Oleh:
Kelompok III
Amelia Lestari (NPM. 14046903)
TANGERANG
BANTEN
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
Kimia medisinal adalah ilmu pengetahuan yang merupakan cabang ilmu
kimia dan biologi, digunakan umtuk memahami dan menjelaskan mekanisme
kerja obat pada tingkat molekul.
1) Penyaringan glomerulus
Ginjal menerima ± 20-25% cairan tubuh dari jantung atau 1,2-1,5
lier darah per menit, dan ± 10% disaring melalui glomerulus.
Membran glomerulus empunyai karakteristik sehingga dapat
dilewati oleh molekul obat dengan garis tengah ± 40% Å, berat
molekul lebih kecil dari 5000 dan obat mudah larut dalam cairan
plasma atau obat yang bersifat hidrofil (Siswandono, 1995). Selama
filtrat ini dipekatkan dalam tubuli zat-zat lipofil berdifusi kembali
secara pasif pula melalui membran sel-nya kedalam darah dan
demikian menghindari ekskresi. Zat-zat hidrofil hampir tidak
didifusi kembali dan langsung dikeluarkan lewat urine. Ekskresi
dapat diperlancar dengan memperkuat disosiasi obat yang
kebanyakan bersifat asam atau basa lemah dengan derajat ionisasi
agak ringan (Tjay, 2007).
Contohnya : Indometacin dengan Litium, dimana pada aliran darah
keginjal diatur oleh prostaglandin (PG). Indometcin menghambat
sintesis PG sehingga menyebabkan fungsi ginjal menurun dan kadar
litium menjadi meningkat.
2) Adsorpsi kembali secara pasif pada tubulus ginjal
Adsorpsi kembali molekul obat dan koefisien partisi lemak/air. Obat
yang bersifat polar, sukar larut dalam lemak, tidak diadsorpsi
kembali oleh mebran tubulus. Adsorpsi kembali pada tubular ini
sanagat tergantung pada pH urin. Obat yang bersifat elektrolit
lemah pada urine normal, pH = 4,8-7,5. Sebagian besar akan
terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi, mudah larut dalam lemak,
sehingga mudah diadsorpsi kembali oleh tubular.
3) Sekresi pengangkutan aktif pada tubulus ginjal
Obat dapat bergerak dari plasma darah ke urin melalui tubulus
ginjal dengan mekanisme pengangkutan aktif. Sebagai contoh,
kombinasi obat antara probenesid dengan penisilin meningkatkan
masa kerja penisilin karena probenesid dapat menghambat sekresi
pengangkutan aktif penisilin secara kompetitif sehingga ekskesi
penisili menurun, kadar penisilin dalam darah tetap tinggi dan
menunjukkan aktifitas lebih lanjut.
c. Ekskresi Obat melalui Empedu
Obat dengan berat molekul lebih kecil dari 150 dan obat telah
dimetabolisis menjadi senyawa yang lebih polar, dapat diekresikan dari
hati, melewati empedu, menuju keusus dengan mekanisme
pengangkutan aktif. Obat tersebut biasanya dalam bentuk terkonjugasi
dengan asam glukoronat, asam sulfat atau glisin. Diusus bentuk
konjugat tersebut secara langsung diekresikan melalui tinja ataupun
mengalami proses hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi
senyawa yang besifat nonpolar, sehingga di absorpsi kembali ke plasma
darah, kembali ke hati dan dimetabolisme dan di keluarkan kembali
melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya hingga
dinamakan siklus entherohepatik. Dimana siklus ini mempunyai masa
kerja obat menjadi lebih panjang.
Contohnya adalah ampicilin diekresi kedalam empedu, dan
dimanfaatkan dengan memberika ampicillin untuk infeksi dari saluran
empedu. Beberapa obat dikethui mengalami siklus ini adalah dioksin,
rifamfisin, stilboestrol, glutethimide, klorampenikol, indometacin dan
morfin (Zaman, 2002).
Contoh mekanismenya : antara probenesid dengan penisillin. Dimana
probenesid adalah obat asam urat yang merebut medium transport dari
penisilin, sehingga menyebabkan ekskresi penisliin terhambat. Penisilin
tertahan lama dalam ginjal. Sehingga menyebabkan efek penisilin lebih
panjang.
BAB II
ISI
Struktur kimia obat yang memiliki kesamaan dalam strukur dasarnya adalah
epinephrine, methamphetaminine, Norepinephrine, Amphetamine dan efhedrin
seperti pada gambar 2.1 dimana memilki aktivitas yang berbeda karena perbedaan
gugus fungsi yang berikatan pada struktur utama.
6. Indikasi Epinefrin
Epinefrin digunakan sebagai menambah pada anestetika lokal, dan selain
itu pada syok anafilaktik dan serangan Adamstokes.
Pada jantung berhenti, penyuntikan adrenalin dilakukan setelah
penanganan primer yaitu pernapasan buatan dan massage jantung, kedua
penanganan ini tetap tidak dihentikan.
7. Kontraindikasi Epinefrin
Epinefrin tidak boleh diberikan pada penderita hipertireosis , sklerosis
koronar, selebral, hipertensi berat, narkosis dengan hidrokarbon
terhalogenasi atau dengan eter serta setelah pemakaian digitalis
(Mutschler, 1991).
8. Dosis Pemakaian Epinefrin
Tambahkan 4 ml (4 mg) dari ampul epinephrine ke dalam 1.000 ml
larutan yang mengandung 4 mcg epinefrin basa. Berikan larutan ini
dengan infus intravena. Masukkan kateter plastik intravena melalui jarum
yang dimasukkan dengan baik ke dalam vena dan direkatkan dengan
plester, jika mungkin, hindari teknik catheter tiein, karena teknik ini
mudah menyebabkan stasis. IV drip chamber atau alat ukur lain yang
sesuai diperlukan untuk mengukur kecepatan aliran dalam tetes per menit
secara akurat. Setelah mengamati responnya pada pemberian dosis awal
2-3 ml (dari 8-12 mcg bentuk basa) per menit, atur kecepatan aliran
untuk mencapai dan mempertahankan tekanan darah normal yang rendah
(biasanya, tekanan sistoliknya 80-100 mmHg) cukup untuk
mempertahankan sirkulasi ke organ vital.
Pada pasien dengan riwayat hipertensi, dianjurkan menaikkan tekanan
darahnya tidak lebih dari 40 mmHg di bawah tekanan sistolik
sebelumnya. Dosis pemeliharaan rata-rata adalah 0,5-1 ml per menit (2
mcg sampai 4 mcg bentuk basa).
Tiap-tiap individu membutuhkan dosis yang berbeda-beda untuk
mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang cukup. Pada semua
kasus, dosis epinefrin harus dititrasi sesuai dengan respon pasien.
Adakalanya dosis harian yang jauh lebih besar atau bahkan sangat besar
(sebesar 68 mg basa atau 17 ampul) mungkin dibutuhkan jika pasien
tetap menderita hipotensi, tetapi adanya kehilangan volume darah yang
tersembunyi harus dicurigai dan bila itu terjadi, harus diperbaiki.
Monitoring tekanan vena sentral biasanya sangat membantu dalam
mendeteksi dan mengobati kondisi ini.
2.Amfetamin
Ahli kimia dalam bidang obat-obatan telah berusaha mencari tahu cara
kerja dari obat ini, dengan mengutamakan efek obat dan mengabaikan
(Cadwell, 1980).
Struktur dasar molekul Amfetamin (gambar 2.1.) memiliki
sejumlah ciri-ciri penting pada efek farmakologi antara lain pada cincin
aromatik yang tidak dapat diubah, dua rantai karbon, grup α- metal, dan
Perubahan pada cincin aromatik mengubah efek obat yang bekerja pada
sistem saraf pusat; grup β- hidroksil menurunkan efek anoretik dan efek
stumulasi pada sistem saraf pusat; substitusi alkil pada grup amino
sekitar 15-60 menit, mencapai puncak dalam waktu 2-3 jam, dan mulai
menggerus tablet hingga menjadi bubuk halus kemudian dihirup. Cara ini
dalam hitungan menit dan memiliki durasi efek yang singkat (Uitermark,
2006).
dan menghasilkan efek yang cepat dan hebat. Ketika diinjeksi, efek
Amfetamin akan muncul dengan segera namun memiliki durasi efek yang
1. Metamfetamin
Amfetamin dan Metamfetamin merupakan dua simpatomimetik amin
(Kelly, 2001).
2. 3,4- methyldioxymethamphetamine (MDMA)
antara lain :
3. Kombinasi dari (1) dan (2), yang dimana paling banyak ditemukan.
Pengobatan yang paling umum untuk mengobati ADHD adalah
obat stimulan juga memiliki efek penenang pada anak yang menderita
1999).
2. Narkolepsi
Service, 2010).
gejala dari narkolepsi. Pada saat ini, masih belum ada pengobatan yang
2010).
3. Obesitas
(Klawans, 1981).
- Meningkatkan kewaspadaan
- Meningkatkan mood
- Menimbulkan euforia
terus menerus dengan dosis kecil selama beberapa hari, Amfetamin dapat
- Pemikiran delusional
- Halusinasi auditorik
a. Gangguan kardiovaskular
- Sinus takikardi
- Iskemik miokard
b. Kerusakan ginjal
digunakan secara intravena. Keadaan ini jarang terjadi dan timbul bila terjadi
d. Fungsi seksual
dan fungsi ejakulasi menjadi tergangu. Meskipun tidak ada bukti konkrit yang
memiliki perasaan bahwa energinya meningkat dan dapat aktif secara seksual.
Pada akhirnya, terjadi disfungsi. Laki-laki biasanya akan menjalani dua tahap
yaitu dimulai dengan ereksi lama tanpa ejakulasi, kemudia kehilangan fungsi
e. Hipertermia
Mekanisme hipertermia yang ditimbulkan Amfetamin biasanya terjadi akibat
Peningkatan suhu khas, berkisar 39˚-40˚. Biasanya suhu kembali normal dalam
48-72 jam setelah pemakaian obat dihentikan, tetapi dapat menetap beberapa
hari sampai minggu bila disertai ruam akibat reaksi obat. Hipertermi biasanya
a. Gangguan mood
b. Gangguan ansietas
juga muncul pada saat penggunaan dan penghentian zat (Sadock, 2007).
c. Gangguan tidur
Penggunaan Amfetamin dapat menyebabkan terjadinya insomnia dan
a. Gangguan kesadaran
pada Amfetamin biasanya terjadi setelah kejang. Koma yang terjadi pada
3. Hipoglikemi
4. Postanoksik enselofati
5. Trauma
6. Kejang
7. Sepsis
1. Pireksia
2. Hipertensi
3. Takikardi
4. Aritmia
5. Dilatasi pupil
6. Tremor
7. Kejang
b. Gangguan pergerakkan
Chorea merupakan gangguan yang sering ditemukan. Hal ini dianggap
generalisata.
c. Gangguan pertumbuhan
Hal ini terjadi pada pemakaian kronis. Anak-anak hanya dapat tumbuh
sampai 60-75% dari normal, tetapi bila obat dihentikan makan tampak
d. Stroke
oral dari Amfetamin. Pada usia muda, proses vaskulitis terbatas pada
e. Stroke perdarahan
f. Kejang
Pada pengguna Amfetamin, kejang dapat timbul baik pada pemakaian
akut. Kejang dapat berupa kejang fokal, umum, tonik klonik ataupun
kepala pusing, keringat berlebihan, tegang otot, tegang otot perut, dan rasa
lapar yang tidak puas, muncul setelah penghentian obat Amfetamin. Gejala
putus obat Amfetamin pada umumnya mencapai puncak dalam dua sampai
empat hari dan sembuh dalam satu minggu. Gejala putus obat yang paling
dengan ide bunuh diri. Kriteria diagnosa putus obat Amfetamin menurut
A. Norepinefrin
B Lokalisasi Norepinefrin
HC COOH HC HC COOH
Fenilalanin COOH
Tirosin hidroksilase
CH 2 hidroksilase
te
CH2 CHtet 2
trahidrobiopterin
rahidrobiopterin
HO
OH OH
fenilalanin Tirosin Dopa
(Dihidroksifenilalanin)
Dopadekarboksil ase
piridoksalfosfat
CH 2 CH 2 CH 2
HC OH HC OH CH 2
Feniletanolamin-
Nmetiltransferase
Dopamin
βhidroksilase
Sadenosil
HO a HO
methioni n HO skorbat
OH OH
OH
Sebagian tirosin dibentuk dari fenilalanin, tetapi sebagian besar berasal dari
makanan. Fenilalanin hidroksilase ditemukan terutama di hati. Tirosin diangkut ke
dalam neuron penghasil katekolamin dan sel-sel medula adrenal melalui
mekanisme konsentrasi. Tirosin diubah menjadi dopa dan kemudian menjadi
dopamin dalam sitoplasma sel oleh tirosin hidroksilase dan dopa dekarboksilase.
Dekarboksilase tersebut, yang juga disebut dekarboksilase L-asam amino
aromatik, serupa tapi mungkin tidak sama dengan 5-hidroksitriptofan
dekarboksilase. Dopamine kemudian memasuki vesikel-vesikel bergranula, dan
diubah menjadi norepinefrin oleh dopamin β-hidroksi-lase. L- dopa merupakan
isomer yang berperan, tetapi norepinefrin yang terbentuk adalah dalam
konfigurasi D. Hal ini juga terjadi meskipun sifatnya levorotatory (-).
Norepinefrin dekstrorotatori (+) sangat kurang aktif. Reaksi yang lebih terbatas
pada sintesis adalah pengubahan tirosin menjadi dopa. Tirosin hidroksilase, yang
mengkatalisis reaksi ini, dipengaruhi inhibisi umpan balik oleh dopamine dan
norepinefrin, dan dengan demikian merupakan pengawasan internal proses
sintesis tersebut. Kofaktor tirosin hidroksilase adalah tetrahidrobiopterin, yang
berubah menjadi dihidrobiopterin saat tirosin diubah menjadi dopa.
Epinefrin dan nor epinefrin kedua nya bekeja pada reseptor α dan
β,dengan nor epinefrin mempunyai afinitas lebih besar terhadap reseptor
aderenergik α,sedangkan epinefrin terhadap terhadap reseptor aderenergik
β.seperti tertera diatas,reseptor-reseptor α dan β merupakan reseptor serpentin
yang khas,berikatan dengan protein G,dan masing-masing mempunyai beragram
bentuk.reseptor-reseptor tersebut memiliki keserupaan dengan reseptor-reseptor
dopamine dan serotonin serta reseptor asetilkolin serta reseptor asetilkolin
muskarinik.
4. Efedrin
obstetric sebagai obat yang diberikan untuk mencegah hipotensi akibat anestesi
spinal pada operasi seksio sesaria, penggunaannya sudah dilakukan pada tahun
Morgan, 1995).
Efedrin dapat diberikan secara oral, maka banyak digunakan sebagai obat
eksresinya terutama lewat urin secara utuh. Plasma t½-Nya 3-6 jam. Dosis: 3-6 dd
25-50 mg, anak-anak 2-3 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis, tidak boleh digunakan
Efedrin yang diberikan secara intra muskuler dan infus kontinyu terbukti
seksio sesaria. Efedrin intra muslkuler dengan dosis 45 mg pada wanita hamil
langsung yang menstimuli reseptor β1, β2, α 1 adrenergik dan aksi tak langsung
tekanan darah sistolik maupun diastolik. Menurunkan aliran darah splanikus dan
ginjal tetapi meningkatkan aliran darah ke otak dan otot (Morgan, 1994 ;
Stoelting, 1997).
Dibandingkan dengan vasopresor lain, efedrin tidak menurunkan Utero
Placental Blood Flow (UPB) (Ducros et al, 2002; Bisri, 1998., Tong et al, 1992)
Peningkatan konsentrasi dari cAMP adalah suatu reaksi awal pada sebuah reaksi
kaskade dari phosporisasi dalam sel yang mengantarkan respon sel spesifik
menjadi inotropik positif atau kronotropik positif (Dinardo, 1996). Pada otot
jantung, phosporisasi dari cAMP tergantung dari protein kinase yang diperlukan
untuk membuka pintu masuk kalsium pada miosit. Jadi kalsium adalah medium
akhir dari efek yang terjadi dan di sebut sebagai third messenger (Stoelting,
dan α2.
Reseptor α1 adalah sepasang regulasi protein G yang mengikat guanosine
(Dinardo, 1996).
Efek efedrin pada reseptor α1 juga akan menurunkan aliran darah ke
1994) :
simpanan nore epinefrin pada ujung akhir saraf simpastis (Stoelting, 1997).
mencegah hipotensi karena anestesi spinal pada operasi seksio sesaria dengan
maupun IM.
bolus IV. Onset efedrin yang diberikan secara IV sekitar 1 menit dengan lama
Efedrin juga dapat menyebabkan aritmia yang fatal pada pasien dengan
efek toksisitas
Dosis letal efedrin sebesar lebih dari 60 mg / kgbb (Gosselin et al, 1984).
berarti obat tersebut dapat member pengaruh buruk pada janin disertai
al, 1992).
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson RS, et al. 1987. Spinal Analgesi Intradural and Extradural. In: Synopsis of
Anesthesia. Edisi 10.London: Pb Publishing Pte Ltd, pp: 662 – 721.
Covino, B.G; Scott, D.B; and Lambert, D.H. 1994. Physiological Consideratios,
Complications of Spinal Anaesthesia. In: Handbook of Spinal Anaesthesia and
Analgesia.Singapore: King Keong Printing Co. Pte. Lmt, pp: 45 – 67 ; 150 – 153.
Critchley, L.A.H; Stuart, J; Conway, F and Short, T.G. 1995. Hypotension during
subarachnoiud anesthesia : haemodynamic effects of ephedrine. Br. J. Anaesth,
pp:373 – 378.
Dinardo, J.A. 1996. Vasoactive and Inotropic Agents. In: Vincent J and Collins
(eds). Physiologic and Pharmakologic Bases of Anaesthesia. Baltimore : William &
Wilkins, pp : 734 – 742.
Hall, P.A. 1994. Spinal anaesthesia for caesarean section: comparison of infusion
of phenylephrine and ephedrine. Br J Anaesth. 73: 471 – 474.
International Anesthesia Research Society. 2003. clinical pharmacology of
ephedrine. Anesth Analgesia, pp;:136 – 141. Joint National Committee. 2003. The
sevent report of the committe on the prevent spinal – induced hypotension at
caesarean section. Br. J. Anaest,. pp: 262-265.
Kee W.D.N; Khaw; Kin, S; Lau T.K; and Tony, 2002. A dose response study of
prophylactic intravenous ephedrine for the prevention of hypotension during
spinal anesthesia foe caesaria delivery. Anesthesia Analgesia February edition, pp
: 1390 – 1395.
Morgan, GE and Mikhail, MS. 1996. Adrenergic Agonists and Antagonists. In:
Clinical anesthesiology. 2nd Ed. Connecticut:Prentice hall, pp: 180 – 181.
Raj, P.P. 1991. Eficacy in Comparison to General Anesthesia. In: Clinical Practice
of Regional Anesthesia.London: Churchill Livingstone Inc, pp: 175 – 176.
Sarwono, P. 1989 . Ilmu Bedah Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, pp:
261- 269.
Scott, D.A and Davies, M.J. 1993. Hypotension. Baillere’s Clinical Anesthesiology 7
: 237 – 257.
Stoelting, R.K. 1991. Pharmacology and Physiology. In: Anesthesia Practice. 2nd
edition. Oxford: JB Lippincott Company, pp: 148 – 171;264-284; 661 – 678.