Anda di halaman 1dari 8

VIDYA DARŚAN Vol 1 No 1 | November 2019

Jurnal Mahasiswa Prodi Filsafat Hindu


STAHN Mpu Kuturan Singaraja

AJARAN AHIMSA DALAM BHAGAVADGĪTĂ


Oleh
I Made Gami Sandi Untara
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
gamisandi@gmail.com

Ni Made Supastri
Program Studi Filsafat Hindu, Jurusan Brahma Widya,
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja
Supastri86@gmail.com

ABSTRAK
Bhagavadgȋtā is a very important holy book which gives a deep spiritual understanding of
life. The Bhagavadgȋtā text is divided into 700 sloka which are summarized in 18 chapters or
adhyaya. In addition to learning what the Almighty God means, the Bhagavadgȋtās, living beings, the
Bhagavadgȋtā also learns about the teachings of Ahimsa. Ahimsa teachings emphasize not killing,
not hurting and without violence. Ahimsa as a teaching that does not do violence. It is true that
killing is a form of violence. But there are murders which are permitted and even required by Vedic
teachings. Killing to preserve life is not an act of Himsa karma. Even the Bhagavadgȋtā which is
conveyed by the Personality of Godhead, Sri Krishna is an order for Arjuna to rise and do his duty to
kill his opponents on the battlefield. Murder must be carried out in order to perform duties and
obligations.
Key Word : Ahimsa, Bhagavadgȋtā

I. PENDAHULUAN kekerasan ini dilakukan tidak saja kepada


Bhagavadgȋtā merupakan kitab suci manusia tetapi juga harus diberlakukan kepada
agama Hindu yang termasuk nyanyian Tuhan alam dan seluruh makhluk hidup lainnya.
(kekidungan). Bhagavadgȋtā merupakan pustaka Ahimsa juga tidak hanya dilakukan melalui
suci Veda yang kelima (Pancama Veda). tindakan, tetapi juga melalui perkataan dan
Bhagavadgȋtā merupakan kitab suci yang sangat pikiran (Darmawan & Krishna, 2019).
penting yang memberikan pemahaman spritual Ahimsa bukanlah sekadar tindakan pasif,
hidup yang mendalam. Teks Bhagavadgȋtā tetapi Ahimsa juga aktif dilakukan untuk
terbagi atas 700 sloka yang terangkum dalam 18 mendorong orang-orang jahat menjadi baik.
bab atau adhyaya. Kitab Bhagavadgȋtā selain Ahimsa juga bukanlah sebuah proses pembiaran
mempelajari apa arti Tuhan Yang Maha Esa, merajalelanya kekerasan, tetapi secara aktif
para mahluk hidup, kitab Bhagavadgȋtā juga melakukan tindakan-tindakan melawan
mempelajari tentang ajaran Ahimsa. Ajaran kekerasan melalui cara-cara yang manusiawi
Ahimsa sendiri berarti tidak menyakiti, melukai, dan humanis, sebab ketika kekerasan hendak
menyiksa atau membunuh. Tindakan tanpa dilawan melalui kekerasan, maka sungguh-

33
VIDYA DARŚAN Vol 1 No 1 | November 2019
Jurnal Mahasiswa Prodi Filsafat Hindu
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
sungguh hanya akan melahirkan kekerasan baru. kacau, atau tidak rukun berarti malapetaka
Karenanya Ahimsa menjadi pola alternatif dari (Gunawijaya, 2019).
beberapa pola menghadapi kekerasan yang Membenahi diri sendiri adalah prioritas
dianut selama ini. Secara sederhana Ahimsa yang utama, disamping membenahi diri dalam
dapat menjadi alat bagi pemecahan konflik hubungan dengan orang lain. Kelahiran ini
sosial dan sebagai anti-tesa terhadap kekerasan ibaratkan tangga untuk mencapai sorga. Oleh
karena Ahimsa merupakan kekuatan paling karena itu, kesempatan ini manfaatkan untuk
ampuh yang tersedia bagi umat manusia. Syarat meningkatkan diri dalam kebajikan agar tidak
pertama bagi Ahimsa adalah keadilan masuk ke neraka pada saat dunia akhirat. Untuk
menyeluruh di setiap bidang kehidupan (Diana meningkatkan diri, manusia harus mampu
& Darmawan, 2019). membangkitkan sifat – sifat baik dan mulia
yang ada di dalam dirinya, seperti yang
II. PEMBAHASAN dijelaskan dalam Bhagavadgȋtā XVI.6 sebagai
2.1 Konsep Ahimsa dalam berikut:
Bhagavadgȋtā dvau bhūta sargau loke smin daiva
Ajaran susila merupakan hal yang sangat āsura eva ca,
daivo vistarah prokta āsuram pārha me
penting di dalam kehidupan manusia agar śrnu
tecipta kehidupan yang rukun dan damai antar (Bhagavadgȋtā XVI.6)
Terjemahan:
sesama manusia. Ajaran susila ini hendaknya Ada dua macam mahluk ciptaan di dunia
diusahakan agar tertanam di dalam diri setiap ini, yang mulia dan yang jahat, yang
mulia telah diuraikan secara terperinci,
manusia. Ajaran susila hendaknya diterapkan (selanjutnya) dengarkan tentang yang
dalam kehidupan di dunia ini, karena hanya di jahat, saudaraku, wahai Pārtha) (Arjuna)
(Pudja, 1999:374).
dunia inilah tempat berkarma. Telah menjadi
kenyataan bahwa perhubungan yang selaras Berdasarkan sloka tersebut pada
atau rukun antara seseorang dengan mahluk dasarnya dalam diri manusia ada dua
sesamanya, antara anggota-anggota sesuatu kecendrungan, yakni kecendrungan berbuat baik
masyarakat, suatu bangsa, manusia dan dan kecendrungan berbuat jahat. Sri Krisna
sebagainya, menyebabkan hidup yang aman dan dalam kitab Bhagavadgȋtā telah membagi
sentosa. Suatu keluarga masyarakat bangsa atau kecendrungan budi manusia atas dua
manusia, yang anggota-anggotanya hidup tidak bagian, yaitu : 1) Daiwi Sampad, yaitu sifat
rukun atau tidak selaras pasti akan runtuh dan kedewaan dan 2) Asuri Sampad, yaitu sifat
ambruk. Perhubungan yang rukun dan selaras keraksasaan.
berarti kebahagiaan dan perhubungan yang

34
VIDYA DARŚAN Vol 1 No 1 | November 2019
Jurnal Mahasiswa Prodi Filsafat Hindu
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
1) Konsep Asuri Sampad dalam
Berdasarkan penjelasan sloka-sloka
Bhagavadgȋtā
tersebut sikap Asuri Sampad yakni sifat-sifat
Kitab Bhagavadgȋtā telah disebutkan
raksasa pada manusia seperti sikap berpura-
bahwa pada dasarnya kecendrungan budhi
pura, angkuh, membanggakan diri, marah,
manusia ada dua jenis yaitu Daiwi Sampad dan
kasar, bodoh, atheis, semuanya ini adalah
Asuri Sampad. Asuri Sampad adalah
keadaan mereka yang dilahirkan dengan sifat-
kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat
sifat raksasa. Selain itu sloka lain dalam
tidak baik (asubha karma). Banyak perilaku
Bhagavadgȋtā juga menyebutkan konsep Asuri
yang tidak baik yang kita hindari dan bahkan
Sampad yaitu:
dalam ajaran Agama Hindu perbuatan-perbuatan
Etām drstim avastabhya nastātmāano
yang tidak baik digolongkan adharma dan
lpa buddhayah,
merupakan musuh dalam diri manusia. Sad-Ripu Prabhavant ura-karmanāh ksayāya
jagato hitāh
sebagai sumber dari Asuri Sampad terbentuk
(Bhagavadgȋtā XVI.9)
(mengkristal) karena pengaruh dari Panca Terjemahan:
Jiwa yang rusak dengan pengertian picik
Indria, konsep Asuri Sampad dalam kitab
ini, timbul karena pandangan yang teguh
Bhagavadgȋtā disebutkan dalam sloka-sloka ini, menimbulkan perbuatan keji yang
menonjolkan untuk memusnahkan dunia
berikut:
sebagai musuhnya (Pudja, 1999:376).

Dambho darpho bhimanas ca krodhah Berdasarkan penjelasan sloka-sloka


pārusyam eva ca,
tersebut sikap Asuri Sampad yakni sifat-sifat
Ajñānam cābhijātasya pārtha sampadam
āsurimn (Bhagavadgȋtā XVI.4) raksasa pada manusia seperti sifat picik, sifat
Terjemahan:
yang tidak pernah merasa puas dan selalu
Berpura-pura, angkuh, membanggakan
diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini merasa kekurangan. Manusia yang memiliki
adalah keadaan mereka yang dilahirkan
sikap Asuri Sampad tergolong jahat dan tidak
dengan sifat-sifat raksasa, wahai Pārtha
(Arjuna) (Pudja, 1999:373). mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, manusia tersebut tidak memiliki
asau mayā hatah śatrur hanisye cāparān
api,ȋśvaro ham aham bhogi siddho ham kemurnian, kelakuan baik dan kebenaran. Asuri
balavān sukhȋ Sampad dibentuk oleh maraknya perilaku yang
(Bhagavadgȋtā XVI.14)
tergolong dipengaruhi oleh Sad Ripu (enam
Terjemahan:
Musuh ini telah kubunuh dan yang lain musuh) utama yang ada di dalam diri manusia
akan kubunuh pula, aku adalah itu sendiri. Sad Ripu adalah bagian dari ajaran
penguasa, aku adalah penikmat, aku
Susila agama Hindu. Sad ripu berasal dari
berhasil, berkuasa dan bahagia (Pudja,
1999:379). bahasa Sansekerta dari kata sad dan ripu.

35
VIDYA DARŚAN Vol 1 No 1 | November 2019
Jurnal Mahasiswa Prodi Filsafat Hindu
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Sad berarti enam, ripu berarti musuh. negatif dari Asuri Sampad, terjadilah prilaku
Jadi sad ripu adalah enam jenis musuh yang yang adharma dan avidya (Sudirga, 2007:34).
terdapat dalam diri manusia Pengaruh sad ripu Daiwi Sampad bermaksud menuntun
terhadap manusia sangat besar dan sangat perasaan manusia kearah keselarasan antara
membahayakan karena kemanapun manusia sesama manusia. Sifat-sifat ini perlu dibina,
pergi atau bersembunyi selalu menyertai dan seperti diungkapkan di dalam kitab
sewaktu-waktu kalau kita lengah dapat Bhagavadgȋtā dalam sloka-sloka berikut:
mencelakakan kita. Konsekwensi dari pada
abhayaṁ sattva saṁśuddhir jñana yoga
pelaksanaan sad ripu, umumnya dapat
vyavasthitih,
menyusahkan atau menyengsarakan dan bahkan dānaṁ damaś ca yajñaś ca svādhāyas
tapa ārjavam (Bhagavadgȋtā XVI.1)
menghancurkan semua orang. Adapun bagian-
Terjemahan:
bagian sad ripu adalah sebagai berikut : Tak gentar, kemurnian hati, bijaksana,
mantap dalam mencari pengetahuan dan
1. Kama artinya hawa nafsu atau keinginan
melakukan yoga, dermawan, menguasi
yang negatif (keinginan yang tidak
indra, berkurban dan mempelajari kitab
terkendali)
suci, melakukan tapah dan kejujuran
2. Lobha artinya loba, tamak, rakus, (gelah
(Pudja, 1999:371).
anak, gelah aku)
3. Krodha artinya kemarahan, kebencian,
Tejah ksamā dhrtih śaucam adroho nā
emosi
timānitā
4. Moha artinya kegusaran atau
Bhavanti sampadaṁ daivīm abhijatasya
kebingungan, tidak tahu jalan yang benar
bhārata
5. Mada artinya kemabukan, tidak dapat
mengontrol diri
(Bhagavadgȋtā XVI.3)
6. Matsarya artinya irihati, atau dengki, iri
Terjemahan:
melihat orang berbahagia dan senang
melihat orang menderita (Sudirga,
Cekatan, suka memaafkan, teguh imam,
2007:21-22).
budi luhur, tidak iri hati, tanpa
keangkuhan, semua ini adalah harta dari
2) Konsep Daiwi Sampad dalam Bhagavadgȋtā
dia yang dilahirkan dengan sifat-sifat
Pada dasarnya dalam diri manusia ada devatā, wahai Arjuna (Pudja, 1999:373).
kecenderungan berbuat baik yaitu Daiwi
Berdasarkan penjelasan sloka tersebut
Sampad yakni sifat-sifat kedewataan. Istilah
sikap Daiwi Sampad yakni sifat-sifat
Daiwi Sampat sama dengan Suri Sampat.
kedewataan pada manusia yaitu tak gentar,
Manusia bisa berprilaku dharma, cerdas, dan
kemurnian hati, bijaksana, mantap dalam
bijaksana kalau Manas dan Buddhi mendapat
mencari pengetahuan dan melakukan yoga,
pengaruh positif dari Daiwi Sampad; sebaliknya
dermawan, menguasi indra, berkurban dan
bila Manas dan Buddhi mendapat pengaruh
mempelajari kitab suci, melakukan tapah,
kejujuran, cekatan, suka memaafkan, teguh

36
VIDYA DARŚAN Vol 1 No 1 | November 2019
Jurnal Mahasiswa Prodi Filsafat Hindu
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
imam, budi luhur, tidak iri hati, tanpa II. Makna Ahimsa dalam
Bhagavadgȋtā
keangkuhan, semua sifat-sifat tersebut adalah
1) Makna Keadilan
manusia yang dilahirkan dengan sifat-sifat Tuhan pada satu sisi tidak mengabaikan,
devatā. Sifat ajaran tidak menyakiti, seperti tidak lalai, dan semena-mena dalam menetapkan
diungkapkan di dalam kitab Bhagavadgȋtā kewajiban dan mernbuat hukum yang menjadi
dalam sloka-sloka berikut: jalur untuk pencapaian kesempurnaan manusia
dan kebatragaiaan abadi manusia itu sendiri, dan
ahiṁsā satyam akrodhas tyāgah śāntir
di sisi lain tak satupun manusia diberikan beban
apasunam,
dayā bhūtesv aloluptvaṁ mārdavaṁ hrīr dan tanggung jawab melebihi kemampuan
acāpalam (Bhagavadgȋtā XVI.2)
mereka dalam melaksanakan kewajiban agama.
Terjemahan:
Tidak menyakiti, benar, bebas dari nafsu Keadilan dalam hukum Tuhan berbeda dengan
amarah, tanpa keterikatan, tenang, tidak
keadilan pada hukum manusia. Proses
memfitnah, kasih sayang kepada sesama
mahluk, tidak dibingungkn oleh penciptaan, pemeliharaan dan peleburan
keinginan, lemah lembut, sopan dan
merupakan bentuk keadilan dan kasih sayang
berketepan hati (Pudja, 1999:372).
Tuhan. Dunia beserta manusia dan segala isinya
Berdasarkan penjelasan sloka tersebut
diciptakan oleh Tuhan, kemudian dirawat dan
sikap Daiwi Sampad yakni sifat-sifat
dikembalikan lagi keasalnya berlangsung secara
kedewataan pada manusia yaitu tidak menyakiti
terus menerus sampai semua mahluk dapat
dan tanpa kekerasan. Secara harfiah kekerasan
menyadari hakikat dirinya, dan bersatu kembali
itu diartikan sebagai sifat atau hal yang keras,
dengan Tuhan (Somawati & Diantary, 2019).
kekuatan, paksaan. Sedangkan secara
Apabila dunia ini hanya diciptakan,
terminologi, kekerasan berarti perbuatan
tetapi tidak dijaga maka yang terjadi adalah
seseorang atau sekelompok orang yang
chaos (kacauan). Dunia yang sudah diciptakan
menyebabkan cedera atau matinya atau
dan dijaga harus dilebur kembali (diperbaharui)
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang
karena tidak akan mungkin orang yang sakit
lain. Perbuatan-perbuatan yang selama
parah, harus terus hidup dalam kesakitan, atau
mengakibatkan penderitaan atau kerugian bagi
orang yang sudah tua hingga tubuhnya tidak
orang lain atau sekelompok orang pada dasarnya
dapat digerakkan, terus harus hidup dalam
dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan
keadaan demikian. Justru dengan keadilan
(Thomas Santosa, 2002:11).
Tuhan, semua diperbaharui kembali (pralina),
sehingga kembali dapat melanjutkan karma
sebelumnya, dan mencapai tujuan hidup yang

37
VIDYA DARŚAN Vol 1 No 1 | November 2019
Jurnal Mahasiswa Prodi Filsafat Hindu
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
sesungguhnya (moksartam jagadhita ya saha yajnah prajah srstva purovaca
prajapatih anema prasavisyadhvam esa
cahitidharma).
vo ista kama dhuk (Bhagavadgȋtā III.10)
Terjemahan:
"Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan,
2) Makna Keseimbangan
Tuhan setelah menciptakan manusia
Dalam ajaran agama Hindu, tentang melalui yadnya., berkata: dengan (cara)
ini engkau akan berkembang
keseimbangan itu dapat ditemukan dalam ajaran
sebagaimana sapi perah yang memenuhi
Tri Hita Kmana. Jaman dalam (Nardayana, keinginanmu (sendiri)" (Pudja I 999:84).
2009:188) mengemukakan, istilah Tri Hita
Sapi perahan yang dimaksud di sini
Karana berasal dari bahasa sanskerta, yaitu dari
adalah yang bisa memenuhi segala keinginan
kata Tri, Hita dan Karna. Tri berarti tiga; Hita
yaitu tidak lain adalah bumi, ibu pertiwi ini.
berarti baik, senang, gembira, lestari; Karana
Bunyi sloka tersebut memberikan penegasan
berarti penyebab atau sumbernya sebab. Dengan
bahwa cinta kasih seorang ibu terhadap anak-
demikian, Tri Hita Karana berarti tiga buah
anaknya yang tiadaterputus ibarat cinta kasih
unsur yang merupakan sumbernya sebab yang
lbu Pertivi (alam semesta) yang memberikan
memungkinkan timbulnya kebaikan. Ajaran Tri
makanan yang tiada henti-hentinya kepada
Hita Karana ini juga tertuang dalam kekawin
semua mahluk hidup sebagai anakanaknya
Rarnayana yaitu bagaimana Sang Dasaratha
sehinggaterjadi keseimbangan hidup di antara
berbuat kasih kepada sesama mahluk ciptaan
semua mahluk (Suadnyana, 2019).
Tuhan, membuat pemujaan terhadap leluhur,
Manusia hidup di alam semesta ini,
dan pemujaan terhadap dewa-dewa. Prilaku
manusia harus melaksanakan yajna. Karena
hubungan yang selaras, serasi dan seimbang
manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
manusia terhadap sesamanya terhadap
melalui yajna. sebagai timbal baliknya, manusia
Tuhannya terhadap alam senresta beserta isinya
harus melaksanakan yajna. Karena dengan
akan menjadikan manusia utama. Dengan
adanya yajna di alam semesta ini maka
demikian Tri Hita Karana sebagai perwujudan
keseimbangan hidup di dunia ini akan terjadi
kesejahteraan dan Kebahagiaan, dimana ketiga
(Untara, 2019).
unsur yaitu lda Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
3) Makna Keharmonisan
(super natural power), manusia (microcosmos),
Makna keharmonisan dari ajaran ahimsa
dan alam semesta/bhuana (macrocosmos) harus
dalam Bhagavadgȋtā dapat terlihat dari
saling menjaga.
hubungan masyarakat yang harmonis tanpa
Berkaitan dengan keseimbangan, Bhagavadgȋtā
adanya kekerasan yakni; (1) Hubungan
menyatakan sebagai berikut:
masyarakat dengan Tuhan melalui aktifitas
ritual keagamaan; (2) Hubungan masyarakat

38
VIDYA DARŚAN Vol 1 No 1 | November 2019
Jurnal Mahasiswa Prodi Filsafat Hindu
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
dengan masyarakat yang lain melalui aktifitas bagian Tri Hita Karana yaitu: Parhyangan yang
sosial; (3) Hubungan dengan alam lingkungan. artinya hubungan manusia dengan Tuhan,
Manusia tidak bisa hidup sendiri tetapi Pawongan yaitu hubungan manusia dengan
selalu tergantung pada yang lain. sesama, serta Palemahan yaitu hubungan
Ketergantungan ini tidak hanya pada sesama manusia dengan lingkungan dan makluk yang
masayarakat, akan tetapi kepada Hyang Widhi lainnya (Yogiswari & Suadnyana, 2019).
maupun alam lingkungan. Tuhan Yang Maha
Esa menciptakan alam semesta beserta isinya III. SIMPULAN
sehingga sebagai makluk ciptaan Beliau wajib Berdasarkan uraian diatas maka dapat
melakukan hubungan yang harmonis. Hubungan disimpulkan bahwa Bhagavadgȋtā merupakan
yang harmonis ini oleh masyarakat diwujudkan kitab suci agama Hindu yang tergolong
dengan ajaran ahimsa yakni tanpa kekerasan nyanyian Tuhan (kekidungan). Bhagavadgȋtā
atau menyakiti setiap mahluk yang ada. merupakan pustaka suci Veda yang kelima
Berdasarkan uraian tersebut maka (Pancama Veda). Bhagavadgȋtā merupakan
memiliki relevansi pada ajaran Agama Hindu kitab suci yang sangat penting yang
yang dimana hubungan yang harmonis dalan memberikan pemahaman spritual hidup yang
ajaran Hindu tidak terlepas dari konsep Tri Hita mendalam. Teks Bhagavadgȋtā terbagi atas 700
Karana yang merupakan salah satu ajaran dalam sloka yang terangkum dalam 18 bab atau
agama Hindu yang pada intinya mengajarkan adhyaya.
tentang keharmonisan antara manusia dengan Konsep ajaran Ahimsa dalam kitab
Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia Bhagavadgȋtā meliputi yaitu; ajaran Asuri
dengan lingkungannya. Ketiga hubungan yang Sampad dalam kitab Bhagavadgȋtā, ajaran
harmonis tersebut merupakan penyebab Daiwi Sampad dalam kitab Bhagavadgȋtā,
terjadinya kebahagiaan. ajaran Ahimsa dalam kitab Bhagavadgȋtā. Asuri
Sebagai salah satu ajaran, Tri Hita Sampad merupakan sifat keraksaan pada diri
Karana selalu dijadikan landasan filosofis manusia sedangkan Daiwi Sampad merupakan
dalam kehidupan masarakat Bali.Secara umum, sifat kedewataan pada diri manusia sedangkan
Istilah Tri Hita Karana berasal dari tiga kata ajaran ahimsa menekankan tidak membunuh,
yaitu: Tri yang artinya tiga, Hita artinya tidak menyakiti dan tanpa kekerasan.
kebahagian/keharmonisan/keseimbangn, serta Makna Ahimsa dalam kitab
Karana yang atinya penyebab. Jadi, Tri Hita Bhagavadgȋtā meliputi yaitu; makna keadilan,
Karana merupakan tiga penyebab hubungan makna keseimbangan dan makna keharmonisan.
yang harmonis dan seimbang. Adapun bagian- Makna keadilan yaitu manusia harus bersifat

39
VIDYA DARŚAN Vol 1 No 1 | November 2019
Jurnal Mahasiswa Prodi Filsafat Hindu
STAHN Mpu Kuturan Singaraja
adil, tidak memihak, tidak bersebelah dan KECAMATAN GIANYAR,
berpegang pada kebenaran pada setiap mahluk. KABUPATEN
GIANYAR. WIDYANATYA, 1(2), 18-31.
Makna keseimbangan diperlukan manusia
Suhardana, Komang. 2010. Ahimsa dan
karena rasa kesimbangan itu akan memberikan Vegetarian, jalan menuju Kasih Sayang.
Surabaya: Paramita.
rasa ketenangan pada setiap mahluk dan makna
Somawati, A. V., & Diantary, N. M. Y. A.
keharmonisan yaitu adanya hubungan harmonis (2019). AGNIHOTRA: VEDIC
RITUAL YANG MULTIFUNGSI. Bawi
manusia dengan Tuhan (Parhyangan),
Ayah: Jurnal Pendidikan Agama Dan
hubungan manusia dengan sesama (Pawongan), Budaya Hindu, 10(2), 81-99.
Thomas, Santoso. 2002. Kekerasan Agama
serta hubungan manusia dengan lingkungan dan
tanpa Agama. Jakarta:Pustaka Utan
makluk yang lainnya (Palemahan ). Kayu
Untara, I. Made Gami Sandi, and I. Nyoman
Suardika. "MAKNA FILOSOFI
DAFTAR PUSTAKA AJARAN SIWA BUDDHA DALAM
LONTAR BUBUKSAH." Genta
Darmawan, I. P. A., & Krishna, I. B. W. (2019). Hredaya 3.1 (2019).
KONSEP KETUHANAN DALAM Untara, I. M. G. S. (2019). KOSMOLOGI
SUARA GAMELAN MENURUT HINDU DALAM
LONTAR AJI GHURNNITA. Genta BHAGAVADGĪTĀ. Jñānasiddhânta:
Hredaya, 3(1). Jurnal Teologi Hindu, 1(1).
Wim Beuken. 2003. Agama sebagai sumber
Diana, I. K. D., & Darmawan, I. P. A. (2019).
kekerasan. Yogjakarta. Pustaka Pelajar.
AJARAN DHARMA DALAM TEKS Wiana, I Ketut. 2006. Beragama Bukan Hanya
YAKṢA PRAŚNA. Jñānasiddhânta: di Pura. Denpasar: Yayasan Dharma
Jurnal Teologi Hindu, 1(1). Naradha.
Gunawijaya, I. W. T. (2019). KELEPASAN Wisarja, I Ketut. 2007. Gandhi dan Masyarakat
DALAM PANDANGAN SIWA tanpa Kekerasan. Surabaya: Paramita.
TATTWA PURANA. Jñānasiddhânta: Yoga Segara, I Nyoman. 2017. Ahimsa dalam
teropong Filsafat Antropologi.
Jurnal Teologi Hindu, 1(1).
Denpasar. CV Setia Bakti.
Pudja, Gede. 1999. Bhagavadgȋtā (Pancama Yogiswari, K. S., & Suadnyana, I. B. P. E.
Veda). Surabaya: Paramita. (2019, June). HOAX DI ERA POST-
Suadnyana, I. B. P. E., & Yuniastuti, N. W. TRUTH DAN PENTINGNYA
(2019). KAJIAN SOSIO-RELIGIUS LITERASI MEDIA. In SEMINAR
PENERAPAN SANKSI ADAT NASIONAL FILSAFAT (SENAFI) I (p.
173).
KANORAYANG DI DESA
PAKRAMAN BAKBAKAN

40

Anda mungkin juga menyukai