjadi Barisan Pemadam Kebakaran dibawah PU, Kemudian

berubah menjadi dibawah Tibum, Tahun 1980 berubah menjadi Dinas Kebakaran, Tahun 2001

berubah menjadi Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran.  

TUGAS POKOK :

Melaksanakan sebagian kewenangan Daerah dalam bidang pencegahan dan

penanggulangan kebakaran yang meliputi : pencegahan, pembinaan dan penyuluhan,

pengendalian operasional.

FUNGSI :

1. Merumuskan kebijakan teknis bidang pencegahan dan penangulangan kebakaran.

2. Melaksanakan tugas teknis operasional dibidang pencegahan dan penanggulangan

kebakaran.
3.      Melaksanakan pelayanan teknis administratif meliputi : administrasi umum dan kepegawaian,

perencanaan dan pengembangan serta administrasi keuangan.

Visi :

Terselenggaranya perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bahaya kebakaran

melalui terciptanya sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang handal.

Misi :

1. Melaksanakan usaha pencegahan (pengawasan, pendataan, inspeksi, pengujian).

2. Melaksanakan penanggulangan kebakaran.

3. Menyelenggarakan penyuluhan.

4. Mengadakan pemeliharaan dan pengadaan sarana dan prasarana.

5.      Melaksanakan koordinasi internal dan eksternal.

3.4                                      Standar Operating Procedure (SOP) Pemadaman Kebakaran

Ketika satu unit Pemadam Kebakaran tiba di lokasi kejadian secara otomatis terlintas

dibenak para petugas berbagai pertimbangan tentang kondisi lokasi dan insiden. Segera setelah

itu tindakan awal yang perlu di ambil segera di lakukan. Tindakan-tindakan yang mereka

lakukan, sesuai kondisi yang mereka hadapi, biasanya tidak terlepas dari pola, tentukan titik

lokasi (locate), lokalisir/hambat perambatan kesegala arah (confine), dan pemadaman

(extinguishing).

Tindakan awal (tentukan lokasi) seringkali dilakukan sebelum pengamatan terhadap

lokasi dan kondisi insiden telah sepenuhnya dilakukan. Seringkali penentuan lokasi dianggap
termasuk sebagai bagian dari proses pengamatan (size up) akan tetapi ada perbedaan mendasar

karena untuk menentukan lokasi kejadian diperlukan kerja fisik oleh para petugas.

  Penentuan titik lokasi kejadian (locate) seharusnya telah dapat dilakukan oleh para

petugas sebelum unit mereka berangkat menuju lokasi insiden. Akan tetapi seringkali para

petugas pada saat berangkat masih belum pasti titik lokasi kejadian, karena banyak laporan

darurat dilakukan orang yang melintasi tempat kejadian tanpa pelapor tahu persis apa dan di

mana objek yang terbakar misalnya.

  Karenanya sebelum berangkat menuju lokasi kejadian yakinkan terlebih dahulu titik

kejadian, sehingga dari awal dapat diperkirakan pola operasi yang akan diterapkan. Termasuk di

sini adalah dimanakah posisi unit akan ditempatkan dan dari manakah unit dapat mencapai lokasi

kejadian serta ke arah manakah selang akan di gelar untuk operasi pemadaman Kebakaran atau

peralatan rescue apakah yang paling tepat untuk dipersiapkan pada operasi rescue. Karena kita

sadari apabila dari awal kita salah dalam menentukan titik lokasi maka untuk berbalik arah dalam

upaya mencapai rute yang tepat adalah bukan hal yang sederhana atau mudah. Atau ternyata

karena kesalahan menempatkan unit proses menggelar selang menjadi sulit karena akses menuju

titik kejadian terhalang oleh bangunan tinggi, sungai, lintasan (rel) kereta dan sebagainya.

Karenanya melengkapi petugas dengan radio komunikasi akan sangat membantu mereka menuju

titik lokasi dan penempatan unit. Dengan adanya radio komunikasi apabila informasi lebih detil

tentang titik dan kondisi kejadian yang masuk setelah unit berangkat akan dapat disampaikan

oleh operator atau petugas lain yang lebih mengetahui lokasi tempat kejadian.

  Tindakan lanjutan yang biasanya dilakukan para petugas Pemadam adalah

lokalisir/hambat perambatan api / kebakaran kesegala arah (confine). Tindakan ini dilakukan

untuk menjaga agar Kebakaran tidak meluas yang otomatis akan menyulitkan upaya pemadaman
dan tentunya menambah kerugian yang diderita oleh masyarakat. Ada juga yang menambahkan

tindakan sebelum melokalisir perambatan Kebakaran dengan melindungi objek-objek yang

terpapar oleh kebakaran/panas (protect exposures). Hal ini tentunya dapat menjadi bahan

diskusi yang menarik, akan tetapi dalam tulisan ini penulis tidak akan menganalisa perlu atau

tidaknya tindakan tersebut. Karena pada dasarnya setiap kejadian menuntut tindakan yang

spesifik yang mungkin berbeda antar satu dengan lainnya. Walaupun sekilas terlihat sederhana

akan tetapi untuk kota Jakarta seringkali menjadi tindakan yang sangat pelik terutama untuk

kawasan permukiman tidak tertata karena akses menuju titik lokasi kejadian sangat terbatas dan

sulit, karenanya Kebakaran sering meluas dan tidak terkendali. Sekali lagi fungsi radio

komunikasi sangat memegang peranan dalam memandu penempatan unit-unit pada area

Kebakaran yang luas.

  Urutan terakhir dari tindakan-tindakan tersebut adalah pemadaman (extinguishing),

walaupun bukan tindakan yang mudah akan tetapi apabila tindakan-tindakan terdahulu telah

dapat dilaksanakan dengan baik tindakan pemadaman akan menjadi lebih ringan. Terlebih lagi

apabila para petugas yang melakukan pemadaman telah memiliki pengalaman yang cukup dan

dilengkapi dengan peralatan dan kelengkapan yang memadai serta terjaminnya pasokan air

sebagai bahan Pemadam utama dalam sebagian besar kejadian Kebakaran.

Sebagai rangkuman dari tulisan ini dan tulisan-tulisan sebelumnya dalam seri "Prinsip

Umum Pemadaman Kebakaran" adalah bahwa setiap kejadian Kebakaran atau insiden lain

membutuhkan tindakan spesifik yang berbeda satu dengan lainnya walau terkadang terlihat

sama. Oleh karenanya pengalaman operasional dan latihan simulasi yang bervariasi akan

menjadi modal setiap personil dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan dalam setiap

insiden. Selain itu ketersediaan Prosedur Operasi Standar (POS) (standard operating procedure
(SOP)) akan sangat membantu para petugas dalam melakukan operasi dan juga mencegah

kesalahan-kesalahan yang tidak perlu yang mungkin akan memperburuk keadaan.

 Istilah alat/perlengkapan dalam Standar Operating Procedure,yaitu:

1.      Awning Window


Jendela dengan potongan-potongan kaca memanjang dengan lebar masing-masing sekitar satu
kaki (30 cm).
2.      Available fire flow
Aliran actual/sesungguhnya dalam gallon per menit (gpm), seperti ditentukan dari hasil test, dari
hydrant pada suatu area, dibandingkan dengan aliran yang diinginkan
3.      Auxiliary pump
Pompa yang digunakan pada perlengkapan kebakaran dengan tingkat kapasitas dibawah standar
kapasitas minimum 500 gpm pada tekanan 150 psi.
4.      Auxiliary fire fighter
Pemadam kebakaran anggota masyarakat (relawan) yang didaftar dan dilatih untuk bertugas
hanya pada kasus darurat khusus. 2. Personil/ tenaga kerja pengganti, yang digunakan pada
keadaan abnormal untuk menambah unit lini pertama/ terdepan.
5.      Auxiliary cooling valve
Suatu katup yang dirancang untuk dikontrol secara manual untuk digunakan baik secara

independen pada sistem pendinginan atau interkoneksi dengannya, gunanya adalah untuk

mengontrol temperatur air pendingin pada satu mesin selama operasi pemompaan.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan memaparkan dan menganalisa data yang diperoleh setelah

melakukan penelitian esia, mengenai kualitas pelayanan dinas pemadam kebakaran di Indonesia.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berdasarkan studi kepustakaan. Untuk
mempermudah pembahasan, peneliti lebih fokus dalam kualitas pelayanan pada dinas pemadam

kebakaran di indonesia

Dalam mengolah data yang telah diperoleh, peneliti menggunakan teknik yaitu dengan

cara menganalisinya berdasarkan data yang ada. Data yang diperoleh terdiri dari tinjauan

pustaka dan contoh kasus yang ada.

Kemudian dari hasil data tersebut akan diuraikan satu persatu dimensi beserta indikator

yang penulis ajukan dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif. Data yang terkumpul

dari tinjauan pustaka dan contoh kasus akan penulis deskripsikan, sehingga diketahui bagaimana

hasil analisis terhadap variabel tersebut.

Kualitas pelayanan yang baik bukan hanya berdasarkan sudut pandang pihak penyedia

jasa pelayanan, melainkan berdasarkan sudut pandang masyarakat yang menikmati dan

merasakan pelayanannya. Oleh karena itu, penulis melakukan pengukuran terhadap variabel

kualitas pelayanan menurut Agus Dwiyanto yaitu sebagai berikut :

1.      Sikap petugas

2.      Prosedur

3.      Waktu

4.      Fasilitas

5.      Pelayanan

Oleh karena itu, penulis menjadikan kelima faktor tersebut sebagai dimensi dalam

menilai Kualitas Pelayanan pada Dinas Pemadam Kebakaran di Indonesia. Pembahasan lebih

lanjut, akan dikemukakan sebagai berikut :

4.1 Kualitas Pelayanan Pada Dinas Pemadam Kebakaran di Indonesia


Pelayanan yang baik dan berkualitas merupakan faktor yang sangat diperlukan bagi setiap

organisasi terutama organisasi yang dalam bidang jasa dalam menghadapi tantangan persaingan

yang sangat ketat. Dinas Pemadam Kebakaran termasuk salah satu lembaga yang dimiliki dan

dikelola oleh pemerintah di Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya dinas pemadam kebakaran

harus mengutamakan pelayanan kepada masyarakat pengguna jasanya. Hal ini sejalan dengan

tujuan utama dari organisasi pemerintah yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya

kepada masyarakat (public service) di berbagai bidang termasuk bidang jasa pelayanan umum di

Indonesia.

Dalam penelitian ini, penulis menetepkan fokus penelitian pada kualitas pelayanan pada

dinas pemadam kebakaran. Untuk mengetahui mengenai kualitas pelayanan tersebut, dalam

penelitian ini penulis menggunakan dimensi kualitas pelayanan yang mengacu pada pendapat

yang dikemukakan oleh Agus Dwiyanto, yaitu

1.      Sikap Petugas, yaitu sikap, kepedulian, dan keinginan petugas untuk membantu masyarakat
memperoleh pelayanan dengan baik.
2.      Prosedur, yaitu kemudahan tahapan mekanisme SOP pada saat dilapangan, yang diberikan
petugas sebagai bentuk pelayanan.
3.      Waktu, yaitu ketepatan satuan unit pemadam kebakaran pada saat penanggulangan kebakaran.
4.      Fasilitas, yaitu tersedianya fasilitas pendukung seperti mobil (armada), sumber daya manusia
dan peralatan.perlengkapan
5.      Pelayanan, yaitu kesesuaian dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pada
umumnya .
(Dwiyanto, 2008: 343-344)

Untuk lebih jelasnya, berikut ini penulis menyajikan hasil pembahasan kualitas pelayanan

Dinas Pemadam Kebakaran di Indonesia, yaitu:

4.1.1 Sikap Petugas

Dimensi pertama yaitu sikap petugas, merupakan dimensi untuk mengukur kualitas pelayanan

dengan memperhatikan kemampuan petugas dalam memberikan pelayanan yang disajikan

dengan segera, akurat dan memuaskan. Dengan mengutamakan sikap sigap, cepat, dan tanggap
dalam memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat sehingga citra daripada petugasnya

menimbulkan rasa percaya dari pelayanan yang diberikan.

4.1.2        Prosedur

Dimensi kedua yaitu prosedur, merupakan dimensi untuk mengukur kualitas pelayanan

dengan memperhatikan sejauh mana para petugas untuk menerapkan aturan dalam pelayanan

jasa kepada masyarakat dan membantu para pengguna jasa dengan memberikan pelayanan yang

sigap, cepat, serta tanggap. Dimensi ini juga digunakan untuk melihat sejauh mana aspek

pelayanan yang diberikan petugas mampu memenuhi kebutuhan pengguna jasa secara tepat

dengan mutu pelayanan yang optimal, dapat juga dipersepsikan melalui kualitas pelayanan pada

Dinas Pemadam Kebakaran. Dengan adanya birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit dalam

melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur yang ada.

4.1.3        Waktu

Dimensi ketiga yaitu waktu, merupakan dimensi untuk mengukur kualitas pelayanan

dengan memperhatikan sejauh mana kemampuan Dinas Pemadam Kebakaran dapat memberikan

pelayanan yang tepat waktu atas kedatangan do TKP sehingga pengguna jasa percaya bahwa

mereka akan mendapatkan pelayanan yang terbaik dan tepat pada waktunya.

4.1.4        Fasilitas

Dimensi berikutnya dalam penelitian kualitas pelayanan ini adalah fasilitas yang

merupakan komponen utama dalam melaksanakan sebuah kegiatan pelayanan publik ini,

terutama dalam dinas pemadam kebakaran. fasilitas yang dimaksud adalah fasilitas yang nampak

dan dapat digunakan oleh pengguna jasa dan telah ada di dalam SOP Dinas Pemadam

Kebakaran. Seperti yang telah dijelaskan dalam SOP, bahwa setiap kegiatan penanganan
kebakaran harus dilakukan secara maksimal seperti adanya kendaraan damkar, sumber daya

manusia, peralatan/perlengkapan kebakaran sebagai penunjang pemberian pelayanan pada

masyarakat umum.

4.1.5        Pelayanan

Untuk dimensi terakhir yaitu pelayanan, merupakan salah satu dimensi yang digunakan

untuk kesesuaian pelayanan jasa yang diberikan kepada masyarakat. Dan hal ini merupakan

kewajiban daripada lembaga pemerintah yaitu dinas pemadam kebakaran sebagai salah satu

penyedia jasa pelayanan publik untuk menjalankan visi dan misi serta mempunyai kewenangan

Daerah dalam bidang pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang meliputi : pencegahan,

pembinaan dan penyuluhan, pengendalian operasional.

Dengan adanya dimensi pelayanan diatas, penulis menyimpulkan, bahwa dalam

melaksanakan pelayanan publik berdasarkan dimensi pelayanan yaitu : (1) Sikap Petugas, (2)

Prosedur, (3) Waktu, (4) Fasilitas, dan (5) Pelayanan. Sehingga tercipta pelayanan publik secara

prima.

4.2 Contoh kasus :

Sepanjang tahun 2011, kasus kebakaran yang terjadi di Garut terbilang tinggi. Sampai

September 2011 menelan kerugian Rp. 4,6 milyar. Kebakaran juga telah mengakibatkan 15

warga mengalami luka bakar serta 86 KK atau 358 jiwa kehilangan rumah. Kasus kebakaran

baru-baru ini terjadi di wilayah Pasar leles, Kec. Leles Kab. Garut, disana kebakaran melanda

ratusan kios.

Kepala UPTD Pemadam Kebakaran Kab. Garut Wawan Subarwan mengatakan, kendati

jumlah kebakaran meningkat, tetapi sarana yang dibutuhkan tidak berbanding lurus.
Idealnya setiap mobil pemadam semuanya dalam keadaan sehat, namun kenyataannya

tidak semuanya seperti itu. Mobil yang minim sering menyebabkan, pemadam telat datang ke

lokasi kebakaran, kalau sudah seperti itu warga marah dan merusak mobil, padahal sarana

terbatas dan lokasi kebakaran juga jauh. Selain itu kendaraan yang rusak jarang diperbaiki, karna

Dana Operasional minim, sehingga tidak bisa optimal melakukan perawatan, oleh sebab itu tidak

heran jika tiba-tiba mobil pemadam kebakaran sering mogok karena kehabisan bensin dan juga

karena mobil pemadam kebakaran yang memang sudah tidak layak jalan.

Selain itu, selang air banyak yang bocor. Idealnya setiap unit kendaraan ada 10 selang,

tetapi sekarang hanya 4 selang. Sehingga dilapangan sering jadi hambatan juga, terutama dalam

menjangkau. Begitu pula baju anti panas, seharusnya setiap petugas memiliki. Tetapi

kenyataannya hanya ada tiga, padahal jumlah personel 42 orang.

Analisis kasus

Setelah membaca dan menganalisis kasus diatas kami menyimpulkan, bahwa kebakaran

yang melanda ratusan kios di pasar leles kabupaten Garut dalam penanganannya dikarenakan

kurangnya kesiapan daripada petugas dalam menangani kebakaran, ditambah minimnya armada

pemadam kebakaran dan infrastruktur pendukung, sehingga menyebabkan tingginya angka

kejadian kebakaran tidak terantisipasi dan menimbulkan kerugian materi.

Penyebab :

1.      Tidak adanya kesiapan daripada sikap petugas (sigap, cepat dan tanggap) pemadam kebakaran

dalam menangani kebakaran di kabupaten Garut.

2.      Minimnya armada pemadam kebakaran yang ada di kabupaten Garut

3.      Tidak adanya sarana/infrastruktur pendukung dalam menangani kebakaran di pasar leles

kabupaten Garut .
Apabila dikaitkan dengan teori yang ada mengenai dimensi dari agus dwiyanto mengenai

pelayanan publik, diantaranya mengenai (1) sikap petugas, (2) fasilitas, dimana keduanya tidak

dilakukan secara optimal dalam menangani kebakaran yang terjadi di kabupaten Garut.

Solusi :

1.      Diberikan suatu pelatihan bagi para petugas pemadam kebakaran dalam menangani bencana

kebakaran, dimaksudkan para petugas damkar dapat dengan sigap, cepat dan tanggap terhadap

penanggulangan kebakaran.

2.      Pemerintah daerah/pusat harus segera melakukan pembenahan pada dinas pemadam kebakaran

yang diakui masih minim, seperti menambah jumlah armada kendaraan daripada damkar itu

sendiri.

 
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis seperti yang telah diuraikan pada bab-bab

sebelumnya mengenai kualitas pelayanan pada Dinas Pemadam Kebakaran di Indonesia, penulis

mengambil suatu kesimpulan yaitu kualitas pelayanan pada Dinas Pemadam Kebakaran di

Indonesia berdasarkan lima dimensi kualitas pelayanan pada umunya belum terpenuhi secara

optimal, dan ada sebagian pelaksanaan pelyanan belum sesuai dengan SOP Perusahaan.
Terutama pada dimensi sikap petugas dan fasilitas mendapatkan nilai rendah. Hal ini

terlihat dari kesiapan petugas yang tidak sigap, cepat dan tanggap serta fasilitas yang masih

kurang seperti minimnya armada pemadam kebakaran, kondisi fasilitas pendukung yang tidak

layak guna, bahkan bisa dikatakan sudah tidak dapat difungsikan lagi.

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa kualitas pelayanan pada Dinas

Pemadam Kebakaran di Indonesia dianggap kurang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

pelaksanaan kualitas pelayanan belum seluruhnya dilaksanakan sesuai dengan SOP yang ada,

tetapi sebagian pelayanan sudah dilaksanakan secara optimal. Dan apabila pelayanan

dilaksanakan sesuai dengan SOP yang ada maka kualitas pelayanan angkutan penumpang KRD

Patas dapat meningkat.

5.2 SARAN

Berdasarkan uraian dan simpulan yang sudah penulis kemukakkan, maka penulis

meyampaikan beberapa alternatif saran guna meningkatkan kualitas pelayanan pada Dinas

Pemadam Kebakaran di Indonesia sebagai berikut:

1.      Perlu adanya kesiapan dari petugas damkar dalam penanggulangan bencana kebakaran.

2.      Pemerintah harus memperhatikan Dana Oprasional yang dibutuhkan untuk menunjang

pelayananan publik, khususnya pemadaman kebakaran.

3.      Dalam rangka meningkatkan pelayanan publik, dalam hal ini Dinas Pemadam kebakaran segera

mungkin membenahi sarana dan prasarana guna menunjang daripada pelayanan pemadam

kebakaran kepada masyarakat pada umumnya.

4.      Perlu adanya ketepatan waktu mengenai kedatangan dari petugas damkar.
5.      Perlu adanya perbaikan fasilitas pendukung yang ada di tempat kejadian perkara (kebakaran).

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dwiyanto, Agus. 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta : UGM
Press.

Handayaningrat, Soewarno. 1980. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta : Gunung
Agung.

Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Refika Aditama.

Silalahi, Ulbert. 2002. Studi Tentang Ilmu Administrasi : Teori, Konsep dan Dimensi. Bandung : Sinar
Baru Algesindo.

Bandung: PT.Remaja Rosda Karya

Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Perundang-undangan dan Dokumen Khusus

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Anda mungkin juga menyukai