Anda di halaman 1dari 16

1

MAKALAH KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PENCEGAHAN DEMAM TIFOID DI INDONESIA DAN


DUNIA

DISUSUN OLEH :

Muhammad Rangga Hidayat Sabir,

(C011201071)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

APRIL, 2021

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
2

PROGRAM PENCEGAHAN DEMAM TYPHOID DI INDONESIA


DAN DUNIA

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang memiliki yang prevalensinya
sangat tinggi di dunia. Jumlah kasusnya mencapai 11—21 juta orang per tahun
dengan 128.000—161.000 orang yang meninggal akibat penyakit tersebut tiap
tahun. Program pencegahan di seluruh dunia

(200 KATA maksimal)

Kata kunci (max : 5)

1. Latar belakang

Demam tifoid, atau demam enterik, merupakan penyakit sistemik yang


disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.
Kedua bakteri ini biasanya menyebar melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Inilah alasan mengapa demam tifoid lebih banyak ditemukan
pada daeerah-daerah yang sanitasinya tidak memadai, sumber airnya kurang
bersih, serta perilaku hidup masyarakatnya yang kurang higienis. Gejala-
gejala umum yang dirasakan oleh penderita demam tifoid biasanya berupa
demam yang berkepanjangan, kelelahan, sakit kepala, muntah-muntah,
konstipasi, diare, serta nyeri pada daerah abdomen. Bahkan, demam tifoid ini
sering kali menyebabkan kematian pada kasus tertentu, terutama apabila
penderita terjangkit dalam waktu yang lama, tidak mendapatkan perawatan
yang memadai, atau karena kurangnya imunitas tubuh penderita akibat
beberapa faktor seperti umur, diet, atau penyakit tertentu.

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
3

1.1. Kasus Demam Tifoid dalam Skala Dunia

Jumlah penderita demam tifoid setiap tahunnya, menurut WHO,


berada pada rentang 11–21 juta orang dengan jumlah kematian mencapai
128.000—161.000 orang per tahun. Jumlah ini juga sekaligus
mengindikasikan bahwa demam tifoid merupakan salah satu penyakit
dengan morbiditas yang paling tinggi, baik di daerah perkotaan maupun di
daerah pedesaan atau pinggiran kota. Pada tahun 2015, bersasarkan
penelitian secara global, terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid dan
paratifoid di seluruh dunia. Jumlah tersebut sebagian besar
disumbangkan oleh benua Asia Timur, Asia Tenggara, dan Afrika Sub-
Sahara. Di antara benua-benua tersebut, Asia Timur merupakan benua
dengan prevalensi dan insidensi demam tifoid dan paratifoid terbesar.
Selain itu, jumlah kematian akibat demam tifoid dan paratifoid terhitung
sebesar 178.000 kasus.

Demam tifoid ini memliki insidensi yang bervariasi berdasarkan umur


penderita. Berdasarkan studi pada tahun 2004, insidensi tertinggi berada
pada anak di bawah usia 5 tahun. Oleh karena itu, penyakit ini juga
disebut sebagai salah satu penyakit demam bakteremia yang paling
banyak menyerang anak di bawah lima tahun. Berdasarkan beberapa
studi komunitas di benua Asia Timur, insidensi demam tifoid pada anak-
anak mencapai 500—1000 kasus per 100.000 populasi. Estimasi dari
studi Global Burden of Disease 2015 (GBD 2015) menyatakan bahwa
insidensi demam tifoid menurun seiring meningkatnya usia penduduk.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh grup studi tifoid DOMI yang
melakukan studi di lima negara endemik: India, Indonesia, Pakistan,
Vietnam, dan Cina, pada negara-negara dengan nilai insidensi demam
tifoid yang tinggi seperti Pakistan, India, dan Indonesia, terdapat
heterogenitas insidensi demam tifoid pada umur yang berbeda. Insidensi
demam tifoid pada anak prasekolah (2—5 tahun) memiliki besar yang
sama atau hampir sama pada anak sekolah (5—15 tahun). Ini
menunjukkan bahwa insidensi demam tifoid pada anak di bawah 5 tahun
________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
4

bahkan mampu bersaing dengan insidensi anak dengan rentang usia


yang lebih besar (10 tahun, usia sekolah).

1.2. Kasus Demam Tifoid di Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu dari lima negara endemik menurut


grup studi DOMI pada tahun 2008, memiliki nilai insidensi demam tifoid
ketiga teringgi di antara kelima negara endemik tersebut dengan nilai
81,7/100.000 orang-tahun dihitung pada tahun 2008. Nilai tersebut berada
di bawah Pakistan dengan nilai insidensi 451,7/100.000 orang-tahun dan
India dengan nilai insidensi 214,2/100.000 orang-tahun. Selain itu,
berdasarkan umur penderita, insidensi demam tifoid (per 100.000 orang-
tahun) di Indonesia pada tahun 2008 adalah 148,7 pada usia 2—4 tahun,
180,3 pada usia 5—15 tahun, dan 51,2 pada usia 16 tahun ke atas.
Sementara itu, tidak ditemukan kasus demam tifoid pada anak di bawah 2
tahun. Jumlah kasus dan mortalitas demam tifoid di Indonesia pun kian
meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia pada tahun 2010, demam tifoid merupakan salah satu dari 10
besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap dari seluruh rumah sakit
di Indonesia. Penyakit ini menduduki peringkat ketiga setelah
diare/gastroenteritis dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Jumlah kasus
penyakit ini pada tahun 2010 adalah 19.706 kasus pada laki-laki dan
21.375 kasus pada perempuan. Jumlah pasien yang meninggal adalah
274 kasus sehingga Case Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun
2010 adalah 0,67%. Jumlah kasus dan CFR penyakit ini pun meningkat
pada tahun 2011, yakni sebanyak 55.098 kasus dengan CFR 2,06%.

Prevalensi demam tifoid, menurut tempat tinggal penduduk,


nilainya lebih banyak di daerah pedesaan daripada daerah perkotaan,
terutama di daerah pedesaan dengan latar belakang pendidikan
penduduk yang rendah serta jumlah penghasilan dan pengeluaran rumah
tangga yang rendah pula. Hal ini tentunya berkaitan dengan faktor-faktor
________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
5

yang memengaruhi proses penyebaran Salmonella typhi, yakni kebiasaan


atau perilaku higienis individual penduduk, sanitasi lingkungan, serta
kebersihan makanan atau minuman. Oleh karena itu, demam tifoid
merupakan slah satu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang
sangat penting untuk diperhatikan karena faktor penyebarannya sangat
berkaitan dengan aspek penting kependudukan, seperti kepadatan
penduduk, urbanisasi, kesehatan lingkungan, sumber air, pengelolaan
bahan pangan, serta pengetahuan penduduk mengenai sanitasi dan
perilaku higienis.

2. Program - Program yang Dilaksanakan

Penanganan penyakit demam tifoid dilakukan dengan berbagai program,


mulai dari program yang bersifat promotif, preventif, kuratif, hingga
rehabilitatif. Hal ini dilakukan agar program penanganan demam tifoid mampu
berjalan maksimal sehingga mampu mengantisipasi penyakit demam tifoid di
semua kalangan masyarakat, mulai dari orang sehat, orang terjangkit tanpa
gejala, orang terdiagnosis dini, hingga orang yang sudah mengalami gejala
berat. Tindakan promotif dan preventif tentunya menjadi ujung tombak dari
program-program penanganan demam tifoid yang dilakukan karena program
yang dijalankan tentu saja tidak hanya bertujuan untuk mengobati pasien
terjangkit, tetapi juga untuk menjaga yang belum terjangkit agar tidak
terjangkit. Mencegah tentu saja lebih baik daripada mengobati. Dengan
mencegah terjadinya penyakit, anggaran negara dan masyarakat pun tidak
dihabiskan hanya untuk biaya kesehatan dan pengobatan di rumah sakit.

2.1. Program Pencegahan Demam Tifoid di Dunia

Penanganan preventif demam tifoid ini mengacu pada bagaimana


cara menanggulangi faktor-faktor risiko utama yang memengaruhi
penyebarannya. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, faktor

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
6

risiko penyebaran demam tifoid utamanya berasal dari makanan dan


minuman yang terkontaminasi. Kontaminasi makanan dan minuman bisa
terjadi pada tahap pengelolaan makanan dan sumber air, ataupun pada
tahap pengonsumsian makanan dan minuman tersebut oleh masyarakat.
Di antara faktor risiko tersebut, kontaminasi sumber air minum dengan air
kotor atau comberan menjadi penyebab utama penyebaran Salmonella
typhi. Selain itu, di wilayah-wilayah endemik, jajanan kaki lima, terutama
jajanan-jajanan yang diolah langsung di tempat penjualan, masih dijajakan
dengan pengolahan dan penyajian yang kurang higienis, seperti
memegang langsung makanan tanpa cuci tangan, mencuci alat makan
dengan cara yang tidak bersih, atau menggunakan air dari sumber yang
kotor. Pengetahuan masyarakat mengeni perilaku higienis pun masih
kurang. Hal ini kemungkinan terjadi karena kurangnya edukasi pada
masyarakat, minimnya sistem pelayanan kesehatan, buruknya
ninfrastruktur air dan makanan, serta tidak diperhatikannya sanitasi
lingkungan.

Tindakan peventif dilakukan untuk memutus hubungan antara host


dan agent pada periode prepatogenesis. Tindakan preventif ini terbagi
menjadi tindakan peventif primordial dan primer. Tindakan preventif
primordial dilakukan untuk menghambat munculnya faktor risiko
penyebaran penyakit sebelum faktor tersebut muncul dan biasanya
dilakukan pada tingkat pemerintahan, seperti pengaturan tatanan kota,
hukum sanitasi lingkungan, dan sebagainya. Sementara itu, Tindakan
preventif primer dilakukan untuk mencegah onset dari penyakit, seperti
melakukan promosi kesehatan dan menggunakan perlindungan khusus
untuk mencegah infeksi patogen. Kontrol preventif penyebaran demam
tifoid di seluruh dunia memperhatikan indikator-indikator yang kurang lebih
sama dalam menentukan faktor risiko penyebaran penyakit demam tifoid.
Indikator tersebut beserta faktor-faktor penilaiannya adalah:

1. Infrastruktur air dan sanitasi:

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
7

- Keterjangkauan air bersih.

- Pemanfaatan sanitasi yang memadai.

- Pengumpulan limbah dan penjernihan sumber air.

2. Sistem kesehatan:

- Tes diagnosis cepat dan tes kerentanan antimikroba yang


akurat.

- Identifikasi serta penanganan cepat karier (pembawa agen


infeksi) kronik.

- Vaksinasi

- Pelaksanaan regulasi keamanan bahan pangan

3. Edukasi:

- Edukasi mengenai pentingnya cuci tangan dengan benar


sebelum makanan, sebelum menyiapkan makanan, dan setelah
buang air.

- Edukasi mengenai kesehatan, kebersihan, dan keamanan


makanan.

Vaksinasi sebagai perlindungan khusus dalam pencegahan primer


juga merupakan salah satu tindakan preventif yang sangat penting dalam
mencegah penyebaran penyakit demam tifoid. Penggunaan vaksin dalam
mengontrol kejadian demam tifoid, terutama pada anak-anak, telah
terbukti sukses pada Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa konteks di
seluruh dunia. Pada tahun 1999 di Cina, penggunaan vaksin Vi Capsular
Polysaccharydes (ViCPS) telah menunjukkan keberhasilan penanganan
KLB demam tifoid, dengan angka keberhasilan 73% pada anak-anak yang
telah divaksinasi sebelum KLB dan 71% pada anak-anak yang divaksinasi
pada saat KLB. Pada tahun 1977 di Thailand, dilaksanakan program
imunisasi nasional pada anak sekolah menggunakan vaksin tifoid
phenol/heated-inactivated. Setelah itu, rasio isolasi (isolation rate) dari
________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
8

Salmonella typhi di Thialand berkurang dari 4,6% pada tahun 1976


menjadi 0,3% pada 1985.

Ada tiga jensi vaksin yang direkomendasikan oleh WHO untuk


mengatasi demam tifoid epidemik dan endemik. Vaksin-vaksin tersebut
juga sudah dilisensi untuk digunakan di beberapa negara. Vaksin-vaksin
tersebut adalah:

1. Vaksin oral Ty21. Vaksin ini berasal dari Salmonella typhi dari strain
yang telah dilemahkan. Targetnya merupakan anak di atas 6 tahun.
Kemanjuran vaksin ini adalah sekitar 67—80%.

2. Vaksin injeksi ViCPS. Vaksin ini merupakan vaksin polisakarida tidak


terkonjugasi dan berasal dari antigen Vi Salmonella typhi yang telah
dipurifikasi. Targetnya merupakan anak berusia 2 tahun atau lebih.
Vaksin ini memiliki kemanjuran protektif sebesar 72% di wilayah
endemik dan pada saat terjadi KLB.

3. Typhoid Conjugated Vaccine (TCV). Vaksin injeksi ini merupakan jenis


vaksin konjugasi, di mana antigen Vi Salmonella typhi dikonjugasikan
dengan protein toxoid tetanus agar respons imun pada antigen Vi
meningkat. Vaksin ini telah terlisensi untuk anak umur 6 bulan hingga
orang dewasa berusia 45 tahun. Vaksin ini telah digunakan di Nepal
pada bayi berusia 6 bulan dan memiliki kemanjuran 54,6%.

Pencegahan sekunder berupa diagnosis dini dan penanganan cepat


juga diterapkan, terutama pada anak berusia di bawah 5 tahun. Instrumen
diagnosis sebaiknya memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Alat
diagnosis utama yang digunakan saat ini adalah kultur darah atau tes
Widal. Kultur darah, meskipun memiliki sensitivitas yang tidak terlalu
tinggi, merupakan stardar praktikal untuk diagnosis demam tifoid. Selain
itu, ada pula tes lainnya seperti Tes Amplifikasi Asam Nukleat (NAAT) dan
tes sumsum tulang. Selain itu, penanganan cepat seperti terapi antibiotik/
antimikroba juga digunakan sebagai tindakan kuratif ataupun rehabilitatif.
Terapi antimikroba untuk menanggulangi demam tifoid pertama kali
________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
9

diperkenalkan pada tahun 1950 dan telah terbukti mampu mengurangi


CFR demam tifoid dari 30% menjadi 0,5%. Namun, seiring berjalannya
waktu, banyak strain S. typhi yang kebal terhadap beberapa jenis
antimikroba bermunculan. Akan tetapi, antimikroba juga terus menerus
diperbarui agar dapat menanggulangi sebagian besar strain S. typhi.

2.2. Program Pencegahan Demam Tifoid di Indonesia

Indonesia sebagai negara endemik demam tifoid di wilayah Asia


memiliki beberapa program yang merupakan realisasi dari program
standar dunia yang telah dikemukakn pada paragraf-paragraf
sebelumnya. Berdasarkan Permenkes No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010
mengenai Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan, Program
pengendalian demam tifoid di Indonesia, termasuk program-program
standar dunia, dilaksanakan oleh dinas kesehatan provinsi, dinas
kesehatan kabupaten/kota, dan fasilitas pelayanan kesehatan di
Indonesia berupa puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya, dengan
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan yang menjadi penanggung jawab. Adapun tujuan
dari program-program yang dibuat adalah untuk meningkatkan upaya
pencegahan demam tifoid terutama pada masyarakat berisiko tinggi,
meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai demam tifoid, serta
menurunkan angka kesakitan dan kematian. Berdasarkan tujuan tersebut,
dirancanglah pilar-pilar yang mendasari semua program yang
dilaksanakan, yakni peran pemerintah dalam mengatur kegiatan pokok
penanggulangan demam tifoid dan peran masyarakat dalam
mengembangkan dan menguatkan jejaring kerja pengendalian demam
tifoid serta pencegahan dan penanggulangannya yang berbasis
masyarakat. Adapun program-program pokok pengendalian demam tifoid
di Indonesia adalah:

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
10

1) Meninjau dan menguatan aspek legal pengendalian demam


tifoid.

2) Melaksanaan advokasi dan sosialisasi dalam berbagai bentuk,


salah satunya adalah Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE).

3) Melakukan pencegahan karier, kebentanan, dan resistensi


tifoid.

4) Mendeteksi dini karier tifoid.

5) Melaksanakan program perlindungan khusus, seperti vaksin,


PHBS, dan sebagainya.

6) Melaksanakan observasi kasus demam tifoid.

7) Mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM).

8) Mengembangkan pengelolaan logistik pengendalian demam


tifoid.

9) Melakukan supervisi dan bimbingan teknis.

10) Menjalankan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program.

11) Melakukan pencatatan dan pelaporan.

Namun, dalam pelaksanaannya, masih banyak kesulitan yang


dihadapi. Banyak tantangan yang harus dihadapi dalam melaksanakan
program pengendalian demam tifoid terssebut, seperti pelonjakan jumlah
kasus karier, relaps, dan resistensi demam tifoid, tidak masuknya
vaksinasi tifoid dalam program imunisasi di Indonesia, rendahnya akses
masyarakat terhadap air bersih, rendahnya perilaku higienis masyarakat,
banyaknya jajanan yang tidak higienis, tingginya tingkat kemiskinan, dan
sebagainya.

3. Diskusi dan Saran

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
11

Penanggulangan demam tifoid di seluruh dunia telah banyak


berubah seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta
bertambahnya pengalaman masyarakat dunia mengenai epidemiologi
penyakit demam tifoid. Berbagai program telah dilakukan, mulai dari yang
bersifat preventif seperti pemeliharaan kebersihan lingkungan,
pengelolaan sumber air dan makanan, edukasi masyarakat, dan
vaksinasi, sampai yang bersifat kuratif dan rehabilitatif seperti terapi-terapi
antimikroba atau antibiotik pada pasien terdiagnosis dini ataupun pasien
dengan gejala yang sudah berat. Namun, masih ada kesenjangan dalam
pengetahuan kita mengenai bagaimana besarnya masalah demam tifoid
di seluruh dunia dan bagaimana cara terbaik untuk menerapkan strategi
pencegahan demam tifoid di daerah-daerah dengan sumber daya yang
rendah. Walaupun insidensi demam tifoid dari berbagai belahan dunia
telah diketahui dari berbagai literatur, masih banyak negara endemik yang
tidak menerapkan survei berbasis populasi dalam menentukan insidensi
demam tifoid. Kebanyakan data hanya dikumpulkan dari studi berbasis
rumah sakit sehingga data tersebut tidak mencakup semua lapisan
masyarakat, terutama di wilayah yang fasilitas kesehatannya tidak
memadai. Berdasarkan penelitian dari organisasi Bulletin of the World
Health, dari tahun 1954—2000, hanya tiga belas negara yang
menerapkan survei berbasis populasi untuk demam tifoid, dan di
antaranya hanya dua negara dari benua Afrika, yakni Mesir dan Afrika
Selatan. Selain itu, beberapa negara yang menggunakan survei pasif
masih menggunakan diagnosis klinis dengan kemampuan yang terbatas.

Meskipun begitu, program-program pengendalian demam tifoid juga


menunjukkan keberhasilan di beberapa negara, terutama program
vaksinasi yang direkomendasikan oleh WHO yang telah menunjukkan
keberhasilan dalam mencegah peledakan jumlah demam tifoid selama
KLB pada beberapa negara, seperti di Cina pada tahun 1999 dan Tailand
pada tahun 1977. Keberhasilan tersebut bisa direalisasikan karena
kesuksesan sistem distribusi vaksin yang dilakukan oleh masing-masing
________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
12

negara. Di Thailand, dilakukan program imunisasi demam tifoid nasional


untuk anak sekolah sehingga rasio isolasi S. typhi menurun drastis dari
dari 4,6% pada tahun 1976 menjadi 0,3% pada 1985.

Program-program pengendalian demam tifoid di Indonesia masih


tebilang kurang optimal dalam pelaksanaannya. Hal ini terkait banyaknya
masalah, seperti keterbatasan anggaran yang tersedia di Ditjen PP dan
PL, ditambah lagi belum semua kabupaten/ kota di Indonesia
menyediakan anggaran khusus untuk program pengendalian tifoid.
Program peninjauan aspek legal pengendalian demam tifoid pun
pelaksanaannya tidak maksimal karena banyaknya keterbatasan seperti
jumlah Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang tidak
memadai, kebijakan otonomi daerah yang mengakibatkan banyaknya
perpindahan petugas yang telah dilatih, dan struktur organisasi penaung
program pengendalian tifoid yang tidak seragam. Advokasi dan sosialisasi
pun tidak berjala dengan baik, terutama kegiatan KIE, karena
keterbatasan media dan biaya operasional sehingga mengakibatkan
rendahnya dukungan pemangku kepentingan. Selain itu, pemberian
vaksin tifoid masih terbatas pada rumah sakit swasta dan sejumlah
praktek dokter pribadi.

Program-program diagnosis dini pun terkendala karena beberapa


masalah. Penemuan kasus masih belum optimal karena keterbatasan
penunjang diagnosis di puskesmas dan ketidakmauan sebagian penderita
untuk memeriksakan diri setelah dirujuk. Alat screeningnya pun, seperti
tes widal dan kultur, masih memiliki sensitivitas yang rendah. Selain itu,
pemakaian antibiotik yang bebas, tanpa kontrol dan pedoman, dan
seringkali dengan dosis dan lama pemberian yang tidak tepat
mengakibatkan sulitnya program pencegahan karier, relaps, dan resistensi
untuk berhasil. Program supervisi, bimbingan teknis, monitoring, evaluasi,
dan penyediaan logistik pun ikut terpengaruh sehingga pelaksanaannya
juga belum optimal.

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
13

Masalah-masalah tersebut tentu saja menghambat keberhasilan


program. Akan tetapi, masih ada peluang-peluang keberhasilan yang
perlu diperhatikan. Peluang-peluang tersebut di antaranya adalah
penerbitan Permenkes mengenai Struktur Organisasi, rencana tindakan
pengendalian tifoid dari pemerintah, pedoman manajemen program
pengendalian tifoid, ketersediaan sarana dan prasarana KIE, serta kerja
sama lintas program. Pemerintah sebagai penyelenggara program dapat
melakukan kerja sama lintas program yang mencakup Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat (PHBS), kebersihan sumber air, serta kegiatan
penyuluhan pencegahan demam tifoid. Selain itu, keberhasilan
penggunaan vaksin dalam mencegah demam tifoid di negara lain
seharusnya dapat memotivasi Indonesia untuk memaksimalkan efektivitas
penyebaran vaksin di Indonesia, seperti melakukan imunisasi rutin pada
anak usia sekolah dan prasekolah. Banyak negara yang program
pencegahannya berhasil melakukan vaksinasi pada golongan berisiko
tinggi, seperti anak usia prasekolah dan sekolah, dan dilakukan melalui
program imunisasi rutin. Selain itu, upaya promosi kesehatan juga
berpeluang untuk mengalami peningkatan.

4. Kesimpulan

Program penceghan demam tifoid di seluruh dunia menunjukkan


hasil yang baik pada beberapa negara. Keberhasilan tersebut merupakan
hasil dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
tindakan pencegahan dan pengobatan demam tifoid menjadi jauh lebih
efektif. Penyebaran informasi pun semakin mudah karena globalisasi
sehingga pengetahuan masyarakat dunia mengenai perilaku bersih dan
higienis semakin meluas. Namun, pendataan mengenai insidensi dan
prevalensi demam tifoid masih kurang tepat karena beberapa negara tidak
menggunakan survei berbasis populasi sehingga data yang didapat tidak
mencakup seluruh lapisan masyarakat.
________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
14

Di Indonesia, program pencegahan demam tifoid masih belum


terlaksana secara optimal. Masih banyak masalah dan tantangan dalam
pelaksanaannya, seperti masalah pembiayaan dari APBN dan APBD yang
terbatas. Advokasi dan sosialisasi yang kurang juga mengakbiatkan
kurangnya dukungan dari pihak-pihak yang seharusya mampu
mendukung. Selain itu, masalah pada penanganan demam tifoid, seperti
penggunaan antibiotik yang kurang tepat, mengakibatkan masalah yang
lebih rumit seperti timbulnya resistensi bakteri pada antibiotik serta kasus
karier yang semakin banyak.

Namun, program pencegahan demam tifoid ini masih


memperlihatkan peluang untuk berhasil. Kedepannya, harus dilakukan
perluasan pemberian vaksin sebagai perlindungan khusus serta
pemberdayaan peran masyarakat, pemerintah, badan khusus kesehatan,
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), hingga agen perjalanan
dalam melaksanakan program pengendalian demam tifoid. Pemerintah
mempunyai peran yang sangat besar sebagai penyelenggara utama
program pengendalian ini sehingga pemerintah harus bisa memanfaatkan
segala sumber daya yang ada untuk menjalankan program dengan baik.
Masyarakat sebagai target penyelenggaraan program pencegahan
demam tifoid juga berperan penting dalam keberhasilan program
sehingga masyarakat harus bisa lebih kooperatif untuk memudahkan
berjalannya program. Selain itu, akreditasi rumah sakit di Indonesia juga
harus ditingkatkan. Hal ini berguna untuk meningkatkan akurasi diagnosis
dan pengobatan untuk orang yang terkena demam tifoid.

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
15

Daftar Pustaka

Purba, IE, Wandra, T, Nugrahini, N, Nawawi, S, & Kandun, N


2016, ‘Program Pengendalian Demam Tifoid di indonesia: Tantangan
dan Peluang’, Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, vol.
26, no. 2, DOI:10.22435/mpk.v26i2.5447.99-108

Saputra, RK, Majid, R, & Bahar, H 2017, ‘Hubungan


Pengetahuan, Sikap, dan Kebiasaan Makan dengan Gejala Demam
Thypoid pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Halu Oleo Tahun 2017’, Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat, vol. 2, no. 6, dilihat pada 12 April 2021

Radhakrishnan, A, Als, D, Mintz, DE, Crump, JA, Stanaway, J,


Breiman, RF, & Bhutta, ZA 2018, ‘Introductory Article on Global
Burden and Epidemiology of Typhoid Fever’, The American Journal
of Tropical Medicine and Hygiene, vol. 99, no. 3, pp. 4-9,
DOI:https://doi.org/10.4269/ajtmh.18-0032

Bhutta, ZA 2006, ‘Typhoid Fever: Current Concept’, Infectious


Disease in Clinical Practice, vol. 14, no. 5, pp. 266-272,
DOI:10.1097/01.idc.0000222625.11629.f4

World Health Organization 2020, Typhoid Fever, World Health


Organization, dilihat pada 12 April 2020, < https://www.who.int/news-
room/q-a-detail/typhoid-fever>

World Health Organization 2020, Typhoid, World Health


Organization, dilihat pada 12 April 2020,
<https://www.who.int/teams/immunization-vaccines-and-
biologicals/diseases/typhoid>

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071
16

Ochiai, Rl , Acosta, CJ, Danovaro-Holliday, MC, Baiqing,


D, Bhattacharya, SK, et al. 2008, ‘A study of typhoid fever in five
Asian countries: disease burden and implications for controls’.
Bulletin of the World Health Organization, vol. 86, no. 4, pp. 260-268,
DOI:http://dx.doi.org/10.2471/BLT.06.039818
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011, Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2011, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

________________________________________________________________________________________________
_____________________________________NAMA : Muhammad Rangga Hidayat Sabir NIM :
C011201071

Anda mungkin juga menyukai