Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRESENTASI JURNAL

“ACUTE PAIN”

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
AGUS SUPARNO (20191050001)
ANGGIE STIEX (20191050002)
NUR AFNI SHARFINA (20191050010)
YENNYKA DWI AYU (20191050012)
CONNY WINATA BERIKANG ( 20191050029)
MAKSI PUASA (20191050033)

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kami kesehatan
agar bisa menyelesaikan paper “Laporan Presentasi Jurnal dengan tema Acute Pain”. Paper ini
saya tulis sebagai syarat untuk menyelesaikan blok Keperawatan Medikal Bedah Lanjutan,
Program Studi Magister Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selama penulisan paper saya banyak sekali mendapatkan saran dan bimbingan dari banyak
pihak. Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada ibu Fitri Arofiati, S.Kep., Ns., MAN., Ph.D
selaku dosen pengampu Blok Keperawatan Medikal Bedah Lanjutan 2 yang telah menyusun
tema dan modul pembelajaran.
Kami menyadari paper ini masih banyak sekali kekurangan. Maka, kami mengharapkan
kritik membangun dari pembaca agar paper ini bisa menjadi lebih baik dikemudian hari.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Wassalamualaikum wr.wb

Yogyakarta, 06 April 2020

Penulis
ARTIKEL 1

1. Judul : Development Evaluation Of a Web-based Acute Pain Management


Education Program For Korean Registered Nurses: A Randomized Controlled Trial

2. Peneliti : Jebog Yoo, Jennie C. De Gagne,Hye Jin Kim, Juyeon Oh

3. Tahun : 2019

4. Latar Belakang: Kurangnya manajemen nyeri akut dapat menyebabkan komplikasi serius
seperti: pneumonia, onfeksi dan Deep Vein Trhombosis (DVT), dan akan menjadi nyeri kronis,
sehingga dapat menyebabkan beban social menjadi tinggi, seperti biaya perawatan kesehatan dan
lamanya dirawat di Rumah sakit. Peran perawat di Rumah Sakit yaitu memberikan Asuhan
Keperawatan selama 24 jam kepada pasien, kemudian perawat berperan penting dalam
memanajemen nyeri akut dengan memantau dan menilai rasa sakit, mengobati dan memeberikan
pendidikan kepada pasien, berkomunikasi, berkolaborasi dengan tenaga medis lainnya tentang
rasa sakit yang dirasakan pasien. Meskipun perawat juga berkontribusi sebagai spesialis dan tim
multidisiplin untuk manajemen nyeri akut, pengetahuan mereka tentang manajemen nyeri sedikit
rendah di Korea, karena kurangnya pengetahuan dalam memanajemen nyeri secara optimal dan
ini jadi alasan utamanya.

5. Tujuan: Tujuan dari Peneliti ini adalah mengembangkan program manajemen nyeri akut
berbasis web untuk perawat terdaftar di Korea dan dievaluasi keefektivitas program dengan
memeriksa pengetahuan, sikap dan keberhasilan self e-FFI.

6. Desain Penelitian: Sebuah uji terkontrol acak dengan pre-vs, pasca intervensi dan desain
secara acak yang bertujuan untuk memeriksa efek dari program pendidikan. Program
pengembangan pendidikan dan evaluasi dipandu oleh analisis, desain, pengembangan,
implementasi dan evaluasi model (ADDIE).
7. Metode Penelitian :

1. Langkah pertama: Analisis


Sebuah tim program pengembangan dibuat, termasuk salah satu professor keperawatan
dengan pengalaman dalam manajemen nyeri, salah satu seorang ahli anestesi, dan dua
manajer perawat PACU. Tim akan meneliti kebutuhan dan preferensi belajar dengan
melakukan kuesioner kebutuhan dan penilaian untuk mengidentifikasi kesenjangan
pengetahuan dan kebutuhan pelatihan. Setidaknya Perawat PACU dengan pengalaman
satu tahun direkrut dan dua bangsal bedah di Universitas FFI liated di Rumah Sakit
Seoul, Korea.
2. Langkah kedua: Desain
Konten dan tujuan pembelajaran ditetapkan untuk program pendidikan. Mengajar secara
online, desain pembelajaran menggunakan multimedia seperti: video, audio, fhoto dan
slide show yang dipilih berdasarkan analisis needsassessment. Setiap topic termasuk
dalam kuliah, tes pasca learning dan ringkasan. Untuk merangsang pemikiran yang kritis,
berbagai pertanyaan kasus yang terlibat mengenai situasi peserta didik cenderung dengan
wajah saat praktek.
3. Langkah ketiga: Pengembangan program pendidikan
Modul dan topic dari program awal didirikan seperti table 1. Didasarkan pada kebutuhan
pendidikan peserta didik, buku teks, tinjauan literature dan beberapa teori mengontrol
nyeri termasuk farmakoterapi dan metode non farmakoterapi, terapi komplementer untuk
manajemen nyeri (pijat, akupresure, terapi musi, terapi relaksas, terapi rekaman,
pendinginan/pemanasan kemasan) juga disajikan. Konten ini ditubjukkan untuk
membantu perawat proaktif dan confidently melakukan modalitas non farmaceutical
selain intervensi farmasi. Misalnya terapi musik yang disarankan sebagai intervensi untuk
periode pasca operasi akut untuk mempromosikan kenyamanan pasien dan persepsi pada
toleransi nyeri. Terakhir, program pendidikan termasuk manajemen nyeri akut untuk
situasi khusu klinis dan beragam untuk memfasilitasi eff keperawatan untuk keefektifan
pasien dengan karakteristik klinis.
Setelah topik terorganisir, rekaman direkam, dan menambahkan animasi bahwa rekaman
suara cocok atau teks pada slide yang dapat meningkatkan monat peserta didik. Fungsi
pesan pop-up dipergunakan untuk melarang peserta didik dari kuliah skipping tanpa
finishing sbelumnya. Mengirim pesan teks atau email dapat mendorong peserta didik
untuk kursus akhir. Program pendidikan ini mencakup penjang delapan kelas minimal 50
dengan total durasi minimal 400 dengan 8 modul dan 29 topik.
Validitas isi konten pada kemajuan pendidikan telah dioeriksa dan di evaluasi oleh panle
penasehat yang terdiri 5 ahli dari tim anggota pengembangan pendidikan (dua professor
anestesi, professor keperawatan, professor pendidikan, dan professor online). Para
anggota menggunakan panel yang terdiri dari enam komponen: kesesuaian desain
instruksional (1 item), kemudahan untuk penggunaan anatmuka (2 item), interaksi (1
item), item evaluasi keragaman (1 item0, dan kesesuaian materi pembelajaran (1 item).
Setiap bagian dievaluasi dengan skala 3 point (A: sangat baik, B: diterima, C: tidak dapat
diterima). Hasil penel ini para ahli akan memberikan isi dari validitas.
4. Langkah keempat: Implementasi
Program maju ditempatkan secara online melalui web hosting profesional. Minimal 25
per kelompok yang diminta untuk mencapai besa, ukuran 0,80 dengan kekuatan 80%,
tingkat signifikan 5% dan angka putus sekolah 20%, berdasarkan estimasi yang
menggunakan GPower versi 3,1.
Kriteria inklusi: Adalah perawat yang memiliki pengalaman minimal 1 tahun bekerja di
PACU sebagai perawat yang sudah terdaftar, menyetujui dalam berpartisipasi dalam
penelitian ini.
Kriteria eksklusi: perawat yang telah menyelesaikan program pendidikan tentang nyeri
dalam 6 bulan terakhir, perawat direkrut dari PACU di dua Universitas Rumah sakit a
FFI (masing-masing staff 50 dan Perawat 90) di Seoul, dari bulan April sampai Juni
2016. Setelah manajer Keperawatan di identifikasi focus fied peserta yang berpotensi
memenuhi syarat satu per satu, sampai 25 perawat PACU masing-masing direkrut. Ketika
proses pendaftaran setengah jadi, secara acak Peneliti membagi peserta ke dalam
eksperimen dan kelompok control, dengan menetapkan 0 atau 1 dariangka acak yang
dihasilkan oleh computer, menggunakan fungsi RANDBETWEEN dalam perangkat lunak
yaitu excel. Kelompok eksperimen mengambil kasus pendidikan selama mereka cuti
dibayar (satu hari). Tidak ada prosedur eksperimental yang dilakukan pada kelompok
control.
5. Langkah Kelima: Evaluasi
Karakteristik survey awal mulai dari demografi, sikap, keberhasilan self eFFI dalam
penyelidikan manajamen nyeri yang diberikan untuk eksperimen dan kelompok control
sebelum menawarkan program pendidikan pada manajemen nyeri akut berbasis web.
Kelompok control diminta untuk melengkapi tiga kuesioner yang sama selama dua
minggu setelah mereka menyelesaikan program pendidikan berdasrakan penelitian
sebelumnya. Kemudian pada kelompok kontrol akan kembali diperiksa pada dua minggu
setelah kuesioner survei diberikan.

8. Pengukuran: Pengetahuan tentang manajemen nyeri menggunakan modifikasi untuk konteks


Korea dan dogunakan dalam penelitian. Kuesionernya terdiri dari 65 item dengan enal
subdomain untuk mengukur pengetahuan nyeri secara umum misalnya: pasien bisa tertidur
walaupun dengan merasakan sakit yang hebat sebanyak 20 item. Tentang pengetahuan
penggunaan obat untuk penghilang rasa sakit misalnya: penggunaan morfin sebanyak 19 item,
pengetahuan tentang skala nyeri misalnya: menggunakan wajah, skala tingkatan nteri sebanyak 8
item, pengetahuan tentang intervensi nyeri misalnya: terapi music sebanyak 6 item, dan
pengetahuan tentang klasifikasi analgesic misalnya: ibuprofen, opioid atau non-opioid sebanyak
10 item. Setiap item terdiri dari baik atau tidak dengan pertanyaan pilihan ganda dan item yang
benar bernilai 1 poin. Total skor berkisar anatar 0 sampai 53, semakin skor tinggi, semakin tinggi
tingkat pengetahuan, KR-20 kehandalan dalam penelitian ini adalah 0,654 pretest dan 770 untuk
posttest. Sikap terhadap manajemen nyeri dinilai dengan menggunakan modifikasi untuk konteks
Korea. Ada sebanyak 9 pertanyaan yanhg diukur dengan sikap terhadap majemen nyeri dan
setiap item dijawab baik y/tidak misalnya: laporan pada pasien adalah indikatotr yang dapat
diandalkan pada nyeri, dengan ya mendapatkan tulisan 1 dan yang tidak, maka tidak
mendapatkan tulisan 0, skor tertinggi adalah 9, semakin tinggi skor, maka semakin banyak
perilaku intervensi nyeri. Cronbach dalam penelitian ini adalah 0,790 (prestest) dan 0,799
(posttest). Keberhasilan sel e-FFI dalam manajemen nyeri diukur dengan kuesioner yang
digunakan dalam penelitian ini Yoo (2015), yang dimodifikasi dengan daftar pertanyaan. Ada
enam item misalnya: bagaimana kemampuan anda dalam meberikan manajemen non-
farmakologis kepada pasien yang disajikan dalam skala 5 point. Skor tertinggi menunjukkan
bahwa self e-FFI ini dapat bermanfaat dan berguna dengan skor total mulai dari 6 sampai 30.
Hasil Cronbach dalam penelitian ini adalah 0,906 (pretest) dan 0,946 (posttest).

9. Pertimbangan Etis: Protokol dalam penelitian ini sudah disetujui oleh Institutional Review
Board dari Universitas Nasional Korea untuk kebijkan Bioetika (Peraturan No. P01-201604-22-
003), kemudian diperoleh juga dari Departemen Keperawatan Rumah sakit Universitas dimana
data dikumpulkan. Penelitian awal dari penelitian ini menjelaskan kepada peserta tujuan da nisi,
durasi, dan proses penelitian, dan tetap menjaga kerahasiaan dan potensi resiko yang terlibat
dalam partisipasi, dan kriteria untuk pemilihan peserta dalam penelitian ini. Ketika responden
telah menyetujui untuk ikut berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini, maka peneliti
akan memberikan surat persetujuan kemudian ditandatangani kemudian data dikumpulkan.
Untuk menjaga kerahasiaan semua data yang dikumpulkan adalah re identifikasi dan disimpan
dalam spreadsheet untuk dilindungi dengan sandi USB pribadi. Peserta kelompok kontrol akan
diberikan kesempatan untuk menerima pendidikan setelah post-test.

10. Analisi Data: Data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis secara statistic
menggunakan SAS 9.4 (SAS, Cary, NC, USA). Signifikan didaptkan sebesar 0,05. Test
homogenitas awal anatar kedua kelompok untuk mengukur karakteristik umum peserta dan
pretest hasil yang dilakukan dengan menggunakan uji chi-square, uji Fisherm dan uji Man-
Whitney. Untuk menguji efektivitas dari program pendidikan, differents anatar dua kelompok
mengenai pengetahuan tentang manajemen nyeri, sikap terhadap manajemen nyeri, dan
keberhasilan self e FFi dalam majemen nyeri yang diuji dengan menggunakan Uji Mann-
Whitney karena variable tidak meiliki distribusi normal.

11. Hasil : Dari 50 perawat yang sudah direkrut dalam penelitian ini, ada dua peserta yang gagal
dalam menyelesaikan program pendidikan dikelompok ekperimen dan dua lagi peserta dalam
kelompok kontrol yang tidak bisa diambil untuk post-test karena alasan pribadi. Jadi, dari total
46 perawat, 23 masing-masing kelompok untuk dianalisi keefektivitasannya dari program
pendidikan nyeri akut berbasis web, peserta menyajikan homogenitias, dengan karakteristik
umum dan variable hasil pengetahuan tentang manajemen nyeri, sikap terhadap manajemen nyeri
dan keberhasilan self e FFI dalam pengelolaan nyeri, dari prestest ada nilai signifikasi yang tidak
bisa karena ada selisih skor yang berubah paad pengetahuan manajemen nyeri p=012,) pada
kedua kelompok yang mendukung hipotesis pertama, Hasilnya menunjukkan signifikasi tidak
bisa di ff karena pengetahuan analgesic (p = o,o48), pengetahuan tentang skala nyeri (p=0,004),
dan pengetahuan tentang metode intervensi nyeri 9p_0,031). Tidak ada signifikasi yang tidak
bisa di ff karena selisih anatara kelompok dalam pengetahuan umum tentang rasa sakit (P=0,629)
dan pengetahuan tentang analgesic klasifikasi kation (p=0,924). Hipotesis dari keduanya adalah
bahwa peserta yang mengikuti program pendidikan akan memiliki peribahan yang lebih tinggi
dalam skor mereka untuk sikap terhadap manajemen nyeri daripada mereka yang tidak mengikuti
program. Hipotesis kedua ditolak karena tidak ada signifikasi tidak bisa di ff karena selisih
anatar keduakelompok (p=164). Hipotesis ketiga adalah bahwa peseta yang menghadiri program
akan memiliki perubahan yang lebih tinggi dalam keberhasilan self e-FFI unruk manajemen
nyeri pada merekan yang tidak mengambil kelas. Keberhasilan self e-FFI dari kelompok
eksperimen meningkat secara signig=fikan dibandingkan dengan kelompok kontrol (p-0,030).
Maka dari itu hipotesis ketiga akan didukung.

12. Kesimpulan: Sebagian besar perawat yang menghabiskan waktu untuk mengelola nyeri
akut, seperti Perawat yang bekerja di PACU, bangsal bedah, ICU dan IGD dapat meningkatkan
pengetahuan mereka tentang rasa sakit atau nyeri dan bagaimana memberikan tindakan pada
manajemen nyeri yang efektif pada parktek klinis mereka dengan mengambil program
pendidikan yang ditargetkan. Program ini akan menjadi benefit bagi mahasiswa keperawatan
pada manajemen nyeri dan diajarkan tidak hanya pembelajaran dikelas saja tetapi dalam
praktikum klinis. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk studi dimasa yang
akan datang dengan sampel yang lebih besar , studi tambahan juga harus mentindaklanjuti hasil
penelitian ini untuk menentukan apakah pengetahuan harus ditingkatkan bagi perawat dan sikap
pada pendidikan manajemen nyeri dapat terus dipertahankan setelah pendidikan.
ARTIKEL 2
1. Judul : Knowledge, attitudes, and practices of Cameroonian physicians with regards to acute
pain management in the emergency department: a multicenter cross-sectional study.
(Pengetahuan, sikap, dan praktek dokter Kamerun berkaitan dengan manajemen nyeri akut di
departemen darurat: sebuah studi multicenter cross-sectional).
2. Pengarang : Paul Owono Etoundi , Junette Arlette Metogo Mbengono , Ferdinand Ndom
Ntock ,Joel Noutakdie Tochie ,Dominique Christelle Anaba Ndom, Francky Teddy Endomba
Angong, Gérard Beyiha,andJacqueline Ze Minkande
3. Tahun Terbitan : 2019
4. Background : Nyeri adalah keluhan yang paling sering muncul pada pasien yang
berkonsultasi atau dirawat darurat departemen (ED). Dengan demikian, manajemen akutnya
sering dilakukan oleh dokter yang bekerja di UGD. Para dokter ini adalah seringkali dokter
umum dan bukan dokter pengobatan darurat di rangkaian miskin sumber daya. Oleh karena itu,
penguasaan manajemen nyeri oleh dokter-dokter ini mungkin penting dalam menghilangkan
nyeri akut.
5. Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengetahuan, untuk menentukan sikap
dan praktik dokter dalam pengelolaan nyeri di UGD Kamerun.
6. Lokasi Penelitian : Lima rumah sakit tersier di Yaounde, kota politik Kamerun. Lima rumah
sakit adalah Gyneco-Obstetri dan Pediatrics Rumah Sakit Yaoundé (HGOPY), Rumah Sakit
Umum Yaoundé (HGY), Pusat Darurat Nasional Yaoundé (Cury), Rumah Sakit Pusat
Universitas Yaoundé (Chuy) dan Rumah Sakit Pusat Yaoundé (HCY).
7. Populasi dan sampel : Hasil: Sebanyak 58 dokter dilibatkan; 18 magang atau penghuni dan
39 dokter umum. Usia rata-rata mereka adalah 28,6 ± 3 tahun dan jumlah rata-rata tahun praktik
mereka adalah 2,9 tahun. Sampel sebanyak 58 dokter dilibatkan; 18 magang atau penghuni dan
39 dokter umum. Sampel itu didapatkan dari 5 rumah sakit yang ada di kamerun.
8. Proses Pengambilan data : Pengambilan data dilakukan pada tanggal 1 Juni 2018, sampai
dengan 30 September 2018 di Kamerun, kemudian melakukan wawancara-administrasi dari
pretested 32-item kuesioner. Kriteria Inklusi : Tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek berkaitan
dengan manajemen nyeri akut dokter yang bekerja di eds rumah sakit rujukan utama Kamerun,
responden bersedia untuk turut serta dalam penelitian ini dengan suka rela.
9. Analisis data : Analisis data yang digunakan adalah SPSS
10. Etik : Penelitian ini telah lulus uji etik dari komisi etik Departemen Anestesiologi dan
Perawatan Kritis, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Biomedis, Universitas Yaounde, Kamerun.
11. Hasil : Sebanyak 58 dokter dilibatkan; 18 magang atau penghuni dan 39 dokter umum. Usia
rata-rata mereka adalah 28,6 ± 3 tahun dan jumlah rata-rata tahun praktik mereka adalah 2,9
tahun. Tingkat pengetahuan dinilai "Buruk" pada 77,6% dokter. Menjadi seorang dokter umum
secara signifikan dikaitkan dengan tingkat miskin pengetahuan (p = 0,02; OR = 5.1). Kami
menemukan korelasi negatif dan signifikan antara pengetahuan dan tahun latihan (p = 0,04; r2 =
0,06). Lebih dari tiga perempat (82,8%) dari peserta menggunakan skala nyeri untuk
mengevaluasi keparahan rasa sakit. Skala yang paling banyak digunakan adalah Skala Analog
Visual (56,9%). Analgesik yang paling sering digunakan adalah parasetamol (98,3%), meskipun
hanya 3,5% dari dokter yang benar tahu waktu paruhnya, penundaan timbulnya tindakan dan
durasi aksi.
12. Pembahasan : Penelitian ini adalah salah satu yang pertama untuk menilai pengetahuan,
untuk termine sikap dan praktik dokter dalam peningkatan nyeri akut di UGD Kamerun. Kami
menemukan bahwa tingkat pengetahuannya “buruk” dan secara signifikan terkait dibiasi dengan
menjadi dokter umum. Selanjutnya disana adalah korelasi negatif dan signifikan antara
pengetahuan birai dan praktik bertahun-tahun. Lebih dari tiga perempat dari peserta
menggunakan skala nyeri untuk mengevaluasi tingkat keparahan nyeri. Skala yang paling banyak
digunakan adalah Skala Analog Visual. analgesik yang sering digunakan adalah parasetamol,
meskipun hanya 3,5% dari peserta tahu waktu paruh yang tepat, keterlambatan onsetaksi dan
durasi aksi. Tingkat pengetahuan rata-rata buruk dan lebih rendah dari yang ditemukan oleh
Zanolin et al.di Italia dan oleh Kheshti et al, di Iran menggunakan lintas serupa survei sectional
seperti dalam penelitian ini. Ini rendah tingkat pengetahuan tentang manajemen nyeri dalam
perbandingan anak dengan yang ditemukan dalam literatur bisa jadi tersinggung oleh kurangnya
kursus penyegaran pada nyeri akut manajemen yang dilakukan oleh dokter yang bekerja di ED
Kamerun . Praktisi umum memiliki skor pengetahuan yang lebih rendah daripada penduduk dan
pekerja magang dan tingkat pengetahuan mereka adalah berkorelasi dengan jumlah tahun
pengalaman profesional mereka perience. Ini dapat menyimpulkan bahwa bertahun-tahun klinis
yang panjang pengalaman, dokter umum Kamerun cenderung mengambil lebih sedikit kursus
penyegaran untuk mempertahankan atau meningkatkan pengetahuan mereka langkah pada
manajemen nyeri dibandingkan dengan dokter (pekerja magang) menjalani program spesialisasi.
Ini berbeda dengan studi cross-sectional Lebanon sebelumnya yang menunjukkan dokter yang
tidak berpengalaman memiliki tingkat yang lebih rendah pengetahuan tentang manajemen nyeri.
Lebih kontradiktif hasilnya diperoleh dalam survei cross-sectional Iran yang mengamati korelasi
positif dan signifikan antara tween jumlah tahun pengalaman profesional dan tingkat
pengetahuan tentang manajemen nyeri (p = 0,002, r = 0,03). Perbedaan antara temuan kami dan
yang sebelumnya penelitian yang dilakukan, dapat dijelaskan dengan tidak adanya kursus
penyegaran reguler yang diselenggarakan di terbatas sumber daya kami pengaturan untuk terus
melatih dan memperbarui dokter tentang rasa sakit manajemen di UGD. Skala yang paling
banyak digunakan untuk menilai keparahan nyeri adalah VAS (56,9%) mungkin dijelaskan oleh
kesederhanaan klinisnya aplikasi. Sebaliknya, dalam survei serupa, Nasser et al menemukan
bahwa skala keparahan nyeri yang paling banyak digunakan adalah skala verbal sederhana juga
disebut skala penilaian verbal (72,5%). VAS hanya digunakan oleh 29% dokter. Analgesik yang
paling banyak digunakan adalah parasetamol sedangkan yang paling sedikit yang digunakan
adalah morfin. Ini bisa dijelaskan oleh fisi ketakutan cians akan efek samping morfin terutama
distress spiratory yang dapat berakibat fatal pada beberapa pasien. Hasil dari penelitian ini harus
diatur dalam konteks keterbatasannya. Pertama, itu jumlah peserta yang relatif kecil (n = 58),
menyiratkan generalisasi temuan secara hati-hati kepada keseluruhan Kamerun dan negara
berpenghasilan rendah dan menengah lainnya. Namun demikian, kami mencatat tingkat respons
yang tinggi sebesar 77,3%. Tain dan desain studi multicenter dilakukan di lima rumah sakit
rujukan utama Kamerun, di mana luasnya sebagian besar dokter di negara itu bekerja atau
berlatih. Dengan sedikit atau tidak ada studi serupa sebelumnya, studi saat ini demikian
kontribusi yang tak ternilai bagi kelangkaan data di Internet manajemen nyeri di UGD sub-
Sahara Afrika.
13. Kesimpulan : Studi ini menunjukkan rendahnya pengetahuan dokter tentang manajemen
nyeri akut pengembangan, serta praktik suboptimal, khususnya di Indonesia hal manajemen
nyeri akut. Praktek umum dan lebih banyak pengalaman profesional yang disukai sikap-sikap ini.
Secara keseluruhan, penelitian ini menekankan urgensi perlu mengatur kursus penyegaran rutin
pada nyeri akut manajemen untuk dokter yang bekerja di UGD. Ukuran sampel yang lebih besar
dan studi multinasional diperlukan untuk memberikan hasil yang lebih konklusif.
ARTIKEL 3.
1. Judul : Combating the Opioid Epidemic in Acute General Surgery: Reframing Inpatient Acute
Pain Management. (Memerangi Epidemi Opioid pada bedah umum akut; Membingkai ulang
penanganan nyeri akut pada pasien rawat inap) ).
2. Pengarang : BrookeAnne Magrum, PharmD,a, Kristin Brower, PharmD, BCPS,a Daniel
Eiferman, MD,b Chelsea Horwood, MD,b, Michelle Nguyen, MD, MPH,b Anna Buehl, RN,c
Eric McLaughlin, MS,d and Lisa Mostafavifar, PharmD, BCPS, BCNSPa.
Tahun : 2020
3. Latar Belakang: lebih dari 100 orang diamerika serikat meninggal setiap hari akibat dari
over dosis opioid. Masalah dalam hal penyalahgunaan opioid terus meningkat kearah yang
memgkhawatirkan. Pada tahun 2016 persatuan anaesthesi nasional menerbitkan pedoman baru
penagnana nyeri pasca operasi dengan merekomendasikan pendekatan multimodal untuk
penanganan nyeri. Efek buruk dari epidemic opioid telah didokumentasikan dengan baik. Kami
menerapkan inisiatif pengurangan ipioid pada ahli bedah / farmcist di pusat medis akademik yan
gmenggabungkan terapi nyeri multimodal dalam upaya untuk mengurangi total oipioid yang
telah diresepkan pada pasien rawat inap. Kami berhipotesis bahwa opioid yang lebih sedikit akan
digunakan pasca operasi tanpa mempengaruhi skor rasa sakit atau lama tinggal
4. Tujuan :
- Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengevaluasi OMEs(oral morphine
equivalents)/equivalent morfin oral dan skor nyeri rata-rata pada pasien yang menjalani
salah satu dari 10 prosedur bedah umum darurat (nontrauma) di OSUWMC (Ohio State
University Wexner Medical Center) dalam kelompok pre-inisiatif pengurangan opioid
dan kelompok post-inisiatif pengurangan opioid
- Tujuan sekunder
Tujuan sekunder adalah untuk mengevaluasi penggunaan terapi multimodal, derajat
fungsional, kemampuan pembacaan derajat nyeri, dan peresepan terapi multi-modal dan
opioid
5. Lokasi Penelitian : OSUWMC (Ohio State University Wexner Medical Center)
6. Populasi dan Sampel : pasien bedah umumm akut di OSUWMC (Ohio State University
Wexner Medical Center). Kelompok pre-inisiatif pengurangan opioid 1564 dan kelompok post-
inisiatif pengurangan opioid 1742 memenuhi syarat uhntuk dimasukkan. Kemduain dikeluarkan
sebanyak pre-inisiatif pengurangan opioid 1481 dan kelompok post-inisiatif pengurangan opioid
1650. Kohort akhir adalah 175 pasien diantaranya pre-inisiatif pengurangan opioid 83 dan
kelompok post-inisiatif pengurangan opioid 92
7. Proses Pengambilan data : data dikumpulkan melaluai rekam medis elektronik pasien.
Kriteria Inklusi : Usia 18-89 tahun yang dirawat di Layanan Bedah Umum Akut di OSUWMC
antara 1 Januari 2014 hingga 31 Agustus 2014 dan 1 Januari 2017 hingga 31 Agustus 2017 yang
menjalani operasi umum yang baru muncul. Kriteria eksklusi : Pasien dirawat dengan cedera
traumatis, memiliki riwayat kanker atau kanker aktif, secara berturut-turut menggunakan obat
resep opioid yang bekerja langsung untuk lebih dari atau sama dengan 3 bulan sebelum masuk
atau dengan penggunaan obat resep opioid yang bekerja dalam waktu lama. 1 bulan masuk, telah
mendokumentasikan riwayat penyalahgunaan obat intravena, atau mendokumentasikan ileus
pasca operasi selama masuk. Juga dikeluarkan adalah pasien yang menjalani perbaikan hernia
ventral dengan ahli bedah menggunakan protokol ERAS, appendektomi laparoskopi, atau
kistektomi laparoskopi, pasien yang dirawat atau dipindahkan ke unit perawatan intensif bedah
atau Rumah Sakit Kanker James, dan populasi pasien yang dilindungi, termasuk tahanan dan
hamil wanita
8. Analisis data : Analisis data yang digunakan adalah SPSS yaitu :
- Uji Fisher digunakan untuk tahun pembedahan dan kovariat lainnya untuk variable
kategori
- Tes wilcokson rank sum untuk variable kontiniu
- Test kruskal-wallis digunakan untuk membandingkan pasien berdasarkan tahun dan
penerimaan beberapa prosedur operasi yang sama
- Uji eksak fisher. Penggunaan terapi nyeri multimodal dibandingkan antara tahun
- Model regresi linear longitudinal digunakan untuk menilai perbedaan dalam OMEs(oral
morphine equivalents)/equivalent morfin oral pada hari 0, 1, 3 dan 7 sambil
menyesuaikan usia, jenis kelamin,
9. Hasil: Delapan puluh tiga pasien dalam kelompok inisiatif pengurangan preopioid dan 92
pasien dalam kelompok inisiatif reduksi postopioid memenuhi kriteria inklusi. Setara morfin oral
berbeda secara signifikan pada 24 jam sebelum keluar ketika membandingkan di kedua tahun (P
¼ 0,032) dan jumlah prosedur (P ¼ 0,013). Hasil kami menunjukkan penurunan pemanfaatan
opioid pada kelompok inisiatif reduksi postopioid pada semua hari pasca operasi yang diamati
dengan skor nyeri yang tidak terpengaruh.

10. Kesimpulan: Inisiatif pengurangan opioid menunjukkan harapan dalam menurunkan jumlah
opioid yang digunakan selama rawat inap tanpa mempengaruhi skor nyeri pada prosedur bedah
umum yang muncul. Inisiatif ini dapat dengan mudah direproduksi di lembaga lain untuk
membantu memerangi epidemi opioid.
ARTIKEL 4
1. Judul : Acute Pain Assessment in Sedated Patients in the Postanesthesia Care Unit

2. Peneliti : Sherily Pereira-Morales, RNA, PhD, Carmen M. Arroyo-Novoa, RN, PhD, Annette


Wysocki, RN, PhD, and Lucille Sanzero Eller, RN, PhD

3. Tahun Penelitian : 2018

4. Latar Belakang : Nyeri akut pasca operasi tetap tidak cukup dinilai dan dikelola. A valid
instrumen yang menilai nyeri akut pada pasien sedasi postanesthesia unit perawatan (PACU)
diperlukan.

5. Tujuan Penelitian: Tujuan penelitian ini adalah menilai instrument penilaian yang memadai
untuk menilai nyeri akut di PCU yaitu Dua instrumen penilaian nyeri perilaku, skala nyeri
nonverbal direvisi (NVPS-R) dan alat observasi nyeri perawatan kritis (CPOT).
6. Metode Penelitian : Desain penelitian yang digunakan adalah crossover

7. Populasi dan Sampel Penelitian : Sampel penelitian ini adalah 40 orang pasien yang
menjalani operasi perut, panggul, gastrointestinal, atau ginekologi.

8. Cara Pengambilan data : Proses pengambilan data dilakukan dari tanggal 20 Oktober – 2
Desember 2015 di Pusat Medis Puerto Riko. Kriteria Inklusi pasien diantarnya : berusia lebih
dari 21 tahun, mengisi inform konsen, mendapatkan anastesi umum selama operasi, mampu
bernapas dengan spontan, tidak dapat melaporkan rasa sakit menggunakan skala verbal
tradisional pada saat kedatangan di PACU, dan telah dilakkan pengkajian sedasi dengan skala
Richmond. Sedangkan kriteria kksklusi dari penelitian ini jika mendapatkan anastesi spinal dan
epidural,memiliki gangguan kognitif, dan batal dioperasi.

9. Analisis Data : Analisis data menggunakan test Kruskal Wallis u ntuk mendapatkan
perbandingan assessmen menggunakan CPOT dan NVPS-R dengan indicator vital sign pasien
yaitu Heart Rate, Mean Arterial Preeseure (MAP), Respiratory Rate, dan SPO2 Analisis
menggunakan Stata Versi 14.
10. Hasil Penelitian : Temuan penelitian ini memberikan bukti untuk mendukung hubungan
antara CPOT dan NVPS-R dalam indikator perilaku tertentu termasuk ekspresi wajah,
ketegangan otot, dan gerakan tubuh. Skor nyeri pada kedua instrumen, berdasarkan indikator
perilaku, sangat berkorelasi. Studi lain dengan sedasi, pasien perawatan kritis menetapkan
keandalan indikator nyeri perilaku, yang mendukung korelasi yang diamati antara CPOT dan
NVPS-R dalam penelitian ini.26,27 Namun, meskipun mengamati hubungan antara skor nyeri
total pada kedua skala, temuan yang dilaporkan di sini menunjukkan bahwa tanda-tanda vital,
seperti yang diukur oleh NVPS-R, bukanlah indikator konsisten dari nyeri akut yang signifikan
pada pasien PACU yang dibius. Temuan ini didukung oleh penulis lain, yang telah
mengindikasikan bahwa perubahan tanda-tanda vital mungkin tidak spesifik untuk nyeri, dan
indikator fisiologis kurang sensitif dalam menilai nyeri akut. Sebaliknya, temuan bahwa
frekuensi vokalisasi, sebagaimana diukur oleh CPOT, adalah indikator yang konsisten dari rasa
sakit yang signifikan, memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Perbedaan utama yang diamati
antara 2 instrumen penilaian nyeri perilaku adalah bahwa indikator vokalisasi CPOT, pada
pasien dengan nyeri yang signifikan, adalah indikator nyeri yang paling sering dibandingkan
dengan indikator fisiologis dan pernapasan NVPS-R. Ini menunjukkan keunggulan CPOT untuk
penilaian nyeri akut pada pasien PACU yang dibius. Tidak ada penelitian untuk mendukung dan
merekomendasikan instrumen penilaian nyeri spesifik untuk pasien yang diberi obat penenang
yang tidak dapat melaporkan nyeri pada PACU. Hal ini dapat menyebabkan penilaian yang tidak
akurat dan perawatan nyeri akut, dan meningkatkan kesenjangan dalam standar perawatan untuk
penilaian dan manajemen nyeri. Pasien yang dibius yang dinilai secara akurat dan dirawat secara
memadai untuk nyeri akut di PACU mungkin memiliki tingkat komplikasi pasca operasi yang
lebih rendah.
11. Kesimpulan : Berdasarkan dari hasil penelitian ini mengatakan bahwa Temuan
menunjukkan bahwa NVPS-R dan CPOT dapat menilai nyeri akut pada pasien PACU yang
dibius. Pada pasien dengan nyeri yang signifikan, indikator vokalisasi CPOT lebih konsisten
daripada indikator fisiologis dan pernapasan dalam mendeteksi nyeri akut. Dengan demikian,
data kami tidak mendukung penggunaan indikator tanda vital secara eksklusif untuk menilai
nyeri akut, menunjukkan keunggulan CPOT untuk penilaian nyeri akut pada pasien PACU yang
dibius.
ARTIKEL 5
1. Judul : Pengembangan Profesional Keperawatan Berhubungan dengan Kemampuan Perawat
dalam Mengatasi Nyeri Pasien
2. Peneliti : Tri Mulia Herawati , Rr. Tutik Sri Hariyati , Efy Afifah
3. Tahun : 2017
4. Latar Belakang : Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPB) merupakan komponen
sistem jenjang karir dimana perenca5. naan dan implementasi perencanaan karir dapat
memengaruhi proses kehidupan perawat. Jenjang karir di beberapa RS telah dilaksanakan namun
kadangkala belum selaras dengan pelaksanaan rekrutmen, rotasi, pengembangan professional
berkelanjutan dan promosi yang menjadi komponen tidak terpisah dari jenjang karir Kualitas
pelayanan keperawatan dapat dilihat dari pencapaian pelaksanaan indikator kualitas pelayanan
keperawatan. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu nosisepsi,
sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi
struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif
nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Rangsang
nyeri diterima oleh nosiseptor di kulit dan visera. Sel yang nekrotik akan melepaskan K+ dan
protein intrasel yang dapat mengakibatkan inflamasi. Mediator penyebab nyeri akan dilepaskan.
Leukotrien, prostatglandin E2 , dan histamin akan mensensitisasi nosiseptor selain itu lesi
jaringan juga mengaktifkan pembekuan darah sehingga melepaskan bradikinin dan serotonin.
Jika terdapat penyumbatan pembuluh darah, akan terjadi iskemia dan penimbunan K+ dan H+
ekstrasel yang diakibatkan akan semakin mengaktifkan nosiseptor yang telah tersensitasi.
Perangsangan nosiseptor melepaskan substansi peptide P (SP) dan peptide yang berhubungan
dengan gen kalsitonin (CGRP), yang meningkatkan respon inflamasi dan menyebabkan
vasodilatasi serta meningkatkan permeabilitas vaskular.
5. Tujuan Penelitian : mengidentifikasi pengaruh PPB dengan implementasi manajemen nyeri
di rumah sakit
6. Populasi dan Sampel : 121 perawat pelaksana dengan metode pemilihan ssimpel random
sampling
7. Proses Pengambilan data: Data dikumpulkan melalui data primer sebanyak 121 perawat
pelaksana serta data sekunder dokumen rekam medis pasien berisi catatan keperawatan terkait
manajemen nyeri yang terdiri dari pengkajian, intervensi dan re-evaluasi
8. Analisis data : Disain penelitian menggunakan deskriptif korelasi dengan pendekatan cross
sectional
10. Etik : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
11. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik perawat tidak memiliki hubungan
yang bermakna dengan implementasi manajemen nyeri di unit rawat inap. Hal ini didukung oleh
Abdullah, Sidin, dan Pasinringi (2014) dimana tidak ada hubungan yang signifikan antara
karakteristik individu (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan masa kerja) dengan kinerja
perawat pelaksana dalam pencegahan infeksi nosocomial. Namun hal ini tidak sejalan 44 Jurnal
Keperawatan Indonesia, Volume 20 No.1, Maret 2017, hal 40-47 dengan Kumajas, Warouw, dan
Bawotong (2014) yang menyimpulkan bahwa karakteristik individu yaitu umur, pendidikan,
masa kerja dan status pernikah memiliki hubungan yang signifikan dengan kinerja perawat di
RSUD Datoe Binangkang. Begitu pula Faura, Trilla, Lluch, Martinez, Canillas, dan Zabalegui
(2014) menyatakan bahwa pendidikan dan lama kerja perawat di RS memengaruhi tingkat
kemahiran dalam memberikan pelayanan pada pasien yang akan memengaruhi kualitas
pelayanan itu sendiri. Di rumah sakit, faktor usia menjadi salah satu pertimbangan pada proses
rekrutmen calon karyawan, dengan harapan memiliki jiwa energik dan semangat tinggi serta
menyukai tantangan baru namun tetap memegang prinsip dan nilai dasarnya. Begitu pula dengan
faktor pendidikan yang menjadi pertimbangan dalam penempatan area kerja perawat baru (Any,
Idris, Mukammala, & Matindas, 2012). Sistem jenjang karir di unit rawat inap RS telah
dilaksanakan namun belum optimal. Proses rekrutmen dan seleksi perawat baru dilakukan
melalui tes tulis dan wawancara pengetahuan keperawatan namun belum berfokus pada
manajemen nyeri. Rahim (2015) menyatakan bahwa peningkatan perlindungan pada masyarakat
pengguna layanan RS melalui proses identifikasi pengetahuan, keterampilan dan perilaku
perawat. Proses magang perawat baru, telah dilakukan bagi seluruh perawat baru namun tidak
selama 1 tahun. Kim, Lee, Eudey, Lounsbury, dan Wede (2015) membandingkan pelaksanaan
pre dan post program residensi selama 12–15 minggu pada 114 perawat di California
memberikan dampak positif setelah pelaksanaan program. Proses pemetaan perawat lama telah
dilakukan, terbatas pada pendidikan keperawatan terakhir, pelatihan yang pernah diikuti, lama
kerja, serta rekapitulasi profil perawat berdasarkan penjenjangan karir. Proses pemetaan level
karir keperawatan didasarkan pada 3 jenjang yaitu junior nurse (junior nurse 1 & 2), senior nurse
(senior nurse 1 & 2), shift charge nurse. Shermont, Krepcio, dan Murphy (2009) menyatakan
bahwa pemetaan karir perawat memberikan banyak keuntungan, tidak hanya bagi perawat tapi
juga eksekutif keperawatan karena dapat memberikan semangat baru bagi perawat pelaksana,
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman yang dilalui, persiapan posisi
sebagai pemimpin, perencanaan karir, serta pemberian kesempatan pengembangan karir internal
dengan berpindah ke unit lain. Jenjang Junior Nurse memiliki proporsi lebih banyak (68%)
dikarenakan perbandingan jumlah Shift Charge Nurse (8,26%) yang lebih sedikit dari
keseluruhan perawat di unit rawat inap rumah sakit. Tenaga keperawatan yang kompeten
merupakan tanggung jawab utama bagi perawat manajer guna memastikan keselamatan pasien,
kepuasan kerja perawat serta produktifitas. Peningkatkan jumlah registered nurse (RN) atau
perawat teregistrasi merupakan strategi terbaik guna memberikan kualitas pelayanan yang tinggi
(Young, Lee, Sands, & McCombs, 2015). Kualitas pelayanan pasien menjadi sangat baik jika
didukung oleh meningkatnya jumlah perawat teregistrasi, peningkatan kualitas dibuktikan
dengan menurunnya angka mortalitas, angka kejadian infeksi pada pasien, menurunnya lama
masa rawat dan juga turunnya angka dirawat kembali atau readmission. Level perawat yang
rendah memberikan pengaruh pada kesalahan pemberian obat dan juga tidak terlaksananya
pemberian asuhan keperawatan (Griffith, et al., 2014). Asesmen kompetensi bagi perawat klinik
dilakukan secara berkala setiap 6 bulan bagi karyawan berstatus pegawai kontrak waktu tak
tertentu. Setiap calon karyawan akan mengikuti masa pra kerja selamanya 2 tahun dan jika
dianggap memenuhi standar profesi keperawatan akan ditempatkan pada jenjang sesuai hasil
Herawati, et al., Pengembangan Profesional Keperawatan dengan Kemampuan Perawat
Mengatasi Nyeri Pasien 45 proses seleksi administrasi. Peningkatan jenjang karir dari junior
nurse 1 ke 2 atau senior nurse 1 ke 2, dilakukan secara otomatis setelah mealui 2–3 tahun masa
kerja. Sedangkan perawat yang akan meningkat dari jenjang junior nurse ke senior nurse atau
senior nurse ke shift charge nurse harus melalui proses penilaian kompetensi, tes tulis,
wawancara serta psikotes. Namun asesmen kompetensi terkait manajemen nyeri, belum tertuang
dalam uraian tugas perawat klinik. Hal ini tidaksejalan dengan PPNI yang menetapkan bahwa
salah satu kompetensi minimal perawat generalis adalah melakukan tanda-tanda vital dan
pengkajian nyeri merupakan tanda vital kelima (Hariyati, 2014; Vadivelu, Mitra, Hines, Elia, &
Rosenquist, 2012). Kemenkes (2013) memperkuat bahwa proses asesmen kompetensi dapat
dilakukan dengan mengajukan permohonan asesmen, melakukan asesmen mandiri, pra
konsultasi hingga usulan banding. Proses kredensial masih belum dilaksanakan karena belum
memiliki komite keperawatan. Hal ini tergambar pada hasil penelitian, bahwa persepsi perawat
tentang kredensial bera pada nilai 1 (rentang 0 – 5). Permenkes no.49 (2013) menyatakan bahwa
kredensial merupakan proses pemastian kemampuan tenaga keperawatan sebelum diberikan
kelayakan kewenangan klinis yang bertujuan untuk peningkatan kualitas dan proses pemberian
pelayanan kesehatan. Needleman, Dittus, Pittman, Spetz, Newhouse (2014) mendukung bahwa
kredesial memastikan dan memperjelas peran perawat serta anggota tim kesehatan lain. Kriteria
hasil pelaksanaannya adalah peningkatan kompetensi dan performa perawat, peningkatan hasil
kerja organisasi serta perbaikan struktur budaya organisasi, kepemimpinan dan iklim organisasi.
Kewenangan klinis merupakan komponen akhir dari system jenjang karir, yang menunjukkan
nilai median 1 (rentang 0 – 2). Implementasi di RS dilakukan dengan cara memberikan surat
keputusan direktur sebagai bentuk pemberian kewenangan mengacu pada deskripsi kerja masing-
masing jenjang. Hal ini tidak sejalan dengan AANA (2005) yang menyatakan bahwa
kewenangan klinis merupakan pengakuan terhadap individu oleh suatu institusi dalam
memberikan pelayanan pada pasien. Kemenkes (2013) menyatakan bahwa pemberian
kewenangan klinis tenaga keperawatan oleh direktur RS dilakukan melalui penerbitan surat
penugasan klinis kepada perawat yang bersangkutan berdasarkan rekomendasi Komite
Keperawatan. Buku putih merupakan salah satu dokumen yang berisi syarat-syarat yang harus
dipenuhi tenaga keperawatan yang digunakan untuk menentukan kewenangan klinis. Pemodelan
akhir pada penelitian ini menyatakan bahwa Pengembangan Profesional Berkelanjutan yang
merupakan bagian dari sistem jenjang karir memberikan pengaruh dalam pelaksanaan
manajemen nyeri oleh perawat klinik. Hasil penelitian ini mendukung riset sebelumnya yang
menyimpulkan bahwa jika PPB direncanakan dengan baik dapat berdampak pada peningkatan
kompetensi dan keterampilan perawat (DeSilets & Dickerson, 2010). Program PPB terakreditasi
yang diikuti oleh perawat dapat memperbaiki praktik keperawatan, PPB juga merupakan
pembelajaran jangka panjang yang dapat meningkatkan kemampuan kritis perawat itu sendiri
(Kemp & Baker, 2013). Staf perawat, sebanyak 200 orang, yang terlibat penelitian pada 2 RS
dan 13 rumah perawatan menggambarkan bahwa persepsi positif dirasakan pada proses CPD
atau PPB. Selain itu, gaya kepemimpinan serta respon para manajer untuk melakukan perubahan
juga memengaruhi pengembangan jenjang karir para perawat tersebut (Hughes, 2005; Staniland,
Rosen, & Wild, 2011). Analisis kebutuhan pelatihan atau Training Needs Analysis (TNA)
merupakan salah satu perencanaan yang dapat dilakukan secara lebih komprehensif dan pro-aktif
dengan melihat 46 Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 20 No.1, Maret 2017, hal 40-47
kebutuhan pelayanan. Perawat manajer dan pimpinan pelayanan keperawatan bertanggung jawab
dalam memperhitungkan anggaran biaya pelatihan (Staniland, 2011). PPB menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam implementasi jenjang karir dan dalam upaya meningkatkan kemampuan
praktik keperawatan.
12. Kesimpulan Jenjang karir keperawatan merupakan proses kehidupan dan pengembangan
profesional keperawatan secara terus menerus. PPB merupakan variabel yang paling
berhubungan dengan implementasi manajemen nyeri. Pimpinan dan Manajemen Keperawatan
disarankan untuk membuat analisis kebutuhan training sehingga pelaksanaan PPB sesuai dengan
kebutuhan dan tujuan organisasi. Bagi staf perawat, diharapkan dapat membuat prioritas dalam
pengembangan karirnya guna meningkatkan kompetensi dirinya, melibatkan diri dalam aktifitas
coaching, pengembangan karir, mentoring, training internal serta proyek kerja keperawatan
lainnya dan melakukan self assessment secara periodik guna perencanaan pengembangan
karirnya (TN, HR, PN).
ARTIKEL 6.
1. Judul : Acute Pain in Older Adults Recommendations for Assessment and Treatment

2. Peneliti : Jay Rajan, Matthias Behrends

3. Tahun : 2019

4. Lokasi Penelitian : San Francisco, USA

5. Latar Belakang : Penanganan nyeri akut perlu dilakukan khusus pada orang dewasa yang
sudah tua, yang mana usianya 65 tahun atau lebih. Perubahan fisiologis akan terjadi ketika lanjut
usia yang mana dapat memepengaruhi bagaimana rasa sakit yang didiagnosa dan dikelola. Nyeri
akut pasca operasi sangat tinggi yang mana harus menentukan perawatan yang tepat. Dengan
manajamen nyeri akut yang efektif terhadap pasien yang sudah tua maka akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas, sehingga pemulihannya akan lebih cepat, perawatan di rumah sakit
tidak lama, dan menurunkan biaya perawatan kesehatan. Pada pasien lanjut usia sering memiliki
komorbiditas yang berkaitan dengan usia, gaya hidup, dan genetika yang dapat mempengaruhi
penilaian nyeri dan pengobatan. Salah satu masalah nyeri akut pada pasien usia lanjut adalah
undertreatment pada sakit. Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa kekhawatiran budaya dapat
merusak manajemen nyeri yang tepat, sakit pada orang lanjut usia memiliki konsekuensi yang
mengganggu. Kepekaan rasa sakit pada usia lanjut sering diremehkannya dan nyeri diasumsikan
bagian dari proses penuaan. Pengobatan nyeri pada orang dewasa menjadi rumit karena isu-isu
yang berkaiatan tentang informed consent, persetujuan, dan pengambilan keputusan. Yang mana
apabila pasien susah untuk mengekspresikan maka pelayanan kesehatan akan terhambat.
Permasalahan dalam persetujuan perlu diatasi ketika pasien dilakukan untuk prosedur bedah atau
intervensi pada manajemen nyeri. Semua nyeri akut harus dinilai dan dilakukan dengan cara
yang tepat, maka pertimbangan yang harus dibayar harus canggih untuk modalitas pengobatan
kepada pasien

Tujuan penelitian: untuk memberikan intervensi analgesic yang dapat mencapai nyeri dengan
efek samping yang minimal, yang mana orang lanjut usia resiko untuk mengembangkan delirium
dan penurunan kognitif pada pasca operasi.
6. Pembahasan :

a. Penialan nyeri: Metode untuk penialain nyeri adalah dengan skala analog visual dan skala
nyeri menggunakan skor numeric. Mengingat tingginya isiden gangguan kognitif dengan
perubahan neurologis perifer dapat mengubah rasa sakit, namun, penilaian nyeri pada usia lanjt
dapat melampaui dari dua metode ini. Pada penilaian nyeri pada pasien yang lebih muda
dilakukan scoring numeric, skala analog visual, skala deskripsi verbal, tetapi skala dilakukan
bagi mereka yang masih efektif dalam verbalnya. Pada pasien dengan gangguan nonverbal maka
dilakukan pengamatan tool critical care home (CPOT) dan skala

b. Intervensi: manajemen nyeri yang terlalu agresif dapat mengakibatkan disfungsi kognitif,
delirium, sedasi atau mengalami jatuh. Banyak obat dan intervensi yang memiliki efek samping
yang tidak menguntungkan, justru mengakibatkan disfungsi organ. Untuk mencapai
keseimbangan yang tepat dnegan kontrol nyeri yang baik dan menghindari efek samping yang
muncul.

c. Obat acetaminophen: dikenal dengan paracetamol, yeng meruopakan obat analgesic yang
lemah dengan kemanan yang dapat ditoleransi. Sedangkan monoterapi dengan acetaminophen
untuk nyeri ringan. Acetaminophen dapat mengurangi insiden delirium pada orang dewasa atau
lanjut usia setelah operasi.

d. Obat nonstreroidal anti-inflammatory: aobat anti inflamasi non steroid (OAINS) adalah
obat analgesic dan antiinflamasi yang baik. Obat ini dapat menghambat berbagai isoform dari
enzimung jawab untuk memproduksi siklooksigenase yang bertanggung jawab untuk
memproduksi prostaglandin. Efek obat ini adlah untuk pengobatan nyeri akut yang baik, namun
efek samping dari obat ini harus diperhatikan bagi pasien yang lanjut usia.

e. Obat Gabapentinoids (gabapentin dan pregabalin): merupakan obat nyeri neuropatik dan
obat nyeri akut pascaoperasi. Mekanisme obat ini dapat menstimulus oenurunan penghambatan,
penghambatan menurun untk fasilitas serotonergic, dan penghambatan mediator inflamasi.
Penggunaan obat ini didukung oleh Amerika Pain Society dan sangat menguntungkan untuk
pasien nyeri akut pada usia lanjut. Efek samping dari obat ini adalah pusing dan mengantuk.
f. Obat ketamine: obat biaus atau obat analgesic. Dengan infus ketamine dapat meningkatkan
kontrol nyeri dan mengurangio kebutuhan opioid pada nyeri akut. Msekipun analgesic in sangat
baik untuk usia lanjut, ada efek samping dari obat ini adalah bisa menimbulkan kebingungan,
halusinasi, dan ketakutan.

g. Obat lidocaine sistemik: Obat anestesi local yang memiliki efek analgesic sistemik apabila
diberikan melalui infus intervena. Pasien lanjut usia pasca operasi diberikan lidokain system
maka terbukti efektif untuk mengurangi skor nyeri pasca operasi.

h. Anastesi regional: saat anestesi regional dilakukan dengan tepat maka anestesi regional
perifer dan teknik anestesi neuraksial adalah suatu apalt yang paling efektif untuk manajemen
nyeri akut. Yang mana dapat mengurangi rasa sakit dan menjanjikan pengurangan morbiditas
dan mortalitas pada pasien.

i. Regional anestesi: membantu untuk menguranmgi efek samping seenmore dengan obat
sistemik, namun anestesi regional ini lebih menantang pada orang yang lanjut usia.

j. opioid: diberikan pada orang dewasa atau lanjut usiayang cenderung lebih kuat atau meiliki
durasi yang lebih lama pada tindakan, sehingga resiko dan efek sampingnya lebih tinggi. Terapi
opioid pada orang dawasa yang lebih tua prinsipnya sama saja dengan pasien yang lebih muda.
Akan tetapi medeperidine harus dihindari pada usia lanjut karena efek neurotoksik dan
deliriogemnil . pada pasien dewasa yang lanjut usia pengunaan dosisnya yaitu 25% sampai 50%
dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda. Analgesic pasien kontrol telah terbukti
untuk manajemen pasien lanjut usia dengan nyeri akut/

k. Analgesik multimodal: manajemen anyeri dengan penggunaan gabungan dari beberapa obat
analgesic dengan mekanisme dari tindakan untuk mengontrol rasa sakit dan mengurangi efek
samping pada dosis yang tinggi yang digunakan oleh pasien.

f. Analgesik preventif: untuk mengurangi nyeri pasca operasi. Mencegah sensilisasi sentral
dengan trauma operasi, dan mengurangi nyeri akut pasca operasi. Penurunan nyeri pasca operasi
dan persyaratan pada opioid termasuk ketamine.

7. Kesimpulan: pada penilaian dan pengobatan untuk manajemen nyeri harus membutuhkan
perhatian yang khusus terutama pada pasien lanjut usia. Pada pasien yang lanjut usia
membutuhkan perawatan khusus untuk penilaian yang tepat, karena perubahan pada
fisiologisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Etoundi, P. O., Mbengono, J. A. M., Ntock, F. N., Tochie, J. N., Ndom, D. C. A., Angong, F. T.
E., ... & Minkande, J. Z. (2019). Knowledge, attitudes, and practices of Cameroonian
physicians with regards to acute pain management in the emergency department: a
multicenter cross-sectional study. BMC emergency medicine, 19(1), 45.

Herawati, T. M., Hariyat, R., Sri, T., & Afifah, E. (2017). Pengembangan profesional
keperawatan berhubungan dengan kemampuan perawat dalam mengatasi nyeri pasien.

Magrum, B., Brower, K., Eiferman, D., Horwood, C., Nguyen, M., Buehl, A., ... & Mostafavifar,
L. (2020). Combating the Opioid Epidemic in Acute General Surgery: Reframing
Inpatient Acute Pain Management. Journal of Surgical Research, 251, 6-15.

Pereira-Morales, S., Arroyo-Novoa, C. M., Wysocki, A., & Eller, L. S. (2018). Acute pain
assessment in sedated patients in the postanesthesia care unit. The Clinical journal of
pain, 34(8), 700.

Rajan, J., & Behrends, M. (2019). Acute Pain in Older Adults: Recommendations for
Assessment and Treatment. Anesthesiology clinics, 37(3), 507-520.

Yoo, J., De Gagne, J. C., Kim, H. J., & Oh, J. (2019). Development and evaluation of a web-
based acute pain management education program for Korean registered nurses: A
randomized controlled trial. Nurse education in practice, 38, 7-13.

Anda mungkin juga menyukai