1. Wawasan pengetahuan yang mendalam ( insight ) yaitu bahwa wawasan memegang peranan
penting dalam perilaku.
2. Pembelajaran yang bermakna ( meaning ful learning ) yaitu kebermaknaan unsur – unsur
yang terkait dalam suatu objek atau peristiwa akan menunjanng pembentukan insight dalam
proses pembelajaran
3. Perilaku bertujuan ( purposive behavior ) yaitu bahwa hakikatnya perilaku itu terarah pada
suatu tujuan
4. Prinsip ruang hidup ( life space ) menyatakan bahwa perilaku individu mempunyai
keterkaitan dengan lingkungan atau medan dimana ia berada. Prinsip ini mengaplikasikan
adanya padanan dan akitan antara proses pembelajaran dengan tuntutan dan kebutuhan
lingkungan
5. Transfer dalam pembelajaran yaitu pemindahan pola – pola perilaku dari suatu situasi
pembelajaran tertentu kepada situaasi lain. Transfer akan terjadi apabila anak menangkap
prinsip – prinsip pokok dari suatu masalah dan memnemukan generalisasi kemudian
digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain
BAB III
PENUTUP
Anonim. 2009. “Pendekatan Pembelajaran Holistik” diakses pada hari Senin, 28 November 2011 di
http://anonim.blogspot.com/2009/Pendekatan-Pembelajaran -Holistik
Akhmad Sudrajat. 2008. “Tentang Pendekatan Holistik” diakses pada hari Senin, 28 November
2011 di http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/26/pendidikan-holistik/
Djauharah Bawazir. 2008. “Pendekatan Holistik Dalam Pendidikan Anak” diakses pada hari Senin,
28 November 2011 di http://bunyan.co.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=284&Itemid=97
Pusat penelitian dan pelayanan pendidikan Universitas Sanata Darma. 2009. “Pembelajaran
Holistik” diakses pada hari Senin, 28 November 2011 di http://p4-
usd.blogspot.com/2009/05/pembelajaran-holistik.html
Sawang. 2011. “Pendekatan Holistik Dalam Pendidikan Anak” diakses pada hari Senin, 28
November 2011 di http://susatyoyuwono.blogdetik.com/2011/02/17/ pendekatan-holistik-
dalam-pendidikan-anak/
Young, Schoot H. 2005. “Belajar Holistik” diakses pada hari Senin, 28 November 2011 di
www.jwelford.demon.co.uk/ brainwaremap/holist.html
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Categories: Pembelajaran Individual
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
1 komentar:
1.
Balas
Muat yang lain...
Langganan: Posting Komentar (Atom)
Translate
Pilih Bahasa ▼
Popular Posts
Pembelajaran Holistik
Profil John Locke John Locke adalah filosof yang berasal dari Inggris. Beliau
dilahirkan di Wrington Somerst pada tanggal 29 A...
Pendidikan Komparatif
Waktu
Blog Archive
Total Tayangan Halaman
142570
About Me
Renny Rambang
Lihat profil lengkapku
Recent Comments
Belajar yang baik adalah memahami bukan menghafalnya :)
Pembelajaran Holistik
A. Pembelajaran Holistik
1. Wawasan pengetahuan yang mendalam ( insight ) yaitu bahwa wawasan memegang peranan
penting dalam perilaku.
2. Pembelajaran yang bermakna ( meaning ful learning ) yaitu kebermaknaan unsur – unsur
yang terkait dalam suatu objek atau peristiwa akan menunjanng pembentukan insight dalam
proses pembelajaran
3. Perilaku bertujuan ( purposive behavior ) yaitu bahwa hakikatnya perilaku itu terarah pada
suatu tujuan
4. Prinsip ruang hidup ( life space ) menyatakan bahwa perilaku individu mempunyai
keterkaitan dengan lingkungan atau medan dimana ia berada. Prinsip ini mengaplikasikan
adanya padanan dan akitan antara proses pembelajaran dengan tuntutan dan kebutuhan
lingkungan
5. Transfer dalam pembelajaran yaitu pemindahan pola – pola perilaku dari suatu situasi
pembelajaran tertentu kepada situaasi lain. Transfer akan terjadi apabila anak menangkap
prinsip – prinsip pokok dari suatu masalah dan memnemukan generalisasi kemudian
digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain
BAB III
PENUTUP
Anonim. 2009. “Pendekatan Pembelajaran Holistik” diakses pada hari Senin, 28 November 2011 di
http://anonim.blogspot.com/2009/Pendekatan-Pembelajaran -Holistik
Akhmad Sudrajat. 2008. “Tentang Pendekatan Holistik” diakses pada hari Senin, 28 November
2011 di http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/26/pendidikan-holistik/
Djauharah Bawazir. 2008. “Pendekatan Holistik Dalam Pendidikan Anak” diakses pada hari Senin,
28 November 2011 di http://bunyan.co.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=284&Itemid=97
Pusat penelitian dan pelayanan pendidikan Universitas Sanata Darma. 2009. “Pembelajaran
Holistik” diakses pada hari Senin, 28 November 2011 di http://p4-
usd.blogspot.com/2009/05/pembelajaran-holistik.html
Sawang. 2011. “Pendekatan Holistik Dalam Pendidikan Anak” diakses pada hari Senin, 28
November 2011 di http://susatyoyuwono.blogdetik.com/2011/02/17/ pendekatan-holistik-
dalam-pendidikan-anak/
Young, Schoot H. 2005. “Belajar Holistik” diakses pada hari Senin, 28 November 2011 di
www.jwelford.demon.co.uk/ brainwaremap/holist.html
Diposting oleh Renny Rambang di Kamis, Januari 03, 2013
Label: Pembelajaran Individual
1 komentar:
Posting Komentar
Subscribe To
Postingan
Komentar
Diberdayakan oleh Blogger.
Beranda
Followers
Recent Posts
More Text
=======================================
=======================================
4. Cooperative Script
a) Guru membagi peserta didik untuk berpasangan
b) Guru membagikan wacana/materi tiap peserta didik untuk dibaca dan
membuat ringkasan
c) Guru dan peserta didik menetapkan siapa yang pertama berperan
sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar
d) Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan
memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara
pendengar :
e) Menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap
f) Membantu mengingat/menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan
materi sebelumnya atau dengan materi lainnya
g) Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar
dan sebaliknya. Serta lakukan seperti diatas.
h) Kesimpulan Peserta didik bersama-sama dengan Guru
i) Penutup
7. Jigsaw
a) Peserta didik dikelompokkan ke dalam = 4 anggota tim
b) Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda
c) Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan
d) Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab
yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk
mendiskusikan sub bab mereka
e) Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke
kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang
sub bab yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan
dengan sungguh- sungguh
f) Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
g) Guru memberi evaluasi
h) Penutup
9. Artikulasi
a) Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai
b) Guru menyajikan materi sebagaimana biasa
c) Untuk mengetahui daya serap peserta didik, bentuklah kelompok
berpasangan dua orang
d) Menugaskan salah satu peserta didik dari pasangan itu menceritakan
materi yang baru diterima dari guru dan pasangannya mendengar
sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu
juga kelompok lainnya
e) Menugaskan peserta didik secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil
wawancaranya dengan teman pasangannya. Sampai sebagian peserta
didik sudah menyampaikan hasil wawancaranya
f) Guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum
dipahami peserta didik
g) Kesimpulan/penutup
13. Debate
a) Guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yang
lainnya kontra
b) Guru memberikan tugas untuk membaca materi yang akan didebatkan
oleh kedua kelompok diatas
c) Setelah selesai membaca materi, Guru menunjuk salah satu anggota
kelompok pro untuk berbicara saat itu, kemudian ditanggapi oleh
kelompok kontra. Demikian seterusnya sampai sebagian besar peserta
didik bisa mengemukakan pendapatnya.
d) Sementara peserta didik menyampaikan gagasannya, guru menulis
inti/ide-ide dari setiap pembicaraan sampai mendapatkan sejumlah ide
diharapkan.
e) Guru menambahkan konsep/ide yang belum terungkap
f) Dari data-data yang diungkapkan tersebut, guru mengajak peserta didik
membuat kesimpulan/rangkuman yang mengacu pada topik yang ingin
dicapai.
27. Scramble
a) Buatlah pertanyaan yang sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai
b) Buat jawaban yang diacak hurufnya
c) Guru menyajikan materi sesuai kompetensi yang ingin dicapai
d) Membagikan lembar kerja sesuai contoh
Share28
19 comments:
1.
ok, maksih pak. Sya tertarik sekali untuk menerapkan beberapa model pembelajaran
Reply
2.
Reply
3.
Reply
4.
Reply
5.
Viny MalasariOctober 18, 2015 at 8:24 PM
Reply
Replies
1.
Reply
6.
Reply
7.
Reply
8.
Reply
9.
Reply
10.
Terimakasih artikelnya yang sangat bermanfaat ini. Saya merasa terbantu sekali
Reply
11.
Reply
12.
Saya ucapkan terima kasih, karena sangat terbantu dengan tulisan yang Bapak
bagikan. Tulisan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan profesionalisme guru
serta dapat pula dijadikan referensi dalam penulisan karya ilmiah guru, terutama
dalam penulisan Penelitian Tindakan Kelas. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih,
mudah-mudahan artikel tentang pembelajaran ini menjadi sarana amal kebajikan.
Reply
13.
Reply
14.
Reply
15.
Reply
16.
Reply
17.
Reply
18.
Reply
Load more...
Create a Link
Newer Post Older Post Home
Search Artikel
Top of Form
------------------------------------------
Statistik Blog
149346972
Followers
------------------------------------------
POSTING POPULER
------------------------------------------
Copyright © 2018. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN. All Rights Reserved
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk memberikan masukan kepada para geografiwan, dalam rangka
untuk memantapkan pemahamannya mengenai konsep dan pendekatan Geografi di satu sisi
dan di sisi lain mengaitkannya dengan aplikasinya. Makalah ini dibuat atas dasar
permintaan dari Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang dan
masukan dari para alumni bahwa sejauh ini masih terdapat kegamangan pemahaman dari
ilmu Geografi serta aplikasinya untuk mengupas sesuatu masalah. Apabila hal ini
berlangsung terus dikhawatirkan akan terjadi marginalisasi keilmuan baik dalam
pengembangan ilmunya maupun dalam hal aplikasi untuk kepentingan pembangunan.
Kecenderungan terjadinya marginalisasi Geografiwan telah disinyalir dalam waktu yang
lama dan sampai saat ini hal tersebut masih saja terjadi, karena kurang mantapnya /
solidnya pemahaman konsep dan pendekatan Geografi itu sendiri. Kondisi ini sangat tidak
menguntungkan karena mengakibatkan ”adverse negative impacts” yang tidak dikehendaki
baik bagi perkembangan ilmu Geografi itu sendiri maupun peranan Geografiwan dalam
pembangunan. Untuk maksud mencapai ”reempowerment”, makalah ini melontarkan ide-
ide praktis untuk menuju pemahaman Konsep dan Pendekatan Utama Geografi yang solid,
karena di sinilah letak keunggulan komparatif dan kompetitif ilmu Geografi dibandingkan
dengan ilmu-ilmu yang lain. Kemantapan partisipasi geografiwan sangat ditentukan oleh
kemantapan pemahaman keilmuannya. Fitrah Geografi dengan Tiga Pendekatan Utama
(spatial, ecological dan regional complex approach) merupakan substansi yang harus
dijiwai oleh setiap geografiwan sehingga ”scientific dignity” ilmu ini tidak redup tetapi
menjadi bercahaya kembali.. Hal ini bukan berarti menutup diri dari pengembangan ilmu
pengetahuan dan keterkaitannya dengan ilmu lain, namun setiap adopsi pendekatan
keilmuan dari ilmu lain harus selalu didasarkan pada jati diri Geografi itu sendiri sehingga
marginalisasi peranan ilmu Geografi dan para geografiwan dalam pembangunan tidak
termarginalisasi. Berdasarkan permintaan, bagian kedua makalah ini menyoroti secara
khusus mengenai pendekatan keruangan (spatial approach) dan beberapa contoh
terapannya dalam perspektif geografi. Walaupun demikian penyaji menghimbau para
geografiwan juga memperdalam tentang ”ecological approach” dan ”regional complex
approach” agar supaya pemahaman dan penjiwaan kegeografiannya menjadi solid.
PENDAHULUAN
Makalah ini bertujuan memberikan pengarahan pemahaman ilmu Geografi agar supaya para
geografiwan memahami jati dirinya serta mampu mengaplikasikan pada semua obyek
geosfer. Sesorang geografiwan tidak akan mampu memantapkan peranannya dalam setiap
program pembangunan kalau tidak mampu mengaplikasikan ilmunya dan hal ini tergantung
pada pemahaman terhadap jati dirinya sebagai geografiwan. Kemampuan apa yang
dimilikinya dan tidak dimiliki oleh ilmuwan lainnya sehingga sumbangan pemikirannya
benar-benar bermanfaat ditinjau dari segi keilmuan. Makalah ini bertujuan untuk
memantapkan dan meluruskan arah perkembangan keilmuan Geografi yang disinyalir
melenceng dari jati dirinya. Geografi merupakan ilmu yang sangat istimewa, karena sifatnya
multi-variate dimana beberapa bidang kajian yang berbeda-beda dipelajari dan membentuk
satu kesatuan ilmu yang solid. Sifat inilah yang menguntungkan mereka yang mempelajari
Geografi karena bidang kajian ini bersifat poly entry yang menguntungkan bagi mereka yang
mempelajarinya karena memberikan peluang lebih banyak bagi mahasiswa Geografi untuk
memperoleh pekerjaan. Lain halnya dengan ilmu-ilmu lain yang kebanyakan bersifat mono
entry sehingga untuk memasuki bidang pekerjaan tertentu harus sejalan dan terbatas dengan
bidang yang secara khusus dipelajarinya.
Di samping sifat multi-variate ini merupakan kekuatan bidang kajian Geografi, namun sifat
ini pula yang dapat menjadi titik kelemahan utama bidang kajian Geografi apabila tidak
mengetahui cara-cara atau kiat-kiat mengatasinya. Pada saat ini tidak banyak lulusan
Geografi yang mempunyai posisi kardinal dalam berbagai program pembangunan. Penyebab
utamanya adalah tidak memahami sepenuhnya kajian Geografi dengan benar sehingga dalam
berbagai kegiatan pembangunan tidak mampu berbicara atau berbuat banyak karena kurang
penguasaan ilmunya. Sifat multi-variate ini terkadang menjerumuskan seseorang menjadi
merasa menguasai semua, atau merasa tidak menguasai semua. Kedua macam persepsi ini
sama-sama tidak menguntungkan. Sifat merasa menguasai semua ilmu pengetahuan adalah
sangat keliru, karena tidak ada satu orangpun di dunia yang akan mampu menguasai berbagai
ilmu pengetahuan. Sifat merasa tidak menguasai semua bidang kajian pendukung dalam
Geografi juga tidak benar, karena akan mengakibatkan seseorang merasa rendah diri dan
tidak mampu sehingga tidak banyak yang diperbuat dalam menyumbangkan ilmunya.
Paper ini bertujuan untuk menyadarkan para Geografiwan mengenali keunggulan keilmuan
dirinya dan membangkitkannya sehingga mampu berkiprah lebih banyak dan lebih mantap
dalam setiap pembangunan berbasis wilayah di negeri ini dan secara khusus akan menyoroti
pendekatan keruangan.
Secara internal, penyebab marginalisasi dipicu oleh dua penyebab yaitu yang pertama
karena adanya kecenderungan spesialisasi yang makin tajam serta yang kedua adanya adopsi
pendekatan dari berbagai bidang kajian lain yang tidak berbasis wilayah ke dalam ilmu
Geografi. Ke duanya mengakibatkan menjauhnya para geografiwan dari sifat hakiki
Geografi sebagai ilmu yang mempunyai ciri khusus. Akibatnya adalah menjauhnya para
”geografiwan” dari sifat fitrah Geografi dan memudarnya pemahaman ilmu Geografi secara
utuh sebagai suatu entitas keilmuan. Makalah ini lebih ditekankan pada upaya mengatasi
sebab-sebab internal, karena dapat secara langsung dilaksanakan dan hal ini merupakan
problematik mendesak yang perlu segera mendapat perhatian khusus. Sementara itu upaya
mengatasi penyebab eksternal lebih terkait dengan kebijakan politik dalam jangka yang lebih
panjang dan untuk itu perlu pemikiran yang matang untuk bertindak dan hal ini akan menjadi
bahan diskusi menarik dalam rangka menyusun strategi kebijakan jangka panjang pada
kesempatan lain.
Adopsi pendekatan ilmu-ilmu sosial lain telah memunculkan berbagai kajian yang
melabelkan dirinya sebagai pendekatan Geografi dan tidak jarang para geografiwan telah
masuk terlalu jauh ke domain bidang kajian lain, sehingga analisis Geografinya menjadi
kabur dan demikian pula analisis dalam bidang kajian lain juga kabur. Akibat nyata yang
timbul adalah tidak mantapnya seseorang menguasai ilmu Geografi dan apalagi ilmu lain
karena dasar-dasar pengetahuan yang mendasari ilmu lain tersebut tidak pernah diperoleh
dalam studi Geografi. Dari sinilah kemudian muncul marginalisasi ilmu Geografi itu sendiri,
karena scientific dignity Geografi menjadi kabur dan mereka yang menganut atau terjebak
dalam arus keilmuan ini tidak mampu berperan sentral dalam setiap kegiatan pembangunan
maupun keilmuan. Untuk masuk ke domain ilmu lain jelas kalah oleh bidang kajian lain itu
sendiri, karena ilmu-ilmu dasar pendukungnya tidak dikuasainya dan apabila masuk kembali
ke bidang Geografi telah lupa akan jati dirinya.
Pada pertengahan abad 20 telah terjadi revolusi kuantitatif yang sangat hebat dan
pengaruhnya dalam bidang ilmu pengetahuan sungguh luar biasa. Dalam bidang Geografi,
berbagai teknik analisis kuantitatif telah mendominasi kajian Geografi, sehingga seolah-olah
setiap kajian Geografi yang tidak menggunakan analisis kuantitatif dianggap tidak ilmiah
atau mempunyai kualifikasi keilmuan yang rendah. Kecenderungan spesialisi sangat marak
terjadi, khususnya analisis keruangan dengan berbagai teknik analisis kuantitatif yang
canggih, walaupun akhirnya disadari bahwa teknik kuantitatif tersebut ternyata tidak
memuaskan dalam menjawab permasalahan Geografi yang muncul, sehingga teknik analisis
kualitatif tetap diperlukan sebagai bagian yang komplementer dari teknik analisis kuantitatif.
Boulding (1968) dalam artikelnya yang berjudul The General System Theory: The Skeleton of
Science telah mengemukakan bahwa spesialisasi yang berlebihan atau kebablasan akan
mengakibatkan sulitnya komunikasi ilmiah antar sub-disiplin itu sendiri, sehingga akan
kehilangan kesatuan makna ilmu yang utuh. Dalam tulisannya sarjana ini
mengungkapkannya dengan sangat tajam sebagai berikut:
Pada akhir ungkapannya dikemukakan bahwa hasil yang terjadi adalah specialised deafness
atau ketulian spesialisasi, karena masing-masing spesialisasi hanya memikirkan bidang
kajiannya sendiri-sendiri dan tidak mau mendengarkan spesialisasi yang lain walaupun
berada dalam batang ilmu yang sama. Hal ini tidak hanya terjadi pada bidang Geografi saja
namun juga mewarnai bidang kajian lain. Selanjutnya, sinyalemen yang menyangkut kajian
Geografi juga telah diungkapkan oleh beberapa sarjana lain beberapa dekade yang lalu, di
antaranya adalah Fisher (1970) dan Coffey (1981) yang memperkuat sinyalemen yang
dikemukakan oleh Boulding di atas.
Makin mendalamnya spesialisasi akan makin menjauhkan keterkaitan keilmuan antara satu
bidang spesialisasi dengan yang lain, sehingga scientific dignity Geografi juga akan
terlupakan dan di sinilah awal malapetaka itu yang tidak lain adalah marginalisasi Geografi.
Apabila hal ini tidak segera disadari oleh geografiwan maka lambat laun ilmu Geografi akan
kehilangan jati diri dan orientasi keilmuannya sehingga marginalisasi Geografi maupun
geografiwan dalam pembangunan akan terus berlanjut. Permasalahan besar yang menjadi
tantangan geografiwan masa kini adalah mengubah kecenderungan yang negatif
(marginalisasi Geografi) ini menjadi kecenderungan positif dalam artian kembali ke jati diri
Geografi itu sendiri atau kembali ke fitrah Geografi, sehingga scientific dignity Geografi
menjadi jelas dan peranan geografiwan maupun ilmu Geografi tidak lagi marginal namun
menjadi sentral dan kardinal. Penulis sangat setuju dengan apa yang dikemukakan oleh
Brian Goodall (1987) yang mensinyalir bahwa beberapa subdisiplin Geografi banyak
mengalami pengaruh adopsi pendekatan ilmu lain dan spesialisasi internal, sehingga
scientific dignitynya menjadi memudar.
……Like Geography as a whole, human geography covers three related themes: (1) spatial
analysis – the recording and description of human phenomena around the erath’s surface,
with special attention to the significance of spaceas a variable; (2) the study of the inter-
relationships between human beings and their environment, both natural and socio-
economic; (3) a regional synthesis which combines the first two themes in specified
localities.
Ternyata pendapat Goodall (1987) tersebut merupakan konfirmasi dari apa yang pernah
dikemukakan oleh Haggett (1983) mengenai tiga pendekatan utama Geografi yang
disimpulkannya melalui elaborasi panjang dan mendalam. Baik Geografi Manusia maupun
cabang-cabang Geografi yang lain hendaknya mengacu pada tiga pendekatan ini dalam setiap
analisisnya apabila tidak mau terjebak pada perangkap marginalisasi keilmuannya.
Pemantapan jati diri Geografi hanya dapat dilakukan dengan memantapkan pemahaman
ketiga pendekatan ini. Dari sinilah titik tolak Konsep dan Pendekatan Geografi dapat
dilakukan. Dengan mendasarkan setiap analisis fenomena geosfer pada pendekatan utama
Geografi ini, peranan Geografi dalam setiap program pembangunan berbasis wilayah
(regional based development) akan berperan sentral dan kardinal karena tidak ada satupun
program pembangunan berbasis wilayah yang tidak berkaitan dengan wilayah, lingkungan,
manusia, sumber daya dan ruang. Pendekatan utama Geografi adalah pendekatan yang tidak
muncul secara instan, namun melalui proses perkembangan paradigma keilmuan Geografi
yang sangat lama sampai saat ini dan hal ini akan dibahas pada paragraf selanjutnya.
Paradigma keilmuan Geografi yang ada pada saat ini tidak muncul secara instan, namun
melalui proses yang lama. Dalam sub bab yang berjudul The Legacy of the Past, Haggett
(1983) mengemukakan 3 fragmen penting yang menandai perkembangan pemikiran
Geografi. Fragmen waktu yang pertama muncul dari penelitian-penelitian mandiri yang
dilakukan oleh individual scholar; fragmen ke dua muncul dari penelitian-penelitian yang
dilaksanakan oleh kelompok-kelompok ilmuwan dan masyarakat serta fragmen yang ke tiga
muncul dari penelitian-penelitian yang dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan yang
lebih luas skalanya baik di tingkat nasional maupun internasional.
Fragmen waktu kedua terjadi mulai abad 19. Upaya menggabungkan penelitian-penelitian
yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh kelompok ilmuwan dan terlihat ada 4 kelompok
ilmuwan yang terlibat. Kelompok pertama muncul di negara-negara tertentu dan kegiatan
eksplorasi yang dilaksanakan telah menambah informasi yang lebih komprehensif tentang
bagian-bagian dunia yang lain. Kelompok kedua adalah kelompok peneliti yang lebih
professional dan anggautanya tidak begitu banyak namun penelitian yang dihasilkan lebih
akurat dan detail. Kelompok ketiga adalah kelompok peneliti yang berorientasi pada bidang
pendidikan semata. Kelompok keempat adalah kelompok tertentu yang merupakan sub
bagian dari kelompok professional yang menekankan penelitiannya lebih spesifik. Hal ini
mulai muncul pada pertengahan abad 20 sejalan dengan munculnya revolusi kuantitatif dan
nampaknya sampai saat ini arah penelitiannya masih terlihat dengan nyata.
DENGAN PENDEKATANNYA
Traditional Paradigm Pemetaan dan penggambaran daerah baru Belum mempunyai ciri
(1): yang memotivasi penelitian dan menghasilkan khusus, karena dianggap
tulisan-tulisan sederhana tentang daerah baru belum berupa metoda
Exploration berupa cognitive descroption semata ilmiah
Paradigm
Traditional Paradigm Analisis yang lebih sistematik tentang peranan
(2): elemen lingkungan terhadap pola kegiatan
manusia. Analisis morfometrik dan kausalitas Ecological Approach
Environmentalism mendominasi serta difokuskan hanya pada
Paradigm wilayah tertentu
Contemporary Analisis pada ruang dan wilayah dalam dimensi
Paradigm (2): temporal dengan menekankan pada
pendekatan kualitatif dan kuantitatif, karena Spatial Approach /
Spatio-temporal pendekatan kuantitatif semata belum mampu
Analysis Paradigm mengungkapkan “the real world Ecological Approach/
(quantitative and
qualitative Regional Complex
analyses) Approach
Sumber: Herbert & Thomas, 1982; Johnston, et al., 2000; Yunus, 2005
Tiga macam paradigma yang muncul pada masa ini mempunyai sifat yang berbeda-beda dan
produknya merupakan pencerminan perkembangan tuntutan kehidupan serta perkembangan
teknologi penelitian serta analisis yang ada.
Suatu hal yang mencolok adalah sangat terbatasnya latar belakang teoritis yang mendasari
penelitian yang dilaksanakan. Inilah sebabnya mengapa ada beberapa pihak yang
berpendapat bahwa untuk menganggap perkembangan pemikiran Geografi (geographical
thought) pada masa itu sebagai hal yang kurang pas. Oleh Harvey (1969) hal ini disebut
sebagai cognitive description yang hanya mengemukakan deskripsi sederhana tentang apa
yang diketahui dan dihasilkan dari pengaturan (ordering) dan klasifikasi (classification) data
yang masih sangat sederhana. Oleh karena sifatnya yang sangat sederhana, belum dapat
diklasifikasikan sebagai metode ilmiah sehingga pada era ini tidak muncul pendekatan yang
khas.
Dalam beberapa hal analisa morfometrik pada taraf awal masih berakar pada deskripsi
kognitif semata namun pengembangan sistem geometris permukaan bumi, koordinat dan
klasifikasi data yang dilaksanakan mulai lebih lengkap dan akurat sehingga telah
membuahkan sistematisasi dan klasifikasi data yang lebih akurat pula dibandingkan dengan
teknik-teknik yang dipakai sebelumnya. Munculnya analisis jaringan (network analysis)
untuk memeplajari pola-pola dan bentuk-bentuk kota, misalnya, merupakan salah satu
contohnya dan kemudian sampai pada batas-batas tertentu dapat dimanfaatkan untuk
membuat prognostasi dan simulasi. Sebagai contoh yang menarik adalah apa yang
dikemukakan oleh Walter Christaller (1933).
Upaya untuk menjelaskan terkondisinya fenomena tertentu, khususnya human phenomena
oleh elemen-elemen lingkungan fisik mulai dilaksanakan lebih baik dan lebih sistematik.
Akar dari pada latar belakang analisis hubungan antara manusia dengan lingkungan alam
bermula dari sini. Perkembangannya kemudian nmpak bahwa analisis hubungan antara
manusia dan lingkungan alam telah memunculkan pandangan baru dalam menempatkan
manusia dalam ekosistemnya. Manusia tidak lagi sepenuhnya didikte atau dikontrol oleh
lingkungan alam, tetapi manusialah yang mempunyai peran lebih besar dalam menentukan
bentuk-bentuk kegiatannya di permukan bumi (geographical possibilism dan probabilism).
Dalam era ini memunculkan kekhasan pendekatan keilmuan dalam Geografi yang kemudian
dikenal sebagai pendekatan ekologis (ecological approach).
Paradigma ini adalah fase terakhir dari perkembangan paradigma tradisional. Di sini nampak
unsur fact finding tradition of exploration di satu sisi dan upaya memunculkan sintesis
hubungan manusia dengan lingkungannya di sisi lain nampak mewarnai paradigma ini.
Konsep-konsep region bermunculan sebagai dasar pengenalan ruang yang lebih detail.
Wilayah ditinjau dari segi tipenya (formal and functional regions); wilayah ditinjau dari
segi hirarkinya (the first order, the 2nd order, the 3rd order etc. regions) dan wilayah ditinjau
dari segi kategorinya ( the single topic, double topic, multiple topic, combined topic, total
regions ) adalah beberapa contoh konsep-konsep yang muncul sejalan dengan
berkembangnya paradigma regionalisme ini dalam membantu analisis. Di samping itu
temporal analysis sebagai salah satu bentuk dimensi dalam causal analysis berkembang pula
pada periode ini ( Rostov,1960; Harvey, 1969). Sementara itu Ley (1977) mengatakan bahwa
penekanan studi wilayah ini adalah tetap pada bentuk bentuk karya manusia dan
keterkaitannya dengan bentang alamnya yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan manusia
itu sendiri.
regional studies may involve the identification of uniform regions, the description of
segments of the earth surface and specialized regional monographs. Its focus was on human
artefacts rather than on people, and landscape is taken as a palimpset of human
activity……………….
Paradigma keilmuan pada era ini merupakan akar munculnya pendekatan Geografi yang
saat ini dikenal sebagai pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach).
Pada masa ini mulai terjadi perkembangan baru di bidang metoda analisis kuantitatif dan
model building. Perkembangan paradigma Geografi pada masa ni juga disebut sebagai
periode paradigma analisis keruangan (the spatial analysis paradigm). Coffey (1981)
mengemukakan ciri-ciri paradigma Geografi kontemprer sebagai berikut:
..is characterized by diversity rather than unity; specialisation rather than generalized
coherence. The discipline, as engaged to-day , is the end product of a complex series of
multiple fagmentations. Among these we may identify (1) the human-physical dichotomy, (2)
the tendency to create special fields as the result of the stress placed upon the non spatial
properties of phenomena under investigation and (3) the emphasis upon techniques
attendant on the rise of quantitative methodologies, (4) there is a distinction between
quantitative and non quantitative methodologies and (5) there is a dichotomy structure
versus process..
Pendapat di atas menyiratkan bawa salah satu ciri-ciri Geografi komtemporer adalah adanya
kecenderungan spesialisasi dan gejala ini merupakan hal yang kemudian dikhawatirkan oleh
banyak pakar akan menjadi pemicu marginalisasi peranan Geografi itu sendiri karena telah
menjauh dari fitrah Geografi. Ditinjau dari teknik analisisnya, periode perkembangan
paradigma kontemporer dibedakan menjadi periode perkembangan analisis kuantitatif dan
perkembangan penggabungan analisis kuantitatif dan kualitatif. Paradigma kuantitatif muncul
sejalan dengan munculnya revolusi kuantitatif dengan ditemukannya alat hitung elektronik
dan teknik-teknik analisis baru. Pada pendekatan ini, variabel yang dianalisis lebih terbatas
dan tertentu sifatnya sesuai dengan hupotesis yang dikemukakan, sehingga hasil yang
diperoleh terbatas pada uji hipotesis yabg dikemukakan sebelumnya. Hal ini menjadi salah
satu kelemahan paradigma ini di mana peneliti tidak mampu mengungkapkan keterkaitannya
dengan variabel lain yang sebenarnya ada dalam dunia nyata. Setiap fenomena yang akan
diteliti ditentukan batas-batasnya terlebih dahulu sehingga peneliti hanya melihat sepotong
kejadian dari the real world itu sendiri. Atas dasar inilah para pakar menyadari pentingnya
analisis kualitatif sebagai sesuatu yang melengkapi analisis kuantitatif untuk mampu
memahami the real world yang merupakan fokus penelitian Geografi.
Paradigma kedua, menggabungkan pendekatan kuantitatif dengan kualitatif. Hal ini muncul
sebagai akibat tidak mampunya pendekatan kuantitatif untuk menjawab realita kehidupan
tentang suatu sistem yang diwarnai bentuk hubungan antar komponen wilayah dan tidak
berdiri sendiri tetapi sangat kompleks sifatnya. Analisis kuantitatif mengarahkan pada
konsistensi penilaian dan sementara itu analisis kualitatif mengungkapkan kedalaman makna
hubungan antar variabel yang sangat kompleks. Keduanya bersifat komplementer serta
menutupi kelemahan masing-masing.
(1) obyek studi Geografi adalah permukaan bumi sebagai sasaran studi yang nyata dan bukan
sesuatu yang abstrak. Obyek ini selalu dikaitkan dengan kepentingan manusia (human
oriented / human centered in nature) sebagai environment of humanity, yaitu an environment
that influences how people live and organize themselves and at the same time an environment
that people helped to modify and build.
(2) studi Geografi menekankan pada ”spatial organization” dan hubungan ekologisnya
dengan manusia (Abler et al. 1971). Bagaimana pemanfaatan ruang dengan baik,
pemanfaatan sumber daya dengan baik dan bagaimana organisasi wilayah dapat ditata untuk
mencapai visi ”sustainability”.
(3) studi Geografi menyadari adanya sistem yang di dalamnya terdapat komponen yang
banyak dan kompleks yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Hal ini mengisyaratkan
adanya ide bahwa gangguan atau perbaikan pada salah satu komponen wilayah dapat
berimbas positif maupun negatif terhadap komponen yang lain baik dalam skala wilayah
lokal, nasional dan bahkan global.
PENDEKATAN UTAMA GEOGRAFI
Dari latar belakang perkembangan penelitian dan pemikiran seperti dijelaskan terdahulu,
muncullah 3 pendekatan utama Geografi yang saat ini diikuti oleh geografiwan dunia, yaitu
pendekatan keruangan (spatial approach); pendekatan ekologikal (ecological approach) dan
pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach). Pada masa perkembangannya
pada abad 20 memang terdapat tarik menarik antara ketiga pendekatan tersebut. Sampai
dengan tahun 30an, penelitian-penelitian cenderung ke pendekatan regional dan
perkembangan selanjutnya menunjukkan pergeseran yang sigifikan. Sampai dengan
pertengahan abad 20 (tahun 50an) penelitian cenderung menekankan pada pendekatan
keruangan.. Sampai dengan akhir abad 20 dan permulaan millenium ketiga, penelitian-
penelitian bergeser ke pendekatan ekologikal.
Berikut ini akan dikemukakan pemahaman pendekatan utama Geografi berserta contoh
aplikasinya, sehinga geografiwan dapat dengan mudah memahami kehandalannya dan
sekaligus keterbatasannya.
Pendekatan keruangan tidak lain merupakan suatu metoda analisis yang menekankan
analisisnya pada eksistensi ruang (space) sebagai wadah untuk mengakomodasikan kegiatan
manusia dalam menjelaskan fenomena geosfer. Oleh karena obyek studi Geografi adalah
geosheric phenomena, maka segala sesuatu yang terkait dengan obyek dalam ruang dapat
disoroti dari berbagai matra antara lain (1) pola (pattern); (2) struktur (structure); (3) proses
(process); (4) interaksi (interaction); (5) organisasi dalam sistem keruangan (organisation
within the spatial system); (6) asosiasi (association); (7) tendensi atau kecenderungan
(tendency or trends), (8) pembandingan (comparation) dan (9) sinergisme keruangan (spatial
synergism). Ke sembilan matra tersebut merupakan penggalian penulis dari berbagai sumber
textbooks, journals dan hasil-hasil penelitian yang diterbitkan oleh para pakar Geografi.
Dengan demikian, minimal ada 9 tema analisis dalam spatial approach yang dikembangkan
oleh disiplin Geografi, yaitu:
Oleh karena alat inderawi manusia sangat terbatas kemampuannya untuk mengamati
kebnampakan Geografis di sesuatu wilayah atau di permukaan bumi, maka untuk maksud
analisis keruangan seseorang memerlukan alat bantu. Di sinilah peranan model visualisasi
permukaan bumi diperlukan kehadirannya. Ketersediaan peta, foto udara maupun citra satelit
sangat diperlukan dalam analisis. Namun demikian, gambaran yang ditampilkan dalam peta,
foto udara ataupun citra satelit ternyata masih sangat rumit dan kompleks sifatnya, sehingga
peneliti dituntut untuk mampu mengabstraksikannya ke dalam visualisasi yang managable.
Simbul-simbul yang lebih sederhana sangat diperlukan dalam hal ini, sehingga analisis dapat
dilaksanakan dengan lebih mudah. Simbul-simbul yang secara konvensional dan masih
dipakai sampai saat ini berujud simbul-simbul titik, garis maupun bidang. Visualisasi dari
salah satu atau gabungan dari padanya sangat tergantung dari sifat data dan tujuan analisis.
Spatial Pattern Analysis: penekanan utama dari analisis ini adalah pada ”sebaran” elemen-
elemen pembentuk ruang. Taraf awal adalah identifikasi mengenai aglomerasi sebarannya
dan kemudian dikaitkan dengan upaya untuk menjawab geographic questions. Seperti telah
diketahui bahwa geographic questions yang dimaksud adalah pertanyaan What, Where,
When, Why, Who dan How atau terkenal dengan 5 W dan 1 H. Sebagai contoh dapat
dikemukakan adanya sebaran kenampakan tertentu (misalnya permukiman) yang
mengelompok pada bagian tertentu dan menyebar pada bagian lain. Dalam hal menjawab
5W dan 1H akan timbul pertanyaan yang utama yaitu (1) fenomena apa yang akan diteliti
(what); dimana gejala tersebut terjadi (where); kapan kenampakan gejala tersebut ada (when);
mengapa terjadi pengelompokan seperti itu (why); siapa yang mendiami (who); dan
bagaimana proses pengelompokan tersebut dapat terjadi (how). Di dalam penelitian uraian
yang mengemukakan mengenai jawaban 5W dan 1H ini mestinya akan tercermin dalam
daftar isi yang dibuat oleh peneliti. Kemendalaman analisis akan terlihat dari penekanan
jawaban yang dimunculkan.
Spatial Process Analysis menekankan pada proses keruangan yang biasanya divisualisasikan
pada perubahan ruang. Perubahan elemen-elemen pembentuk ruang dapat dikemukakan
secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap analisis perubahan keruangan tidak dapat
dilaksanakan tanpa mengemukakan dimensi kewaktuannya, maka dimensi temporal
mempunyai peranan utama dalam hal ini. Minimal diperlukan dua titik waktu untuk
mengenali perubahan. Sebagai contoh adalah penelitian mengenai perkembangan fisik kota
dari tahun 1990 sampai dengan 2005. Dengan membandingkan peta, foto udara atau citra
satelit yang multi temporal maka dapat diketahui mengenai proses keruangan yang terjadi.
Pertanyaan analitis yang perlu dijawab adalah mengapa terjadi perubahan, bagaimana
perubahan itu terjadi dan dampak apa saja yang mungkin timbul dari perubahan tersebut?
Spatial Interaction Analysis menekankan pada interaksi antar ruang. Hubungan timbal balik
antara ruang yang satu dengan yang lain mepunyai variasi yang sangat besar, sehingga upaya
mengenali faktor faktor pengontrol interaksi menjadi sedemikian penting. Tahap selanjutnya
adalah menjawab mengapa terjadi interaksi dan bagaimana interaksi terjadi? Sebagai contoh
yang kongkrit adalah proses pengaruh mempengaruhi antara desa dan kota atau antara
Kabupaten X dan Kabupaten Y atau antara Kecamatan A dan Kexcamatan B. Hal ini
memang tidak dapat dipisahkan dari analisis organisasi keruangan.
Spatial Tendency/Trend Analysis adalah suatu analisis yang menekankan pada upaya
mengetahui kecenderungan perubahan suatu gejala. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan
space based analysis, time based analysis maupun gabungan antara space dan time based
analysis. Sebagai contoh adalah untuk mengetahui apakah terjadi kecenderungan
perkembangan kota ke arah tertentu? Faktor-faktor apa yang menjadi determinan dan
bagaimana proses terjadinya serta konsekuensi keruangan apa yang bakal terjadi baik untuk
jangka pendek maupun jangka panjang? Dengan mengeplot beberapa unsur morfologi kota
baik dalam dimensi multi temporal ataupun bukan, seseorang akan mampu membaca
kecenderungan yang akan terjadi dengan asumsi semuanya berjalan seperti apa yang telah
terjadi sebelumnya. Dalam penelitian untuk program doktor, hal ini mernjadi tuntutan yang
harus dikerjakan oleh peneliti karena menyangkut prognostasi keruangan yang menjadi salah
satu persyaratan kualifikasi ilmiahnya. Analisis ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari
tema-tema analisis sebelumnya, seperti spatial pattern anlysis, spatial structure analysis,
spatial process analysis dan mungkin juga spatial association analysis.
Spatial Comparison Analysis merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk mengetahui
kelemahan atau keunggulan sesuatu ruang dibandingkan dengan ruang yang lain. Hal ini
sangat penting dilaksanakan dalam studi banding yang mendalam mengenai sesuatu wilayah
dalam rangka mempelajari kelebihan-kelebihan wilayah lain untuk digunakan sebagai dasar
penentuan kebijakan pengembangan wilayah, sehingga wilayahnya dapat mengalami
kemajuan yang lebih besar. Kebanyakan studi banding yang dilakukan oleh ”para pejabat”
tidak dilaksanakan secara mendalam ilmiah, namun lebih banyak diwarnai oleh wisata yang
tidak diikuti oleh analisis mendalam mengenai obyek kajiannya. Mestinya, suatu studi
banding harus melibatkan akademisi yang kompeten di bidangnya dan bertugas untuk
melaksanakan comparative analysis yang mendalam ilmiah sehingga pengalaman wilayah
lain baik berupa pengalaman negatif ataupun positif dapat dijadikan sebagai pelajaran yang
bermanfaat bagi daerahnya. Sebagai contoh nyata adalah studi banding mengenai upaya
mengatasi degradasi lahan di sesuatu wilayah. Hal-hal terkait dengan bentuk degradasi lahan,
penyebab degradasi lahan, dampak degradasi lahan dan upaya mengatasi degradasi lahan
dapat dikemukakan dan hal ini dapat dilaksanakan dengan baik oleh pakar yang berkompeten
mengenai degradasi lahan.
Spatial Synergism Analysis merupakan perkembangan baru yang saat ini menjadi sorotan
ilmu pengetahuan, karena sangat terkait dengan erat dengan majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi, khusus teknologi di bidang transportasi dan komunikasi. Makin majunya sistem
transportasi dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya mobilitas barang, jasa, informasi
dan orang menjadi senakin tinggi, sehingga dinamika keruangan juga mnenjadi semakin
tinggi. Dalam era teknologi informasi yang mengglobal, batas-batas wilayah dalam kegiatan
manusia menjadi semakin kabur. Hal inilah semestinya dimanfaatkan sedemikian rupa dalam
setiap program pembangunan, khususnya pembangunan wilayah untuk menciptakan kerja
sama antar wilayah / antar ruang, sehingga nilai lebih yang ditimbulkan oleh kerja sama
tersebut jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan tanpa kerja sama antar wilayah / ruang
atau berdiri sendiri-sendiri. Bidang ini apabila dikemas dengan baik sebenarnya merupakan
kompetensi ilmu Geografi yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Saat ini
ide-ide spatial synergism masih berupa wacana yang kabur, sebagai contoh adalah ide Joglo
Semar, Kartamantul dan sejenisnya, belum merupakan suatu konsep pembangunan yang
mantap dalam mencapai spatial synergism yang mantap atau bahkan nyaris kabur. Spatial
synergism hanya akan berfunmgsi efisien dan efektif apabila disertai dengan konsep
functional synergism.
Beberapa tema analisis keruangan yang dijelaskan di atas dapat berdiri sendiri-sendiri
maupun dapat merupakan gabungan dari beberapa tema analisis tergantung dari pada tujuan
dan kemendalaman pengetahuan yang akan dicapai peneliti. Sebagai contoh upaya analisis
kecenderungan keruangan mungkin dapat dimulai dari identifikasi pola sebaran atau struktur
tentang fenomena geosfera yang akan diteliti dan kemudian dilanjutkan dengan analisis
proses keruangan. Apabila diperlukan dapat pula analisis interaksi dan asosiasi
keruangannya dan akhirnya baru dianalisis kecenderungan keruangan yang terjadi
berdasarkan fakta empirisnya.
Oleh karena pendekatan ini mengacu pada kajian ECOLOGY maka perlu dipahami terlebih
dahulu mengenai makna ekologi itu sendiri. Menurut Worster (1977) secara garis besar
ekologi adalah ilmu yang mempelajari tentang keterkaitan antara organisme dengan
lingkungannya. Namun dalam perkembangannya, ilmu ini mempunyai arah yang bermacam-
macam dan paling tidak ada 3 macam arah perkembangannya. Arah perkembangan pertama
terfokus pada analisis keterkaitan atau interaksi antar organisme dan juga dengan lingkungan
biotik dan abiotiknya dan bagaimana akibat yang ditimbulkannya. Arah perkembangan
kedua sering disebut sebagai scientific ecology atau professional ecology. Hal ini
merupakan subdisiplin dari biologi. Arah perkembangan yang ketiga berkaitan dengan
masalah politik / kebijakan publik dan selalu dikaitkan dengan ide-ide normatif dalam
masyarakat sehingga analisisnya selalu terkait dengan norma-norma yang berkembang dalam
masyarakat. Namun demikian pengertian ekologi yang luas, dianut adalah pengertian yang
pertama.
Dalam Geografi, seseorang harus membatasi diri dalam analisis karena adanya keterbatasan-
keterbatasan akademik yang dipunyai oleh ilmu Geografi itu sendiri dan jangan sampai
terjebak ke dalam scientific ecology yang dikembangkan oleh disiplin biologi, karena ilmu
Geografi tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Sebagai contoh adalah analisis yang
berusaha mengungkapkan mengapa terjadi penurunan populasi badak jawa di daerah suaka
margasatwa Ujung Kulon. Dalam hal ini bidang scientific ecology lebih cocok dibanding
dengan bidang lainnya karena pengetahuan mendalam mengenai karakteristik anatomis
badak, kondisi habitat, penyakit, analisis laboratoris tentang komposisi makanannya dan lain
sebagainya dapat dilakukan oleh ahli biologi dan bukan oleh ahli Geografi. Ilmu Geografi
tidak dibekali dengan ilmu pengetahuan seperti disebutkan.
Berdasarkan uraian di atas timbul pertanyaan mendasar yaitu pendekatan ekologi seperti apa
yang kemudian dikembangkan dalam disiplin Geografi? Seperti dikemukakan pada bagian
terdahulu, bahwa Geografi adalah ilmu yang bersifat ”human oriented” sehingga manusia
dan kegiatan manusia selalu menjadi fokus analisis dalam keterkaitannya dengan lingkungan
biotik, abiotik maupun lingkungan sosial, ekonomi dan kulturalnya (Dangana and
Tropp,1995). Manusia dalam hal ini tidak boleh diartikan sebagai makhluk biologis semata
yang setaraf dengan makhluk hidup lainnya, namun adalah sosok yang dikarunia daya cipta,
rasa, karsa dan karya atau makhluk yang berbudi daya. Dengan demikian interrelasi antara
manusia dan atau kegiatannya dengan lingkungannya akan menjadi tekanan analisis dalam
pendekatan ekologi yang dikembangkan dalam disiplin Geografi. Berdasarkan inventarisasi
penelitian yang ada dapat disimpulkan bahwa pendekatan ekologi dalam Geografi
mempunyai 4 tema analisis utama, yaitu:
Tema analisis human activity – environment interactions menekankan pada kinerja dari
bentuk-bentuk kegiatan manusia. Latar belakang perilaku bukan menjadi pembahasan sentral
namun kegiatan manusianya yang menjadi pembahasan sentral. Perilaku lebih menekankan
pada attitude sedangkan kegiatan manusia lebih difokuskan pada external performance dari
attitude itu sendiri. Kegiatan terkait dengan tindakan manusia dalam menyelenggarakan
kehidupannya sedangkan perilaku terkait dengan sikap batiniah dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang terhadap lingkungannya. Dalam hal ini dikenal berbagai kegiatan manusia
dalam menyelenggarakan kehidupannya antara lain kegiatan pertanian, pertambangan,
perikanan, industri, pembangunan perumahan, transportasi, turisme dan lain sejenisnya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan adanya usaha industri genting di berbagai daerah. Di
daerah yang satu terlihat kemajuan yang sangat bagus, di tempat lain tidak menunjukkan
adanya kemajuan dan bahkan kemunduran. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk mampu
mengungkapkan penyebab terjadinya dengan mengidentifikasi faktor-faktor internal (yang
terkait dengan industri) dan faktor-faktor eksternal yang merupakan elemen-elemen
lingkungannya dan kemudian menganalisisnya, sehingga ditemukan faktor-faktor mana yang
paling menentukan dan faktor-faktor mana yang tidak.
Pendekatan ini tidak hanya kombinasi antara pendekatan keruangan dan pendekatan ekologis
namun merupakan integrasi dari pendekatan keruangan dengan pendekatan ekologis.
Dalam hal ini perlu disadari dan dipahami secara benar tentang pemakaian istilah regional
complex. Istilah ini mengisyaratkan adanya pemahaman yang mendalam tentang property
yang ada dalam wilayah yang bersangkutan dan merupakan regional entity. Kompleksitas
gejala menjadi dasar pemahaman utama dari eksistensi wilayah di samping efek internalitas
dan eksternalitas dari padanya. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini adanya gejala
environmental deterioration yang terjadi di Kawasan Dieng. Di samping upaya untuk
menemukan penyebab proses, dampak deteriorisasi di kawasan tersebut peneliti dituntut tetap
menelusuri dampak yang mungkin timbul di kawasan lain di luar kawasan Dieng, seperti
pada dataran rendah di bagian selatannya termasuk Waduk Mrica bahkan sampai ke
Kabupaten Cilacap. Ternyata kerusakan lingkungan Di Kawasan Dieng juga mempunyai
dampak luas terhadap pendangkalan Waduk yang sangat berguna bagi pertanian di dataran
rendah (The Domino Effect). Tingginya pengendapan sedimen akibat erosi di daerah hulu
akan berakibat terhadap umur waduk. Tanpa pengendalian terpadu eksistensi waduk akan
terancam dan kalau ini sampai terjadi maka social cost yang timbul tidak terkirakan besarnya
karena menyangkut sustainabilitas produk pertanian dan kesejahteraan petani.
Akibat yang jauh terlihat juga di Kabupaten Cilacap walaupun akibat kerusakan di daerah
Dieng bukan penyebab satu-satunya. Hal ini khusus terlihat pada tingginya proses
sedimentasi di muara sungai Serayu. Apabila hal ini tidak segera mendapat perhatian maka
pada waktu yang akan datang eksistensi pelabuhan Cilacap beserta kehidupan nelayan di
sekitarnya akan mengalami gangguan yang signifikan di samping adanya gangguan lain yang
berasal dari sedimentasi yang berasal dari Sungai Citanduy. Dengan membandingkan citra
satelit yang ada intensitas sedimentasi di muara sungai Serayu dapat dipantau dan gejala ini
tidak dapat dilepaskan dari proses deteriorisasi yang terjadi di kawasan hulu Sungai Serayu
khususnya Kawasan Dieng. Analisis terpadu dari berbagai disiplin ilmu memang diharapkan
adanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, khususnya mencari umbi permasalahannya,
mengindentifikasi the working forces, mengidentifikasi the working process,
mengidentifikasi the impacts dan akhirnya dapat dirumuskan alternatif pemecahannya.
Berdasarkan identitas keilmuan disiplin Geografi, sangat jelas bahwa kompetensi pokoknya
adalah kepakaran dalam tata wilayah, karena obyek kajian utama disiplin ini adalah
permukaan bumi. Oleh karena itu peranan Geografiwan dalam setiap program pembangunan
wilayah seharusnya menduduki posisi kardinal dan bukan marginal. Hal ini dapat diraih
apabila jati dirinya sebagai Geografiwan dengan penguasaan pendekatan utamanya dapat
dilakukan, karena hal inilah yang sebenarnya merupakan keunggulan komparatif dan
kompetitif ilmu Geografi. Tanpa pemahaman dan penguasaan yang mantap mengenai
pendekatan utama ini sangatlah sulit berperanan dalam program pembangunan berbasis
wilayah di mana setiap program pembangunan berbasis wilayah pasti selalu
mempertimbangkan aspek keruangan (spatial aspects), aspek kelingkungan (environmental
aspects) aspek kewilayahan (regional aspects).
PENUTUP
Sebagai penutup uraian, secercah harapan muncul di hati penyaji semoga apa yang diuraikan
dapat menjadi iluminasi teman-teman dosen dan adik-adik Geografiwan di Universitas
Negeri Malang. Pendekatan Geografi yang merupakan jati diri disiplin geografi ini harus
betul-betul dipahami dan dihayati, khususnya para dosen, karena di atas pundaknyalah
kualitas generasi penerusnya berada. Bagaimana mungkin seorang dosen mengarahkan,
membimbing, mengajar mengenai disiplin ilmu tertentu, tetapi dirinya tidak memahami jati
diri keilmuannya dengan mantap?
Dalam kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih pada para alumni Fakultas
Geografi, Universitas Gadjah Mada yang sekarang mengemban tugas di Jurusan Geografi,
FIS, Universitas Negeri Malang atas prakarsanya mengundang saya untuk berbagi ilmu di
forum ini. Semoga sedikit uraian ini dapat menjadi obat rindu, dan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu Geografi. Saya menyadari bahwa uraian saya tidak dapat mencakup
keseluruhan materi karena terbatasnya waktu dan saya betul-betul menghimbau untuk
memahami secara mendalam pula mengenai ecological approach, regional approach dan
regional complex approach. Di samping itu saya sangat bahagia melihat kemajuan belajar
staf pengajar di jurusan ini, semoga semakin sukses dan kerja sama dalam melaksanakan Tri
Darma Perguruan Tinggi dengan Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada semakin erat.
REFERENSI
Boulding, Kenneth E. 1968. General System Theory: The Skeleton of Science, in Walter
Buckley (ed.), Modern Systems Research for the Behavioural Scientist. Chicago: Aldine.
Coffey, W.J. 1981. Geography: Towards A General Spatial Systems Approach. London:
Methuen and Co., Ltd.
Dangana, L and Tropp, C. 1995. “Human Ecology and and Environmental Ethics”. In
M.Archia and S.Tropp (eds.) Environmental Management: Issues and Solution.
Chichester: John Wiley and Sons.
Dicken, P. 1998. Global Shift: The Transformation of the Global Economy. London: Sage.
Haggett, P. 1983. Geography: A Modern Synthesis. New York: Harper and Row Publishers.
Herbert, D.T. and Colin J. Thomas. 1982. Urban geography: A First Approach.New York:
John Wiley and Sons.
Johnston, R.J; Derek Gregory; Geraldine Pratt and M.Watts. 2000. The Dictionary of
Human Geography. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Yunus, Hadi Sabari 2005. Metode Penelitian Geografi Manusia: Pendekatan dan
Permasalahan Penelitian. Disampaikan dalam Forum Seminar Pendekatan dan Metode
Penelitian Geografi dalam Rangka Penyusunan Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada.
Yunus, Hadi Sabari 2006. Megapolitan: Konsep, Problematika dan Prospek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Yunus, Hadi Sabari 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Geography is descriptive and explanatory as it analyses the face of earth and it views its
subject matter as changing and dynamic rather than static and fixed (Finch, C. Vernor,
1949).
Geography is the science of the earth and its life, influence the way we live, the food we eat,
the clothing we wear, the homes we build and the recreational activities we enjoy (Ekblaw
and Mulkerne, 1958).
Geography is such a dynamic subject that there are daily occurences which show how
current events and human relationships are affected by geographic factors. Maps,
photographs and clippings which deal with such happenings when posted on a bulletin board
and made the basis for class discussion will help to arise class in geography (Freeman, W.O
and orris, 1958).
Geography, its goal is nothing less than an understanding of the vast, interacting system
comprising all humanity and its natural environment on the surface of the earth (Ackerman,
1963).
Geography seeks to explain how the subsystems of the physical environments are organized
on the earth’s surface, and how men distribute himself over the earth in relation to physical
features and to other men (Academy of Science, 1965).
Geography is concerned with giving men an orderly descrition of their world. .however. the
contemporary sress is on geography as the study of spatial organization expressed as
patterns and processes (Taaffe, 970).
Geography..a science concerned with the rational development, and tsting of theories that
explain and predict the spatial distribution and location of various characteristics on the
surface of the earth (Yeates, 1968).
Advertisements
Report this ad
Report this ad
Budi Handoyo
E- mail: budi.handoyo78@yahoo.com
ABSTRAK: Dewasa ini kerusakan lingkungan makin meluas dan menyentuh aspek fisik
serta moral masyarakat. Kerusakan air, udara, tanah, dan hutan akibat perilaku manusia
secara langsung maupun tidak langsung telah terbukti berdampak buruk bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Karena itu, solusi mendasar, sistemik, dan berkelanjutan diperlukan agar
kerusakan tersebut dapat dicegah tidak semakin meluas dan tak terkendali.
Sekolah Adi Wiyata dan Kurikulum 2013 merupakan wahana dan sistem yang penting dalam
pengembangan karakter peduli lingkungan untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih
lanjut. Sistem pendidikan dalam sekolah Adi Wiyata membelajarkan siswa secara holistik
tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap lingkungan, selain juga menjadi gerakan peduli
lingkungan yang melibatkan seluruh stakeholders sekolah: siswa, guru, tenaga administrasi,
orang tua, serta masyarakat sekitar. Kurikulum 2013 menempatkan kepedulian—lingkungan
sebagai kompetensi inti (KI 2) yang harus diimplementasi dalam pembelajaran secara vertikal
dan horizontal. Dengan demikian sekolah dapat menjadi wahana dan sistem yang nyaman
dan dinamis bagi siswa untuk megembangankan good knowing, good filling, dan good acting
tentang lingkungan hidup.
Kata Kunci: Pendidikan Geografi, Sekolah Adi Wiyata, dan Peduli Lingkungan
Pendidikan geografi memiliki peran dan tujuan yang strategis dalam menumbuhkembangkan
karakter peduli lingkungan. Secara ideal hal itu tertuang pada salah satu tujuan pendidikan
geografi, yaitu menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan hidup (Permendiknas,
23/2006). Tujuan pendidikan geografi yang demikian mendapat ”dukungan” dengan adanya
sekolah adi wiyata, sebab sekolah dengan konsep adiwiyata bertujuan menciptakan kondisi
yang baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah,
sehingga dikemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut bertanggungjawab dalam upaya
penyelamatan lingkungan bagi sekolah dasar dan menengah di Indonesia.
Pembelajaran geografi yang berlangsung dewasa ini belum mampu mendayagunakan potensi
sekolah adi wiyata tersebut. Pembelajaran masih cenderung berpusat pada materi, teoritis dan
abstrak, berfokus di kelas dengan prosedur ketat, penggunaan media yang kurang, dan
penilain dengan norma. Kondisi seperti itu terjadi karena belum ada persepsi yang sama
tentang nilai-nilai karakter pendidikan geografi, bagaimana mengukur dan menindaklanjuti
dari hasil pengukuran tersebut, serta implikasinya pada rapor siswa.
Pendidikan geografi memiliki cakupan yang luas dan berkembang dari waktu ke waktu.
Pendidikan geografi merupakan suatu disiplin ilmu yang dilandasi oleh ranah pendidikan dan
geografi (Reinfried, tanpa tahun). Pendidikan geografi merupakan konsep yang kompleks
yang dapat dipahami dalam kaitan dengan ilmu geografi, tujuan secara detail, penjelasan
posisinya pada pendidian formal dan in formal, dan berkenaan dengan komponen
esensialnya (Gerber, tanpa tahun dalam Handoyo, 2012).
“(1) to develop in young people a knowledge and understanding of the place they live in, of
other people and places, and of how people and places inter-relate and interconnect; of the
significance of location; of human and physical environments; of people-environment
relationships; and of the causes and consequences of change, (2) to develop the skills needed
to carry out geogra–phical study, e.g. geographical enquiry, mapwork and fieldwork. (3) to
stimulate an interest in, and encourage and appreciation of the world around us, and (4) to
develop an informed concern for the world around us and an ability and willingness to take
positive action, both locally and globally.”
Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa tujuan pendidikan geografi adalah menyediakan orang
yang berpengetahuan geografi, yaitu memahami sistem ling-kungan fisik dan manusia yang
saling berkaitan dan masyarakat dan tempat tinggalnya berinteraksi. Dengan demikian
pendidikan geografi tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik
tentang dunia dan pengembangan skills geografi dasar, tetapi juga berkomitmen untuk
menumbuh-kembangkan kepribadian dan penguatan sikap untuk partisipasi penuh dalam
kehidupan yang dewasa dan masyarakat. Hal itu juga mencakup pembahasan isu-isu etika,
nilai, keadilan, dan moralitas (International Geographical Union Commission on
Geographical Education dalam Reinfried, tanpa tahun). Masalah itu berkenaan dengan
kepentingan dunia dan perbedaan budayanya, peduli terhadap lingkungan fisik dunia yang
indah dan kondisi kehidupan yang berbeda, kualitas lingkungan dan alam, dan habitat
manusia, evaluasi yang cerdas pada masalah kini, dedikasi untuk berkontribusi pada
pemecahan masalah, perasaan simpati pada masyarakat dan cara-cara hidup yang berbeda
dan menghargai hak asasi manusia (Haurbrich, 2006).
Kecenderungan pendidikan di abad XXI ini ini berkenaan dengan konsep geografi terpadu
(integrative) yang digunakan dalam proses pendidikan dan ber-fikir kritis, pendidikan untuk
pembangunan berkelanjutan, informasi dan teknologi (ICT). Siswa perlu bertindak sebagai
warga negara yang bertanggung jawab berkenaan dengan isu-isu kunci yang kompleks, yaitu
lingkungan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pendidikan geografi merupakan suatu
bidang pendidikan yang mengajarkan siswa tinking skills (keterampilan berpikir) yang
diperlukan untuk memahami dan bertindak secara berkelanjutan di dunia. Tanpa geografi,
anak-anak muda tidak siap untuk masa depan yang global. Oleh karena itu, pada era dewasa
ini konsep pendidikan geografi dipengaruhi oleh empat parameter utama, yaitu nilai-nilai
umum yang berlaku dalam sistem sekolah, konsep pengetahuan geografi, konsep
pembelajaran, dan epistimologi ilmu pengetahuan (Hertig dan Varcer, 2004). Oleh karena itu
geografi pada sekolah dasar dan sekolah menengah berperan penting dalam menyiapkan
peserta didik yang terampil berpikir kritis dalam rangka memahami dunia. Dengan
keterampilan berpikir kritis tersebut peserta didik dapat meneliti dan menjawab pertanyaan
yang berkaitan dengan hubungan timbal balik antara masyarakat dengan ruang dan hubungan
timbal balik anara masyarakat yang berbeda-beda ke seluruh ruang.
Di Indonesia tujuan pendidikan geografi dapat ditemuai pada standar isi mata pelajaran
geografi yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP, 2006),
tujuan mata pelajaran geografi adalah: (1). Memahami pola spasial, lingkungan dan
kewilayahan serta proses yang berkaitan. (2). Menguasai keterampilan dasar dalam
memperoleh data dan informasi, mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan geografi.
(3). Menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber
daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat.
Tujuan tersebut tidak hanya mencakup aspek kognitif berupa pengetahuan peserta didik
tentang pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan, tetapi juga
mencakup aspek psikomotorik yang berupa keterampilan untuk memperoleh,
mengkomunikasikan, dan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya, serta cakupan aspek
afektif yang berupa kepedulian pada lingkungan dan toleransi terhadap keragaman budaya
tempat siswa berada.
Berdasarkan tujuan pendidikan geografi sebagaiman diuraikan, setidaknya terdapat tujuh nilai
karakter yang terkadung pada pendidikan geografi. Ketujuah nilai tersebut adalah arif, peduli,
toleran, kreatif, kritis, cerdas, dan tanggung jawab dalam menghadapi masalah sosial,
ekonomi dan ekologis. Arif berarti peserta didik dapat menggunakan nilai-nilai universal
maupun lokal untuk menyelesaikan permasalahan, peduli berarti memiliki perhatian dan
komitmen terhadap maslah ekologi dan social yang terjadi dan turut serta memecahkannya,
toleran berarti dapat mengakui-menghormati-menghargai keragaman budaya dalam
masyarakat, kritis berarti dalam mengidentifikasi masalah dan gagasan-gagasan
pemecahannya. Cerdas berarti peserta didik dapat memecahkan masalah-masalah di
lingkungannya. Tanggung jawab berarti ada keberanian untuk mengambil keputusan dan siap
menanggung resiko yang yang terjadi atas keputusannya. Dengan demikian pembelajaran
geografi yang ideal dapat mengembangkan pemahaman peserta didik tentang kegeografian-
termasuk lingkungan dan memupuk sikap aktif, kretif, kritis, cerdas, arif dan tanggung jawab
terhadap masalah-masalah kegeografian dan lingkungan tersebut.
Dari ketujuh nilai karakter pendidikan geografi tersebut, terdapat tiga nilai karakter utama,
yaitu arif dalam penggunaan sumber daya alam, peduli lingkungan, dan toleran terhadap
keragaman budaya, dan empat nilai karakter pendukung, yaitu kritis, kreatif, cerdas, dan
tanggung jawab. Dalam implementasi pembelajaran, sebaiknya mengacu pada nilai karakter
utama, tanpa meninggalkan nilai karakter pendukung. Dengan demikian pembelajaran
geografi diharapkan dapat menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik agar menjadi
sosok dengan berkualifikasi (1) berpengatahuan luas dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap
pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan. (2) memiliki
kepedulian yang tinggi pada masalah-masalah lingkungan hidup, sosial, dan budaya. (3)
memiliki sikap dan perilaku pro aktif terhadap perubahan informasi geografis. (5) memiliki
sikap yang toleran terhadap keragaman budaya. (6) mampu mengkomunikasikan informasi
geografis dengan baik. (7) memiliki kesadaran untuk perbaikan secara terus menerus atas
kekuran yang dimilikinya.
Adiwiyata berasal dari kata adi dan wiyata. Adi berarti besar, agung, baik, ideal atau
sempurna, dan wiyata berarti tempat dimana seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan,
norma dan etika (Silvian, 2012). Adiwiyata merupakan salah satu program Kementrian
Lingkungan Hidup dalam rangka mendorong terciptanya pengetahuan dan kesadaran warga
sekolah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Dalam program ini diharapakan setiap
warga sekolah ikut terlibat dalam kegiatan sekolah menuju lingkungan yang sehat serta
menghindari dampak lingkungan yang negatif.
Tujuan Program Adiwiyata adalah menciptakan kondisi yang baik bagi sekolah untuk
menjadi tempat pembelajaran dan penyadaran warga sekolah, sehingga dikemudian hari
warga sekolah tersebut dapat turut bertanggungjawab dalam upaya penyelamatan lingkungan
bagi sekolah dasar dan menengah di Indonesia. Program Adiwiyata harus berdasarkan norma-
norma Kebersamaan, Keterbukaan, Kejujuran, Keadilan, dan Kelestarian Fungsi Lingkungan
Hidup dan Sumber Daya Alam. Secara umum tujuan program adiwiyata membentuk sekolah
peduli dan berbudaya lingkungan yang mampu berpartisipasi dan melaksanakan upaya
pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan bagi kepentingan generasi sekarang
maupun yang akan datang. Secara khusus program adiwiyata bertujuan mewujudkan warga
sekolah yang bertanggung jawab dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
melalui tata kelola sekolah yang baik untuk untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Dalam implementasinya, ada dua prinsip yang diacu dalam konsep adi wiyata, yaitu: (1)
Prinsip Partisipatif. Dalam prinsip ini keberadaan komunitas sekolah dilibatkan dalam fungsi
manajemen sekolah yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi
sesuai dengan status dan fungsi masing-masing. (2) Prinsip Berkelanjutan. Dalam prinsip ini
semua stake holders harus menyadari dan mengupayakan kegiatan dilakukan secara terus
menerus dan komprehensif., artinya seluruh kegiatan harus dilakukan secara terencana dan
terus menerus dan komprehensif.
Kekuatan sekolah Adi Wiyata yang demikian besar dapat menjadi wahana strategis bagi
implementasi pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan karakter bukan sekedar
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter
menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik
menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif)
nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter
yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan
tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik
(moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-
menerus dipraktikkan dan dilakukan.
Dalam buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 juga
dipaparkan tujuan, fungsi dan media pendidikan karakter. Pendidikan karakter bertujuan
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,
bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa
berdasarkan Pancasila.
Fungsi pendidikan karakter adalah (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa
yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompe-titif dalam pergaulan
dunia.
Lickona (1992), ahli pendidik karakter dari Cortland University dikenal sebagai Bapak
Pendikar Amerika yang menerapkan idenya pada tingkat pendidikan dasar & menengah.
Pendidikan karakter mencakup: (1) moral knowing (pengetahuan tentang moral); (2) moral
feeling (perasaan tentang moral), dan (3) moral action (perbuatan moral atau act morally).
Sacara detail cakupan pendidikan karakter sebagai berikut.
Self-knowledge
Pendidikan karakter (PK) merupakan pendidikan budi pekerti plus. PK melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Penerapan PK secara
sistematis dan berkelanjutan menjadikan seorang anak cerdas emosinya. Kecerdasan emosi
ini akan menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak/remaja menyongsong masa
depan. Sebab, Seseorang yang cerdas emosi akan lebih mudah dan berhasil menghadapi
segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan akademis di sekolah.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif di sekolah, terdapat 11 prinsip (Lickona
dkk, 2007), yaitu:
(1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya. (2) definisikan
‘karakter’ secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku. (3) gunakan
pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter. (4)
ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian. (5) beri siswa kesempatan untuk
melakukan tindakan moral. (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang
yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa
untuk berhasil. (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa. (8) libatkan staf sekolah sebagai
komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter
dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa.
(9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi
inisiatif pendidikan karakter. (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra
dalam upaya pembangunan karakter. (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah
sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Sebagai kerangka kerja, dalam PK penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti/utama
dan nilai-niai karakter pendudkung. Nilai karakter utama tersebut antar alain berupa
keimanan, kejujuran, rasa hormat, kepedulian. Nilai-nilai karakte pendukung berupa
komitmen, kesungguhan, ketekunan dan kegigihan–sebagai basis karakter yang baik.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan di sekolah adalah: (1) Sekolah berkomitmen untuk
mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud. (2) mendefinisikan
karakter dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. (3)
mencontohkan nilai-nilai karakter, mengkaji dan mendiskusikannya, meng-gunakannya
sebagai dasar dalam hubungan antar warga sekolah. (4) mengapresiasi manifestasi nilai-nilai
tersebut di sekolah dan masyarakat. Hal terpenting, semua komponen sekolah bertanggung
jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.
Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan
merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas (bisnis, orga-nisasi pemuda, lembaga
keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter.
Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan
baik, karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada
dukungan program.
Sebagimana diuraikan pada pembahasan awal, bahwa salah satu permalahan mendasar
lingkungan adalah kepedulian setiap individu—termasuk siswa terhadap lingkungan yang
kurang. Kepedulian lingkungan tersebut sebenarnya merupakan salah satu isu global penting
di abad 21 ini. Isu kepedulian itu muncul sebagai dampak kerusakan lingkungan yang
semakin meluas dan mengkawatirkan masa depan umat manusia (Lamijan, 2011; Arjana,
IGB. 2010). Kerusakan lingkungan telah menyentuh aspek mendasar sebagai dampak dari
kesalahan dalam memandang hubungan antara manusia dengan lingkungan. Paradigma
Antroposentris telah menjadikan lingkungan sebagai obyek yang perlu diekspoatasi sebesar-
besarnya, tanpa memperhatikan keberlanjutannya. Cara hidup yang “antroposian” terbukti
mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Fenomena global warming dan climate
change yang berakibat pada peningkatan suhu udara, curah hujan yang tidak pasti, banjir
semakin besar, kemerosotan produksi pertanian dan ancaman penyakit mematikan merupakan
masalah terbesar bagi umat manusia di masa mendatang.
Dalam konteks peran pembelajaran geografi di sekolah, terdapat dua faktor pendorong yang
sangat menguntungkan bagi peningkatan peran pendidikan geografi dalam
menumbuhbuhkembangkan kepedulian lingkungan. Pertama, kehadiran Sekolah Adi Wiyata
yang memiliki prinsip partisipatif dan keberlanjutan. Sekolah Adi Wiyata bertujuan
menciptakan kondisi yang baik bagi sekolah untuk menjadi tempat pembelajaran dan
penyadaran warga sekolah, sehingga dikemudian hari warga sekolah tersebut dapat turut
bertanggungjawab dalam upaya penyelamatan lingkungan dengan mendasarkan pada norma
kebersamaan, keterbukaan, kejujuran, keadilan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
sumber daya alam. Secara umum tujuan program Adiwiyata membentuk sekolah peduli dan
berbudaya lingkungan yang mampu berpartisipasi dan melaksanakan upaya pelestarian
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan bagi kepentingan generasi sekarang maupun
yang akan datang. Secara khusus program adiwiyata bertujuan mewujudkan warga sekolah
yang bertanggung jawab dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan melalui tata
kelola sekolah yang baik untuk untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Kekuatan sekolah Adi Wiyata yang demikian besar dapat menjadi wahana strategis bagi
implementasi pendidikan geografi untuk pengembangan kepedulian lingkungan. Pendidikan
geografi bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, tetapi lebih dari
itu, pendidikan geografi dapat menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang
baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah,
mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan
kata lain, pendidikan geografi yang baik harus melibatkan aspek ”pengetahuan yang baik
(moral knowing), akan tetapi juga ”merasakan dengan baik (loving good/moral feeling), dan
perilaku yang baik (moral action). Pendidikan geografi juga menekankan pada habit atau
kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.
Kedua, kurikulum 2013. Kerikulum ini dikembangkan dengan motivasi yang kuat agar
permasaahan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, salah satu diantaranya kerusakan
lingkungan dapat teratasi secara mendasar dan berkelanjutan. Ada empat perubahan yang
dilakukan, yaitu perubahan standar kelulusan, standar isi, standar proses, dan standar
penilaian.
Dalam standar isi dikenal 4 kompetensi inti (KI) yang berisi nilai-nilai yang harus
dikembangkan dalam pembelajaran, yaitu nilai spiritual, sosial, pengetahuan, dan penerapan
pengetauan/keterampilan. Kompetensi inti tersebut memiliki kedudukan yang strategis,
karena berfungsi menjadi pengikat bagi kompetensi dasar secara vertikal dan horizontal.
Secara vertikal mengikat kompetensi dasar satu dengan kompetensi dasar berikutnya, dan
secara horizontal mengikat kompetensi dasar mata pelajaran satu dengan mata pelajaran lain
(Kementerian P dan K, 2013).
Salah satu nilai karakter dalam kompetensi inti sosial (KI 2) adalah nilai peduli-termasuk
peduli terhadap lingkugan. Nilai peduli ini mengikat kompetensi dasar untuk diwujudkan
dalam pembelajaran geografi secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, nilai
kepedulian lingkungan ini perlu diaktualisasikan dalam pembelajaran pada kompetensi dasar
yang relevan dari kelas X, XI, dan Kelas XII. Secara horizontal, nilai peduli lingkungan ini
juga perlu diaktualisasikan dalam pembelajaran mata pelajaran lain. Dengan demikian siswa
memperoleh akses yang besar untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai komitmen kepedulian
lingkungan secara mendalam dan terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya.
Untuk itu pendidikan geografi di sekolah perlu melakukan revitalisasi dengan melakukan
perubahan yang lebih signifikan terhadap paradigma pembelajaran, strategi, model, bahan
ajar, dan penilaiannya. Performansi pendidikan geografi kedepan diharapkan dapat
ditampilkan dengan perencanaan pembelajaran yang lebih mencerdaskan; strategi/model
pembelajaran yang lebih aktif, kooperatif, dan kontekstual (ACTUAL); bahan ajar yang lebih
kontekstual; dan penilaian yang lebih otentik.
Kesimpulan
Kerusakan lingkungan makin meluas dan menyentuh aspek fisik serta moral masyarakat.
Oleh sebab itu, solusi mendasar, sistemik, dan berkelanjutan diperlukan agar kerusakan
tersebut dapat dicegah tidak semakin meluas dan tak terkendali. Sekolah Adi Wiyata dapat
menjadi wahana strategis untuk menubuhkembangkan nilai karakter peduli lingkungan pada
stake holders: siswa, guru, tenaga administrasi, orang tua, dan masyarakat sekitar sehingga
sekolah dapat menjadi wahana yang nyaman dan dinamis bagi siswa untuk megembangankan
good knowing, good filling, dan good acting tentang lingkungan hidup.
Salah satu tujuan pendidikan geografi mengembangkan karakter peduli lingkungan. Dengan
keberadaan sekolah adi wiyata dan kurikulum 2013, implementasi pendidikan geografi di
sekolah perlu direvitalisasi pada aspek perencanaan pembelajaran, strategi dan model
pembelajaran, bahan ajar, dan penilaian. Perencanaan pembelajaran perlu disusun yang lebih
mencerdaskan; strategi/model pembelajaran yang lebih aktif, kooperatif, dan kontekstual
(ACTUAL); bahan ajar yang lebih kontekstual dan spasial; dan penilaian yang lebih otentik.
Daftar Rujukan
Arjana, IGB. 2010. Pendidikan Geografi dalam Strategi Antisipasi Bencana Alam di
Indonesia. Prosiding. Seminar Nasional Peranan Pendidikan Geografi Dalam Pembangunan
Wilayah di Surabaya 11-12 Desember 2010
Batu TV, 2012. Imlementasi program Malang Ijo Royo-royo.
Bohlin, Karen E; De-borah Farmer; Kevin Ryan. 2001. Building Character in School)
Bashory, Khoiruddin. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa, Senin, 15 Maret 2010.
Lickona. 1992. Educating for Character: How our school can teach respect & responsibility.,
New Yor Bantam Books.
Puskur. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman
Sekolah.
Reinfried, Sibylle dan Hertig Philippe. Tanpa tahun. Gegraphical Education: How Human-
Environment-Society Processes Work. Encyclopedia of LifeSupport System.
Sinta,Novi, Mariartini, sri Asih. Tanpa tahun. SMA Negeri 1 Kuta Selatan sebagai model
sekolah Adi Wiyata. (online) (http://www.smansakutsel.sch.id/artikel/sma-negeri-1-kuta-
selatan-sebagai-model-sekolah-adi-wiyata/) diakses 13 Juli 2013
Budi Handoyo
Jurusan Geografi FIS Universitas Negeri Malang
E-mail: budi.handoyo78@yahoo.com
Reflecting to the people development on the last decade shows that there is a people moral
decay. The case of corruption, violence, pornography up to mass cheating on exam that
contaminate the young generation. These realities appear a new awareness to strengthen a
character education through a learning model. The result of the research were a model of the
geographical learning for strengthening student character. There were eight steps of them,
are communicating learning objective; safety moment; observation; communication and
conformation; elaboration; discussion; action; conclusion, and reflection and follow up.
Implementing the learning model will able to develop character values such as critical
thinking, problem solving, real action, and environmental caring. The learning model is
applicable to develop student competences in relating with the sustainable development.
Pendidikan karakter sebagai upaya pemecahan masalah dalam kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa, khusunya dalam masalah lingkungan semakin disadari urgensinya oleh
pemerintah sejak beberapa tahun terakhir (Mangunsong, 2010; Nuh, 2011). Kesadaran itu
tumbuh karena keprihatinan terhadap kemerosotan moral yang berlangsung dimasyarakat,
termasuk dikalangan remaja dan anak-anak, seperti kekerasan, pornografi, contek masal,
buang sampah sembarangan, boros energy dan air.
Karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku seseorang yang khas untuk hidup dan
bekerjasama dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang
berkarakter bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung-jawabkan keputusan yang
dibuatnya (Suyanto, 2010). Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hokum
dan tata karma, budaya dan adat istiadat (Sudrajat, 2010).
Mengacu pada konsep tersebut, terdapat sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal,
yaitu cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab,
kejujuran/amanah, diplomatis, hormat dan santun, dermawan, suka tolong-menolong dan
gotong royong/kerjasama, percaya diri dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik
dan rendah hati, toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Sementara itu, Kementrian Pendidikan
Indonesia (2010) mengelaborasi 18 nilai karakter bangsa yang perlu ditumbuhkembangkan di
sekolah, yaitu relegius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
tanggung jawab.
Kalitas pembelajaran yang demikian akan mendorong siswa memahami nilai-nilai inti dengan
mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model dan mempraktekkan
pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti
dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian,
membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan
merefleksikan pengalaman hidup. Dalam konteks seperti itu diperlukan pembelajaran yang
dialogis antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan semua warga
sekolah. Untuk pembelajaran di kelas dapat diterapkan pembelajaran kooperatif dengan
memberikan penguatan pada kegiatan kelompok.
Pembelajaran geografi yang berlangsung dewasa ini belum mampu memenuhi tuntutan
harapan tersebut. Pembelajaran masih cenderung berpusat pada materi, teoritis dan abstrak,
berfokus di kelas dengan prosedur ketat, penggunaan media yang kurang, dan penilain
dengan norma. Kondisi seperti itu terjadi karena banyak faktor, antara lain kompetensi guru
geografi yang masih kurang dalam mengembangkan pembelajaran, memilih pendekatan,
strategi belajar dan esesmen (workshop MGMP Guru Geografi Kab Pasuruan, 2010;
Purwanto, 2010). Oleh karena itu, salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan ke depan
adalah mengembangkan model pembelajaran geografi yang dapat merespon kebutuhan
tumbuhnya pengetahuan siswa yang luas dan karakter yang matap.
METODE
Kegiatan uji coba dirancang sebagai berikut: (a) Reviu Ahli Pembelajaran untuk mengetahui
ketepatan langkah-langkah pembelajaran yang menguatkan karakter peserta didik. Telaah
dilakukan oleh 2 (dua) orang ahli, yaitu satu orang ahli dalam pembelajaran geografi, dan
satu orang ahli dalam pendidikan nilai. (b) Uji Coba Lapangan digunakan utuk merevisi
model pebelajaran sebelum digunakan dalam proses pembelajaran.
Subyek uji coba adalah ahli pembelajaran dan mahasiswa calon guru geografi off A semester
genap 2010/2011 Prodi Pendidikan Geografi FIS UM. Ahli pembelajaran geografi dipilih
Dosen program studi pendidikan geografi yang memiliki kualifikasi S2 dan/atau S3 dalam
teknologi pendidikan/ pembelajaran, dan pendidikan nilai atau pendidikan umum.
Instrumen pengumpulan data berupa angket tertutup dan angket terbuka. Angket tertutup
digunakan untuk menjaring informasi penilaian, sedangkan angket terbuka untuk menjaring
tanggapan ahli pembelajaran dan audiens.
Analisis Data. Analisis data penelitian dilakukan secara deskriptif. Data dianalisis
menggunakan validasi ahli (expert judgement). Uji validitas dilakukan pada model
pembelajaran geografi untuk penguatan karakter oleh validator ahli dalam sintaks model
pembelajaran, pelaksana pembelajaran, dan audiens pembelajaran. Validator memberikan
penilaian terhadap model pembelajaran geografi untuk enguatan karakter. Semua validator
memberikan skor dan saran pada kuesioner yang diberikan kepadanya. Selain itu, validator
juga memberikan kesimpulan berupa kevalidan model pembelajaran yang telah diproduksi.
Hasil pemberian skor dan saran akan dianalisis secara deskriptif oleh pengembang. Data
kuantitatif dianalisis dengan persentase, dan kriteria kelayakan yang digunakan skor nilai
minimal 76%.
HASIL PENGEMBANGAN
Hasil pengembangan penelitian ini berupa model Pembelajaran Geografi untuk Penguatan
Karakter peserta didik (PGPK) yang meliputi 8 langkah, yaitu:
(2) Melakukan safety moment yang berupa pesan keselamatan. Peserta didik diajak untuk
memastikan keselamatan sebelum memulai kegiatan observasi. Misalnya memastikan sepatu
yang dipakai aman, tidak berSMS-an sambil berjalan.
(3) Melakukan observasi. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan informasi atau data
tentang objek yang diamati.
(4) Komunikasikan dan konfirmasi. Data hasil observasi dikomunikasikan oleh salah satu
wakil kelompok, dan dikonfirmasi oleh kelompok yang lain, serta guru.
(6) Mendiskusikan permasalahan. Berdasarkan data yang telah tekumpul, bahan – bahan
yang telah dibaca, peserta didik mendiskusikan permasalahan. Misalnya permasalahan yang
disiskusikan adalah “bagaimana pengaruh kerusakan sungai Brantas terhadap penyediaan air
secara berkelanjutan”.
(7) Melakukan tindakan. Berdasarkan solusi hasil diskusi terhadap permasalahan dapat
diambil satu atau beberapa solusi praktis untuk diwujudkan dalam tindakan. Misalnya tidak
buang sampah di selokan/sungai, melakukan penghijauan.
(8) Membuat kesimpulan dan melakukan refleksi dan tindak lanjut. Setelah ke tujuh langkah
pembelajaran dilakukan, langkah terakhir berupa kesimpulan, refleksi dan tindak lanjut.
Kesimpulan dilakukan menyatukan antara hasil observasi, elaborasi, permasalahan, dan
tindakan. Refleksi dilakukan dengan menanyakan kepada peserta didik “bagaimana perasaan
mereka setelah mengikuti pembelajaran?” dan juga menanyakan rencana tindak lanjut
masing-masing peserta didik.
Hasil validasi produk pengembangan berupa: (1) data hasil validasi ahli pembelajaran, dan
(2) data hasil validasi audien. Data hasil validasi ahli pembelajaran sebagai berikut.
Validator I Validator 2
Setelah validasi tahap pertama selesai, produk hasil pengembangan yang telah direvisi,
diajukan untuk divalidasi tahap kedua. Hasil validasi tahap kedua menunjukkan, bahwa dari 8
(kedelapan) langkah pembelajaran yang telah divalidasi tahap pertama, terdapat 6 (enam)
langkah pembelajaran yang memiliki skor 2 atau valid, yaitu menyampaikan tujuan
pembelajaran, melakukan safety moment, observasi, komnikasi dan konfirmasi, elaborasi, dan
melakukan tindakan. Sedangkan kedua langkah yang lain memiliki skor 1 atau revisi, yaitu
diskusi dan kesimpulan, dan refleksi dan tindak lanjut. Atas usulan validator kedua tersebut
dilakukan revisi produk pengembangan pada langkah pembelajaran yang perlu revisi.
Hasil uji coba produk setelah dilakukan validasi produk pengembangan model pembelajaran
geografi untuk penguatan karakter peserta didik sebagai berikut.
1 2
Dari 8 (kedelapan) langkah pembelajaran, skor tertinggi sebesar 97%, dan skor terendah
88,20%. Skor tertinggi pada langkah melakukan safety moment dan observasi, dan skor
terendah pada langkah penyampaian tujuan pembelajaran, dan refleksi dan tindak lanjut. Skor
hasil uji coba tersebut menunjukkan, bahwa secara keseluruhan skor hasil uji coba berada
diatas kriteria yang telah ditentukan. Hal itu berarti langkah-langkah pembelajaran dapat
diterima oleh peserta didik dan dapat diterapkan oleh pendidik dalam proses pembelajaran.
Analisis data hasil validasi I dan validasi II tertera pada tabel berikut.
Masukan validator I, bahwa langkah pembelajaran yang tidak valid tersebut perlu dilakukan
revisi. Revisi yang dilakukan, yaitu (1) elaborasi. Dalam kegiatan elaborasi disarankan agar
pengetahuan peserta didik dapat diperluas melalui berbagai sumber, seperti membaca buku
teks, media cetak dan elektronik, dan berdiskusi dengan ahli. (2) diskusi dan kesimpulan.
Untuk kegiatan diskusi dan kesimpulan disarankan agar langkah ini dapat memastikan setiap
peserta didik berkontribusi pendapat atau gagasan. Untuk kesimpulan disarankan dapat
berupa item-item kongkret yang dapat ditindaklanjuti dalam tindakan nyata. (3) melakukan
tindakan. Untuk tindakan disarankan agar dapat dibuat perencanaan operasional sebagai
acuan di lapangan. (4) refleksi dan tindak lanjut. Untuk refleksi dan tindak lanjut disarankan
agar dapat menonjolkan aspek perasaan peserta didik setelah melakukan serangkaian
pembelajaran.
Berdasarkan masukan validator II, bahwa langkah pembelajaran yang tidak valid tersebut
perlu dilakukan revisi. Revisi yang dilakukan adalah (1) diskusi dan kesimpulan. Kegiatan
diskusi dan kesimpulan disarankan agar permasalahan yang didiskusikan merujuk
permasalahan nyata yang berdimensi keruangan. (2) refleksi dan tindak lanjut. Untuk refleksi
perlu dibuat instrumen yang memudahkan bagi peserta didik mengungkapkan perasaannya,
dan data tersebut dapat digunakan bagi pendidik dalam membantu merumuskan tindak lanjut.
Analisis data hasil uji coba menunjukkan skor 254 dari 256 atau 87,75%. Mengacu pada
kriteria kevalidan sebesar 76%, maka skor hasil uji coba lebih besar dari kriteria yang
ditetapkan atau 87,75%>76%. Berdasarkan kriteria kevalidan tersebut, produk
pengembangan Model Pembelajaran Geografi untuk Penguatan Karakter tersebut layak
digunakan dan tidak perlu dilalukan uji coba ulang.
PEMBAHASAN
Keenam keunggulan PGPK tersebut muncul, karena model ini ditopang oleh 4 (empat)
pendekatan. Keempat pendekatan tersebut adalah pendekatan pembelajaran holistik,
pendekatan pembelajaran kontekstual, pendekatan pembelajaran aktif, dan pendekatan
pembelajaran kooperatif. Keempat pendekatan tersebut saling berinteraksi menguatkan model
PGPK.
Dengan demikian PGPK merupakan model pembelajaran baru dalam pembelajaran geografi
untuk penguatan karakter peserta didik yang dikembangkan berlandaskan pembelajaran
kontekstual, pembelajaran aktif, pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran holistik.
Dalam kurikulum mata pelajaran geografi SMA terdapat dua kompetensi berkenaan langsung
dengan pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) mendeskripsikan pemanfaatan lingkungan
hidup dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. (2) menganalisis pelestarian
lingkungan hidup dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan.
Mengacu pada model PGPK, kegiatan pembelajaran yang dapat dikembangkan untuk
kompetensi dasar tersebut adalah:
4. Komunikasikan dan konfirmasi. Misalnya data hasil observasi dari sungai brantas
dikomunikasikan oleh salah satu wakil kelompok, dan dikonfirmasi oleh kelompok yang lain,
serta guru.
6. Mendiskusikan permasalahan. Berdasarkan data yang telah tekumpul, bahan – bahan yang
telah dibaca, peserta didik mendiskusikan permasalahan. Misalnya permasalahan yang
disiskusikan adalah “bagaimana pengaruh kerusakan sungai brantas terhadap penyediaan
air secara berkelanjutan”.
7. Melakukan tindakan. Berdasarkan solusi hasil diskusi terhadap permasalahan dapat diambil
satu atau beberapa solusi praktis untuk diwujudkan dalam tindakan. Misalnya tidak buang
sampah di selokan/sungai, melakukan penghijauan. Berpartisipasi dalam gerakan kali bersih.
8. Membuat kesimpulan dan melakukan refleksi dan tindak lanjut. Kesimpulan dilakukan
menyatukan antara hasil observasi, elaborasi, permasalahan, dan tindakan. Refleksi
dilakukan dengan menanyakan kepada peserta didik “bagaimana perasaan mereka setelah
mengikuti pembelajaran?” Dan juga menanyakan rencana tindak lanjut masing-masing
peserta didik.
Ada empat tahap aktivitas belajar dalam model PGPK yang berkontribusi pada kemampuan
berpikir kritis terhadap permaslahan lingkungan dalam kaitan pembangunan berkelanjutan.
Keempat kegiatan belajar itu adalah observasi, konfirmasi, elaborasi dan diskusi. Keterlibatan
siswa dalam observasi suatu objek dapat membekali pengetahuan tentang fakta dan
permasalahan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Keterlibatan siswa dalam
konfirmasi akan membekali konsep-konsep yang benar tentang pembangunan berkelanjutan.
Keterlibatan siswa dalam elaborasi akan memperluas wawasan siswa tentang permasalahan
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Keterlibatan siswa dalam diskusi akan
membekali kemampuan berpikir alternatif terhadap permasalahan lingkungan dan
berkelanjutan.
Ada tiga kegiatan belajar dalam model PGPK yang berkontribusi pada kemampuan
pemecahan masalah terhadap masalah lingkungan dalam kaitan dengan pembangunan
berkelanjutan. Kegaiatan tersebut adalah observasi, elaborasi, dan diskusi. Melalui ketiga
kegiatan belajar tersebut siswa dapat mengidentifikasi permasalahan, merumuskan
permasalahan, dan mendiskusikan alternatif pemecahan masalah dalam kaitan pembangunan
berkelanjutan.
Ada satu kegiatan PGPK yang signifikan dalam perubahan lingkungan menuju pembangunan
berkelanjutan secara nyata, yakni bertindak secara nyata terhadap permasalahan lingkungan
dalam kaitan pembangunan berkelanjutan. Tindakan nyata tersebut dapat berupa aksi-aksi
individu maupun kolektif untuk perbaikan lingkungan, seperti hemat air dan energi;
melakukan reuse dan recycle terhadap sampak, dan menanam pohon.
Peduli lingkungan merupakan sikap dan perilaku yang sangat diperlukan di tengah
kemunduran kualitas lingkungan yang semakin cepat dan meluas ini. Keterlibatan siswa
dalam menemukan dan mengidentifikasi permasalahan, mencari alternatif pemecahan
terhadap permasalahan yang ditemukan, memutuskan alternatif pemecahan, dan bertindak
secara nyata untuk memecahkan permasalahan akan membangun sikap dan perilaku yang
peka terhadap permasalahan lingkungan di sekitar kehidupan siswa.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Hasil refleksi MGMP Geografi Kab Pasuruan 2010. Pembelajaran Geografi Terkini.
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tanggal 23 mei 2006
tantang Standar isi.
Mangunsong, F.2010. Sambutan ketua APPI Pusat. Pidato. Disajikan dalam Konferensi
Nasional dalam Workshop Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia: peran Pendidikan dalam
Pembangunan Karakter Bangsa di Malang 16 Oktober 2010.
Purwanto, 2010. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Dasajikan dalam rapat senat terbuka di
Universitas Negeri Malang pada
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning Theory, Research and Practice. Edisi 4.
Boston: Penguin Book Ltd.
Suyanto, 2008. Pendidikan karakter untuk anak bangsa kini dan ke depan. Makalah.
Disajikan pada seminar pendidikan
Soetjipto, Budi Eko. 2011. Model-Model Pembelajaran Kooperatif Versi Kagan. Makalah.
Disajikan dalam Seminar Nasional Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
(HISPISI), Jurusan Manajemen FE UM, Batu, 26-27 Januari.
Ujian Nasiona (UN) telah berlangsung, dan hasilnya telah diumumkan pada 24 Mei 2013.
Tingkat kelululusan UN secara nasional memang mengalami penurunan, sekalipun tidak
signifikan.
Jauh sebalumUN berlangsung, saya berkesempatan untuk melakukan telaah terhadap soal
UN Geografi dengan teman-teman guru di Tulungagung dan Malang. Hasilnya menunjukkan,
bahwa soal UN selama ini didominasi oleh soal yang kurang analisis. Dari 50 soal, hanya 12
soal atau 6% yang berkualifikasi HTO (High Tinking Order), selebihnya hafalan. Oleh karena
itu untuk soal ke depan perlu ditingkatkan kualitas soalnya agar lebih melibatkan siswa
berpikir tingkat tinggi.
Perubahan paradigma ini akan menjadikan siswa lebih aktif, cerdas, dan peduli pada
perubahan, termasuk perubahan dirinya.
Perubahan paradigma ini akan menjadikan siswa lebih aktif, cerdas, dan peduli pada
perubahan, termasuk perubahan dirinya.
Budi Handoyo
ABSTRACT: Changing a geographical learning paradigm has been implicating to the need
of geographical learning models . The result of this research is Spatial Based Learning
Model (SBL). It consist of seven steps, are communicating learning objective, observing
location, place, and position of geographical objects or phenomena; communicating and
conforming data and facts; elaborating and integrating concepts, principles and theories;
discussing interrelationship physical and non physical phenomena; conclusion; reflection and
follow-up. The results of the expert validation show that the validation score is higher than
criteria, namely 85.71%> 76%. The result score of the try out is also higher than the criteria,
namely 87.69%> 76%. Based on the results, the SBL is valid to be used of geographical
learning subject at school.
Key Words: Learning model, Spatial Based Leaning, Geographical Subject
Nowdays, changing of learning paradigm is one of the nasional education issue in Indonesia.
The awareness of the changing paradigm is higher and higher, because of people
development in education, technology and sciences, and cultural values in a globalization era
((Kusnandar, 2008; Isjoni, 2010; Suara Merdeka, 2011; Degeng, 2005). Educational vision of
developing countries should be more humane, democratic, and practical as well as religious
in the future. Implementation of education necessary to refer the pillars of learning to know,
learning to do, learning to be, and learning to live together.
Based on the performance of that education, it can produce output having insightful,
intelligent, skilled and independent, high-integrity, and can appreciate the difference in the
living together (Tilar, 2001). Education should be presented as something fun, liberating,
humanizing and meaning of life (Ismanto, 2001). So, the implementation of the educational
paradigm will motivate students to learn how to learn, learn to take decisions and
responsibility, and learn to reflect on the implementation of the decision to act in the future.
Nationally, since 2006 the Ministry of Education has legalized the national learning standard
which become a reference of teachers in planning, implementing, and evaluating. In the
standard is mentioned, that the core values in learning are inspiring, interacting, challenging,
fun, motivating, creativity and independence (Appendix Permendiknas, 2007). Learning
objective, curriculum, and strategies should lead to the creation of an atmosphere that provide
opportunities to experience growth in learning (Degeng, 2005). Learning is no longer seen as
an attempt to prepare students to enter the future, but as a process that can support live
anytime, anywhere and in any situation. Therefore, the most important of learning goal is
learning itself, not the results solely.
In the era, the existence of conventional learning paradigm need to be reviewed. Learning
which is based on the facts, drills and practices, laws and procedure are no longer. Learning
paradigm needs to be developed further, based on real-world context through problems and
projects, inquiry, discovery as well (Kamdi, 2004). Thus, learning is no longer from teaching
to testing, but learning to continuous improvement. The learning quality will encourage
students to understand subject core values by studying and discussing, observing, and
problem-solving model. Students learn to care about the core values by developing skills of
empathy, social relationship, community of moral, illustrative and inspiring to hear stories,
and reflect on life experiences. In this context, it is necessary to develop a dialogical learning
between teachers and students, students to students, and students with all the school citizens.
Learning strategy in the classroom can be applied to cooperative learning by providing
reinforcement in group activities.
In the context of geographical learning, several goals are:(1) understanding the spatial
patterns, environment and territorial as well as related processes. (2) mastering the basic
skills in acquiring data and information, communicating and applying knowledge of
geography. (3) displaying the behavior of matter on the environment and use natural
resources wisely and have a tolerance for cultural diversity (Permendiknas, 2006). These
objectives include not only the cognitive aspects of learners in the form of knowledge about
spatial patterns, environment and territorial as well as related processes, but also includes
aspects of geographical skill skills to acquire, communicate, and apply the knowledge gained,
even in the form of affective aspects of care for the environment and tolerance of cultural
diversity where students are (Arjana, 2010).
Substantially, there are three geographical coverage of the Junior High School Subject
(Permendiknas, No. 22/2006); Worosuprojo, 2010; Arjana, 2010). First, the field of
geography includes the study of the earth, aspects and processes that shape it, causal and
spatial relations of human with the environment, and human interaction with place. Secondly,
the subjects of geography build and develop the learners understanding of variation and
spatial organization of people, places and environments on the earth. Learners encourage to
understand the aspects and physical processes that shape patterns of the earth, ecological
characteristics and spatial distribution on the surface of the earth. Additionally motivated
learners are actively and creatively to explore that culture and experience influence people’s
perceptions of places and regions. Third, the knowledge, skills, and values of the
geographical subjects is expected to build the ability of learners to behave, act smart, wise,
and responsible in dealing with social problems, economic, and ecology.
Nowdays, geographical learning performance has not been able to meet such demands.
There are some problem at its implementation. Workshop Teacher Collegial (MGMP) of
Pasuruan (2010) indicated that there are some difficulties experienced by geography teachers
to implement the new learning paradigm that are inspiring, interacting, challenging, fun,
motivating, initiating, independence and creativity. According to Purwanto (2010)
geographical learning faces some problems which is caused by several components, namely
competence of teacher, learning materials, media, and evaluation of outcomes or learning
process.
The constraints can impact to negative influence on the students’ competencies. The
competencies can not be develop optimally, and finally it can also contribute to the thinking
habit of students. Such conditions can cause sensitivity to geographical problems of students
are not grow optimally, such as sensitivity to an environmental degradation problem having
impact to the moral and ethical aspects, deterioration of social life which has led to social
disintegration in society. Therefore, the alternative solution of the problem is to develop
geographical learning model which reflects a spatial approach characteristic based on the
active learning, cooperative learning and contextual learning. By the learning model is
expected the student competencies in geography can be develop more optimum.
METHOD
This research used procedural development design. Its steps are designed as follows (1)
determining purposes and needs of the learning model. (2) collecting characteristics of
geographical learning, competencies of geographical subject, development of learning
method, characteristics of learner, learning process and standard. (3) examining contents of
geographal subjects, characteristics of adolescence, active learning, cooperative and
contextual learning. In addition, also studied results of seminars and research development of
learning geography. (5) developing ideas by sharing and brainstorming to generate creative
ideas. (6) designing learning to analyze all the material and determine the measures of spatial
learning based on the model for product development. (7) conducting formative and
summative evaluation and revision of the model in accordance with the results of the
validation. (8) conducting product try out to collect data in determining the level of validity
of the learning model. Trial design includes two stages, namely (a) review expert learning to
know the accuracy of measures based on the spatial learning. (b) field trial to revise the
learning model before using in the learning process.
The subjects try out in the development of this learning model is students of the class X
SMAN 5 Malang. Expert of geographical learning is geographic educator having qualified
S2 and / or S3 in technology education /learning, they have an experienced learning in
geography.
Questionnaire of the data collection instrument in the form of closed and open questionnaire.
Enclosed questionnaire used to capture the assessment information, while an open
questionnaire to solicit feedback learning experts, practitioners, and the audience. Data
analysis was conducted descriptively using a validation expert (expert judgment) and trial by
the audience. Validity test performed on the steps of learning, and trials carried out with the
trial on the audience. Validators provide an assessment of the steps the SBL model. Validator
provides score and suggestions on the questionnaire given to him. In addition, the validator
also gives a conclusion of validity of the learning model that has been produced. The results
were analyzed by scoring criteria having minimum limit 76%. While, suggestions for
improvement of validator used as a learning step that has been formulated.
DEVELOPMENT RESULTS
The result of this development is Spatial Based Learning Model (SBL) for geographical
learning. It consist of seven steps, namely communicating learning objective, observing
location, place, and position of geographical objects or phenomena; communicating and
conforming data and facts; elaborating and integrating concepts, principles and theories;
discussing interrelationship physical and non physical phenomena; conclusion; reflection and
follow-up.
First, communicating learning objective. This step is intended to ensure the competence to be
achieved in learning. It also needs to be communicated items of material to be studied, and
the activities of students in achieving that objective.
Second, observing location, place, and position of geographical objects or phenomena. This
step is to move the learner attempts to identify spatial objects related to the structures,
patterns and spatial processes. Spatial objects that are observed in the form of spatial
phenomena that contain essential or important issues and related learning materials. Objects
are chosen carefully by educators through discussions among educators, and discussions with
students can provide input. Observation can be made directly by observing the field or
indirectly by looking carefully photo slide or video at a LCD. In our observation needs to be
assisted by using a map. Steps of the observation of activities are: (1) learners observe the
overall spatial phenomena either directly or indirectly. (2) learners recognize the location
absolutely and relatively by helping of maps. (3) learners recognize various objects /
phenomena of spatial biotic or abiotic, (4) learners recognize zones/areas land use. (5)
learners recognize the same phenomenon in other regions of the earth surface.
Third, communicating and conforming data and facts. These steps are to communicate
results of the observation orally. All the results are presented clearly, such as object type and
its characteristics, absolute and relative location, and land use. Confirmation step is a step to
check the results the observations that have been communicated by the learners. Checking
process carried out in detail by other learners and / or teachers. Steps of the communication
and conformation activities are: (1) students present the results of observations have been
made. Submission of the observations are carried out by 3-5 students, and the results of
observation can be revealed more. (2) Other learners do confirm the observations that have
been delivered alternately to clear, after communication activities. In confirmation of this
results, teachers have an important role to help the confirmation of ambiguity that occurs in
the learning.
Fourth, elaborating and integrating concepts, principles and theories. These steps are two
simultaneous actions taken to expand the meaning of new experiences that are based on prior
knowledge learners. Knowledge of students about the phenomenon of geosphere can be
expanded by examining the process, relate it to real events, extending its spread to other
regions, examines its characteristic with other phenomena in different areas, and predict
likely occur in the future. Expansion of knowledge is conducted step by step by connecting
the real world spatially. Step of elaboration and integration are: (1) working on worksheet has
been prepared by teacher. (2) read the learning materials (textbooks, journals, articles,
brochures, and other sources that relevant to the material being studied to expand knowledge.
(3) Answering questions with the substance of the teaching material that has been read. (4)
developing simple scientific writing, giving meaningful at expanding of knowledge. For
example learners develop conceptual scientific work in simple 1-2 pages about the city of
Jakarta, and flooding solution.
Fifth, discussing interrelationship between a physical and non physical phenomena. This step
is a vehicle for students learning to talk, share ideas and experiences about spatial phenomena
and problems. Students are given the opportunities to share knowledge that has been
confirmed, elaborated, and interpreted contextually with issues larger or public, and develop
problem-solving ideas that do learners. Steps of the discussion are: (1) students form study
groups consisting of 3-5 people. (2) learners to discuss problems of spatial phenomena. (3)
learners present the results of group discussion.
Sixth, Conclusion. This step is an effort to strengthen and ensure the competence of the
students briefly about spatial phenomena and its problems. The steps can be done with the
following actions. (1) teachers can choose one among the four methods of inference, namely
the individual, either orally, or writing individually, the group verbally and in writing groups.
(2) limited time to conclude between 3-5 minutes. (3) the teacher gives the opportunity or
requests one-movement student conclusions. If deemed necessary can be repeated on other
students until the conclusion deemed adequate.
Seventh, reflection and follow-up. These steps are activities to learn to look back on learning
that has lasted, or respond to an event that occurs related learning problems. The steps of
reflection and follow-up activities are: (1) learners express purpose was understood and that
has not been understood. (2) Students can suggest solutions to overcome their problems. (3)
The teacher gives consideration and strengthening problem-solving options that are taken by
students. (4) Students expressed her feelings after attending a series of learning processes.
The results of the validation of product development are: (1) validation of learning experts,
and (2) try out of audience. Data of the learning expert validation results can be seen on the
table 1.
The results of validation show that from the seven learning steps which were validated, there
were three steps of learning having score 2 (valid), namely the communicating learning
objective, observing location, place, and position of geographical objects or phenomena, and
conclusion. While, the four other learning steps having score 1 (revision), namely
communication and confirmation data and facts, elaboration and integration concepts,
principles and theories; discussion interrelationship physical and non physical phenomena,
and reflection and follow-up. Based on the suggestion of the first validator is conducted an
improvement on the development product that need to be revised.
Validator I Validator 2
After validating of the first phase is completed, the development of products that have been
revised, was submitted for validation to the second stage. The result of the second stage
showed that from the seven learning steps that have been validated at the first phase, there
were five steps of learning steps having score 2 (valid), namely the objective of learning,
elaboration and integration concepts, principles and theories, discussion interrelationship
physical and non physical phenomena, conclusions, reflection and follow-up . While, these
two other steps having score 1 (revision), namely observing location, place, and position of
geographical objects or phenomena, and communication and confirmation data and facts.
Based on the result that it is suggested to be revised. The try out results of validated product
after product development of spatial-based learning model as follows.
Score and
Frequency
From the seven steps of learning, the highest score is 97, 17%, and the lowest one is 83.88%.
The highest score of steps are observing location, place, and position of geographical objects
or phenomena, and the lowest score are communicating learning objective, elaborating and
integrating concepts, principles and theories, discussion interrelationship physical and non
physical phenomena, and reflection and follow-up. Score of the try out showed that the
overall score of the test are predetermined criteria. It means the learning steps can be
accepted by learners and can be applied by educators in the learning process.
Analysis of data validation, both the first validation and the second validation are listed in the
table 3.
Based on the suggestion of the first validator that the non valid learning steps need to be
revised. Revisions were conducted as follow: (1) using of term. It is should be used terms that
do not cause confusion understanding. (2) the term of question and answer should be replaced
with the communication and confirmation. (3) The con-structivistic term should be replaced
with elaboration and integration. (4) the collaboration term should be replaced with
discussion. (5) the reflection steps should be completed with follow-up activities. (6) the
assessment steps should be deleted as a part of the learning syntax.
Tabel 3 Follow-Up of Validation Result
1 Score 1 3 5
Used with heavy Used with minor
revision revision
2 Score 2 4 2
71,14 85,71
Based on the suggestion of the second validator that the learning steps that were non valid
needs to be revised. Revisions were conducted as a follow: (1) the observation steps are
necessary to be completed by its problem. It will also clarify the problem-solving in step
discussion. (2) in this step of communication and confirmation the attendance of teachers is
important. (3) the other suggestions are improvement of sentences.
Data analysis of the try out result show score 221 of 252 or 87.69%. Referring to the criterion
validity of 76%, the score of the try out results is greater than the defined criteria, or 87.69%>
76%. Based on the criteria of validity, the product development of the SBL model is feasible
to be used in learning and does not need to retry out.
DISCUSSION
The results of this development is a Spatial-Based Learning model (SBL) having seven steps,
namely communicating learning objective, observing location, place, and position of
geographical objects or phenomena; communicating and conforming data and facts;
elaborating and integrating concepts, principles and theories; discussing interrelationship
physical and non physical phenomena; conclusion; reflection and follow-up. The seventh
steps were feasible as a learning model of geographical learning at school.
The feasibility of the model doe to number of advantages that is significant at improving
geographical learning. There are, at least eight excellences, namely (1) starts from the
contextual spatial phenomena. (2) increasing the precision in the observation. (3) turning on
to think and work independently. (4) developing a habit of sharing knowledge/ experiences.
(5) building a reflective attitude to continuous improvement. (6) work in teams. (7) learning
materials sourced from the primary data. (8) the process of determining the outcomes.
The eighth SBL advantages arose, because it is supported by four approaches. The fourth
approaches are spatial approach, active learning approach, cooperative learning approach, as
well as contextual learning approach. The four approaches are mutually reinforcing
interaction with the SBL model. First, SBL apply the concept of active learning. This
concept used in this model are (1) encourage students to work to discover process and apply
information. (2) learning students to work together, work as a team, divide the work, and
build a common view (Kinney, 2007 in Bogart, 2009; Silberman, 2010). The application of
active learning in SBL, among others: (1) encourage students to conduct observation to
collect spatial information, analyze the spatial information obtained, and apply them
individually or in groups. (2) engage students to work as a team in conducting the study of
spatial information. (3) build a new perspective through discussion of spatial issues.
Secondly, SBL apply the principles of cooperative learning, are (1) positive interdependence,
(2) individual responsibility, (3) face to face, (4) communication between members, (5)
evaluation of group process (Roger and Johnson at Lie, 2002; Slavin, 2005; Kagan at
Sutjipto, 2011). The principle of cooperative learning is applied in SBL, among others (1)
creating interaction between students to complete task together. (2) strengthening individual
responsibility in elaboration of knowledge activities. (3) facilitating students do face to face
in groups and classes to examine the spatial problem. 4) involving students in communicating
the results confirmation and communication activities.
Third, SBL apply the principles of contextual learning, are to help students relate the content
of the subject matter with the state of the real world, motivate students to connect the
knowledge gained and its application in the lives of students as family members, as citizens
and as workers later (U.S. Department of Education and the National School-to -Work
Office, 2001). Contextual learning principles are applied in SBL, among others (1) involving
students to observe spatial phenomena, such as land use, population and activities, and links
the physical environment with locals. (2) motivating students to do the debriefing in
communication and confirmation activities. (3) elaborating knowledge by reading,
discussing, and presenting. (4) involving students in discussing to build a learning
community. (5) doing authentic assessment.
Fourth, SBL based on spatial phenomena and problems. To recognize and understand spatial
phenomena and problems using the principles of geography, namely the principle of
distribution, interrelationship and description (Sumaadmadja, 2003). The principle of
distribution points to the location of the spread of the phenomena / problems that occur, the
principle refers to the interrelation of linkage phenomena / spatial problems that occur with
other phenomena, and the principle of description refers to the explanation and disclosure of
phenomena or spatial problems.
Application of spatial approaches in SBL, among others (1) involving students make
observations to identify a particular spatial objects according to the learning objectives. (2)
identify spatial problems as a result of the interaction between natural and human factors. (3)
using the principles of geography and geographical questions to recognize and understand
spatial phenomena.
Models of spatial learning has been developed by Siler (1998) with two models, namely the
Classroom Floor Models and Papier Mache Models. Floor model class is an effort to
demonstrate an incident in the classroom, and model of the pulp is an effort involving the
students to make a scale model of an event. Learning strategy with both models are made to
explain historical events. The incident tested presented in the classroom so that students more
easily understand substantially and spatial context.
Development of models in learning geography longstanding (Ball et al, 1971). However, the
basis for the development of different learning models from time to time. In the era of the
1960s, the base model of the development of learning on the subject matter so more patterned
on the forms of diagrams, graphs, and other similar visual. Meanwhile, in the post-2000s is
based on the modeling of learning geography student activities, such as the activity of
thinking, mental, emotional, teamwork, writing, and visual. For example in the lecture
geography, spatial learning is implicitly performed at the Field Work I and II (MPA
Guidelines, 2008). The steps of learning include: (1) determining the object of study, (2)
determining the location, (3) identification of objects, and (4) the association of elements in
the physical and social surroundings. Thus, SBL is a new learning model in geographical
learning that based on the active learning, cooperative learning, contextual learning and
spatial approaches.
CONCLUSSION
The result of the development is Spatial Based Learning (SBL). It consist of seven steps, are
communicating learning objective, observing location, place, and position of geographical
objects or phenomena; communicating and conforming data and facts; elaborating and
integrating concepts, principles and theories; discussing interrelationship physical and non
physical phenomena; conclusion; reflection and follow-up. The results of the expert
validation show that the validation score is higher than criteria, namely 85.71%> 76%. The
result score of the tryout is also higher than the criteria, namely 87.69%> 76%. Based on the
results, the SBL is valid to be used of geographical learning subject at school.
REFFERENCES
Arjana, IGB. 2010. Pendidikan Geografi dalam Strategi Antisipasi Bencana Alam di
Indonesia. Prosiding. Seminar Nasional Peranan Pendidikan Geografi Dalam Pembangunan
Wilayah di Surabaya 11-12 Desember 2010
Ball, JM; Steinbringk, JE; Stoltman P. 1971. The Social Sciences and Geographic Eduation:
A Reader. New York. John Wiley & Sons, INC.
Bogart, WVD, 2009. Developing a Pedagogy for Active learning PAL “Expanding Visions in
ELT” Thammasat University – June 8, 2009. http://www.southeastasianreview.com, diakses
1 Januari 2011
Degeng, IN. 2005 Pengaruh Teknologi Terhadap Peningkatan Sumberdaya Manusia. Orasi
Ilmiah dalam Wisuda Pancasarjana IX Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adi Buana
Suarabaya, 15 Januari 2005 Dryden, Gordon dan Jeannette. 2004. Revolusi cara Belajar. Jilis
1 Bandung: Mirzan
Handoyo, B. 2003. Pendidikan Geografi: Masalah, Harapan dan Tantangan. Malang:
Geospektrum Press
Iswanto, B. 2001. Kebijakan Lingkungan Hidup Untuk Sekolah dasar di Jawa Timur Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah. Makalah. Disajikan dalam Sarasehan Peningkatan Kreativitas
Guru dalam Pembelajaran PLH Untuk SD di Jawa Timur, 26 Pebruari 2001 di Universitas
Negeri Malang.
Jurusan Geografi FMIPA Univesitas Negeri Malang. 2008. Pedoman Penulisan dan Prose
Penyusunan Skripsi. Malang: UM Press
Kamdi. W. 2005. Project Based Learning. Makalah. Disajikan pada workshop guru Yayasan
Pendidikan Cendana Riau 7 Juni 2005.
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tanggal 23 mei 2006
tantang Standar isi.
Purwanto, 2010. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Dasajikan dalam rapat senat terbuka di
Universitas Negeri Malang pada
Siler, C R. 1998. Spatial Dynamics: An Alternative Teaching Tool in the Social studes.
Makalah. Diakses dari Internet 23 Maret 2010
Silberman, ML. 2010. Active Learning 101 Cara Belajar Aktif. Bandung: Nusa Media
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning Theory, Research and Practice. Edisi 4.
Boston: Penguin Book Ltd.
Sumaatmadja, N. 1981. Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan. Bandung:
Alumni
Soetjipto, Budi Eko. 2011. Model-Model Pembelajaran Kooperatif Versi Kagan. Makalah.
Disajikan dalam Seminar Nasional Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
(HISPISI), Jurusan Manajemen FE UM, Batu, 26-27 Januari.
Tilaar, H.A.R.1997. Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Era Globalisasi. Jakarta:
Grasindo
Setelah melakukan eksplorasi sumber-sumber yang terdapat dalam open sources, saya merasa
bahwa tantangan pendidikan geografi, terutama di Indonesia demikian besar. Tantangan itu
adalah:
Untuk menyelesaikan kesumua itu diperlukan konsistensi dan kerjasama semua elemen
pendidkan geografi.
Budi Handoyo
budi.handoyo78@yahoo.com
ABSTRAK: Studi ini dilakukan terhadap pendidikan geografi di beberapa negara secara
eksploratif dengan mengunduh sumber-sumber informasi di internet (open sources).
Pendidikan geografi di sejumlah negara dieksplorasi: Singapura, Jepang, Australia, Inggris,
dan Indonesia sebagai pusat perhatian-nya. Eksplorasi dilakukan pada tiga ranah, yaitu
tujuan, struktur penempatan, dan ruang lingkup mata pelajaran geografi. Hasil studi
menunjukkan: (1) tujuan mata pelajaran geografi mengandung aspek pokok yang hampir
sama: geographical knowledge, skills, and attitudes and values—Indonesia lebih menekankan
pada aspek geographical knowledge, (2) penem-patan mata pelajaran geografi di sebagian
besar negara terintegrasi dengan social study pada jenjang primery school dan secondary
school, Indonesia menempatkan mata pelajaran ini hingga high school. (3) ruang lingkup
mata pelajaran geografi terdiri atas lima tema pokok dan delapan belas standar. Keduanya
dijumpai dalam kurikulum nasional Indonesia.
Pasca geografi ditetapkan sebagai salah satu mata pelajaran dalam kurikulum sekolah pada
dasa warsa 70-an, upaya perbaikan pendidikan geografi terus dilakukan. Perbaikan isi secara
fundamental dilakukan seiring dengan peru-bahan kurikulum 1984 menjadi kurikulum 1994,
dan kurikulum Berbasis Kompe-tensi (KBK) sekitar tahun 2004. Perubahan itu dilakukan
pada ranah tujuan, isi, struktur penempatan, ruang lingkup dan pengembangannya
Perubahan isi pada kuriklum 1994 dengan menambahkan sejumlah materi baru. Materi
tersebut adalah Pengindraan jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG), serta sejumlah materi
PKLH yang dilakukan secara terintegrasi. Perubahan tujuan dan isi secara fundamental
terjadi pada KBK. Pada kurikulum tersebut tujuan dan isi mata pelajaran geografi semakin
”komprehensif” mencakup aspek pengetahun, sikap dan perilaku, nilai-nilai, keterampilan
serta kecakapan berko-munikasi.
Pada era global ini, keberadaan pendidikan geografi dirasakan semakin penting untuk
mendorong siswa tidak haya menjadi warga suatau negara, tetapi juga menjadi warga
dunia/global. Dalam konteks kehidupan global dengan kemajuan yang tinggi dalam bidang
informasi dan komputer, mata pelajaran ini dirasakan semakin penting peranannya. Geografi
tidak hanya menekankan aspek hafalan-hafalan tempat, ruang, penduduk dan interaksinya,
seperti yang terjadi di sekolah selama ini, tetapi juga menyiapkan peserta didik yang cakap
berpikir dalam pemecahan masalah (skills), dan memiliki sikap dan nilai-nilai posistif
(attitudes and values) terhadap aspek-aspek manusia dan lingkungannya untuk mendukung
kehidupannya kini maupun akan datang.
METODE
Studi ini dilakukan dengan metode survey terhadap sumber-sumber (dokumen) pendidikan
geografi di internet. Survey dilakukan pada bulan Maret hingga April 2012. Pada tahap
pendahuluan ini, studi dilakukan pada enam negara yang diambil secara purposif. Keenam
negara tersebut adalah Indonesia, Singa-pura, Jepang, Australia, Amerika, dan Inggris. Selain
keenam negara tersebut juga dilakukan eksplorasi pada pendidikan Cambridge yang
beroperasi lintas negara. Data dikumpulkan dengan mengunduh (download) sumber terbuka
(open sources) yang tersedia di internet. Analisis dilakukan dengan reduksi dan kompa-rasi
secara relatif terhadap ranah tujuan, struktur, dan ruang lingkup mata pelajaran geografi antar
negara.
HASIL STUDY
Pendidikan geografi memiliki cakupan yang luas dan berkembang dari waktu ke waktu.
Karena itu, perlu ditelaah ruang lingkup pendidikan geografi, tujuan, komponen, dan
dinamikanya. Pendidikan geografi adalah suatu disiplin ilmu yang dilandasi oleh ranah
pendidikan dan geografi (Reinfried, tanpa tahun). Pendidikan geografi merupakan konsep
yang kompleks yang dapat dipahami dalam kaitan dengan ilmu geografi, tujuan secara detail,
penjelasan posisinya pada pendidian formal dan in formal, dan berkenaan dengan komponen
esensialnya (Gerber, tanpa tahun).
“(1) to develop in young people a knowledge and understanding of the place they live in, of
other people and places, and of how people and places inter-relate and interconnect; of the
significance of location; of human and physical environments; of people-environment
relationships; and of the causes and consequences of change, (2) to develop the skills needed
to carry out geogra–phical study, e.g. geographical enquiry, mapwork and fieldwork. (3) to
stimulate an interest in, and encourage and appreciation of the world around us, and (4) to
develop an informed concern for the world around us and an ability and willingness to take
positive action, both locally and globally.”
Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa tujuan pendidikan geografi adalah menyediakan orang
yang berpengathuan geografi, yaitu memahami sistem ling-kungan fisik dan manusia yang
saling berkaitan dan masyarakat dan tempat tinggalnya berinteraksi. Dengan demikian
Pendidikan geografi tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik
tentang dunia dan pengembangan skills geografi dasar, tetapi juga berkomitmen untuk
menumbuh-kembangkan kepribadian dan penguatan sikap untuk partisipasi penuh dalam
kehidupan yang dewasa dan masyarakat. Hal itu juga mencakup pembahasan isu-isu etika,
nilai, keadilan, dan moralitas (International Geographical Union Commission on
Geographical Education dalam Reinfried, tanpa tahun). Masalah itu berkenaan dengan
kepentingan dunia dan perbedaan budayanya, peduli terhadap lingkungan fisik dunia yang
indah dan kondisi kehidupan yang berbeda, kualitas lingkungan dan alam, dan habitat
manusia, evaluasi yang cerdas pada masalah kini, dedikasi untuk berkontribusi pada
pemecahan masalah, perasaan simpati pada masyarakat dan cara-cara hidup yang berbeda
dan menghargai hak asasi manusia (Haurbrich, 2006).
Pendidikan geografi memiliki tiga komponen yang saling terkait, yaitu subject matters, skills,
dan perpective (Gerber, tanpa tahun). Ada enam elemen esensial subject matters, yaitu dunia
dalam kaitan spasial, study tempat dan wilayah, pemahaman sistem fisik yang membentuk
permukaan bumi, pemahmanan aktivi-tas manusia yang membentuk permukaan bumi,
pemahaman bagaimana aktivitas mansuia memodifikasi lingkungan alam sekitar,
pemahaman kegunaan geografi untuk pengetahuan yang berkaitan dengan masyarakat,
tempat dan lingkungan. Skills geografi berkenaan penggunaan peralatan dan teknik untuk
berpikir secara`geografis. Perspektives merupakan komponen yang berkaitan dengan
interprettasi makna dari data yang terkumpul dalam penelitian, yaitu perspektif spasial dan
kelingkungan.
Pendidikan geografi memilih dan menyusun geographical knowledge, skills, dan attitudes
and values yang memungkinkan siswa memahami proses manusia-lingkungan-masyarakat di
dunia untuk mencapai masyarakat yang berpengatahuan geografi (geographical literate).
Masyarakat yang berpenge-tahuan geografi dipengaruhi oleh pemahamannya tentang tempat,
keterkaitan antar tempat, dan tindakan keruangan yang timbul oleh bermacam-macam
pelaku/aktor. Pendidikan geografi juga mengembangkan dan mengevaluasi kurikulum, tujuan
pembelajaran, metode pembelajaran dan proses pembelajaran.
Kecenderungan pendidikan di abad XXI ini ini berkenaan dengan konsep geografi terpadu
(integrative) yang digunakan dalam proses pendidikan dan ber-fikir kritis, pendidikan untuk
pembangunan berkelanjutan, informasi dan tek-nologi (ICT). Siswa perlu bertindak sebagai
warga negara yang bertanggung jawab berkenaan dengan isu-isu kunci yang kompleks, yaitu
lingkungan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pendidikan geografi merupakan suatu
bidang pendidikan yang mengajarkan siswa tinking skills (keterampilan berpikir) yang
diperlukan untuk memahami dan bertindak secara berkelanjutan di dunia. Tanpa geografi,
anak-anak muda tidak siap untuk masa depan yang global.
Oleh karena itu, pada era dewasa ini konsep pendidikan geografi dipengaruhi oleh empat
parameter utama, yaitu nilai-nilai umum yang berlaku dalam sistem sekolah, konsep
pengetahuan geografi, konsep pembelajaran, dan epistimologi ilmu pengetahuan (Hertig dan
Varcer, 2004). Oleh karena itu geografi pada sekolah dasar dan sekolah menengah berperan
penting dalam menyiapkan peserta didik yang terampil berpikir kritis dalam rangka
memahami dunia. Dengan keterampilan berpikir kritis tersebut peserta didik dapat meneliti
dan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan hubungan timbal balik antara masyarakat
dengan ruang dan hubungan timbal balik anara masyarakat yang berbeda-beda ke seluruh
ruang.
Lokasi merupakan posisi di permukaan bumi. Ada lokasi absolut dan relatif, keduanya untuk
menggambarkan posisi tempat di permukaan bumi. Dalam banyak situasi, mengidentifikasi
lokasi absolut penting sebagai titik tepat di bumi. Misalnya, menentukan posisi yang tepat
dari pasokan air bersih sangat penting untuk mengisi kebutuhan air bersih.
Tempat merupakan karakteristik alam dan budaya. Semua tempat di bumi memiliki
karakteristik alam dan budaya yang berbeda dan membedakan mereka dari tempat lain.
Karakteristik alam dipengaruhi oleh faktos geologis, proses hidrologis, atmosfer, dan biologis
yang menghasilkan bentang alam, air, iklim, tanah, vegetasi alam, dan kehidupan hewan. Ide
dan tindakan manusia juga mem-bentuk karakter tempat, yang bervariasi komposisi
penduduknya, pola pemukiman, arsitektur, jenis kegiatan ekonomi dan rekreasi, transportasi
dan jaringan komunikasi. Satu tempat juga mungkin berbeda dari yang lain secara ideologis
dan prinsip-prinsip filosofis atau agama orang yang tinggal di sana, dengan bahasa mereka,
dan dengan bentuk organisasi ekonomi, sosial, dan politik.
Hubunan dalam wilayah merupakan hubungan manusia dan lingkungan. Orang
memodifikasi dan beradaptasi dengan pengaturan alam dengan cara yang mengungkapkan
nilai-nilai budaya, keadaan ekonomi dan politik, dan kemampuan teknologi. Adalah penting
untuk memahami bagaimana manusia-lingkungan hubungan mengembangkan dan apa
konsekuensinya bagi masyarakat dan bagi lingkungan.
Mobilitas merupakan interaksi manusia di muka bumi. Penyebaran manusia tidak merata di
seluruh bumi, berinteraksi satu sama lain, mereka mela-kukan perjalanan dari satu tempat ke
tempat lain, mereka berkomunikasi satu sama lain, atau mereka bergantung pada produk,
informasi, dan ide yang datang dari luar lingkungan mereka. Bukti-bukti yang paling terlihat
dari saling keter-gantungan global dan interaksi tempat adalah jaringan transportasi dan
komuni-kasi yang menghubungkan setiap bagian dari dunia. Ini menunjukkan bahwa
kebanyakan orang berinteraksi dengan tempat-tempat lain hampir setiap hari dalam
kehidupan mereka. Interaksi terus berubah seiring dengan perubahan transportasi dan
perubahan teknologi komunikasi. Karena itu, kita perlu mengan-tisipasi perubahan ini dan
untuk memeriksa konsekuensi geografis dan sosial.
Wilayah adalah bagaimana manusia membentuk perubahan. Unit dasar dari penelitian
geografis adalah wilayah tersebut. Pada wilayah ini, setiap daerah yang menampilkan
kesatuan dalam hal kriteria yang dipilih, biasanya digunakan untuk menunjukkan sejauh
mana kekuasaan politik, seperti negara, propinsi, negara, atau kota. Namun, ada cara hampir
tak terhitung jumlahnya untuk menentukan daerah yang bermakna, tergantung pada isu dan
permasalahan yang dipertimbangkan. Beberapa wilayah ditentukan oleh karakteristik tunggal,
seperti unit pemerintahan, kelompok bahasa, atau jenis tanah bentuk, dan lain-lain oleh
interaksi fitur kompleks.
Serangkaian keterampilan geografis diperlukan untuk memproses infor-masi dalam studi dan
analisis isu-isu penting. Keterampilan geografi terdiri atas: (1) mengajukan pertanyaan
geografis dengan kata “dimana” dan “mengapa ada disana?”. (2) memperoleh informasi
geografis. Keterampilan ini berkisar mengi-detifikasi lokasi menggunakan sistem grid,
melalui melakukan pengamatan dan memperoleh informasi di lapangan, untuk memperoleh
data statistik. (3) menya-jikan informasi geografis. Keterampilan ini melibatkan pembuatan
peta, tabel, dan grafik, dan presentasi tertulis atau lisan yang koheren. (4) menafsirkan
informasi geografis. Interpreting melibatkan kemampuan untuk menentukan peta tertentu,
tabel, atau grafik (misalnya menggambarkan fenomena dengan grafik garis). (5)
mengembangkan dan menguji informasi geografis. Keterampilan ini berupa membuat
kesimpulan berdasarkan informasi yang terkandung dalam peta, tabel, dan grafik.
Berdasarkan tema dasar dan keterampilan tersebut, hasil belajar geografi yang diharapkan
berupa: (1) pemahaman lokasi absolut dan relatif. Hasil belajar ini merupakan aspek penting
dari setiap fitur alam dan budaya di bumi. (2) penen-tuan signifikansi tempat dalam hal
karakteristik mereka alami dan manusia dan bagaimana arti dari tempat berubah seiring
waktu. Sebagai contoh, siswa akan dapat mengidentifikasi faktor-faktor alam dan manusia
yang menyebabkan munculnya Jakarta sebagai kota besar dunia dan menggambarkan
bagaimana Jakarta telah berubah. (3) menyadari bagaimana orang mendiami, memodifikasi,
dan adaptasi kultural dengan lingkungan alam. Sebagai contoh, siswa akan menyadari bahwa
hutan hujan telah digunakan untuk berburu dan mengumpulkan, untuk perladangan
berpindah, untuk kehutanan, dan pertanian perkebunan. (4) pemahaman bagaimana tempat
saling bergantung dan implikasi dari saling keter-gantungan itu. Sebagai contoh, siswa dapat
memeriksa saling ketergantungan Indonesia dan Jepang dan memiliki beberapa ide
bagaimana hal itu mempenga-ruhi kehidupan sehari-hari keluarga Indonesia dan Jepang. (5)
siswa akan belajar menggunakan konsep daerah untuk membuat pernyataan umum tentang
realitas. Sebagai contoh, siswa akan mengidentifikasi wilayah di dunia dimana memotong
pohon di hutan untuk kayu bakar merupakan sumber energi utama, mereka akan dapat
menjelaskan dan mengevaluasi tampilan manusia dan lingkungan yang ditemukan di bagian-
bagian dunia dan mereka akan dapat menghubungkannya terhadap konsekuensi deforestasi.
Dalam mencapai semua tujuan ini, siswa akan dapat menggunakan peta untuk bertanya dan
menjawab pertanyaan tentang isu-isu penting. Sebagai contoh, siswa akan dapat melihat peta
berurusan dengan penduduk, penggunaan lahan, bentuk lahan, dan vegetasi untuk membuat
kesimpulan tentang distribusi keke-ringan, misalnya kekeringan di Afrika. Berpengetahuan
geografis melibat-kan tema-tema tertentu dan keterampilan yang dibahas dan dicerna siswa.
Siswa dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan pemahaman
dunia dan berpikir lebih efektif tentang hal itu.
Jika melihat implementasi pendidikan geografi di sekolah masih terdapat kekurangan, yaitu
penggunaan peta. Ada dua kendala yang dialami guru di seko-lah. Pertama, keterbatasan
kesedian peta. Kedua, keterampilan guru dalam membaca peta. Untuk ke depan perlu
dilakukan pengadaan peta sesuai dengan kebutuhan dan peningkatan keterampilan guru
geografi dalam membaca peta.
Standar Geografi Nasional di publikasikan pada tahun 1994 untuk menga-rahkan pendidikan
geografi di Amerika Serikat (Rosenberg, tanpa tahun; http:// geography.
about.com/od/teachgeography/a/18standards.htm). Kedelapan belas staandar seharusnya di
ketahui dan dipahami secara perorangan, Harapannya setiap siswa di Amerika akan menjadi
seorang informan secara geo-grafi melalui implementasi standar ini di dalam kelas.
Kedelapan belas stadar adalah: (1) bagaimana mengunakan peta, alat dan teknologi untuk
memperoleh, memproses, dan melaporkan informasi. (2) bagaimana mengunakan peta mental
untuk mengorganisasi informasi tentang penduduk, tempat tinggal dan lingkung-an. (3)
Bagaimana menggunakan analisis organisasi spasial penduduk, tempat tinggal dan
lingkungan di muka bumi. (4) karakteristik manusia dan fisik alam dari tempat tinggal. (5)
bahwa penduduk menciptakan wilayah-wilayah untuk mengin-tepretasi kompleksitas bumi.
(6) bagaimana budaya dan pengalaman berpengaruh pada persepsi tempat tinggal dan
wilayah. (7) proses fisik alami yang membentuk pola permukaan bumi. (8) karakteristik dan
penyebaran spasial dari ekosistem di permukaan bumi. (9) karakteristik, distribusi, dan
migrasi penduduk. (10) karak-teristik, distribusi, dan kompleksitas musaik budaya di
permukaan bumi. (11) pola dan jaringan saling ketergantungan ekonomi di muka bumi. (12)
proses, pola, dan fungsi pemukiman penduduk. (13) bagaiman proses kerjasama dan konflik
antar penduduk yang berpengaruh pada pembagian dan kekuasaan di muka bumi. (14)
bagaimana tindakan manusia memodifikasi lingkungan fisik. (15) bagaimana sistem
lingkungan fisik berpengaruh pada sistem manusia. (16) perubahan-perubahan yang terjadi
dalam kaitan cara, penggunaan, distribusi, dan pentingnya sumberdaya. (17) bagaimana
menerap-kan geografi untuk mengin-tepretasi masa lalu. (18) menerapkan geografi untuk
mengintepretasi kondisi saat ini dan masa mendatang.
Pendidikan geografi berlangsung sejak lama dan mengalami pasang surut, seiring dengan
kepentingan nasional dan kecenderungan global. Berikut dikemukan singkat pendidikan
geografi dibeberapa negara, berkaitan dengan tujuan, struktur dan ruang ligkupnya. Negara-
negara yang dimaksud adalah Inggris, Amerika, Australia, Jepang, Singapura, dan Indonesia
yang menjadi pusat kajiannya.
(1) “to develop in young people a knowledge and understanding of the place they live in, of
other people and places, and of how people and places interrelate and interconnect; of the
significance of location; of human and physical environments; of people-environment
relationships; and of the causes and consequences of change. (2) to develop the skills needed
to carry out geographical study, e.g. geographical enquiry, mapwork and fieldwork. (3) to
stimulate an interest in, and encourage and appreciation of the world around us, and (4) to
develop an informed concern for the world around us and an ability and willingness to take
positive action, both locally and globally.”
Struktur persekolahan formal di Inggris meliputi primary school dan secondary school.
Primary school terdiri atas enam grade, yaitu grade 1 hingga grade 6, dan secundary school
terdiri atas secondary 1 dan secondary 2, masing-masing 2 grade. Mata pelajaran geografi
diajarkan pada jenjang primary, secon-dary 1, dan senior secondary 2. Pada jenjang primary
school dan secondary 1 mata pelajaran ini disajikan secara terintegrasi dengan social study,
dan pada secondary 2 geografi disajikan secara tersendiri (Clifford, tanpa ahun)
(1) develop a sense of wonder, curiosity, knowledge and interest about the variety of
environments, peoples, cultures and places that exist throughout the world, providing
students with a sound geogra–phical knowledge of their own place, of Australia, and of the
world. (2) enable students to explore and gain a good understanding of geographical
thinking including its perspec–tives, concepts and ways of explaining. (3) enable students to
become thoughtful and active local, national and global citizens, and to understand how they
can infuence the futures of places. (4) develop students’ ability to ask geographical
questions, plan an inquiry, collect and analyse infor–mation, (particularly through feldwork
and spatial technologies), reach conclu–sions based on evidence and logical reasoning, and
communicate their fndings in efective ways. (5) build the confdent and creative use of
geographical skills, and to enable students to use these skills to extend their knowledge;
make sense of new situations, and to solve problems.((Australian Curriculum, Asesment, and
Reporting Authority, 2010).
Struktur persekolahan formal di Australia meliputi primary school dan seconddary school.
Primary school terdiri atas enam grade, yaitu grade 1 hingga grade 6, dan junior secundary
school, dan senior secondary, masing-masing 2 grade. Geografi merupakan salah satu mata
pelajaran di sekolah di Australia. Mata pelajaran ini diajarkan pada jenjang primary, junior
secondary, dan senior secondary. Pada jenjang primary school dan junior secondary school
mata pelajaran ini disajikan secara terintegrasi dengan social study, dan pada senior
seconddary school mata pelajaran geografi disajikan secara tersendiri (Australian
Curriculum, Asesment, and Reporting Authority, 2010).
Struktur persekolahan formal di Japan meliputi elementary school, second-dary school, dan
high school. Elementary school terdiri atas enam grade, yaitu grade 1 hingga grade 6, dan
secundary terdiri atas 3 grade, dan high school terdiri atas atas 3 grade. Geografi merupakan
salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah di Jepang. Mata pelajaran ini diajarkan
pada jenjang primary dan second-dary school yang disajikan secara terintegrasi dengan mata
pelajaran social study, baik pada elementary maupun secondary level. Pada grade satu dan
dua bobot mata pelajaran social study sebesar 2 sks, dan pada grade tiga hingga enam sebesar
3 sks. Pada grade tujuh dan delapan bobot social study sebesar 4 sks, dan grade sembilan
sebesar 3 sks (http://education.stateuniversity.-com/pages-/740/Japan-secondaryeducation.-
html)
Struktur persekolahan formal di Singapore meliputi primary school dan secondary school.
Primary school terdiri atas enam grade, yaitu grade 1 hingga grade 6, dan secundary school
terdiri atas secondary 1 dan secondary 2, masing-masing 2 grade. Pada jenjang secondary ini
siswa dikelompokkan menjadi tiga jalur, yaitu jalur special/express, normal academic, dan
jalur lower/vocational. Untuk jalur express waktu tempuh dapat lebih cepat dari pada jalur
pendidikan ang lainnya. Untuk memasuki jalur ini, siswa harus memiliki prestasi tinggi dan
direkomendasi oleh lembaga pendidikan sebelumnya. Untuk jalur normal akademik waktu
belajar sesuai dengan waktu yang disediakan, tetapi bagi siswa tertentu yang memiliki
kemajuan prestasi belajar yang tinggi dapat pindah kejalur ke express. Untuk jalur lower
diperuntukkan bagi siswa yang memilih pendidikan vocational.
Geografi merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah di Singapore. Mata pelajaran ini
diajarkan pada jenjang primary dan secondary school. Pada jenjang primary dan secondary
satu, mata pelajaran geografi diajarkan secara terintegrasi dengan social study, sedangkan
pada secondary dua, mata pelajaran tersebut diajarkan secara madiri.
Tujuan mata pelajaran geografi untuk jenjang SD dan SMP terintegrasi dengan tujuan mata
pelajaran IPS. Sedangkan pada jenjang SMA mata pelajaran geografi bertujuan (1)
memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan. (2)
menguasai keterampilan dasar dalam mempero-leh data dan informasi, mengkomunikasikan
dan menerapkan pengetahuan geografi. (3) menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan
hidup dan memanfaatkan sumber daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap
keragaman budaya masyarakat.
Sistem pendidikan formal Indonesia terstruktur dalam kelembagaan Seko-lah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA), serta Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). SD berlang-sung enam tahun, SMP tiga tahun, SMA tiga tahun
dan SMK tiga tahun. Pada jenjang SMP dan SMA secara elektif juga terdapat program
akselerasi yang berlangsung selama 2 tahun, dan beberapa sekolah di Kabupaten dan kota
menerapkan program tersebut. Dengan demikian, sekolah di negeri ini memiliki 12 tingkat
kelas/grade dari kelas satu hingga kelas 12.
Geografi dalam struktur pendidikan tersebut dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran
bersamaan dengan mata pelajaran lain. Pada jenjang SD dan SMP, geografi diajarkan secara
terintegrasi dalam mata pelajaran IPS, sedangkan pada jenjang SMA, geografi diajarkan
sebagai mata pelajaran tersendiri. Untuk kelas 10 disajikan sebagai mata pelajaran inti yang
harus pelajari semua siswa, sedangkan untuk kelas 11 dan 12, mata pelajaran tersebut
menjadi salah satu mata pelajaran pada program studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Ruang lingkup mata pelajaran geografi di Indonesia mencakup: (1) konsep dasar, pendekatan,
dan prinsip dasar Geografi. (2) konsep dan karak-teristik dasar serta dinamika unsur-unsur
geosfer mencakup litosfer, pedosfer, atmosfer, hidros-fer, biosfer dan antroposfer serta pola
persebaran spasialnya. (3) jenis, karak-teristik, potensi, persebaran spasial Sumber Daya
Alam (SDA) dan peman-faatannya. (4) jumlah, pertumbuhan, komposisi, penye-baran, dan
permasalahan penduduk dan dampaknya. (5) karakteristik, unsur-unsur, kondisi (kualitas) dan
variasi spasial lingkungan hidup, pemanfaatan dan pelestariannya. (6) kajian wilayah negara-
negara maju dan sedang berkembang. (7) konsep wilayah dan pewilayahan, kriteria dan
pemetaannya serta fungsi dan manfaatnya dalam analisis geografi. (8) pengetahuan dan
keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta, Sistem Informasi Geografis
(SIG) dan citra pengin-deraan jauh.
Kedua, struktur penempatan mata pelajaran geografi diberikan sejak dari SD dan SMP yang
terintegrasi dengan mata pelajaran IPS hinga SMA yang monolitik. Jika dibandingkan dengan
negara-negara lain, struktur penempatan mata pelajaran geografi di Indonesia termasuk
terlama, yaitu sejak sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah
atas. Hal itu menunjuk-kan, bahwa lulusan sekolah di Indonesia telah belajar geografi terlama
di dunia.
Ketiga, ruang lingkup mata pelajaran geografi dimulai dari lokasi, tempat tinggal, wilayah,
interaksi penduduk dengan lingkungannya, hingga ke ling-kungan global. Substansinya
mencakup konsep dasar geografi; karakteristik dasar serta dinamika geospere dan persebaran
spasialnya; Sumber Daya Alam dan pemanfaatannya, jumlah, pertumbuhan, komposisi,
penyebaran, dan per-masalahan penduduk dan dampaknya; karakteristik, unsur-unsur,
kondisi (kualitas) dan variasi spasial lingkungan hidup, peman-faatan dan peles-tariannya;
kajian wilayah negara-negara maju dan sedang berkembang; konsep wilayah dan
pewilayahan, kriteria dan pemetaannya serta fungsi dan manfaatnya dalam analisis geografi;
pengetahuan dan keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta, Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh. Dengan demikain secara substansial,
materi pendidikan geografi di sekolah memenuhi lima tema dan delapan belas standar
geografi yang berlaku di Amerika, United Kingdom dan negara-negara lain.
Namun, dalam implementasinya masih perlu perbaikan secara terus menerus dan perubahan
yang mendasar. Pendidikan geografi di negeri ini masih ”tebelenggu” pada transfer of
knowledge dan learning to testing. Praktek pendi-dikan masih diliputi dengan upaya
mentranser pengetahuan sebanyak mungkin, dan mengetesnya pada akhir pelajaran untuk
mengetahui daya serap dan ketuntasannya. Sementara, aspek keterampilan berfikir (skills),
dan sikap dan nilai (attitusdes dan values) belum mendapat porsi pengembangan yang seim-
bang dengan pengembangan pengetahuan geografi. Oleh karena itu perlu reorintasi dan
reaktualisasi pendidikan geografi agar dapat mengantarkan siswa dalam dunia yang global
dewasa ini.
KESIMPULAN
Pendidikan geografi merupakan bagian penting dari kehidupan suatu bangsa untuk
membagun kesadaran warga negara tentang lingkungan tempat tinggal, wilayah, penduduk
dan interaksi diantaranya. Pendidikan geografi merupakan bidang kajian atau ilmu yang
dilandasi pendidikan dan geografi untuk meningkatkan kompetensi peserta didik tentang
geographical knowledge, skills, dan attitudes dan values sebagai warga negara negara atau
warga dunia. Tujuan pendidikan geografi/mata pelajaran geografi di Indonesia telah
memenuhi cakup-an ketiganya.
Struktur penempatan mata pelajaran geografi di sekolah bervariasi antara antara satu negara
dengan negara lain. Secara umum mata pelajaran tersebut diberikan pada jenjang primary
school/pendidikan dasar dan secondary school /SMP, namun di beberapa negara diberikan
hingga sampai jenjang high school/SMA. Indonesia termasuk salah satu negara yang
menempatkan geografi sebagai mata pelajaran di sekolah hingga jenjang SMA/high school,
selain Inggris, Australia, dan Singapura.
Ruang lingkup mata pelajaran geografi yang berlangsung di banyak negara mengacu pada
lima tema esensial, dan delapan belas standar geografi. Kilima tema tersebut adalah lokasi,
place, relationship within place, movement, dan region. Kedelapan belas standar tersebut
adalah penggunaan peta, alat dan teknologi; penggunaan peta mental; analisis organisasi
spasial; karakteristik manusia dan fisik alam; penciptaan wilayah oleh penduduk; pengaruh
budaya pada wilayah; proses fisik yang membentuk pola permukaan bumi; karak-teristik,
distribusi, dan migrasi penduduk; karakteristik, distribusi, dan komplek-sitas musaik budaya
di permukaan bumi; pola dan jaringan saling ketergantungan ekonomi di muka bumi; proses,
pola, dan fungsi pemukiman penduduk; bagaimana proses kerjasama dan konflik antar
penduduk yang ber-pengaruh pada pembagian dan kekuasaan di muka bumi; tindakan
manusia memodifikasi lingkungan fisik; sistem lingkungan fisik berpengaruh pada sistem
manusia; perubahan-perubahan yang terjadi dalam kaitan cara, penggunaan, distribusi, dan
pentingnya sumberdaya; penerapan geografi untuk mengin-tepretasi masa lalu; penerapan
geografi untuk mengintepretasi kondisi saat ini dan masa mendatang. Pendidikan geografi di
Indonesia telah mengakodasi kelima dan kedelapan belas standar tersebut, walaupun belum
selurunya.
DAFTAR RUJUKAN
Australian Curriculum, Asesment, and Reporting Authority, 2010. Draft Shape the
Australian Curiculum: Geography, (online), (http://www.Acara.Edu.Acara/-
Geography.html, diakses 10 April 2012).
Clifford. Ben. Tanpa tahun. Geografi dalam Sistem Sekolah Inggris, (Online),
(http://geography.about.com/library/weekly/aa110899.htm, diakses 11 April 2012).
Gerber, R. 2001. The State of geographical Education in Countries around the World.
International Research in Geographical and Environmental Education. 10(5), 349-363
_______. 2003. The Global Scence for Geographical Education. International Hand Bok on
Geographical Education. Dordrecht: Kluwer.
Reinfried, Sibylle dan Hertig Philippe. Tanpa tahun. Gegraphical Education: How Human-
Environment-Society Processes Work. Encyclopedia of LifeSupport System.
GENIP, tanpa tahun. K-6 Geography: Themes, Key Ideas, and Learning Oportunities. Tanpa
kota: Rand McNally & Company
The National Council for Geographic Education and the Association of American
Geographers. Tanpa tahun. The eighteen standards of Geography, (Online),
(http://geography.about.com/od/teachgeography/a/18standards.htm, diakses 15 April 2012).
The National Council for Geographic Education and the Association of American
Geographers. Tanpa tahun . The five themes of geography, (Online),
(http://geography.about.com/od/teachgeography/a/5themes.htm, diakses 11 April 2012)
Posted in Uncategorized | Leave a comment
Budi Handoyo
ABSTRAK: Kualitas pendidikan geografi di sekolah masih menjadi salah satu permasalahan
krusial pendidikan nasional dewasa ini. Implementasi pendidikan tersebut masih bias pada
pengetahuan geografi (geographical knowledge), sementara ranah ketermpilan geografis
(geographical skill), dan ranah sikap/nilai geografis (geographical attitude/value) tidak
tumbuh optimal, bahkan kecenderungannya semakin tenggelam. Pada hal pada abad XXI ini
kecenderungan pendidikan geografi mengarah pada geografi terpadu (integrated geography)
yang mengarahkan tumbuhnya sikap kritis dan tanggung jawab warga negara pada isu-isu
kunci yang kompleks, seperti masalah lingkungan, sosial, budya, ekonomi dan politik.
Kehadiran Undang Undang Informasi dan Geospasial dapat dijadikan momentum perbaikan
kualitas pembelajaran geografi untuk meningkatkan mutu hasil belajar yang lebih optimal.
Keberadaan undang-undang tersebut dapat menjadikan pendidikan geografi lebih spasial,
kontekstual, dan aktual.
1. A. Pendahuluan
Agak sulit menjawab pertanyaan sejauhmana kualitas pendidikan geografi di negara kita
yang luas dan bervariasi ini? Kesulitan itu terjadi, karena belum ada kesamaan indikator
kuaitas pendidikan tersebut antara Pemerintah—Kemendikbud sebagai ”pemangku
kepentingan” dengan guru sebagai perencana, pelaksana dan penilai di tingkat sekolah. Oleh
karena itu, upaya segera merumuskan indikator kualitas pendidikan tersebut menjadi penting
untuk perbaikan mutu ke depan.
Dalam ”status quo” itu secara relatif, indikator yang biasanya digunakan adalah hasil Ujian
Nasional (UN). Karena UN berlaku bagi siswa secara nasional dengan bobot soal yang
kualitasnya relatif sama. Hasil UN tahun 2012 menunjukkan kelulusan yang relative tinggi.
Dari jumlah peserta ujian sebanyak 1.524.704 dinyatakan lulus sebesar 1.517.125 peserta
atau sebesar 99,5%. Berasumsi pada hasil tersebut dapat dikatakan bahwa pada tahun 2012
ini, siswa nyaris lulus semua dalam mata pelajaran geografi. Namun, apakah fakta ini
menggambarkan kualitas pendidikan geografi?
Tentu saja perlu hati-hati dalam memberikan penilaian terhadap fakta ini. Sebab, hasil UN
sebenarnya belum mengambarkan hasil belajar geografi secara keseluruhan. Hasil UN
tersebut baru menunjukkan aspek pengetahuan geografi (geographical knowledge),
sementara aspek keterampilan geografis (geographical skill) dan sikap/nilai geografis
(geographical attitude/value) yang keduanya menjadi bagian integral ranah pendidikan
geografi, belum mendapat porsi yang seimbang untuk dikembangkan dalam proses
pembelajaran.
Aktualisasi ranah geographical skill dan geographical attitude/value sebagai dasar indikator
mutu pendidikan geografi merupakan langkah strategis bagi perbaikan mutu pendidikan
geografi ke depan. Hal lain yang turut menggembirakan adalah Undang Undang Informasi
dan Geospasial (UUIG) yang telah di syahkan oleh DPR pada tahun 2011 lalu. Undang-
undang tersebut memiliki arti penting—bagi pendidikan geografi, karena memberikan
kepastian, keakurasian, dan kemutakhiran data spasial dan informasi spasial yang penting
bagi pembelajaran geografi untuk pengembangan pengetahuan geografis, keterampian
geografis, dan atitut/nilai geografis. Inilah permasalahan yang perlu mendapat perhatian
semua pihak yang terkait untuk peningkatan kualitas pendidikan geografi di masa kini dan
akan datang.
Pendidikan geografi adalah suatu disiplin ilmu yang dilandasi oleh ranah pendidikan dan
geografi (Reinfried, tanpa tahun). Pendidikan geografi merupakan konsep yang kompleks
yang dapat dipahami dalam kaitan dengan ilmu geografi, tujuan pendidikan secara detail,
posisinya pada pendidian formal dan in formal, dan komponen esensial terkait lainnya
(Gerber, tanpa tahun).
Dari keempat yang perlu dipahami tersebut, tujuan pendidikan geografi merupakan aspek
terpenting dalam kaitan mutu pendidikan geografi. Tujuan pendidikan geografi adalah
mengembangkan geographical knowledge, skills, dan attitudes and values (The International
Charter on Georap-hical Education/ICGE dalam Gerber, 2001). Geographical knowledge
berkenaan dengan lokasi dan tempat, sistem alam–interaksi ekosistem, sistem sosioekonomi,
keragaman masyarakat, struktur dan proses di suatu wilayah, dan keterkaitan global. Skill
berkenaan dengan proses berpikir yang memerlukan pemecahan masalah dan membuat
keputusan spasial; penggunaan komunikasi verbal, kuantitatif, bentuk simbul data: grafik,
teks, tabel, diagram, peta; keteram-pilan fisik-praktis—yang berkaitan dengan studi lapangan.
Attitude and value berkenaan dengan minat dan rasa ingin tahu terhadap fenomena alam dan
manusia; menghargai bentang alam dimana penduduk tinggal; empati pada perbedaan
kondisi kehidupan masyarakat; hormat pada kebenaran dan kesamaan.
Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa tujuan pendidikan geografi adalah menyediakan orang
muda yang berpengathuan geografi, yaitu memahami sistem lingkungan fisik dan manusia
yang saling berkaitan dan masyarakat dan tempat tinggalnya berinteraksi. Dengan demikian
Pendidikan geografi tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik
tentang dunia dan pengembangan skills geografi dasar, tetapi juga berkomitmen untuk
menumbuhkembangkan kepribadian dan penguatan sikap untuk partisipasi penuh dalam
kehidupan yang dewasa dan masyarakat. Hal itu juga mencakup pembahasan isu-isu etika,
nilai, keadilan, dan moralitas (International Geographical Union Commission on
Geographical Education dalam Reinfried, tanpa tahun). Masalah itu berkenaan dengan
kepentingan dunia dan perbedaan budayanya, peduli terhadap lingkungan fisik dunia dan
kondisi kehidupan yang berbeda, kualitas lingkungan dan alam, dan habitat manusia, evaluasi
yang cerdas pada masalah kini, dedikasi untuk berkontribusi pada pemecahan masalah,
perasaan simpati pada masyarakat dan cara-cara hidup yang berbeda dan menghargai hak
asasi manusia (Haurbrich, 2006).
Pendidikan geografi memiliki tiga komponen yang saling terkait, yaitu subject matter, skill,
dan perpective (Gerber, tanpa tahun). Ada enam elemen esensial subject matters, yaitu dunia
dalam kaitan spasial, study tempat dan wilayah, pemahaman sistem fisik yang membentuk
permukaan bumi, pemahmanan aktivitas manusia yang membentuk permukaan bumi,
pemahaman bagaimana aktivitas mansuia memodifikasi lingkungan alam sekitar,
pemahaman kegunaan geografi untuk pengetahuan yang berkaitan dengan masyarakat,
tempat dan lingkungan. Skill geografi berkenaan penggunaan peralatan dan teknik untuk
berpikir secara`geografis. Perspektive merupakan komponen yang berkaitan dengan
interpretasi makna dari data yang terkumpul dalam penelitian, yaitu perspektif spasial dan
kelingkungan.
Pendidikan geografi mencakup geographical knowledge, skill, dan attitude and value yang
memungkinkan siswa memahami proses manusia-lingkungan-masyarakat di dunia untuk
mencapai masyarakat yang berpengatahuan geografi (geographical literate). Masyarakat
yang berpengetahuan geografi dipengaruhi oleh pemahamannya tentang tempat, keterkaitan
antar tempat, dan tindakan keruangan yang timbul oleh bermacam-macam pelaku/aktor.
Pendidikan geografi juga mengembangkan dan mengevaluasi kurikulum, tujuan
pembelajaran, metode pembelajaran dan proses pembelajaran.
Kecenderungan pendidikan di abad XXI ini ini berkenaan dengan konsep geografi terpadu
(integrative) yang digunakan dalam proses pendidikan dan berfikir kritis, pendidikan untuk
pembangunan berkelanjutan, informasi dan teknologi (ICT). Siswa perlu bertindak sebagai
warga negara yang bertanggung jawab berkenaan dengan isu-isu kunci yang kompleks, yaitu
lingkungan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pendidikan geografi merupakan suatu
bidang pendidikan yang mengajarkan siswa tinking skills (keterampilan berpikir) yang
diperlukan untuk memahami dan bertindak secara berkelanjutan di dunia. Tanpa geografi,
anak-anak muda tidak siap untuk masa depan yang global.
Pada era dewasa ini konsep pendidikan geografi dipengaruhi oleh empat parameter utama,
yaitu nilai-nilai umum yang berlaku dalam sistem sekolah, konsep pengetahuan geografi,
konsep pembelajaran, dan epistimologi ilmu pengetahuan (Hertig dan Varcer, 2004). Oleh
karena itu geografi pada sekolah dasar dan sekolah menengah berperan penting dalam
menyiapkan peserta didik yang terampil berpikir kritis dalam rangka memahami dunia.
Dengan keterampilan berpikir kritis tersebut peserta didik dapat meneliti dan menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan hubungan timbal balik antara masyarakat dengan ruang
dan hubungan timbal balik antara masyarakat yang berbeda-beda ke seluruh ruang.
Tempat merupakan karakteristik alam dan budaya. Semua tempat di bumi memiliki
karakteristik alam dan budaya yang berbeda dan membedakan mereka dari tempat lain.
Karakteristik alam dipengaruhi oleh faktos geologis, proses hidrologis, atmosfer, dan biologis
yang menghasilkan bentang alam, air, iklim, tanah, vegetasi alam, dan kehidupan hewan. Ide
dan tindakan manusia juga membentuk karakter tempat, yang bervariasi komposisi
penduduknya, pola pemukiman, arsitektur, jenis kegiatan ekonomi dan rekreasi, transportasi
dan jaringan komunikasi. Satu tempat juga mungkin berbeda dari yang lain secara ideologis
dan prinsip-prinsip filosofis atau agama orang yang tinggal di sana, dengan bahasa mereka,
dan dengan bentuk organisasi ekonomi, sosial, dan politik.
Hubungan dalam wilayah merupakan hubungan manusia dan lingkungan. Orang
memodifikasi dan beradaptasi dengan pengaturan alam dengan cara yang mengungkapkan
nilai-nilai budaya, keadaan ekonomi dan politik, dan kemampuan teknologi. Adalah penting
untuk memahami bagaimana hubungan manusia-lingkungan dan apa konsekuensinya bagi
masyarakat dan bagi lingkungan.
Mobilitas merupakan interaksi manusia di muka bumi. Penyebaran manusia tidak merata di
seluruh bumi, berinteraksi satu sama lain, mereka melakukan perjalanan dari satu tempat ke
tempat lain, mereka berkomunikasi satu sama lain, atau mereka bergantung pada produk,
informasi, dan ide yang datang dari luar lingkungan mereka. Bukti-bukti yang paling terlihat
dari saling ketergantungan global dan interaksi tempat adalah jaringan transportasi dan
komunikasi yang menghubungkan setiap bagian dari dunia. Ini menunjukkan bahwa
kebanyakan orang berinteraksi dengan tempat-tempat lain hampir setiap hari dalam
kehidupan mereka. Interaksi terus berubah seiring dengan perubahan transportasi dan
perubahan teknologi komunikasi. Karena itu, kita perlu mengantisipasi perubahan ini dan
untuk memeriksa konsekuensi geografis dan sosialnya.
Wilayah adalah bagaimana manusia membentuk perubahan. Unit dasar dari penelitian
geografis adalah wilayah tersebut. Pada wilayah ini, setiap daerah yang menampilkan
kesatuan dalam hal kriteria yang dipilih, biasanya digunakan untuk menunjukkan sejauh
mana kekuasaan politik, seperti negara, propinsi atau kota. Namun, ada cara hampir tak
terhitung jumlahnya untuk menentukan daerah yang bermakna, tergantung pada isu dan
permasalahan yang dipertimbangkan. Beberapa wilayah ditentukan oleh karakteristik tunggal,
seperti unit pemerintahan, kelompok bahasa, atau jenis tanah dan lain-lain oleh interaksi
elemen yang kompleks.
Serangkaian keterampilan geografis diperlukan untuk memproses informasi dalam studi dan
analisis isu-isu penting. Keterampilan geografi terdiri atas: (1) mengajukan pertanyaan
geografis dengan kata “dimana” dan “mengapa ada disana?”. (2) memperoleh informasi
geografis. Keterampilan ini berkisar idetifikasi lokasi yang menggunakan sistem grid, melalui
pengamatan dan memperoleh informasi di lapangan, untuk memperoleh data statistik. (3)
menyajikan informasi geografis. Keterampilan ini melibatkan pembuatan peta, tabel, dan
grafik, dan presentasi tertulis atau lisan yang koheren. (4) menafsirkan informasi geografis.
Interpreting melibatkan kemampuan untuk menentukan peta tertentu, tabel, atau grafik
(misalnya menggambarkan fenomena dengan grafik garis). (5) mengembangkan dan menguji
informasi geografis. Keterampilan ini berupa membuat kesimpulan berdasarkan informasi
yang terkandung dalam peta, tabel, dan grafik.
Berdasarkan tema dasar dan keterampilan tersebut, hasil belajar geografi yang diharapkan
berupa: (1) pemahaman lokasi absolut dan relatif. Hasil belajar ini merupakan aspek penting
dari setiap fitur alam dan budaya di bumi. (2) penentuan signifikansi tempat dalam hal
karakteristik mereka alami dan manusia dan bagaimana arti dari tempat berubah seiring
waktu. Sebagai contoh, siswa akan dapat mengidentifikasi faktor-faktor alam dan manusia
yang menyebabkan munculnya Jakarta sebagai kota besar dunia dan menggambarkan
bagaimana Jakarta telah berubah. (3) menyadari bagaimana orang mendiami, memodifikasi,
dan adaptasi kultural dengan lingkungan alam. Sebagai contoh, siswa akan menyadari bahwa
wilayah hutan hujan tropis telah digunakan untuk berburu dan mengumpulkan, untuk
perladangan berpindah, untuk kehutanan, dan pertanian perkebunan. (4) pemahaman
bagaimana tempat saling bergantung dan implikasi dari saling ketergantungan itu. Sebagai
contoh, siswa dapat memeriksa saling ketergantungan Indonesia dan Jepang dan memiliki
beberapa ide bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari keluarga Indonesia dan
Jepang. (5) siswa akan belajar menggunakan konsep daerah untuk membuat pernyataan
umum tentang realitas. Sebagai contoh, siswa akan mengidentifikasi wilayah di dunia dimana
memotong pohon di hutan untuk kayu bakar merupakan sumber energi utama, mereka akan
dapat menjelaskan dan mengevaluasi tampilan manusia dan lingkungan yang ditemukan di
bagian-bagian dunia dan mereka akan dapat menghubungkannya terhadap konsekuensi
deforestasi.
Dalam mencapai semua tujuan ini, siswa dapat menggunakan peta untuk bertanya dan
menjawab pertanyaan tentang isu-isu penting. Sebagai contoh, siswa akan dapat melihat peta
berurusan dengan penduduk, penggunaan lahan, bentuk lahan, dan vegetasi untuk membuat
kesimpulan tentang distribusi kekeringan, misalnya kekeringan di Afrika. Berpengetahuan
geografis melibatkan tema-tema tertentu dan keterampilan yang dibahas dan dicerna siswa.
Siswa dapat menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan pemahaman
dunia dan berpikir lebih efektif tentang hal itu.
Jilka melihat implementasi pendidikan geografi di sekolah masih terdapat kekurangan dalam
kompetensi penggunaan peta. Pembelajaran masih bertumpu pada pengetahuan peta, seperti
definisi peta, jenis-jenis peta, skala peta, dan seterusnya. Ke depan perlu lebih ditekankan
pada penggunaan peta. Dalam kaitan hal tersebut, ada dua kendala dalam pembelajaran
geografi, pertama, keterbatasan kesedian peta di sekolah, dan kedua, budaya menggunakan
peta dalam kehidupan. Untuk itu, pengadaan peta, terutama peta tematik sebagai kelengkapan
pembelajaran geografi sangat penting. Dan, dalam era digital dewasa ini, peta tersebut dapat
diadakan secara cepat dan murah.
Standar Geografi Nasional di publikasikan pada tahun 1994 untuk mengarahkan pendidikan
geografi di Amerika Serikat (Rosenberg, tanpa tahun; http:// geography.
about.com/od/teachgeography/a/18standards.htm). Kedelapan belas standar seharusnya di
ketahui dan dipahami secara perorangan. Harapannya setiap siswa di Amerika akan menjadi
seorang informan secara geografi melalui implementasi standar ini di dalam kelas. Kedelapan
belas stadar adalah: (1) bagaimana mengunakan peta, alat dan teknologi untuk memperoleh,
memproses, dan melaporkan informasi. (2) bagaimana mengunakan peta mental untuk
mengorganisasi informasi tentang penduduk, tempat tinggal dan lingkungan. (3) Bagaimana
menggunakan analisis organisasi spasial penduduk, tempat tinggal dan lingkungan di muka
bumi. (4) karakteristik manusia dan fisik alam dari tempat tinggal. (5) bahwa penduduk
menciptakan wilayah-wilayah untuk mengintepretasi kompleksitas bumi. (6) bagaimana
budaya dan pengalaman berpengaruh pada persepsi tempat tinggal dan wilayah. (7) proses
fisik alami yang membentuk pola permukaan bumi. (8) karakteristik dan penyebaran spasial
dari ekosistem di permukaan bumi. (9) karakteristik, distribusi, dan migrasi penduduk. (10)
karakteristik, distribusi, dan kompleksitas musaik budaya di permukaan bumi. (11) pola dan
jaringan saling ketergantungan ekonomi di muka bumi. (12) proses, pola, dan fungsi
pemukiman penduduk. (13) bagaiman proses kerjasama dan konflik antar penduduk yang
berpengaruh pada pembagian dan kekuasaan di muka bumi. (14) bagaimana tindakan
manusia memodifikasi lingkungan fisik. (15) bagaimana sistem lingkungan fisik berpengaruh
pada sistem manusia. (16) perubahan-perubahan yang terjadi dalam kaitan cara, penggunaan,
distribusi, dan pentingnya sumberdaya. (17) bagaimana menerapkan geografi untuk
mengintepretasi masa lalu. (18) menerapkan geografi untuk mengintepretasi kondisi saat ini
dan masa mendatang.
Pendidikan geografi diajarkan dalam jenjang dengan tujuan dan ruang lingkup yang saling
berkaitan. Mata pelajaran ini dijarkan pada jenjang SD, SMP, dan SMA. Pada jenjang SD
dan SMP, geografi diajarkan secara terintegrasi dalam mata pelajaran IPS, sedangkan pada
jenjang SMA, geografi diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri. Untuk kelas 10 disajikan
sebagai mata pelajaran inti yang harus pelajari semua siswa, sedangkan untuk kelas 11 dan
12, mata pelajaran pilihan tersebut menjadi salah satu mata pelajaran pada program studi
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Struktur penempatan mata pelajaran yang demikian tentu mengembirakan pada kita. Sebab,
dibanyak Negara, mata pelajaran ini diajarkan dijenjang primary school dan secondary
school. Sekali pun demikian, implementasi pembelajarannya cukup efektif dalam
membelajarkan pengetahuan, keterampilan, sikap/nilai geografi. Sementara, di negara kita,
mata pelajaran geografi yang diajarkan dari jenjang SD hingga SMA masih belum efektif,
terutama pada aspek geographical skill dan geographical attitude/value. Hal itu dapat terjadi
karena ada aspek metodologis yang perlu peningkatan keefektifannya.
Tujuan mata pelajaran geografi untuk jenjang SD dan SMP terintegrasi dengan tujuan mata
pelajaran IPS. Sedangkan, pada jenjang SMA mata pelajaran geografi bertujuan (1)
memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan. (2)
menguasai keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi, mengkomunikasikan
dan menerapkan pengetahuan geografi. (3) menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan
hidup dan memanfaatkan sumber daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap
keragaman budaya masyarakat (Permendiknas, 6/2006).
Ruang lingkup mata pelajaran geografi di Indonesia mencakup: (1) konsep dasar, pendekatan,
dan prinsip dasar geografi. (2) konsep dan karakteristik dasar serta dinamika unsur-unsur
geosfer mencakup litosfer, pedosfer, atmosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer serta pola
persebaran spasialnya. (3) jenis, karak-teristik, potensi, persebaran spasial Sumber Daya
Alam (SDA) dan pemanfaatannya. (4) jumlah, pertumbuhan, komposisi, penyebaran, dan
permasalahan penduduk dan dampaknya. (5) karakteristik, unsur-unsur, kondisi (kualitas) dan
variasi spasial lingkungan hidup, pemanfaatan dan pelestariannya. (6) kajian wilayah negara-
negara maju dan sedang berkembang. (7) konsep wilayah dan pewilayahan, kriteria dan
pemetaannya serta fungsi dan manfaatnya dalam analisis geografi. (8) pengetahuan dan
keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta, Sistem Informasi Geografis
(SIG) dan citra penginderaan jauh.
Jika mencermati tujuan dan ruang lingkup mata pelajaran geografi sebagaimana diuraikan,
terdapat dua hal penting. Pertama, pendidikan geografi Indonesia telah memenuhi aspek
geographical knowledge, skills, dan attitudes and values. Aspek geographical knowledge
mencakup pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan. Aspek
skills mencakup keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi,
mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan geografi. Dan, aspek attitudes dan values
mencakup perilaku peduli terhadap lingkungan hidup, arif memanfaatkan sumber daya alam
dan toleran terhadap keragaman budaya masyarakat. Dalam istilah sekarang, aspek attitude
dan values ini disebut nilai-niai karakter.
Kedua, ruang lingkup mata pelajaran geografi dimulai dari lokasi, tempat tinggal, wilayah,
interaksi penduduk dengan lingkungannya, hingga ke lingkungan global. Substansinya
mencakup konsep dasar geografi; karakteristik dasar serta dinamika geospere dan persebaran
spasialnya; Sumber Daya Alam dan pemanfaatannya, jumlah, pertumbuhan, komposisi,
penyebaran, dan permasalahan penduduk dan dampaknya; karakteristik, unsur-unsur, kondisi
(kualitas) dan variasi spasial lingkungan hidup, pemanfaatan dan peles-tariannya; kajian
wilayah negara-negara maju dan sedang berkembang; konsep wilayah dan pewilayahan,
kriteria dan pemetaannya serta fungsi dan manfaatnya dalam analisis geografi; pengetahuan
dan keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta, Sistem Informasi
Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh. Dengan demikain secara substansial, materi
pendidikan geografi di sekolah memenuhi lima tema dan delapan belas standar geografi yang
berlaku di Amerika, United Kingdom maupun negara-negara lain.
Reorientasi dimaksudkan untuk mengembalikan arah pembelajaran geografi pada tujuan yang
sebenarnya, agar tidak hanya memfokuskan geographical knowledge sebagai ranah utama
dalam pembelajaran, tetapi juga geographical skill, dan geografphical attitude/values siswa
secara seimbang. Secara operasional, riorientasi dapat dilakukan dengan melakukan
perbaikan rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan penilaian pembelajaran.
Rerenca pembelajaran (RPP) perlu dikembangkan pada aspek indikator dan tujuan
pembelajarnnya. Indikator dan tujuan pembelajaran perlu dikembangkan dengan melengkapi
aspek geographical skill dan geographical attitude/values yang tepat. Dalam pelaksanaan
pembelajaran, kedua aspek tesebut diaktualisasikan secara konsisten, dan dalam penilaiannya,
kedua aspek tersebut juga di nilai dan dimasukkan ke dalam rapor siswa.
1. C. Undang Undang Informasi dan Geospasial dan Urgensinya bagi Perbaikan Kualitas
Pendidikan Geografi
Sudah lama kita berharap memiliki undang-undang yang mengatur data dan informsi
keruangan/spasial. Sebab, negara kita mimiliki wilayah luas dengan kekayaan serta
keragaman sumber daya alam yang menyebar dibawah, pada, dan diatas permukaan bumi.
Sumber daya alam tersebut perlu dikelola secara baik dengan menuangkannya menjadi data
dan informasi spasial yang dapat digunakan untuk menopang berbagai kepentingan
penyelenggaraan kehidupan bernegara maupun bermasyarakat. Tanpa undang undang
tersebut, tentu pengelolaan sumber daya alam yang ada tidak dapat berjalan optimal. Namun,
juga tidak berarti dengan undang undang tersebut pengelolaan SDA yang kata banyak pihak
”karut marut” ini terselesaikan. Undang undang tersebut dapat menjadi rambu-rambu bagi
guru dan siswa atau bahkan semua pihak tentang adanya data dan informasi keruangan yang
dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran geografi. Karena itu, kehadiran UUIG ini
patut disyukuri masyarakat Indonesia.
”bahwa negara kesatuan Repblik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
nusantara dengan segala kekayaan sumerdaya alam dan sumber daya lainnya sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola dengan baik dengan penuh rasa
tanggung jawab untuk menjadi sumber kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, baik di
masa kini maupun dimasa mendatang”.
bahwa dalam mengelola sumber alam dan sumber daya lainnya sert penggulangan bencana
dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonsia dan wilayah yuridiksa diperlukan
informasi geospasial.
bahwa agar informasi geospasial dapat terselengara dengan tertib, terpadu, berhasil guna, dan
berdaya guna sehingga terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan kepastian hukum, maka perlu
pengaturan mengenai penyelenggaraan informasi geospasial”.
Tujuan UUIG adalah: (1) menjamin ketersediaan dan akses terhadap IG yang dapat
dipertanggungjawabkan. (2) mewujudkan penyelenggaraan IG yang berdaya guna dan
berhasil guna melalui kerjasama, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi. (3) mendorong
penggunaan IG dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam berbagai kehidupan
masyarakat.
Dalam kaitannya dengan pendidikan geografi, UUIG tersebut dapat berpengaruh positif bagi
peningkatan kualitas pembelajaran. Kehadiran UUIG akan menumbuhkan peluang,
kesempatan dan partisipasi guru dan siswa dalam geographical knowledge, geographical
skill, dan geographical attitude/value, seperti:
(1) membantu guru dan siswa mendapatkan data dan informasi kerungan lebih cepat, akurat
dan mudah.
(2) memperbesar akses guru dan siswa memperoleh data dan informasi spasial
Permasalahan tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor. Salah satu diantaranya adalah
ketidaktersediaan data dan informasi spasial yang mendukung topik pembelajaran yang
sedang di pelajari siswa. Mencari data dan informasi spasial yang berupa lokasi, tempat, dan
posisi suatu fenomena/kejadian sungguh tidak mudah, selain memerlukan waktu yang relatif
lama. Mencari data dan informasi spasial sungai-sungai di Indonesia, seperti S Berantas, S
Solo, S Mahakam, S Siak, S Mamberamo ternya tidak mudah. Demikian pula mencari data
dan informasi fenomena lain, seperti data dan informasi Danau, Hutan, Tambang, Kota, Desa,
dan sebagainya. Fenomena tersebut belum keseluruhannya di lengkapi dengan data dan
informasi geospasialnya. Oleh karena itu, kehadiran UUIG yang kemudian diikuti
implementasinya secara konsisten dan baik akan menghasilkan data dan informasi geospasial
yang sangat membantu guru dalam peningkatan kualitas pembelajaran geografi.
Untuk menguji sejauhmana pembelajaran itu bermakna kontekstual Texas Collaboratif for
Teaching Exelence (2002-2003) menganjurkan 10 butir per-tanyaan berikut.
(1) apakah kehadiran konsep baru berkaitan dengan pengalaman dan situasi kehidupan nyata
(di luar kelas) yang akrap dengan siswa?
(2) Apakah konsep-konsep dan pengalaman yang dipelajari dalam konteks yang berguna bagi
siswa ?
(4) Apakah contoh dan pengnaturalisan siswa banyak menyangkut dunia nyata, situasi
pemecahan masalah yang dianggap penting bagi siswa untuk kehidupan dimasa kini dan akan
datang?
(5) Apakah pengalaman siswa menanamkan sikap yang menyatakan ”saya perlu untuk
belajar ini”?
(6) Apakah siswa secara bersama menganalisis data yang dimilikinya sebagai arahan dalam
penemuan konsep yang penting ?
(7) Apakah peluang-peluang yang dihadirkan pada siswa secara bersama dan menganalisis
data yang dimilikinya untuk memper-kaya dan memperluasnya?
(8) Apakah pelajaran dan kegiatan mendorong memberanikan siswa untuk menerpakan
konsep daninformasi dalam konteks yang berguna yang memproyeksikan siswa (misalnya
untuk peluang karier)?
(9) Apakah pengalaman siswa untuk berpartisipasi secara teratur dalam kelompok interaktif
tercipta kerjasama, komunikasi, dan tanggung jawab pada konsep-konsep penting dan
pengambilan skeputusan telah terjadi?
Agar guru dan siswa dapat menerapkan pembelajaran kontekstual secara efektif, keberadaan
data dan informasi spasial yang dijamin dalam UUIG menjadi bagian penting. Data dan
informasi spasial itu akan membantu siswa untuk mengenali objek yang dipelajari,
mengidentifikasi jenis dan bentuknya, dan menghubungkan antara fenomena satu dengan
fenomena lain. Dengan demikian geographical skill dan geographical attitude/value siswa
akan tumbuh lebih optimal. Dengan kata lain kehadiran UUIG akan memberikan akses yang
lebih besar bagi guru untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran kontekstual.
Keberadaan data dan informasi spasial dapat menjadi sumber belajar yang memudahkan bagi
guru untuk mengaitkan dengan dunia nyata.
Aktualitas data dan informasi spasial sangat penting bagi dinamika pembelajaran geografi.
Data dan informasi yang mutakhir akan memberikan peluang kepada siswa untuk
mengembangkan pemikiran-pemikiran yang aktual yang diperlukan untuk pemecahan
masalah yang sedang berlangsung.
Kemutakhiran data dan informasi juga dapat membuat pembelajaran geografi menjadi lebih
bermakna. Dengan kemutakhiran data dan informasi itu, siswa dapat mengindentifikasi
permasalahan yang terkini dan merumuskan alternatif pemecahannya. Dengan begitu,
pembelajaran akan mengantarkan siswa ditengah permasalahan dan menjadikan mereka
sebagai salah satu aktor dalam memecahkan permasalahan tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Australian Curriculum, Asesment, and Reporting Authority, 2010. Draft Shape the
Australian Curiculum: Geography, (online), (http://www.Acara.Edu.Acara/-
Geography.html, diakses 10 April 2012).
Clifford. Ben. Tanpa tahun. Geografi dalam Sistem Sekolah Inggris, (Online),
(http://geography.about.com/library/weekly/aa110899.htm, diakses 11 April 2012).
Gerber, R. 2001. The State of geographical Education in Countries around the World.
International Research in Geographical and Environmental Education. 10(5), 349-363
GENIP, tanpa tahun. K-6 Geography: Themes, Key Ideas, and Learning Oportunities. Tanpa
kota: Rand McNally & Company
_______. 2003. The Global Scence for Geographical Education. International Hand Bok on
Geographical Education. Dordrecht: Kluwer.
Reinfried, Sibylle dan Hertig Philippe. Tanpa tahun. Gegraphical Education: How Human-
Environment-Society Processes Work. Encyclopedia of LifeSupport System.
The National Council for Geographic Education and the Association of American
Geographers. Tanpa tahun . The five themes of geography, (Online),
(http://geography.about.com/od/teachgeography/a/5themes.htm, diakses 11 April 2012)
Tujuan Pembelajaran
3. Mahasiawa dapat menganalisis kemiskinan dan dampaknya pada kehidupan bermangsa dan
bernegara
Pengantar
Pembukaan Undang-Udang Dasar 1945 menyatakan, bahwa salah satu tujuan Republik
Indonesia didirikan adalah memajukan kesejahteraan umum. Sejak pemerintahan pertama
menjalankan tugas hingga pemerintahan terkini, peningkatan kesejahteraan memang selalu
menjadi agenda penting. Namun, juga diakui bahwa secara faktual kesejahteraan itu belum
dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Kemiskinan masih merupakan salah masalah
berat yang dialami sebagian penduduk baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan.
Dalam satu dasa warsa terakhir, jumlah penduduk miskin masih relatif besar, sekalipun
terjadi penurunan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 1996 sekitar 34,59 juta atau
(17,47%). Jumlah itu meningkat secara signifikan pada tahun 1998 menjadi 49,50 juta atau
(24,23%). Peningkatan jumlah penduduk miskin tersebut, karena krisis moneter yang
puncaknya pada tahun 1998 -1999. Krisis itu telah menimbulkan peningkatan harga-harga
bahan primer, sekunder, maupun tersier yang berakibat pada kenaikan garis kemiskinan dan
penurunan daya beli masyarakat sehingga angka kemiskinan meningkat (Profil Kemiskinan
Indonesia 2009).
Secara perlahan jumlah penduduk miskin dapat diturunkan dengan berbagai program
pengentasan kemiskinan. Pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin menjadi 34,96 juta atau
(15,42%), dan pada tahun 2010 ini jumlah penduduk masih berkisar 31,5 Juta atau (13%)
lebih. Namun, apabila menggunakan indikator ukuran organisasi Internasional, jumlah
penduduk miskin masih lebih besar, sekitar 17%. Dan jika menggunakan indikator Bank
Dunia dengan pengeluaran 2 $ AS per hari, jumlah penduduk miskin masih lebih besar lagi,
atau hampir setengah dari penduduk Indonesia masih dalam katagori miskin (Rocman, 2010).
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dalam Sholeh, 2010
Jika melihat angka-angka kemiskinan penduduk tersebut dalam perspektif yang panjang,
pertanyaan reflektif yang timbul adalah mengapa di usia yang ke 65 tahun ini, jumlah
penduduk miskin masih besar, sekitar berkisar 31,5 juta jiwa atau 13% lebih? Permasalahan
inilah yang perlu mendapat kajian bersama, agar diwaktu mendatang pemecahan kemiskinan
tidak hanya di seputar angka-angka yang dicapai selama ini, tetapi lebih signifikan untuk
membebaskan penduduk yang seharusnya mereka dapat terbebaskan dari belenggu
kemiskinan tersebut.
Kemiskinan adalah kondisi dimana sesorang atau kelompok orang tidak terpenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya secara bermartabat.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai Poverty is concern with absolute standard
of living of part of society the poor in equality refers to relative living standards across the
whole society (Sumodiningrat, 1999). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kemiskin-
an terkait dengan batas absolut standar hidup sebagian masyarakat miskin dan menyangkut
standar hidup relatif dari masyarakat.
Dalam perspektif kesejahteraan sosial, kemiskinan mengarah pada keterbatasan individu atau
kelompok untuk mengakses jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam
mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Keterbatasan individu
karena adanya faktor penghambat berupa faktor internal yang bersumber dari si miskin itu
sendiri, seperti rendahnya pendidikan dan adanya hambatan budaya. Sedangkan, faktor
eksternal berasal dari luar kemampuan sesorang tersebut, seperti birokrasi atau peraturan-
peraturan resmi yang menghambat seseorang mendapatkan sumber daya. Secara sederhana
kemiskinan dalam persepektif kesejahteraan sosial dimaknai sebagai kemiskinan yang pada
awalnya disebabkan oleh kemiskinan ekonomi, oleh karena terlalu lama dalam kondisi
miskin baik karena faktor tidak disengaja, disengaja maupun karena dipelihara menyebabkan
efek domino, berupa patologi atau masalah sosial. Sedangkan resiko ketika kemiskinan sudah
menjadi masalah sosial adalah selain harus menyelesaikan masalah ekonomi itu sendiri juga
mengatasi masalah sosial yang timbul. Contoh munculnya kriminalitas, budaya malas,
korupsi, disparitas sosial yang menyebabkan konflik, dan ketergantungan pada pihak lain.
Kemiskinan juga dapat dipandang dalam perspektif sebab dan akibat. Sebagai sebab,
kemiskinan merupakan akar dari sebagian besar tindak kriminalitas. Fenomena pencurian,
perampokan atau pembunuhan, dan kasus-kasus bunuh diri atau kelaparan disebabkan oleh
kemiskinan. Sebagai sebuah akibat, kemiskinan merupakan suatu produk praktek
ketidakadilan. Ketidakadilan pemimpin, hukum atau sistem, bahkan ketiganya. Pemimpin
yang tidak adil akan menempatkan orang miskin sebagai ’sampah’ yang tidak perlu
dipikirkan. Sehingga, pemimpin seperti ini hanya akan mementingkan kepentingan dirinya
dan orang-orang disekitarnya, tidak peduli jutaan orang merintih dalam kemiskinannya.
Ketidakadilan hukum akan menempatkan orang miskin dalam posisi lemah. Apalagi jika
hukum bisa dijualbelikan, maka keberadaan orang miskin akan semakin sulit mendapatkan
akses struktural yang mengeksklusi dirinya. Ketidakadilan sistem akan membuka peluang
orang miskin tertindas, karena dalam sistem yang tidak adil, terjadi hukum rimba; yang kuat
dan beruanglah yang berkuasa.
Dengan demikian, secara umum kemiskinan diartikan sebagai suatu kondisi dimana
seseorang atau sekelompok orang serba terbatas, baik dalam eksesibilitas pada faktor
produksi, peluang atau kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup lainnya, sehingga
dalam setiap aktivitas maupun usaha menjadi sangat terbatas (Sulistiyani, 2004).
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan. Sebab,
penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan
di bawah Garis Kemiskinan. Selama Maret 2008-Maret 2009, Garis Kemiskinan naik sebesar
9,65 persen, yaitu dari Rp182.636,- per kapita per bulan pada Maret 2008 menjadi Rp
200.262,- per kapita per bulan pada Maret 2009. Dengan memperhatikan komponen Garis
Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih
besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan). Pada Bulan Maret 2008, sumbangan GKM terhadap GK sebesar 74,07 persen,
tetapi pada Bulan Maret 2009, peranannya hanya turun sedikit menjadi 73,57 persen.
Komoditi yang berpengaruh pada kemiskinan berupa komoditi makanan dan bukan makanan.
Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras,
gula pasir, telur, mie instan, tahu dan tempe. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya
perumahan, biaya listrik, angkutan dan minyak tanah.
Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada Bulan Maret 2008,
sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan sebesar 28,06 persen di perdesaan
dan 38,97 persen di perkotaan. Selain beras, barang-barang kebutuhan pokok lain yang
berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (3,10 persen di
perkotaan; 4,18 persen di perdesaan), telur (3,38 persen di perkotaan; 2,43 persen di
perdesaan), mie instan (3,39 persen di perkotaan; 2,82 persen di perdesaan), tempe (2,56
persen di perkotaan; 2,14 persen di perdesaan), dan tahu (2,27 persen di perkotaan; 1,65
persen di perdesaan).
Untuk komoditi bukan makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang cukup besar
terhadap Garis Kemiskinan, yaitu 5,28 persen di perdesaan dan 7,38 persen di perkotaan.
Biaya untuk listrik, angkutan dan minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar
untuk daerah perkotaan, yaitu masing-masing sebesar 3,07 persen, 2,72 persen dan 2,65
persen, sementara untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).
Pola yang serupa juga terlihat pada Bulan Maret 2009. Pengeluaran untuk beras masih
memberi sumbangan terbesar terhadap Garis Kemiskinan, yaitu 25,06 persen di perkotaan
dan 34,67 persen di perdesaan. Beberapa barang-barang kebutuhan pokok lainnya masih
berpengaruh cukup besar terhadap Garis Kemiskinan, seperti gula pasir (2,83 persen di
perkotaan; 3,72 di perdesaan), telur (3,61 persen di perkotaan; 2,68 di perdesaan), mie instan
(3,21 persen di perkotaan; 2,70 di perdesaan), tempe (2,47 di perkotaan; 2,09 di perdesaan),
dan tahu (2,24 persen di perkotaan; 1,60 persen di perdesaan).
1. Kemiskinan absolut terjadi apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau
sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimun, antara lain
kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk
meningkatkan kapasitas agar bisa hidup dan bekerja. Kemiskinan jenis ini mengacu pada satu
standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat /negara. Sebuah contoh
dari pengukuran absolut adalah persentase dari penduduk yang makan dibawah jumlah yang
cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki
laki dewasa). Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan absolut sebagai hidup dengan
pendapatan dibawah USD $1/hari, dan Kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2
per hari. Dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 terdapat 1,1 miliar orang didunia
mengkonsumsi kurang dari $1/hari, dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari
$2/hari.
2. Kemiskinan relatif adalah kondisi dimana pendapatannya berada pada posisi di atas garis
kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di negara bekembang, ada bukti tentang
kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkan
kaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota.
3. Kemiskinan struktural ialah kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan pendapatan. Kemiskinan struktural muncul karena ketidakmampuan sistem dan
struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin
dapat bekerja. Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan
sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun
masyarakat yang ada disekitarnya. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah buruh
tani, pemulung, penggali pasir dan mereka yang tidak terpelajar dan tidak terlatih. Pihak yang
berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural adalah pemerintah. Sebab, pemerintah
yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi
miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, Kalau pun ada lebih
berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan, sehingga tidak ada
masyarakat miskin yang ‘naik kelas’. Artinya jika pada awalanya sebagai buruh, nelayan,
pemulung, maka selamanya menjadi buruh nelayan dan pemulung.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an para intelektual mengangkat isu kemiskinan struktural ini.
Kemiskinan ini timbul, karena ada hubungan sosial ekonomi yang membuat kelompok orang
tereksklusi dari posisi ekonomi yang lebih baik. Penyebab eksklusi adalah ketergantungan
ekonomi pada negara industri maju, struktur perekonomian nasional jatuh pada segelintir
orang (kolusi penguasa dan pengusaha) serta politik dan hubungan sosial yang tidak
demokratis.
Kemiskinan struktural hadir dan muncul bukan karena takdir, bukan karena kemalasan, atau
bukan karena karena nasib. Kemiskinan jenis ini muncul dari suatu usaha pemiskinan. Suatu
usaha untuk menciptakan jurang semakin lebar saja antara yang kaya dengan yang miskin.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang timbul dari adanya korelasi struktur yang
timpang, yang timbul dari tiadanya suatu hubungan yang simetris dan sebangun yang
menempatkan manusia sebagai obyek. Kemiskinan struktural timbul karena adanya hegemoni
dan justru karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa,
sehingga justru orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.
Namun dalam beberapa dasawarsa belakangan ini terjadi kecenderungan fenomena yang
berbalik. Beberapa negara berkembang yang penduduknya mengalami kemiskinan
struktural, ternyata mampu bangkit dan berkembang untuk merebut pasar global (Rohman,
2010). Pertanyaanya, apakah hal itu pertanda kemiskinan karena faktor struktural tidak ada
lagi, dan yang ada faktor kultural serta kurangnya akses pada kebutuhan dasar? Hal ini secara
empiris perlu mendapat telaah yang lebih mendalam .
(4) Kemiskinan kultural mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang
disebabkan oleh faktor budaya. Sikap budaya itu, seperti tidak mau berusaha untuk
memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, meskipun ada usaha dari
pihak luar untuk membantunya. Sedangkan, kebudayaan kemiskinan, merupakan kemiskinan
yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang
miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan
sebagainya. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan
mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga,
terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Dalam komunitas lokal ditemui ada rumah yang
bobrok, penuh sesak dan bergerombol. Ditingkat keluarga, masa kanak-kanak cenderung
singkat, cepat dewasa, cepat menikah. Pada individu mereka ada perasaan tidak berharga,
tidak berdaya dan rendah diri akut.
Pandangan lain tentang budaya miskin merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan
struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama. Keadaan seperti itu membuat
masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir. Dalam
konteks keagamaan disebut dengan paham jabariah. Contoh kemiskinan ini ada pada
masyarakat pedesaan, komunitas kepercayaan atau agama, dan kalangan marginal lainnya.
Dalam konteks Indonesia, jika ditinjau dari masalah kemiskinan, secara tidak langsung
menunjukkan adanya keterkaitan antara kemiskinan struktural dengan kemiskinan kultural.
Terlebih status Indonesia selain sebagai negara berkembang, juga mengalami proses sejarah
penjajahan yang amat panjang, kurang lebih 350 tahun. Dimulai dari pemerintah kolonial
belanda yang menanamkan komersialisasi pertanian dalam bentuk perpajakan, pembukaan
lahan baru dan membuka jalan raya, yang berdampak pada kemerosotan kesejahteraan petani,
memperkaya mereka yang memiliki modal besar, yaitu elit-elit ekonomi desa. Pasca
penjajahan belanda, pemerintah orde lama memfokuskan pada pembangunan aspek politik.
Proses pengintegrasian wilayah jajahan belanda kedalam pangkuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) harus berlangsung secara cepat. Pada fase ini kondisi
perekonomian negara jauh dari stabil, penanganan masalah kemiskinan belum menjadi
prioritas sehingga masyarakat tidak beranjak dari situasi kemiskinannya, karena secara
struktural tidak terprioritaskan.
Pada saat pemerintahan orde baru, kebijakan politik mulai terarahkan pada usaha mengatasi
kemiskinan. Melalui cara pinjaman dana kepada lembaga donor di luar negeri, seperti IGGI
dilakukan secara ekstensif. Namun, dampak dari kebijakan ini bukan malah menghapus
kemiskinan, melainkan menciptakan kemiskinan babak baru, dimana tumbuhnya
industrialisasi di desa-desa dalam wujud eksploitasi seperti: pertambangan, penebangan
hutan, pembangunan pertanian tanaman industri dan sebagainya. Kondisi itu pada akhirnya
semakin menumbuhkan disparitas sosial yang semakin akut, dan tidak merubah kehidupan
masyarakat miskin dan malah memperkaya mereka yang sudah kaya.
Oleh karena itu dilihat dari perjalanan kemiskinan diatas, kemiskinan kultural merupakan
buah dari kemiskinan struktural. Masyarakat menjadi fatalis, semakin pasrah, menganggap
miskin sebagai nasib dan garis hidup. Hal itu sering diperkuat dengan pendekatan keagamaan
yang meminta agar orang tetap selalu bersabar dan bersyukur menerima ‘takdir’ yang
dialaminya.
Jika dilihat dari argumentasi diatas, mayoritas kemiskinan yang terjadi merupakan dominasi
kemiskinan struktural. Tidak ada proses transformasi kelas dimana buruh tani tetaplah
menjadi buruh tani, begitu pula nelayan, pemulung, dan lain-lain. Jikapun ada program
penanggulangan kemiskinan sifatnya residual, proyek, insidental, tidak berkelanjutan dan
tidak mengena pada substansi atau menyentuh akar dari kemiskinan.
Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan tidak disebabkan oleh faktor tunggal, dan juga tidak terjadi secara linier.
Sebaliknya, kemiskinan bersifat majemuk dan disebabkan oleh multi faktor yang saling
terkait satu dengan yang lain. Secara prinsip ada tiga faktor penyebab kemiskinan, yaitu
faktor struktural, faktor kultural, dan sumberdaya alam yang terbatas (Mubiyarto, 1993;
Sumodiningrat 1998; Rocman, 2010; Handoyo, 2010).
(1) Struktur sosial masyarakat yang menyebabkan sekelompok orang berada pada lapisan
miskin. Keluarga miskin dengan kepemilikan lahan yang sempit, atau bahkan tidak punya
sama sekali. Anak-anak yang lahir dari keluarga seperti ini, sejak awal sudah mewarisi
kemiskinan tersebut. Mereka sulit mendapatkan akses untuk meningkatkan pendidikan dan
keterampilan untuk memperbaiki kualitas diri dan hidupnya sehingga jatuh dalam situasi
kemiskinan yang tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya.
(2) Praktek ekonomi masih jauh dari nilai-nilai moral Pancasila yang bertumpu pada
kebersamaan, kekeluargaan, dan keadilan. Dalam praktek kehidupan lebih mengarah pada
praktek ekonomi pasar bebas yang mengagungkan kompetisi dan individu dari pada
kebersamaan, kekeluargaan, dan masih jauh dari nilai keadilan.
(2) Pasal 33 UUD 1945 masih belum efektif untuk diterjemahkan dalam peraturan organik
yang lebih operasional untuk mengatur praktek kegiatan ekonomi. Undang-undang dan
peraturan pemerintah sebagai turunan dari pasal 33 tersebut masih dibutuhkan. Sejumlah
Undang-Undang Organik dan peraturan telah dibuat oleh lembaga tinggi negara yang
berkompeten. Namun, bukan berarti permasalahannya selesai dengan Undang-Undang
Organik tersebut. Kenyataanya masih muncul berbagai masalah yang berdampak pada
potensi peningkatan jumlah penduduk miskin. Pengelolaan sumber daya air, tambang dan gas
yang kurang baik dapat menimbulkan jumlah penduduk miskin. Sebagai contoh sumber daya
air yang tidak terkelola dengan baik menyebabkan air sungai tercemar. Pada hal selama ini
sungai menjadi sumber air keluarga, terutama bagi rumah tangga miskin. Tidak berfungsinya
air sungai sebagai sumber air bersih menyebabkan rumah tangga miskin membeli air bersih,
setidahnya untuk minum, atau terpaksa mengkonsumsi air yang tercemar tersebut. Sebagai
akibatnya mereka mengeluarkan biaya hidup untuk membeli air. Hal itu akan menambah
jumlah kemiskinan penduduk. Sumber daya alam yang melimpah tidak otomatis dapat
mensejahterakan penduduk sekitar. Kasus tambang di Papua menggambarkan realitas itu.
Tambang emas, tembaga yang sangat besar itu belum dapat mengentaskan kemiskinan
penduduk sekitar dan membebaskan dari keterbelakangan. Hal itu dapat terjadi karena: (1)
nilai kontrak yang terlalu murah, (2) distribusi hasil yang belum berpihak pada kaum miskin
sekitar, (3) pengelolaan yang salah.
(3) Paradigma ekonomi masih bertumpu pada ekonomi neoliberal yang kapitalistik. Dalam
Peradaban global diakui bahwa pengaruh ekonomi kapitalistik demikian besar. Bahkan
peradapan kehidupan umat manusia pada abad XXI ini telah dimenangkan oleh peradaban
kapitalistik. Karena itu, pemikiran-pemikiran neo liberalisme, di sadari atau tidak banyak
mempengaruhi kebijakakan ekonomi di Indonesia. Praktek ekonomi yang bertumpu pada
modal dan pasar bebas menjadi dasar dalam aktivitas ekonomi. Sebagai contoh terbaru adalah
kebijakan yang longgar terhadap keberadaan pasar modern supermaket/minimarket.
Pemerintah daerah belum memiliki aturan yang jelas tentang masalah ini. Sementara
dilapangan telah bergulir pembangunan supermaket tersebut demikian cepatnya. Sebagai
akibatnya banyak toko-toko di pasar tradisional atau di luarnya yang mengalami penurunan
pembeli, karena tidak dapat bersaing. Aturan yang telah ditetapkan jarak 500m dari pasar
tradisional, ternyata tidak dapat berjalan efektif.
(4) Konsistensi terhadap nilai-nilai moral Pancasila yang masih kurang. Pancasila merupakan
seperangkat nilai-nilai luhur dan mulia yang menggambarkan hubungan mausia dengan
Tuhan, Manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam. Jabaran nilai-nilai luhur
tersebut tersurat dan tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila mengajarkan
praktek ekonomi yang demokratis, berkeadilan, efisien, dan berkelanjutan, dan menempatkan
posisi negara sebagai entitas yang penting sebagai regulatator dan eksekutor. Namun,
kenyataanya praktek ekonomi lebih berpihak kepada ekonomi modal besar dari pada rakyat.
Nasib ekonomi kerakyatan menjadi kurang jelas, dan kurang berkelnjutan.
(1) Penyakit individu (patologis) yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku,
pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
(4) penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk
perang, pemerintah, dan ekonomi.
(4) Kepemilikan lahan yang semakin menyempit dan hanya bekerja sebagai buruh tani.
Kemiskinan sebagai masalah nasional, bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Jika ingin
berhasil untuk mengatasinya, kemiskinan harus menjadi tanggung jawab bersama bagi semua
pelaku pembangunan, termasuk masyarakat itu sendiri. Kunci pemecahan masalah
kemiskinan adalah memberi kesempatan kepada penduduk miskin untuk ikut serta dalam
proses produksi dan kepemilikan aset produksi. Dalam penanggulangan kemiskinan terdapat
prinsip-prinsip yang perlu dijadikan acuan dasar peneyelesaian, antara lain:
(1) Menerapkan sistem ekonomi yang demokratis dengan peran pemerintah sebagai
regulator dan eksekutor yang efektif berpihak kepada kaum miskin.
(2) Pemecahan kemiskinan harus menempatkan kaum miskin sebagai subyek yang di
berdayakan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
berkaitan antara lain tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan
jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan. Oleh karena itu model-model
pemecahan masalah kemiskinan perlu dikembangkan secara komprehensif. Berikut sebuah
model penanganan kemiskinan di Indonesia.
A. Permasalahan
(1) Kagagalan pemenuhan Hak Dasar. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, pemenuhan
kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi yang masih menjadi persoalan
bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli masyarakat merupakan persoalan
masyarakat miskin.
(2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan. Masalah utama yang
menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin adalah rendahnya akses
terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya
pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi.
Masalah lain rendahnya mutu layanan kesehatan dasar disebabkan oleh terbatasnya tenaga
kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan. Pada umumnya tingkat
kesehatan masyarakat miskin masih rendah. Angka Kematian Bayi (AKB) pada kelompok
pendapatan rendah selalu di atas AKB kelompok pendapatan tinggi.
(3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Pembangunan pendidikan
merupakan salah satu upaya penting dalam penanggulangan miskin. Berbagai upaya
pembangunan pendidikan yang dilakukan secara signifikan telah memperbaiki tingkat
pendidikan. Pembangunan pendidikan ternyata belum sepenuhnya mampu memberikan
pelayanan secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat sampai saat masih terdapat
kesenjangan antar kelompok masyarakat terutama antara kaya dan miskin, antara perkotaan
dan pedesaan. Sebagai gambaran, rata-rata Angka Partisipasi Sekolah (APS) – rasio
penduduk yang bersekolah – untuk usia 13-15 tahun pada tahun 2003 mencapai 75,54 %.
(4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha. Masyarakat miskin umumnya, menghadapi
permasalahan terbatasnya kesempatan kerja, terbatasnya peluang usaha, lemahnya
perlindungan terhadap asset usaha, perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja
terutama pekerja anak dan pekerja perempuan seperti pembantu rumah tangga. Masyarakat
miskin terbatas modal dan kurang ketrampilan maupun pengetahuan. Kondisi
ketenagakerjaan pada tahun 2003 menunjukkan belum adanya perbaikan. Bahkan,
berdasarkan angka pengangguran terbuka selama 5 tahun terakhir menunjukkan jumlahnya
terus meningkat. Pengangguran terbuka yang berjumlah sekitar 1.756.639 orang atau 17,2%
dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2000 meningkat menjadi sekitar 1.802.553 orang atau
18,3% dari jumlah angkatan kerja pada tahun 2001. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) mencapai 56,02%. Partisipasi angkatan kerja yang paling menonjol di daerah
pedesaan (58,03%) dan sangat tinggi untuk laki-laki (80,64%). Kondisi ini mengindikasikan
bahwa pemecahan persoalan tenaga kerja harus mengacu pada penyediaan lapangan kerja
untuk penduduk pedesaan dan laki-laki.
B. Sasaran
C. Program-program pembangunan
b. Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan melalui bantuan pangan kepada keluarga
miskin/rawan pangan.
d. Pemberian subsidi dan kemudahan kepada petani dalam memperoleh sarana produksi,
bibit, pupuk dan obat-obatan pemberantasan hama.
f. Pelatihan penerapan tehnologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas dan produksi
pertanian.
b. Pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas dan jaringannya.
d. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar mencakup kesehatan ibu dan anak, keluarga
berencana, pemberantasan penyakit menular dan peningkatan gizi.
(1) Menjalankan program skala besar untuk membangun jalan pedesaan dan di tingkat
kabupaten.
(4) Menjalankan strategi pembangunan fasilitas listrik pada desa-desa yang belum menikmati
tenaga listrik
2. Perbaikan tingkat kesehatan melalui fasilitas sanitasi yang lebih baik. Untuk
mengatasi hal tersebut ada dua hal yang dapat dilakukan:
(1) Pada sisi permintaan. Pmerintah dapat menjalankan kampanye publik secara nasional
untuk meningkatkan kesadaran dalam penggunaan fasilitas sanitasi yang lebih baik. Biaya
yang diperlukan untuk kampanye tersebut tidaklah terlalu tinggi, sementara menjanjikan hasil
yang cukup baik.
(2) Pada sisi penawaran, tentu saja penyediaan sanitasi harus diperbaiki. Aspek terpenting
adalah membiayai investasi di bidang sanitasi yang akan terus meningkat. Dua pilihan yang
dapat dilakukan adalah:
(a) mengadakan kesepakatan nasional untuk membahas masalah pembiayaan fasilitas sanitasi
dan
(b) mendorong pemerintah lokal untuk membangun fasilitas sanitasi pada tingkat daerah dan
kota; misalnya dengan menyediakan DAK untuk pembiayaan sanitasi ataupun dengan
menyusun standar pelayanan minimum.
3. Penghapusan larangan impor beras. Larangan impor beras yang diterapkan bukanlah
merupakan kebijakan yang tepat dalam membantu petani. Tetapi kebijakan yang merugikan
orang miskin. Studi yang baru saja dilakukan menunjukkan bahwa lebih dari 1,5 juta orang
masuk dalam kategori miskin akibat dari kebijakan tersebut. Oleh karena beberapa langkah di
bawah ini patut mendapat perhatian:
(2) engganti larangan impor dengan bea masuk yang lebih rendah.
4. Pembatasan pajak dan retribusi daerah yang merugikan usaha lokal dan orang.
Salah satu sumber penghasilan terpenting bagi penduduk miskin di daerah pedesaan adalah
wiraswasta dan usaha pendukung pertanian. Oleh karena itu pemerintah dapat berusaha
menurunkan beban yangditanggung oleh penduduk miskin dengan cara:
(1) Menggantikan sistem pajak daerah yang berlaku dengan mengeluarkan daftar sumber
penghasilan yang boleh dipungut oleh pemerintah daerah.
(2) Menghentikan pungutan pajak dan retribusi daerah yang tidak diperlukan, dengan
mengharuskan pemerintah daerah untuk mengadakan pengkajian dampak suatu peraturan
sebelum mengeluarkan pungutanbaru.
(3) Menciptakan dan memperbaiki sistem pelayanan satu atap dan meningkatkan
kemampuan serta pemberian insentif pada berbagai elemen pemerintahan daerah. (4)
Membentuk sebuah komisi dalam mengawasi pungutan-pungutan liar dan pembayaran yang
dilindungi.
(2) Mengkaji ulang dan memperbaiki undang-undang pertanahan, kehutanan dan juga
pertanian.
(3) Mengkaji kemungkinan redistiribusi tanah milik perusahan negara yangtidak digunakan
kepada masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah.
(4) Mengakomodasi kepemilikan komunal atas tanah sebagai salah satu bentuk kepemilikan.
Prinsip yang terpenting adalah kepastian dalam penggunaan tanah, bukan hanya pada
kepemilikan secara pribadi.
(6) Mempersiapkan peraturan yang menjamin kepastian hukum bagi masyarakat miskin yang
tinggal di area perhutanan.
(1) Menyelesaikan rancangan undang-undang mengenai LPM yang memberikan dasar hukum
dan kerangka kelembagaan bagi lembaga pembiayaan mikro untuk menghimpun dan
menyalurkan dana bagi penduduk miskin.
(2) Membangun hubungan antara sektor perbankan dengan LPM, misalnya dengan
memberikan kesempatan bagi BKD untuk menjadi agen untuk bank-bank komersial dalam
menghimpun dan menyalurkan dana.
(3) Menghentikan penyaluran bantuan modal dan skema pinjaman yang disubsidi. Dana
sebanyak tiga trilliun rupiah yang selama ini disalurkan, dapat digunakan untuk
meningkatkan kapasitas dan kemampuan lembaga pembiayaan mikro, baik yang formal
maupun yang berasal dari inisiatif masyarakat setempat, untuk dapat mengjangkau kalangan
yang lebih luas.
(4) Mengesahkan revisi Undang-Undang Koperasi guna memberikan kerangka hukum yang
lebih baik untuk pengembangan pembiayaan
(1) Membantu pengembangan Manajemen dan pembiayaan pendidikan yang bertumpu pada
peran sekolah.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kematian
tersebut, yaitu:
9. Menyediakan lebih banyak dana untuk daerah-daerah miskin. Pemberian dana yang
terarah dengan baik dapat membantu masalah ini. Untuk memecahkan masalah tersebut,
pemerintah dapat melakukan beberapa hal di bawah ini:
(1) Memperbaiki formulasi Dana Alokasi Umum (DAU) agar memungkinkan pemerintah
daerah dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. DAU dimaksudkan untuk
membantu kesenjangan keuangan antar daerah berdasarkan formula yang memperhitungkan
tingkat kemiskinan, luas wilayah, jumlah penduduk, biaya hidup dan kapasitas fiskal.
(2) Meningkatkan pemberian DAK untuk menunjang target program nasional pengentasan
kemiskinan. Dana Alokasi Khusus dapat menjadi insentif bagi pemerintah daerah untuk
memenuhi target penurunan tingkat kemiskinan.
10. Merancang perlindungan sosial yang lebih tepat sasaran. Pemerintah dapat
meningkatkan bantuan pada masyarakat miskin disamping mengadakan penghematan dengan
cara:
(3) Memperbaiki penetapan sasaran agar dapat menyentuh lebih banyak penduduk miskin.
DAFTAR RUJUKAN
BPS. 2009. Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009, Jakarta Badan Pusat
Statistik. Jakarta
Sulistiyani, AT. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Jakarta: Gava Medic.
Di awal bulan april ini seharusnya kita yang berada di Malang sudah memasuki musim
pancaroba menuju kemarau. Namun, kenyataanya sungguh berbeda dengan apa yang
seharusnya terjadi. Perjalanan saya kembali kel Malang dari kediri sungguh mengejutkan.
Sungai Konto yang membentang di sepanjang perjalanan berwarna coklat kental alirannya.
Demikiankah keadaan erosi di bagian hulu sungai ini.
Kondisi aliran air yang demikian tentu sangat mengkawatirkan masa depan bendungan
Selorejo. Bendungan ini memiliki fungsi yang vital bagi penduduk di wilayah perbatasan
Kediri dengan Malang. Selain menjadi sumber energi listrik (PLTA), sungai dari bendungan
Selorejo itu mengaliri ribuan hektar sawah.
bioasesmen di kali konto
Posted on April 8, 2012 by hangeo
PENDAHULUAN
Dewasa ini pendidikan di negeri kita berkembangan pesat –dalam hal pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi. Secara praksis terjadi semangat yang tinggi untuk
memperkenalkan, menggunakan dan memanfaafkan teknologi tersebut. Banyak sekolah
sejak dini telah memperkenalkan teknologi informasi dan kumunikasi dalam bentuk
komputer—demikian juga telah banyak sekolah menyediakan infrastruktur WIFI. Kemajuan
sekolah seperti itu dalam prakteknya sangat mendorong siswa dan guru mendayagunakan
infrastruktur tersebut untuk mendukung kebutuhan pembelajarannya sehingga menjadi lebih
luas, lebih mendalam, dan lebih menarik.
Menjamurnya pengguna internet benar-benar mengubah kehidupan kita. Tempat dan jarak
yang dulu memisahkan sekarang makin tidak terasa dampaknya. Kemudahan berkomunikasi
dengan orang-orang di Negara lain, yang belum pernah dikunjungi sebelumnya, melalui
media email, chat room, web cam dan sebagainya. Pengguna internet sendiri selalu
meningkat sehingga di kota-kota besar, internet sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kita dapat melihat berapa banyak warnet (warung internet) yang tumbuh di setiap kota. Hal
tersebut menyebabkan jumlah pengguna internet meningkat pesat setiap tahunnya. Kemajuan
internetpun mempengaruhi hampir setiap sendi kegiatan operasional di organisasi. Banyak
kegiatan perusahaan mulai dilakukan lewat internet dan menyebabkan fenomena penggunaan
awalan “e” dan “online” di kamus bisnis. E-commerce, e-mail, online application, e-
procurement, online hiring, e-CRM, e-HRM, online auction, e-catalogue adalah contoh tren
penggunaan internet pada kegiatan yang biasa kita lakukan secara manual. Segala kegiatan
mutakhir tersebut menjanjikan efektifitas dan efisiensi yang menakjubkan. Fenomena
tersebut menyentuh dunia pendidikan dan pelatihan dengan lahirnya e-learning.
——————-
E LEARNING?
E-learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang diguna-kan untuk
mendukung usaha-usaha pembelajaran lewat teknologi elektronik internet. E learning yang
diperkenalkan pada dunia pendidikan sekitar tahun 1996, dan hingga sekarang terus
berkembang di lembaga-lembaga pendidikan. E-Learning adalah pembelajaran jarak jauh
(distance learning) yang memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer dan/atau
Internet. Sering e-learning dipahami sebagai bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa
diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Menurut Purbo, istilah e-learning
diartikan sebagai sebuah bentuk teknologi informasi yang diterapkan di bidang pendidikan
dalam bentuk sekolah maya. Kini E-Learning memiliki arti yang luas, bahkan sebuah portal
yang menyediakan informasi suatu topik pun dapat tercakup dalam lingkup e-learning.
Sekalipun demikian, e-learning lebih tepat diartikan sebagai usaha membuat sebuah
tranformasi proses pembelajaran ke dalam bentuk digital yang dijembatani teknologi Internet.
Inti e-learning adalah cara belajar secara virtual – melalui akses internet dan media elektronik
komputer – interaktif dan mandiri.
Sebenarnya materi e-Learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan
lokal intranet maupun internet, distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun
termasuk pola e-learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai
kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat
memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat di mana dia berada.
Ada beberapa karakteristik e-Learning, yaitu: (1) Pembelajaran jarak jauh. Pembelajar
dapat menimba ilmu tanpa harus secara fisik menghadiri kelas. Interaksi bisa dilakukan
secara on-line dan real-time ataupun secara off-line atau archieved. (2) Pembelajaran
dengan perangkat computer. Pada umumnya perangkat computer dilengkapi perangkat
multimedia, dengan cd drive dan koneksi Internet ataupun Intranet lokal, pembelajar tidak
dibatasi kapasitas kelas, materi pelajaran lebih standar dibandingkan kelas konvensional yang
tergantung pada kondisi dari pengajar. (3) Pembelajaran formal vs. informal. E-Learning
secara formal, misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan
tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak
terkait. E-Learning bisa juga dilakukan secara informal dengan interaksi yang lebih
sederhana, misalnya melalui sarana mailing list, e-newsletter atau website pribadi, organisasi
dan perusahaan yang ingin mensosialisasikan jasa, program, pengetahuan atau keterampilan
tertentu pada masyarakat luas. (4) Pembelajaran yang ditunjang oleh para ahli di bidang
masing-masing. Implementasi e learning ditunjang, dikelola oleh tim ahli, seperti: (a)
Subject Matter Expert (SME) atau nara sumber dari pelatihan yang disampaikan. (b)
Instructional Designer (ID), bertugas secara sistematis mendesain materi dari SME menjadi
materi e-Learning dengan memasukkan unsur metode pengajaran agar materi menjadi lebih
interaktif, lebih mudah dan lebih menarik untuk dipelajari. (c) Graphic Designer (GD),
mengubah materi text menjadi bentuk grafis dengan gambar, warna, dan layout yang enak
dipandang, efektif dan menarik untuk dipelajari. (d) Ahli bidang Learning Management
System (LMS). Mengelola sistem di website yang mengatur lalu lintas interaksi antara
instruktur dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya. (e) Jika dibandingkan dengan
pembelajaran konvensional dan e-Learning terlihat perbedaan pada beberapa aspek
pembelajaran berikut.
Aspek Pendidikan Konvensional
• Metode human touch
• Cakupan terbatas
• Interaksi pengajar dan pembelajar satu tempat, dan waktu
e-Learning
• Hi-tech touch
• Hampir tak terbatas
• Interaksi pengajar dan pembelajar satu waktu beda tempat
Ada beberapa kelebihan e-learning, antara lain: biaya, fleksibilitas, standardisasi pengajaran,
efektivitas pengajaran, dan kecepatan distibusi. E-learning mengurangi biaya pendidikan,
seperti biaya transportasi pengajar, makan siang di luar, pengadaan gedung, peralatan kelas,
seperti papan tulis, proyektor dan alat tulis. Waktu dan tempat belajar fleksibel, kapan saja
dan di mana saja sesuai keperluan pembelajar. E-learning dapat menghapus perbedaan
kemampuan dan metode pembelajaran dngan standar yang sama setiap kali diakses dan tidak
tergantung perasaan pengajar. Sekalipun banyak keuntungan, e-learning juga memiliki
keterbatasan, berupa budaya, investasi, teknologi, infrastruktur dan materi.
BLOG
A blog atau “weblog” merupakan suatu tipe website, yang biasanya di kelola secara individu
dengan uraian yang teratur, uraian peristiwa atau meteri lain seperti grafis atau video. “Blog”
dapat juga bermakna kata kerja yang berarti mengelola atau menambah isi pada suatu blog.
Banyak blog menyediakan uraian atau berita pada subyek yang khusus; dan fungsi lain yang
lebih pribadi online diaries. Sebuah tipikal Blog menggabungkan teks, foto, dan keterkaitan
hubungan pada lain blok, Web pages, dan lain media berkaitan dengan topiknya.
Kemampuan untuk pembaca untuk berkomentar didalam suatu format interaktif merupakan
bagian yang penting pada banyak blog. Kebanyakan blog berupa teks, walaupun sejumlah
blog berfokus pada seni (artlog), poto (photoblog), sketsa (sketchblog), video (vlog), music
(MP3 blog), dan audio (podcasting). Micro-blogging merupakan tipe lain dari blogging yang
bersifat penambahan kata-kata yang amat pendek.
Banyak perbedaan tipe blog yang terlihat tidak hanya pada tipe blog, tetapi juga pada tipe isi,
dan juga juga cara isi dikirim dan di tulis. Beberapa contoh:
Personal blogs
Personal blog merupakan suatu diary atau uraian seorang individu. Personal bloggers selalu
bangga dalam kata-kata tambahannya. Blogs sering tidak hanya menjadi cara berkomunikasi,
tetapi menjadi suatu cara untuk menggambarkan kehidupan dan kerja seni, dan bahkan
blogging dapat memiliki kualitas yang sentimentil. Beberapa personal blog menjadi
mainstream, dan beberapa yang lain berkembang dengan cepat dan meluas. Suatu tipe
personal blog diacu sebagai “microblogging,” yang sangat detail untuk menangkap momen
waktu. Situs seperti Twitter, memperbolehkan bloggers untuk berbagi pemikiran dan
perasaan secara cepat dengan teman dan famili yang lebih cepat dari pada email.
Corporate blogs
Suatu blog dapat menjadi privat dalam banyak kasus, atau menjadi tujuan business. Blogs
juga digunakan secara internal untuk meningkatkan komunikasi dan budaya dalam korporasi
atau secara eksternal untuk tujuan marketing, branding or public relations yang disebut
corporate blogs.
By media type
Blog terdiri atas video-video disebut vlog, one comprising links is called a linklog, suatu
situs yang berisi portofolio sketsa disebut sketchblog atau blog yang berisi foto-foto disebut
photoblog. Blog dengan uraian kata yang lebih pendek dan jenis media capuran disebut
tumblelogs
Budi Handoyo
Abstrak: Refleksi terhadap perkembangan kehidupan bermasyarakat satu dasa warsa terakhir
menunjukkan keprihatinan terhadap kemerosatan moral masyarakat yang semakin dalam.
Kasus korupsi, kekerasan, pornografi hinnga contek massal yang menjangkiti anak-anak dan
generasi muda makin meluas. Keadaan seperti itu menimbulkan kesadaran baru untuk
menguatkan pendidikan karakter melalui pembelajaran di sekolah. Hasil penelitian
pengembangan ini berupa model Pembelajaran Geografi untuk Penguatan Karakter Peserta
Didik (PGPK) terdiri atas 8 langkah, yaitu menyampaikan tujuan pembelajaran; safety
moment; observasi; komunikasi dan konfirmasi; elaborasi; diskusi; tindakan; dan kesimpulan,
refeksi dan tindak lanjut. Validasi ahli pembelajaran menghasilkan skor yang lebih tinggi dari
skor kriteria, 87,5% > 76%, dan hasil uji coba menunjukkan skor perolehan lebih besar dari
kriteria, 87,75% > 76%. Dengan demikian model pembelajaran tersebut valid digunakan
untuk pembelajaran geografi.
Reflecting to the people development on the last decade shows that thre is a more and more
decay of the people moral. The cases of corruption, violence, pornography up to mass cheat
on exam that contaminate the young generation as well as children. This realities appear the
new awareness to strengten the character education through subjects learning. The result of
the research is the model of the geograpical learning for strengtening student cahracer. There
are eight steps of it, are communicating learning abjective; safety moment; observation;
communication and conformation; elaboration; discussion; action; conclussion, and reflection
and follow up.
Validation of the learning experts result score which is higher than the criteria score,
87,5%>76%. The result score of the try out is also higher than the criteria score,
87,75%>76%. Based on the result, the the Geographycal Learning Model for the strengtening
student characetr is valid to be used for the geographycal learning at the school.
Pembangunan karakter semakin disadari sejak beberapa tahun terakhir oleh pemerintah
sebagai pemangku pendidikan nasional (Mangunsong, 2010; Nuh, 2011). Kesadaran itu
tumbuh karena keprihatinan terhadap kemerosotan moral yang berlangsung secara masif
dimasyarakat, terutama dikalangan remaja dan anak-anak, seperti korupsi, kekerasan,
pornografi hingga contek masal.
Karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku seseorang yang khas untuk hidup dan
bekerjasama dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang
berkarakter bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung-jawabkan keputusan yang
dibuatnya (Suyanto, 2010). Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang maha Esa, diri sendiri, sesame manusia, lingkungan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hokum
dan tata karma, budaya dan adat istiadat (Sudrajat, 2010). Mengacu pada konsep tersebut,
terdapat sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal, yaitu cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran/amanah, diplomatis, hormat dan
santun, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama, percaya diri dan
pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, toleransi, kedamaian, dan
kesatuan. Sementara itu, Kementrian Pendidikan Indonesia (2010) mengelaborasi 18 nilai
karakter bangsa yang perlu ditumbuhkembangkan di sekolah, yaitu relegius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab
Kalitas pembelajaran yang demikian akan mendorong siswa memahami nilai-nilai inti dengan
mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model dan mempraktekkan
pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti
dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian,
membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan
merefleksikan pengalaman hidup. Dalam konteks seperti itu diperlukan pembelajaran yang
dialogis antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan semua warga
sekolah. Untuk pembelajaran di kelas dapat diterapkan pembelajaran kooperatif dengan
memberikan penguatan pada kegiatan kelompok.
Pembelajaran geografi yang berlangsung dewasa ini belum mampu memenuhi tuntutan
harapan tersebut. Pembelajaran masih cenderung berpusat pada materi, teoritis dan abstrak,
berfokus di kelas dengan prosedur ketat, penggunaan media yang kurang, dan penilain
dengan norma. Kondisi seperti itu terjadi karena banyak faktor, antara lain kompetensi guru
geografi yang masih kurang dalam mengembangkan pembelajaran, memilih pendekatan,
strategi belajar dan esesmen (workshop MGMP Guru Geografi Kab Pasuruan, 2010;
Purwanto, 2010). Oleh karena itu, salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan ke depan
adalah mengembangkan model pembelajaran geografi yang dapat merespon kebutuhan
tumbuhnya pengetahuan siswa yang luas dan karakter yang matap.
METODE
Kegiatan uji coba dirancang sebagai berikut: (a) Reviu Ahli Pembelajaran untuk mengetahui
ketepatan langkah-langkah pembelajaran yang menguatkan karakter peserta didik. Telaah
dilakukan oleh 2 (dua) orang ahli, yaitu satu oarang ahli dalam pembelajaran geografi, dan
satu oarang ahli dalam pendidikan nilai. (b) Uji Coba Lapangan digunakan utuk merevisi
model pebelajaran sebelum digunakan dalam proses pembelajaran.
Subyek uji coba adalah ahli pembelajaran dan mahasiswa calon guru geografi off A semester
genap 2010/2011 Prodi Pendidikan Geografi FIS UM. Ahli pembelajaran geografi dipilih
Dosen program studi pendidikan geografi yang memiliki kualifikasi S2 dan/atau S3 dalam
teknologi pendidikan/pembelajaran, dan pendidikan nilai atau pendidikan umum.
Instrumen pengumpulan data berupa angket tertutup dan angket terbuka. Angket tertutup
digunakan untuk menjaring informasi penilaian, sedangkan angket terbuka untuk menjaring
tanggapan ahli pembelajaran dan audiens.
Analisis Data. Analisis data penelitian dilakukan secara deskriptif. Data dianalisis
menggunakan validasi ahli (expert judgement). Uji validitas dilakukan pada model
pembelajaran geografi untuk penguatan karakter oleh validator ahli dalam sintaks model
pembelajaran, pelaksana pembelajaran, dan audiens pembelajaran. Validator memberikan
penilaian terhadap model pembelajaran geografi untuk enguatan karakter. Semua validator
memberikan skor dan saran pada kuesioner yang diberikan kepadanya. Selain itu, validator
juga memberikan kesimpulan berupa kevalidan model pembelajaran yang telah diproduksi.
Hasil pemberian skor dan saran akan dianalisis secara deskriptif oleh pengembang. Data
kuantitatif dianalisis dengan persentase, dan kriteria kelayakan yang digunakan skor nilai
minimal 76%.
HASIL PENGEMBANGAN
Hasil pengembangan penelitian ini berupa model Pembelajaran Geografi untuk Penguatan
Karakter peserta didik (PGPK) yang meliputi 7 langkah, yaitu:
(2) Melakukan safety moment yang berupa pesan keselamatan. Peserta didik diajak untuk
memastikan keselamatan sebelum memulai kegiatan observasi. Misalnya memastikan
keselamatan berkendaraan (mengecek Helm, SIM, STNK, REM, Bahan Bakar), tidak SMS
sambil bermotor dan berjalan, bermotor sesuai dengan peraturan lalu lintas, dan parkir
dengan benar.
(3) Melakukan observasi. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan informasi atau data
tentang pusat kota alun-alun Malang.
(4) Komunikasikan dan konfirmasi. Informasi atau data hasil observasi dikomunikasikan oleh
salah satu wakil kelompok, dan dikonfirmasi oleh kelompok yang lain, serta guru.
(6) Mendiskusikan permasalahan. Berdasarkan data yang telah tekumpul, bahan – bahan
yang telah dibaca, peserta didik mendiskusikan permasalahan kota. Misalnya permasalahan
yang disiskusikan adalah “bagaimana penataan pusat kota?” Dari diskusi ini diharapkan akan
teridentifikasi dengan baik permasalahan penataan pusat dan solusi tindakan yang dapat
dilakukan.
(7) Melakukan tindakan. Berdasarkan solusi hasil diskusi terhadap permasalahan dapat
diambil satu atau beberapa solusi praktis untuk diwujudkan dalam tindakan.
(8) Melakukan kesimpulan, refleksi dan tindak lanjut. Setelah ke tujuh langkah
pembelajaran dilakukan, langkah terakhir berupa kesimpulan, refleksi dan tindak lanjut.
Kesimpulan dilakukan menyatukan antara hasil observasi, elaborasi, permasalahan, dan
tindakan. Refleksi dilakukan dengan menanyakan kepada peserta didik “bagaimana perasaan
mereka setelah mengikuti pembelajaran?” dan juga menanyakan rencana tindak lanjut
masing-masing peserta didik.
Hasil validasi produk pengembangan berupa: (1) data hasil validasi ahli pembelajaran, dan
(2) data hasil validasi audien. Data hasil validasi ahli pembelajaran sebagai berikut.
Validator I Validator 2
No Aspek yang Dinilai
Skor Keterangan Skor Keterangan
1 Menyampaikan tujuan pembelajaran Valid
2 Valid 2
2 Melakukan Safety Moment Valid
2 Valid 2
3 Observasi Valid
2 Valid 2
4 Komunikasi dan Konfirmasi Valid
2 Valid 2
5 Elaborasi Valid
1 Revisi 2
6 Diskusi dan Kesimpulan Revisi
1 Revisi 1
7 Melakukan tindakan Valid
1 Revisi 2
8 Refleksi dan tindak lanjut Revisi
1 Revisi 1
Setelah validasi tahap pertama selesai, produk hasil pengembangan yang telah direvisi,
diajukan untuk divalidasi tahap kedua. Hasil validasi tahap kedua menunjukkan, bahwa dari 8
(kedelapan) langkah pembelajaran yang telah divalidasi tahap pertama, terdapat 6 (enam)
langkah pembelajaran yang memiliki skor 2 atau valid, yaitu menyampaikan tujuan
pembelajaran, melakukan safety moment, observasi, komnikasi dan konfirmasi, elaborasi, dan
melakukan tindakan. Sedangkan kedua langkah yang lain memiliki skor 1 atau revisi, yaitu
diskusi dan kesimpulan, dan refleksi dan tindak lanjut. Atas usulan validator kedua tersebut
dilakukan revisi produk pengembangan pada langkah pembelajaran yang perlu revisi.
Hasil uji coba produk setelah dilakukan validasi produk pengembangan model pembelajaran
geografi untuk penguatan karakter peserta didik sebagai berikut.
Skor dan
No Item Yang Dinilai Frekuensi Persentase Keterangan
1 2
1 Perumusan tujuan Pembelajaran Valid
2 32 94,10
2 Melakukan Safety Moment Valid
3 31 91,17
3 Observasi Valid
1 33 97,00
4 Komunikasi dan Konfirmasi Valid
2 32 94,10
5 Elaborasi Valid
3 31 91,17
6 Diskusi dan Kesimulan Valid
2 32 94,10
7 Melakukan Tindakan Valid
2 32 94,10
8 Refleksi dan Tindak Lanjut Valid
4 30 88,20
Dari 8 (kedelapan) langkah pembelajaran, skor tertinggi sebesar 97%, dan skor terendah
88,20%. Skor tertinggi pada langkah melakukan safety moment dan observasi, dan skor
terendah pada langkah penyampaian tujuan pembelajaran, dan refleksi dan tindak lanjut. Skor
hasil uji coba tersebut menunjukkan, bahwa secara keseluruhan skor hasil uji coba berada
diatas kriteria yang telah ditentukan. Hal itu berarti langkah-langkah pembelajaran dapat
diterima oleh peserta didik dan dapat diterapkan oleh pendidik dalam proses pembelajaran.
Analisis data hasil validasi I dan validasi II tertera pada tabel berikut.
Validasi I Validasi II
No Skor Item
Jumlah skor akhir Tindak Jumlah skor akhir Tindak
Item (%) Lanjut Item (%) Lanjut
1 Skor 1 Revisi Revisi ringan
4 75 berat 6
2 Skor 2 87,5
4 2
Masukan validator I, bahwa langkah pembelajaran yang tidak valid tersebut perlu dilakukan
revisi. Revisi yang dilakukan, yaitu (1) elaborasi. Dalam kegiatan elaborasi disarankan agar
pengetahuan peserta didik dapat diperluas melalui berbagai sumber, seperti membaca buku
teks, media cetak dan elektronik, dan berdiskusi dengan ahli. (2) diskusi dan kesimpulan.
Untuk kegiatan diskusi dan kesimpulan disarankan agar langkah ini dapat memastikan setiap
peserta didik berkontribusi pendapat atau gagasan. Untuk kesimpulan disarankan dapat
berupa item-item kongkret yang dapat ditindaklanjuti dalam tindakan nyata. (3) melakukan
tindakan. Untuk tindakan disarankan agar dapat dibuat perencanaan operasional sebagai
acuan di lapangan. (4) refleksi dan tindak lanjut. Untuk refleksi dan tindak lanjut disarankan
agar dapat menonjolkan aspek perasaan peserta didik setelah melakukan serangkaian
pembelajaran.
Berdasarkan masukan validator II, bahwa langkah pembelajaran yang tidak valid tersebut
perlu dilakukan revisi. Revisi yang dilakukan adalah (1) diskusi dan kesimpulan. Kegiatan
diskusi dan kesimpulan disarankan agar permasalahan yang didiskusikan merujuk
permasalahan nyata yang berdimensi keruangan. (2) refleksi dan tindak lanjut. Untuk refleksi
perlu dibuat instrumen yang memudahkan bagi peserta didik mengungkapkan perasaannya,
dan data tersebut dapat digunakan bagi pendidik dalam membantu merumuskan tindak lanjut.
Analisis data hasil uji coba menunjukkan skor 254 dari 256 atau 87,75%. Mengacu pada
kriteria kevalidan sebesar 76%, maka skor hasil uji coba lebih besar dari kriteria yang
ditetapkan atau 87,75%>76%. Berdasarkan kriteria kevalidan tersebut, produk
pengembangan Model Pembelajaran Geografi untuk Penguatan Karakter tersebut layak
digunakan dan tidak perlu dilalukan uji coba ulang.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian pengembangan ini adalah pengembangan model pembelajaran geografi untuk
penguatan karakter peseta didik yang terdiri atas 7 (tujuh) langkah, yaitu tujuan
pembelajaran, safety moment, observasi, komunikasi dan konfirmasi, elaborasi dan integrasi,
diskusi, menarik kesimpulan, refleksi dan tindak lanjut. Ketujuh langkah pengembangan
tersebut telah divalidasi dan diuji coba yang hasilnya menunjukkan, bahwa produk
pengembangan tersebut layak digunakan dalam pembelajaran geografi di sekolah.
Keenam keunggulan PBS tersebut muncul, karena PGPK ditopang oleh 4 (empat)
pendekatan. Keempat pendekatan tersebut adalah pendekatan pembelajaran holistik,
pendekatan pembelajaran kontekstual, pendekatan pembelajaran aktif, dan pendekatan
pembelajaran kooperatif. Keempat pendekatan tersebut saling berinteraksi menguatkan model
PGPK.
Dengan demikian PGPK merupakan model pembelajaran baru dalam pembelajaran geografi
untuk penguatan karakter peserta didik yang dikembangkan berlandaskan pembelajaran
kontekstual, pembelajaran aktif, pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran holistik.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengembangan diperoleh produk berupa model Pembelajaran Geografi
untuk Penguatan Karakter Peserta Didik. Model pembelajaran tersebut terdiri atas 8 (delapan)
langkah pembelajaran, yaitu penyampaian tujuan pembelajaran, melakukan safety moment,
melakukan obsevasi, komunikasi dan konfirmasi, elaborasi, diskusi dan kesimpulan,
melakukan tindakan, dan refleksi dan tindak lanjut.
Hasil validasi akhir ahli pembelajaran menunjukkan skor perolehan lebih tinggi dari pada
kriteria yang ditetapkan, yaitu 87,5% > 76%. Hasil uji coba tersebut menunjukkan skor
perolehan lebih tinggi dari skor kriteria, 87,75% > 76%. Dengan demikian seluruh langkah
pembelajaran dalam model pembelajaran geografi untuk penguatan karakter pesera didik
memenuhi kriteria kevalidan sehingga dapat digunakan dalam pembelajaran geografi di
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Hasil refleksi MGMP Geografi Kab Pasuruan 2010. Pembelajaran Geografi Terkini.
Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tanggal 23 mei 2006
tantang Standar isi.
Mangunsong, F.2010. Sambutan ketua APPI Pusat. Pidato. Disajikan dalam Konferensi
Nasional dalam Workshop Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia: peran Pendidikan dalam
Pembangunan Karakter Bangsa di Malang 16 Oktober 2010.
Purwanto, 2010. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Dasajikan dalam rapat senat terbuka di
Universitas Negeri Malang pada
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning Theory, Research and Practice. Edisi 4.
Boston: Penguin Book Ltd.
Suyanto, 2008. Pendidikan karakter untuk anak bangsa kini dan ke depan. Makalah.
Disajikan pada seminar pendidikan
Soetjipto, Budi Eko. 2011. Model-Model Pembelajaran Kooperatif Versi Kagan. Makalah.
Disajikan dalam Seminar Nasional Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
(HISPISI), Jurusan Manajemen FE UM, Batu, 26-27 Januari.
Tujuan, ruang lingkup, standar kompetensi, dan kompetensi dasar mata pelajaran Geografi
telah tertuang dalam standar isi. Setelah berlangsung hampir setengah dasa warsa, ada nilai-
nilai karakter yang perlu dipertegas, substansi yang perlu ditambah, dan kompetensi dasar
perlu disesuaikan lagi agar dapat dicapai di jenjang pendidikan SMA. Berikut diuraikan
telaah ketiga permasalahan tersebut dengan menggunakan kajian secara kontemplatif,
rasional, dan argumentatif.
Sejak kurikulum berbasis kompetensi digagas, sekitar tahun 2001, diskusi publik berlangsung
cukup intensif. Pemerintah melalui Pusat Kurikulum Nasional (PUSKUR), dan lembaga-
lembaga pendidikan, seperti kampus, sekolah, MGMP banyak menyelenggarakan seminar
dan kajian untuk membahas konsep kompetensi, khususnya kompetensi bagi mata pelajaran
di sekolah umum. Diskusi menjadi sangat menarik, karena kurikulum-kurikulum sebelumnya,
yaitu kurikulum 1975, 1984, 1994, dan kurikulum suplemen 1999 bukan kurikulum yang
dirancang berbasis kompetensi sehingga tidak secara eksplisit memuat konsep kompetensi.
Dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan Geograf Indonesia (IGI) dalam acara
Pertemuan Ilmiah Tahunan tahun 2002, seorang nara sumber dari Puskur memaparkan
konsep kompetensi dengan baik. Menurut kajian-kajian Puskur, bahwa kompetensi adalah
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang di refleksikan dalam kebiasaan berfikir
dan bertindak. Karena itu dalam komptensi terdapat unsur-unsur penting, yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar Ketiga unsur itu tidak dipahami secara terpisah,
melainkan menjadi satu kesatuan yang direfleksikan dalam berfikir dan bertindak peserta
didik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian hal penting dalam kompetensi adalah
menjadikan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sebagai kebiasaan berfikir dan
bertindak (habid of mind). Sebagai contoh dalam sutau proses pembelajaran gegrafi. Seorang
guru mengajarkan siswa tentang cara menghitung tingkat kematian kasar (Crude Dead Rate)
penduduk suatau daerah. Jika guru tersebut hanya mengajarkan keterampilan menghitung
sampai siswa terampil menghitung, maka hal itu belum dapat disebut kompetensi. Sebab,
keterampilan menghitung seperti itu jika rumusnya jelas dan berlatih secara berulang-ulang
tanpa berfikir dengan sendirinya dapat memperoleh hasil perhitungannya. Bahkan, jika rumus
itu dapat dibuat pada aplikasi komputer atau kalkulator sehingga kegiatan menghitung dapat
dilakukan oleh kedua alat tersebut. Dalam waktu singkat alat itu dapat menyelesaikan
penghitungan dengan dengan akurasi yang tinggi. Namun, jika hasil perhitungan diikuti
dengan kemampuan siswa untuk menjelaskan secara argumentasi dan prediksinya, maka hal
itu dapat disebut kompetensi.
Tahun 2004 ada sebuah diskusi di Surabaya yang diselengarakan oleh erkumpulan sarjana
ilmu-ilmu pengetahuan sosial HISPISI. Dalam seminar dipaparkan, bahwa semua kurikulum
mengandung kompetensi. Tidak ada satupun kurikulum yang tidak mengandung kompetensi.
Kurikulum 1975, 1984, 1994 juga mengandung kompetensi. Bedanya dengan kurikulum
yang akan diterapkan, kompetensi dijadikan sebagai konsep dasar dan landasan berfikir serta
dinyatakan secara eksplisit dalam bentuk standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Setelah berlangsung hampir setengah dasa warsa, Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) menetapkan delapan standar penyelenggaraan pendidikan nasional. Salah satu dari
kedelapan standar itu adalah standar Isi yang berisikan Standar kompetensi dan Kompetensi
dasar bagi mata pelajaran pendidikan dasar dan mengenah, termasuk mata pelajaran
Geografi.
Ada beberapa gagasan dasar sebagai latar keberadaan mata pelajaran geografi jenjang SMA.
Pertama, bidang kajian geografi meliputi bumi, aspek dan proses yang membentuknya,
hubungan kausal dan spasial manusia dengan lingkungan, serta interaksi manusia dengan
tempat. Kedua, Mata pelajaran Geografi membangun dan mengembangkan pemahaman
peserta didik tentang variasi dan organisasi spasial masyarakat, tempat dan lingkungan pada
muka bumi. Peserta didik didorong untuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk
pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di permukaan bumi. Selain itu
peserta didik dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan
pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah. Ketiga,
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh dalam mata pelajaran Geografi
diharapkan dapat membangun kemampuan peserta didik untuk bersikap, bertindak cerdas,
arif, dan bertanggungjawab dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan ekologis.
Seidaknya terdapat lima nilai yang terkadung dari latar keberadaan mata pelajaran Geografi.
Kelima nilai tersebut adalah kreatif, kritis, cerdas, arif, dan tanggung jawab dalam
menghadapi masalah sosial, ekonomi dan ekologis. Cerdas berarti peserta didik dapat
memecahkan masalah-masalah di lingkungannya. Arif berarti peserta didik dapat
menggunakan nilai-nilai universal maupun lokal untuk menyelesaikan permasalahan.
Tanggung jawab berarti ada keberanian untuk mengambil keputusan dan siap menanggung
resiko yang yang terjadi atas keputusannya. Dengan demikian pembelajaran geografi yang
ideal dapat mengembangkan pemahaman peserta didik tentang kegeografian dan memupuk
sikap aktif, kretif, kritis, cerdas, arif dan tanggung jawab terhadap masalah-masalah
kegeografian.
Apakah pembelajaran geografi sudah dapat berfungsi demikian? Jika melihat hasil studi yang
dilakukan oleh mahasiswa dalam tugas akhir dapat dibaca secara faktual pembelajaran
geografi di sekolah. Pertama, pembelajaran masih kurang menggunakan paradigma baru dan
bermakna bagi siswa. Kedua, pembelajaran masih menitikberatkan pada aspek pengetahuan
untuk menyiapkan ujian, bukan membejarkan siswa membangun kompetensi.
Mengapa kinerja pembelajaran geografi belum dapat memenuhi harapan yang ideal tersebut?
Ada sejumlah faktor penyebab, yaitu (1) kompetensi guru geografi yang masih perlu
peningkatan. (2) Infrastruktur sekolah yang perlu penambahan. (3) budaya inovasi dalam
pembelajaran perlu peningkatan. (4) komitmen yang sungguh-sunguh untuk melakukan
pembelajaran yang efektif
Merujuk pada standar isi mata pelajaran geografi yang telah ditetapkan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP, 2006), tujuan mata pelajaran geografi adalah:
(1). Memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan
(3). Menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber
daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat.
Tujuan tersebut tidak hanya mencakup aspek kognitif berupa pengetahuan peserta didik
tentang pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan, tetapi juga
mencakup aspek psikomotorik yang berupa keterampilan untuk memperoleh,
mengkomunikasikan, dan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya, serta cakupan aspek
afektif yang berupa kepedulian pada lingkungan dan toleransi terhadap keragaman budaya
tempat siswa berada.
Jika dielaborasi, tujuan mata pelajaran geografi tersebut terkandung sejumlah nilai karakter
yang baik untuk ditumbuhkembangkan pada diri siswa. Nilai-nilai karakter tersebut antara
lain:
(6) Pro Aktif perubahan data, fakta, dan informasi (pro active)
Oleh karena itu berdasarkan telaah tersebut, sebaiknya dilakukan perubahan nama mata
pelajaran pelajaran Geografi menjadi pendidikan geografi.
3. Konsep dan karakteristik dasar serta dinamika unsur-unsur geosfer mencakup litosfer,
pedosfer, atmosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer serta pola persebaran spasialnya
4. Jenis, karakteristik, potensi, persebaran spasial Sumber Daya Alam (SDA) dan
pemanfaatannya
9. Pengetahuan dan keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta, Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh.
Pada poin lima adalah tambahan substansi yang diusulkan, karena kajian kependudukan
belum tersurat dalam standar isi tersebut.
Ruang lingkup tersebut dijabarkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Apa
yang seharusnya dilakukan oleh pendidik di sekolah. Untuk sekolah yang memiliki
”kemampuan akademik tinggi”, tenaga pendidik yang profesional, dan infrastruktur
pembelajaran yang baik dapat mengembangkan kompetensi dasar. Sebab, kompetensi dasar
yang terumuskan dalam standar isi merupakan standar minimum. Bagi sekolah-sekolah yang
ingin mengembangkan kompetensi merupakan tindakan terpuji dan tidak dilarang. Dengan
kebijakan KTSP, sekolah berpeluang untuk melakukan pengembangan kompetensi dasar.
Dengan begitu lulusan yang dihasilkan akan memiliki kompetensi yang lebih baik lagi.
Namun, perlu juga dipahami, kendati KD yang terumuskan secara nasional merupakan
standar minimum, secara substansial sudah cukup tinggi kompetensi yang ingin dicapainya.
Kelas X, Semester 1
Kelas X, Semester 2
Usulan Perbaikan
Rumusan Standar
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
3. Menganalisis unsur- 3.1 Menganalisis dinamika
unsur geosfer dan kecenderungan
perubahan litosfer dan
pedosfer serta dampaknya
terhadap kehidupan di muka
bumi
3.2 Menganalisis atmosfer
Tetap Tetap
dan dampaknya terhadap
kehidupan di muka bumi
Rumusan Standar Usulan Perbaikan
Usulan Perbaikan
Rumusan Standar
1.2 Mempraktikkan
keterampilan dasar peta dan
pemetaan Tetap
1.3 Menganalisis lokasi
industri dan pertanian
dengan memanfaatan peta
2. Memahami 2.1 Menjelaskan
pemanfaatan citra pemanfaatan citra
penginderaan jauh dan penginderaan jauh
Sistem Informasi
Geografis (SIG) *) 2.2 Menjelaskan Tetap Tetap
pemanfaatan Sistem
Informasi Geografis (SIG)
Usulan Perbaikan
Rumusan Standar
budi handoyo
Pembelajaran Berbasis Spasial terdiri atas tujuh langkah. Ketujuh langkah tersebut adalah
peyampaian tujuan pembelajaran, observasi, komunikasi dan konfir-masi, elaborasi dan
integrasi, diskusi, kesimpulan, dan refleksi dan tindak lanjut. Masing-masing langkah secara
singkat diuraikan sebagai berikut.
Kedua, Observasi. Langkah oservasi berupa upaya menggerakkan siswa untuk mengenali
obyek keruangan yang berkaitan dengan struktur, pola dan proses keruangan (spasial). Obyek
keruangan yang diob-servasi berupa fenomena keruangan yang mengandung permasalahan
esensial atau penting dan berkaitan dengan materi pembelajaran. Obyek tersebut dipilih
secara seksama oleh pendidik melalui diskusi-diskusi sesama pendidik, dan diskusi dengan
siswa yang dapat memberikan masukan. Observasi dapat dilakukan secara langsung ke
lapangan atau tidak langsung dengan melihat secara cermat foto slide atau video dengan alat
bantu LCD. Dalam observasi perlu dibantu peta yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Langkah-langkah kegiatan observasi adalah: (1) siswa mengamati fenomena spasial secara
keseluruhan baik langsung atau tidak langsung. (2) siswa mengenali lokasi obsulut dan lokasi
relatif dengan bantuan peta. (3) siswa mengenali ragam obyek/fenomena keruangan biotik
maupun abiotik, (4) siswa mengenali zona-zona/ area-area penggunaan lahan. (5) siswa
mengenali fenomena yang sama di wilayah permukaan bumi lain. (6) siswa memilih jenis
analisis keruangan yang dipan-dang sesuai untuk menganalisis data hasil observasi.
Keempat, Elaborasi dan Integrasi. Langkah elabo-rasi dan integrasi meru-pakan dua tindakan
yang dilakukan secara simultan untuk memperluas makna atas pengnaturalisan baru yang
didasarkan pada penge-tahuan siswa sebelumnya. Pengetahuan siswa tentang fenomena
geosfer diperluas dengan menelaah proses terjadinya, mengaitkannya dengan peristiwa
nyata, memperluas penye-barannya ke wilayah lain, menelaah keterkaitanya dengan
fenomena lain di wilayah yang berbeda, dan memprediksi kemungkinan terjadi di waktu yang
akan datang. Perluasan pengetahuan dilaku-kan sedikit demi sedikit dan bertahap dengan
mengait-kan peristiwa nyata (kontekstual) secara keruangan.
Langkah-langkah kegiatan elaborasi dan integrasi adalah (1) mengerjakan Lembar Kerja
Siswa (LKS) yang telah dipersiapkan. (2) membaca bahan ajar (buku teks, jurnal, artikel,
brosur, dan sumber lain yang relevan dengan materi yang sedang dipelajari) untuk memper-
luas pengetahuan. (3) menjawab pertanyaan-pertanya-an dengan substansi dari bahan ajar
yang telah dibaca. (4) menyusun tulisan ilmiah sederhana, namun ber-makna bagi perluasan
pengetahuan. Misalnya siswa menyusun karya ilmiah konseptual secara sederhana 1-2
halaman tentang banjir di daerahnya.
Kelima, Diskusi. Langkah diskusi merupakan wahana belajar bagi siswa untuk berbicara,
berbagi gagasan dan pengnaturalisan tentang fenomena keru-angan dan permasalahannya.
Siswa diberi kesempatan berbagi pengetahuan yang telah dikonfirmasi, diela-borasi, dan
dimaknai secara kontekstual dengan isu-isu yang lebih besar atau umum, dan
mengembangkan gagasan-gagasan peme-cahan masalah yang dilakukan siswa.
Ketujuh, Refleksi dan Tindak Lanjut. Refleksi merupakan kegiatan belajar untuk melihat
kembali pembelajaran yang telah berlangsung, atau merespon suatu peristiwa yang terjadi
yang berkaitan masalah pembelajaran. Langkah-langkah kegiatan refleksi dan tindak lanjut
adalah: (1) siswa mengutarakan tujuan yang sudah dipahami dan yang belum dipahami. (2)
siswa dapat mengemukakan solusi aktivitas dalam mengatasi ketidakpahamannya. (3) guru
memberi pertimbangan dan penguatan pilihan pemecahan masa-lah yang diambil siswa. (4)
siswa mengemukakan perasaanya setelah mengikuti serangkaian proses pem-belajaran.
EKONOMI PANCASILA
Posted on March 15, 2012 by hangeo
EKONOMI PANCASILA
EKONOMI PANCASILA
Mengenang Tiga Tahun Kepergian Prof. Mubyarto
Dicetuskan oleh Soekarno-Hatta, didengungkan kembali oleh Emil Salim dan di kembangkan
oleh Mubyarto. Meski bukan yang pertama dan yang satu-satunya, tapi di tangan beliaulah
Ekonomi Pancasila berkembang dan menemukan bentuknya. Tak heran jika nama Mubyato
ini kemudian lekat dan identik dengan Ekonomi Pancasila. Begitupun sebaliknya.
Tanggal 24 Mei tahun ini tepat tiga tahun kepergian beliau. Ekonomi Pancasila adalah jejak
intelektual yang beliau tinggalkan. Perjalanan intelektualnya di awali dengan menyelesaikan
gelar sarjananya pada Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (1959). Gelar Master di
Vanderbilt University (1962) dan Doktornya di selesaikan di Iowa State University (1965).
Selama hidupnya, beliau aktif di berbagai kegiatan dan organisasi. Di dunia teoritisi beliau
adalah dosen di Fakultas Ekonomi Unversitas Gadjah Mada. Dunia praksisi beliau tekuni
dengan aktif di lembaga/pusat studi, termasuk pernah menjabat sebagai anggota MPR-RI. Di
tahun 1979 beliau di tetapkan sebagai Guru Besar Ekonomi pada almamaternya..
Konsistensi beliau untuk memperjuangkan Ekonomi Pancasila terlihat dari dibentukan Pusat
Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) di Universitas Gadjah Mada tanggal 12 Agustus 2002.
PUSTEP UGM mengadakan kajian-kajian teoritis maupun praksis sebagai bahan menyusun
prinsip-prinsip umum menjalankan Ekonomi Pancasila,yaitu rumusan konkrit bagaimana
bekerjanya ekonomi Pancasila (Mubyarto, 2003). Di lembaga ini beliau menjabat sebagai
kepala.
***
Berawal dari kegelisahan terhadap perkembangan dan implementasi ilmu ekonomi. Beliau
merasa bahwa hubungan antara ekonomi dan keadilan sangatlah jauh. Terlebih jika melihat
yang tejadi di sekitar, yaitu kebijakan ekonomi yang di tempuh oleh banyak negara, termasuk
Indonesia (Mubyarto,1981).
Dalam implementasi ekonomi neoklasik terbukti tidak mampu menyelesaikan permasalahan
ekonomi. Bahkan dituding menjadi penyebab munculnya permasalahan baru. Berbeda jauh
dengan teorinya yang diajarkan di institusi pendidikan.
Teori ekonomi yang berkembang lahir pada abad 18 dalam suasana keinginan adanya
kebebasan (liberalisme) di dunia barat (Mubyarto,1980). Menafikan peran agama dan
mengabaikan peran ilmu sosial lainnya.
Indikasi kegagalan ekonomi neoklasik diantaranya terlihat dari relevansi teorinya yang hanya
sesuai dengan sebagian kecil perekonomian dan untuk konteks Indonesia teori ekonomi
klasik lebih berkembang sebagai seni daripada sebagai ilmu (Mubyarto, 1979). Teori
ekonomi sosialis sebagai altermatif pun terbukti tidak berdaya melawan dominasi
perkembangan terori ekonomi neoklasik ini.
Semangat beliau untuk membangun teori ekonomi yang lebih realistik, manusiawi tanpa
meninggalkan nilai lokal bangsa Indonesia kemudian tertuang dalam konsep Ekonomi
Pancasila. Konsep ini lahir di bumi Indonesia, digali dari filsafat bangsa Indonesia dan
kemudian dianggap paling tepat mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia menuju masarakat
adil dan makmur (Mubyarto,1980).
Ekonomi pancasila di definisikan sebagai sistem ekonomi yang di jiwai ideologi Pancasila
yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluagaan dan kegotongroyongan
nasional. Memiliki lima ciri :
1. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral.
2. Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah keadaan kemerataan sosial
(egalitarianisme), sesuai asas-asas kemanusiaan.
3. Prioritas kebijakan ekonomi adalahpenciptaan perekonomian nasionalyang tangguh yang
berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi.
4. Koperasi merupakan saka guru perekonomian dan merupakan bentuk paling kongkrit dari
usaha bersama.
5. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan
desentralisasi dengan pelaksanaan kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan nasional.
***
Keberadaan Ekonomi Pancasila ini pun tidak perlu dibatasi hanya oleh dua kutub saja tetapi
dapat diluarnya . Sistem Ekonomi Pancasila merupakan sistem ekonomi campuran yang
mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem ekstrim yang dikenal yaitu
kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis (Mubyarto, 1980). Berbeda dengan ekonomi
peraturan yang jelas antitetikal dengan makna Ekonomi Pancasila sebagai wadah
berkembangnya manusia Indonesia seutuhnya. Dalam Ekonomi Pancasila, satu sumber
legitimasi diambilnya tindakan pengaturan dalam pembatasan kebebasan usaha adalah
adanya ekses negatif dari setiap tindakan (Mubyarto, 1981).
Peranan unsur agama sangat kuat dalam konsep Ekonomi Pancasila. Karena unsur moral
dapat menjadi salah satu pembimbing
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya. Dalam berin-teraksi,
setidaknya diwarnai dua hal, yaitu konflik dan kerjasama. Secara awam konflik sering
diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan (Kamus besar Bahasa
Indonesia (2002). Dalam arti yang lain konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk
perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau
lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya
berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik, yang bisa berkadar tinggi
dalam bentuk kekerasan (violent), bisa juga berkadar rendah yang tidak menggunakan
kekerasan (non-violent).
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih
(bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Sebagai contoh demonstrasi menentang
kebijakan negara merupakan salah satu bentuk perbedaan pendapat dan kepentingan antara
kelompok masyarakat dengan negara atau dengan kelompok lainnya. Fenomena ini termasuk
dalam kategori konflik, walaupun tidak mengarah kepada perten-tangan fisik. Konflik juga
dimaknai sebagai suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah
mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mem-pengaruhi secara negatif, sesuatu yang
diperhatikan oleh pihak pertama. Suatu ketidakcocokan belum bisa dikatakan sebagai suatu
konflik bilamana salah satu pihak tidak memahami adanya ketidakcocokan tersebut (Robbins,
1996). Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri. Dan, ia dapat terjadi karena hubungan antara dua pihak atau
lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki tujuan-tujuan yang tidak
sejalan (Fisher, dalam Saputro, 2003).
Pertentangan dikatakan sebagai konflik manakala pertentangan itu bersifat langsung, yakni
ditandai interaksi timbal balik di antara pihakpihak yang bertentangan. Selain itu, per-
tentangan itu juga dilakukan atas dasar kesadaran pada masing-masing pihak bahwa mereka
saling berbeda atau berlawanan (Syaifuddin, dalam Soetopo dan Supriyanto, 2003).
Konflik pada dasarnya merupakan bagian dari kehidupan sosial, karena itu tidak ada
masyarakat yang steril dari realitas konflik. Coser (1956) menyatakan, bahwa konflik dan
konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan
campuran yang berbeda merupakan bagian dari setiap sistem sosial yang dapat dimengerti
(Poloma, 1994). Karena konflik merupakan bagian kehidupan sosial, maka dapat dikatakan
konflik sosial merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar. Dahrendorf (1986),
membuat 4 postulat yang menunjukkan keniscayaan itu, yaitu: (1) setiap masyarakat tunduk
pada proses perubahan, perubahan sosial terdapat di manamana; (2) setiap masyarakat mem-
perlihatkan konflik dan pertentangan, konflik terdapat di mana-mana; (3) setiap unsur dalam
masyarakat memeberikan kontribusi terhadap desintegrasi dan perubahan; (4) setiap masya-
rakat dicirikan oleh adanya penguasaan sejumlah kecil orang terhadap sejumlah besar
lainnya.
Cobb dan Elder (1972) mengungkapkan adanya tiga dimensi penting dalam konflik politik:
(1) luas konflik; (2) intensitas konflik; dan (3) ketampakan konflik. Luas konflik, menunjuk
pada jumlah perorangan atau kelompok yang terlibat dalam konflik, dan menunjuk pula pada
skala konflik yang terjadi (misalnya: konflik lokal, konflik etnis, konflik nasional, konflik
internasional, konflik agama dan sebagainya). Intensitas konflik adalah luas-sempit-nya
komitmen sosial yang bisa terbangun akibat sebuah konflik. Konflik yang intensitasnya tinggi
adalah konflik yang bisa membangun komitmen sosial yang luas, sehingga luas kon-flikpun
mengembang. Dan, ketampakan konflik adalah tingkatan kesadaran dan pengetahuan
masyarakat di luar pihak-pihak yang berkonflik tentang peristiwa konflik yang terjadi.
Sebuah konflik dikatakan memiliki ketampakan yang tinggi manakala peristiwa konflik itu
disadari dan diketahui detail keberadaannya oleh masyarakat secara luas. Sebaliknya, sebuah
konflik memiliki ketampakan rendah manakala konflik itu terselimuti oleh berbagai hal
sehingga tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat luas terhadap konflik itu sangat
terbatas.
Pandangan tradisional tentang konflik mengandaikan konflik itu buruk, dipandang secara
negatif, dan disinonimkan dengan istilah kekerasan (violence), destruksi, dan ketidak-
rasionalan demi memperkuat konotasi negatifnya. Konflik bersifat merugikan, karena itu
harus dihindari (Robbins, 1996). Pandangan pada masa kini melihat konflik merupakan
peristiwa yang wajar dalam kehidupan kelompok dan organisasi. Dalam interaksi antara
manusia, konflik tidak dapat disingkirkan, tidak terelakkan, bahkan ada kalanya konflik dapat
bermanfaat pada kinerja kelompok.
Setiap konflik yang terjadi di suatu wilayah bersifat kompleks. Tidak ada faktor tunggal
sebagai satu-satunya penyebab, tetapi selalu bersifat majemuk, karena banyak faktor yang
menjadi penyebabnya. Menurut Anoraga (dalam Saputro, 2003) suatu konflik dapat terjadi
karena 4 faktor, yaitu:
(1). Perbedaan pendapat. Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana
masing-masing pihak merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan
apabila perbedaan pendapat tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak,
ketegangan dan sebagainya.
(2). Salah paham. Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik.
Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya
oleh individu yang lain.
(3). Ada pihak yang dirugikan. Tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang
lain atau masing-masing pihak merasa dirugikan pihak lain sehingga seseorang yang
dirugikan merasa kurang enak, kurang senang atau bahkan membenci.
(4). Perasaan sensitif. Seseorang yang terlalu perasa sehingga sering menyalah artikan
tindakan orang lain. Contoh, mungkin tindakan seseorang wajar, tetapi oleh pihak lain
dianggap merugikan.
Ada enam kategori penting dari kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions) yang
menjadi penyebab konflik, yaitu:
(6) sifat-sifat individu (individual traits) (Robbins, Walton & Dutton dalam Wexley & Yukl,
1988).
Konflik dapat disebabkan oleh sejmlah factor, yaitu:
(1). Perbedaan individu. Perbedaan kepribadian antar individu bisa menjadi faktor penyebab
terjadinya konflik. Perbedaan individu yang menjadi sumber konflik adalah perbedaan
pendirian dan perasaan. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan
yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah
sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan
mendadak dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang
mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat
berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.
Ada banyak kemungkinan menghadapi konflik yang dikenal dengan istilah manajemen
konflik. Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan
jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya
menjadi empat, yaitu:
(1). Konflik tujuan. Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan
yang kontradiktif.
(2). Konflik peranan. Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu
peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.
(3). Konflik nilai. Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap
individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu
dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.
(4). Konflik kebijakan. Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu
atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan
kebijakan lainnya.
(3) konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
Konflik perlu dikelola agar tidak kontra produktif. Pengelolaan konflik merupakan cara yang
digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan konflik, dalam hal
ini adalah konflik interpersonal. Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui
berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut.
(1) penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar
konflik dapat diredam atau dipadamkan.
(3) penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya, memberikan peluang kepada masing-
masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran
pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai yang cara yang paling tidak
efektif, yang efektif dan yang paling efektif. Strategi yang dipandang paling tidak efektif,
misalnya ditempuh cara: (1) dengan paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh
kebanyakan orang. Dengan paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun
bisa menimbulkan reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya; (2) dengan penundaan. Cara
ini bisa berakibat penyelesaian konflik sampai berlarut-larut; (3) dengan bujukan. Bisa
berakibat psikologis, orang akan kebal dengan bujukan sehingga perselisihan akan semakin
tajam; (4) dengan koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan
tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa menambah
kadar konflik konflik sebuah ‘perang’; (5) dengan tawar-menawar distribusi. Strategi ini
sering tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing pihak saling melepaskan
beberapa hal penting yang mejadi haknya, dan jika terjadi konflik mereka merasa menjadi
korban konflik.
(1) koesistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan
saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta
diterapkan secara ketat dan konsekuen.
(2) dengan mediasi (perantaraan). Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-
masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur
dan adil serta tidak memihak. Sedangkan strategi yang dipandang paling efektif, antara lain:
(1) tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan
yang lebih besar dan kompleks. Misalnya denga cara membangun sebuah kesadaran nasional
yang lebih mantap; (2) tawar-menawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang
berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang luas, dan tidak hanya berkisar
pada kepentingan sempit, misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan atau suku
bangsa tertentu.
1. A. Silabus
Silabus sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran atau tema
pelajaran, SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian
kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
Silabus dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) Standar
Kompetensi Lulusan (SKL), serta panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).
Dalam pelaksanaannya, pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara
mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau beberapa sekolah,
kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG).
RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya
mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara
lengkap dan sistematis.
RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih.
Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan
penjadwalan di satuan pendidikan.
Memuat satuan pendidikan, kelas semester, program, mata pelajaran/ tema pelajaran,
jumlah pertemuan.
1. Standar kompetensi
1. Kompetensi dasar
Dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur
1. Tujuan pembelajaran
menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai
dengan kompetensi dasar.
1. Materi ajar
1. Alokasi waktu
Sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban ajar.
1. Metode pembelajaran
Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik, serta
karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai.
Pendekatan pembelajaran tematik digunakan untuk peserta didik kelas 1 sampai kelas 3 SD.
1. Kegiatan pembelajaran
1. Pendahuluan
Memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
1. Inti
Kegiatan ini dilakukan secara sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
1. Penutup
Dapat berupa kegiatan merangkum, menyimpulkan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan
tindak lanjut.
1. Sumber belajar
Memuat bahan ajar (buku teks, diktat, artikel, essay, brosur, dan bahan ajar lainnya.
Mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan
pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.
Dapat dalam bentuk hard copy dan soft copy
RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemempuan awal, tingkat
intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar,
kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau
lingkungan peserta didik.
Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong
motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar.
RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan dan
remedi.
RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi
pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan
sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan
mengakomodasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek
belajar, dan keragaman budaya.
1. Kegiatan Pendahuluan
1. Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;
2. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan
materi yang akan dipelajari;
5. Kegiatan Inti
Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan
mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
1. Eksplorasi
1) Melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema
materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan
belajar dari aneka sumber;
3) Memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan
guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;
4) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan
1. Elaborasi
1) Membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas
tertentu yang bermakna;
2) Memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk
memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;
6) Memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan
maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;
7) Memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok;
8) Memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang
dihasilkan;
9) Memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan
rasa percaya diri peserta didik.
1. Konfirmasi
1) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat,
maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,
2) Memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui
berbagai sumber,
3) Memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar
yang telah dilakukan,
4) Memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam
mencapai kompetensi dasar :
a) Berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik
yang mengahadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar;
c) Memberikan acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;
e) Memberikan motivasi pada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
1. Kegiatan Penutup
Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat
pencapaian kompetensi peserta didik
Hasil penilaian digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan
memperbaiki proses pembelajaran.
Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan menggunakan tes
dan non tes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan kerja, pengukuran sikap, penilaian
hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian diri.
Satuan Sekolah :
Mata Pelajaran
Kelas/Semester :
Program** :
Jumlah Pertemuan :
II. Indikator
1. Pendahuluan
3. Penutup
Sumber :
Penilaian :
Kriteria penilaian :
Tindak lanjut :
1. PENGANTAR
Inkuiri merupakan proses menggerakkan siswa dari observasi untuk pemahaman konsep atau
fenomena.
Peserta didik menangkap hewan-hewan sungai dengan menggunakan jaring dibalik bebatuan
yang menjadi habitat hewan air. Hewan-hewan sungai hasil menjaring diletakkan pada
tempatna, berupa ember plastik yang terbagi dalam kotak-kotak kecil. Hewan-hewan itu
diklasifikasikan sesuai dengan jenis-jenisnya. Untuk pengklasifikasian ini perlu dibantu
dengan kaca pembesar, karena ukuran hewan yang kecil.
Tanya jawab diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru,
atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas. Pertanyaan guru untuk
memberikan kesempatan siswa berpikir kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa.
Pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan.
Tahap kedua dilakukan juga di lokasi observasi. Peserta pelatihan melakukan tanya jawab
dengan dengan fasilitator, dan sesama peserta. Pertanyaan yang di kemukakan merupakan
pertanyaan keinginan tahu dan klarifikasi, sedangkan pertanyaan fasilitator berupa pertanyaan
untuk mengembangkan kemampuan berfikir kritis. Misalnya mengapa jenis hewan
inveterbrata jenis …..tinggal di balik bebatuan? Pertanyaan ini dimaksudkan agar peserta
didik dapat berfikir logis dan rasional, serta analitis.
5. MODELING (PEMODELAN)
Modeling merupakan kegiatan mencontohkan bagaimana menjadi diri, bagaimana berfikir,
bagaimana bertindak, dan bagaimana belajar. Berfikir keras tentang pembelajaran yang
dilakukan . Mendemonstrasikan bagaimana siswa belajar. Menunjukkan apa yang harus
dilakukan siswa, mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajar atau
melakukan sesuatu
Refleksi merupakan kegiatan belajar untuk melihat kembali atau merespon suatu kejadian,
kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui,
dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Teknik:
pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku
siswa, kesan dan saran
siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya.
Hasil refleksi peserta setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dengan CTL sebagai beikut:
(5) memudahkan memahami materi dan bermanfaat untuk proses belajar berikutnya
Penilaian yang dapat digunakan dalam pelatihan ini dalah penilaia kinerja dan penialian
sikap. Penilaian kinerja dilakukan pada saat berlangsung presentasi dan cara menggunakan
alat-alat di sungai. Penilaian sikap digunkan untuk mengatahui sikap peserta berkenaan
dengan hasil analisisnya pada kulaitas air di Sungai Konto Ds. Selorejo, Ngantang.
KESIMPULAN
Kegiatan yang bervasi dalam pembelajaran dengan penerapan CTL dapat berkontrubusi pada
pembentukan karakter siswa yang dibutuhkan pada masa depan mereka. Karakter yang
tumbuh tersebut antara lain: Kerjasama; Kerja dengan hati-hati, cermat, dan teliti; sehat
karena banyak gerak; percaya diri, komunikasi yang baik, dan membiasakan sharing/berbagi
dengan orang lain.
Recent Posts
o KONSEP DAN PENDEKATAN GEOGRAFI (Acuan Khusus pada Pendekatan Keruangan)
Recent Comments
Archives
o November 2013
o August 2013
o June 2013
o May 2013
o March 2013
o October 2012
o July 2012
o May 2012
o April 2012
o March 2012
Categories
o Uncategorized
Meta
o Register
o Log in
o Entries RSS
o Comments RSS
o WordPress.com
Advertisements
Report this ad
hangeo
Blog at WordPress.com.
Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.
To find out more, including how to control cookies, see here: Cookie Policy
Perpres PAUD HI dan Pelaksanaan PAUD
di Indonesia
Setelah sebelumnya kami sajikan ulasan singkat dan link download untuk Perpres PAUD HI
yaitu Perpres No. 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif
kini kami akan menyajikan implikasi perpres PAUD HI tersebut terhadap pelaksanaan
Program PAUD.
Peaturan Presiden Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik
Integratif merupakan perpres yang sangat mulia karena Pemerintah akan mengkoordinasikan
semua layanan anak usia dini (sejak janin s/d usia 6 tahun) agar secara simultan kebutuhan
dasar anak terpenuhi sesuai dengan tahap perkembangan dan kebutuhan spesifiknya.
Perlu penataan ulang thd TUSI Pengawas TK/Penilik yg membidangi PAUD sesuai tujuan
PAUD H-I di satu pihak, dan amanat UU No.20/2003 pada lain pihak . Bagaimana pun juga,
posisi UU No. 20/2003 lebih tinggi ketimbang Perpres 60/2013. UU No. 20/2003 terkait dg
substansi PAUD nya, sedangkan Perpres 60/2013 terkait dengan koordinasinya
(1) Pasal 10 Perpres 60/2013 menyebutkan: “Gugus Tugas mempunyai tugas”, a.l. :
a.mengkoordinasikan pembuatan kebijakan PAUD H-I;
b.menyinkronkan penyusunan rencana program, kegiatan dan anggaran PAUD HI pada
kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian;
c.memobilisasi sumber dana, sarana dan daya dalam rangka pelaksanaan PAUD HI
(3) Sementara itu Pasal 17 ayat (6) menyebutkan “Gugus Tugas Provinsi, dan Kab/Kota
dalam melaksanakan PAUD H-I berpedoman pada NSPK yg ditetapkan oleh
kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian
terkait serta berkoordinasi dengan Gugus Tugas”.
BAGAIMANA MENGANTISIPASINYA?
3. Bisa dipertimbangkan, usulan yang pernah kita bahas pada waktu rakor PAUDNI tahun
lalu, a.l. mungkin perlu format baru menghitung APK PAUD. Mis.: untuk anak usia 3-6
tahun dengan APK PAUD, sedangkan untuk anak 0-2 tahun dengan Angka Anak Terlayani
(AAT) PAUD. Pengertian ‘terlayani’ tidak harus masuk di lembaga PAUD, tetapi bisa
misalnya di Posyandu yang mendapatkan stimulasi pendidikan, atau di keluarga tetapi orang
tuanya mendapatkan ‘parenting education’ dari Dit PAUD. Wacana AAT PAUD saat ini
sedang didiskusikan di Tim penyusun Draft RPJM 2015-2019 untuk sektor Pendidikan ,
untuk mengakomodasi Pasal 28 UU No. 20/2003 dan Perpres 60/2013 dan Permendiknas
58/2009
Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini Pengertian anak usia dini: anak sejak janin
(PAUD): suatu upaya pembinaan yg ditujukan dlm kandungan s/d usia 6 th, yg dikelom-
kpd anak sejak lahir sampai usia 6 th yg dila- pokkan : janin dlm kandungan – lahir; lahir-28
kukan melalui pemberian rangsangan pendi- hari; 1-24 bulan; 2-6 th (Ps. 1 butir 1)
dikan utk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut (Ps. 1, butir 14) Pengertian Pengemb. Anak Usia Dini
Holistik-Integratif (PAUD H-I): upaya
PAUD Diselenggarakan sblm jenjang pengemb. anak usia dini yg dilakukan utk
Dikdas {Ps.28, ayat (1)} memenuhi kebutuhan esensial anak yg
beragam dan saling terkait scr simultan,
PAUD dpt diselenggarakan melalui jalur pdkn sistematis, dan terintegrasi (Ps.1, butir 2)
formal, nonformal, dan/atau informal {Ps.28,
ayat (2)}
PAUD jalur pdkn formal: TK, RA, atau Keluarga: unit terkecil dlm masy yg terdiri
bentuk lain yg sederajat {Ps.28, ayat (3)} dari suami isteri, atau suami istri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya,
PAUD jalur pdkn nonformal: KB, TPA, atau atau keluarga sedarah dlm garis lurus ke atas
bentuk lain yg sederajat {Ps.28, ayat (4)} atau ke bawah s/d derajat ketiga (Ps.1, butir 3)
ANAK USIA DINI (AUD) >> DALAM PERPRES NO.60/2013 : sejak janin – 6 th:
a. janin (dlm kandungan) – lahir
b. Lahir – 28 hari
c. 1- 24 bulan
d. 2 – 6 tahun
Pengem-Bangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif (PAUD H-I) >> Upaya Pengembangan
Anak Usia Dini Yg Dilakukan Utk Memenuhi Kebutuhan Esensial Anak Yg Beragam Dan
Saling Terkait Secara Simultan, Sistematis, Dan Terintegrasi (Perpres No. 60 /2013, Ps.1
Butir 2)
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) >> Suatu Upaya Pembinaan Yg Ditujukan Kpd Anak
Sejak Lahir S/D Usia 6 Th Yg Dilakukan Melalui Pemberian Rangsangan Pendidikan
Utk Membantu Pertumbuhan Dan Perkembangan Jasmani Dan Rohani Agar Anak
Memiliki Kesiapan Dlm Memasuki Pendidikan Lebih Lanjt (UU No 20/2003, Ps.1 Butir 14)
(Untuk download Perpres PAUD HI (Perpres No. 60 tahun 2013 bisa dilihat pada postingan
sebelumnya, link sudah kami sediakan di awal paragraf)
Perpres RI No. 60 Th. 2013 Tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif Atau
“PAUD HI”. Sebelumnya kita akan menengok isi perpres yang berkaitan dengan
pengembangan PAUD HI tersebut. Secara garis besar isi dari Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 60 tahun 2013 memuat hal-hal sebagai berikut :
BAB I : KETENTUAN UMUM
BAB II : TUJUAN, PRINSIP, DAN ARAH KEBIJAKAN
BAB III : STRATEGI, SASARAN, DAN PENYELENGGARAAN
BAB IV : GUGUS TUGAS PAUD HI
BAB V : PERANSERTA MASYARAKAT
BAB VI : PELAPORAN
BAB VII : PEMBIAYAAN
BAB VIII : KETENTUAN PENUTUP
BAB I : KETENTUAN UMUM
Anak usia dini adalah anak sejak janin dalam kandungan sampai dengan usia 6 (enam) tahun
yang dikelompokkan atas janin dalam kandungan sampai lahir, lahir sampai dengan usia 28
hari, usia 1 sampai dengan 24 bulan, dan usia 2 sampai dengan 6 tahun.
Pengembangan anak usia dini holistik-integratif adalah upaya pengembangan anak usia dini
yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan esensial anak yang beragam dan saling terkait
secara simultan, sistematis, dan terintegrasi.
Terselenggaranya layanan PAUD H-I menuju terwujudnya anak Indonesia yang sehat,
cerdas, ceria, dan berakhlak mulia.
terpenuhinya kebutuhan esensial AUD scr utuh meliputi kesehatan dan gizi, rangsangan
pendidikan, pembinaan moral-emosional dan pengasuhan sehingga anak dapat tumbuh dan
berkembang secara optimal sesuai kelompok umur;
terlindunginya anak dari segala bentuk kekerasan, penelantaran, perlakuan yang salah, dan
eksploitasi dimanapun anak berada;
terselenggaranya pelayanan AUD scr terintegrasi dan selaras antar lembaga layanan terkait,
sesuai kondisi wilayah;
teruwujudnya komitmen seluruh unsur terkait yaitu orang tua, keluarga, masyarakat,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dalam upaya pengembangan anak usia dini holistik-
integratif.
4. pelayanan yang tersedia, dapat dijangkau dan terjangkau, serta diterima oleh kelompok
masyarakat;
5. partisipasi masyarakat;
Arah Kebijakan PAUD Holistik Integratif
3. peningkatan koordinasi dan kerjasama lintas sektor serta kemitraan antar institusi
pemerintah, lembaga penyelenggara layanan, dan organisasi terkait, baik lokal, nasional,
maupun internasional;
4. penguatan kelembagaan dan dasar hukum, serta pelibatan masyarakat termasuk dunia
usaha dan media massa dalam penyelenggaraan pelayanan PAUD H-I.
6. pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan pemahaman dan persiapan pra nikah calon
pengantin, orang tua, keluarga, dan pengasuh pengganti dalam melakukan pengasuhan
anak secara optimal.
6. media massa;
Penyelenggaraan PAUD Holistik Integratif
(1) Penyelenggaraan PAUD H-I dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.
(2) Dalam penyelenggaraan PAUD H-I tsb ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab untuk:
– menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK);
– melakukan bimbingan teknis (bimtek), supervisi, advokasi, dan pelatihan
(3) Dalam penyelenggaran PAUD H-I tsb ayat (1) Pemerintah Provinsi bertanggung jawab
untuk:
– melakukan bimtek, melakukan supervisi, advokasi , dan pelatihan
(4) Dalam penyelenggaran PAUD H-I tsb ayat (1) Pemerintah Kab/Kota bertanggung jawab
untuk:
– melaksanakan PAUD H-I;
– melakukan bimtek, supervisi, advokasi, pelatihan, evaluasi & pelaporan
Dalam rangka pelaksanaan PAUD H-I dibentuk Gugus Tugas PAUD H-I, yang selanjutnya
disebut Gugus Tugas.
gugus Tugas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
memobilisasi sumber dana, sarana dan daya dalam rangka pelaksanaan PAUD H-I;
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 10, , Gugus Tugas dapat
membentuk Sub Gugus Tugas.
Sub Gugus Tugas tsb ayat (1) dikoordinasikan oleh pejabat Eselon I di lingkungan
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Anggota Sub Gugus Tugas tsb terdiri atas Pejabat K/L terkait.
Sekretariat
Sekretariat Gugus Tugas ada di salah satu unit kerja di Kemenko Kesra
Download Peraturan Presiden RI No. 60 Tahun 2013 Tentang Pengembangan Anak Usia
Dini Holistik Integratif
dan
Lihat juga Implikasi Perpres RI Nomor 60 Tahun 2013 tersebut terhadap Pelaksanaan
Program PAUD, KLIK DISINI
Dalam rangka pelaksanaan PAUD HI sebagaimana dimaksud Pasal 7 ayat (3) dan (4), di
Provinsi dan Kab/Kota dapat dibentuk Gugus Tugas Provinsi dan Gugus Tugas Kab/Kota.
Gugus Tugas tsb ayat (1) berasal dari unsur pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, sosial,
pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana, perlindungan anak, pemberdayaan
masyarakat, agama, dan unsur lain yang terkait
Gugus Tugas Provinsi, dan Kab/Kota dalam melaksanakan PAUD Holistik Integratif
berpedoman pada NSPK yg ditetapkan oleh kementerian /lembaga pemerintah non-
kementerian terkait serta berkoordinasi dengan Gugus Tugas
Segala biaya yang diperlukan bagi penyelenggaraan PAUD H-I di Pusat dibebankan pada
APBN masing-masing kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian terkait sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi.
Seluruh biaya yg diperlukan bagi penyelenggaraan PAUD H-I di Provinsi dan Kab/Kota
dibebankan pada masing-masing APBD Provinsi dan Kab/Kota