Anda di halaman 1dari 9

1

Hubungan Filsafat Dengan Filsafat Hukum

Pembahasan Mengenai Hubungan Filsafat Dengan Filsafat Hukum


Manusia dijadikan sebagai objek filsafat yang menelaahnya dari berbagai segi, salah satu di
antaranya mengenai tingkah laku manusia disebut filsafat etika, sebagian dari tingkah laku ini
kemudian diselidiki secara mendalam oleh filsafat hukum. Filsafat itu tidak lain adalah hasil
pemikiran manusia tentang tempat sesuatu di alam semesta dan hubungannya dengan isi alam
semesta yang lainnya. Dengan demikian, yang menjadi objek filsafat itu adalah berbagai hal
yang ada di dunia nyata ini.
 
Hukum merupakan sesuatu yang berkenaan dengan manusia dalam hubungannya dengan
manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup yang disebut masyarakat. Hukum berfungsi
mengatur hubungan pergaulan hidup antara manusia, namun demikian tidak semua perbuatan
manusia itu diperoleh pengaturannya. Hanya perbuatan atau tingkah laku yang diklasifikasikan
sebagai perbuatan hukum yang menjadi perhatiannya.
 
Filsafat merupakan karya manusia tentang hakikat sesuatu, sedangkan hukum merupakan
sesuatu yang berkenaan dengan manusia, keduanya mempunyai objek yang sama, yaitu manusia.
Ajaran filsafat mengharapkan agar manusia berkarya berupa hakikat sesuatu, sedangkan jika
sesuatu itu yang dimaksud adalah hukum maka yang ditemukan adalah hakikat tentang hukum,
dengan demikian ketemulah hubungan filsafat dengan hukum itu.
 
Hubungan Filsafat dengan Filsafat Hukum adalah bahwa filsafat itu terdiri dari beberapa
bagian. Salah satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut juga etika. Objek dari
bagian utama ini ialah tingkah laku manusia dari segi baik dan buruk yang khas ditemukan
dalam tingkah laku manusia, yaitu baik atau buruk menurut kesusilaan.
 
Apabila dipelajari secara cermat, maka pada intinya adalah bahwa :
1. Filsafat hukum itu merupakan cabang dari filsafat, yaitu filsafat etika atau moral.
2. Filsafat hukum yang menjadi objek pembahasannya adalah tentang hakikat atau inti yang
sedalam-dalamnya tentang hukum.
3. Filsafat hukum merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari lebih lanjut setiap hal yang
tidak dapat dijawab oleh cabang ilmu hukum.
 
Filsafat Hukum berusaha membuat dunia etis yang menjadi latar belakangnya dan tidak bisa
diraba oleh pancaindra manusia dalam menggali ilmu hukum, filsafat hukum berusaha mencari
sesuatu yang dapat menjadi dasar hukum dan etis bagi berlakunya sistem hukum positif. Filsafat
hukum kemudian dijadikan ilmu yang bersifat normatif untuk berlakunya hukum positif pada
suatu masyarakat tertentu, sehingga filsafat hukum menjadi bidang ilmu tersendiri yang
mempelajari hakikat hukum.
 
Hukum itu menjadi objek kajian filsafat, artinya bahwa dicari makna hukum sebagaimana
tampak dalam hidup kita, pertanyaan filsafat yang berbunyi : Apa makna hukum, melihat segala
yang ada ? Atau Apa makna hukum sebagai hukum ? Dalam penyelidikan filsafat hukum agar
lebih jelas lagi, hukum dapat dipelajari pada dua tingkat, yaitu :
2

1. Sebagai hukum yang berkaitan dengan manusia sebagai manusia. Manusia yang dimaksud di
sini adalah bukan manusia dalam arti abstrak melainkan manusia secara konkret sebagai pribadi.
Menyoroti hukum dalam hubungannya dengan manusia secara demikian tampak bahwa manusia
itu merupakan subjek hukum.
2. Sebagai hukum yang berkaitan dengan negara. Semula negara bukan merupakan subjek
hukum, melainkan sejak zaman modern negara merupakan instansi yang tidak bersyarat bagi
ditetapkannya dan dipertahankannya hukum dalam arti yuridis.
 
Dengan memahami hukum sebagai aturan negara akan dapat memperoleh kemampuan untuk
menilai suatu sistem hukum tertentu di suatu negara, dalam hal ini juga dapat menggabungkan
filsafat hukum dengan ideologi negara, contohnya Pancasila yang merupakan sumber dari segala
sumber hukum tertulis di Indonesia.
 
Sekian dari informasi ahli mengenai hubungan filsafat dengan filsafat hukum, semoga tulisan
informasi ahli mengenai hubungan filsafat dengan filsafat hukum dapat bermanfaat.

Sumber :

– Agus Santoso, 2014. Hukum, Moral, Dan Keadilan. Yang Menerbitkan Kencana Prenada
Media Group : Jakarta.

KONSTRUKSI TEORI HUKUM

Oleh: SYARIFUDIN TAYEB1[1]


Waktu masih bergulir, duniapun masih berputar. Alampun masih belum menampakkan
tanda-tandanya untuk “menutup buku”.
Alam hukum sebagai Alam manusia dalam upayanya
mengontrol tertibnya kehidupan masih belum mencapai grand finalnya.
Krisis demi krisis berseiring dengan pertumbuhkembangan masyarakat,
dari yang lokal ke yang nasional, yang masih bersiterus ke yang global masih terjadi.
Kontrol sosial berdasarkan moral local yang acap juga religius telah tergeser dari posisinya
sebagai arus besar, untuk kemudian digantikan oleh yang rasional guna diefektifkan
sebagai sarana pengontrol kehidupan bermasyarakat dan bernegara modern,
yang pada gilirannya juga mesti menghadapi cabaran baru dari kaum saintis
yang menyorongkan berbagai empirical laws yang berlaku sebagai
keniscayaan di luar kehendak manusia.

PENGANTAR
Hukum sebagai gejala social mengandung berbagai aspek, ciri, dimensi waktu dan
ruang serta abstraksi yang majemuk. Karena itu hukum bisa dikaji secara rasional, sistematikal
dan metodikal dari berbagai sudut pandang dan pendekatan. Dari pengkajian itulah terbentuklah
disiplin ilmiah yang obyeknya hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah itu bisa disebut dengan satu
istilah yaitu disiplin ilmiah tentang hukum (sciences concerned with law, Radrudc), atau ilmu-
ilmu hukum (Mochtar Kusumaatmadja) atau pengembangan hukum teoritikal (theoritische

1
3

rechtsbeoefening, Mewwissen). Istilah-istilah tersebut menunjukkan kegiatan akal untuk secara


ilmiah berupaya memperoleh pengetahuan tentang hukum dan penguasaan intelektual atas
hukum.2[2] Disiplin ilmu tentang hukum itu, setidaknya bisa diyakini terkonstruksi oleh tiga
kelompok pengkajian dominan yaitu ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum.
1.      ILMU HUKUM
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam memaknai ilmu hukum sebagai
terjemahan dari bebagai bahasa; Rechtwetenschap (Belanda) atau Rechtwessenshaft (Jerman)
atau Jurisprudenz (Jerman) atau Jurisprudence (Ingris). Ilmu Hukum pada dasarnya berusaha
mengenal hukum. Dengan demikian mempersoalkan arti ilmu hukum sebenarnya dan
mempertanyakan apakah hukum itu. Ilmu hukum lebih lanjut mensistematisasi hukum positif
tertentu, bukan sitematika hukum pada umumnya. Jadi ilmu hukum membahas sistem hukum
negara tertentu, seperti sistem hukum Jepang, sistem hukum Amerika Serikat, dan lain
sebagainya.
Tugas ilmu hukum juga berusaha mengenal, mensitematisir dan menganalisa apa yang
telah dimulai oleh praktek hukum. Apabila hanya mencatat saja praktek hukum, hal itu belum
dapat disebut sebagai ilmu hukum. Barulah dapat dikatakan sebagai ilmu, apabila inventarisasi
tadi disistematisir, lalu kemudian dicoba untuk dianalisa secara objektif. Dengan demikian
dapatlah disimpulkan bahwa ilmu hukum itu adalah ilmu tentang praktek hukum. Karena itu pula
ilmu hukum dapat dikatakan bersifat berkesinambungan (kontinuitas).
2.      TEORI HUKUM
Sebelum membicarakan apa sesungguhnya teori hukum itu, agar lebih menyentuh
substansi diperlukan pendalaman makna tentang “apa itu Teori”? Teori’ berasal dari kata theoria
dalam bahasa Latin yang berarti ‘perenungan’, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam
bahasa Yunani yang berarti ‘cara atau hasil pandang adalah suatu konstruksi di alam ide
imajinatif manusia tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam pengalaman hidupnya.3[3]
Adapun yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya pengalaman-pengalaman yang diperoleh
manusia dari alam kehidupannya yang indrawi, tetapi juga diperoleh dari alam kontemplatif-
imajinatifnya, khususnya dalam ilmu pengetahuan yang berobjek manusia dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Apapun sumbernya, apakah pengalamannya yang indrawi ataukah
pengalamannya yang kontemplatif imajinatif murni, teori adalah suatu himpunan konstruksi
yang dibangun oleh konsep-konsep yang berada di alam ide imajinatif manusia.
Berada di alam imajinatif, teori adalah gambaran atau hasil penggambaran secara
reflektif fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi manusia, dibangun dengan
bahan-bahan rangkaian yang sebagaimana kita disebut konsep. Maka tepat apa yang dikatakan
secara ringkas dalam kepustakaan berbahasa Inggris, bahwa concepts is the building blocks of
theories.
Berbicara tentang ‘teori’, tak pelak lagi orang niscaya akan diperhadapkan dengan dua
macam realitas. Di dalam bahasa falsafati yang pertama adalah realitas in abstracto yang berada
di alam idea yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in
concreto yang berada di alam pengalaman yang indrawi., sementara orang mengatakan bahwa
realitas pertama disebut ‘realitas nomenon’ (atau ‘nomena’ apabila jamak), sedangkan yang
tersebut kedua disebut ‘realtas fenomenon’ (atau ‘fenomena’ apabila jamak).
2

3
4

Berhakikat sebagai realitas yang berada di alam nomena yang imajinatif itu, teori hanya
bisa dijembatani dengan padanannya yang berada di alam realitas fenomena, bersaranakan
simbol-simbol yang dalam ilmu bahasa disebut ‘kata-kata’ atau rangkaiannya yang disebut
‘kalimat’. Dengan demikian, teori itu terdiri dari sehimpunan konsep berikut rangkaian-
rangkaiannya yang disebut ‘hukum’ (dalam artinya yang umum dan luas). Adapun yang disebut
hukum dalam artian hukum kalimat-kalimat pernyataan tentang adanya keniscayaan dalam dua
bentuk. Yang pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal dari hasil amatan indrawi di alam
fenomena (disebut nomos atau keteraturan empirikal yang objektif); sedangkan yang kedua ialah
keniscayaan moralitas yang berasal dari segugus ajaran yang diyakini kebenarannya
sebagaimana yang bermaqom di alam nomena (disebut norma, atau pula aturan yang secara
subjektif membedakan mana yang baik, yang karena itu wajib dijalani, dan mana pula yang
buruk, yang karena itu wajib dijauhi).
Keniscayaan tersebut pertama, apabila telah teruji dan terverifikasi berdasarkan data
ialah ‘informasi yang dihimpun secara terukur dari alam empirik berdasarkan metode sains’ akan
disebut hukum alam atau hukum kodrat, atau yang didalam bahasa Inggris disebut the scientific
laws of nature. Hukum kodrat adalah suatu rangkaian kata yang secara afirmatif menyatakan
adanya teori tentang ada-tidaknya hubungan kausal atau korelatif antara fenomenon yang telah
dikonsepkan. Misalnya tentang adanya hubungan antara ‘permintaan atas suatu komoditas’ dan
‘harga komoditas itu’; kian tinggi jumlah ‘permintaan’ akan kian tinggi pula ‘harga’; demikian
sebaliknya, kian rendah jumlah ‘permintaan’ akan kian rendah pula ‘harga yang ditawarkan’.
Teori akan tervalidasi secara ilmiah manakala konstruksi rasionalnya seperti yang disebutkan di
muka itu konform dengan data empirik yang bisa dan telah diperoleh lewat observasi, untuk
selanjutnya diabstrakkan sebagai asas atau dalil yang akan menjelaskan sejumlah amatan yang
serupa, di manapun dan kapanpun, yang terjadi di alam fenomena.
Berbeda dengan keniscayaan tersebut pertama, keniscayaan tersebut kedua tidaklah
memerlukan verifikasi pembenaran dari konsep-konsep yang diperoleh sebagai hasil observasi.
Alih-alih, kebenaran keniscayaan tersebut kedua ini berpangkal pada konsepkonsep abstrak yang
disebut bahan-bahan ajaran, yang hadirnya sebagai realitas tidaklah dibenarkan atas otoritas data
empirik melainkan, melainkan atas dasar asas-asas yang diyakini sebagai ‘yang telah benar
dengan sendirinya (self-evident)’.
Sedangkan menurut Soentandyo W,4[4] teori berasal dari kata theoria dalam bahasa
Latin yang berarti “perenungan “, yang pada gilirannya dari kata thea dalam bahasa Yunani
yang berarti ” cara atau hasil pandang ”, adalah suatu konstruksi di dalam cita atau ide manusia,
yang dibangun untuk menggambarkan secara teflektif fenomena yang dijumpai didalam
pengalaman. Dari kata dasar thea ini pulalah datang kata modern “ tater” yang berarti
pertunjukan atau “ tontonan”. Didefinisikan dari rumusan yang demikian, berbicara tentang
”teori” tak pelak lagi orang akan menemukan dua macam realitas. Yang pertama adalah realitas
in abstracto yang ada dalam ide yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang
berupa realitas in concreto yang berada dalam alam pengalaman yang indrawi.
Menurut Prof. Dr. Hambali Thalib, SH.MH. 5[5] bahwa teori adalah ungkapan idealis
seseorang yang bisa diuji dan diteliti serta memiliki argumentasi yang konsisten. Suatu teori
senantiasa dikonstruksi dari pengertian, konsep dan proposisi. Oleh karenanya teori yang
memadai adalah teori memenuhi syarat-syarat tertentu yakni:

5
5

1.      Pernyataan saling berkaitan


2.      Memenuhi unsur-unsur sebuah teori;
a.      Pernyataan
b.      Mempunyai hipotesis
c.       Mempunyai metode
d.      konsisten
Dalam perspektif pokok pengkajian ini yakni teori hukum, maka harus diakui bahwa
sesungguhnya tidak ada satu konsep semata wayang tentang apa yang disebut hukum itu. Karena
ditentukan oleh konsep apa yang dugunakan dalam membahasanya. Diketahui bahwa apa yang
disebut konsep itu sesungguhnya merupakan penentu suatu bangunan teori seperti yang
dikatakan dalam kepustakaan Inggris di atas bahwa ‘concepts is the building blocks of theories’,
haruslah disimpulkan di sini bahwa “tiadanya kesamaan konsep akan berkonsekuansi pada akan
tiadanya satu teori semata tentang apa yang disebut hukum itu”. Hukum yang dikonsepkan
sebagai ‘aturan-aturan undang-undang’ tentulah akan diteorikan lain dari hukum yang
dikonsepkan sebagai ‘seluruh hasil proses yudisial yang berujung pada putusan hakim, dan akan
lain pula apabila hukum dikonsepkan dalam ujud realitas atau realisasinya yang tertampak
sebagai ‘keteraturan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya’.
Bicara teori hukum berarti bicara tentang hukum, namun perlu dipahami bahwa teori
hukum tidak sama dengan ilmu hukum. Teori hukum bukanlah ilmu hukum, sebaliknya ilmu
hukum bukan teori hukum. Kata teori dalam dalam teori hukum dapat diartikan sebagai sesuaatu
kesatuan pandang, pendapat dan pengertian yang berhubungan dengan kenyataan yang
dirumuskan sedemikian sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis yang dapat dikaji.6[6]
Istilah teori hukum dalam berbagai literatur antara lain disebut : Legal Theory,
Rechtstheorie yang digunakan oleh Friedmann, Yurisprudence oleh Paton, Legal Philosophy
oleh, Kelsen. Menurut B. Arief Sidharta, teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritis
dalam persfektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum secara tersendiri
dan dalam kaitan dengan keseluruhannya baik dalam konsepsi teoretisnya maupun dalam
pengolahan praktisnya, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan
yang lebih jernih atas bahan-bahan yuridis.7[7] Adapun pokok telaah teori hukum mencakup:
(1) Analisis tentang pengertian hukum, pengertian dan struktur sistem hukum, sifat dan struktur
norma hukum, pengertian dan fungsi asas-asas hukum, pengertian serta interelasi konsep-konsep
yuridis (misalnya: subyek hukum, hak, kewajiban, hubungan hukum, peristiwa hukum, dan
perikatan;
(2) Ajaran metode dari hukum yang mencakup teori argumentasi yuridis (teori penalaran hukum),
metode dari ilmu hukum dan metode penerapan hukum (metode penemuan dan pembentukan
hukum);
(3) Ajaran ilmu (epistemologi) dari hukum yang mempersoalkan keilmiahan dari ilmu hukum; dan
(4) Kritik ideologi yang mencakup kritik terhadap norma hukum positif dan menganalisis norma
hukum untuk mengungkapkan kepentingan dari ideologi yang melatar belakanginya.
Setiap teori sebagai produk ilmu tujuannya adalah untuk memecahkan masalah dan
membentuk system. Demikian pula dengan teori hukum tujuannya untuk menyelesaikan masalah
hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa dalam teori hukum dalam memecahkan masalah
ditingkatan paling bawah ditanyakan tentang “apa itu”?, “Apa yang terjadi?”, yang

7
6

mengharapkan jawabannya bersifat deskriftif, menguarai atau melukiskan peristiwa semata. Di


bidang hukum, di tingkat berikutnya kemudian ada pertanyaan “bagaimana seyogyanya”?.
Pertanyaan ini bersifat perspriktif yang memerlukan tentang berlakuknya atau keberlakukan dan
keabsahan peraturan hukum. Pada tingkatan yang lebih tinggi ditanyakan tentang “bagimana”?
dan “mengapa’? yang bersifat problematic aplikatif dan memerlukan penjelasan.8[8] Dengan
kerangka teori pemecahan masalah yang demikian maka sebuah permasalahan hukum akam
muda dikonstruksikan dalam pengertian, konsep dan sejumlah proposisi lalu kemdian sintesakan
secara teoritik.
Dengan demikian dapat juga dijelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan dan obyek teori
hukum lebih luas dan teoritik sifatnya dari pada ilmu hukum yang hanya mencari jawaban
permasalahan dalam hukum positif. Teori hukum tidak puas dengan jawaban yang ada dalam
hukum positif, karenanya harus mengungkap berbagai konsep dan proposisi baru. Oleh karena
itu, teori hukum adalah teorinya ilmu hukum. Dengan perkataan lain bahwa ilmu hukum adalah
obyek teori hukum. Oleh sebab itu sebagai teorinya teori ilmu hukum, maka teori hukum disebut
dengan meta teorinya.9[9] Satjipto Raharjo (1986) menyatakan bahwa teori hukum boleh disebut
sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang
demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.
Bruggink dalam bukunya “Refleksi Tentang Hukum” membedakan teori hukum dalam
dua aliran, yakni teori hukum empiris dan teori hukum kontemplatif.10[10] Teori hukum empiris
bertujuan untuk bekerja dari perspektif eksternal, artinya dari titik berdiri pengamat yang
mengobservasi sehingga diharapkan menghasilkan perodik penelitian yang murni dan obyektif.
Aliran ini mengacu pada teori kebenaran korespondensi. Teori hukum kontemplatif bertolak dari
titik berdioei internal terbatas. Artinya titik berdiri partisipan yang obyektivitasnya
intersubyektivitas. Aliran ini mengacu pada teori kebenaran pragmatic.
1.       FILSAFAT HUKUM
Pengembangan hukum teoretis melalui studi tentang filsafat adalah suatu kajian tentang
kearifan, yaitu usaha manusia untuk menjadi arif untuk dirinya atau untuk menemukan prinsip-
prinsip kearifan itu, karena disanalah inti kebenaran. Esensi filsafat adalah mencari hakekat
kebenaran. Apa yang ingin dicapai, diharapkan agar orang dapat berfikir secara benar, berbuat
dan bertindak secara benar. Bertindak secara wajar adalah hasil berfikir menurut akal sehat
(rasional).
Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari
hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara
filosofis tentang hukum, Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat
hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara
abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang
filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence)
berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat
hukum.11[11]

10

11
7

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat 12[12],
yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mernpelajari hakikat hukum. Dengan kata lain ,
filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum
adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya,
yang disebut hakikat. Pertanyaan tentang "apa (hakikat) hukum itu?" sekaligus merupakan
pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu
hukum, tetapi jawaban yang diberikan temyata serba tidak memuaskan. Menurut Apeldoorn
(1985)13[13] hal tersebut tidak lain karena hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak.
Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh panca indera
manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Sementara itu, pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum tersebut luput dari pengamatan
ilmu hukum. Norma (kaidah) hukum tidak termasuk dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada
dunia lain (solen dan mogeni), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Filsafat hukum memprioritaskan pembahasannya pada pertanyaan-pertanyaan yang
dipandang pokok-pokok dan mendasar saja. Apeldoorm (1985) misalnya menyebutkan tiga
pertanyaan penting yang dibahas oleh filsafat hukum, yaitu:
Apakah pengertian hukum yang berlaku umum; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum;
dan (3) apakah yang dimaksud dengan hukum kodrat. Sementara Lili Rasyidi (1990)
menyebutkan pertanyaan yang menjadi masalah filsafat hukum, antara lain: (1) hubungan hukum
dan kekuasaan; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya; (3) apa sebab negara
berhak menghukum seseorang; (4) apa sebab orang menaati hukum; (5) masalah
pertanggungjawaban; (6) masalah hak milik; (7) masalah kontrak; dan (8) masalah peranan
hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat.14[14]

Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau pertanyaan yang
dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkisar pada apa-a pa yang diuraikan diatas pada
tingkatan yang abstraksinya paling tinggi yakni tataran abstraksi kefilsafatan.
B. Hubungan Teori Hukum, Ilmu Hukum (Dogmatik Hukum) dan Filsafat Hukum
Friedmann dalam buknya “Legal Theory“ mengemukakan bahwa semua teori hukum
harus berisikan unsur unsur filsafat yang berarti harus lebih bersifat teoritik/abstrak dari pada
dogmatik hukum, oleh karena itu untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang teori
hukum, maka penting untuk menguraikan tentang filsafat hukum.
Filsafat hukum berusaha untuk mendalami sifat khas hukum dalam pelbagai bentuknya ,
mencari hakikat dari hukum untuk memahami hukum sebagai manifestasi suatu perinsip yang
ada didalamnya. Dengan perkataan lain filsafat hukum menanyakan tentang hakikat hukum
berdasarkan atas refleksi yang tidak dapat diuji secara empiris, tetapi harus persyaratan rasional
tertentu dan tersusun secara logis.
Filsafat hukum tidak bertujuan menguraikan, menafsirkan atau menjelaskan hukum
positif, tetapi untuk memahami dan menyelami hukum dengan segala sifat sifatnya yang umum.
Filsafat hukum mempermasalahkan hal hal yang tidak dapat dijawab oleh dogmatik hukum.
Filsafat hukum mengharapkan yang lebih hakiki mengenai hukum.
12

13

14
8

Dengan demikian semua permasalahan hukum yang memerlukan pemecahan pada


dasarnya dapat menjadi obyek filsafat hukum, misalnya apa hakikat hukum itu, apa yang
menjadi tujuan hukum serta apa yang membuat hukum mempunyai kekuatan mengikat.
Sedangkan perbedaan antara filsafat hukum dengan dogmatik hukum. Dogmatik hukum
obyeknya adalah hukum positif , yaitu peraturan perundang undangan dan yurisprudensi.
Dogmatik hukum adalah teorinya hukum positif, mempelajari hukum positif dan yurisprudensi ,
dengan demikian sifatnya adalah praktis dan konkrit. Pertanyaan dogmatik hukum hanya dapat
dijawab dengan menunjuk pada peraturan perundang undangan, sedangkan pertanyaan filsafat
hukum hanya dijawab secara teoritiks abstraksi, obyeknya adalah segala sesuatu yang
berhubungan hukum dan gejala hukum.
Menurut M. Van Hoecke dalam B. Arief Sidharta 15[15] mengurai bahwa ilmu hukum
dalam arti luas terdiri atas filsafat hukum, dogmaika hukum dan teori hukum. Dalam
penjelasannya dengan menggunakan meta teori bahwa filsafat hukum adalah teori dari teori
hukum dan meta teori dari dogmatika hukum dan juga teori tentang hukum. Filsafat hukum
sendiri tidak mempunyai meta teori karena sebagai filsafat ia merefleksi dirinya sendiri untuk
mempertanggungjawabkan keberadaannya dan menjelaskan makna dan karakternya.
Dengan demikian bahwa Obyek kajian ilmu hukum adalah tatanan hukum normatif
yang berlaku positif maupun ilmu-ilmu hukum dalam tataran dogmatik hukum yang meliputi
pula interpretasi, dan konstruksi serta teori-teori tentang argumentasi hukum; sedangkan kajian
ilmu-ilmu hukum empirik, meliputi perbandingan hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum,
antropologi hukum dan psikologi hukum. Kajian teori hukum adalah juga tatanan hukum positif
yang meliputi analisis tentang pengertian hukum, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum, analisis
konsep yuridis, hubungan antara hukum dan logika, teori argumentasi dan metode penemuan
hukum yang meliputi metode interpretasi dan metode konstruksi. Sementara kajian filsafat
hukum adalah bagian dari dan dipengaruhi oleh filsafat umum dan teori ilmu hukum yang
bersifat ekstra yuridis dan kritis yang inti persoalannya meliputi landasan daya ikat dari hukum
serta landasan penilaian keadilannya.
Hubungan antara teori hukum dan filsafat hukum adalah suatu hubungan dari disiplin
meta (filsafat hukum) dengan disiplin objek (teori hukum) dimana filsafat hukum
memperhatikan secara esensial pemikiran yang bersifat spekulatif, sedangkan teori hukum
berusaha kearah pendekatan gejala hukum secara positif keilmuan.
Prof.Mr. Roeslan Saleh16[16] mengemukakan mengenai dua disiplin ilmu yang
termasuk ke dalam ilmu pengetahuan hukum murni, yaitu teori hukum dan dogmatik hukum.
Dogmatik Hukum atau ajaran hukum dalam arti sempit merupakan ilmu pengetahuan yang
memperhatikan hukum positif dengan menguraikannya, mensistemkan serta dalam batas-batas
tertentu menjelaskannya. Suatu ilmu tentang kenyataan hukum. Dogmatik hukum bukan
merupakan suatu ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai. Dogmatik hukum dapat
dirumuskan sebagai cabang dari ilmu pengetahuan hukum yang mengemukakan dan atau
menuliskan serta mengsistematisasikan hukum positif yang berlaku dalam suatu kehidupan
masyarakat tertentu dan pada saat tertentu, dilihat dari sudut pandangan normatif.
Teori Hukum dilihat dari hubungannya dengan dogmatik hukum adalah sebagai suatu
teori meta dari dogmatik hukum. Suatu teori meta adalah suatu disiplin yang objek studinya
adalah ilmu pengetahuan lain. Jika dogmatik hukum mengkaji aturan-aturan hukum dengan

15

16
9

bertolak dari sudut teknis, maka teori hukum terutama adalah suatu refleksi terhadap teknik
hukum itu. Dogmatik hukum memperhatikan perumusan yang dikemukakannya mengenai
hukum positif yang berlaku, dan mensitematisasikannya, sedangkan teori hukum memperhatikan
suatu refleksi terhadap perumusan dan sistematisasi ini.
Secara singkat dan sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu hukum adalah ilmu praktis
hukum, sementara teori hukum adalah disiplin hukum dalam tataran yang abstrak, sedangkan
pada tingkatan yang abstraksinya paling tinggi yakni tataran abstraksi kefilsafatan, disiplin
kajiannya dinamakan filsafat hukum.

KESIMPULAN
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ilmu hukum, yang semula dikenal dengan
ajaran hukum (rechtsleer) atau sering disebut dogmatic hukum, mempelajari hukum posistif (ius
constitutum). Jadi ilmu hukum dapat dikatakan sebagai teorinya hukum posistif dan bukan teori
hukum. Pertanyaan-pertanyaan ilmu hukum dapat dijawab dengan hukum positif karena bersifat
normative dan mengandung nilai praktsi konkrit. Sementara teori hukum adalah disiplin hukum
dalam tataran yang abstrak, sedangkan pada tingkatan yang abstraksinya paling tinggi yakni
tataran abstraksi kefilsafatan, disiplin kajiannya dinamakan filsafat hukum.

Anda mungkin juga menyukai