Anda di halaman 1dari 2

Salam.

Islam telah memberikan aturan-aturan tatkala seorang muslim dihadapkan kepada


situasi untuk memilih antara dua hal atau lebih, yang boleh jadi hal-hal tersebut nampak
bertentangan. Ia harus menentukan skala prioritas di antara hal-hal tersebut. Misal, pada
satu sisi ia harus melaksanakan shalat Jum`at, tetapi pada sisi lain ia juga harus mengikuti
imbauan pemerintah dan MUI agar menggantinya dengan shalat zhuhur karena adanya
pandemi. Contoh lain, antara kewajiban berhaji dan kewajiban membayar utang, mana yang
harus didahulukan.

Penentuan skala prioritas tersebut dapat terjadi dalam hampir di setiap sisi keberagamaan,
mulai ibadah, muamalah, sampai akhlak. Pengetahuan tentang bagaimana cara
menentukan prioritas tersebut—meminjam istilah yang dipakai Yusuf Qardhawi—disebut
dengan Fiqh al-Awlawiyah (Fiqih Prioritas), atau Fiqh Maratib al-A`mal (Fiqih Mengurutkan
Aktivitas), yakni aturan-aturan mengenai cara menentukan prioritas dalam kehidupan
beragama sehari-hari.

Memprioritas sesuatu daripada yang lain berarti menentukan bobot nilai yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Pertanyaannya: Apakah aktivitas (amal) beragama itu
bobot nilainya berbeda-beda? Jawabannya: Jelas berbeda. Mengenai iman yang cabangnya
ada 77, Nabi menyebutkan bahwa yang paling tinggi bobotnya adalah kalimat “la ilaha
illallah”, sedangkan yang paling rendah adalah membuang penghalang (yang mengganggu)
di jalan.

Dari hasil penelaahan terhadap ayat-ayat al-Qur’an mengenai aktivitas yang paling berat
mendapatkan pahala atau paling berat mendapatkan ancaman dari Allah, para ulama fiqih
kemudian memformulasi lima hukum taklif, yaitu—sesuai dengan urutan prioritasnya—wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram. Ini jelas menjadi acuan skala prioritas. Yang wajib
harus didahulukan daripada yang sunnah. Yang sunnah harus didahulukan daripada yang
mubah, dan seterusnya.

Dengan demikian, seorang muslim, sebelum menentukan skala prioritas, ia harus terlebih
dahulu mengetahui bobot nilai (hukum) segala sesuatu yang dihadapinya. Ia harus cerdas
menentukan bobot nilai. Sebab, tidak mungkin ia dapat melakukan penskalaan itu jika ia
tidak mengetahui bobot nilai hal-hal yang akan diskalakan. Salah dalam menentukan skala
prioritas akan berdampak negatif kepada banyak hal.

Coba perhatikan: Mana yang harus diprioritaskan: Menyumbang uang untuk membangun
mesjid di wilayah yang sudah banyak mesjidnya, atau menyumbang uang untuk
membangun mesjid di wilayah yang mesjidnya sangat jarang?; Menyibukkan diri dengan
ibadah sunnah di mesjid, atau menjalankan kewajiban mencari nafkah untuk keluarga?;
Mengejar pahala sunnah berjamaah di mesjid, atau menghindar bahaya penularan wabah?
Melaksanakan haji atau umrah berkali-kali, atau menyumbangkan uangnya untuk biaya
pendidikan orang-orang miskin di sekitarnya?

Simak nasehat Yusuf Qardhawi berikut ini:

“Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan
harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak
boleh diabaikan. Setiap perkara harus diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus,
tidak lebih dan kurang.” (Fiqh al-Awlawiyah).

Tengoklah firman Allah SWT. berikut ini:


‫ان‬ َ ‫ َوأَقِيمُوا ْال َو ْز َن ِب ْالقِسْ طِ َواَل ُت ْخسِ رُوا ْالم‬،‫ان‬
َ ‫ِيز‬ َ ‫ أَاَّل َت ْط َغ ْوا فِي ْالم‬،‫ان‬
ِ ‫ِيز‬ َ ‫ض َع ْالم‬
َ ‫ِيز‬ َ ‫وال َّس َما َء َر َف َع َها َو َو‬.َ

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), agar kamu
jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan
janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Q.S. al-Rahman/55:7—9).

Menentukan skala prioritas berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan benar. Ayat-
ayat di atas menegaskan bahwa Allah telah meletakkan neraka keseimbangan, yang
dengannya alam raya ini bisa berjalan secara teratur. Sebagaimana Allah meletakkan
neraca keseimbangan demi keteraturan alam raya, kita harus pula meletakkan neraca
keseimbangan demi keteraturan kehidupan ini.

Penggunaan bentuk fiil madhi untuk kata “rafaa” (meninggikan) dan “wadhaa” (meletakkan)
memberikan penegasan makna bahwa hukum keseimbangan itu telah dibuat dan telah
mapan. Pemaknaan ini mempertimbangkan salah satu fungsi fiil madhi dalam pemberian
makna, di antaranya menunjukkan arti “tahaqquq/tawaqqu`” (kehadirannya dapat
dipastikan).

Perintah untuk meletakkan neraca (aqimul-wazna) diulang dengan perintah untuk tidak
mengurangi neraca tersebut (la tukhsirul-mizan). Pengulangan seperti ini dalam kajian
bahasa Al-Qur’an disebut dengan kajian “tikrar”. Tentu ada maksud dan tujuan tertentu.
Pada konteks ayat ini, maksudnya penegasan sekaligus perintah untuk senantiasa
menegakkan neraca keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari.

Coba perhatikan, perintah dan larangan pada ayat-ayat di atas dikemukakan dalam bentuk
jamak semua (alla tathghau, aqimu, dan la tukhsiru). Ini adalah sebuah penegasan bahwa
tantangan untuk meletakkan neraca keseimbangan (keadilan) atau godaan untuk
mengurangi neraca tersebut muncul tatkala sebuah interaksi terjadi.

Baik, ayat-ayat di atas adalah landasan kita untuk bisa menentukan skala prioritas dalam
kehidupan beragama sehari. Ada neraca keseimbangan yang patut kita jadikan panduan
dalam penskalaan tersebut. Atas dasar itu, beragama dengan ilmu merupakan bagian yang
tak dapat dipisahkan dari ajaran agama itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai