Hubungan Filsafat Dengan Filsafat Hukum
Hubungan Filsafat Dengan Filsafat Hukum
1. Sebagai hukum yang berkaitan dengan manusia sebagai manusia. Manusia yang dimaksud di
sini adalah bukan manusia dalam arti abstrak melainkan manusia secara konkret sebagai pribadi.
Menyoroti hukum dalam hubungannya dengan manusia secara demikian tampak bahwa manusia
itu merupakan subjek hukum.
2. Sebagai hukum yang berkaitan dengan negara. Semula negara bukan merupakan subjek
hukum, melainkan sejak zaman modern negara merupakan instansi yang tidak bersyarat bagi
ditetapkannya dan dipertahankannya hukum dalam arti yuridis.
Dengan memahami hukum sebagai aturan negara akan dapat memperoleh kemampuan untuk
menilai suatu sistem hukum tertentu di suatu negara, dalam hal ini juga dapat menggabungkan
filsafat hukum dengan ideologi negara, contohnya Pancasila yang merupakan sumber dari segala
sumber hukum tertulis di Indonesia.
Sekian dari informasi ahli mengenai hubungan filsafat dengan filsafat hukum, semoga tulisan
informasi ahli mengenai hubungan filsafat dengan filsafat hukum dapat bermanfaat.
Sumber :
– Agus Santoso, 2014. Hukum, Moral, Dan Keadilan. Yang Menerbitkan Kencana Prenada
Media Group : Jakarta.
PENGANTAR
Hukum sebagai gejala social mengandung berbagai aspek, ciri, dimensi waktu dan
ruang serta abstraksi yang majemuk. Karena itu hukum bisa dikaji secara rasional, sistematikal
dan metodikal dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Dari pengkajian itulah terbentuklah
disiplin ilmiah yang obyeknya hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah itu bisa disebut dengan satu
istilah yaitu disiplin ilmiah tentang hukum (sciences concerned with law, Radrudc), atau ilmu-
ilmu hukum (Mochtar Kusumaatmadja) atau pengembangan hukum teoritikal (theoritische
1
3
3
4
Berhakikat sebagai realitas yang berada di alam nomena yang imajinatif itu, teori hanya
bisa dijembatani dengan padanannya yang berada di alam realitas fenomena, bersaranakan
simbol-simbol yang dalam ilmu bahasa disebut ‘kata-kata’ atau rangkaiannya yang disebut
‘kalimat’. Dengan demikian, teori itu terdiri dari sehimpunan konsep berikut rangkaian-
rangkaiannya yang disebut ‘hukum’ (dalam artinya yang umum dan luas). Adapun yang disebut
hukum dalam artian hukum kalimat-kalimat pernyataan tentang adanya keniscayaan dalam dua
bentuk. Yang pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal dari hasil amatan indrawi di alam
fenomena (disebut nomos atau keteraturan empirikal yang objektif); sedangkan yang kedua ialah
keniscayaan moralitas yang berasal dari segugus ajaran yang diyakini kebenarannya
sebagaimana yang bermaqom di alam nomena (disebut norma, atau pula aturan yang secara
subjektif membedakan mana yang baik, yang karena itu wajib dijalani, dan mana pula yang
buruk, yang karena itu wajib dijauhi).
Keniscayaan tersebut pertama, apabila telah teruji dan terverifikasi berdasarkan data
ialah ‘informasi yang dihimpun secara terukur dari alam empirik berdasarkan metode sains’ akan
disebut hukum alam atau hukum kodrat, atau yang didalam bahasa Inggris disebut the scientific
laws of nature. Hukum kodrat adalah suatu rangkaian kata yang secara afirmatif menyatakan
adanya teori tentang ada-tidaknya hubungan kausal atau korelatif antara fenomenon yang telah
dikonsepkan. Misalnya tentang adanya hubungan antara ‘permintaan atas suatu komoditas’ dan
‘harga komoditas itu’; kian tinggi jumlah ‘permintaan’ akan kian tinggi pula ‘harga’; demikian
sebaliknya, kian rendah jumlah ‘permintaan’ akan kian rendah pula ‘harga yang ditawarkan’.
Teori akan tervalidasi secara ilmiah manakala konstruksi rasionalnya seperti yang disebutkan di
muka itu konform dengan data empirik yang bisa dan telah diperoleh lewat observasi, untuk
selanjutnya diabstrakkan sebagai asas atau dalil yang akan menjelaskan sejumlah amatan yang
serupa, di manapun dan kapanpun, yang terjadi di alam fenomena.
Berbeda dengan keniscayaan tersebut pertama, keniscayaan tersebut kedua tidaklah
memerlukan verifikasi pembenaran dari konsep-konsep yang diperoleh sebagai hasil observasi.
Alih-alih, kebenaran keniscayaan tersebut kedua ini berpangkal pada konsepkonsep abstrak yang
disebut bahan-bahan ajaran, yang hadirnya sebagai realitas tidaklah dibenarkan atas otoritas data
empirik melainkan, melainkan atas dasar asas-asas yang diyakini sebagai ‘yang telah benar
dengan sendirinya (self-evident)’.
Sedangkan menurut Soentandyo W,4[4] teori berasal dari kata theoria dalam bahasa
Latin yang berarti “perenungan “, yang pada gilirannya dari kata thea dalam bahasa Yunani
yang berarti ” cara atau hasil pandang ”, adalah suatu konstruksi di dalam cita atau ide manusia,
yang dibangun untuk menggambarkan secara teflektif fenomena yang dijumpai didalam
pengalaman. Dari kata dasar thea ini pulalah datang kata modern “ tater” yang berarti
pertunjukan atau “ tontonan”. Didefinisikan dari rumusan yang demikian, berbicara tentang
”teori” tak pelak lagi orang akan menemukan dua macam realitas. Yang pertama adalah realitas
in abstracto yang ada dalam ide yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang
berupa realitas in concreto yang berada dalam alam pengalaman yang indrawi.
Menurut Prof. Dr. Hambali Thalib, SH.MH. 5[5] bahwa teori adalah ungkapan idealis
seseorang yang bisa diuji dan diteliti serta memiliki argumentasi yang konsisten. Suatu teori
senantiasa dikonstruksi dari pengertian, konsep dan proposisi. Oleh karenanya teori yang
memadai adalah teori memenuhi syarat-syarat tertentu yakni:
5
5
7
6
10
11
7
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat 12[12],
yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mernpelajari hakikat hukum. Dengan kata lain ,
filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum
adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya,
yang disebut hakikat. Pertanyaan tentang "apa (hakikat) hukum itu?" sekaligus merupakan
pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu
hukum, tetapi jawaban yang diberikan temyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldoorn
(1985)13[13] hal tersebut tidak lain karena hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak.
Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh panca indera
manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Sementara itu, pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum tersebut luput dari pengamatan
ilmu hukum. Norma (kaidah) hukum tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada
dunia lain (solen dan mogeni), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Filsafat hukum memprioritaskan pembahasannya pada pertanyaan-pertanyaan yang
dipandang pokok-pokok dan mendasar saja. Apeldoorm (1985) misalnya menyebutkan tiga
pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu:
Apakah pengertian hukum yang berlaku umum; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum;
dan (3) apakah yang dimaksud dengan hukum kodrat. Sementara Lili Rasyidi (1990)
menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain: (1) hubungan hukum
dan kekuasaan; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya; (3) apa sebab negara
berhak menghukum seseorang; (4) apa sebab orang menaati hukum; (5) masalah
pertanggungjawaban; (6) masalah hak milik; (7) masalah kontrak; dan (8) masalah peranan
hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat.14[14]
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang
dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkisar pada apa-a pa yang diuraikan diatas pada
tingkatan yang abstraksinya paling tinggi yakni tataran abstraksi kefilsafatan.
B. Hubungan Teori Hukum, Ilmu Hukum (Dogmatik Hukum) dan Filsafat Hukum
Friedmann dalam buknya “Legal Theory“ mengemukakan bahwa semua teori hukum
harus berisikan unsur unsur filsafat yang berarti harus lebih bersifat teoritik/abstrak dari pada
dogmatik hukum, oleh karena itu untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang teori
hukum, maka penting untuk menguraikan tentang filsafat hukum.
Filsafat hukum berusaha untuk mendalami sifat khas hukum dalam pelbagai bentuknya ,
mencari hakikat dari hukum untuk memahami hukum sebagai manifestasi suatu perinsip yang
ada didalamnya. Dengan perkataan lain filsafat hukum menanyakan tentang hakikat hukum
berdasarkan atas refleksi yang tidak dapat diuji secara empiris, tetapi harus persyaratan rasional
tertentu dan tersusun secara logis.
Filsafat hukum tidak bertujuan menguraikan, menafsirkan atau menjelaskan hukum
positif, tetapi untuk memahami dan menyelami hukum dengan segala sifat sifatnya yang umum.
Filsafat hukum mempermasalahkan hal hal yang tidak dapat dijawab oleh dogmatik hukum.
Filsafat hukum mengharapkan yang lebih hakiki mengenai hukum.
12
13
14
8
15
16
9
bertolak dari sudut teknis, maka teori hukum terutama adalah suatu refleksi terhadap teknik
hukum itu. Dogmatik hukum memperhatikan perumusan yang dikemukakannya mengenai
hukum positif yang berlaku, dan mensitematisasikannya, sedangkan teori hukum memperhatikan
suatu refleksi terhadap perumusan dan sistematisasi ini.
Secara singkat dan sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu hukum adalah ilmu praktis
hukum, sementara teori hukum adalah disiplin hukum dalam tataran yang abstrak, sedangkan
pada tingkatan yang abstraksinya paling tinggi yakni tataran abstraksi kefilsafatan, disiplin
kajiannya dinamakan filsafat hukum.
KESIMPULAN
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu hukum, yang semula dikenal dengan
ajaran hukum (rechtsleer) atau sering disebut dogmatic hukum, mempelajari hukum posistif (ius
constitutum). Jadi ilmu hukum dapat dikatakan sebagai teorinya hukum posistif dan bukan teori
hukum. Pertanyaan-pertanyaan ilmu hukum dapat dijawab dengan hukum positif karena bersifat
normative dan mengandung nilai praktsi konkrit. Sementara teori hukum adalah disiplin hukum
dalam tataran yang abstrak, sedangkan pada tingkatan yang abstraksinya paling tinggi yakni
tataran abstraksi kefilsafatan, disiplin kajiannya dinamakan filsafat hukum.